Referat
HIPERTROFI ADENOID
Disusun Oleh : Dewi Suspita Angreyeni 1611901009
Pembimbing : dr. Donny Haryxon Tobing, Sp.Tht-KL
Kepaniteraan Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Dumai Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Abdurrab 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Hipertrofi “Hipertrofi Adenoid”. Adenoid”. Referat ini diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti KKS pada ilmu THT-KL di RSUD Dumai. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Donny Haryxon T, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah bersedia membimbing saya, baik dalam penulisan dan pembahasan pembahasan referat ini. Dalam penulisan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulisan referat berikutnya.
Dumai, Oktober 2017
Penulis
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................................... i Kata Pengantar.......................................................................................................1 Daftar Isi ................................................................................................................ 2 Bab I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3 Bab II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4 2.1 Anatomi Adenoid ............................................................................................ 4 2.2 Definisi ............................................................................................................ 8 2.3 Etiologi ............................................................................................................ 8 2.4 Patogenesis ...................................................................................................... 9 2.5 Gejala Klinis .................................................................................................... 9 2.6 Diagnosis ....................................................................................................... 11 2.6.1 Anamnesis .................................................................................................. 11 2.6.2 Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 13 2.6.3 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 14 2.7 Tatalaksana .................................................................................................... 16 2.8 Komplikasi .................................................................................................... 18 2.9 Prognosis ....................................................................................................... 19 BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 21
2
BAB I PENDAHULUAN
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada dinding posterior nasofaring yang pertama kali diketahui keberadaannya oleh Meyer (1868) sebagai salah satu jaringan yang membentuk cincin Waldeyer. Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah sesuai dengan perkembangan usia. Adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi/regresi. Apabila sering terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring se bagai penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari cavum nasi ke orofaring akan mengalami penyempitan (ruang mengecil) dan dapat mengakibatkan sumbatan pada koana dan tuba eustachius. Hipertrofi adenoid, terutama pada anak-anak, muncul sebagai respon multiantigen virus, bakteri, alergen, makanan, dan iritasi lingkungan. Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan berdasarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Secara klinis dapat ditemukan tanda-tanda, seperti bernapas melalui mulut, sleep apnea, fasies adenoid, mendengkur dan gangguan telinga tengah. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tahanan gerakan palatum mole sewaktu fonasi, sementara pemeriksaan rinoskopi posterior pada anak biasanya sulit dilakukan dan tidak dapat menentukan ukuran adenoid. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral. Pemeriksaan tersebut dianggap paling baik untuk mengetahui ukuran adenoid dan perbandingan ukuran adenoid dengan sumbatan jalan napas.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Tonsil Palatina, tonsil pharingeal (adenoid) dan tonsil lingual merupakan cincin Waldeyers yang merupakan sistem Mukosa – Asssosiated Lymphoid Tissue (MALT), merupakan mekanisme pertahanan tubuh pertama dalam melindung saluran nafas bagian bawah dan traktus gastrointestinal.
Adenoid
Adenoid merupakan jaringan limfoid yang terletak di fossa nasopharing. Nasopharing berperan dalam udara pernafasan dan sekresi sinonasal yang akan dialirkan dari kavum nasi ke dalam oropharing, membantu bicara, dan drainase dari tuba eustachii/telinga tengah/ kompleks mastoid. Adenoid adalah kelompok jaringan limfoid yang terletak pada atap dan dinding posterior nasofaring. Nasofaring berada di belakang bawah dari palatum mole dan palatum durum. Bagian atas dari palatum durum merupakan atap dari nasofaring. Anterior nasofaring merupakan perluasan rongga hidung posterior. Menggantung dari aspek posterior palatum molle adalah uvula. Pada atap dan dinding posterior nasofaring, diantara lubang tuba auditori, mukosa berisi masa jaringan limfoid yang disebut pharyngeal tonsil (adenoid). Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas tepi bebas palatum molle. Berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga tengah masing-masing melalui choanae dan tuba eustachius. Perkembangan adenoid terjadi pada waktu 3 – 7 bulan masa embriologis dan akan berkolonisasi dengan bakteri pada minggu pertama setelah lahir. Pembesaran adenoid pada anak dan dewasa muda terjadi sebagai respon terhadap antigen baik oleh virus, bakteri, alergen, makanan, dan iritasi lingkungan. Adenoid akan mengalami regresi pada pubertas awal.
4
Adenoid terletak di dinding posterior dari nasopharing. Sinus paranasal terletak di depannya dan tuba eustachii – telinga tengah komplek mastoid terletak di sebelah lateral dengan drainasenya ke fossa yang berhubungan dengan hidung ke nasopharing. Adenoid dapat tumbuh ke posterior choanae dan kavum nasi posterior. Tonsil berada di dinding lateral dari oropharing dan menyeberang ke lateral dari palatum mole ke arah basis lidah.
Struktur anatomi antara adenoid dan nasopharing memberikan implikasi terhadap timbulnya penyakit pada tuba eustachii-telinga tengah komplek karena letaknya disebelah lateral, dan ke depan akan menyebabkan penyakit pada hidung, sinus paranasal, maxilla dan mandibula. Obstruksi tuba eustachii akibat inflamasi adenoid akan menyebabkan penyakit pada telinga tengah. Pembesaran adenoid dan infeksi kronik pada dewasa muda juga memberikan implikasi pada sinusitis kronik dan rekuren seperti seperti halnya rhinitis allergi.
5
Adenoid hipertropi akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut yang persisten, perubahan otot-otot vektor yang akan menyebabkan pertumbuhan dari midfasial yang kurang sempurna, berakibat palatum dan nasopharing menjadi berdekatan dan posisi mandibula yang abnormal yang disebut adenoid face yang ditandai hidung kecil, gigi incisivus ke depan (prominen), arkus faring tinggi. Akibat lain adalah faringitis dan bronkhitis, gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga timbul sinusitis kronik.
Tabel. Perbedaan anatomi dan fisiologi antara adenoid dan tonsil normal
Adenoid
Tonsil
Lokasi
Dinding posterior nasopharing,
Dinding lateral oropharing,
anatomi
kadang dapat menyeberang ke
kadang-kadang
posterior choanae
menyeberang ke nasopharing atau hipopharing
Makroskopis
Bentukinya triangular,
Umumnya berbentuk ovoid,
invaginasi dari deep folds, kripte
kadang berlobus, invaginasi
sedikit
dengan 20 – 30 kripte bercabang
Mikroskopis
Terdiri atas tiga epithelium :
Proses antigen khusus (Ag)
1. Pseudostratified bersilia
No afferent limphatics
2. Kolumner 3. Squamous 4. Antigen transtional (Ag) 5. No afferent lymphatics Fisiologis
Mucociliar clearance
Antigen prosesing
Antigen prosesing
Immune surveilance
Immune surveillance
6
Vaskularisasi adenoid oleh cabang pharingeal dari a.carotis eksterna, dan beberapa cabang dari a.facial dan maxillari interna. Persarafan sensoris adenoid dari n.vagus dan glossopharyngeal. Karena itu refred pain adenoid
(seperti halnya
tonsil) akan dirasakan baik di telinga maupun tenggorok. Adenoid mempunyai tiga bentuk jenis epitelnya yaitu : epitel kolumner pseudostratified bersilia, epitel squamous stratified, dan epitel trantitional. Infeksi kronik atau pembesaran adenoid lebih sering terjadi pada epitel squamous (aktif pada proses antigen), menurun pada epitel traktus respiratorius (aktif dalam mukosiliar clearence) dan meningkat pada interfolikuler yang berhubungan dengan jaringan fibrosis. Keadaan yang menetap dari sekresi sinonasal dan obstruksi nasopharing akan berakibat meningkatnya rangsangan paparan antigen , sehingga menyebabkan inflamasi kronik dan berkurangnya fungsi adenoid. Tonsil faringeal atau adenoid termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer yang merupakan massa limfoid berlobus dan terdiri dari jaringan li mfoid yang sama dengan jaringan limfoid pada tonsil palatine. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen yang ada pada buah jeruk, dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus dan terdiri atas rangka jaringan ikat fibrosa yang menunjang massa limfoid. Jaringan ini terisi pembuluh darah dan pembuluh limfe, sedangkan di beberapa tempat terdapat kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa yang bermuara ke arah permukaan. Kelenjar mukosa sering terdapat di dalam adenoid pada permukaan dasarnya. Ditengah-tengah jaringan ikat halus terdapat kumpulan sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid dan bergabung menjadi jaringan limfoid yang membentuk adenoid .
7
Gambar : Anatomi Cincin Waldeyer
2.2 Definisi
Adenoid merupakan pembesaran jaringan limfoid pada dinding posterior dari nasofaring dan termasuk dalam cincin Waldeyer sebagai salah satu dari sistem prtahanan tubuh. Secara fisiologis adenoid mengalami hipertrofi pada masa anakanak biasanya terlihat pada anak usia 3 tahun, lalu akan mengalami resolusi spontan dan menghilang pada usia sekitar 14 tahun. Apabila sering terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana dan sumbatan pada mulut tuba eustachius. Gangguan jaringan limfoid nasofaring (adenoid) cenderung paralel dengan gangguan tonsil di kerongkongan. Hipertrofi dan infeksi dapat terjadi secara terpisah tetapi sering terjadi bersama, infeksi biasanya primer. Struktur adenoid yang lunak dan normalnya tersebar dalam nasofaring, terutama pada dinding posterior dan atapnya, mengalami hipertrofi dan terbentuk massa dengan berbagai ukuran. Massa ini dapat hampir mengisi ruang nasofaring, mengganggu saluran udara yang melalui hidung, mengobstruksi tuba eustachii, dan memblokade pembersihan mukosa hidung.
8
2.3 Etiologi
Etiologi pembesaran adenoid dapat di bagi menjadi dua yaitu secara fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA. Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yag berulang kali antara usia 414 tahun. Flora normal yang ditemukan pada adenoid antara lain Streptococcus Alfa Hemolytic,
Corynebacterium,
Staphylococcus,
Neissria,
Micrococcus dan
Stomatococcus. Etiologi pembesaran adenoid Sebagian besar disebabkan oleh infeksi yang berulang pada saluran nafas bagian atas pola pertumbuhan normal untuk jenis jaringan. Jarang, hipertrofi adalah karena tenggorokan berulang infeksi oleh virus flu, mononukleosis, dan difteri. Infeksi akut biasanya disebut sebagai tonsilitis, yang tumbuh-tumbuh adenoide mendapatkan sedikit pengakuan karena mereka tidak dapat dilihat tanpa instrumen khusus.
2.4 Patogenesis
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid menfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada epitel kripta, folikel limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen. Adenoid dapat membesar seukuran bola pingpong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara.
9
Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.
2.5 Gejala Klinis
Akibat dari hipertrofi adenoid akan menimbulkan sumbatan koana dan sumbatan eustachius. a. Sumbatan koana Akibat dari sumbatan koana pasien akan bernafas melalui mulut sehingga akan terjadi : 1. Fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan, arkus faring tinggi. 2. Faringitis dan bronkitis Infeksi berulang pada adenoid akan menyebangkan penyebaran infeksi ke daerah di sekitarnya. 3. Gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronis. b. Sumbatan tuba eustachius Terbatasnya gerakan torus tubarius ke arah posterior sehingga pembukaan muara tuba eustachius tidak adekuat. Perubahan patensi tuba auditiva oleh hipertofi adenoid disebabkan karena obstruks mekanis pada lumen tuba dan penekanan pada pembuluh limfati sekitar lumen tuba. Hal tersebut dapat berujung pada efusi di dalam telinga tengah.
10
Hipertropi adenoid yang tidak diberikan penanganan akan mengakibatkan gangguan tidur (Obstructive Sleep Apnea), masalah pada telinga, gagal tumbuh dan kembang pada anak, hipertensi pulmonal, dan kelainan struktur kraniofasial. c. Obstruksi nasi Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus bernapas melalui mulut. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistic antara pembesaran adenoid dan kongesti hidung dengan rinoskopi anterior. d. Facies Adenoid Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid mempunyai tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik tersebut meliputi : Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek. Namun sering juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam jangka panjang. Hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/ hipoplastik, sedut alveolar atas lebih sempit, arkus palatum lebih tinggi. e. Efek pembesaran adenoid pada telinga Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis media efusi telah dibuktikan baik secara radiologis dan penelitian. f.
Sleep apnea Sleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat tidur dan
hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi, sentral atau campuran. Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan timbul wajah adenoid, yaitu pandangan kosong dengan mulut terbuka. Biasanya la ngit-langit cekung dan tinggi. Karena pernapasan melalui hidung terganggu akibat sumbatan adenoid pada koane, terjadi gangguan pendengaran, dan penderita sering beringus. Pada pemeriksaan
11
tepi anterior adenoid yang hipertrofi terlihat melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus dan konka mengerut, dengan cermin dahi, adenoid juga terlihat melalui mulut. Dengan meletakkan ganjal di antara deretan gigi atas dan bawah, adenoid yang membesar dapat diraba. 2.6 Diagnosis 2.6.1 Anamnesis
Pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya datang dengan keluhan rhinore, kualitas suara yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa pernapasan lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing ), mendengkur, bisa terjadi gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga tengah yang persisten) dan facies adenoid. Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius serta gejala umum. Akibat sumbatan koana maka pasien akan bernapas lewat mulut sehingga terjadi: a. Jika berlangsung lama menyebabkan palatum durum lengkungnya menjadi tinggi dan sempit, area dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada arcus dentalis inferior hingga terjadi malocclusio dan overbite (gigi incisivus atas lebih menonjol ke depan). b. Wajah penderita dikenal sebagai facies adenoid.
12
Secara umum anak dengan pembesaran adenoid memiliki karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal dan pertumbuhan maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini terdiri dari: (1) Postur bibir yang terbuka dengan gigi insisivus atas yang menonjol serta bibir atas yang lebih pendek (2) Hidung yang kurus, maksilla yang sempit dan hipoplastik, alveolar atas yang sempit, dan high- arched palate. c. Mouth breathing juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan kelembabannya kurang, sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan bagian bawah. d. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian. Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.
Sebuah penelitian mengklasifikasikan hipertrofi adenoid menurut gejalanya antara lain sebagai berikut: - Mendengkur (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1 – 2 malam dalam seminggu, grade 2 = 3 – 5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6 – 7 malam dalam seminggu), - Hidung tersumbat (chronic mouth breathing ) (grade 0 = tidak ada, grade 1 = ¼ hingga ½ hari, grade 2 = ½ hingga ¾ hari, dan grade 3 = ¾ hingga sehari penuh) - Sleep apnea (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1 – 2 malam dalam seminggu, grade 2 = 3 – 5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6 – 7 malam dalam seminggu) - Otitis media (grade 0 = tidak ada, grade 1=1 – 3 episode per tahun, grade 2 = 4 – 6 episode per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per tahun) - Faringitis rekuren (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1 – 3 episode per tahun, grade 2 = 4 – 6 episode per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per tahun).
13
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Langsung: 1. Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum molle di retraksi. 2. Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut fenomena palatum molle yang negatif Tidak langsung: 1.
Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring dinamakan rhinoskopi posterior.
2.
Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang mempunyai sistem lensa dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat.
2.6.3 Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto polos true lateral. Hal ini memiliki kekurangan karena hanya menggambarkan ukuran nasofaring dan massa adenoid dua dimensi. Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat obstruksi. Adapun klasifikasi menurut persentase oklusi jalan napas, adal ah: Grade I: Besar adenoid kurang dari 25% dari jalan napas nasofar ing Grade II: Adenoid sebesar 25% hingga 50% dari jalan napas nasofaring Grade III: Adenoid sebesar 50% hingga 75% dari jalan napas nasofaring Grade IV: Besar adenoid lebih dari 75% jalan napa s nasofaring
14
Gambar foto polos leher lateral b. CT Scan dan MRI CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari seperti kista maupun tumor. Gambaran hipertrofi adenoid terdapat pada CT scan dan MRI adalah gambaran densitas/intensitas central midline cyst.
c. Endoskopi Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid, infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta penyebab lain dari obstruksi nasal. Adapun ukuran adenoid diklasifikasikan menurut klasifikasi Clemens et al, yang mana adenoid grade I adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal posterior bagian vertikal (choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga dua per tiga dari koana, grade III ketika mengisi dua per tiga hingga
15
obstruksi koana yang hampir lengkap dan grade IV adalah obstruksi koana sempurna.
2.7 Tatalaksana
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk infeksi kronis adenoid, pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik dalam jangka waktu yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak kuman yang mengalami resistensi pada penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian menerangkan manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid. Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid (sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media yang rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekuren. Indikasi adenoidektomi adalah : a. Sumbatan • Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut • Sleep apnea • Gangguan menelan • Gangguan berbicara • Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
16
b. Infeksi • Adenoiditis berulang/kronik • Otitis media efusi berulang/kronik • Otitis media akut berulang
c. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam.
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat
diatasi,
operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Keadaan tersebut antara lain: 1. Gangguan perdarahan 2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat 3. Anemia 4. Infeksi akut yang berat
Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu: 1. Eksisi melalui mulut Merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di keluarkan melalui mulut setelah mulut dibuka dengan menggunakan suatu alat dan menarik langit-langit mulut. Suatu cermin digunakan untuk melihat adenoid karena adenoid terletak pada rongga hidung bagian belakang melalui pendekatan ini beberapa instrumen dapat dimasukkan.
Cold Surgi cal Techniques
Curette adenoid : Merupakan patokan dan metode konvensional yang sukses dilakukan. Alat adenoid currete mempunyai sisi yang tajam dan bengkok. Untuk mengangkat adenoid digunakan mata pisau yang tajam setelah terlebih dahulu memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat dikontrol dengan elektrocauter .
17
Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan satu instrumen bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan di atas adenoid kumudian celah itu ditutup dan pisau bedah mengangkat adenoid.
Magill Forceps : Adalah suatu instnunen yang berbentuk bengkok yang digunakan untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.
Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan elektrocauter dengan suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut jaringan adenoid.
Surgical
microdebrider :
Ahli
bedah
lain
sudah
menggunakan
metode
microdebrider, sebagian orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan pasti terjadi pada pengangkatan tetapi sebagian besar dilaporkan perdarahan dengan menggunakan tradisional currete. Mikrodebrider memindahkan jaringan adenoid yang sulit di jangkau oleh teknik lain.
Laser : Dapat digunakan untuk reseksi adenoid. Teknik ini menghindarkan scar pada nasofaring. 2. Eksisi melalui Hidung Teknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid melaui rongga hidung dengan menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi perdarahan dikontrol dengan menggunakan cauter suction. Persiapan pra operasi adenoidectomy 1. Pemeriksaan keseluruhan untuk menyingkirkan kelainan medis lainnya 2. Pemeriksaan THT lengkap 3. Foto x-ray nasofaring posisi lateral 4. Timpanometri untuk kasus-kasus yang diduga efusi telinga tengah
2.8 Komplikasi
Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bil a pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul tuli konduktif.
18
Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi nasal dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab terpenting dari obstructive sleep apnoea syndrome, khususnya ketika terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi jalan napas bagian atas, antara lain seperti anomali kraniofasial, maupun micrognathia akibat sindrom Treacher Collins.
2.9 Prognosis
Adenoidektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat diatas.
19
BAB III KESIMPULAN
1. Hipertrofi adenoid adalah pembesaran adenoid yang tidak fisiologis yang biasanya disebabkan oleh inflamasi kronik. 2. Hipertrofi adenoid biasanya disertai keluhan rhinore, kualitas suara yang berkurang, chronic mouth breathing , mendengkur, obstructive sleep apnea, tuli konduktif dan facies adenoid. 3. Foto radiologi dapat memberikan pengukuran absolut dari adenoid dan juga dapat memberikan taksiran hubungannya dengan ukuran jalan napas. 4. Foto radiologi dapat menentukan apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi nasal atau tidak. 5. Pengukuran jalan napas dengan menggunakan foto lateral memiliki korelasi yang tinggi bila dihubungkan dengan gejala klinis penderita hipertrofi adenoid. 6. CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, Goerge L. "Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring." In Boies Buku ajar Penyakit THT Edisi 6 , by Lawrence R Boies, Peter A Higler Goerge L Adams, 325-327. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997. 2. American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery. Clinical Indicators : Adenoidectomy 3. Ballenger, JJ. (1994). Penyakit-penyakit tonsil dan Adenoid. Penyakit Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1. Edisi 13. Binarupa Aksara : 347- 349 4. Brambilla, I., Pusateri, A., Pagela, F., et al. Adenoids in Children : Advances in Immunology, Diagnosis, and Surgery 5. Gardjito, Widjoseno. ”Tindak Bedah Organ dan Sistem Organ Kepala dan Leher.” Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, oleh R Sjamsuhidat, Wim de Jong, 368. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. 6. Haves, T. 2002, Lowinger D. Obstructive adenoid tissue ; an indication for powered-shaver adenoidectomy. Arch Otolaringology Head Neck Surg. 2002:128 7. McClay, JE., Adenoidectomy, Medscape Reference 8. Murilo Fernando Neuppmann Feres, Helder Inocêncio Paulo de Sousa. Reliability
of
radiographic
parameters
in
adenoid
evaluation.
Braz
J
Otorhinolaryngol. 2012;78(4):80-90 9. Rusmarjono, Soepadi EA. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertofi Adenoid dalam Soepardi EA, Iskandar N, et all, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi ke Tujuh, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2014 10. Somayaji, G., Rajeshwari, A., Jain, M. Significance of Adenoid Nasopharyngeal Ratio in the Assessment of Adenoid Hypertrophy in Children, Research in Otolaryngology 2012
21