TEPUNG DARAH Hasil ikutan ternak merupakan limbah yang ketersediaannya sangat berlimpah dan perlu dimanfaatkan sehingga menjadi ramah lingkungan. Tepung darah merupakan hasil ikutan ternak yang memiliki potensi untuk dijadikan bahan pakan sumber protein penyusun ransum ternak karena memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sekitar 80-85%. Tepung Darah Darah merupakan hasil ikutan ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein bagi ternak. Darah dapat dimanfaatkan dalam bahan pakan ternak dalam bentuk tepung darah. Menurut Padmono (2005), tepung darah merupakan bahan pakan ternak yang berasal dari da ri darah segar (sapi, kerbau, kambing dan domba) yang diperoleh d iperoleh dari Rumah Ruma h Potong Hewan (RPH). Tepung darah telah dilaporkan mengandung protein sekitar 80-85%, variasi dari kandungan tepung darah tersebut disebabkan perbedaan dalam metode pembuatan tepung darah (McDonald et al., 1998). Cara Memperoleh dan pengolahannya Ketersedian darah sebagai hasil ikutan ternak sangat melimpah. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, jumlah pemotongan sapi tahun 2013 di Sumatera Barat mencapai 33.436 ekor dimana setiap pemotongan ternak, darah yang dihasilkan antara 7-9% dari berat bad annya (Santoso, 1989). Jika diasumsikan berat ratarata sapi yang dipotong 200 kg, maka darah yang dihasilkan pertahunnya sebesar 601.848 kg dimana rasio pembuatan tepung darah berkisar 5:1 yaitu dimana 5 kg darah segar dapat diperoleh 1 kg tepung darah (Anuragaja, 2012). Tepung darah yang dapat dihasilkan pertahunnya di Sumatera Barat sekitar 120.370 kg. Berbagai pengolahan telah dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan tepung darah dalam ransum ternak yaitu dengan cara pengeringan, penyerapan/pencampuran dan fermentasi. a. Pengeringan Metode pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara pengeringan biasa atau melalui pemanasan (vat drying) dan menguapkan air dengan suhu rendah (freeze drying) (Setiowati et al., 2014). Pengolahan darah dengan cara pengeringan ini biasanya dilakukan dengan cara perebusan terlebih dahulu sebelum
darah dikeringkan. Perebusan darah ini dapat menyebabkan terdenaturasinya protein, hal ini dikarena perebusan memerlukan suhu yang tinggi yaitu sekitar 80-100oC. Denaturasi protein mengakibatkan turunnya kelarutan, peningkatan viskositas, hilangnya aktifitas biologi dan protein mudah diserang enzim proteolitik (Oktavia, 2007). b. Penyerapan ( pencampuran )\ Penyerapan (Pencampuran) Metode pengolahan dengan cara penyerapan (pencampuran) merupakan pengolahan yang dilakukan dengan mencampurkan darah dengan limbah pertanian atau dengan limbah hasil ikutan ternak. Sonaiya (1988) menyarankan menggunakan limbah tanaman atau limbah industri pertanian sebagai bahan absorban (penyerap) untuk tepung darah agar meningkatkan luas permukaan sehingga cepat dalam proses pengeringan. c. Fermentasi Pengolahan tepung darah dengan metode fermentasi biasanya dilakukan dengan menyerapkan atau mencampurkan darah dengan limbah pertanian atau limbah rumah potong hewan dengan menggunakan mikroorganisme sebagai inokulum dan difermentasi sesuai dengan keadaan optimal yang dapat meningkatkan aktivitas mikroba. Fermentasi membutuhkan biaya yang sedikit dan dapat meningkatkan bioavailability nutrisi dengan meningkatkan kecernaan nutrisi ternak (Esonu et al., 2011). Kandungan Tepung Darah Rasyaf (1994a) melaporkan tepung darah mengandung protein kasar sebesar 80%, lemak 1,6%, serat kasar 1%, tetapi miskin kalium dan phospor. Darah sangat sulit untuk dikeringkan dan merupakan medium yang bagus untuk pertumbuhan mikroba karena kandungan air yang tinggi (Donkoh et al., 1999). Kandungan air darah segar sekitar 80% dan kandungan air tepung darah sekitar 16,5% (Setiowati et al., 2014).
Tepung darah kaya akan asam amino lysine, arginine, methionine, cystine, dan leucine tetapi sangat miskin asam amino isoleusine dan mengandung glycine lebih rendah dibandingkan dengan tepung ikan (NRC, 1994). Odukwe dan Njoku (1987) menyatakan tepung darah kaya akan asam amino lysine. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya suplementasi 1,5% tepung darah lebih baik dibandingkan suplementasi campuran lysine dan methionine sintetik (Njoku, 1985). Kandungan Nutrisi Tepung Darah Komponen
Jumlah (%)
Bahan kering
90,33
Protein kasar
85,23
Lemak
1,49
Serat kasar
3,51
Abu
2,06
Jenis dan Persentase Asam-asam Amino dalam Tepung D arah Jenis Asam Amino
Persentase
Methionine
1.0 %
Cystine
1.4 %
Lysine
6.9 %
Tryptophane
1.0 %
Isoleucine
0.8 %
Histidine
3.05 %
Valine
5.2 %
Leucine
10.3 %
Arginine
2.35 %
Glycine
4.4 %
Hasil Penelitian Bahan Data hasil penelitian penam- bahan tepung darah terhadap konsumsi pakan, konversi pakan, pertambahan bobot badan dan umur pertama kali bertelur pada puyuh disajikan pada Tabel 1.
a. Pengaruh penambahan tepung darah terhadap konsumsi pakan
Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung darah dalam pakan memberikan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi pakan burung puyuh. Rataan tertinggi (579,30±10,39) terdapat pada perlakuan penambahan tepung d arah 12% (P3). Hal ini disebabkan karena persentase pemberian tepung darah paling banyak dibandingkan dengan pada perlakuan yang lain. Semakin banyak persentase tepung darah pada pakan maka semakin banyak pula kandungan asam amino tryptophan dan glysin yang dapat melengkapi kandungan asam amino dalam pakan, sehingga palatabilitas pakan dapat meningkat yang pada akhirnya dapat meningkatkan konsumsi pakan burung puyuh. (Djaya, 2010). Rasyaf (2003) mengemukakan bahwa dilihat dari kompo sisi dan kandungan nutrisinya, tepung darah memiliki kandungan protein yang sangat tinggi (80-85%). Protein ini akan membantu dalam produktifitas ternak. Hal ini sesuai dengan hasil analisis laboratorium bahwa kandungan protein tepung darah sebesar 84,86%.
b. Pengaruh penambahan tepung darah terhadap pertambahan bobot badan
Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung darah dalam pakan memberikan perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan burung puyuh. Hal ini disebabkan karena tepung darah memiliki kandungan protein kasar meskipun memiliki asam amino yang jumlahnya terbatasnya yaitu isoleusin, arginin dan metionin. Apabila terjadi defisiensi salah satu asam amino dalam pakan dapat menghambat proses kecernaan bahan ransum lainnya dan bisa menyebabkan penurunan pertumbuhan bobot badan dan produksi telur. Protein akan membantu produktifitas ternak, namun penggunaannya pada ternak perlu diperhatikan karena tepung darah mengandung asam amino terbatas yang dapat menurunkan pertumbuhan bobot badan. Penggunaan tepung darah dalam ransum yang terlalu tinggi akan menyebabkan zat nutrient didalam ransum tidak tercerna dengan baik. Rasyaf (2003) mengemukakan bahw a bobot badan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi. Dengan demikian perbedaan kandungan zat-zat makanan dan banyaknya volume pakan yang termakan seharusnya memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan pada unggas karena kandungan zat-zat pakan yang seimbang tersebut mutlak diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal. Anggorodi (1984), menambahkan bahwa kemampuan ternak untuk merubah zat-zat makanan yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan ternak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung darah sebesar 4% (P1) mempunyai tingkat pertambahan bobot badan yang tinggi (137,07±5,03 g/ekor) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (lihat Tabel 1). Semakin banyak persentase tepung darah pada pakan mengakibatkan laju pertumbuhan menurun. Kurniasih (2011) menyatakan bahwa tepung darah memiliki karakteristik yang cenderung lebih liat dan keras yang diduga mengandung serat-serat fibrinogen (komponen utama dari protein dalam gumpalan darah). Karakteristik tersebut menyebabkan kecernaan tepung darah sangat
rendah dan dapat menghambat proses kecernaan bahan pakan yang dikonsumsi oleh ternak dan berdampak pada penurunan produktivitas ternak. c. Pengaruh penambahan tepung darah terhadap konversi pakan
Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung darah dalam pakan memberikan perbedaan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konversi pakan burung puyuh. Hal ini disebabkan karena burung puyuh yang diberi perlakuan penambahan tepung darah pada pakannya lebih mampu memanfaatkan penggunaan ransum secara optimal dan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih besar. Listyowati dan Roospitasari (2000) menyatakan bahwa semakin kecil jumlah ransum yang digunakan untuk menghasilkan daging, maka semakin efisien pemberian ransum tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepu ng darah 4% (P1) mempunyai tingkat konversi paling efisien (3,88±0,16) dibandingkan perlakuan lainnya (lihat Tabel 1). Tingkat efisiensi konversi pakan hasil penelitian ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian Djaya (2010) yang menyatakan bahwa konversi pakan burung puyuh didapatkan hasil terbaik pada perlakuan penambahan tepung darah pada pakan sebanyak 5%, sedangkan penambahan tepung darah sebanyak 10% menghasilkan konversi pakan yang semakin besar dan tidak efisien. Kartasudjana dan Nayoan (1997) menyatakan bahwa nilai konversi pakan burung puyuh yang baik berkisar antara 2,70 – 2,80. Namun penelitian Abdel-Mageed et al (2009) menghasilkan konversi pakan burung puyuh sebesar 3,04. d. Pengaruh penambahan tepung darah terhadap umur pertama kali bertelur
Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung darah dalam pakan memberikan perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap umur pertama kali bertelur burung puyuh. Hal ini disebabkan karena kandungan protein tepung darah yang cukup tinggi hingga mencapai 84,86% mampu mempercepat umur petama kali bertelur burung puyuh namun tetap harus memperhatikan batasan penggunaannya didalam pakan. Pakan dengan kualitas yang baik akan mempengaruhi produktifitas burung puyuh termasuk juga umur
pertama kali bertelur. North and Bell (1990) berpendapat bahwa keadaan yang mempengaruhi lamanya dewasa kelamin dan mulai masuk pada tahapan bertelur ini disebabkan karena factor makanan. Produksi telur sangat ditentukan oleh konsumsi pakan, kandungan protein pakan dan factor hormonal dalam proses pembentukan telur (Hamdan, 2005). Rasyaf (2003) menyatakan bahwa produksi telur burung puyuh yang tinggi membutuhkan perkembangan organ- organ reproduksi yang baik, kenyamanan didalam dan di luar kandang, kesehatan, tata laksana rutin pemeliharaan, pakan dan pemberiannya. Wiradimadja dkk., (2006) menyatakan bahwa dewasa kelamin pada burung puyuh betina ditandai dengan pertama kali bertelur Hasil penelitian memperoleh data umur pertama kali bertelur burung puyuh pada 46-48 hari. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Yatno (2009) yang melaporkan bahwa puyuh mulai bertelur pada umur 46 hari. Sedangkan Varghese (2007) melaporkan bahwa puyuh mulai bertelur pada umur 35 hari pada kondisi yang baik. Cowell (1997) juga melaporkan bahwa puyuh akan mencapai dewasa kelamin pada umur 6 minggu dan akan segera mulai periode bertelur.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Bahan Pakan Nonhijauan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Anonim. 2012. Bahan Pakan Ternak . Hasanuddin. Makassar.
Fakultas
Peternakan. Universitas
Hartanto. 2008. Estimasi Konsumsi Bahan kering, Protein Kasar, Total Digestible Nutriens dan Sisa Pakan pada Sapi Peranakan Simmental. Agromedia 26 (2). Hal: 34-43. Heng-Chu, 2004. Heng-Chu, A. 2004. Utilization of Agricultural By- Product in Taiwan. http//www.agnet.org. Johan Wahyu Utomo, Edhy Sudjarwo dan Adelina Ari Hamiyanti. 2014. Pengaruh penambahan tepung darah pada pakan terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan serta umur pertama kali bertelur burung puyuh. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. Malang. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 41 – 48. K. Budaarsa, G. E. Stradivari, I.P.G.A.S Kencana Jaya, I.G. Mahardika A.W.Puger, I M. Suasta, dan I P. Ari Astawa. 2015. PEMANFAATAN AMPAS TAHU UNTUK MENGGANTI SEBAGIAN RANSUM KOMERSIAL TERNAK BABI. Fakultas Peternakan Universitas UdayanaDenpasar Bali Kartadiasastra. 1997. Ilmu Pangan. Penerjemah Adiono. Universitas Indonesia Press.
Hari
Purnomo
dan
Marjuki. 2008. UTILIZATION OF FISHMEAL IN THE CONCENTRATE AND ITS EFFECT ON DAILY WEIGHT GAIN OF FEMALE GOATS. Nutrisi dan pakan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. J. Ternak Tropika Vol. 9. No.2: 90-100. Prabowo, A., D. Samaih dan M. Rangkuti. 1993. Pemanfaatan ampas tahu sebagai makanan tambahan dalam usaha penggemukan domba potong . Proceeding Seminar 1983. Lembaga Kimia Nasional-LIPI,Bandung. R. F. Ramadhan, Y. Marlida, Mirzah, dan Wizna. 2015. Method of Cattle Blood Processing in Producing Powder for Poultry Feed Component: A Review. Jurnal Peternakan Indonesia Vol. 17. Rasjid, Sjamsuddin. 2012. The Great Ruminant: Nutrisi, Pakan, dan Manajemen Produksi. Penerbit: Brilian Internasional Surabaya. Nuraini dkkk,2009. Performa broiler dengan ransum mengandung campuran ampas sagu dan ampas tahu yang difermentasi dengan Neurospora crassa. Media Peternakan. 32 : 196 – 203.