Studi Kasus Dana BOS Dengan Pendekatan Ilmu Politik
Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Metodologi Ilmu Politik
Ditulis oleh:
Maria Angelica Christy Aka
NIM : 15/384273/SP/26985
Departemen Politik dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
2016
Pengantar
Kita mengenal bahwa setidaknya ada sepuluh hak yang menjadi hak dasar manusia dan pada poin ketiga tercantum bahwa warga negara berhak untuk mengembangkan dirinya. Hal ini dimanifestasikan dalam UUD RI 1945 Bab XA Pasal 28C (1), yang berbunyi:
"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia." (UUD RI 1945)
Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan kemudian dijelaskan lagi pada Bab XIII Pasal 31 ayat 1-5, dimana ayat 2 berbunyi: "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Oleh karena itu, negara wajib menyediakan rancangan pendidikan sedemikian rupa sebagai upaya untuk mewujudkan hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian, pendistribusian pendidikan ini haruslah secara merata dan dapat diterima oleh berbagai kalangan, tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai uang untuk mengakses pendidikan tersebut. Maka dari itu, untuk mensukseskan program wajib belajar yang diamanatkan pemerintah agar warga negara berusia 7-15 tahun dapat menikmati pendidikan dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membentuk program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan Juli 2005 untuk membantu percepatan pencapaian program wajib belajar 9 tahun. (bos, 2012)
Dalam pelaksanaannya, BOS terkesan negara-sentris karena penyelenggaraannya sangat struktural dan harus melalui lembaga yang satu dan yang lainnya, sehingga tak jarang beberapa sekolah terlambat mendapatkan dana penyaluran karena sistem yang bertele-tele. Selain itu, kurangnya fungsi pengawasan dari pemerintah dan elemen lain menyebabkan proses akuntabilitas yang dibuat sekolah menjadi kendor, sehingga tak jarang kita temui tentang kasus korupsi dan penyalahgunaan lainnya. Oleh karena itu, dalam penugasan kali ini, penulis akan mengangkat kasus tentang dana BOS dengan menggunakan pendekatan Neo-Institusionalisme sebagai kritik atas pendekatan Institusionalisme yang membuat pelaksanaan BOS sangat hirarkis.
Kerangka Teori
Untuk menjelaskan kelemahan dari struktur program BOS yang kaku, penulis akan menggunakan pendekatan Institusionalisme atau Tradisionalis yang menafsirkan negara sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal. Rhodes, dkk. menguraikan pendekatan tradisionalis dengan: "kajian-kajian lama mengenai institusi berakar institusi aturan/undang-undang (law) dan hukum (legal), yang tidak hanya memusatkan perhatian pada bagaimana "aturan-aturan" menyalurkan perilaku, tetapi juga tentang bagaimana dan mengapa aturan-aturan lahir untuk pertama kali, dan di atas semua itu, apakah aturan-aturan bekerja atas nama kebaikan bersama atau tidak" (Ishiyama & Breuning, 2013). Selain itu, Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik menyebut pendekatan tradisionalis ini sebagai pendekatan legal yang mencakup unsur legal maupun unsur institusional. Maka, pendekatan ini erat kaitannya dengan kekuasaan serta wewenang, hubungan formal dengan badan eksekutif, struktur organisasi atau hasil kerjanya (Budiardjo, 2008).
Tentu pendekatan tersebut tidak salah jika diterapkan dalam pemerintahan. Masalahnya adalah ketika yang terjadi yaitu lambatnya proses penanggulangan dan penyelesaian atas masalah yang terjadi karena harus melewati lembaga yang satu dan seterusnya karena sarat dengan proses yang hirarkis. Oleh karena itu, dalam membahas program BOS ini, penulis mengkritik pendekatan institusionalisme yang terlalu diterapkan ketika menjalankan program tersebut dengan pendekatan Neo-Institusionalisme. Institusionalisme baru ini merupakan penyimpangan dari institusionalisme lama yang mengupas lembaga-lembaga kenegaraan secara statis. Sebaliknya, institusionalisme baru mengeksplorasi bagaimana struktur, aturan, norma, dan kebudayaan institusi menghambat pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan individu tatkala mereka merupakan bagian dari suatu institusi politik (Ishiyama & Breuning, 2013). Perspektif neo-institusionalis mengombinasikan kajian level mikro terhadap perilaku individu dengan penelitian level makro untuk memahami faktor-faktor institusional yang membantu membentuk perilaku (Miller, 1995:6). Berkaitan dengan hal ini, Miriam Budiardjo menjelaskan lebih jauh bahwa institusionalisme baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihannya. Dengan demikian kedudukan sentral dari institusi-institusi dalam kebijakan publik dinomorduakan. Sehingga, berbeda dengan pendekatan institusionalisme yang hanya memandang cara kerja dan kedudukan sentral lembaga formal, institusionalisme baru lebih menekankan pada interaksi antar aktor, bagaimana menghimpun preferensi dari banyak aktor untuk menentukan kepentingan kolektif (Budiardjo, 2008).
Analisis Masalah
Pendekatan Institusionalisme
Dalam menjalankan program dana BOS, negara melalui Kemendikbud membentuk tim-tim manajemen di setiap tingkatan. Tim yang berada paling atas adalah pada tingkat pusat, kemudian tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, baru yang terakhir adalah tingkat sekolah. Di satu sisi, pembagian tingkatan ini akan membuat pekerjaan semakin terspesialisasi sehingga meminimalisir adanya overlapping antar lembaga. Namun sayangnya, hal tersebut juga berdampak pada lambatnya kinerja petugas dalam menyikapi suatu masalah. Ketika terjadi kelebihan penyaluran dana, maka sekolah harus melaporkan kepada tim BOS kabupaten/kota, kemudian tim ini akan melaporkan lagi ke tim manajemen BOS provinsi. Baru pada tahap ini akan dilakukan pengurangan dana BOS di sekolah tersebut pada periode penyaluran berikutnya. Proses ketika terjadinya kekurangan penyaluran dana akan sama-sama melalui tahap di atas. Kalau dana yang kurang tersebut mencukupi kebutuhan sekolah, maka prosesnya akan selesai. Tetapi, kalau tidak, artinya sekolah masih kekurangan dana, maka tim manajemen provinsi harus mengajukan laporan keuangan lagi pada tim manajemen pusat melalui laporan BOS-K9 paling lambat akhir minggu kedua bulan kedua di setiap triwulan.
Karena harus melalui berbagai tingkatan untuk menyelesaikan masalah penyaluran tersebut, seringkali yang terjadi adalah pemerintah terlambat mengembalikan dana BOS sehingga dalam satu triwulan, sekolah tersebut bisa tidak mendapatkan dana operasional BOS sama sekali. Selama ini, keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor, seperti keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat pengantar pencairan dana oleh tim manajer BOS daerah. Akibatnya, kepala sekolah harus mencari berbagai sumber pinjaman untuk mengatasi keterlambatan itu. Bahkan, ada yang meminjam kepada rentenir dengan bunga tinggi. Padahal, alokasi dana BOS tidak boleh digunakan untuk keperluan membayar bunga pinjaman. Maka untuk menutupi biaya ini, kepala sekolah memanipulasi surat pertanggung jawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim manajemen BOS daerah. Ini mudah karena kwitansi kosong dan stempel toko mudah didapat. (Hendri, 2011)
Salah satu contoh adalah yang terjadi pada Kabupaten Kendal pada tahun 2011, dimana kabupaten tersebut mendapat dukungan dana yang sangat besar yaitu sekitar RP 57 Milyar untuk 900an sekolah di tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Kucuran dana yang tergolong besar ini tidak hanya membantu proses pendidikan di kabupaten tersebut, tetapi juga menambah polemik akibat keterlambatan penyaluran dan pencairan dana ke sekolah-sekolah, baik pada triwulan pertama maupun kedua, yang disebabkan oleh tiga hal utama: (Mawardi, 2011)
Pada triwulan pertama, terjadi keterlambatan karena alasan penetapan APBD molor. Alasan ini tidak rasional sebab sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Menteri Keuangan terkait proses pencairan dana BOS tahap pertama yang memperbolehkan mencairkan dana sebelum APBD ditetapkan.
Keterlambatan pencairan pada triwulan kedua disebabkan oleh belum masuknya semua laporan pertanggung jawaban keuangan pihak sekolah ke Dinas Pendidikan sehingga DPPKAD tidak berani mencairkan dana sebelum ada permohonanan pencairan dari DIKPORA.
Tertundanya proses pencairan akan membuat dana semakin lama mengendap di bank sehingga mengakibatkan adanya bunga bank atas dana BOS tersebut. Hal ini menimbulkan kerawanan terhadap perbuatan korupsi oleh pejabat terkait, sebab berdasarkan audit BPK banyak pihak di tahun 2010 yang tidak menyerahkan bunga ke kas negara atas dana BOS yang mengendap di bank.
Keterlambatan ini disebabkan karena pihak yang terlibat dalam proses penyaluran dana BOS hanya lembaga-lembaga formal tanpa melibatkan pihak sekolah yang sebenarnya menjadi pihak yang tahu betul mengenai permasalahan yang sedang dihadapi oleh sekolah tersebut.
Hal ini berlaku pula dalam melakukan proses pengawasan. Pada dasarnya memang sudah ditentukan secara tertulis mengenai siapa-siapa saja, lembaga apa saja yang terlibat, yang harus bertanggung jawab dalam melakukan fungsi pengawasan. Pengawasan dana BOS ini terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu: (Maruli, 2013)
Monitoring. Monitoring internal dilakukan oleh tim manajemen BOS pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sementara, monitoring eksternal dilakukan oleh Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional dan atau lembaga independen yang profesional seperti Bank Dunia.
Pengawasan. Pengawasan dilakukan oleh pimpinan masing-masing instansi pada bawahannya, baik di pusat, provinsi, dan khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Pengawasan internal dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional dan Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kemudian, ada pula pengawasan dari masyarakat yang dilakukan oleh unsur masyarakat dan unit pengaduan masyarakat yang terdapat di sekolah dan hasil pengawasan tersebut harus disampaikan kepada pihak berwenang.
Pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Masalahnya adalah terjadi ketimpangan dalam lapangan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab pada apa, dan sebagainya. Realitanya, lembaga-lembaga tersebut tidak mengawasi secara langsung tentang penyaluran dan pengoperasian dana BOS pada sekolah-sekolah. Sehingga yang terjadi adalah sekolah dapat memanipulasi penggunaan dana BOS dan tidak akuntabel dalam mempertanggung jawabkan laporannya.
Maka dari itu, kurangnya pengawasan secara menyeluruh dari atas (negara), sifat organisasi yang terlalu sentris dan kakunya regulasi dapat menyebabkan terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan dana BOS oleh sekolah. Oleh karenanya, negara perlu lebih fleksibel dalam membuat aturan atau petunjuk teknis (juknis) dalam pengoperasian dana BOS, sehingga sekolah tidak hanya terpaku dalam menggunakan dana BOS karena harus mengikuti aturan dari juknis itu tadi. Kemudian, pihak sekolah dan unsur masyarakat harus lebih dilibatkan lagi, baik dalam mengambil keputusan maupun dalam mengawasi penggunaan dana BOS. Sehingga partisipasi dari kedua pihak ini diharapkan dapat membantu keefektifan program BOS agar tidak timpang dengan hanya membebankan pada suatu lembaga formal bernama negara.
Pendekatan Neo-Institusionalisme
Aktor-aktor yang terlibat dalam dana BOS ternyata masih seputar lembaga formal yang bekerja secara hirarkis. Tidak terjadi keseimbangan kekuasaan antara lembaga formal dengan pihak sekolah dalam membuat keputusan dan pengalokasian dana, juga antara sekolah dengan masyarakat dalam hal akuntabilitas. Singkatnya, tidak terjadi sinergitas antar aktor, yang meliputi negara, sekolah dan masyarakat, dalam mengoperasikan program BOS. Ketiadaan interaksi ini bukan hanya membuat proses penanggulangan masalah dan penyaluran dana menjadi lamban, tapi juga mengakibatkan proses akuntabilitas yang dilakukan sekolah hanya menjadi angin lalu saja akibat kurangnya pengawasan dari negara dan partisipasi masyarakat.
Munculnya guyonan di kalangan masyarakat yang mengatakan: "hanya dua pihak yang mengetahui detail pengelolaan dana bantuan operasional sekolah di sekolah, yakni kepala sekolah dan Tuhan" tentu bukan isapan jempol belaka, karena kenyataannya banyak sekali manipulasi yang dilakukan sekolah untuk mendapatkan dana yang lebih besar. Berikut adalah tahapan modus sekolah untuk menambahkan dan menyelewengkan dana: (Trisulo, 2015)
Tahap perencanaan, adalah dengan menggelembungkan data jumlah siswa. Siswa yang sudah pindah atau lulus tetap dimasukkan dalam daftar penerima dana BOS dengan harapan dana yang diperoleh sekolah bertambah. Modus lainnya dengan mengajukan anggaran belanja fiktif, memperbanyak anggaran tak terduga, menjalin kolusi dengan panitia, membikin belanja barang habis pakai secara berulang-ulang, dobel anggaran, hingga menerima program titipan.
Tahap pencairan, kebocoran dana BOS terjadi dengan modus memperlambat pencairan hingga pemberian gratifikasi atau uang terima kasih. Modus-modusnya rapi dan tak kasat mata. Pada tahap pembelanjaan, modus membocorkan dana BOS dengan menurunkan kualitas spesifikasi barang. Pengelola dana BOS telah berkolusi dengan instansi/penyedia barang.
Tahap pelaporan. Bukan hanya keterlambatan pelaporan, tetapi juga penyajian laporan meliputi transparansi dan akuntabilitas laporan. Kasus-kasus demikian banyak ditemukan di berbagai daerah ketika pemeriksa/pengawas membandingkan dokumen rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) dengan laporan pertanggung jawaban (LPj). Spesifikasi barang di RKAS dengan LPj banyak yang berbeda. Dampaknya tak hanya kualitas yang tak sesuai standar, tapi ada alokasi dana yang sengaja dihilangkan.
Berkaca dari modus penyelewengan dana tersebut, maka yang dapat menjadi alternatif pemecahan masalah adalah melalui akuntabilitas dan transparansi. Pengelolaan dana BOS selama ini mutlak dalam kendali kepala sekolah tanpa keterlibatan warga sekolah, seperti orang tua murid, komite sekolah, guru, dan masyarakat sekitar sekolah. Partisipasi warga sekolah dibatasi hanya dalam urusan pembayaran uang sekolah. Di luar urusan tersebut, warga sekolah tidak boleh ikut campur (Hendri, 2011). Bahkan anggota komite sekolah jarang dimintai masukan saat pembuatan keputusan terkait alokasi anggaran BOS. Yang lebih umum terjadi adalah kepala sekolah dan guru akan menentukan alokasi dana, kemudian menyampaikan keputusan mereka kepada ketua komite sekolah untuk mendapat persetujuan (worldbank, 2015).
Hal di atas mengindikasikan bahwa yang kita butuhkan adalah partisipasi dari berbagai institusi, bahwa yang terlibat bukan hanya kepala-kepala atau pimpinan saja, tetapi juga melibatkan seluruh anggota dan juga unsur masyarakat. Kemendikbud mengklaim bahwa telah membuka secara transparan mengenai penyaluran dana BOS ke sekolah-sekolah di Tanah Air. Namun, keterbukaan penggunaan dana tersebut kerap berhenti di tingkat sekolah yang memiliki kewenangan otonomi atas pemanfaatan BOS tersebut (Kompas, 2011). Jika demikian, maka untuk mendorong akuntabilitas diperlukan keterlibatan antara dua aktor, yaitu sekolah itu sendiri dan aliansi dari masyarakat.
Sekolah, dalam hal ini pimpinan sekolah atau kepala sekolah, juga harus melibatkan para guru agar mengetahui anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang didalamnya terdapat dana BOS. Jadi penggunaan dana BOS itu tidak hanya dikontrol oleh satu aktor saja, karena hal ini akan rawan pada tindakan korupsi. Ketika semua aktor dalam sekolah itu terlibat, maka akan saling mengawasi sehingga proses check and balances akan tercipta. Selanjutnya, sekolah harus membuat transparansi anggaran sehingga akan meminimalisir jumlah laporan pertanggung jawaban yang manipulatif. Penelitian yang dilakukan Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Solo, menunjukkan lebih dari 80% sekolah menolak memberikan dokumen data pengelolaan BOS kepada publik dengan berbagai alasan (Harian Solopos, 2014). Hal inilah yang menyebabkan peran masyarakat dalam melakukan pengawasan sangat penting. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah menjamin dan membuka dengan lebar ruang bagi publik, atau dalam hal ini orang tua siswa, untuk meminta transparansi dana ke pihak sekolah, dan jika sekolah tidak atau menolak untuk memberikan informasi, maka sekolah tersebut dapat langsung dilaporkan ke Dinas Pendidikan, Inspektorat Daerah atau pejabat berwenang.
Karenanya, masyarakat juga menjadi salah satu aktor yang sangat berperan penting dalam mendukung kelancaran program BOS, khususnya soal transparansi dan akuntabilitas. Hal inilah yang mendorong dideklarasikannya Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) pada 22 Februari 2011. Aliansi ini bertujuan untuk mendorong orang tua siswa agar lebih berperan aktif dalam mengawasi sistem pendidikan Indonesia dan mendorong orang tua untuk melakukan pengawasan dalam penggunaan dana publik di sekolah (TEMPO Interaktif, 2011). Dibentuknya APPI ini pada awalnya merupakan angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia yang lebih baik, tetapi sayangnya kiprah aliansi ini sekarang seakan hilang begitu saja dan tidak terdengar lagi.
Selain APPI, ada pula website dengan domain awasibos.org yang berisi laporan-laporan mengenai penyalahgunaan dana BOS. Awasibos ini berperan aktif dalam mengawasi sekolah-sekolah di Indonesia dengan beritanya yang selalu up-to-date, sehingga berita ini akan diketahui oleh masyarakat luas dan tentu akan membuat citra sekolah tersebut menjadi buruk. Namun sayangnya, portal ini hanya sebatas untuk mengakses berita. Tidak ada fungsi pengawasan lebih jauh seperti laporan pertanggung jawaban, dan sebagainya, yang akan memerangi tindak kecurangan dalam dana BOS. Hal ini sangat disayangkan karena meskipun partisipasi dan pengawasan dari masyarakat sangat diperlukan dalam mendorong akuntabilitas penggunaan dana BOS, tetapi tidak ada suatu aliansi yang benar-benar memadai yang akan mendukung aktivitas masyarakat tersebut. Dan di lain pihak, pemerintah hanya menyerahkan, bahkan terkesan menyalahkan, pada masyarakat dalam hal pengawasan program ini, padahal belum ada tindakan yang benar-benar nyata yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong adanya keterbukaan informasi anggaran.
Refleksi
Penjelasan di atas tentunya telah memberi kita insight mengenai polemik yang terjadi dalam dana BOS, dimana kondisi pengorganisasian BOS saat ini yang sangat institusionalis dan hirarkis membuat penanggulangan terhadap masalah sangat lamban dan bergantung pada institusi-institusi tertentu, ditambah lagi prosesnya menjadi tidak akuntabel karena pemerintah justru tidak benar-benar hadir dalam fungsi pengawasan. Pemerintah menyerahkan akuntabilitas sepenuhnya pada sekolah, tanpa diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Selain itu, pemerintah memberikan petunjuk teknis mengenai apa-apa saja yang harus dijadikan pedoman bagi sekolah dalam bertindak. Juknis tersebut berisi tentang hal apa saja yang boleh menggunakan anggaran BOS, padahal kenyataannya pasti ada dana tak terduga yang diperlukan sekolah. Pemerintah tidak berhasil dalam menyikapi hal ini karena pemerintah sendiri tidak terjun langsung dalam penggunaan dana BOS, sehingga tidak mengetahui polemik-polemik yang terjadi.
Ketika hal ini yang terjadi, maka pilihannya adalah negara perlu mengkaji ulang tentang peraturan yang dikeluarkan supaya tidak terlalu baku dan membuat ruang gerak sekolah jadi terbatas. Untuk itu, sangat diperlukan partisipasi oleh perwakilan sekolah itu sendiri karena merekalah yang benar-benar paham mengenai apa yang mereka butuhkan. Maka, pemerintah justru harus membuka keran partisipasi sebesar-besarnya bagi sekolah agar dapat bersama-sama mencari solusi. Kemudian berkenaan dengan proses akuntabilitas, pihak sekolah juga perlu mendesain ulang cara kerjanya, yaitu dengan memberikan informasi dan transparansi anggaran pada orang tua murid untuk meminimalisir adanya kecurangan dana. Sebaliknya, orang tua harus secara aktif turut mengawasi pelaksanaan dana BOS dan melaporkan setiap tindakan kecurangan. Gerakan ini tentu bukan hanya dibebankan pada orang tua siswa dan masyarakat sipil saja, tetapi negara juga wajib berperan dalam membantu melaporkan pertanggung jawaban anggaran yang didistribusikan di setiap institusinya dan yang digunakan di tiap-tiap sekolah. Intinya, untuk memperbaiki sistem program BOS yang hirarkis, tidak transparan dan lamban, dibutuhkan adanya sinergitas antar aktor yang erat kaitannya dengan partisipasi dan akuntabilitas.
Program dana BOS ini sangat menarik karena di satu sisi kita tak lagi sangsi dengan keberadaan negara. Melalui kasus ini, kita tahu betul bahwa negara sudah memenuhi janjinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan "menginvestasikan" sejumlah besar uang untuk program BOS yang membantu tercapainya wajib belajar 9 tahun. Program ini tentu membantu masyarakat karena semua lini masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah. Tetapi, seperti kita ketahui, terlalu banyak lika-liku dalam pelaksanaan program ini. Program BOS yang seharusnya membantu masyarakat Indonesia justru memicu kasus korupsi baru yang jumlahnya tak sedikit.
Pengerjaan makalah ini menyenangkan. Tema ini sedikit banyak menyadarkan penulis bahwa negara juga berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ini membantah anggapan bahwa "yang di atas sana hanya menikmati uang rakyat", lagipula ketiadaan peran masyarakat juga berpengaruh besar terhadap maraknya kasus korupsi. Nah, hal ini pula yang memicu diskusi antara penulis dan teman-teman penulis. Kami pura-pura berlaku sebagai pengamat politik Indonesia, lalu mengomentari tentang apa saja yang perlu diperbaiki oleh ketiga ranah: negara, intermediary, masyarakat, mengenai kasus ini dan kasus yang mereka bawa.
Karena kasus ini pernah dibahas dalam mata kuliah Pengantar Studi Pemerintahan, maka penulis sudah sedikit tercerahkan dengan penjelasan mengenai dana BOS dan masalah-masalahnya dari Mas Hanif dan Mbak Azizah. Oleh karena itu, penulis sebenarnya tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam menganalisis masalah. Mungkin letak yang membingungkan adalah pada sistematika penulisan. Karena Mas Joash memberitahu lewat chat LINE dan tidak menjelaskan secara langsung di kelas, maka menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dan penulis bingung karena antar teman berbeda pula cara menjelaskannya.
Selesainya makalah ini sangat melegakan. Ad Maiorem Dei Gloriam.
Daftar Pustaka
bos, 2012. Bantuan Operasional Sekolah (BOS). [Online]
Available at: http://bos.kemdikbud.go.id/home/about
[Accessed 2016 June 2016].
Budiardjo, M., 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Revisi ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Harian Solopos, 2014. BOS gamblang, Pendidikan Cemerlang. [Online]
Available at: http://awasibos.org/liputan/biaya-pendidikan-dana-bos-bocor-dengan-berbagai-modus/
[Accessed 15 June 2016].
Hendri, F., 2011. Kompas.com. [Online]
Available at: http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/15/03155795/Skandal.Dana.BOS
[Accessed 13 June 2016].
Ishiyama, J. T. & Breuning, M., 2013. Ilmu Politik dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu. 1 ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Kompas, 2011. Bantua Operasional Sekolah (BOS). [Online]
Available at: http://bos.kemdikbud.go.id/home/artikel/4
[Accessed 15 June 2016].
Maruli, A., 2013. Antaranews.com. [Online]
Available at: http://www.antaranews.com/berita/405562/tanya-jawab-program-bantuan-operasional-sekolah-bos-4
[Accessed 13 June 2016].
Mawardi, R., 2011. PATTIRO Sekolah Rakyat. [Online]
Available at: http://sekorakyat.org/penyaluran-dana-bos-yang-bikin-masalah.html
[Accessed 13 June 2016].
TEMPO Interaktif, 2011. TEMPO.co. [Online]
Available at: https://m.tempo.co/read/news/2011/02/22/057315126/aliansi-orang-tua-murid-peduli-pendidikan-dideklarasikan
[Accessed 15 June 2016].
Trisulo, 2015. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kemeterian Keuangan. [Online]
Available at: http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan-perbendaharaan/20982-akuntabilitas-pengelolaan-dana-bos
[Accessed 15 June 2016].
worldbank, 2015. The World Bank. [Online]
Available at: http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/06/15/reviewing-ten-years-of-indonesia-school-grants-program
[Accessed 15 June 2016].