75
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penanganan pasca panen secara garis besar dapat meningkatkan daya gunanya sehingga lebih bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mempertahankan kesegaran atau mengawetkannya dalam bentuk asli maupun olahan sehingga dapat tersedia sepanjang waktu sampai ke tangan konsumen dalam kondisi yang dikehendaki konsumen.
Umumnya produk hasil pertanian bersifat bulky, segar dan mudah rusak. Hasil pertanian setelah dipanen merupakan bahan biologis yang masih memiliki kandungan air yang tinggi. Oleh sebab itu, bahan tersebut masih akan melangsungkan proses kehidupan yang jika tidak dikendalikan akan dapat menurunkan mutunya sendiri. Kerusakan hasil pertanian dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Kerusakan tersebut mengakibatkan penurunan mutu baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang berupa susut berat karena rusak, memar, cacat dan lain-lain. Kelemahan lain yang juga mempengaruhi fluktuasi dan kontinuitasnya adalah hasil pertanian biasanya musiman.
Teknologi pascapanen dapat mengamankan hasil panen dan mengolah hasil menjadi komoditas bermutu, siap dikomsumsi, selain dapat pula meningkatkan daya guna hasil maupun limbah hasil olahan. Petani melaksanakan proses pengamanan produksi pada tahap paling rawan, yakni panen (pengumpulan, perontokan, pembersihan, dan pengangkutan), pengeringan (penjemuran, pembalikan dan pembersihan) dan pengolahan (penggilingan, pengemasan, penyimpanan, pengangkutan). Upaya ini lebih banyak ditujukan untuk menyelamatkan kehilangan hasil daripada mengurangi susut maupun meningkatkan mutu karena terbatasnya kemampuan petani, baik dalam penguasaan teknologi, penyediaan sarana, maupun permodalan.
Proses pascapanen merupakan rangkaian masalah yang luas dan kompleks, yang tidak hanya ditentukan oleh masalah teknis tetapi juga melibatkan sosial dan ekonomi. Teknologi pascapanen tepat guna mutlak diperlukan karena berkaitan dengan jumlah dan mutu komoditas. Masalah pendayagunaan hasil dan limbah hasil panen serta hasil olahan juga perlu mendapatkan perhatian untuk dapat menunjang peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Tujuan
Mengetahui kadar air dan beberapa produk paca panen yang diperdagangkan dalam kondisi kering
Membandingkan kadar air anatar produk segar dan produk kering dari spesies tanaman yang sama
Membandingkan daya simpan antara produk kering dan segar dari spesies tanaman yang sama.
TINJAUAN PUSTAKA
Pascapanen atau lepas panen atau purna panen adalah bahan hasil pertanian baik nabati maupun hewani yang merupakan hasil suatu pemetikan, penangkapan atau bentuk pengambilan lainnya.Teknologi Pascapanen yang telah ada belum dapat mengimbangi teknologi Pra-Panen, khususnya di tingkat Petani, sehingga banyak terjadi susut maupun penurunan mutu yang tidak diinginkan. Pengalaman masa lalu membuktikan bahwa banyak produksi pangan, seperti palawija dan hortikultura, hasil ternak dan komoditi perikanan, yang hilang muspra (sia-sia) sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap proses pasca panen. Perlu diketahui bahwa kehilangan produksi setelah panen adalah sebagai berikut :
Untuk beras, mencapai : 11% - 13%
Untuk buah-buahan dan sayuran : 20% - 40%
Untuk hasil-hasil peternakan : 15% - 20%
Untuk hasil perikanan lebih kurang : 20%
(Sulardjo, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penanganan pascapanen buahan dan sayuran adalah sebagai berikut:
1. Musim saat panen (hujan atau kemarau)
2. Waktu panen (pagi atau siang)
3. Cara penumpukan
4. Cara dan kemasan dalam pengangkutan
5. Cara pembersihan
6. Cara trimming
7. Cara dan bahan pengemasan
8. Cara dan suhu penyimpanan
(Aqil, 2013).
Buah atau hasil tanaman lainnya yang melangsungkan pemasakan pada lingkungan alami, dalam menghadapi fluktuasi (ketidaktetapan) temperatur lingkungan yang bagaimanapum. Kemungkinan untuk menerima pengaruh atau akibat ketidaktetapan tadi tidak boleh diabaikan, seperti pengaruh atau akibat yang dapat menimbulkan perlambatan atau sebaliknya percepatan reaksi-reaksi unsur. Dalam keadaan ini metabolisma akan berubah, namun demikian tekanan fisiologinya tidak menunjukan kejadiaan yang jelas, sehingga buah atau hasil tanaman tampaknya tetap melangsungkan pemasakan (juga senescence) secara wajar (Kartasapoetra, 1989).
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan pindah massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus di transfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida di mana cairan harus di transfer melalui struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi panas harus di sediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui berbagai macam tahanan agar supaya dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air yang bebas. Lama proses pengeringan tergantung pada bahan yang di keringkan dan cara pemanasan yang digunakan. Makin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara pengeringan makin cepat pula proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering, makin besar energi panas yang di bawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang di uapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara pengering makin tinggi maka makin cepat massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer (Halimatuddahliana, 2013).
Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air. Pada kelembaban udara tinggi, perbedaan tekanan uap air didalam dan diluar bahan kecil, sehingga pemindahan uap air dari dalam bahan keluar menjadi terhambat. Pada pengeringan dengan menggunakan alat umumnya terdiri dari tenaga penggerak dan kipas, unit pemanas (heater) serta alat-alat kontrol. Sebagai sumber tenaga untuk mengalirkan udara dapat digunakan blower. Sumber energi yang dapat digunakan pada unit pemanas adalah tungku, gas, minyak bumi, dan elemen pemanas listrik (Halimatuddahliana, 2013).
Pressure Bomb menukur potensi air dalam xylem, atau potongan buah dan sayuran. Potongan daun atau batang tanaman dimasukkan dalam ruang pengukuran yang kedap udara. Sampel tersebut dibungkus penutup yang fleksibel, dan bagian terpotong bebas kontak dengan udara disekitarnya. Air dalam jaringan dipaksa keluar dengan tekanan yang diberikan dalam ruang pengukuran. Tekanan untuk mengeluarkan air dari sampel tersebut biasanya berkisar 5-4 bar (Widjarnako, 2012).
METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat pengukur kadar air (moisture tester), kantong plastik, karet gelang dan kertas label. Bahan yang digunakan adalah biji jagung kering, biji jagung segar, gabah kering, gabah segar, kacang tanah kering dan kacang tanah segar.
Prosedur Kerja
Kegitan 1
Produk pasca panen segar dan kering disiapkan
Produk pasca panen tersebut diukur kadar airnya menggunkan moisture tester
Perbangingan kadar air dibuat dengan membuat grafik batang.
Kegiatan 2
Produk pasca panen kering dan segar disiapkan
Produk kering dan segar dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda
Produk tersebut disimpan dilaboratorium selama 5 hari
Dilakukan pengamatan selama 5 hari secara berturut-turut
Komponen yang diamati yaitu warna, bentuk, penampilan dan bau.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan
Tabel Kadar Air Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
No
Jenis Produk
Warna
Kadar Air
Jagung Kering
Orange
12,4 %
Jagung Basah
Kuning
27,0 %
Kacang Tanah Basah
Putih
28,5 %
Kacang Tanah Kering
Putih Kecoklatan
15 %
Gabah Kering
Kuning
15 %
Gabah Basah
Kuning Kecoklatan
22,8 %
Grafik Kadar Air Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
Tabel Pengamatan Daya Simpan Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
No
Tanggal
Indikator
Hasil pengamatan
Gabah
Jagung
Kacang tanah
Kering
Basah
Kering
Basah
Kering
Basah
1.
5/5/2015
W
K
KH
O
K
C
P
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
2.
6/5/2015
W
K
KH
O
K
C
P
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
3.
7/5/2015
W
K
C
O
K
PK
C
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
TS
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
4.
8/5/2015
W
K
CH
O
K
PK
C
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
5.
9/5/2015
W
K
CH
O
K
PK
C
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
Keterangan:
1. W (Warna) : K (Kuning), KH (Kuning Kehitaman), C (Coklat), CH (Coklat Kehitaman, O (Orange), P (Putih), PK (Putih Kehitaman)
2. B (Bentuk) : T (Tetap), K (Keriput)
3. P (Penampilan) : S (Segar), TS (Tidak Segar)
4. B (Bau) : B (Busuk), TBk (Tidak Busuk)
Pembahasan
Pengeringan merupakan usaha untuk menurunkan kadar air sampai batas tertentu sehingga reaksi biologis terhenti dan mikrorganisme serta serangga tidak bisa hidup di dalamnya (Suma, 2009). Menurut Mutiarawati (2007), pengeringan (drying) bertujuan mengurangi kadar air dari komoditas. Pada biji-bijian pengeringan dilakukan sampai kadar air tertentu agar dapat disimpan lama. Pada bawang merah pengeringan hanya dilakukan sampai kulit mengering. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan organisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau bakteri terhenti sama sekali. Dengan demikian bahan yang dikeringkan mempunyai waktu simpan lebih lama (Halimatuddahliana, 2013).
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami dan buatan. Pengeringan alami dapat dilakuakan dengan cara menjemur produk pasca panen dibawah sinar matahari. Efektifitas penjemuran sangat ditentukan oleh: 1) ketebalan lapisan pengeringan, 2) suhu dan lama pengeringan, 3) bulk density serta 4) frekuensi pembalikan yang dilakukan (Aqil, 2013). Menurut Marsaningtyas (2011), cara pengeringan secara buatan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:
Pengeringan kontinyu/berkesinambungan (continuous drying), dimana pemasukan dan pengeluaran bahan berjalan terus menerus.
Pengeringan tumpukan (batch drying), bahan masuk ke alat pengering sampai pengeluaran hasil kering, kemudian baru dimasukkan bahan berikutnya.
Cara pengeringan secara umum ke dalam empat golongan menurut suhu udara pengeringnya, yaitu :
Cara pengeringan dengan suhu sangat rendah (ultra low temperature drying system)
Cara pengeringan dengan suhu rendah (low temperature drying system)
Cara pengeringan dengan suhu tinggi (high temperature drying system)
Cara pengeringan dengan suhu sangat tinggi (ultra high temperature drying system).
Pengeringan secara mekanis adalah pengeringan dengan bantuan alat pengering yang dioperasikan secara mekanis. Beberapa alat pengering mekanis yang banyak dijumpai adalah: (a) alat pengering dengan sumber panas energi bahan bakar minyak (solar, minyak tanah); (b) alat pengering dengan sumber panas energi bahan bakar limbah pertanian; (c) alat pengering dengan sumber panas energi sinar matahari (Firmansyah, et all. 2011).
Jenis-jenis pengeringan berdasarkan karakteristik umum dari beberapa pengering konvensional dibagi atas 8 bagian, yaitu : (Sitanggang, 2011)
Baki atau wadah
Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material yang akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media pengering. Cara perpindahan panas yang umum digunakan adalah konveksi dan perpindahan panas secara konduksi juga dimungkinkan dengan memanaskan baki tersebut.
Rotary
Pada jenis ini ruang pengering berbentuk silinder berputar sementara material yang dikeringkan jaruh di dalam ruang pengering. Medium pengering, umumnya udara panas, dimasukkan ke ruang pengering dan bersentuhan dengan material yang dikeringkan dengan arah menyilang. Alat penukar kalor yang dipasang di dalam ruang pengering untuk memungkinkan terjadinya konduksi.
Flash
Pengering dengan flash (flash dryer) digunakan untuk mengeringkan kandungan air yang ada di permukaan produk yang akan dikeringkan. Materi yang dikeringkan dimasukkan dan mengalir bersama medium pengering dan proses pengeringan terjadi saat aliran medium pengering ikut membawa produk yang dikeringkan. Setelah proses pengeringan selesai, produk yang dikeringkan akan dipisahkan dengan menggunakan hydrocyclone.
Spray
Teknik pengeringan spray umumnya digunakan untuk mengeringkan produk yang berbentuk cair atau larutan suspensi menjadi produk padat. Contohnya, proses pengeringan susu cair menjadi susu bubuk dan pengeringan produk-produk farmasi. Cara kerjanya adalah cairan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk tetesan oleh atomizer dan dijatuhkan dari bagian atas. Medium pengering (umumnya udara panas) dialirkan dengan arah berlawanan atau searah dengan jatuhnya tetesan. Produk yang dikeringkan akan berbentuk padatan dan terbawa bersama medium pengering dan selanjutnya dipisahkan dengan hydrocyclone.
Fluidized bed
Pengeringan dengan menggunakan kecepatan aliran udara yang relatif tinggi menjamin medium yang dikeringkan terjangkau oleh udara. Jika dibandingkan dengan jenis wadah, jenis ini mempunyai luas kontak yang lebih besar.
Vacum
Pengeringan dengan memanfaatkan ruangan bertekanan udara rendah. Dimana pada ruangan tersebut tidak terjadi perpindahan panas, tetapi yang terjadi adalah perpindahan massa pada suhu rendah.
Membekukan
Pengeringan dengan menggunakan suhu yang sangat rendah. Biasanya digunakan pada produk-produk yang bernilai sangat tinggi, seperti produk farmasi dan zat-zat kimia lainnya.
Batch dryer
Pengeringan jenis ini hanya baik digunakan pada jumlah material yang sangat sedikit, seperti penggunaan pompa panas termasuk pompa panas kimia.
Metode penentuan kadar air dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung menerapkan metode oven dan metode destilasi. Pada metode oven, sampel bahan diletakkan ke dalam oven hingga diperoleh berat konstan pada bahan. Penentuan kadar air pada metode oven didasarkan pada banyaknya air yang hilang dari produk. Adapun pada metode destilasi, kadar air dihilangkan dengan memanaskan biji ke dalam air dan selanjutnya menentukan volume atau massa air yang hilang pada biji dalam uap yang terkondensasi atau dengan pengurangan berat sampel. Pada prinsipnya mekanisme penggunaan oven untuk pengukuran kadar air dapat diperoleh dengan mengurangi bobot awal benih sebelum dioven terhadap bobot benih sesudah dioven (Suma, 2009).
Moisture meter merupakan suatu instrumen atau peralatan yang dipakai untuk mengukur jumlah kandungan air yang tedapat pada suatu zat. Alat tersebut juga bisa digunakan untuk mengukur tingkat kelembaban suatu zat. Secara umum ada beberapa cara dan prinsip kerja yang bisa dilakukan untuk menentukan kandungan air dari suatu zat, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Termogravimetri
Cara ini dilakukan dengan dua teknik utama yakni pemanasan dan penimbangan. Selisih berat sebelum pemanasan dan setelah pemanasan merupakan nilai dari kandungan air yang ditentukan tersebut.
Konduktometri
Prinsip atau cara inilah yang dilakukan oleh alat moisture meter tersebut, yakni salah satu teknik pengukuran kadar air dengan teknik elektrik, dimana pengukura didasarkan pada konduktivitas atau hantaran listrik. Kadar air akan berbanding linear terhadap kapasitas listrik yang diukur. Hantaran listrik tersebut akan ditangkap oleh alat yang dinamakan detektor.
(Nuhasbi, 2008).
Menurut Utama dan Pratiwi (2009), biji dan bagian tanaman pascapanen dapat pula bertahan akibat stress kelebihan air. Kadar air optimal untuk penyimpanan adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang normal mengalami perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan dan siklus reproduksi. Dalam hal ini, kadar air rendah adalah diinginkan untuk menjaga mutu dalam jangka panjang untuk kebanyakan biji. Pada kebanyakan biji, peningkatan kadar air di atas optimum untuk penyimpanan berakibat pada perubahan mutu yang tidak diinginkan, dimana dari pandangan pascapanen mewakili stress, akibatnya akan mempengaruhi daya simpan produk pasca panen. Stress kelebihan air juga umum terjadi untuk produk pascapanen bila air dibiarkan tetap pada permukaan produk. Pada kondisi dimana bila suhu di bawah titik embun dari uap air udara disekitar produk, maka akn terjadi kondensasi dipermukaan produk dan akan merangsang invasi patogen.
Gamabar 1. Hubungan kadar air dengan pola respirasi yang mempengaruhi masa simpan produk pasca panen.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, praktikum dilakanakan di lab Hortikultura Universitas Jenderal Soedirman. Pengamatan dilakukan selama 5 hari dan diamati warna dari tiap komoditas (jagung, kacang tanah dan gabah). Dihari pertama dilakukan pengukuran kadar air dari setiap komoditas baik komoditas yang segar maupun kering (jagung, gabah dan kacang tanah). Dari hasil praktikum yang telah dilakukan di hari pertama didapatkan data mengenai jenis produk jagung kering berwarna orange dengan kadar air 12,4%, jagung basah berwarna kuning dengan kadar air 27,0%. Komoditas kacang tanah basah berwarna putih dengan kadar air 28,5% dan kacang tanah kering berwarna putih kecoklatan dengan kadar air 15%. Gabah kering berwarna kuning dengan kadar air 15% dan gabah basah berwarna kuning kecoklatan dengan kadar air 22,8%.
Perlakuan selanjutnya yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap daya simpan dari komoditas produk pasca panen gabah, jagung dan kacang tanah (kering dan basah). Dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna dari warna, bentuk, penampilan dan bau. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan didapatkan data dari tiap komoditas. Variabel yang diamati yaitu warna, bentuk, penampilan dan bau yang mengalami perubahan yaitu warnanya saja, sedangkan untuk vaiabel bentuk, penampilan dab bau tidak mengalami perubahan selama 5 hari penyimpanan.
Hal ini dibuktikan dengan pendapat Marsaningtyas (2011), bahwa Salah satu penanganan pasca panen kacang tanah yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan pengeringan dengan segera setelah panen. Dengan melakukan proses pengeringan, kadar air kacang tanah akan mengalami penurunan sampai batas aman tidak ditumbuhi mikroorganisme. Kadar air biji kacang tanah saat panen berkisar antara 35 – 50 %, dan pada kondisi tersebut jamur dari jenis Aspergillus akan tumbuh dan membentuk Aflatoksin. Kadar air yang aman untuk mencegah kontaminasi jamur pada kacang tanah adalah 10 %.
Dari literatur yang telah dilihat dapat disimpulkan untuk beberapa komoditas diperlukan penanganan pasca panen dengan cara pengaringan. Pengeringan mampu menurunkan kadar air pada produk pasca panen sehingga menghambat mikroorganime untuk tumbuh, dari hasil praktikum yang telah dilakukan menunjukan hasil bahwa komoditas yang diuji (jagung, kacang tanah dan gabah) tidak mengalami pembusukan yang menunjukan bahwa komoditas itu tidak terserang dengan patogen pascapanen. Sehingga daya simpan dari komoditas pascapanen lebih lama umur simpannya.
Menurut Chailani (2010), Kandugan air sangat berpengaruh terhadap perkembangan jasad renik. Sebagai contoh beras dan gabah dapat disimpan pada waktu tertentu, tanpa atau sedikit menurunkan kualitas bila kandungan airnya antara 13-14%, sedang di atas 13-14% akan mempercepat perkembangan jasad renik terutama jamur. Penyimpanan beras dengan kandungan air lebih dari 14% akan menyebabkan proses metabolisme jasad renik dan serangan hama bertambah cepat. Batas kemunduran air yang baik untuk penyimpanan gabah dengan mempertimbangkan serangan jasad renik dan hama diperkirakan sekitar 13,5% dengan lengas nisbi udara sekitar 70-75%. Jadi jelas bahwa untuk penyimpanan beras maupun gabah diperlukan kandungan air sekitar 14%, dengan lengas nisbi udara 75% dan suhu 27˚-32˚%.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kadar air jagung, kacang tanah dan gabah dalam kondisi kering yaitu 12,4, 14,9 dan 15.
Kadar air jagung kering 12,4 sedangkan kadar air jagung segar 27, kadar air kacang tanah kering 14,9 sedangkan kadar air kacang tanah segar 28,5 dan kadar air gabah kering 15 sedangkan kadar air gabah segar 22,8.
Daya simpan antara produk pascapanen gabah, jagung dan kacang tanah baik dalam keadaan kering dan basah yang memiliki daya simpan yang lebih lama yaitu prouk pascapnen dalam keadaan kering karena tiap variabel yang diamati tidak ada yang berubah.
Saran
Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang dilakukan, dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja yang telah diakukan dari tiap acara.
DAFTAR PUSTAKA
Aqil, M. 2013. Pengelolaan Proses Pasca Panen Sorgum Untuk Pangan. Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Chailani, S.R. 2010. Penyakit-penyakit pasca panen tanaman pangan. UB press. Universitas Bawijaya, Malang. 152 hlm.
Firmansyah, et all. 2011. Penanganan Pasca Panen. Baalai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Halimatuddahliana. 2013. Jenis-jenis Alat Pengering. Departemen Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kartasapoetra, A.G. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Bina Aksara, Jakarta, 252 p.
Marsaningtyas, E. 2011. Penerapan DCS pada Rotary Dryer Untuk Pengeringan Kacang Tanah. Laporan Tugas Akhir. Universitas Diponegoro. Semarang.
Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Depatemen Pertanian.
Nurhasbi, J. 2008. Pengembangan Standar Pengujian Kadar Air dan Perkecambahan Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan Untuk Menunjang Program Penanaman Hutan Di Daerah Bogor. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor.
Sitanggang, H. 2011. Pengujian dan Simulasi Mesin Pengering Produk Pasca Panen.(Online)repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25988/3/Chapter%20II.pdf. Diakses 18 Mei 2015.
Sulardjo. 2014. Penanganan Pasca Panen Padi. Magistra. No. 88. Th. XXVI. ISSN 0215-9511. Hal: 44-58.
Suma, D. 2009. Teknologi Pasca Panen Untuk Peningkatan Mutu Jagung. Fakultas Teknik. UGM, Yogyakarta.
Utama, I.M.S dan Pratiwi, I.D.R. 2009. Stres Produk Pascapanen Hortikultura. Juruan Teknologi Pertanian. Universitas Udayana.
Widjarnoko, B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB Press. Universitas Brawijaya.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Buah-buahan mempunyai arti penting sebagi sumber vitamin, mineral, dan zat-zat lain dalam menunjang kecukupan gizi. Buah-buahan dapat kita makan baik pada keadaan mentah maupun setelah mencapai kematangannya. Sebagian besar buah yang dimakan adalah buah yang telah mencapai tingkat kematangannya. Untuk meningkatkan hasil buah yang masak baik secara kualias maupun kuantitasnya dapat diusahakan dengan substansi tertentu antara lain dengan zat pengatur pertumbuan Ethylen. Dengan mengetahui peranan ethylene dalam pematangan buah kita dapat menentukan penggunaannya dalam industri pematangan buah atau bahkan mencegah produksi dan aktifitas ethylen dalam usaha penyimpanan buah-buahan.
Proses pematangan buah didahului dengan klimakterik (pada buah klimakterik). Klimakterik dapat didefinisikan sebagai suatu periode mendadak yang unik bagi buah dimana selama proses terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses sintesis ethylene. Meningkatnya respirasi dipengaruhi oleh jumlah ethylene yang dihasilkan, meningkatnya sintesis protein dan RNA. Proses klimakterik pada Apel diperkirakan karena adanya perubahan permeabilitas selnya yang menyebabkan enzym dan susbrat yang dalam keadaan normal terpisah, akan bergabung dan bereaksi satu dengan lainnya.
Perubahan warna dapat terjadi baik oleh proses-proses perombakan maupun proses sintetik, atau keduanya. Pada jeruk manis perubahan warna ni disebabkan oleh karena perombakan khlorofil dan pembentukan zat warna karotenoid. Sedangkan pada pisang warna kuning terjadi karena hilangnya khlorofil tanpa adanya atau sedikit pembentukan zat karotenoid. Sisntesis likopen dan perombakan khlorofil merupakan ciri perubahan warna pada buah tomat.
Menjadi lunaknya buah disebabkan oleh perombakan propektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut, atau hidrolisis zat pati (seperti buah waluh) atau lemak (pada adpokat). Perubahan komponen-komponen buah ini diatur oleh enzym-enzym antara lain enzym hidroltik, poligalakturokinase, metil asetate, selullose.
Seiring dengan perubahan tingkat ketuaan dan kematangan, pada umumnya buah-buahan mengalami serangkaian perubahan komposisi kimia maupun fisiknya. Rangkaian perubahan tersebut mempunyai implikasi yang luas terhadap metabolisme dalam jaringan tanaman tersebut. Diantaranya yaitu perubahan kandungan asam-asam organik, gula dan karbohidrat lainnya. Perubahan tingakat keasaman dalam jaringan juga akan mempengaruhi aktifitas beberapa enzim diantaranya adalah enzim-enzim pektinase yang mampu mengkatalis degradasi protopektin yang tidak larut menjadi substansi pectin yang larut. Perubahan komposisi substansi pektin ini akan mempengaruhi kekerasan buah-buahan.
Peningkatkan hasil buah yang masak baik secara kualias maupun kuantitasnya dapat diusahakan dengan substansi tertentu antara lain dengan zat pengatur pertumbuan Ethylene. Dengan mengetahui peranan ethylene dalam pematangan buah kta dapat menentukan penggunaannya dalam industri pematangan buah atau bahkan mencegah produksi dan aktifitas ethyelen dalam usaha penyimpanan buah-buahan.
Tujuan
Mengetahui dapat tidaknya pematangan buah dipacu dengan gas pematangan buah
Membandingkan kecepatan pematangan buah secara alami dengan secara dipacu dengan gas pematangan buah
Membandingkan mutu dari buah yang dimatangkan secara alami dan secara dipacu.
TINJAUAN PUSTAKA
Dari segi penampilan termasuk didalamnya ukuran, bentuk, warna, dan ada tidaknya kerusakan dan luka pada buah. Sedangkan yang dimaksud dengan flavor adalah pengukuran tingkat kemanisan (sweetness), keasaman (acidity), astringency, rasa pahit (bitterness), aroma, dan off-flavor. Kandungan nutrisi pada buah dapat berupa vitamin A dan C, kandungan mineral, dietari fiber, karbohidrat, protein, antioxidan phytochemical (carotenoid, flavonoid, dan senyawa fenol lainnya). Faktor-faktor keamanan yang juga mempengaruhi kualitas buah segar adalah residu dari pestisida, keberadaan logam berat, mikotoxin yang diproduksi oleh berbagai spesies fungi dan kontaminasi dari mikroba (Winarno, 2004).
Pematangan merupakan perubahan yang terjadi pada tahap akhir perkembangan buah atau merupakan tahap awal penuaan (senescence) pada buah. Selama perkembangan buah terjadi berbagai perubahan biokimiawi dan fisiologi. Pada umumnya buah yang masih muda berwarna hijau karena memiliki kloroplas sehingga dapat mengadakan fotosintesis, tetapi sebagian besar kebutuhan karbohidrat dan protein diperoleh dari bagian tubuh tumbuhan lainnya. Buah muda yang sedang tumbuh mengadakan respirasi sangat cepat sehingga dihasilkan banyak asam karboksilat dari daur Krebs, misalnya asam isositrat, asam fumarat, asam malat. Kadar asam-asam ini berkurang sejalan dengan berkembangnya buah karena asam-asam ini digunakan untuk mensintesis asam amino dan protein yang terus berlangsung dalam buah sampai buah masak (Sinay, 2008).
Pengaruh penting etilen dalam meningkatkan deteriorasi komoditi yang mudah rusak meliputi:
Mempercepat senensen dan menghilangkan warna hijau pada buah seperti mentimun dan sayuran daun
Mempercepat pemasakan buah selama penanganan dan penyimpanan
"Russet spoting" pada selada
Pembentukan rasa pahit pada wortel
Pertunasan kentang
Gugurnya daun (kol bunga, kubis, tanaman hias)
Pengerasan pada asparagus
Mempersingkat masa simpan dan mengurangi kualitas bunga
Gangguan fisiologis pada tanaman umbi lapis yang berbunga
Pengurangan masa simpan buah dan sayuran
(Mutiarawati, 2007).
Pemeraman merupakan tindakan menaikkan konsentrasi etilen di sekitar jaringan buah untuk mempercepat pemasakan buah. Pematangan dengan menggunakan karbit adalah tindakan pembentukan asetilen (etuna atau gas karbid), yang di udara sebagian akan tereduksi oleh gas hidrogen menjadi etilen. Kalsium karbida berupa batu berwarna abu-abu dimana bersama air atau ruang lembab, batu karbit akan terurai menjadi gas asetilen (C2H2) dan air kapur yang berwarna putih (Ca(OH)2 ), gas asetilen akan merangsang aktivitas sel buah sehingga akan memacu kematangan buah (Sunarjono, 2002).
Terjadi perubahan fisioko-kimia dan organoleptik selama buah dan sayur memasuki fase perkembangan dan kemasakan sel. Konsumen menginginkan suatu kualitas tertentu untuk komoditas buah dan sayur. Sayur biasanya enak untuk dimakan pada saat masih muda, misalnya: kacang panjang, rebung, kapri, mentimun, sayuran berdaun (kangkung, sawi dll), nangka dan lain-lain. Sedang buah enak untuk dimakan bila telah masak (mangga, durian dll) (Widjanarko, 2012).
METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah ember plastik, kain, kertas koran, karet gelang dan kertas label. Bahan yang digunakan adalah buah pisang mentah, buah pisang matang dan kalsium karbida (CaC2).
Prosedur Kerja
Alat dan bahan yang akan diguunakan disiapkan
Dari ketiga ember pada tiap ember diberi keterangan dengan kertas label, ember 1 diberi keterangan PA (Pematangan Alami), ember kedua PPM (Pematangan dengan Pisang Matang), ember ketiga menggunakan PK (Pematangan dengan Karbit)
Kertas koran dimasukkan kedalam ketiga ember
Karbt dibungkus dengan kain secukupnya dan diikiat dengan karet gelang
Karbit diletakkan pada kertas koran yang ada di ember berlabel PK
2 buah pisang matang diletakkan pada kertas koran yang ada pada ember berlabel PPM
Kemudian dimasukkan 3 buah pisang mentah pada setiap ember
Kertas koran diletakkan diatas pisang mentah
Ember ditutup dengan penutupnya dengan rapat
Kemudian diberi keterangan pada etiap ember dengan tanggal dan nama kelompok
Selama 10 hari dilakukan pengamatan setiap hari terhadap perubahan warna kulit pisang mentahnya
Setelah warna pisang kuning merata dan kekerasan buahnya cukup dilakukan pengamatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan
KATERANGAN:
PA: Pematangan Alami
PPM: Pematangan Pisang Matang
PK: Pematangan Karbit
W (warna): H (hijau), HK (hijau kekuningan),
K (kuning), KH (kuning kehitaman)
T (tekstur): 1 (keras), 2 (cukup lunak),
3 (lunak)
R (rasa): 0 (tidak ada/netral), + (manis), ++
(sangat manis)
K (kecepatan pematangan): Produk Matang
(m) pada hari keberapa
No
Tanggal
PA
PPM
PK
W
K
T
R
W
K
T
R
W
K
T
R
1
5 Mei 2015
H
1
0
H
1
0
H
1
0
2
6 Mei 2015
H
1
0
H
1
0
H
1
0
3
7 Mei 2015
H
1
0
HK
2
+
HK
2
+
4
8 Mei 2015
H
1
0
K
2
+
HK
M
2
+
5
9 Mei 2015
H
1
0
K
M
2
+
HK
M
3
+
6
10 Mei 2015
H
1
0
K
M
3
++
HK
M
3
++
7
11 Mei 2015
H
1
0
KH
M
3
++
HK
M
3
++
8
12 Mei 2015
HK
1
0
KH
M
3
++
HK
M
3
++
9
13 Mei 2015
K
M
1
+
KH
M
3
++
HK
M
3
++
10
14 Mei 2015
K
M
2
+
KH
M
3
++
HK
M
3
++
Tabel Hasil Pengamatan pisang dengan PA, PPM dan PK.
FOTO HARI PERTAMA
Pematangan Pisang Matang Pematangan Alami Pematangan Karbit
FOTO HARI TERAKHIR
Pembahasan
Menurut Santoso (2013), kebanyakan masyarakat mengartikan matang (mature) dan masak (ripe) dengan konsep yang sama pada komoditi hortikultura, terlebih-lebih terhadap komoditi buah. Dalam fisiologi pasca panen, matang dan masak adalah istilah yang berbeda untuk stadia yang berbeda pada masing-masing tingkat perkembangan. Matang didefinisikan sebagai komoditi yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang lengkap. Khususnya pada buah, oleh US Grade mendefinisikan matang sebagai suatu tahapan atau stadia yang akan menjamin penyelesaian proses pemasakan. Kebanyakan ahli teknologi paska panen mendefinisikan matang sebagai suatu stadia pada saat komoditi mencapai stadia perkembangan cukup setelah panen dan pada saat penanganan paska panen keadaan kualitasnya masih dapat diterima oleh konsumen.
Menurut Winarno (2004), dapat diketahui bahwa ethylene merangsang pemasakan klimakerik. Buah-buahan non klimakterik akan mengalami klimakterik setelah ditambahkan ethylene dalam jumlah yang besar. Sebagai contoh buah non klimakterik untuk percobaannya adalah jeruk. Di samping itu pada buah-buahan non klimakterik apabila ditambahkan ethylene beberapa kali akan terjadi klimakterik yang berulang-ulang.
Menurut Utama (2001), Etilen dalam ruang penyimpanan dapat berasal dari produk atau sumber lainnya. Sering selama pemasaran, beberapa jenis komoditi disimpan bersama, dan pada kondisi ini etilen yang dilepaskan oleh satu komoditi dapat merusak komoditi lainnya. Gas hasil bakaran minyak kendaraan bermotor mengandung etilen dan kontaminasi terhadap produk yang disimpan dapat menginisiasi pemasakan dalam buah dan memacu kemunduran pada produk non-klimakterik dan bunga-bungaan atau bahan tanaman hias. Kebanyakan bunga potong sensitive terhadap etilen.
Etilen adalah senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4) berupa gas berpengaruh terhadap proses fisiologis tanaman. Etilen dikategorikan sebagai hormon alami untuk penuaan dan pemasakan dan secara fisiologis sangat aktif dalam konsentarsi sangat rendah
Menurut Winarno (2004) Karbit yang terkena uap air akan menghasilkan gas asetilen yang memiliki struktur kimia mirip dengan etilen alami, zat yang membuat proses pematangan di kulit buah. Proses fermentasi berlangsung serentak sehingga terjadi pematangan merata. telah menunjukkan bahwa C2H2 meningkatkan kegiatan enzym-enzym katalase, peroksidase, dan amylase dalam irisanirisan mangga sebelum puncak kemasakannya. Serta selama pemacuan juga diketemukan zat-zat serupa protein yang menghambat pemasakan, dalam irisan-irisan itu dapat hilang dalam waktu 45 jam. Perlakuan dengan C2H2 mengakibatkan irisan-irisan menjadi lunak dan tejadi perubahan warna yang menarik dari putih ke kuning, yang memberi petunjuk timbulnya gejala-gejala kematangan yang khas.
Menurut Mutiarawati (2007), menentukan waktu panen atau kematangan yang tepat juga tergantung dari komoditas dan tujuan/ jarak pemasarannya atau untuk tujuan disimpan. Untuk serealia (biji-bijian), hasil tanaman dipanen saat biji sudak tua dan mengering. Pada buah-buahan, untuk pemasaran jarak dekat, komoditas dapat dipanen saat sudah matang benar dan ini umumnya tidak sulit untuk ditentukan, tapi untuk pemasaran jarak jauh atau untuk dapat disimpan lama, kita harus mempertimbangkan jarak atau waktu tersebut dengan proses kematangan yang terjadi dari tiap komoditas.
Bila panen terlalu awal, kualitas hasil akan rendah, begitu juga bila panen terlambat, komoditas tidak tahan lama disimpan. Selain menentukan kematangan yang tepat, saat akan melakukan panen juga harus memperhatikan kondisi lingkungan yang sesuai. Menentukan "kematangan" yang tepat dan saat panen yang sesuai, dapat dilakukan berbagai cara, yaitu :
Cara visual / penampakan : misal dengan melihat warna kulit, bentuk buah, ukuran, perubahan bagian tanaman seperti daun mengering dan lain-lain
Cara fisik : misal dengan perabaan, buah lunak, umbi keras, buah mudah dipetik dan lain-lain
Cara komputasi, yaitu menghitung umur tanaman sejak tanam atau umur buah dari mulai bunga mekar
Cara kimia, yaitu dengan melakukan pengukuran/analisis kandungan zat atau senyawa yang ada dalam komoditas, seperti: kadar gula, kadar tepung, kadar asam, aroma dan lain-lain.
Menurut Setyabudi (2013), Buah-buahan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam buah-buahan klimaterik dan non-klimaterik. Karakteristik buah-buahan klimaterik berbeda dengan non-klimaterik, sehingga penanganan yang diterapkan juga berbeda. Identifikasi buah-buahan klimaterik dan non-klimaterik dapat dilakukan melalui pola-pola respirasi terhadap produksi karbon dioksida (Co2) dan etilen (C2H4). Buah-buahan klimaterik menunjukan peningkatan produksi karbon dioksida dan etilen selama pematangan. Disamping terjadi fase pelunakan, fase peningkatan kemanisan dan fase berkurangnya rasa asam. Sementara buah non-klimaterik fase-fase seperti pelunakan, peningkatan produksi karbon dioksida dan fase kemanis-keasaman tidak terjadi, tetapi tetap landai selama pematangan dan tidak terjadi fase pelunakan.
Sumber: Utama, 2001.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, pada ember yang berisi pematangan alami (mentah) pisang tersebut baru matang pada hari ke-9 dengan tekstur keras dan rasa yang manis dan berwarna kuning. Dihari ke 1-7 pisang yang berada dalam ember pematangan alami warna masih hijau dan pada hari ke 8 warna berubah menjadi hijau kekuningan, untuk tekstur pisang dengan pematangan alami di hari ke 1-9 pisang masih bertekstur keras dan di hari ke 10 tekstur pisang dengan pematangan alami mulai terasa cukup lunak.
Ember yang berisi pematangan pisang matang, pisang tersebut mulai matang pada hari ke-5 dengan tekstur keras di hari ke 1 dan 2 dengan rasa netral. Hari ke 3 sampai ke 5 tektur berubah menjadi cukup lunak dan rasa yang manis. Dihari ke 6-10 pisang yang berada dalam ember pematangan pisang matang tekstur berubah menjadi lunak dengan rasa sangat manis. Warna pisang pada hari pertama berwarna hijau, di hari ke-3 warna berubah menjadi warna hijau kekuningan dan di hari ke 4-6 warna pisang berubah menjadi warna kuning sedangkan pada hari ke 7-10 warna pisang yang diperam menggunkan pematangan pisang alami warna kulit pisang berubah menjadi kuning kehitaman.
Ember yang berisi pematangan karbit, pisang tersebut dihari ke-4 sudah matang. Tekstur pisang pada hari ke 1-2 tekstur pisang masih keras dengan rasa netral. Pada hari ke 3-4 tekstur pisang cukup lunak dengan rasa yang manis. Pada hari ke 5-10 tekstur pisang berubah menjadi lunak dengan rasa sangat manis. Warna kulit pisang berwarna hijau pada hari ke 1-2. Pada hari ke 3-10 warna kulit pisang berubah menjadi hijau kekuningan. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan warna pisang yang lebih cepat berubah dibandingkan dengan pemtangan pisang oleh karbit.
Selanjutnya, buah pisang pada suhu 16-20˚C mengalami puncak klimakterik pada 19 hari penyimpanan dan pada saat tersebut buah berwarna kuning namun tekstur keras dan rasa manis asam sedikit sepat sedangkan buah pada suhu 27˚C mencapai puncak klimakterik pada 12 hari simpan dengan warna buah kuning, ujung hijau, tekstur lunak dan rasa manis. Buah yang berada pada suhu 27˚C, cepat lunak dan buah mudah lepas dari sisirannya. Dengan demikian, pematangan pada suhu sejuk menghasilkan buah dengan warna kuning, rasa manis, namun tekstur belum lunak dan tidak mudah rontok.
Cara pemeraman sederhana dilakukan dengan menempatkan buah pisang di dalam tanah, selanjutnya dilakukan pengasapan dari bahan pertanian, misalnya daun kelapa, sabut kelapa yang dikenal dengan cara pengomposan. Disamping itu, yang juga banyak dilakukan pedagang pisang, yakni menggunakan peti kayu yang dilapisi kertas semen, kemudian ditambahkan karbit, dan selanjutnya ditutup menggunakan kertas bekas pembungkus semen (Prabawati, et all, 2008).
Deskripsi kematangan buah pisang berdasarkan indeks warna kulit Menurut Prabawati, et all (2008):
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pematangan buah pisang dapat dilakukan dengan cara menggunakan pemacu gas pematangan buah
Kecepatan buah pisang yang lebih cepat yaitu pematangan menggunakan pematangan karbit
Mutu dari buah pisang yang lebih bermutu baik yaitu pematangan menggunakan pematangan pisang matang.
Saran
Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang dilakukan, dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja yang telah diakukan dari tiap acara.
DAFTAR PUSTTAKA
Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Depatemen Pertanian.
Prabawati, Suyanti dan Setyabudi. 2008. Teknologi Pescapanen dan Teknik Pengolahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Santoso, B. 2013. Kematangan Produk dan Indeks Panen. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara, Sumatera.
Setyabudi, D.A. 2013. Memperpanjang Daya Simpan Segar Buah-buahn dengan Edible Coating. Buletin Teknologi Pasca Panen. 9(1): 10-19.
Sinay, H. 2008. Kontrol Pemasakan Buah Tomat Menggunakan Rna Antisesne. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Suhaidi, I. 2003. Pengaruh Pencelupan Banlate Dan Pelapisan Lilin Terhadap Mutu Buah Pisang Barangan Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Sunarjono, dkk. 2002. Penanganan Pasca Panen. Pustaka Jaya. Yogyakarta.
Utama, M.S. 2001. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran. Forum Konsultasi Teknologi.. dina Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Bali.
Widjarnoko, B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB Press. Universitas Brawijaya.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia. Jakarta.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Buah-buahan dan sayur-sayuran setelah dipanen masih melangsungkan proses fisiologi, antara lain ditandai dengan proses respirasi dan transpirasi. Penanganan pasca panen buah-buahan dan sayur-sayuran untuk kesegaran atau memperpanjang daya simpan diawali penekanan atau melalui pendekatan proses penghambatan respirasi dan transpirasi. Cara mempertahankan komoditas hasil hingga kepada konsumen tetap bermutu prima memerlukan dasar keilman yakni teknologi penanganan pasca panen.
Faktor penyebab tingginya tingkat kehilangan atau keruakan pasca panen adalah kurangnya memahami perubahan karakteristik, daya beli konsumen yang berhubungan dengan standar mutu, dan penerapan penanganan pasca panen yang baik dan benar, disamping kebijakan dan implementasi peraturan yang ada. Oleh karena itu, penanganan pasca panen seharusnya ditujukan untuk mengurangi susut bobot, mempertahankan mutu dan memperpanjang daya simpan segarnya. Hal ini dapat ditempuh melalui pemahaman karakteristiknya, interaksi terhadap lingkungan dan penanganan pasca panen yang layak secara teknis maupun ekonomis dan mudah diterapkan.
Aktivitas metabolisme pada buah dan sayuran segar dicirikan dengan adanya proses respirasi. Respirasi menghasilkan panas yang menyebabkan terjadinya peningkatan panas. Sehingga proses kemunduran seperti kehilangan air, pelayuan, dan pertumbuhan mikroorganisme akan semakin meningkat. Mikroorganisme pembusuk akan mendapatkan kondisi pertumbuhannya yang ideal dengan adanya peningkatan suhu, kelembaban dan siap menginfeksi sayuran melalui pelukaan-pelukaan yang sudah ada. Selama transportasi ke konsumen, produk sayuran pascapanen mengalami tekanan fisik, getaran, gesekan pada kondisi dimana suhu dan kelembaban memacu proses pelayuan. Oleh karena itu diperlukan pengemasan yang baik pada produk buah maupun sayuran.
Tujuan
Dapat menbedakan komoditas yang dikemas maupun yang tidak dikemas dari segi masa kesegaran, estetik dan ekonomis
Dapat mendemostrasikan proses pengemasan suatu komoditas.
TINJAUAN PUSTAKA
Besarnya tingkat kerusakan komoditas akan membuat harga komoditas menjadi makin mahal setalah sampai di tingkat pedagang eceran. Besarnya tingkat kebusukan pada setiap jalur perdagangan, baik di tingkat pedagang, gudang transportasi dsb. Buah dan sayuran merupakan komoditas yang mudah rusak, faktor-faktor ini yang menyebabkan harga jual beberapa komoditas terutama jenis buah dan sayuran mudah rusak dan bernilai ekonomis (Widjarnako, 2012).
Dalam keseluruhan sistem penanganan pascapanen, pengemasan dapat sebagai baik alat bantu maupun sebagai penghambat untuk mencapai masa simpan mutu yang maksimum. Pengemas membutuhkan ventilasi namun harus cukup kuat untuk mencegah kerusakan karena beban. Jika produk dikemas untuk memudahkan penanganan, karton berlapis lilin, krat kayu dan kemasan plastik yang kaku adalah lebih baik dibandingkan kantongan atau keranjang terbuka, karena kantongan dan keranjang tidak memberikan perlindungan terhadap produk jika ditumpuk. Terkadang kemasan yang dibuat secara lokal dapat lebih kuat untuk memberikan perlindungan tambahan terhadap produk (Utama. 2002).
Kemasan transportasi untuk komoditi hortikultura perlu diperhatikan persyaratan-persyaratan berikut:
Ventilasi kemasan harus cukup, sehingga dapat mengeluarkan gas hasil metabolisme produk dan menurunkan panas yang timbul. Selain itu, juga dapat menahan laju transpirasi dan respirasi dari produk.
Bahan untuk kemasan harus cukup kering sehingga beratnya tetap (konstan), dan tidak mengabsorpsi air dan perisa (flavour) produk.
Kemasan harus benar-benar berfungsi sebagai wadah yang dapat diisi produk
Kemasan harus bersih dan tidak memindahkan infeksi penyakit ke produk, bahan kemasan juga harus tahan serangan jamur, gigitan serangga dan tikus.
Kemasan harus ekonomis dan bahan kemasan terdapat di sentra produksi.
Kemasan harus mudah diangkat dan dapat disusun pada bak-bak alat angkut dengan sistem pallet (khusus untuk ekspor).
Permukaan bagian dalam kemasan harus halus sehingga produk tidak rusak selama pengangkutan
Kemasan harus tahan dan tidak berubah bentuk selama pengangkutan. (Mutiarawati, 2007).
Kerusakan produk hortikultura, khususnya buah, sebagai akibat proses pematangan yang cepat merupakan salah satu permasalahan lepas panen yang perlu mendapat perhatian serius. Sesungguhnya, baik buah, sayuran, ataupun tanaman hias yang sudah dipanen, masih melangssungkan aktivitas metabolisme sebagaimana layaknya tanaman hidup, karena produk tersebut terdiri ats sel-sel yang masih hidup. Sebagi sel-sel hidup, maka respirasi masih tetap berjalan, bahkan pada produk tertentu respirasi justru makin meningkat setelah dipanen. Tingginya laju respirasi akan menyebabkan cepatnya degredasi mutu produk, bahkan dapat terjadi pembusukan oleh bakteri dan cendawan (Zulkarnain, H. 2009).
Kebanyakan pascapanen produk hortikultura segar sangat ringkih dan mengalami penurunan mutu sangat cepat. Berbeda dengan bagian tanaman yang masih melekat pada tanaman induknya yang mendapat suplay air dan nutrisi atau makanan secara berlanjut, bagian tanaman yang telah dipanen atau dilepas dari tanaman induknya tidak lagi mendapatkan suplai air dan makanan. Untuk aktifitas hidupnya setelah panen, produk segar tersebut melulu menggunakan bahan yang ada pada dirinya sendiri untuk bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang sering diluar dari kondisi untuk dapat menjalankan fungsi metabolisme optimalnya (Utama, 2004).
METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum acara tiga yaitu sayuran dan buah-buahan (buncis, wortel, cabai, tomat, dan duku), bayclin, serta mama lemon. Sedangkan alat yang digunakan yaitu ember/baskom, pisau, nampan, sendok, saringan, cutting board, styrofoam, strech film plastik/plastik pembungkus.
Prosedur kerja
Sterilkan peralatan (pisau, sendok, dll) dan tangan dengan merendam dalam larutan Bayclin 10 cc/liter dan mama lemon 1 cc/liter selama 5 menit.
Rendam sayuran dalam larutan bayclin 10 cc/liter dan mama lemon 1 cc/liter selama 5 menit.
Tiriskan bahan selama 30 detik.
Ulangi sampai 3 kali.
Cuci dengan air bersih atau air mengalir sebanyak 3 kali.
Angkat dan atur sayuran di atas piring styrofoam dan tutup dengan plastik pembungkus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan
Tabel hasil pengamtan produk pengemsan pada produk pasca panen
No.
Produk
Indikator
Komoditas
Tomat
wortel
buncis
duku
cabe
caisim
1.
Kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
2.
Kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
3.
Kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
4.
Kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Layu
Tidak ada
Kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Tidak kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
5.
Kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Tidak kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
6.
Kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tidak kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
7.
Kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tidak kemas terbuka
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tidak kemas kulkas
Warna
Kesegaran
Kontaminasi
Berubah
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Tidak segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Berubah
Tidak segar
Ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Tetap
Segar
Tidak ada
Pembahasan
Menurut Mareta (2011), Pengemasan merupakan sistem yang terkoordinasi untuk menyiapkan barang menjadi siap untuk ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual, dan dipakai. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi produk yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran). Di samping itu pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. Dari segi promosi wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Karena itu bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya. Dalam perkembangannya di bidang pascapanen, sudah banyak inovasi dalam bentuk maupun bahan pengemas produk pertanian.
Menurut Utama (2011), Panduan tahapan proses kerja untuk bangsal pengemasan merupakan panduan penunjang untuk melaksanakan proses kendali kerja lainnya seperti standard operating procedurs (SOP), sanitary standard operating procedures (SSOP), hazard analysis and critical controlled points. Proses penanganan di bangsal pengemasan dapat dilakukan dengan cara berikut yang akan dijelaskan pada bagan berikut:
Produk dapat dikemas dengan tangan untuk membuat kemasan yang menarik, sering digunakan perhitungan jumlah dari unit-unit ukuran yang seragam. Bahan pengemasan seperti nampan, mangkokan, pembungkus, bahan sekat dan bantalan dapat ditambahkan untuk membantu menghalangi pergerakan produk. Sistem pengemasan mekanik sederhana sering mengunakan metode pengisian volume atau metode pengisian ketat dalam mana produk yang telah disortasi dihantarkan dalam box-box, sehingga vibrasi terbatasi. Kebanyakan alat pengisi volume dirancang menggunakan berat sebagai estimasi volume, dan penyesuaian akhir dilakukan dengan tangan (Kader, 2002).
Menurut Sulchan (2007), Plastik dibuat dengan cara polimerisasi yaitu menyusun dan membentuk secara sambung menyambung bahan-bahan dasar plastik yang disebut monomer. Misalnya, plastik jenis PVC (Polivinil Chlorida), sesungguhnya adalah monomer dari vinil klorida. Disamping bahan dasar berupa monomer, di dalam plastik juga terdapat bahan non plastik yang disebut aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat plastik itu sendiri. Bahan aditif tersebut berupa zat-zat dengan berat molekul rendah, yang dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap sinar ultraviolet, anti lekat, dan masih banyak lagi. Berikut jenis-jenis plastik yang biasanya digunakan dalam pengemasan:
Politen/Polietilen (PE)
Merupakan polimerasi adisi gas etilen dari hasil samping industri minyak.
Poliester/Polietilen Tereptalat (PET)
Biasa digunakan untuk kemasan buah kering, makanan beku dan permen.
Polipropilen (PP)
Syarat utama PP antara lain ringan, mudah dibentuk, transparan, jernih (kemasan kaku tidak transparan)
Polistirene (PS)
Sifat utamanya adalah kekuatan tarik dan tidak mudah sobek; titik lebur rendah (80°C)
Polivinil Khlorida (PVC)
Ada tiga jenis yaitu plasticized vinyl chloride, vinyl co polimer, dan oriented film. Sifat umumnya adalah tembus pandang
Film Plastik
Contoh dari plastik film adalah film larut air dan dapat dimakan, yaitu amilosa pada bungkus permen dan sosis;
Kertas Plastik
Merupakan modofikasi plastik yang dimbuat mirip dengan kertas. Kertas tertentu yang dilapisi oleh polistiren adalah Q-kote (lapisan polistiren dua sisi) dan Q-per (tidak dilapisi, tetapi permukaan kertas diolesi oleh larutan yang mengandung stiren); penemu: Japan Synthetic Paper co. Sifatnya tahan minyak; tahan air/lembab; tidak ditumbuhi kapang; dan sering disebut kertas sintetik
Kemasan Gelas
Tergolong bahan yang tua dilihat dari segi pemakaian oleh manusia, diperkirakan digunakan di mesir pada tahun 6000 SM. Penggunaan sebagai wadah dimulai pada tahun 1870, penggunaan sebagai wadah susu segar pada tahun 1884. Produksi botol gelas dimulai 1892 dalam skala besar, tahun 1896: pabrik semi automatik, tahun 1907: pabrik full otomatik, mencapai 20% pangsa total kemasan. Wadah plastik besar, misalnya botol gamma; wadah fleksibel tinggi, misalnya retort pouch; teknologi kemasan tinggi, misalnya aseptic packaging
Penggunaan mama lemon dan larutan bayclin berguna untuk mencegah agar selama penyimpanan produk pasca panen tidak mudah mengalami kontaminasi. Pada saat praktikum sebelum dilakukan pengemasan dilakukan pencucian menggunakan mama lemon dan bayclin. Pertama seluruh komoditas dicuci kedalam larutan mama lemon, lalu ditiriskan setelah itu dicelupkan lagi kedalam bayclin dan ditiriskan kembali. Setelah semua komoditas kering dengan perlakuan kering angin kemudian produk dikemas dan ada yang dibiarkan terbuka serta ada yang dimasukkan ke dalam kulkas dan dibiarkan di tempat yang terbuka.
Menurut Utama (2006) Beberapa fungisida terdapat digunakan untuk pengendalian pembusukan oleh mikroorganisme, dibandingkan dengan fungisida pra-panen yang jenisnya banyak, jenis fungisidia pascapanen lebih sedikit. Beberapa jenis fungisida yang digunakan pascapanen, sekarang ini tidak lagi diijinkan karena kaitannya residu yang diidentifikasi berpengaruh toksik kaitannya dengan kesehatan manusia dan factor lingkungan. Beberapa produk sudah kehilangan daya racunnya karena tumbuhnya resistansi pada mikroorganisme pembusuk. Contoh bahan fungisida pascapanen yang sedang digunakan adalah thiabendazole, dichloran, dan imazalil. Akan tetapi, resistansi terhadap thiabendazole dan imazalil meningkat maka penggunaan sebagai bahan kimia efektif berkurang. Perlakuan pencucian dengan detergen dan aplikasi pelilinan dapat mengendalikan false red mite (Brevipalvus chilensis) dari anggur. Sedangkan penggunaan surfaktan dan klorin dapat mengendalikan semut hitam pada buah manggis dan rambutan
Berdasarkan hasil praktikum yng telah dilakukan adalah mengamati kualitas produk pasca panen yang dikemas dan tidak dikemas. Antara produk kemas dan tidak kemas ada yang disimpan di lemari pendingin dan di tempat terbuka. Setelah itu produk pasca panen diamati warna, kesegaran dan kontaminasinya. Pengamatan dilakukan selama 7 hari.
Pada hari pertama pada produk kemas terbuka, kemas kulkas, tidak kemas terbuka dan tidak kemas kulkas dengan indikator warna, kesegaran dan kontaminasi seluruh komoditas seprti tomat, cabai, caisim, buncis, wortel dan duku warnanya masih tetap, kesegaran segar dan kontaminasi tidak ada. Sedangkan pada hari ke 7, pada produk kemas terbuka warna buah tomat tetap, kesegaran tidak segar dan kontaminasi tidak ada. Pada komoditas wortel warna berubah, kesegaran tidak segar dan ada kontaminasi. Komoditas buncis warna tetap, dengan kesegaran segar dan tidak ada kontaminasi. Pada komoditas duku warna berubah dengan kesegaran tidak segar dan ada kontaminasi. Untuk produk pasca panen komoditas cabe warna cabe tetap, dengan kessegaran yang tidak segar dan tidak ada kontamnasi. Produk pasca panen kemas terbuka pada warna caisim warna berubah, dengan kesegaran yang tidak segar dan tidak ada kontaminasi.
Produk pasca panen dengan perlakuan kemas kulkas semua komoditas seperti tomat, wortel, buncis cabe dan caisim produk masih berwarna tetap dan tidak berubah serta masih segar dan tidak ada kontaminasi sedangkan untuk buah duku produk mengalami kontaminasi. Pada produk tidak kemas terbuka pada komoditas tomat, buncis dan cabe produk masih berwarna tetap, namun kesegarannya berkurang serta tidak ada kontaminasi dan untuk komoditas wortel, duku dan caisim warnanya berubah dan produk tidak segar dan terdapat kontaminasi. Untuk produk tidak kemas kulkas pada produk wortel, cabe dan caisim warna masih tetap, segar dan tidak ada kontaminas, sedangkan bada komoditas wortel dan duku warna dari produk tersebut berubah, tidak segar dan untuk duku ada kontaminasi. Sedangkan pada komoditas wortel dengan perlakuan tidak kemas kulkas warna dari produk tersebut tetap, dengan kesegaran yang berkurang dan tidak ada kontaminasi.
Menurut Mutiarawati (2007), untuk buah-buahan dan sayuran buah. Buah setelah dipanen segera disimpan di tempat yang dingin/sejuk, tidak terkena sinar matahari, agar panas yang terbawa dari kebun dapat segera didinginkan dan mengurangi penguapan, sehingga kesegaran buah dapat bertahan lebih lama. Bila fasilitas tersedia, precooling ini sebaiknya dilakukan pada temperatur rendah (sekitar 10°C) dalam waktu 1 – 2 jam.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pembusukan pada produk pasca panen yang dimasukkan ke dalam kulkas lebih segar dan tahan lama dibandingkan dengn produk yang tidak dimasukkan ke dalam kulkas.
Untuk mngurangi kontak udara secara langsung terhadap produk pasca panen dapat dilakukan dengan cara mengemas menggunakan plastik pengemas.
Untuk menjaga kesegaran komoditas pasca panen dapat dilakukan dengan cara menyimpannya dalam lemari pendingin dan melakukan pengemasan.
Saran
Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang dilakukan, dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja yang telah diakukan dari tiap acara.
DAFTAR PUSTAKA
Kader, AA (ed). 2002. Postharvest Technology of Horticultural Crops (3rd Edition). UC Publication 3311. University of California, Division of Agriculture and Natural Resources, Oakland, California 94608. 535 pp.
Mareta, D. T. Dan Shofia N. A. 2011. Pengemasan Produk Sayuran Dengan Bahan Kemas Plastik Pada Penyimpanan Suhu Ruang Dan Suhu Dingin. J. Ilmu-Ilmu Pertanian. Vol. 7 (1): 26-40.
Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Depatemen Pertanian.
Sulchan, M. 2007. Pengemasan Bahan Pangan. Ebookpangan.com. www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0CDsQFjAF&url. Diakses 19 Mei 2015.
Utama, M.S. 2002. Praktik-praktik Penanganan Pascapanen Skala Kecil: Manual untuk Produk Hortikultura. Universitas Udayana Denpasar. Bali.
Utama, M.S. 2004. Teknologi Pasca Panen Hortikultura: Permasalahan dan Usaha Perbaikan. Lokakarya Srategi Pengembangan Hotikultura di Bali. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali. 30-31 Juli 2004.
Utama, M.S. 2006. Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura dalam Mendukung GAP. Pemberdayaan Petugas dalam Pengelolaan OPT Hortikultura dalam Rangka Mendukung Good Agriculture Practies (GAP). Bali 3-8 Juli 2006.
Utama, M.S. 2011. Peta Tahapan Proses Penanganan Passcapanen Hortikultura di Bangsal Pengemasan. Universitas Udayana Begudul. Tabanan.
Widjarnoko, B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB Press. Universitas Brawijaya.
PENDUHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya permintaan buah dan sayuran segar yang dapat dikonsumsi secara langsung berdampak pada peningkatan permintaan terhadap produk buah dan sayuran terolah minimal (fresh cut). Penyediaan produk buah dan sayuran terolah minimal masih banyak menghadapi kendala terkait umur simpannya yang pendek dan mudah mengalami perubahan komposisi kandungan gizi dan rasa. Hal ini terjadi karena jaringan tumbuhan merupakan jaringan hidup yang dapat mengisolasi berbagai reaksi dan substrat. Dalam proses penanganan produk terolah minimal terjadi luka pada jaringan tanaman, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Salah satu rangkaian kegiatan penting dalam penanganan pasca panen adalah penyimpanan. Penyimpanan merupakan suatu kegiatan mempertahankan kondisi bahan pangan dari susut bobot dan susut mutu sebelum digunakan atau diproses lebih lanjut. Teknologi penyimpanan yang tepat perlu diterapkan terutama untuk komoditas pangan musiman dan mudah rusak seperti misalnya produk buah-buahan dan sayuran jenis daun.
Produk pascapanen hortikultura segar juga sangat mudah mengalami kerusakankerusakan fisik akibat berbagai penanganan yang dilakukan. Kerusakan fisik ini terjadi karena secara fisik-morfologis, produk hortikultura segar mengandung air tinggi (85-98%) sehingga benturan, gesekan dan tekanan sekecil apapun dapat menyebabkan kerusakan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata dan dapat tidak terlihat pada saat aktifitas fisik tersebut terjadi. Biasanya, untuk kerusakan kedua tersebut baru terlihat setelah beberapa hari. Kerusakan fisik ini menjadi entry point yang baik sekali bagi khususnya mikroorganisme pembusuk dan sering menyebabkan nilai susut yang tinggi bila cara pencegahan dan penanggulangannya tidak direncanakan dan dilakukan dengan baik.
Tujuan
Untuk mengetahui perubahan kualitas awal komoditas setelah panen
Untuk menentukan dan membuat grade kualitas awal komoditas setelah panen
Untuk mengdentifikasi kualitas pasca panen
Untuk mengetahui perlakuan pasca panen yang mampu mempertahankan kualitas.
TINJAUAN PUSTAKA
Setelah diketahui bahwa produk hortikultura sudah cukup tua untuk dipanen, panen dapat segera dilakukan dan produk harus dikumpulkan di lahan secepat mungkin. Panen harus dilakukan secepat mungkin, dengan kerusakan produk sekecil mungkin, dan biaya semurah mungkin. Umumnya panen masih dilakukan secara manual menggunakan tangan dan peralatan-peralatan sederhana. Meskipun memerlukan banyak tenaga kerja, panen secara manual masih lebih akurat, pemilihan sasaran panen juga dapat lebih baik dilakukan, kerusakan fisik yang berlebihan dapat dihindari, dan membutuhkan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan panen menggunakan peralatan mekanis (Suparlan, 1990).
Produk hortikultura yang telah dipanen dari induk tanamannya masih melakukan aktivitas metabolisme namun aktivitas metabolismenya tidaklah sama dengan pada waktu produk tersebut masih melekat pada induknya. Berbagai macam stress atau gangguan dialaminya mulai dari saat panen, penanganan pascapanen, distribusi dan pemasaran, ritel dan saat ditangan konsumen seblum siap dikonsumsi atau diolah. Stress terjadi karena kondisi hidupnya tidak pada kondisi normal saat di lapangan. Kondisi stress diakibatkan oleh perlakuan-perlakuan pascapanennya seperti kondisi suhu, atmosfer, sinar serta perlakuan-perlakuan fisik diluar batas kehidupan normalnya. Stress adalah gangguan, hambatan atau percepatan proses metabolisme normal sehingga dipandang tidak menyenangkan atau suatu keadaan negatif (Utama, 2006).
Di Indonesia penyebab kerusakan dan kehilangan produk holtikultura atau buah-buahan terutama pada tingkat petani karena penanganan dan perlakuan pasca panen masih dengan cara sederhana (tradisional) dan tidak efisien. Salah satu bentuk kerusakan yang terjadi selama transportasi dan distribusi biasanya adalah kerusakan fisik dan mekanis yang terjadi pada tahap-tahap pengangkutan, grading dan pengemasan sebelum produk diangkut (Gunarto, 1996). Mutu yang baik diperoleh apabila pemanenan hasilnya dilakukan pada tingkat kemasakan yang tepat. Buah-buahan yang belum masak dipanen akan menghasilkan buah yang bermutu jelek, hal ini juga terjadi apabila terjadi penundaan pemanenan (Barus dan Syukri, 2008).
Kualitas komoditi hortikultura segar merupakan kombinasi dari ciri-ciri, sifat, dan nilai harga yang mencerminkan nilai total komoditi tersebut baik untuk bahan pangan (buah dan sayuran) maupun sebagai bahan kesenangan (tanaman hias bunga potong). Sedangkan kualitas akhir dari suatu komoditi panenan sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek kualitas pula. Aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas akhir suatu komoditi sangat relatif tergantung dari mana kita melihatnya. Bagi petani sebagai produsen, kualitas dilihat pada aspek potensi hasil tinggi, tahan penyakit, mudah dipanen, dan tahan bilamana dikirim jauh. Sedangkan bagi konsumen ataupun distributor (penjual), aspek kualitas yang diutamakan berupa kualitas penampilan. Kedua belah pihak juga tertarik untuk menilai komoditi pada aspek kualitas ketahanan simpan yang panjang dan tingkat kekerasan komoditi (Kamarani,1986).
METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah lemari pendingin, penetro meter, hand refraktometer, pisau, dan gunting. Bahan yag digunakan meliputi buah duku, sayuran wortel, cabai, cabe, caisim dan buncis. Styrofoam, dan streech film plastik/plastik pembungkus.
Prosedur Kerja
Disiapkan alat dan bahan yang akan dipergunakan
Dipilih beberapa komoditas buah dan sayur yang akan diidentifikasi dan diperlakukan dari kelompok yang segar dan tidak segar
Dilakukan identifikasi awal berdasarkan cara visual, cara fisik, cara mekanis, cara kimia, dan masukkan dalam kelas atau grade tertentu
Dibuat kelas atau grade awal komoditas tersebut
Komoditas diperlakukan dalam ruang terbuka, dalam kemasan, dan pada suhu dingin, dan diamati perkembangan kualitasnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hari/tanggal
kemasan
komoditas
variabel
Harike-
1
2
3
4
5
6
7
Selasa, 6 Mei 2015
Kemas ruang terbuka
wortel
Warna
0
0
-1
-1
-2
-2
-2
Bentuk
0
0
0
0
-1
-1
-1
Kelayuan
0
0
0
0
-1
-1
-2
Berat
Berat awal: 46,94 gr
Berat akhir: 40,87 gr
Kadar gula
5 %
kekerasan
0,6 kg/cm2
buncis
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
0
0
Berat (gr)
Berat awal: 9,27 gr
Berat akhir: 7,02 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
duku
Warna
0
0
0
0
0
-1
-1
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
0
0
Berat (gr)
Berat awal: 17,6 gr
Berat akhir: 16,41 gr
Kadar gula
19 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
cabe
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 5,97 gr
Berat akhir: 6,01 gr
Kadar gula
0 %
kekerasan
0,77 kg/cm2
caisim
Warna
0
0
-1
-1
-2
-2
-2
Bentuk
0
0
0
0
-1
-1
-1
Kelayuan
0
0
-1
-1
-2
-2
-2
Berat (gr)
Berat awal: 28,63 gr
Berat akhir: 26,31 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,73 kg/cm2
tomat
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
0
0
Berat (gr)
Berat awal: 59,74 gr
Berat akhir: 55,27 gr
Kadar gula
4 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
Kemas kulkas
wortel
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
0
0
Berat (gr)
Berat awal: 46,94 gr
Beat akhir: 40,87 gr
Kadar gula
5 %
kekerasan
0,6 kg/cm2
buncis
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
0
0
Berat (gr)
Berat awal: 9,27 gr
Berat akhir: 7,02 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
duku
Warna
0
0
0
0
0
-1
-1
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 17,6 gr
Berat akhir: 16,41 gr
Kadar gula
19 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
cabe
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
0
-1
Berat (gr)
Berat awal: 5,97 gr
Berat akhir: 6,01 gr
Kadar gula
0 %
kekerasan
0,77 kg/cm2
caisim
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
-1
-1
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 28,63 gr
Berat akhir: 26,31 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,73 kg/cm2
tomat
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
0
0
Berat (gr)
Berat awal: 59,74 gr
Berat akhir: 55,27 gr
Kadar gula
4 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
Tidak kemas terbuka
wortel
Warna
0
0
-1
-2
-2
-2
-2
Bentuk
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
Kelayuan
0
-1
-1
-2
-1
-2
-2
Berat (gr)
Berat awal: 46,94 gr
Berat akhir: 40,87 gr
Kadar gula
5 %
kekerasan
0,6 kg/cm2
buncis
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
-1
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 9,27 gr
Berat akhit: 7,02 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
duku
Warna
0
0
-1
-2
-2
-2
-2
Bentuk
0
0
0
0
0
-1
-1
Kelayuan
0
0
-1
-1
-2
-2
-2
Berat (gr)
Berat awal: 17,6 gr
Berat akhir: 16,41 gr
Kadar gula
19 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
cabe
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
-1
-1
Kelayuan
0
0
0
0
0
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 5,97 gr
Berat akhir: 6,01 gr
Kadar gula
0 %
kekerasan
0,77 kg/cm2
caisim
Warna
0
0
-1
-1
-1
-1
-1
Bentuk
0
0
0
0
-1
-1
-1
Kelayuan
0
0
-1
-1
-2
-2
-2
Berat (gr)
Berat awal: 28,63 gr
Berat akhir: 26,31 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,73 kg/cm2
tomat
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
-1
-1
-1
Kelayuan
0
0
0
0
-1
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 59,74 gr
Berat akhir: 55,27 gr
Kadar gula
4 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
tidak kemas kulkas
wortel
Warna
0
0
0
0
0
0
-1
Bentuk
0
0
0
0
0
-1
-1
Kelayuan
0
0
0
0
-1
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 46,94 gr
Berat akhir: 40,87 gr
Kadar gula
5 %
kekerasan
0,6 kg/cm2
buncis
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
-1
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 9,27 gr
Berat akhir: 7,02 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
duku
Warna
0
-1
-2
-2
-2
-2
-2
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
-1
-1
-2
-2
-2
Berat (gr)
Berat awal: 17,6 gr
Berat akhir: 16,41 gr
Kadar gula
19 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
cabe
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
0
0
Kelayuan
0
0
0
0
0
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 5,97 gr
Berat akhir: 6,01 gr
Kadar gula
0 %
kekerasan
0,77 kg/cm2
caisim
Warna
0
0
0
-1
-1
-1
-1
Bentuk
0
0
0
-1
-1
-1
-1
Kelayuan
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
Berat (gr)
Berat awal: 28,63 gr
Berat akhir: 26,31 gr
Kadar gula
3 %
kekerasan
0,73 kg/cm2
tomat
Warna
0
0
0
0
0
0
0
Bentuk
0
0
0
0
0
-1
-1
Kelayuan
0
-1
-1
0
-1
-1
-1
Berat (gr)
Berat awal: 59,74 gr
Berat akhir: 55,27 gr
Kadar gula
4 %
kekerasan
0,8 kg/cm2
B. Pembahasan
Produk pasca panen adalah hasil produk pertanian yang selanjutnya diberikan perlakuan tertentu agar kualitasnya tidak mengalami kemunduran. Periode pascapanen dimulai dari produk dipanen sampai produk tersebut dikonsumsi, atau diproses lebih lanjut. Cara penanganan, dan perlakuan pascapanen sangat menentukan mutu yang diterima konsumen serta masa simpan atau masa pasar. Namun demikian, periode pascapanen tidak bisa terlepas dari sistem produksi, bahkan sangat tergantung dari sistem produksi produk tersebut.
Cara berproduksi yang tidak baik mengakibatkan mutu panen tidak baik pula, dan sistem pascapanennya hanyalah bertujuan untuk mempertahankan mutu produk yang dipanen (penampakan, tekstur, cita rasa, nilai nutrisi dan keamanannya), memperpanjang masa simpan, serta masa pasar, atau dengan kata lain peran teknologi pascapanen adalah untuk mengurangi susut sebanyak mungkin selama periode antara panen dan konsumsi.
Ini membutuhkan pemahaman struktur, komposisi, biokimia dan fisiologi dari produk hortikultura dengan teknologi pascapanen secara umum akan bekerja menurunkan laju metabolisme. Akan tetapi, tidak menimbulkan kerusakan pada produk. Walaupun terdapat struktur dan metabolisme umum, namun jenis produk yang berbeda mempunyai respon beragam terhadap kondisi pascapanen tertentu. Teknologi pascapanen yang sesuai harus dikembangkan untuk mengatasi perbedaan tersebut. Respon yang beragam dapat pula terjadi, karena perbedaan kultivar, stadia kematangan, daerah pertumbuhan dan musim (Utama dan Antara, 2013).
Buah dan sayuran mengandung air sangat banyak antara 80-95% sehingga sangatlah mudah mengalami kerusakan karena benturan-benturan fisik. Kerusakan fisik dapat terjadi pada seluruh tahapan dari kegiatan sebelum panen, selanjutnya pemanenan, penanganan, grading, pengemasan, transportasi, penyimpanan, dan akhirnya sampai ke tangan konsumen. Kerusakan yang umum terjadi adalah memar, terpotong, adanya tusukan-tusukan, bagian yang pecah, lecet dan abrasi. Kerusakan dapat pula ditunjukkan oleh dihasilkannya stress metabolat (seperti getah), terjadinya perubahan warna coklat dari jaringan rusak, menginduksi produksi gas etilen yang memacu proses kemunduran produk. Kerusakan fisik juga memacu kerusakan baik fisiologis maupun patologis (serangan mikroorganisme pembusuk) (Utama, 2001).
Kemunduran kualitas dari suatu produk hortikultura yang telah dipanen biasanya diikuti dengan meningkatnya kepekaan produk tersebut terhadap infeksi mikroorganisme sehingga akan semakin mempercepat kerusakan atau menjadi busuk, sehingga mutu serta nilai jualnya menjadi rendah bahkan tidak bernilai sama sekali.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap mutu. Baik Faktor Pra panen maupun pasca panen.
Faktor pra panen yang berpengaruh terhadap mutu meliputi:
Genotipe kultivar dan rootstock
Kondisi iklim selama periode produksi
Praktik budidaya
Populasi tanaman
Faktor pascapanen meliputi:
Panen
Perlakuan-perlakuan pascapanen
Faktor penting lainnya yang menentukan mutu pada saat panen adalah stadia kematangan dari produk. Hal ini khususnya untuk buah yang mengalami proses pemasakan setelah panen (Utama dan Antara, 2013).
Kualitas produk yang baik adalah penilaian dari komoditas itu sendiri dan berdasarkan dari selera konsumen yang puas akan sifat-sifat yang dimiliki komoditas tersebut. Sifat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Kartasapoetra, 1994):
1. Sifat inderawi
a. Warna
Warna meningkatkan daya tarik bahan mentah, dan dalam kebangnyakan kasus digunakan sebagai petunjuk kemasakan.Warna juga berhubungan dengan rasa, bau tekstur, nilai gizi, dan keutuhan.Buah yang berwarna harus dipungut pada tingkat tua benar, dan telah berwarna penuh yang merata. Pimen yang terdapat pada buah dibagi menjadi 3 golongan besar ; karotenoid, klorofil, dan antosianin.
b. Ukuran dan bentuk
Pentingnya ukuran dan bentuk bahan mentah karena untuk tanaman tertentu berbanding langsung dengan hasilnya tiap acre.Variasi ukuran yang beragam bagi masing-masing komoditi, sangat berpengaruh pada pemasaran di tingkat konsumen.Yang perlu diingat variasi bahan makanan yang dapat dimanfaatkan dan sedikit limbah sebagai akibat pengupasan harus segera direalisasikan.Ukuran yang besar tidak langsung juga menjadikan produk tersebut berkualitas baik.Rendemen yang yang sedikit inilah yang mencap bahwa kualitas produk tersebut adalah baik.
c. Tekstur
Sifat tekstur menyangkut rasa bila diraba, yang menentukan ketegaran, kelunakan, kandungan cairan buah, berpasir, berserabut, dan bertepung bagi buah atau sayur.Buah-buahan dan sayuran untuk diolah harus cukup tegar untuk dapat menahan pemanasan yang diperlukan sebagai perlakuan.
d. Bau dan rasa
Bau dan rasa merupakan kualitas yang sukar diukur menggunakan alat dan kebanyakan masih dinilai dengan cara subyekytif seperti panel rasa atau profil. Bau dan rasa yang baik yaitu sesuai dengan umur kematangan serta jika dicicipi, konsumen akan berminat kembali untu mengkonsumsi produk tersebut.
e. Cacat-cacat
Adanya cacat dapat dilihat secara visual. Cacat dapat menurunkan kualitas produk dan turun harganya di tingkat konsumen.Sejumlah cacat yang sering terjadi pada komoditas horti adalah cacat yang diebabkan luka oleh serangga, adanya kontaminan sehingga produk tampak membusuk, adanya bercak hitam, dan masih banyak lagi.Cacat dapat pula terjadi pada saat penanganan pasca panen. Misal pada proses Pengemasan yang kurang pas menjadikan kememaran pada saat pengangkutan dan mengganggu reaksi biokimia yang normal seperti, perubahan warna, bau, dan rasa yang tidak diinginkan, serta pembusuka yang semakin cepat.
2. Sifat tersembunyi
a. Nilai gizi
Kandungan zat-zat makanan meningkat menjelang kemasakannya, meskipun perbandingannya selalu berubah. Nilai karbohidrat yang tinggi, mineral yang cukup, serta serat nabati yang diperlukan untuk mencerna bahan lemak yang jenuh bagi badan.Vitamin yang tinggi juga banyak terdapat pada buah.
b. Peracunan
Berbagai senyawa kimia yang digunakan dalam proses produksi maupun pada proses pasca panen senyawanya masih tersisa pada produk yang menjadikan rasa pahit atau apek pada produk-produk tertentu.
Kualitas produk pascapanen merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keputusan pembelian. Pada kenyataannya kualitas suatu komoditi hortikultura panenan sangat terkait dengan tingkat atau kondisi kesegarannya. Kesegaran secara langsung mempengaruhi kualitas penampilan yang merupakan komponen kualitas yang pertama sekali diperhatikan oleh kosumen. Namun demikian, komponen kualitas yang satu mempengaruhi komponen kualitas lainnya. Seperti telah diutarakan bahwa kesegaran merupakan faktor kualitas yang mempengaruhi kualitas penampilan. Secara tidak langsung kesegaran juga mempengaruhi kualitas nutrisi. Semakin segar suatu komoditi panen khususnya sayuran, ini menandakan bahwa umur pasca panen komoditi bersangkutan masih dapat dikatakan baru atau belum lewat masak. Demikian pula halnya dengan komoditi buah. Kondisi tersebut sekaligus memberikan informasi keadaan kualitas nutrisi.
Perlakuan-perlakuan pasca panen adalah bertujuan memberikan penampilan yang baik dan kemudahan - kemudahan untuk konsumen, memberikan perlindungan produk dari kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Sukses penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan integrasi yang hati-hati dari seluruh tahapan dari operasi pemanenan sampai ke tingkat konsumen untuk mempertahankan mutu produk awal.
Salah satu kegiatan pasca panen yaitu grading. Grading adalah pengelompokan atau pengkelasan suatu produk pasca panen berdasarkan ukuran dan warna. Grading digunakan sebagai cara untuk melihat mutu produk yang pada akhirnya akan berkaitan dengan harga jual. Beberapa parameter dapat digunakan sebagai basis grading:
Ukuran. Parameter ini umum digunakan karena kesesuaiannya dengan aplikasi mekanis. Ukuran dapat ditentukan oleh berat atau dimensi. Menyisihkan produk yang tidak diinginkan. Ini sering dibutuhkan untuk memisahkan produk dengan produk yang luka karena perlakuan mekanis, karena penyakit dan insekta, karena kotoran yang dibawa dari lapang dan sebagainya.
Warna. Beberapa produk sangat ditentukan oleh warna dalam penjualannya. Kematangan sering dihubungkan dengan warna dan digunakan sebagai basis sortasi, seperti pada tomat (Utama, 2001).
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu Hand held refractometer sebagai alat pengukur tingkat kemanisan atau kadar gula dan penetometer sebagai alat pengukur kekerasan buah. Pengukuran kekerasan/kelunakan buah dapat dilakukan secara kualitatif dengan cara menekan dengan jari atau secara kuantitatif menggunakan penetrometer. Prinsip kerja dari penetrometer adalah mengukur kedalaman tusukan dari jarum penetrometer per bobot beban tertentu dalam waktu tertentu (mm/g/s). Pada alat itu sendiri terdapat semacam beban yang digunakan untuk menusukkan jarum ke dalam buah. Beban dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis buah. Saat jarum menusuk kulit buah, maka akan dapat diukur kecepatan dari masuknya jarum ke buah. Secara fisika, jika beban dijatuhkan dengan hambatan yang kecil, maka tentu nilai kecepatannya besar. Berarti buah yang keras memiliki hambatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan buah yang lunak, sehingga nilainya (mm/g/s) juga akan semakin besar.
Gambar 1. Alat Hand held refractometer
Hand held refractometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur mengukur kadar atau konsentrasi bahan terlarut misalnya gula, garam, protein dan sebagainya. Prinsip kerja dari hand held refractometer adalah dengan memanfaatkan refraksi cahaya. Gula adalah zat padat terlarut yang terbanyak terdapat dalam jus buah-buahan dan karenanya zat padat terlarut dapat digunakan sebagai penafsiran rasa manis. Sebuah refraktometer tangan bisa digunakan diluar rumah untuk mengukur % SSC (derajat ekuivaln Brix untuk larutan gula) dalam sampel jus buah yang kecil. Suhu akan mempengaruhi pengukuran (meningkat sekitar 0,5% total padatan terlarut atau TPT untuk setiap peningkatan 5°C atau 10°F), jadi sebaiknya menyesuaikan pengukuran dengan suhu ruang (Utama, 2003).
Penetrometer umumnya digunakan untuk menentukan nilai kekerasan atau kekenyalan suatu bahan. Nilai kekerasan dan kekenyalan ini disebut dengan konsistensi bahan. Konsistensi bahan didapatkan dengan menekan sampel pada penetrometer dengan menggunakan penekan standar seperti cone (jarum berbentuk kerucut), jarum atau batang yang ditenggelamkan pada sampel tersebut. Hasil pengukuran dari penekanan sampel menunjukan tingkat kekerasan atau kelunakan suatu bahan serta tergantung pada kondisi sampel tersebut seperti ukuran, berat penekan, geometri dan waktu. Semakin lunak sampel, penekan penetrometer akan tenggelam semakin dalam dan menunjukan angka yang semakin besar. Prinsip kerja dari penetrometer adalah mengukur kedalaman tusukan dari jarum penetrometer per bobot beban tertentu dalam waktu tertentu (mm/g/s) (Suwanto dan Hapsari, 2012).
Gambar 2. Alat Pengukur Kekerasan Pneutrometer
Perlakuan pendinginan pada saat praktikum dilakukan dengan memasukan produk hortikultura ke dalam kulkas baik yang produk yang dikemas maupun yang tidak dikemas. Antara produk yang menggunkan kemasan dan terbuka penyimpanan dalam kulkas dibandingkan dengan produk yang disimpan ditempat terrbua. Selama 7 hari dilakukan terhadap kualitas produk pascapanen.
Menurut Chailani (2010), Selain kandungan air, suhu juga merupakan faktor penting dalam penyimpanan produk pasca panen sebab akan mempengaruhi daya simpannya. Penyimpanan pada suhu rendah lebih aman dibandingkan dengan suhu yang tinggi. Bila terjadi penurunan suhu selama penyimpanan maka pertumbuhan jamur akan menurun, sebaliknya jamur tumbuh dengan cepat pada suhu antara 30-32˚ F atau 85-90˚ F.
Penyimpanan pada suhu rendah, produk seperti jeruk dan apel dapat bertahan 6-12 bulan dari saat pemetikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila buah-buahan sperti apel dan jeruk dapat tersedia dipasaran sepanjang tahun, seakan-akan buah-buahan ini tidak mengenal musim. Pada umumnya hanya buah-buahan tertentu saja yang disimpan pada suhu rendah, terutama apel dan jeruk yang meiliki kulit yang tebal denga lapisan kutikula yang juga tebal. Sedangkan buah-buahan lain yang berkulit lunak seperti duku, kelengkeng dan berbagai sayuran daun masih belum banyak dilakukan penyimpanan (Zulkarnain, 2009).
Produk yang dipanen dari kebun pada umumnya suhunya tinggi dan masih memiliki laju respirasi yang tinggi. Mempercepat penurunan suhu produk sangat efektif untuk menjaga kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran. Oleh karena itu teknologi pendinginan digunakan secara luas terutama untuk produk yang mudah rusak dan membusuk.
Terdapat berbagai metode pendinginan yang digunakan, antara lain adalah kamar pendingin (room cooling), udara pendingin yang bertekanan (forced-air cooling), air pendingin (hydrocooling), pendingin dengan ruangan hampa (vacuum colling), dan pengemasan dengan lapisan es (package icing).
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, dilakukan empat perlakuan pada tiap komoditas yaitu penyimpanan di lemari es kemas dan tidak kemas serta penyimpanan tempat terbuka dengan keadaan komoditas yang dikemas dan tidak tikemas. Perubahan warna terjadi pada hari ke-3 untk produk yang tidak dikemas dan yang terbuuka. Selain itu terjadi penurunan bobot pada komoditas pasca panen yang diamati.
Menurut Santoso, et all. (2013), Pengaturan suhu yang baik merupakan cara yang efektif untuk menurunkan tingkat kehilangan hasil dan mempertahankan kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran. Suhu yang rendah, tetapi tidak terlalu rendah, dapat menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas fisiologi sehingga buah menjadi rusak. Suhu yang rendah juga menurunkan laju pertumbuhan mikrobia dan laju pembusukan. Pendinginan merupakan cara yang efektif untuk menjaga kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perubahan kualitas komoditas setelah panen sangat tergantung pada perlakuan yang dilakukan setalah dilakukan pemanenan
Produk pasca panen yang memiliki kualitas terbaik pada saat setelah pemanenan yaitu dengan diberi perlakuan pengemasan dan penyimpanan dalam kulkas.
Saran
Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang dilakukan, dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja yang telah diakukan dari tiap acara.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, A dan Syukri. 2008. Agroteknologi Tanaman Buah-buahan. USU Press.
Chailani, S.R. 2010. Penyakit-penyakit pasca panen tanaman pangan. UB press. Universitas Bawijaya, Malang. 152 hlm.
Kamarani. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kartasapoetra, A.G., 1994. Teknologi Penanganan Pascapanen. Pt Rineka Cipta. Jakarta. Hal : 31 – 33.
Santoso, M.B., Widyaiswara Madya. 2013. Penanganan Pasca Panen Hortikultura. http://bbppbinuang.info/news11-penanganan-pasca-panen-hortikultura.html. Diakses 20 Mei 2015.
Suparlan (1990)., Mempelajari Susut Pasca Panen Kacang Tanah di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Suwanto, E.P. dan Y.D. Hapsari. 2012. Studi Perancangan Penetrometer Digital Sebagai Alat Uji Konsistensi Bahan Berbasis Mikrokontroler. Institute Teknologi Sepluh Maret, Surabaya.
Utama, I.M.S. dan N.S. Antara. 2013. Pasca panen tanaman tropika: buah dan sayur. Tropical plant curriculum project. Udayana university, Bali.
Utama, M.S. 2001. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran. Forum Konsultasi Teknologi.. dina Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Bali.
Utama, I. 2003. Praktik-Praktik Penanganan Pasca Panen Skala Kecil : Manual Untuk Produk Hortikultura (Edisi Ke 4). (Online). Http://Postharvest.Ucdavis.Edu/Datastorefiles/234-1198.Pdf Diakse Pada Tanggal 21 Mei 2015.
Utama, M.S. 2006. Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura dalam Mendukung GAP. Pemberdayaan Petugas dalam Pengelolaan OPT Hortikultura dalam Rangka Mendukung Good Agriculture Practies (GAP). Bali 3-8 Juli 2006.
Zulkarnain, H. 2009. Dasar-dasar hortikultura. Bumi aksara, Jakarta. 336 hlm.