BAB I LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN Nama
: An. Az
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 12 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Pendidikan
: SD
Alamat
: Jl. Udowo No.53 Dirgantara
ANAMNESA Diambil Secara
: auto-allo anamnesa
Pada tanggal
: 18 September 2012
Keluhan Utama
: Nyeri menelan
Jam
: 11.00 WIB
Keluhan tambahan : tidur mendengkur, rasa mengganjal ditenggorokan Riwayat Perjalanan Penyakit
:
Pasien datang ke poliklinik THT RSPAU dengan keluhan nyeri menelan yang dirasakan sejak ±5 bulan yang lalu. Nyeri menelan dirasakan terus menerus dan semakin berat sejak 3 hari terakhir hingga pasien sulit menelan makanan. Pasien juga mengeluh rasa mengganjal ditenggorokan, dan saat tidur pasien mendengkur. Setiap bulan pasien merasakan demam terutama saat serangan. Kadang disertai batuk pilek. Saat ini pasien batuk pilek, tidak demam. Sebenarnya pasien pernah menderita penyakit amandel sejak usia 10 tahun. Keluhannya hilang timbul. Keluhan sering berulang 3-4 kali setahun. Keluhan hilang walaupun tanpa diberi obat.
1
Ibu pasien mengatakan keluhan-keluhan yang dirasakan saat serangan tersebut terutama setelah pasien mengkonsumsi es dan minuman dingin lainnya. Keluhan nyeri pada telinga, rasa penuh pada telinga, keluhan suara serak, sulit membuka mulut disangkal oleh pasien. Bila serangan, ibu pasien memberikan obat penurun panas, obat batuk pilek dan antibiotic yang didapatkan dari dokter spesialis anak. Spesialis anak pernah menganjurkan pasien untuk ke dokter spesialis THT tetapi baru saat ini pasien datang ke dokter spesialis THT.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat Asthma disangkal oleh pasien. Riwayat alergi obat, makanan, debu/udara dingin disangkal oleh pasien. Riwayat operasi sebelumnya disangkal oleh pasien.
PEMERIKSAAN FISIK KEADAAN UMUM : Kesadaran
: Compos mentis
Tanda-tanda vital
:
Berat Badan
TD
: 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR
: 20x/menit
Suhu : 36,3ºC
: 37 Kg
2
TELINGA KANAN
KIRI
Bentuk daun telinga
Normal
Normal
Kelainan congenital
Tidak ada
Tidak ada
Radang, Tumor
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri tekan tragus
Tidak ada
Tidak ada
Penarikan daun telinga
Tidak ada
Tidak ada
Kelainan Pre- , dan Infra-
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Lapang, serumen (+)
Lapang, serumen (+)
sedikit
sedikit
Intak, hiperemis(-), reflex
Intak, hiperemis(-), reflex
cahaya (+) jam 5
cahaya (+) jam 7
KANAN
KIRI
Rinne
Positif
Positif
Weber
Tidak ada lateralisasi
Tidak ada lateralisasi
Swabach
Sama dengan pemeriksa
Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai
512 Hz
512 Hz
aurikuler Region Mastoid / retroaurikuler Liang Telinga
Membran tympani
TES PENALA
Kesan : ADS dalam batas normal 3
HIDUNG
Bentuk
: Normal
Tanda peradangan
: tidak ada
Daerah sinus Frontalis dan Maxillaris
: Nyeri tekan (-/-)
Vestibulum
: Hiperemis (-/-), sekret (-/-)
Cavum nasi
: Lapang (+/+), edema (-/-)
Konka inferior
: Eutrofi / Eutrofi
Meatus nasi inferior
: secret (-/-).hiperemis (-/-), edema (-/-)
Konka medius
: Eutrofi / Eutrofi
Meatus nasi medius
: secret (-/-).hiperemis (-/-), edema (-/-)
Septum nasi
: Deviasi (-/-)
RHINOPHARYNX(Rhinoskopi posterior)
Koana
: tidak dilakukan pemeriksaan
Septum nasi posterior
: tidak dilakukan pemeriksaan
Muara tuba Eustachius
: tidak dilakukan pemeriksaan
Tuba Eustachius
: tidak dilakukan pemeriksaan
Torus tubariu s
: tidak dilakukan pemeriksaan
Post nasal drip
: tidak dilakukan pemeriksaan
TENGGOROKAN PHARYNX
Dinding pharynx
: merah muda, hiperemis (-)
Arcus pharynx
: Simetris, hiperemis (-), edema (-)
Tonsil
: T2B/T2B, hiperemis (+/+), kripta melebar (+/+), Detritus (+/+), perlengketan (-/-).
Uvula
: letak ditengah, hiperemis (-)
Gigi
: gigi geligi lengkap, caries (-)
4
LARYNX(laringoskopi)
LEHER
Epiglottis
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Plica aryepiglottis
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Arytenoids
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ventricular band
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Pita suara
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Rima glotidis
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Cincin trachea
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Sinus piriformis
: Tidak dilakukan pemeriksaan
: KGB tidak teraba membesar
MAKSILO FACIAL : Deformitas (-), hematom (-), Parese Nervus cranial (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium darah : Hb
: 11,8 mg/dl
Ht
: 40 g%
Leukosit : 8800/uL
Trombosit
: 273.000/uL
Masa Perdarahan : 2’30
Masa Pembekuan : 5’10
Kesan : Dalam batas normal
5
RESUME Pasien perempuan usia 12 tahun datang dengan keluhan nyeri menelan yang dirasakan sejak ±5 bulan yang lalu, dirasakan terus menerus dan semakin berat sejak 3
hari
terakhir
hingga
pasien
sulit
menelan
makanan.
Rasa
mengganjal
ditenggorokan(+), dan tidur mendengkur(+), Demam sekali dalam sebulan, kadang disertai batuk pilek. Riwayat penyakit amandel (+) sejak usia 10 tahun. Keluhan sering berulan 3-4 kali dalam setahun. Pasien sering mengkonsumsi es dan minuman dingin lainnya. Riwayat pengobatan sebelumnya : antipiretik, obat batuk pilek dan antibiotic. Pada Pemeriksaan Fisik didapatkan Tonsil hipertrofi dengan ukuran T2B/T2B, hiperemis (+/+), kripta melebar (+/+), Detritus (+/+), perlengketan (-/-). Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil dalam batas normal. DIAGNOSA KERJA ( WD/ )
:
Tonsilitis hipertrofi kronis
DIAGNOSA BANDING ( DD/ )
: tidak ada
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
:
1. Antibiotik : Cefixime syrup 2x1 cth , selama 7-10 hari 2. Anti-inflamasi : methylprednisolon 3x 2 mg, selama 5 hari 3. Analgetik : Asam mefenamat 3 x 500mg selama 5 hari bila nyeri 4. Vitamin C : 2x 200 mg Diberikan sebelum pasien menjalani operasi
Operatif
: Tonsiloadenoidektomi
6
ANJURAN / EDUKASI Sebelum operasi disarankan untuk menghindari makan gorengan, minuman dingin/ es. Setelah dilakukan operasi, pasien di sarankan untuk : -
Jaga kebersihan mulut
-
Makan makanan lunak bertahap
-
Makan
makanan
bergizi
untuk
meningkatkan
daya
tahan
tubuh
dan
mempercepat penyembuhan -
Kontrol ke poliklinik THT
PROGNOSIS
Ad Vitam
: Ad Bonam
Ad Functionam
: Ad malam
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatine, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba Eustachius.2
A. TONSIL PALATINA 1,2 Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fose tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil terbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fose tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di rateral orofaring. Dibatasi oleh:
8
-
Lateral – muskulus konstriktor faring superior
-
Anterior – muskulus palatoglosus
-
Posterior – muskulus palatofaringeus
-
Superior – palatum mole
-
Inferior – tonsil lingual
Permukaan tonsil palatine ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi kripti tonsil. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjangjalur pembulu limfatik. Fosa Tonsil1,2 Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dingsing luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.
Pendarahan 1,2,3 Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatine asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatine desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya lingualisdorsal; 4) arteri faringeal asende. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatine asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diberdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatine desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus
9
daring faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. Aliran getah bening 1,2 Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. Persarafan 1,2 Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
Imunologi Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limposit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasidi jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel reticular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid, Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
10
B. Tonsil Faringeal (Adenoid)1 Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teraturseperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
C. Tonsil Lingual1,2 Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
TONSILITIS KRONIK A. DEFINISI Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatine lebih dari 3 bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Terjadinya perubahan histology pada tonsil, dan terdapat jaringan fibrotic yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel radang.2
Mikroabses pada tonsillitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber bakteri / kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan 11
atau bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi.
B. ETIOLOGI
Tonsilitis kronik yang mungkin terjqadi pada anak disebabkan oleh karena sering menderita ISPA atau karena tronsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsillitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsillitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. 1
C. FAKTOR PREDISPOSISI Beberapa factor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu : 1
Rangsangan kronis (rokok, makanana)
Hygiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat
D. PATAFISIOLOGI Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk di situ akan dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya factor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kumansemuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronis. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.4
12
Proses peradangan di mulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang berulang, makan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhanjaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara krinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun. 1
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsillitis akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terusmenerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelen atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.1 Tonsila akan memperlihatkan berbagai derajat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah. Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat, mungkin terdapat obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan bagian atas yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal.
13
F. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lida. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan.1,2
Ukuran tonsil pada tonsillitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 – T4 Cody & Thane (1993) membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut : T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai 1/2 jarak pilar anterior-uvula T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih.
14
G. DIAGNOSIS 1. Anamnesa Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hamper 50% diagnose dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, rasa mengganjal di tenggorok, nafas bau, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher. 2. Pemeriksaan Fisik Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut, permukaan tonsil tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Sebagian kripta mengalami stenosis, tepi eksudat (purulent) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan jumlah kecil secret purulen yang tipis terlihat pada kripta. 3. Pemeriksaan penunjang Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sedianapus tonsil. Biarkan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptococcus haemolitikus, Streptokokus viridians, Stafilokokus, atau Pneumokokus.
H. DIAGNOSIS BANDING Terdapat beberapa diagnose banding dari tonsillitis kronis adalah sebagai berikut : 1,2,3 1. Tonsilitis Membranosa a. Tonsillitis Difteri b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa) c. Mononucleosis Infeksiosa
15
2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus a. Faringitis Tuberkulosa Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di tenggorokan, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher. b. Faringitis Luetika gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, skunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang sembuh disertai
pembentukan
jaringan
ikat.
Sekuele
dari
gumma
bisa
mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil c. Lepra (Lues) Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyebuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat. d. Aktinomikosis Faring Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami
ulseasi
dan
proses
supuratif.
Blastomikosis
dapat
mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superficial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak. Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri tenggorokan (odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnose pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, foto X-ray dan biopsy jaringan.
16
I. PENATALAKSANAAN Medikamentosa Tonsillitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejalagejala yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus perlu diobati dengan penisilin V secara oral, cephalosporin, makrolid, klindamicin, atai injeksi secara intramuscular penisilin benzatin antibiotic tambahan mungkin akan berguna.1,2,3
Operatif Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pasa pasien dengan tonsilaris kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatine dari fossa tonsilaris Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.2
Indikasi Tonsilektomi Menurut Americn Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) (1995), Indikator klinis untuk prosedur surgical adalah seperti berikut: Indikasi Absolut o Pembengkakakn tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner o Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase o Tonsillitis yang menimbulkan kejang demam o Tonsillitis yang membutuhkan biopsy untuk menetukan patologi anatomi
17
Indikasi Ralatif o Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotic adekuat o Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis o Tonsillitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotic beta-laktamase resisten o Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan o Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran napas merupakan indikasi absolute untuk tonsilektomi. o Obstruksi nasofaringeal yang berat sehingga boleh mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi absolute untuk surgery.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi.E.A, et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Pg: 212-225. 2. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler.P.A. Boies Fundamentals Of Otolaryngology a Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6th Edition.Philadelphia : WB Sunders Company.1989. pg: 340-355. 3. Ballenger Jacob John. Penyakit Telinga,Hidung,Tenggorokan, Kepala,& Leher. Jilid Satu.Edisi 13. Jakarta : Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Indonesia.1994. pg: 346-357 4. Pracy.R,
Siegier.J,
Stell.P.M.
Pelajaran
Ringkasan
Telinga,
Hidung,
&
Tenggorokan. Cetakan ke-3. Jakarta : PT.Gramedia Indonesia. 1989. pg: 114125. 5. Feenstra.L, Van den Broek.P. Buku Saku Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung,& Tenggorokan. Edisi 12. Jakarta : EGC Indonesia. 2010. Pg: 181-188.
19