Tinjauan Pustaka GAGAL NAFAS PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
Made Widiastika, Dewa Made Artika Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan permasalahan kesehatan global berdasarkan dari tingginya angka prevalensi, biaya perawatan kesehatan yang mahal, dan angka kematiannya yang cukup tinggi (1). Sebuah penelitian di Ingggris melaporkan nilai FEV1 yang rendah pada 10% pria dan 11% wanita berumur 16-65 tahun. Sama halnya dengan penelitian di Manchester menemukan obstruksi aliran udara pernafasan yang ireversibel pada 11% dewasa berumur > 45 tahun, di Amerika dilaporkan angka obstruksi saluran pernafasan dengan FEV1< 80% nilai prediksi sebesar 6.8%, dengan 1.5% diantaranya dengan FEV1 < 50% nilai prediksi dan 0.5% memiliki obstruksi yang lebih berat (FEV1 < 35%nilai prediksi) (1,2). Dari studi meta analisis terakhir dan survey epidemiologis diberbagai negara secara luas yang mencangkup mencangkup seluruh seluruh dunia dunia dan menggunakan menggunakan definisi definisi spirometrik spirometrik yang sudah baku, menegaskan menegaskan bahwa angka prevalensi PPOK masih sangat sangat rendah dari perkiraan (2). Prognosis secara signifikan akan lebih buruk pada kasus yang disertai kegagalan respirasi baik sesaat maupun kronis yang terjadi pada eksaserbasi akut . Angka Angka survival survival khususny khususnyaa akan menurun ketika tanpa mendapatkan mendapatkan bantuan bantuan ventilator (3). Pasien seperti ini sepatutnya mendapatkan perhatian khusus bukan hanya karena buruknya hasil akhir dan angka survival namun juga dalam hal pilihan terapi terapi.. Piliha Pilihan n ini dapat dapat memper memperpan panjan jang g hidup hidup dan mening meningkat katkan kan kemamp kemampuan uan kapasitas, gejala, dan kualitas hidup yag terkait dengan kesehatan. Gagal nafas adalah kejadian yang penting dan umum terjadi, yang sering dihubungkan dengan eksaserbasi PPOK yang berat. Gagal nafas masih merupakan kompli komplikas kasii pentin penting g dari dari penyak penyakit it paru paru obstru obstrukti ktiff kronis kronis (PPOK) (PPOK) dan perawa perawatan tan dengan rawat inap berkaitan dengan eksaserbasi akut yang terjadi menjadi penanda prognost prognostik ik yang buruk. buruk. Namun demikian, kondisi komorbid komorbid lainnya, lainnya, khususny khususnyaa penyakit kardiovaskuler, menjadi prediktor kematian yang kuat. Ketidak seimbangan 1
2
antara ventilasi ventilasi dan perfusi yang yang signifikan signifikan dengan peningkata peningkatan n relatif dari ruang rugi mencetuskan hiperkapnia dan meningkatkan derajat asidosis Gagal nafas akut yang berkaitan dengan PPOK masih merupakan kondisi medis yang emergensi yang dapat dapat dikelo dikelola la dengan dengan efekti efektif. f. Perhat Perhatian ian lebih lebih harus harus terfok terfokus us pada pada penceg pencegaha ahan n keadaa keadaan n terseb tersebut ut dan mengid mengident entifik ifikasi asi faktor faktor-fak -faktor tor yang yang dapat dapat menyeb menyebabk abkan an kekambuhan PPOK (4). Pemahaman fisiologis dasar gagal nafas pada PPOK sangatlah dibutuhkan dala dalam m usah usahaa pena penang ngan anan an PPOK PPOK baik baik yang yang stab stabil il maup maupun un yang yang meng mengal alam amii eksaserbasi eksaserbasi akut, sehingga sehingga mampu menurunkan menurunkan angka angka kematian kematian selama perawatan. Untuk itulah tinjauan kepustakaan ini dibuat untuk dapat memberikan ulasan singkat dan jelas tentang gaal nafas pada PPOK sehingga penangananan terhadap PPOK menjadi lebih baik.
Pengertian dan patofisiologi gagal nafas
Gagal nafas adalah kondisi kondisi dimana sistim respirasi respirasi gagal dalam fungsinya fungsinya melakukan melakukan pertukaran pertukaran gas, yaitu oksigenasi oksigenasi dan eleminasi eleminasi karbon dioksida. dioksida. Gagal nafas nafas lebih lebih merupa merupakan kan sebuah sebuah sindro sindrom m diband dibanding ingkan kan sebuah sebuah penyak penyakit. it. Banyak Banyak penyakit penyakit mengakibatkan mengakibatkan kegagalan kegagalan respirasi. respirasi. Untuk Untuk tujuan klinis rutin, rutin, gagal nafas umumnya didefinisikan sebagai tekanan oksigen arteri (PaO2 kurang dari 60 mmHg (8.0 kpa) dan atau tekanan karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 45 mmHg (6.0 kpa). Gagal nafas bisa akut maupun kronis. Gambaran klinis pasien dengan gagal nafas akut maupun kronis cukuplah berbeda. Pada gagal nafas akut ditandai dengan adanya kekacauan yang bersifat mengancam nyawa dari gambaran gas darah arteri dan status asam basa pasien. Sedangkan pada gagal nafas kronis biasanya bersifat lebih tenang dan bisa tanpa disertai gejala (5). Gaga Gagall nafa nafass dita ditand ndai ai oleh oleh tida tidak k adek adekua uatn tnya ya oksi oksige gena nasi si dara darah h atau atau pembersihan CO2. Adequat didefinisikan oleh kebutuhan jaringan terhadap ambilan oksig oksigen en dan elimin eliminasi asi CO2. Pada keadaan keadaan dimana dimana tidak adanya adanya
penguk pengukura uran n
parameter metabolik ini secara langsung, seorang klinisi seharusnya memahami nilai gas darah darah arteri. arteri. Gagal Gagal nafas nafas dapat dapat dikelo dikelompo mpokka kkan n menjad menjadii hypercapnic atau Gagal nafas nafas hypercap hypercapnik nik didefini didefinisik sikan an sebagai sebagai hypoxemia . Gagal
nilai nilai arteria arteriall PCO2 PCO2
(PaCO2 (PaCO2 ) lebih dari 45 mmHg. Gagal Gagal nafas hypoxemik hypoxemik didefinisika didefinisikan n sebagai nilai arteria arteriall PO2 (PaO2 ) kurang kurang dari 55mmHg 55mmHg ketika frakasi frakasi oksige oksigen n dalam dalam udara udara
3
inspirasi lebih besar dari 60%. Pada beberapa kasus gagal nafas hiperkapnik dan hipoksia terjadi bersama-sama. Kelainan yang memulai sebagai penyebab hipoksia mingkin diperberat oleh kegagalan pompa dan hiperkapnia. Sebaliknya penyakit yang menghasilkan kegagalan pompa respirasi sering diperberat oleh hipoksemia berkaitan dengan proses diparenkim paru ( seperti pneumonia atau atelektasis) atau kelainan vaskuler (seperti emboli pulmonum) (5,6). Pada umumnya gagal nafas akut hiperkapnia didefinisikan sebagai PaCO2 lebih besar dari 45 mmHg dengan disertai asidemia (pH kurang dari 7.30). Efek fisiologis kenaikan PaCO2 tergantung pada kadar anion bicarbonate serum. Pada pasien dengan gagal nafas hiperkapnia kronis seperti pada PPOK, peningkatan PaCO2 dalam jangka waktu lama menghasilkan kompensasi ginjal dan peningkatan konsentrasi bikarbonat serum (5). Gagal Nafas Hiperkapnia
Pada keadaan produksi CO2 yang konstan (VCO2), PaCO2 ditentukan oleh nilai ventilasi alveolar. Hubungan antara ventilasi alveolar, laju produksi CO2, dan PaCO2 digambarkan pada formulasi sebagai berikut : V a = K
VCO2 / PaCO2 (V
・
a : ventilasi alveolar menit, K: konstanta , VCO2 : laju produksi CO2). Ketika nilai VCO2 konstan, PaCO2 ditentukan oleh Va. Ada 2 faktor yang sangat menentukan nilai Va tersebut, yaitu menit ventilasi (Ve) dan hubungan antara Ve dan Va. Kelainan - kelainan yang dapat menurunkan nilai Ve atau yang dapat meningkatkan proporsi dead space ventilation dapat menghasilkan hiperkapnia (5,6,11). Banyak fungsi respirasi yang abnormal yang terjadi pada PPOK, namun adanya penurunan yang persisten dari laju ekspirasi paksa maksimal merupakan gejala fisiologis yang utama. Peningkatan tahanan saluran nafas, peningkatan volume residual, peningkatan rasio volume residu / kapasitas paru total, penurunan kapasitas insprirasi, maldistribusi vetilasi, dan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi adalah gejala kusus lainnya.
Patofisiologi PPOK
PPOK di tandai oleh obstruksi saluran nafas yang bersifat ireversibel sebagai akibat proses inflamasi kronis disepanjang saluran nafas bagian distal, parenkim, dan pembuluh darah paru. Makrofag, Limfosit T (dominan CD81), dan netrofil meningkat diberbagai bagian dari paru. Aktivasi sel-sel inflamasi melepaskan
4
berbagai mediator diantaranya leucotriene B4 (LTB4), interleukin-8 (IL-8), tumor
necrosis factor α (TNF α), dan yang lainnya, yang dapat merusak struktur paru paru atau memperlama proses inflamasi netrofilik. Selain inflamasi, ada dua proses lainnya yang penting pada patogenesis PPOK yaitu ketidakseimbangan preteinase dan antiproteinase di paru yang disebabkan oleh paparan partikel dan gas berbahaya yang dihirup. Asap rokok dapat merangsang inflamasi dan secara langsung dapat merusak paru. Walaupun data yang yang tersedia masih sedikit, faktor resiko PPOK lainnya dapat mencetuskan proses inflamasi yang sama. Diyakini bahwa proses inflamasi ini dapat mencetuskan terjadinya PPOK (6).
Gambar 1. Proses inflamasi pada PPOK (6)
5
Perubahan patologis pada paru berhubungan dengan perubahan khas dari PPOK, meliputi hipersekresi mukus, disfungsi silier, pembatasan aliran udara, hiperinflasi paru, abnormalitas pertukaran gas, dan cor pulmonale (6,7,8) Hal hal tersebut biasanya berkembang pada tahap akhir dari perjalanan penyakit ini. Hipersekresi mukus dan disfungsi silier menyebabkan batuk kronis dan produksi sputum. Gejala ini dapat tampak dalam beberapa tahun sebelum gejala lainnya atau abnormalitas fisiologis berkembang. Pembatasan aliran udara ekspirasi, dapat diukur dengan sangat baik melalui pemeriksaan spiromertri,
yang mana hal ini adalah
merupakan tanda perubahan fisiologis PPOK dan kunci menegakkan diagnosis. Pada PPOK yang berat, obsruksi saluran nafas perifer, kerusakan parinkim, dan kelainan vaskuler paru menurunkan kapasitas paru dalam pertukaran gas, yang menghasilkan hipoksemia dan lebih jauh menyebabkan hiperkapnia. Banyak fungsi respirasi yang abnormal yang terjadi pada PPOK, namun adanya penurunan yang persisten dari laju ekspirasi paksa maksimal merupakan gejala fisiologis yang utama. Peningkatan tahanan saluran nafas, peningkatan volume residual, peningkatan rasio volume residu / kapasitas paru total, penurunan kapasitas insprirasi, maldistribusi ventilasi, dan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi adalah gejala khusus lainnya (6,7). Obstruksi Saluran Nafas
Penurunan yang persisten dari FEV1 dan FEV1/FVC adalah kelainan fisiologis yang khas pada PPOK. Pengukuran FVC pada 6 detik pertama (FEV6) bisa menjadi pengukuran equivalen FVC yang lebih aman dan adequat pada pasien yang mengalami obstruksi berat. Penurunan FEV1 bersifat ireversibel dengan pemberian bronkodilator, walaupun umumnya terjadi perbaikan terjadi sampai 15%. Hal ini membedakan PPOK dengan asma dimana terjadi perbaikan yang besar pada saluran nafas setelah pemberian bronkodilator. Laju inspirasi secara relatif maksimal mungkin masih
terjaga
pada
penurunan FEV1 yang
berat. Dari sekian
ketidaksesuaian antara laju inspirasi dan ekspirasi menunjukkan bahwa penurunan pada laju ekspirasi paksa pada PPOK bukan karena penyempitan atau obliterasi saluran pernafasan yang menetap, namun oleh karena penurunan elastik rekoil dari alveoli dan obstruksi saluran nafas distal (6.7.8.9).
6
Aliran udara selama ekshalasi paksa adalah hasil dari keseimbanganan dari rekoil elastis paru yang meningkatkan aliran dan tahanan saluran nafas yang membatasi aliran udara (7,8,9). Penurunan pada laju yang bersama-sama dengan penurunan volume paru, telah ditampilkan pada kurve volume-aliran ekpirasi. Pada tahap awal PPOK, ketidaknormalan pada aliran udara dapat dibuktikan hanya pada volume paru-paru pada atau dibawah kapasitas residu fungsional, yang tampak sebagai “ scooped out ” pada bagian bawah dari lengan yang menurun dari kurve volume aliran. Pada PPOK yang lebih lanjut, seluruh kurve menunjukkan penurunan aliran ekspirasi (6).
Gambar 2. Kurve volume aliran inspirasi dan ekspirasi maksimum (MEFV, MIFV) (6)
Kontribusi relatif dari berkurangnya rekoil elastik paru dan peningkatan tahanan saluran nafas pada penurunan ekspirasi maksimal dapat diukur dari kurve tahanan aliran. Dengan penurunan rekoil elastis paru kurve memiliki lereng yang normal, namun diakhiri secara lebih awal. Sebaliknya dengan peningkatan tahanan saluran nafas lereng kurve menjadi kurang curam, menggambarkan kebutuhan untuk meningkatkan tahanan pada semua tingkat saluran nafas. Pada tatanan teori, adalah
7
mungkin untuk membedakan antara kelainan empisema (penurunan rekoil elastik paru) dan kelainan saluran nafas kecil sebagai penyebab dari menurunnya FEV1 (6,11). Situasinya akan lebih kompleks, karena kebanyakan orang dengan PPOK memiliki dua kelainan baik empisema maupun kelainan saluran nafas kecil. Rekoil elastik paru dan tahanan saluran nafas tidaklah penting untuk dipisahkan. Rekoil elastik berpengaruh terhadap kekakuan saluran nafas kecil. Ketika rekoil elastis menurun, kurve menjadi bergeser kekanan karena adanya peningkatan daya kolaps saluran nafas. Karena data tekanan aliran susah diperoleh dan diinterpretasi dan sedikit membantu dalam managemen pasien, penyortiran pada penurunan recoil elastis, kolapsibilitas saluran nafas, dan peningkatan tahanan saluran nafas sebagai mekanisme obstruksi saluran nafas pada PPOK menjadi jarang dilakukan pada klinis praktis. Selain itu, data lainnya, seperti penurunan kapasitas dan CT scan dada mungkin memberikan estimasi dari tingkat keparahan empisema (6,11). Maldistribusi dari Ventilasi dan Ketidaksesuaian Ventilasi - Perfusi
Maldistribusi ventilasi dan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi adalah ciri khas pada PPOK dan mencerminkan keanekaragaman prose alami penyakit yang berakibat pada saluran nafas dan parenkim paru (6,8,10,11). Teknik Multiple Inert
Gas Elimination Technique (MIGET) yang dapat menghitung profil ventilasi-perfusi, telah mendemonstrasikan perbedaan pola ventilasi-perfusi diantara pasien dengan PPOK yang lanjut. Pada satu pola yang disebut PPOK tipe A ( “pink puffer”) terdapat ventilasi yang besar didistribusikan pada daerah ventilasi-perfusi yang tinggi. Pada pola kedua yang disebut PPOK tipe B (“ blue bloater ”) terdapat aliran darah pulmoner dalam jumlah yang besar yang diperfusikan pada daerah dengan ventilasi-perfusi yang rendah (6,8,10,11). Teknik MIGET juga dapat mengungkapkan bahwa peningkatan nilai ventilasi-perfusi sudah tampak pada stadium dini dari PPOK. Ketidaksebandingan ventilasi-perfusi menghitung secara mendasar semua penurunan Pao2 pada PPOK. Elevasi sedang dari oksigen yang dihirup efektif dalam mengobati hipoksemia karena PPOK. Jika hipoksemia sulit untuk dikoreksi maka beberapa masalah lain seperti emboli pulmonum, adanya shunt kiri-kanan intrakardiak atau intrapulmonal perlu untuk dipertimbangkan.
8
Hiperinflasi
Hiperinflasi, didefinisikan dalam berbagai keadaan (peningkatan kapasitas residual fungsional paru, peningkatan volume residu terhadap kapasitas total paru, atau penurunan kapasitas inspirasi terhadap kapasitas total paru) yang sering terjadi pada PPOK sedang atau berat (5,11). Hiperinflasi mungkin bermanfaat berdasarkan peranannya dalam menjaga aliran udara ekspirasi maksimal karena peningkatan volume paru, peningkatan tekanan recoil elastis, pelebaran lumen saluran nafas, dan penurunan tahanan saluran nafas. Namun demikian hiperinflasi memiliki efek samping pada mekanika dada, meningkatnya usaha pernafasan dan menimbulkan sesak.
Hiperinflasi
menyebabkan
diafragma
dalam
posisi
mendatar
dan
menyebabkan berbagai efek merugikan. Pertama oleh karena area penting antara diafragma dan dinding abdomen menghilang, tekanan positif abdomen selama inspirasi tidak ditransmisikan secara efektif ke dinding dada, merintangi pergerakan kerangka tulang rusuk dan menggagalkan inspirasi. Kedua, karena serat otot diafragma yang mengalami pendataran lebih pendek dibandingkan mereka dengan lengkung diafragma yang normal, sehingga serat otot tersebut memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menimbulkan tekanan inspirasi. Ketiga, diafragma yang mengalami
pendataran harus membuat
tegangan yang lebih
besar
dalam
menimbulkan tekanan transpulmonal yang dibutuhkan dalam menimbulakan pernafasan tidal. Pada umumnya hiperinflasi terjadi lebih berat pada saat bekerja karena obstruksi saluran nafas membatasi pengosongan paru selama pernafasan cepat. Penambahan hiperinflasi ini, disebut hiperinflasi dinamik, menambah beban otot inspirasi dan menurunkan lebih jauh keuntungan mekaniknya. Efeknya adalah meningkatnya usaha pernafasan, mengurangi kapasitas bekerja, dan menigkatkan keluhan sesak pada penderita. Bersamaan dengan hiperinflasi, kapasitas inspirasi biasanya menurun pada PPOK. Menurunnya kapasitas inspirasi merupakan prognostik yang bermakna yang berdiri sendiri diluar FEV1. Penelitian pada subyek dengan derajat PPOK sedang sampai berat, angka survival menurun secara nyata pada 286 individu dengan IC/TLC kurang dari 25 persen dibandingkan dengan 403 individu yang IC/TLC lebih besar dari 25 persen, walaupun kedua kelompok tersebut sudah sebanding berdasarkan persen prediksi FEV (6).
9
Etiologi Eksaserbasi PPOK
Eksaserbasi sebagian besar disebabkan oleh karena infeksi ( baik bakteri maupun virus), polusi udara, atau refluks gastrointestinal ( atau aspirasi), namun juga pada sepertiga kasus penyebab eksaserbasi tidak dapat diketahui. Dulu infeksi bakteri trakeobronkial diperkirakan menjadi penyebab utama eksaserbasi PPOK, dengan bakteri yang sering diisolasi berupa Haemophilus influenzae, Streptococcus
pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis (13). Pada studi retrospektif terbaru di Belanda menemukan bahwa 50% pasien dengan eksaserbasi PPOK memiliki kultur sputum yang positif untuk bakteri seperti
H.influenzae, Streptococcus , dan
Pseudomonas (14). Pasien dengan FEV1 yang lebih rendah memiliki insiden infeksi bakteri yang lebih tinggi. Para peneliti tersebut tidak menemukan hubungan antara akteri yang diisolasi dengan ciri klinis dari kasus. Adanya sputum yang hijau atau purulen mengidentifikasikan adanya kandungan bakteri yang tinggi dengan sensitifitas yang cukup baik (99%) dan spesifitas yang cukup baik pula (77%). Eksaserbasi yang berat ( seperti yang memerlukan ventilasi mekanik) sepertinya lebih sering disebabkan oleh infeksi gram negative, khususnya oleh Pseudomonas (15). Gagal nafas pada PPOK
Gagal nafas dapat timbul dari kelainan pada berbagai komponen yang menjalankan sistem respirasi, seperti sistem saraf pusat, sistem saraf perifir, otot pernafasan dan dinding dada, saluran nafas, atau alveoli. Kerusakan pada empat komponen yang pertama yang merupakan pompa respirasi dapat menyebabkan hiperkapnia dan hipoksemia secara bersama-sama, dan kelainan pada alveoli lebih condong menghasilkan hipoksemia (5,6,8,10). Pada PPOK seperti halnya penyakit pernafasan lainnya, gagal nafas bisa terjadi secara akut, kronis atau kondisi akut pada kondisi kronis. Pada keadaan ketidaksamaan dari proses ventilasi / perfusi, hiperinflasi paru adalah fakor utama pada patogenesis gagal nafas hiperkapnik, yang dihubungkan dengan pendataran otot diafragma dan penurunan efisiensi otot dan peningkatan penggunaan energi. Pada keadaan kronis, pasien dengan PPOK sering menunjukkan pernafasan yang c epat dan dangkal. Ini kemungkinan sebagai kunci mekanisme perlindungan dalam mencegah kelelahan otot-otot pernafasan. Pada PPOK yang berat dengan cadangan fungsi yang sangat terbatas, gagal nafas akut pada kondisi kronis bisa memperburuk keadaan gagal nafas kronis yang sudah ada sebelumnya. Hal ini dapat terjadi ketika
10
kemunduran akut dari apapun kelainan awal, sering meningkatkan sumbatan pada saluran nafas selama proses eksaserbasi akut, yang merupakan beban tambahan pada system respirasi. Kelainan mekanik yan sudah ada sebelumnya lebih jauh diperburuk oleh proses pengosongan paru yang tidak komplit, menyebabkan terperangkapnya udara didalam ruang-ruang paru. Hal ini meningkatkan tekanan saluran nafas pada akhir respirasi positif intrinsik (PEEPi) yang memperburuk lebih jauh disfungsi otot pernafasan dan meningkatkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (6,10). Faktor-faktor prognostik terjadinya gagal nafas pada PPOK
Adanya hiperkapnia selama episode akut dari gagal nafas berhubungan dengan tingginya angka kematian baik pada awal timbulnya maupun selama pengamatan selama 12 bulan. Hal ini secara khusus berkaitan dengan derajat penyakit, yang ditentukan oleh adanya kebutuhan akan ventilasi bantu. Keadaan ini memiliki hubungan yang erat dengan tendensi memiliki tekanan CO2 arteri > 6.7 kPa ( > 50 mmHg) pada saat masuk ke ruang rawat intensif (10). Adanya gagal nafas pada saat masuk rumah sakit bukanlah satu satunya variable prognostik yang penting. Pada studi retrospektif dari rentang pegukuran klinis dan fisiologis dengan kuat menunjukkan bahwa variable nonresporatorik tercatat dibanyak kejadian kematian setelah perawatan ICU. Seperti kondisi komorbid yang sering ditemukan pada pasien dengan PPOK ketika berbagai keadaan patologis timbul bersama-sama. Namun demikian, terdapat data yang cukup bagus yang dikumpulkan baru baru ini di Inggris yang menyatakan bahwa adanya gagal nafas pada eksaserbasi PPOK berhubungan erat dengan buruknya hasil akhir perawatan betapapun pasien dikelola. 15% pasien dengan pH darah arteri > 7.30 meninggal pada satu pengamatan klinis ketika dikelola tanpa ventilasi bantu, dimana angka ini akan meningkat menjadi 27% pada mereka dengan pH < 7.30. walaupun perubahan ini menurun pada grup pasien yang diberikan metode ventilasi non invasif tekanan positif, akibat relatif yang sama dari asidosis tetap ada. Pada penelitian penelitian yang mencari faktor yang berhubungan dengan hasil akhir perawatan menunjukkan bahwa walaupun fungsi awal paru menjadi faktor yang menentukan, status fungsional pasien secara menyeluruh menjadi prediktor yang bermakna dari angka kematian dalam 1 tahun, dan hal ini sejalan dengan penelitian terakhir yang menunjukkan peningkatan bermakna pada angka kematian pada setiap penurunan poin dalam status kesehatan pasien. Banyak pasien yang menunjukan gagal nafas
11
secara berturutan akan kembali menjalani rawat inap, kadangkala dalam interval waktu yang sangat sering, dan saat ini, hanya satu studi yang meneliti konsistensi gas darah areri pada pasien pasien seperti tersebut (10,16).
Pada penelitian tersebut
menemukan bahwa walaupun rawat inap pasien dengan tipe I (hipoksemia tanpa hiperkapnia) konsisten secara luar biasa, individu yang menunjukkan hiperkapnia . Prognosis pasien tersebut tidak berbeda secara signifikan dengan pasien yang menunjukkan hipoksemia,
dimana mereka yang mengalami hipoksemia dan
hiperkapnia secara konsisten pada setiap rawat inap menunjukkan survival jangka panjang yang paling buruk, walaupun dengan terapi medis yang sesuai. Pada keadaan eksaserbasi akut PPOK, pH adalah penanda terbaik dari tingkat severitas
dan
mencerminkan
penurunan
akut
pada
hipoventilasi
alveolar
dibandingkan dengan keadaan kronis stabil (17). Tanpa memperhatikan kadar kronis dari tekanan CO2 arteri (PaCO2), peningkatan akut pPaCO2 berkaitan dengan memburuknya hipoventilasi alveolar berhubungan dengan turunnya kadar pH. Warren et al melakukan review retrospekstif terhadap 157 rawat inap dengan PPOK dan menemukan bahwa kematian berhubungan dengan peningkatan umur dan rendahnya pH, pH dibaway 7.26 berhubungan dengan buruknya prognosis. 18 Pada tahu 1992 grup peneliti ini juga melaporkan sebuah studi prospektif terhadap 139 episode gagal nafas pada 95 pasien dengan PPOK. Kematian terjadi pada 10 dari 39 episode dengan peningkatan ion (H) diatas 55 mmol/l ( pH < 7.26). Hipoksia dan hiperkapnia tidak berbeda antara yang meninggal atau bertahan hidup. Penatalaksanaan gagal nafas selama aksaserbasi akut PPOK
Tujuan penatalaksanaan gagal nafas pada eksaserbasi akut PPOK adalah untuk mencegah hipoksia jaringan dan mengendalikan asidosis dan hiperkapnia sementara pengobatan dengan medikamentosa bekerja untuk memaksimalkan fungsi paru dan menghilangkan faktor presipitasi dari eksaserbasi. Ada empat strategi yang perlu diperhatikan, diantaranya : •
Terapi oksigen
•
Stimulant respirasi
•
Ventilasi non invsif
•
Ventilasi mekanik invasif.
12
Keempat hal diatas dipertimbangkan sebagi tambahan untuk mengoptimalisasikan pengobatan medikamentosa yang biasanya terdiri dari bronkodilator, steroid sistemik, dan antibiotik. Kegunaannya akan tergantung pada ketersediaan alat tersebut, dan juga pada derajat gagal nafas (12).
Terapi Oksigen
Sejak tahun 1960 sudah diketahui bahwa terapi oksigen yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik dan CO narkosa, yang akhirnya membutuhkan ventilasi mekanik.19 Hal yang sama, ada kekawatiran bahwa membiarkan
pasien
membahayakan
nyawa
mengalami pasien
hipoksia tersebut.
yang
berkelanjutan
Mekanisme
bagaimana
potensial oksigen
bertanggungjawab pada perburukan pada gas darah arteri masih belum dipahami sepenuhnya. Namun demikian mekanisme utama tampaknya karena peningkatan pada Vd/Vt dengan komponen kecil berkaitan dengan penurunan pada rangsangan respirasi.20 Pada pedoman BTS saat ini merekomendasikan bahwa paO sebaiknya dipertahankan pad kadar > 6.6 kPa tanpa terjadi penurunan pH dibawah 7.26, atau > 7.5 kPa jika pH masih baik. Terapi oksigen terkontrol direkomendasikan yaitu dengan sungkup venturi persentase tetap atau nasal kanul aliran rendah. Yang terakhir menggunakan Fio yang lebih beragam. Namun demikian terdapat data yang kurang bagus kualitasnya pada proporsi pasien dengan resiko karena penelitian seperti ini sangat sulit dilakukan. Ada beberapa data epidemiologis yang menyarankan bahwa semua pasien yang mengalami hiperkapnia memerlukan terapi oksigen dan jumlahnya berkisar 47% dari pasin PPOK yang dirawat inap. Juga terdapat beberapa bukti bahwa dengan mempertahankan Spo antara 85%-92% ( equivalent dengan 7.3 – 10 kPa) meminimalkan resiko asidosis dan juga PaO lebih dari 10 kPa berhubungan dengan asidosis pada 30-50% pasien PPOK dengan hiperkapnia.21 Jubran dan Tobin
22
meneliti pasien pasien dengan ventilasi mekanik
dan menemukan bahwa dengan mempertahankan target SpO 92% memberikan oksigenasi yang memuaskan, namun pengukuran oksimetri tersebut kurang sesuai pada pasien berkulit hitam. Mengacu pada kurve desiosiasi oksigen maka pasien dengan PPOK biasanya teraklimatisasi pada tingkat hipoksia, dengan memberikan oksigen untuk mempertahankan SpO sekitar 85-92% kan lebih aman dan lebih sesuai daripada memberikan konsentrasi oksigen berlebih. Pada sebuah penelitian yang
13
dilakukan oleh Moloney et al menemukan bahwa hanya 3 dari 24 pasien mengalami retensi CO yang diberikan terapi oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen 91-92%. Namun demikian Agusti et al menemukan bahwa dengan memberikan oksigen pada kadar terendah untuk mencapai saturasi oksigen > 90% berhubungan dengan periode bermakna selama 24 jam ketika saturasi oksigen yang ingin dicapai < 90%, namun lebih cepat dengan menggunakan sungkup venturi dibanding nasal kanul ( 5.4 Vs 3.7 jam, p<0.05). tidak dijumpai periode perburukan hiperkapnia atau asidosis pada pasien yang ikut penelitian ini. Tidak ada data definitive untuk memberikan informasi yang benar tentang oksigen suplementasi selama eksaserbasi PPOK, namun titrasi secara individual dengan monitor secara teratur pada oksimetri dan gas darah arteri harus dilakukan. Stimulasi Respiratori
Doxapram adalah stimulan respiratori
yang paling luas digunakan.
Keefektifannya telah dibahas dalam ulasan sistematis Cochrane, simpulan dari ulasan tersebut bahwa doxapram adalah stimulan respirasi yang paling efektif namun hanya memberikan perbaikan minor jangka pendek dari gas darah. Salah satu studi ramdom terkontrol telah membandingkan keefektifan doxapram dengan NIV. Tujubelas pasien diacak untuk mendapatkan NIV (n=9) atau terapi konvensional ditambah doxapram (n=8). Pada kelompok yang diberikan Doxapram perbaikan PaO terliha pada 1 jam dibanding nilai awal, namun setelah 4 jam tidak ada perbedaan yang terlihat baik pada PaO maupun PaCO. Pada kelompok NIV PaO dan PaCO mengalami perbaikan dan dipertahankan. Terdapat trend yang tidak bermakna dalam perbaikan survival pada kelompok NIV dengan 3 dari 8 meninggal dengan perawatan konvensional dan 9 dari 9 bertahan hidup dengan NIV. Seiring meningkatnya penggunaan NIV, doxapram sebaiknya diberikan pada pasien yang sedang menunggu dimulainya NIV, saat NIV tidak ada atau ditoleransi kurang baik, atau untuk pasien yang mengalami penurunan rangsangan pernafasan, misalnya pada penggunaan sedatif dan obat-obat anestesi (8,12). Bronkodilator
Bronkodilator kerja cepat seperti β-agonist, anticholinergis, atau kombinasi keduanya adalah merupakan komponen penting pada terapi eksaserbasi PPOK. Pada
14
studi di Eropa pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi mendapatkan β-agonist (78%), antikolinergis (56%) dan methylxantines (31%). Pada pemeriksaan 1.400 pasien yang dirawat di 38 rumah sakit di Inggris, Robert et al menemukan bahwa 91% pasien PPOK eksaserbasi akut mendapatkan nebuliser β-agonist, 77% mendapatkan kombinasi β-agonist dan antikolinergis, dan hanya 2% mendapatkan hanya antikolinergis (15). Diantara pasien PPOK ( berumur > 55 tahun) yang dirawat di 29 unit emergensi di 15 negara bagian Amerika Serikat dan 3 di provensi Kanada, 91% mendapatkan β-agonist kerja cepat inhalasi, 77% mendapatkan antikolinergis inhalasi, dan hanya 0.3% mendapatkan methylxantines. Pada pembahasan sistematik pada 14 uji terkontrol acak, Bach et al menemukan perbedaan yang tidak signifikan antara β-agonist dan antikolinergis (23). Terapi kombinasi dapat dilakukan dengan mudah dan aman, namun tidak ada data yang meyakinkan yang menunjukkan superioritas obat obat tersebut secara berdiri sendiri. Theophylline memiliki beberapa efek yang baik, termasuk bronkodilatasi, stimulasi respirasi, meningkatkan fungsi otot respirasi, dan aksi sebagai antiinflamasi. Namun demikian, sebuah metaanalisis pada 4 uji terkontrol acak (n=169 pasien) menemukan bahwa theophylline tidak menguntungkan pada nilai spirometri, variable klinis, atau skor gejala, dan theophylline berhubungan dengan kejadian mual, muntah, tangan gemetar, palpitasi, dan aritmia (24). Berdasarkan analisa tersebut, theophylline sebaiknya tidak diberikan secara rutin untuk kasus eksaserbasi PPOK. Salah satu kekawatiran pada penggunaan β-agonist untuk eksaserbasi PPOK adalah efek samping pada jantung. β-agonist mengakibatkan takikardi, walaupun kepentingan klinis dari efek samping tersebut belum jelas. Studi pada 14 pasien yang mengalami PPOK dan penyakit jantung iskemik, membandingkan β-agonist dengan antikolinergis inhalasi dan menemukan tidak ada perbedaan diantara keduanya pada segi denyut jantung atau kontraksi ventrikel premature. 70. analisis terbaru pada 7 uji random terkontrol ( n berjumlah 3000 pasien ) membandingkan β-agonist kerja panjang ( salmeterol) dengan plasebo dan menemukan tidak adanya peningkatan efek samping kardiovaskuler diantara pasien PPOK stabil. 15 Risomer dari albuterol (levabuterol) 1.25 mg tidak tampak dapat menyebabkan takikardi, tremor tangan, atau hipokalemia
dibandingkan dengan racemic
albuterol
2.5
perbandingan dosis terapiutik pada pasien PPOK stabil atau asma (15).
mg dalam
15
Kortikosteroid
Inflamasi saluran nafas adalah merupakan komponen dari patofisiologi eksaserbasi PPOK. Pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK memiliki peningkatan kadar neutrofil, TNFα, dan interleukin 8 (612,15,25). Steroid sistemik diyakini dapat menurunkan komponen inflamasi tersebut dan beberapa keuntungan lainnya. Misalnya, 90 menit setelah infuse metylprednisolone (0.8 mg/kg) tahanan inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP1) intrinsik secara signifikan menurun pada pasien PPOK dengan ventilasi. Pemberian sistemik steroid dalam waktu yang lebih singkat mungkin kurang efektif, pada sebuah studi
acak prosfektif
menemukan
bahwa pemberian
methylprednisolone selama 10 hari memberikan perbaikan yang lebih besar dalam hal keluhan sesak dan fungsi paru dibandingkan pemberian selama 3 hari. pada studi terbaru pada pasien yang dirawat dan keluar dari unit gawat darurat menemukan bahwa prodnison 40 mg/hari selama 10 hari cukup memberikan hasil yang bagus (15). Untuk mengetahui efek dari sediaan steroid yang berbeda beda, Li et al melakukan pengacakan terhadap 142 pasien eksaserbasi PPOK untuk mendapatkan methylprednisolone atau deksamethason (26). Dosis mulai diturunkan setelah 7-14 hari, diikuti oleh pemberian
2-3 minggu prednisolon. Semua pasien diberikan
oksigen, antibiotik, dan bronkodilator. Manfaat maksimum terbesar terlihat pada penggunaan metilprednisolon degan peningkatan FEV1 dari 47% ke 68%.
Ventilasi Non Invasif (NIV)
Sekitar setengah dari pasien yang mengalami gagal nafas hiperkapnik ( eksaserbasi PPOK) berespon dengan baik terhadap pengobatan medis, setengah dari mereka mengalami perbaikan dalam 24 jam dan 92% dalam 72 jam. Oleh karena itu setengah dari pasien membutuhkan salah satu tipe bantuan ventilasi. NIV dapat digunakan di ICU, di ruang perawatan biasa, atau di ruang gawat darurat. Berbagai penelitian secara kontrol randomisasi menemukan kefektifan NIV ditempat-tempat tersebut, dengan terbanyak pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut, mengalami peningkatan laju pernafasan, dan pH < 7.35 dengan PaCO2 > 6 kPa (6,10,15).
16
Diantara teknik ventilasi non invasif, ventilasi tekanan positif non invasif (NPPV) melalui nasal atau sungkup wajah atau helem sementara menjadi pilihan dalam pengobatan gagal nafas hiperkapnik pada eksaserbasi PPOK. Namun demikian, vevtilasi tekanan negatif ( dengan paru-paru besi) tampaknya juga efektif dalam rangka menghindari intubasi endotrakeal dan menurunkan resiko kematian 15. Lebih jauh, bantuan dengan teknik continuous positive airway pressure (CPAP) yang sebelumnya bukan merupakan teknik ventilasi telah terbukti efektif dan berguna pada gagal nafas akut pada pasien dengan PPOK (dial). Ketika digunakan dengan tepat, NPPV menghasilkan keuntungan fisiologis yang sama ( memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan WOB) seperti halnya teknik ventilasi invasif. NPPV telah digunakan secara meningkat untuk eksaserbasi PPOK dan mungkin diindikasikan
pada pasien eksaserbasi PPOK. NPPV berhubungan dengan
menurunnya angka kematian, angka intubasi yang rendah, lama rawat yang lebih pendek, dan perbaikan pH, pCO, dan laju respirasi. Ventilasi Invasif
Ventilasi mekanik invasif mengacu pada proses penghantaran bantuan ventilasi sebagian maupun penuh melalui pipa endotrakeal atau pipa trakeostomi. Ventilasi memiliki dua sasaran terapi, yaitu memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan usaha pernafasan. Aplikasi tekanan positif pada sistem pernafasan dapat memperbaiki kesesuaian ventilasi - perpusi dan menurunkan intrapulmonary
shunting , yang keduanya dapat mengobati hipoksia dan mengurangi hiperkapnia. Intubasi harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami : kegagalan dengan NPPV ( perburukan nilai gas darah arteri dan atau pH dalam 1-2 jam, rendahnya perbaikan gas darah arteri dan atau pH setelah 4 jam), asidosis berat (pH< 7.25) dan hiperkapnia (PaCO2 > 8 kPa atau > 60 mmHg), hipiksemia yang mengancam nyawa ( tekanan oksigen arteri / fraksi oksigen inspirasi < 26.6 kPa atau < 200 mmHg), takipneau ( pernafasan > 35 x/menit), dengan hemodinamik yang tidak stabil, mengalami henti kardiopulmoner, atau bukan sebagai kandidat NPPV. Pada sebuah studi retrospektif , 54% dari 138 pasien dengan gagal nafas hiperkapnik membutuhkan intubasi, dengan rata-rata dalam 8 jam setelah timbulnya gejala (15,28).
17
Ringkasan
Gagal nafas masih merupakan komplikasi penting dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan perawatan dengan rawat inap yang berkaitan dengan eksaserbasi akut menjadi penanda prognostik yang buruk. Namun demikian, kondisi komorbid lainnya, khususnya penyakit kardiovaskuler, menjadi prediktor mortalitas yang kuat. Pemahaman fisiologis dasar gagal nafas pada PPOK saat ini sudah menjadi lebih jelas. Ketidak seimbangan yang signifikan antara ventilasi dan perfusi dengan peningkatan relatif dari
ruang rugi mencetuskan hiperkapnia dan
meningkatkan derajat asidosis. Hal ini sebagian besar sebagai hasil dari pergeseran pola pernafasan yang cepat dan dangkal dan peningkatan rasio ruang rugi / volume tidal pada setiap pernafasan. Pola pernafasan ini merupakan hasil dari respon fisiologis adaptif yang dapat mencegah kelelahan otot pernafasan dan mengurangi keluhan sesak. Pengobatan ditujukan langsung untuk menurunkan beban mekanik disetiap pernafasan, mengkoreksi setiap faktor presipitasi seperi infeksi bakteri, dan memelihara proses pertukaran gas. Baik bronkodilator dan steroid oral dapat memperbaiki hasil spirometri pada eksaserbasi PPOK harus diberikan secara rutin pada pasien dengan gagal nafas. Oksigen kontrol masih belum selalu diberikan secara wajar dan pemberian oksigen dosis tinggi dapat memperburuk asidosis melalui perburukan ketidakseimbangan ventilasi/perfusi dan menginduksi derajat hipoventilasi. Sokongan alat ventilator dengan menggunakan ventilasi noninvasive telah menjadi pendekatan yang revolusioner pada penanganan pasien PPOK. Gagal nafas akut yang berkaitan dengan PPOK masih merupakan kondisi medis emergensi yang dapat dikelola dengan efektif. Perhatian lebih harus terfokus pada pencegahan keadaan tersebut dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kekambuhan PPOK.
18
Daftar Pustaka
1. Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, et al. Global burden of COPD: systematic review and meta-analysis . Eur Respir J ,2006, 28:523–32. 2. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, et al.. International variation in the prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study.
Lancet , 2007.370:741–50. 3. Ai-Ping C, Lee KH, Lim TK,. In-hospital and 5-year mortality of patients treated in the ICU for acute exacerbation of COPD: a retrospective study. Chest , 2005. 128:518–24. 4. Seemungal T, Harper-Owen R, Bhowmik A, et al. Respiratory viruses, symptoms, and inflammatory markers in acute exacerbations and stable chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 1618– 1623 5. Michael A. Gripi, Respiratory failure : An Overview. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders Copyright © 2008, 1998, 1988, 1980 by The McGrawHill Companies, Inc. All rights reserved. Manufactured in the United States of America. Fourth Edition Volumes 1 & 2 6. Robert M. Senior et al Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Epidemiology,
Pathophysiology, and
Pathogenesis Fishman’s
Pulmonary
Diseases and Disorders Copyright © 2008, 1998, 1988, 1980 by The McGrawHill Companies, Inc. All rights reserved. Manufactured in the United States of America. Fourth Edition Volumes 1 & 2 7. B.R. Celli et al Standards for the diagnosis and treatment of patients with COPD: a summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respir J 2004; 23: 932– 946 8. Stephan Budweiser et al, Treatment of respiratory failure in COPD. International Journal of COPD 2008:3(4) 605–618 9. Douglas C. McCrory et al Management of Acute Exacerbations of COPD : A. Summary and Appraisal of Published Evidence. Chest 2001;119;1190-1209 10. P.M.A. Calverley. Respiratory failure in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003; 22: Suppl. 47, 26s–30s 11. S. Nava et al. Respiratory Emergency. European Respiratory Monograph, Volume 11. 2006.
19
12. P K Plant et al. Chronic obstructive pulmonary disease : Management of ventilatory failure in COPD, Thorax 2003;58:537–542. 13. Monso E et al. EFRAM Investigators. Bacterial infection in exacerbated COPD
with
changes
in
sputum
characteristics.
Epidemiol
Infect
2003;131(1):799–804. 14. Groenewegen KH et al. Bacterial infections in patients requiring admission for an acute exacerbation of COPD: a 1-year prospective study. Respir Med 2003;97(7):770–777. 15. Greg L Schumaker MD. Managing Acute Respiratory Failure During Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Respiratory Care. July 2004 Vol 49 NO 7. 16. Costello
R, Deegan P, Fitzpatrick M, McNicholas WT. Reversible hypercapnia in chronic obstructive pulmonary disease: a distinct pattern of respiratory failure with a favorable prognosis. Am J Med 1997; 102: 239–244. 17. Campbell EJ. The management of acute respiratory failure in chronic bronchitis and emphysema. The J Burns Amberson lecture. Am Rev Respir Dis 1967;96:626–39. 18. Warren PM et al. Respiratory failure revisited: acute exacerbation of chronic bronchitis between 1961–68 and1970–76. Lancet 1980;i:467–70. 19. Plant PK, Owen J, Elliott MW. One year period prevalance study of respiratory acidosis in acute exacerbation of COPD: implications for the provision of non-invasive ventilation and oxygen administration. Thorax 2000;55:550–4 20. Dunn WF, Nelson SB, Hubmayr RD. Oxygen-induced hypercarbia in obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis 1991;144:526–30. 21. Barr J, MacNee W. Acute on chronic respiratory failure: deleterious effects of high flow oxygen therapy. Thorax 1999;54(Suppl 3):A56. 22. Jubran A, Tobin MJ. Reliability of pulse oximetry in titrating supplemental oxygen therapy in ventilator-dependent patients. Chest 1990;97:1420–5. 23. Bach PB et al; American College of Physicians-American Society of Internal Medicine; American College of Chest Physicians. Management of acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: a summary and appraisal of published evidence. Ann Intern Med 2001;134(7):600–620.
20
24. Barr RG, Rowe BH, Camargo CA Jr. Methylxanthines for exacerbations of chronic
obstructive
pulmonary
disease:
meta-analysis
of
randomised
trials.BMJ2003;327(7416):643. Erratum in:BMJ2003; 327(7420):919. 25. Aaron SD et al Granulocyte inflammatory markers and airway infection during acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001;163(2):349–355. 26. Li H et al A step-wise application of methylprednisolone versus dexamethasone in the treatment of acute exacerbations of COPD. Respirology 2003;8(2):199–204. 27. Maltais
F
et
al.
Comparison
of
nebulized
budesonide
and
oral
prednisolonewith placebo in the treatment of acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: a randomized controlled trial. Am J Respir Crit Care Med 2002;165(5):698–703 28. Soo Hoo GW, Hakimian N, Santiago SM. Hypercapnic respiratory failure in COPD patients: response to therapy. Chest 2000;117(1): 169–177.