Mitigas igasi Benca enc ana Alam di Wila Wilaya yah h Pesisir isir dan dan Pulauulau-P Pulau ulau Ke Kec il
DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN JL. MEDAN MERDEKA TIMUR NO. 16 JAKARTA PUSAT TELP. (021) 3519070 ext. 1010 http://dkp.go.id DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2004
PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
CETAKAN KEDUA EDISI REVISI 2005
DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2004
3.5.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Angin Topan/Badai 3.5.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Angin Topan/Badai 3.5.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Angin Topan/Badai 3.5.2 Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai 3.5.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Struktural 3.5.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Non Struktural 3.6 Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1 Identifikasi Daerah Rawan Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) 3.6.2 Mitigasi Bencana Sea Level Rise 3.6.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Sea Level Rise Struktural 3.6.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Sea Level Rise Non Struktural 3.7 Bencana Kekeringan 3.7.1 Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan 3.7.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Kekeringan 3.7.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Kekeringan 3.7.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kekeringan 3.7.2 Mitigasi Bencana Kekeringan 3.7.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Struktural 3.7.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Non Struktural 3.8 Bencana Longsor 3.8.1 Identifikasi Daerah Rawan Longsor
v
48 48
3.8.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Longsor 3.8.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) terhadap Longsor 3.8.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Longsor 3.8.2 Mitigasi Bencana Longsor 3.8.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Struktural 3.8.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Non Struktural
49 50 50
60 60 60 61 61 62
50 BAB IV.
KOORDINASI ANTAR INSTANSI
63
BAB V
PENUTUP
64
51 53 53 53
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL NOMOR: SK.25A/P3K/V/2003 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR
54 54 54 55 56 56 56 57 57 58 58 58 59 60
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Siklus Manajemen Bencana
Gambar 3.1.
Gempa yang menimbulkan tsunami di Indonesia dari tahun 400 - 2004
32
Gambar 3.2.
Daerah Rawan Tsunami di Indonesia
33
vii
4
KEPUTUSAN
3.
Undang-undang Nomor 23 Tahun Pengelolaan Lingkungan Hidup;
1997
tentang
4.
Undang-undang Nomor Pemerintahan Daerah;
1999
tentang
5.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;
7.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001;
8.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002;
9.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tugas Unit Eselon I Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2002;
DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: SK.64A/P3K/IX/2004 TENTANG PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL,
Menimbang
Mengingat
:
:
a. Bahwa guna meminimalisasi korban, baik harta maupun jiwa, akibat bencana alam yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi bencana alam secara terencana, terpadu dan berkelanjutan; b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau pulau Kecil; 1.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
2.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
viii
22
Tahun
10. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Teknik dan Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; 11. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
ix
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
KETIGA
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TENTANG PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Memberlakukan Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. : Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA digunakan sebagai acuan bagi pejabat, aparat, dan/atau masyarakat luas dalam melakukan upaya-upaya mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan. : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 21 September 2004
Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Widi A. Pratikto
x
mitigasi bencana, dan (iii) terwujudnya peningkatan pemahaman semua pihak terhadap mitigasi bencana. 1.3.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pedoman ini adalah Pendahuluan, Kebijakan, Strategi dan Landasan Operasional Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Identifikasi Daerah Rawan Bencana, Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (mitigasi akibat erosi, abrasi, gempa bumi, tsunami, banjir, angin topan, pengaruh sea level rise), Koordinasi Antar Instansi dan Penutup, yang selanjutnya akan menjadi pedoman dan arahan bagi penyusunan petunjuk pelaksanaan di tingkat pusat dan daerah khususnya di wilayah pesisir. 1.4. PERISTILAHAN
Abrasi adalah erosi pada material masif seperti batu atau karang. Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba/ perlahan-lahan akibat alam, ulah manusia dan/atau keduanya yang menimbulkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana Alam adalah peristiwa alam yang menimbulkan kerusakan maupun korban baik harta maupun jiwa akibat letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, gelombang pasang, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang/topan/badai, tsunami, hama hutan, kerusakan flora dan fauna (kerusakan ekologi), dan lainlain
Bencana Ulah Manusia adalah peristiwa bencana yang disebabkan oleh ulah manusia seperti kebakaran, kecelakaan massal di darat/laut/udara, pencemaran lingkungan oleh limbah manusia dan industri, wabah penyakit manusia/hewan/tumbuhan, pembangunan infrastuktur yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, dan lainlain. Erosi adalah pengurangan daratan atau mundurnya garis pantai. Penanggulangan Bencana ( Disaster Management) adalah suatu proses yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan penanganan, merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan ( preventive), mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan ( preparedness), tanggap darurat ( response), rehabilitasi (rehabilitation) atau evakuasi (evacuation) dan pembangunan kembali ( development ). Rangkaian kegiatan tersebut dapat saling berkaitan dan merupakan siklus manajemen bencana seperti terlihat pada Gambar 1. BENCANA TANGGAP
KESIAPSIAGAAN
DARURAT
MITIGASI
PEMULIHAN
PENCEGAHAN
PEMBANGUNAN
Gambar 1.1. Siklus manajemen bencana
3
4
Pencegahan adalah upaya untuk menghambat atau menghilangkan bahaya-bahaya yang mungkin timbul dari terjadinya peristiwa bencana yang bisa merusak kehidupan dan penghidupan masyarakat. Mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mengurangi atau meminimalkan dampak dari suatu bencana terhadap masyarakat. Kesiapsiagaan adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk menghadapi/mengantisipasi (tanggap darurat) bencana lingkungan yang mungkin terjadi pada skala nasional, regional dan lokal.
ekologis setempat serta memberikan gambaran kerusakan ekologi yang ada Mikrozonasi (Risk Mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk mendukung pengkajian resiko bencana baik fisik maupun ekologis suatu kawasan secara rinci termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survei di lapangan), analisa dan penyajian dalam bentuk peta resiko.
Pemulihan adalah suatu proses untuk membantu masyarakat yang terkena bencana termasuk sarana dan prasarana agar segara berfungsi kembali, memulihkan tata kehidupan serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana berdasarkan asas kemandirian agar kembali mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan sebaik baiknya. Rehabilitasi ekologi lingkungan adalah proses perbaikan habitat ekosistem sehingga ekosistem tersebut dapat kembali berfungsi dengan baik. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali yang dilakukan untuk meningkatkan keadaan kehidupan dan penghidupan masyarakat dalam menghadapi bencana dengan membangun kembali sarana dan prasarana di lokasi bencana sehingga menjadi lebih baik dari keadaan sebelum terjadinya. Rekonstruksi ekologi dilakukan untuk menciptakan habitat yang kondusif terhadap pemulihan kondisi flora (vegetasi) dan fauna. Tanggap Darurat adalah suatu atau serangkaian kegiatan dan upaya pemberian bantuan kepada korban bencana berupa bahan makanan, obat-obatan, penampungan sementara, serta mengatasi kerusakan secara darurat supaya dapat berfungsi kembali. Tanggap darurat ekologi adalah serangkaian kegiatan untuk memantau kondisi
5
6
b. Mengurangi dampak negatif terhadap kualitas keberlanjutan ekologi dan lingkungan di wilayah pesisir akibat bencana alam maupun buatan. c. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan wilayah pesisir. d. Meningkatkan pengetahuan masyarakat pesisir dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana. e. Meningkatkan peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah, pihak swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir. 2.2
STRATEGI MITIGASI WILAYAH PESISIR
BENCANA
ALAM
DI
Secara filosofis, penanggulangan bencana di wilayah pesisir dapat ditempuh melalui beberapa strategi sebagai berikut : a. Pola protektif , yaitu dengan membuat bangunan pantai secara langsung “menahan proses alam yang terjadi”. b. Pola adaptif , yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dengan perubahan alam yang terjadi. c. Pola mundur (retreat ) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses dinamika alami yang terjadi, tetapi “mengalah” pada proses alam dan menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi perubahan alam yang terjadi.
Untuk dua pola terakhir perlu dipandang sebagai strategi mitigasi bencana alam di wilayah pesisir. Kajian ke arah tersebut perlu dilakukan agar kelestarian sumberdaya alam pantai dapat terpelihara serta kemanfaatannya terus dapat dinikmati dari generasi ke generasi secara berkelanjutan. Selain itu dapat pula dilakukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir sebagai pendekatan preventif dengan jalan memberikan penyuluhan dan pengarahan kepada masyarakat.
9
2.3
LANDASAN OPERASIONAL
Secara umum, Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia didasarkan pada asas- asas sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h.
Kebersamaan dan kesukarelaan, Preventif dan kuratif, Koordinasi, kontinuitas dan Integrasi, Kemandirian, Cepat dan tepat, Prioritas, Kesiapsiagaan, Kesemestaan.
Agar dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan lingkungannya, maka pengelolaan pesisir perlu mengadoptasi Intergoverment Panel of Climate Change (IPCC, 1990) prinsip prinsip pengelolaan kawasan pesisir yang bertujuan untuk : a.
menghindari pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan rentan, b. mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi dengan baik, c. melindungi keselamatan, harta benda dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang dating dari laut, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika dan kebutuhan manusia akan rasa aman serta kesejahteraan.
10
Data tsunami di Indonesia menunjukan bahwa gempa-gempa pembangkit tsunami mempunyai magnitudo berkisar antara M = 5,6– 7,0 dengan kedalaman hiposenter berkisar antara 13 – 95 km dengan kedalaman rata-rata sekitar 60 km. Magnitudo tsunami (biasanya ditulis dengan m dalam Skala Imamura) menyatakan tinggi rendahnya gelombang tsunami yang sampai di pantai (lihat tabel). Magnitudo Tsunami juga mempresentasikan besarnya energi gelombang yang di hasilkan. Besar energi gelombang tsunami (m) mempunyai korelasi linear dengan besarnya magnitude gempa dalam Skala Richter (M) dengan hubungan empiris sebagai berikut (perhitungan data tsunami Jepang) :
Tabel 1 : Klasifikasi Tsunami Magnitudo Tsunami (m)
5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 -0,5 -1 -1,5 -2
m = 2,61 M - 18,44
Suatu gempa yang terjadi di dasar laut dengan magnitude M = 9,0, akan menghasilkan magnitude tsunami m = 5,0 dengan tinggi gelombang tsunami pantai sebesar > 32 meter dengan energi gelombang sebesar 25,6 x 10 23 erg. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami amat beragam dan dapat dikelompokan menjadi beberapa tipe sebagai berikut : a.
kerusakan struktural bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang,
b.
keruntuhan struktur bangunan karena fondasinya tergerus air laut yang amat deras,
c.
kerusakan struktural bangunan akibat hantaman benda-benda keras, seperti kapal dan semacamnya yang terbawa oleh gelombang.
Energi Tsunami (erg) 23 X 10 erg 25,6 12,8 6,4 3,2 1,6 0,8 0,4 0,2 0,1 0,05 0,025 0,0125 0,006 0,003 0,0015
Run-up (meter)
> 32 24 – 32 16 – 24 12 – 16 8 – 12 6–8 4–6 3–4 2–3 1,5 – 2 1 – 1,5 0,75 – 1 0,50 – 0,075 0,30 – 0,50 < 0,30
Sumber : Skala Imamura
3.2.1
IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN TSUNAMI
3.2.1.1 Analisis Bahaya Tsunami
Analisa bahaya tsunami ditujukan untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena bahaya tsunami. Daerah bahaya tsunami tersebut dapat diidentifikasi dengan 2 (dua) metode : 1. Mensimulasikan hubungan antara pembangkit tsunami
(gempa bumi, letusan gunung api, longsoran dasar laut) dengan tinggi gelombang tsunami. Dari hasil simulasi
23
24
Melihat kondisi tersebut di atas terlihat bahwa sistem peringatan dini terjadinya bencana tsunami yang ada di Indonesia sangat tidak efektif. Hal ini disebabkan antara lain:
4 0 0 2 0 0 4 n u h a t i r a d a i s e n o d n I i d i m a n u s t n a k l u b m i n e m g n a y a p m e G . 1 . 3 r a b m a G
a. sistem pengamatan yang memerlukan waktu antara 30 menit sampai 3 jam tidak sesuai dengan karakteristik bencana tsunami di Indonesia yang cenderung bersifat lokal dengan waktu 10 – 20 menit,
b. sistem pengamatan tersebut belum terintegrasi dengan kondisi riil di lapangan; hal ini selain disebabkan keterbatasan jumlah stasiun pengamatan yang ada juga sosialisasi di lapangan belum terintegrasi dengan intansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan pantai, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan,
c. belum adanya mekanisme komunikasi antara stasiun pengamatan (yang dikelola BMG) dengan daerah yang rawan bencana. Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif jika mekanisme komunikasi dan diseminasi hasil pemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi, longsoran dasar laut serta letusan gunung api yang dapat memicu terjadinya gelombang tsunami dapat secara langsung diterima masyarakat. Salah satu upaya yang diperlukan terkait dengan teknologi peringatan dini adalah sistem TREMORS (Tsunami Risk Evaluation through Seismic Moment from Real-Time System) yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik tsunami di Indonesia. Selain itu, mekanisme komunikasi dan diseminasi informasi tentang bencana gempa (sebagai penyebab bencana tsunami) dari BMG perlu diintegrasikan dengan Departemen Kelautan dan Perikanan.
31
32
3.3
BENCANA BANJIR
Masalah banjir di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang ini masih merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan. Berhubung fungsi kota-kota pantai sebagai pusat pertumbuhan perekonomian maka masalah banjir ini menjadi pemikiran dan keprihatinan pemerintah karena sangat mempengaruhi tata kehidupan baik dari segi ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
i m a n u s t n a w a r h i r c t s l n i u e s a r e F T P
33
a i s e n o d n I i d i m a n u s t n a w a r h a r e a D . 2 . 3 r a b m a G
Problem banjir secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah campur tangan manusia sehingga dalam pemecahannya tidak hanya dihadapkan pada masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan kepadatan penduduk yang melampaui batas. Yang dimaksud dengan keadaan alam disini adalah kondisi kota-kota pantai yang umumnya terletak di dataran pantai yang cukup landai dan dilalui oleh sungai-sungai sehingga ketika pasang naik sebagian wilayah tersebut akan berada di bawah permukaan air laut. Selain itu curah hujan yang cukup tinggi dan fenomena kenaikan paras muka air laut ( sea level rise) juga merupakan sebab-sebab yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Mengenai ulah campur tangan manusia ( anthropogenic) umumnya disebabkan oleh pengembangan kota yang sangat cepat akan tetapi belum sempat atau mampu membangun sarana drainase ramah lingkungan, adanya bangunan-bangunan liar di dalam sungai, sampah yang dibuang di saluran dan sungai yang mengganggu aliran sungai, penggundulan di daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu yang menyebabkan kurangnya daya resap tanah di daerah tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan aliran permukaan (surface run-off ) berupa banjir.
34
3.8.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Longsor
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana longsor sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana
3.8.2
3.8.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non struktural ini meliputi : 1. Peraturan perundangan yang mengatur bencana alam, 2. Pembuatan peta rawan bencana longsor. 3. Sosialisasi dan Penyadaran kepada masyarakat untuk tidak tinggal di daerah yang rawan longsor/daerah tebing. 4. Pengembangan sistem peringatan dini bencana longsor 5. Perkiraan terjadinya longsor dilakukan oleh instansi terkait yang berwenang menangani bahaya longsor, seperti Badan Geologi dan Vulkanologi.
Mitigasi Bencana Longsor
3.8.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Struktural
Upaya struktural dalam menangani bencana longsor adalah upaya teknis yang bertujuan untuk melindungi lingkungan pesisir yang rawan terhadap bencana kekeringan. Upaya penanggulangan secara fisik sangat bervariasi tergantung dari jenis longsoran dan mekanisme kejadiannya, yang antara lain meliputi : 1. Pembangunan tanggul penahan di lokasi-lokasi yang rawan bencana longsor, 2. Penataan saluran air yang memadai, 3. Reboisasi di daerah-daerah yang rawan longsor.
61
62
BAB IV KOORDINASI ANTAR INSTANSI
Kelembagaan dalam penanggulangan bahaya nasional saat ini telah dibentuk mulai dari Tingkat Pusat yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Bakornas PBP), Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satkorlak PBP) di Tingkat Provinsi, Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satlak PBP) di Tingkat Kabupaten/Kota dan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satgas PBP) di Tingkat Kecamatan/Desa. Organisasi Bakornas PB sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 2001 beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Perhubungan, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup, Panglima TNI, Kepala Kepolisisan RI dan Gubernur. Melihat perkembangan kedepan dimana sektor kelautan dan perikanan telah ditangani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, maka perlu adanya perubahan terhadap Keppres RI No. 3 Tahun 2001 tersebut.
63
BAB V PENUTUP
Pedoman ini dikeluarkan untuk menjadi arahan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dalam menyusun perencanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara ekologi dapat dipertanggungjawabkan.
Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 September 2004
DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
WIDI A. PRATIKTO
64
88. Ir. I Made Sudarsana 89. Ir. Saleh Purwanto 90. Ir. I Ketut Sudiarta, MSi
Dinas P & K Prop. Bali Dinas P & K Prop. Bali Yayasan Giri Baruna Lestari
Ucapan terima kasih dan penghargaan ini juga saya sampaikan kepada berbagai pihak yang karena keterbatasan kami tidak dapat disebut satu per satu sebagaimana di atas. Tersusunnya Pedoman ini tidak lepas dari partisipasi aktif berupa kritik maupun saran-saran yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan materi yang telah diberikan oleh saudara-saudara sekalian. Semoga usaha dan kerja keras Saudara dapat bermanfaat bagi terlaksananya program pengembangan pesisir dan pantai di Indonesia dan membantu dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat pesisir. DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR : SK –25A /P3K/V/2003 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL,
Menimbang
:
WIDI A. PRATIKTO
a. Bahwa dalam rangka menunjang keberhasilan Program Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dipandang perlu membentuk Tim Penyusunan Pedoman Umum Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir yang keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur instansi terkait; b. Bahwa nama-nama sebagaimana dimaksud didalam lampiran keputusan ini dipandang perlu untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut; c. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Mengingat
69
:
1.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah;
2.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah;
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
70
Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor : SK- 25A/P3K/V/2003 Tanggal : 19 Mei 2003 SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR
12.
Ir. Simon Laksmono Himawan, MA
Direktur Pengairan dan Irigasi, Bappenas
Anggota
13.
Drs. Sunaryo
Direktur BMG
Anggota
Dr. Ir. A. Djumarma Wirahadikusumah
Direktur Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, ESDM
Anggota
14.
TIM PELAKSANA
PENGARAH Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
No.
NAMA
JABATAN/INSTANSI
2.
Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
Kasubdit Pendayagunaan dan Rehabilitasi Kawasan Pesisir, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K
Anggota
3.
Ir. Eny Budi Sri Haryani
Kasubdit Pencemaran Kawasan Pesisir, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K
Anggota
Sekretaris
4.
Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc
Kasubdit Pengelolaan Pesisit Terpadu, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K
Anggota
5.
Ir. H. Ansori Zawawi
Tata Ruang Pesisir dan Pantai, Dit. Tata Ruang P3K, Ditjen P3K
Anggota
6.
Tini Martini, SH., M.Soc.Sci
Kabag Hukum Bantuan Hukum, DKP
Anggota
7.
Dr. Ir. Nizam, MSc
Fakultas Teknik – UGM
Anggota
8.
Ir. Wisnu Widjaya, M.Sc
Kabag Bencana Alam, Biro Mitigasi Bakornas PBP
Anggota
9.
Ir. Santoso Yudho, MSc
Kepala Bidang Iptek dan Industri
Anggota
10.
Dr. Ir. Untung Budi. S, MSc
Kabid Konservasi dan Pengembangan. SDA dan Kawasan Bencana Dit. TRAUNAS, Kimpraswil
KEDUDUKAN
Direktur Bina Pesisir , Ditjen P3K
2.
Ir. Ali Supardan, MSc
Sesditjen P3K, Ditjen P3K
Dr. Ir. Subandono D, M.Eng
Kasubdit Mitigasi Lingkungan Pesisir, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K
4.
Ir. Saut P. Hutagalung, M.Sc.
Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama LN, DKP
Angota
5.
Ir. Ferrianto H.S. Djais, MA
Direktur Tata Ruang P3K, Ditjen P3K
Angota
6.
Dr. Ir. Alex Retraubun, M.Sc
Direktur Pemberdayaan PulauPulau Kecil, Ditjen P3K
Ir. Diah Rahayu, APU
Kapuslitbang SDA Dep. Kimpraswil
Anggota
Ketua
Anggota
Wakil Ketua
Anggota
8.
Ir. Sugeng Triutomo, DESS
Kepala Biro Mitigasi Bakornas PBP
9.
Dr. Ir. Idwan Suhardi
Asdep Kajian Kebutuhan IPTEK RISTEK
Anggota
10.
Drs. Sudaryono
Asdep Pengendalian Kerusakan Ekosistim Pesisir dan Laut, Meneg LH
Anggota
Kepala Biro Hukum DKP
Anggota
11. Narmoko Prasmadji, SH
73
Ketua
Kasubdit Mitigasi Lingkungan Pesisir, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K
Ir. H. Irwandi Idris, MSi.
7.
KEDUDUKAN
Dr. Ir. Subandono D, M.Eng
1.
3.
JABATAN/INSTANSI
1.
TIM TEKNIS No.
NAMA
74
Anggota