TUGAS REFERAT BLOK DMS TINEA KAPITIS
Pembimbing:
dr. dr. Evy Sulistyoningrum, M.Sc
Oleh Kelompok 4
Faishal Hanif Miranti Probosini Arvin Lutfiani Nugraha Ramadhan Firyal Maulia Nadia Hanifah Dzicky Rifqi Fuady Masayu Athifah Fitriahani Astri Dewi Wardhani M. Benni Kadapih Hazar Arfita Audina
G1A012034 G1A012035 G1A012036 G1A012037 G1A012038 G1A012039 G1A012040 G1A012041 G1A012042 G1A012043 G1A012044
JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013
1
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS REFERAT BLOK DMS TINEA KAPITIS
Oleh Kelompok 4: Faishal Hanif Miranti Probosini Arvin Lutfiani Nugraha Ramadhan Firyal Maulia Nadia Hanifah Dzicky Rifqi Fuady Masayu Athifah Fitriahani Astri Dewi Wardhani M. Benni Kadapih Hazar Arfita Audina
G1A012034 G1A012035 G1A012036 G1A012037 G1A012038 G1A012039 G1A012040 G1A012041 G1A012042 G1A012043 G1A012044
Disusun untuk memenuhi tugas blok Dermatomuskuloskeletal pada Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan IlmuIlmu -Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Diterima dan disahkan, Purwokerto, 20 November 2013 Dosen Pembimbing,
dr. dr. Evy Sulistyoningrum, M.Sc NIP 19800413.2005 19800413.200501.2.001 01.2.001
2
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS REFERAT BLOK DMS TINEA KAPITIS
Oleh Kelompok 4: Faishal Hanif Miranti Probosini Arvin Lutfiani Nugraha Ramadhan Firyal Maulia Nadia Hanifah Dzicky Rifqi Fuady Masayu Athifah Fitriahani Astri Dewi Wardhani M. Benni Kadapih Hazar Arfita Audina
G1A012034 G1A012035 G1A012036 G1A012037 G1A012038 G1A012039 G1A012040 G1A012041 G1A012042 G1A012043 G1A012044
Disusun untuk memenuhi tugas blok Dermatomuskuloskeletal pada Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan IlmuIlmu -Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Diterima dan disahkan, Purwokerto, 20 November 2013 Dosen Pembimbing,
dr. dr. Evy Sulistyoningrum, M.Sc NIP 19800413.2005 19800413.200501.2.001 01.2.001
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................ .................................................................. ............................................ ......................
1
HALAMAN PENGESAHAN ............................................. ................................................................... ............................. .......
2
DAFTAR DAFTAR ISI IS I ............................................. ................................................................... ............................................ ................................. ...........
3
BAB I PENDAHULUAN ........................................... ................................................................. ..................................... ...............
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................ ................................................................... .......................... ...
5
BAB III KESIMPULAN .......................................... ................................................................ ........................................ ..................
31
DAFTAR PUSTAKA ........................................... ................................................................. ............................................ ......................
32
3
I. PENDAHULUAN
Tinea kapitis adalah salah satu kelainan di sistem dermatologi yang menyerang rambut. Penyakit ini digolongkan sebagai mikosis superfisialis atau dermatofitosis dan disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala, alis dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang batang rambut dan akar folikel rambut. Kelainan ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, bahkan kadang-kadang ditandai gejala yang lebih berat, yaitu kerion (Djuanda, 2010). Tinea kapitis telah menjadi masalah serius di Indonesia dan di dunia. Di dunia, prevalensi tinea kapitis tertinggi terjadi di Afrika, Asia dan Eropa Tenggara. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat insidennya rendah. Di Amerika serikat, jumlah penderita tinea kapitis 3-8 % dari populasi anak -anak (Richardson, 2003). Sebuah penelitian di Australia menunjukkan bahwa penduduk etnis Arab paling sering terkena tinea kapitis (42%), disusul etnis Nuer dan Dinka (22%) dan Afganistan (14%) (McPherson et al., 2005). Sementara itu, penelitian tinea kapitis di India didapatkan bahwa terdapat 4,9 % orang dewasa terkena tinea kapitis (Kumarh et al., 2003). Di Medan, pasien tinea kapitis didapatkan sekitar 0,4% (tahun 1996-1998) dari kasus dermatofitosis dan biasanya terjadi secara musiman. Di FKUI/RSCM, tinea kapitis (tahun 1989- 1992) jumlahnya 0,61-0,87% dari kasus jamur kulit. Di Manado (tahun 1990-1991) insiden tinea kapitis mencapai 1,2-6,0% dari kasus dermatofitosis sedangkan di Semarang sebesar 0,2%. Di Surabaya, kasus baru tinea kapitis antara tahun 2001-2006 insidensinya antara 0,31%-1,55% dengan tipe kerion adalah yang tersering (62,5%), disusul tipe Grey Patch (37,5%), sementara tipe Black dot tidak ditemukan (0%). Penderita anak laki-laki lebih banyak (54,5%) dibanding anak perempuan (45,5%) (Kumarh et al., 2003). Walaupun terlihat ringan dan jarang menimbulkan kematian, akan tetapi salah satu jenis infeksinya, yaitu infeksi endotriks, bisa menyebabkan penyakit sistemik yang menyebar (disseminated systemic disease) yang memerlukan penanganan yang lebih sulit lagi. Dengan demikian, mahasiswa perlu memahami penyakit
4
lebih dalam lagi untuk kepentingan klinis (Kao, 2013). II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tinea Kapitis adalah infeksi jamur superfisial yang menyerang kulit kepala dan rambut (Siregar, 2005). Tinea Kapitis disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala, alis dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang batang rambut dan akar folikel rambut. Penyakit ini termasuk ke dalam mikosis superfisialis atau dermatofitosis (Kao, 2013).
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan morfologi Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan morfologinya menjadi jenis ektotrik, endotrik dan favus. Jenis ektotrik ditandai dengan adanya hifa jamur dan selubung artrokondria di luar rambut hingga ke zona keratinisasi rambut dan bisa merusak kutikula (Rudnicka et al ., 2012). Rambut yang terinfeksi memancarkan pendaran kuning kehijauan
cerah
pada
pemeriksaan
dengan
lampu
Wood.
Penyebabnya antara lain Microsporum canis, Microsporum gypseum, Trichophyton equinum, dan Trichophyton verrucosum (Kao, 2013).
Gambar 2.1 Hifa dan spora jamur di luar rambut (panah merah) pada tinea kapitis jenis ektotrik (JRM, 2013).
5
Jenis endotrik ditandai dengan pengisian batang rambut dengan hifa jamur dan artrokondria sehingga semua elemen rambut bisa dilemahkan oleh jamur (Rudnicka et al ., 2012). Kutikula rambut masih intak dan rambut yang terinfeksi tidak memancarkan pendaran cahaya dengan lampu Wood. Penyebabnya antara lain Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum (Kao, 2013).
Gambar 2.2 Hifa dan spora jamur di dalam rambut (panah merah) pada tinea kapitis jenis endotrik (JRM, 2013). Jenis
favus
(endotrik
favosa)
biasanya
disebabkan
oleh
Trichophyton schoenleinii dengan ciri khas adanya rongga udara di dalam rambut yang terinfeksi (Rudnicka et al ., 2012). 2. Berdasarkan penampakan klinis Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan penampakan klinisnya menjadi tiga jenis, yaitu inflamatori, non-inflamatori dan favus. Jenis noninflamatori (epidemik) sering disebabkan oleh jamur antropofilik dan sering menyerang anak-anak dan ditandai dengan adanya rambut pendek dengan panjang bervariasi, jaringan parut sedikit dan adanya black dot . Tinea kapitis jenis ini biasanya disebabkan oleh Microsporum canis (Rudnicka et al ., 2012).
6
Gambar 2.3
Rambut yang pendek dengan panjang bervariasi (panah merah) pada tinea kapitis noninflamatori (Habif et al., 2004)
Tinea kapitis inflamatori sering disebabkan jamur zoofilik atau geofilik dan ditandai dengan adanya pustul. Tinea kapitis favus (tinea kapitis favosa) biasanya ditandai dengan adanya krusta, dan material amorfik yang mengandung sisa rambut, hifa jamur dan debris keratin sedangkan batang rambutnya normal. Pada fase kronisnya, tinea kapitis favosa bisa menyebabkan kerontokan rambut (Rudnicka et al ., 2012).
7
Gambar 2.4 Pustul pada tinea kapitis inflamatori (panah biru) pada tinea kapitis inflamatori (Habif et al., 2004)
Gambar 2.5 Krusta (panah merah) pada tinea kapitis favosa (doctorfungus, 2013)
C. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi Tinea kapitis umumnya disebabkan spesies dermatofit, kecuali E. floccosum, T. concentricum dan T. mentagrophytes var. interdigitale (T.
interdigitale)
yang
semuanya
jamur
antropofilik
tidak
menyebabkan tinea kapitis dan T. rubrum jarang. Setiap negara dan daerah berbeda-beda untuk spesies penyebab tinea kapitis. Perubahan waktu juga dapat menyebabkan adanya spesies baru karena penduduk migrasi. Spesies antropofilik (yang hidup di manusia) adalah penyebab yang predominan (Clayton & Moore, 2006). Sebuah studi terbaru pada tahun 2012 di maroko menunjukkan bahwa penyebab terbesar tinea kapitis didominasi oleh dua spesies, yaitu Trichophyton violaceum (60.8%) dan Microsporum canis (21.6%) (Elmaataoui et al., 2012).
8
Trichophyton violaceum memiliki badan nodular, mikrokonidia berbentuk piriform, makrokonidia yang berbentuk ireguler dan jarang terlihat serta adanya klamidiospora asimetris (Mihali et al., 2012).
Gambar 2.6
Trichophyton violaceum dengan kepala (panah biru), badan nodular (panah merah), dan mikrokonida (panah hijau) (Murray et al., 2005)
Microsporum canis memiliki struktur makrokonidia yang panjang, berdinding
tebal,
kepala
asimetris
di
ujung
dengan
sedikit
mikrokonidia di bagian lateral. M. canis memiliki hifa berbentuk seperti raket, badan nodular, dan dapat memiliki klamidiospora (Mihali et al., 2012).
Gambar 2.7 Microsporum canis dengan kepala asimetris (panah hitam) dan badan nodular (panah merah) (Murray et al., 2005) Epidermophyton floccosum memiliki struktur dinding yang tumpul, makrokonidia berbentuk stik bergerombol. E. floccosum tidak memiliki mikrokonidia, akan tetapi memiliki banyak klamidiospora (Al-Janabi, 2009).
9
Gambar 2.8 Epidermophyton floccosum dengan makrokonidia (panah biru) dan klamidiospora (panah merah) (Murray et al., 2005)
2. Predisposisi Infeksi tinea kapitis akan meningkat pada keadaan berikut ini (Elewski et al., 2012): a. Lingkungan yang hangat dan lembab b. Terdapat luka kecil pada kulit terutama kulit kepala c. Jarang membersihkan rambut dan kulit kepala d. Permukaan kepala yang lembab dalam waktu lama Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang dapat terinfeksi tinea kapitis antara lain (Shannon, 2013): a. Usia dibawah 10 tahun b. Ras Afrika lebih beresiko daripada ras lain c. Pajanan terhadap binatang yang terinfeksi d. Higenitas yang buruk e. Pemakaian sisir dan topi bergantian f.
Diabetes Melitus
g. Kelainan sistem imun seperti pada penyakit AIDS Menurut Wolff et al., (2008), Faktor-faktor predisposisi yang dihubungkan dengan meningkatnya insidensi tinea antara lain:
10
a. Faktor nutrisi, seperti avitaminosis, defisiensi besi, defisiensi folat, dan malnutrisi generalis. b. Penyakit sistemik seperti Down’s Syndrome, Diabetes mellitus, penyakit Cushing, uremia, keganasan hematologi, timoma, dan penyakit imunodefisiensi. c. Penyebab iatrogenik, antara lain pemberian kortikosteroid, imunosupresi, dan antibiotik spektrum luas seperti metronidazole yang akan memudahkan terjadinya infeksi.
D. Patofisiologi
Microsporum canis dan T.tonsurans ditularkan melalui kontak antara anak dengan anak dan mengakibatkan terbentuknya pitak berbentuk oval. Rambut patah dengan panjang yang berbeda-beda dan permukaan kulit kepala bersisik dan berkrusta dengan papula yang diskret. M. canis biasanya ditularkan dari anak kucing ke anak-anak dan menimbulkan pitak-pitak radang purulen. Pitak tersebut biasanya berkrusta dengan banyak pustula dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Lesi yang meradang dapat membentuk massa besar, lunak, dan yang disebut kerion (Stawiski & Price, 2006). Proses inokulasi dapat dilakukan untuk mendapatkan hifa jamur berbentuk sentrifugal di stratum korneum dan tumbuh mengikuti dinding keratin folikel rambut. Zona yang terlibat meluas hingga keatas mengikuti arah pertumbuhan rambut dan dapat diamati diatas permukaan kulit kepala pada hari ke 12-14. Rambut yang terinfeksi menjadi rapuh dan mudah patah. Setelah minggu ketiga, rambut yang mengalami kerusakan akan terlihat jelas. Jika infeksi berlangsung terus menerus kira-kira hingga 8 sampai dengan 10 minggu maka akan menyebar ke bagian stratum korneum rambut lainnya dengan diameter tempat yang terinfeksi mencapai 3,5 hingga 7 cm (Kao, 2013).
11
a. Grey Patch Ringworm (Budimulja, 2009) Jamur (Microsporum)
Masuk (menginfeksi)
menyerang rambut
membentuk papul merah kecil di folikel rambut
warna rambut menjadi abu-abu melebar mudah patah, terlepas (rontok) bercak alopesia setempat pucat, bersisik
gatal b. Black Dot Ringworm (Budimulja, 2009) Trichophyton tonsurans, T. violaceum
Infeksi rambut (muara folikel)
Rambut patah black dot
Sisa: ujung rambut penuh spora
c. Kerion (Rengganis & Bratawidjaja, 2012) Microsporum canis, M. gypseum
Aktivasi makrofag
Merangsang produksi sitokin IL-1, TNF-α
Produksi sitokin TNF dan IFNγ Adhesi endotel aktivasi sel NK
12
Infiltrasi neutrofil
Pelepasan bahan fungisidal ROI (Reactive Oxygen Intermediate) dan enzim lisosom inflamasi
menonjol jaringan parut
alopesia menetap d. Tinea favosa Tinea favosa adalah infeksi dermatofita yang menyebabkan inflamasi kronis biasanya disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Tinea favosa juga bisa disebabkan oleh Trichophyton violaceum, Trichophyton mentagrophytes var quinckeanum, atau Microsporum gypseum. Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan (skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus "moussy odor ". Rambut diatas skutula putus-putus dan mudah lepas dan tidak mengkilat lagi. Bila sembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang permanen (Savitri, 2010). Pada kebanyakan pasien, favosa adalah bentuk parah dari tinea kapitis. Rambut dapat tumbuh dan memanjang meskipun dalam keadaan sakit. Karakteristik khas pada favosa adalah pembentukan ruang udara antara hifa dalam rambut yang terinfeksi. Ruang udara ini terbentuk sebagai akibat dari autolisis hifa (Savitri, 2010). Trichophyton schoenleinii,Trichophyton violaceum Trichophyton mentagrophytes var quinckeanum, Microsporum gypseum
Infeksi kulit kepala
13
Tinea favosa
Bintik kecil, merah
Krusta cawan (spatula)
Bau busuk (moussy odor )
Rambut putus-putus, tidak mengkilat
Jaringan parut, alopesia permanen
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis Penegakan diagnosis dapat dimulai dari tahap anamnesis. Secara umum, pasien tinea kapitis datang dengan keluhan sebagai berikut (Budimulja, 2011): a. Gatal pada kulit kepala terutama jika sedang berkeringat. b. Pasien dengan tinea kapitis bentuk Grey Patch Ringworm akan mengeluh gatal pada kulit kepala, rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya. c. Pada bentuk kerion, muncul pembengkakan yang menyerupai sarang lebah pada kulit kepala dan dapat menimbulkan jaringan parut yang menonjol sehingga timbul keluhan bengkak disertai nyeri pada kulit kepala. d. Pada bentuk Black Dot Ringworm, terdapat kerontokan rambut yang meninggalkan ujung rambut hitam pada kulit kepala atau disebut black dot .
14
2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasen tinea kapitis bentuk Grey Patch Ringworm yaitu papul merah kecil disekitar rambut dan akan melebar, membentuk bercak serta bersisik. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi. Rambut juga mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik tidak menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti (Budimulja, 2011).
Gambar 2.9 Grey patch (Panah merah) pada tinea kapitis jenis Grey Patch Ringworm (Kao, 2013). Pada tinea kapitis bentuk kerion dapat ditemukan pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat disekitarnya. Kelainan ini dapat menyebabkan jaringan parut yang menonjol dan berakibat alopesia menetap (Budimulja, 2011).
15
Gambar 2.10 Bentuk kerion (panah merah) pada tinea kapitis jenis kerion (panah merah) (Kao, 2013) Pada bentuk Black Dot Ringworm, ditemukan rambut patah akibat infeksi, tepat pada muara folikel dan yang tertinggal adalah ujung rambut penuh spora. Jika tumbuh, ujung rambut yang patah terkadang akan masuk ke bawah permukaan kulit (Budimulja, 2011).
Gambar 2.11
Bentuk Black dot pada tinea kapitis tipe Black Dot Ringworm (panah merah (Oishi, 2013)
Tinea favosa Adalah infeksi jamur kronis terutama oleh Trychophiton schoenlini, Trychophithon violaceum , dan Microsporum gypseum. Penyakit ini mirip tinea kapitis yang ditandai oleh skutula warna kekuningan bau seperti tikus pada kulit kepala, lesi menjadi sikatrik alopecia permanen. Gambaran klinik mulai dari gambaran ringan berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta lesi menjadi lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih luas, kulit mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen. Diagnosis
dengan
pemeriksaan
mikroskopis
langsung,
prinsip
pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis (Higgins, 2008). Terapi tinea favosa juga sama dengan tinea kapitis (Drake et al ., 2008).
16
Gambar 2.12 Skutula warna kekuningan (panah merah) pada Tinea favosa (Anane, 2013)
3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Lampu Wood
Rambut yang tampak dengan jamur M. canis, M . audouinii dan M. Ferrugineum memberikan fluoresen warna hijau terang oleh karena adanya bahan pteridin. Jamur lain penyebab tinea kapitis pada manusia memberikan fluoresen negatif artinya warna tetap ungu yaitu M. gypsium dan spesies Trichophyton (kecuali T. schoenleinii penyebab tinea favosa memberi fluoresen hijau gelap). Bahan fluoresen diproduksi oleh jamur yang tumbuh aktif di rambut yang terinfeksi (Suyoso, 2012). b. Pemeriksaan sediaan KOH
Kepala dikerok dengan cutter , atau skalpel nomor 15 lalu digunakan kasa basah digunakan untuk mengusap kepala. Proses ini akan memperlihatkan ada potongan pendek patahan rambut atau pangkal rambut dicabut yang ditaruh di object glass selain skuama dan KOH 10% ditambahkan dan ditutup kaca penutup. Potongan rambut pada kepala harus termasuk akar rambut, folikel rambut dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi hifa dan
17
artrokonidia yang menunjukkan elemen jamur adalah artrokonidia oleh karena rambut-rambut yang lebih panjang mungkin tidak terinfeksi jamur. Pada pemeriksaaan mikroskop akan tampak infeksi rambut ektotrik yaitu pecahan miselium menjadi konidia sekitar batang rambut atau tepat dibawah kutikula rambut dengan kerusakan kutikula. Pada infeksi endotrik, bentukan artrokonidia yang terbentuk karena pecahan miselium didalam batang rambut tanpa kerusakan kutikula rambut (Suyoso, 2012). c. Kultur
Memakai swab kapas steril yang dibasahi akuades steril dan digosokkan diatas kepala yang berskuama atau dengan sikat gigi steril dipakai untuk menggosok rambut-rambut dan skuama dari daerah luar di kepala, atau pangkal rambut yang dicabut langsung ke media kultur. Spesimen yang didapat dioleskan di media Mycosel
atau Mycobiotic
(Sabourraud
dextrose
agar
+
khloramfenikol + sikloheksimid) atau Dermatophyte test medium (DTM) lalu ditunggu 7 - 10 hari agar mulai tumbuh jamurnya. Penggunaan DTM dapat memperlihatkan adanya perubahan warna merah pada hari 2-3 oleh karena ada bahan fenol di medianya, walau belum tumbuh jamurnya berarti jamur dematofit positif (Suyoso, 2012).
4. Gold Standard Diagnosis
a. Lampu wood Pemeriksaan dengan menggunakan lampu wood dapat digunakan untuk melihat jamur. Prosedurnya adalah dengan menyorotkan cahaya di ruangan yang gelap. Fluoresensi positif pada tinea kapitis yang disebabkan genus Microsporum yang menimbulkan warna kebiruan atau hijau kebiruan (Faradila et al., 2009).
18
Gambar 2.13 Flouresensi warna kebiruan (panah merah) pada pemeriksaan dengan Lampu Wood (Faradila et al., 2009) b. Kultur jamur Selain menggunakan lampu wood, pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis tinea kapitis adalah dengan melakukan kultur sehingga dapat diketahui jamur atau organisme penyebab kerion (Faradila et al., 2009). Prosedurnya antara lain adalah sebagai berikut (Faradila et al., 2009): 1) Mencabut sedikit rambut atau menusuk lesi yang berisi nanah pada area kepala yang terkena 2) Selain itu untuk mendapatkan nanah, gosokkan cotton steril pada lesi 3) Kirim spesimen yang didapat ke laboratorium Hasil laboratorium ini didapatkan setelah 2-3 minggu. Pada umumnya hasil laboratorium dapat mengidentifikasi jenis dari dermatofita penyebab tinea kapitis dan kerion. Akan tetapi, perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut untuk melihat hasil kultur bakteri. Pembiakan dapat dilakukan pada (Faradila et al., 2009): 1)
Agar Dekstrosa Sabouraud (SDA) SDA dapat dipakai untuk menumbuhkan jamur akan tetapi dapat juga menumbuhkan kuman tertentu sehingga ditambahkan antibiotik pada medium ini. Antibiotik yang digunakan adalah kloramfenikol dan sikloheksimid.
19
2) Dermatophyte Test Medium (DTM) DTM merupakan media khusus untuk menumbuhkan jamur dermatofit. Sebagai anti kuman yaitu gentamisin dan klortetrasiklin sedangkan sikloheksimid sebagai anti jamur kontaminan. Positif bila adanya perubahan warna dari kuning
menjadi
merah
karena
pengaruh
metabolit
dermatofit. Seringkali diagnosis kerion celsi dapat ditegakkan hanya dengan melihat keadaan lesi pada pasien. Walaupun demikian, sebaiknya
untuk
menegakkan
diagnosis
perlu
dilakukan
pemeriksaan dengan mengambil bahan kerokan dari tempat lesi dan diletakkan di atas slide dan diteteskan larutan KOH 10% kemudian dilihat dibawah mikroskop (Faradila et al., 2009).
c. Pemeriksaan mikroskopis Pemeriksaan ini dilakukan dengan mikroskop cahaya. Preparat langsung dari kerokan kulit dengan larutan KOH 10%. Awalnya, dilakukan pengamatan dengan pembesaran 10 x10 kemudian dilanjutkan dengan pembesaran 10 x 45 sehingga dapat terlihat hifa atau spora dan miselium. Fungsi KOH adalah untuk melarutkan debris dan lemak. Larutan KOH 10% dapat melarutkan debris dan lemak dari kerokan kulit, rambut dan mukosa. Pada sedian rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadangkadang terlihat pula hifa pada sediaan rambut (Faradila et al., 2009).
20
Gambar 2.14 Spora (panah biru) dan pseudohifa (panah merah) pada pememeriksaan mikroskopis Tinea Kapitis dengan larutan KOH 10% (Faradila et al., 2009). Pada pemeriksaan fisik, anak-anak bisa didiagnosis tinea kapitis jika datang dengan kepala berskuama, eritema, alopesia, limfadenopati servikal posterior atau limfadenopati aurikuler posterior atau kerion, juga termasuk pustul atau abses, dissecting cellulitis atau black dot (Suyoso, 2012).
d. Pemeriksan bentuk comma hairs, corkscrew hairs, dan broken dystrophic hairs Pada pasien dengan warna kulit gelap, seringkali sulit untuk menemukan tanda-tanda di atas. Masalah ini telah diselesaikan dalam penelitian tahun 2011 yang berisi tentang pengamatan bentuk residu rambut yang terlihat dengan pengamatan tanpa mikroskop untuk menentukan adanya mikroorganisme penyebab tinea kapitis. Bentuk residu rambut yang dapat diamati adalah comma hairs, corkscrew hairs, dan broken dystrophic hairs (Hughes, Chiaverini, Bahadoran, & Lacour, 2011). Pada tahun 2013 kembali dilakukan penelitian dan hasilnya adalah bahwa metode ini juga bisa digunakan untuk pasien berkulit putih (Neri et al., 2013).
21
Gambar 2.15
Pengamatan bentuk comma hairs (panah merah), corkscrew
hairs (panah
biru),
and
broken
dystrophic hairs (panah kuning) (Hughes et al., 2011).
F. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa a. Terapi lama Pengobatan dermatofitosis mengalami kemajuan sejak tahun 1958. Gentles (1958) dan Martin (1958) secara terpisah melaporkan, bahwa griseofulvin per oral dapat menyembuhkan dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan. Sebelum zaman griseofulvin, pengobatan dermatofitosis hanya dilakukan secara topikal dengan zat-zat keratolitik dan fungistatik (Budimulija, 2010). Pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum audouini misalnya, dilakukan pengobatan topikal dan disertai penyinaran dengan sinar X untuk merontokkan rambut di bagian yang sakit. Cara penyinaran ini, yang diberi dengan dosis tunggal memerlukan
perhitungan
yang
cermat.
Persiapan
untuk
melindungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu, efek samping penyinaran yang mungkin timbul pada masa akan datang cukup berbahaya (Budimulija, 2010). Anak-anak yang telah mendapat penyinaran ternyata di masa akan datang mendapat kemungkinan menderita keganasan
22
10 kali lebih besar daripada anak-anak yang tidak mengalami penyinaran untuk pengobatan tinea kapitis. Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik (Budimulija, 2010).
b. Terapi baru Obat tinea kapitis lebih manjur jika menggunakan obat sistemik dibandingkan obat topikal karena obat topikal tidak menembus folikel rambut. Obat topical lebih ditujukan untuk menjadi tambahan dari obat sistemik (Richardson & David, 2012). Griseofulvin merupakan obat jamur dan berperan dalam menghambat mitosis dermatofit dan telah menjadi gold standard terapi tinea kapitis. Obat ini sudah tersedia lebih dari 40 tahun dan terbukti aman. Tersedia dalam dua sediaan, yaitu microsize dan ultramicrosize (Bennasar & Ramon, 2010). Untuk sediaan microsize dosis yang direkomendasikan adalah 20-25 mg/kgBB dan untuk sediaan ultramicrosize sebanyak 10-15 mg/kgBB. Griseofulvin
diberikan
memerlukan
waktu
selama
lebih
6-8
lama
minggu,
pada
namun
infeksi
M.
akan canis
dibandingkan T. tonsurans (Richardson & David, 2012). Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet. Untuk orang dewasa
diberi
dosis
250
mg/hari.
Untuk
anak-anak
direkomendasikan dosis sebanyak 62,5 mg/hari untuk anak dengan berat badan di bawah 20 kg, 125 mg/hari untuk anak dengan berat badan 20-40 kg, 250 mg/hari untuk anak dengan berat badan di atas 40 kg. Pengobatan ini dilakukan selama 4 minggu. Untuk pemberian dosis lebih tinggi atau pengobatan lebih lama ditujukan pada infeksi M. canis (Richardson & David, 2012). Itraconazole bersifat lipofilik dan memiliki afinitas tinggi terhadap keratin. Obat ini menempel pada sitoplasma lipofilik
23
keratinosit di dasar kuku dan mempertahankan kekokohan kuku. Keberadaan sitoplasma dalam stratum korneum akan bertahan selama 4 minggu setelah terapi. Kadar itraconazole dalam sebum 5 kali lebih tinggi dibandingkan dalam plasma dan bertahan hingga 1 minggu setelah terapi (Bennasar & Ramon, 2010). Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul atau oral solution. Itraconazole dalam bentuk kapsul lebih baik dicerna saat makn, sedangkan oral solution lebih baik dicerna setelah berpuasa untuk mendapatkan bioavailibilitas maksimal. Respons yang diberikan sama saja dan tidak tergantung pada bentuk sediaan. Dosis yang direkomendasikan oleh dokter anak adalah 5 mg/kgBB/ hari dan diberikan sejara kontinyu. Jika diberikan bersama sediaan oral solution maka dosis akan dikurangi 3 mg/kgBB/hari (Bennasar & Ramon, 2010). Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, gangguan pencernaan, ruam-ruam, dan terkadang terjadi abnormalitas enzim hati. Obat ini juga dapat meningkatkan konsentrasi cyclosporine, digoksin, dan cisapride. Jika digunakan bersama phenytoin, isoniazid,
dan
rifampin,
maka
obat-obatan
tersebut
akan
menurunkan konsentasi itraconazole. Kontraindikasi dari obat ini ialah pada penderita, gagal jantung, orang dengan enzim hati yang tidak normal, dan yang pernah mengalami toksisitas dari obat jamur lainnya (Bennasar & Ramon, 2010). Sebuah penelitian pada tahun 2013 berusaha untuk membandingkan efiksai obat Griseofulvin dan Terbinafin. Penelitian ini dilakukan dengan metode meta-analisis. Metaanalisis dilakukan terhadap beberapa Random Clinical Trial (RCT) berbahasa inggris dari situs Pubmed pada tahun 2011. Beberapa RCT yand digunakan sebagai acuan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
24
Tabel 2.1 Daftar RCT yang digunakan dalam meta-analisis (Gupta & Drummond-Main, 2013).
Analisis
terhadap
beberapa
RCT
tersebut
kemudian
dilanjutkan dengan membandingkan efikasi masing-masing obat tersebut terhadap Microsporum sp. dan Trichophyton sp. Kesimpulan yang didapatkan yaitu bahwa Griseofulvin memiliki efikasi lebih tinggi untuk mengatasi tinea kapitis akibat Microsporum sp., sedangkan Terbinafin memiliki efikasi lebih sebagai terapi tinea kapitis akibat Trichophyton sp. (Gupta & Drummond-Main, 2013).
c. Terapi kausatif 1) Antifungal Sistemik Pada dasarnya, terapi antifungal sistemik sama dengan terapi yang terdapat dalam bagian terapi baru yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu antara lain adalah sebagai berikut: a) Golongan Griseofulvin (Richardson & David, 2012). b) Golongan alilamin, contohnyaTerbinafin (Richardson & David, 2012). c) Golongan azole, contohnya Itraconazole (Bennasar & Ramon, 2010).
25
d) Golongan polyene, contohnya amfoterisin B, nistatin, natamisin (Neal, 2006). e) Golongan flusitosin (Neal, 2006). 2) Antifungal Topikal Terapi antifungal topikal pada tinea kapitis dapat berupa sampo selenium sulfida, zink pyrithion, povidon iodida atau sampo ketokonazol. Selain menggunakan sampo, dapat pula diberikan krim atau lotion yang mengurangi spora yang dapat hidup. Spora menyebabkan penularan penyakit dan reinfeksi, serta menurunkan angka kesembuhan dari terapi antifungal oral. Larutan terbinafin 0,01% dapat membunuh arthroconidia dari lima spesies Trichophyton setelah waktu paparan 15-30 menit (Bennasar & Ramon, 2010). Krim atau lotion fungisidal diaplikasikan pada lesi sekali sehari selama 1 minggu. Sampo digunakan pada kulit kepala dan rambut yang terinfeksi dan didiamkan selama 5 menit 2 kali atau 3 kali per minggu selama 2-4 minggu sampai pasien sembuh (Bennasar & Ramon, 2010).
d. Terapi Suportif Terapi suportif pada pasien dengan tinea kapitis meliputi edukasi pasien mengenai transmisi tinea kapitis. Jika agen aktif yang diderita pasien adalah ektotriks antropofilik, maka pasien dapat diizinkan kembali sekolah atau bekerja setelah seminggu dari terapi antifungal dimulai. Pada kasus lain, pasien dapat tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Sangat ditekankan pada pasien untuk tidak menggunakan sisir, topi, helm, handuk bersama dengan orang lain karena penggunaan barang-barang yang kontak dengan lesi dapat berperan dalam transmisi penyakit. Pada semua kasus tinea kapitis yang disebabkan dermatofita antropofilik, pihak sekolah harus diberitahu bahwa
26
kegiatan olahraga yang membutuhkan kontak fisik lama, seperti bergulat, harus dihindari sampai risiko infeksi benar-benar hilang (Bennasar & Ramon, 2010). Pemeriksaan klinis dan serta mikroskopis pada anggota keluarga sangat disarankan. Sampel mikologis diambil terutama pada anggota keluarga
yang sudah menunjukkan gejala
terinfeksi. Organisme zoofilik, seperti M. canis menyebabkan respon inflamasi hampir di semua host yang terinfeksi. Pada organisme antopofilik, seperti T.tonsurans atau T.violaceum, timbul respon ringan atau tanpa inflamasi, oleh karena itu infeksi dari spesies antropofilik bersifat asymptomatic. Keluarga yang berada satu atap atau teman bermain yang sangat dekat harus turut diperiksa dan diberikan terapi antifungal topikal, seperti sampo selenium sulfide atau sampo ketokonazol 2% selama 12 minggu. Hewan peliharaan juga harus diperiksa dan jika perlu diterapi untuk mencegah adanya spora yang mungkin melekat pada bulu-bulu hewan peliharaan (Bennasar & Ramon, 2010). Peralatan rumah, seperti pakaian, karpet, bagian-bagian sofa, kasur, bantal, tirai, sisir, gunting, dan barang-barang rumah tangga yang meliputi penggunaan bersama harus dicuci dengan disinfektan kuat. Barang-barang yang dapat direbus, seperti sisir dan pakaian, dianjurkan untuk direbus dalam air mendidih selama 5 menit untuk mematikan spora-spora yang mungkin melekat pada barang-barang tersebut (Bennasar & Ramon, 2010).
e. Terapi Simptomatik 1) Antipruritus Antihistamin generasi 2 dapat digunakan sebagai agen antipruritus, contohnya adalah ketofilen, terfenadin, astemizol, loratazin, setirizin, akrivastin, dan azelastin.
27
Mekanisme obat ini adalah blokade reseptor antihistamin dan menghambat degranulasi sel mast. Efek samping yang dapat terjadi adalah mengantuk ringan dan mulut kering (Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Doxepin, sebuah bentuk dibenzoxepin tricyclic, yakni sebuah obat antihistamin yang sangat aktif. Obat ini bekerja dengan menekan kerja reseptor saraf di kulit. Dosis awalnya ialah 25-50 mg diberikan secara oral sebelum tidur. Untuk doxepin dalam bentuk krim, diberikan sebanyak 5% secara q.i.d. Obat ini menyebabkan efek samping, seperti mengantuk dan rasa menyengat (Vender & Lovell, 2007).
f.
Terapi profilaksis Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukkan
bahwa
penggunaan
sampo
antifungal
ketoconazole sebagai profilaksis efektif untuk mencegah terjadinya infeksi tinea capitis pada populasi yang berisiko tinggi.
Terapi
profilaksis
lainya
adalah
secara
nonmedikamentisa dengan cara meningkatkan higienitas, dan mencegah adanya mikroorganisme penyebab tinea kapitis (Bookstaver et al., 2011).
2. Non-medikamentosa Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani tinea kapitis antara lain adalah sebagai berikut (Berman, 2012): a. Mencuci handuk di dalam air hangat yang diberi sabun dan dikeringkan sebelum digunakan oleh penderita. b. Merendam sisir selama satu jam per hari dalam larutan campuran pemutih dan air dengan perbandingan 1:1. Lakukan selama 3 hari. c. Penderita tidak boleh menggunakan sisir, topi, handuk, sarung bantal, atau helm bersama dengan orang lain.
28
d. Apabila dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang terinfeksi, sebaiknya anggota keluarga dalam rumah tersebut juga menggunakan shampoo yang mengandung ketokenazol dan selenium sulfide untuk pencegahan.
G. Prognosis
Prognosis umumnya baik jika pada penderita tinea kapitis sudah dilakukan pengobatan dan mencapai kesembuhan, dan faktor-faktor infeksi dapat dihindari, maka prognosis umumnya baik (Siregar, 2005). Komplikasi dan infeksi sekunder pada jarang sekali terjadi pada penderita tinea kapitis. Pada umumnya hal tersebut hanya terjadi pada individu dengan sistem imun yang ditekan (Stöppler, 2012).
H. Komplikasi
1) Infeksi Sekunder Kondisis kulit yang sedang terganggu akibat infeksi tinea menjadi rawan untuk terkena infeksi sekunder oleh mikroorganisme lain. Pada tinea capitis, bila ada infeksi sekunder akan menyerupai gejala-gejala pioderma (impertigenisasi) (Siregar, 2005). 2) Alopesia Alopesia adalah kerontokan rambut atau defisiensi pertumbuhan rambut dan kehilangan sebagian atau seluruh rambut (Davey, 2005). Jamur adalah organisme penyebab penyakit tinea capitis yang dapat merusak rambut dan struktur pilosebasea dan mengakibatkan rambut rontok yang parah dan mungkin permanen, pembentukan jaringan parut alopesia pada kulit secara permanen dan menimbulkan luka yang berisi nanah (Kao, 2013). 3) Reaksi “Id” Reaksi “id” adalah manifestasi alergi akibat infeksi pada bagian distal, dan pada lesi ini tidak ditemukan organisme. Sekelompok vesikel teraba keras, gatal dan kadang nyeri dapat ditemukan pada
29
bagian tubuh yang lain. Lesi pada tubuh banyak dijumpai pada tinea kapitis, sementara jari dan telapak tangan lebih sering terkena jika lesi primernya berupa tinea pedis. Lesi dapat berubah menjadi reaksi eksematoid berskuama atau respon papulovesikuler folikel yang muncul di sebagian besar permukaan tubuh dan sangat menyulitkan dan menyebabkan rasa tidak nyaman bagi penderita (Siregar, 2005). 4) Gangguan emosi Tinea capitis disebabkan oleh infeksi dermatofita yang paling umum pada populasi anak di Amerika Serikat, tanpa diagnosis yang akurat dan pengobatan yang tepat, penyakit ini merugikan baik secara fisik dan mental anak-anak yang terkena. Pasien muda dengan kulit kepala yang gatal dan merata atau total, kerugiannya sering diejek, terisolasi, dan diganggu oleh teman sekelasnya atau teman bermain. Dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat menyebabkan gangguan emosi yang parah pada anak-anak dan dapat mengganggu kestabilan hubungan keluarga (Kao, 2013).
30
III.
KESIMPULAN
1. Tinea kapitis adalah infeksi jamur superfisial yang cenderung menyerang folikel dan batang rambut. 2. Tinea kapitis disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita. 3. Risiko terjadinya tinea kapitis diperbesar oleh adanya gaya hidup tidak bersih dan sehat, usia, genetika, nutrisi, faktor iatrogenik dan adanya penyakit dan pengobatan tertentu. 4. Tinea kapitis menimbulkan gejala pada manusia melalui beberapa mekanisme tertentu yang terkait dengan sistem dermatologi dan imunologi. 5. Penegakkan diagnosis tinea kapitis harus didasari adanya hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disertai gold standard diagnosis yang sesuai. 6. Tinea kapitis dapat diobati dengan obat dan tindakan medikamentosa tertentu baik secara kausatif, simtomatik, dan profilaktif serta dapat dikurangi gejalanya dan dicegah dengan tindakan non-medikamentosa terte ntu. 7. Prognosis tinea kapitis umumnya baik jika telah didiagnosis dan diobati dengan baik. 8. Tinea kapitis dapat menimbulkan komplikasi berupa infeksi sekunder, alopesia, reaksi “id” dan gangguan emosi.
31
DAFTAR PUSTAKA
Al-Janabi, A.A.H. 2009. Study of Characteristic Features of Pleomorphic Epidermophyton floccosum. Global Journal of Environmental Research. 3 (2): 132-134. Anane, Sonia. 2013. Tinea capitis favosa misdiagnosed as tinea amiantacea. Medical Mycology Case Report Volume 2. Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2211753912000590 (diakses pada tanggal 17 November 2013). Behrman, R. E., Kliegman, R.E., & Arvin, A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Bennasar, A., & Ramon, G. 2010. Management Tinea Kapitis in Childhood. Clinical, Cosmetic, and Investigational Dermatology. 3: 89-98. Berman, K. 2012. Tinea Capitis. Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000878.htm (diakses pada tanggal 30 Oktober 2013). Budimulja, U. 2009. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Clayton, Y.M., & Moore, M.K. 2006. Superficial Fungal Infection dalam Textbook of Pediatric Dermatology 2nd edition. Massachusetts: Blackwell Publishing. Davey, P. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Doctorfungus. 2013. Tinea capitis and Tinea favosa. Available at: http://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tinea_capitis_favosa.ph p (diakses pada tanggal 20 November 2013). Drake, L. A., Dinehart, S.M., Farmer, E. R., Goltz, R. W., Graham, G. F., & Hordinsky, M. K., et al . 2008. Guidelines of care for superficial mycotic infections of the skin: tinea capitis and tinea barbae. American Academy of Dermatology. Volume 34:290-4.
32
Elewski, B.E., Hughey, L.C, & Sobera, J.O. 2012. Fungal Disease dalam Dermatology 3rd edition. Philadelphia : Mosby Elsevier. Elmaataoui, A., Zeroual, Z., Lyagoubi, M., & Aoufi, S. 2012. Tinea capitis etiology in Ibn Sina Hospital in Rabat (Morocco). Journal de Mycologie Medicale 22(3):261-264. Faradila N, Nababan, M, & Mardhiya, W.R. 2009. Kerion Celsi. Riau : FK UNRI. http://www.Files-of -DrsMed.tk (diakses pada tanggal 16 November 2013). Gupta, A.K., & Drummond-Main, C. 2013. Meta-Analysis of Randomized, Controlled Trials Comparing Particular Doses of Griseofulvin and Terbinafine for the Treatment of Tinea Capitis. Pediatric Dermatology. 30 (1):1–6. Habif, T.P., Campbell, J.L., Zug, K.A., Chapman, M.S., & Dinulos, J.G.H. Skin Disease: Diagnosis And Treatment . Philadelphia: Elsevier Higgins, E. M., L. C. Fuller, & C. H. Smith. 2008. Guidelines f or the management of tinea capitis. British Association of Dermatology Volume 143:53-58. Hughes, R., Chiaverini, C., Bahadoran, P., & Lacour, J. 2011. Corkscrew Hair: A New Dermoscopic Sign for Diagnosis of Tinea Kapitis in Black Children. JAMA Dermatology. 147(3):355-356. JRM.
2013. Endothrix En Ectothrix. Available at: http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-enendothrix.htm (diakses pada tanggal 20 November 2013). Kao, G.F. 2013. Tinea Kapitis. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1091351-followup#a2649 (diakses pada tanggal 1 November 2013). Kumarh L, Dugra, D., Banerjee, U., & Khanna, N. 2003. Kerion in Elderly Woman. Available at: http://www.emedicine.com (diakses pada tangggal 16 November 2013). McPherson, M.E., Woodgyer, A.J., Simpson, K., & Chong, A.H. 2005. High prevalence of tinea kapitis in newly arrived migrants at an English-language school, Melbourne. The Medical Journal of Australia. 189 (1): 13-16 Mihali, C.V., Buruiana, A., Turcus, V., Covaci, A., & Ardelean, A. 2012 Morphology And Ultrastructure Aspects In Species Belongs To Trichophyton Genus Using Light And Scanning Electron Microscopy. Annals of RSCB. 17: 90-95. Mihali, C.V., Buruiana, A., Turcus, V., Covaci, A., & Ardelean, A. 2012. Comparative Studies Of Morphology And Ultrastructure In Two Common Species Of Dermatophytes: Microsporum Canis And Microsporum Gypseum. Annals of RSCB. 17: 85-59. Murray, P.R., Rosenthal, K.S., & Pfaller, M.A. 2005. Medical Microbiology 6th Edition. Philadelphia : Mosby Elsevier. Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
33