REFERAT
TERAPI ESTROGEN PADA WANITA DENGAN OSTEOPOROSIS
Oleh : Ayu Mutiara
G0006050
Febryla W.A.N
G0006080
Romadona
G0006148
Achmad Gozali
G0006173
Pembimbing Prof.Dr.dr.Djoko Hardiman, SpPD-KEMD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2010
1
HALAMAN PENGESAHAN
Presentasi Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul : TERAPI ESTROGEN PADA WANITA DENGAN OSTEOPOROSIS
Oleh : Ayu Mutiara
G0006050
Febryla W.A.N
G0006080
Romadona
G0006148
Achmad Gozali
G0006173
Pembimbing
Prof.Dr.dr.Djoko Hardiman, SpPD-KEMD
2
BAB I PENDAHULUAN
Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di Amerika Serikat dijumpai satu kasus osteoporosis di antara 23 wanita pasca menopause, suatu jumlah yang mencapai 25 juta penderita. Penurunan kepadatan tulang dengan akibat osteoporosis terjadi pada setiap gangguan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang disebabkan defisiensi estrogen. Dalam klimakterium, gangguan poros ini terjadi secara alamiah, sehingga osteoporosis merupakan problema yang serius untuk wanita pada masa tersebut (Gonta, 2006). Biaya pengobatan osteoporosis ternyata cukup tinggi. Pada tahun 2002, antara $ 12,2 milyar – 17,9 milyar dikeluarkan di Amerika Serikat pada rumah sakit dan panti jompo bagi penderita fraktur osteoporosis dan yang terkait. Biaya ini terus meningkat. Biaya tidak langsung dari penyakit ini, seperti yang dihasilkan dari penurunan produktivitas dan upah yang hilang, tidak diketahui. Di samping biaya keuangan, osteoporosis mengambil peran dalam hal berkurangnya kualitas hidup bagi banyak orang yang menderita patah tulang (Jane, 2001). Banyak orang berpikir bahwa osteoporosis adalah bagian alami dan tidak dapat dihindari karena penuaan. Namun, para ahli medis sekarang percaya bahwa sebagian besar osteoporosis dapat dicegah. Selain itu, orang yang sudah mengalami osteoporosis dapat mengambil langkah untuk mencegah atau memperlambat perjalanan penyakit dan mengurangi risiko patah tulang masa depan. Meskipun osteoporosis pernah dipandang terutama sebagai penyakit usia tua, sekarang dikenal sebagai penyakit yang dapat berasal dari kurangnya pertumbuhan tulang yang optimal selama masa kanak-kanak dan remaja, serta dari keroposnya tulang di kemudian hari (Kosmin, 2010). Oleh karena osteoporosis didasari defisiensi estrogen, terapi utama untuk osteoporosis adalah estrogen juga. Estrogen dalam hal ini dapat diberikan secara oral, transdermal, atau sebagai implan perkutan. Terapi non estrogen dengan kalsitonin dan 3
bifosfonat dapat diberikan sebagai terapi tambahan atau sebagai terapi alternatif bila pemberian estrogen merupakan kontraindikasi (Gonta, 2006). Estrogen adalah hormon seks yang memainkan peran penting dalam membangun dan memelihara tulang. Penurunan estrogen, baik karena menopause alami, operasi pengangkatan indung telur, kemoterapi, atau pengobatan radiasi untuk kanker, dapat mengakibatkan hilangnya kepadatan tulang dan akhirnya osteoporosis. Setelah menopause, kecepatan tingkat kehilangan kepadatan tulang serta jumlah estrogen yang dihasilkan oleh ovarium seorang wanita turun drastis (National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Disease, 2010). Sebagaimana diketahui bahwa wanita menopause juga cenderung mengalami osteoporosis (tulang rapuh). Jumlah wanita yang meninggal akibat komplikasi retak pinggul akibat osteoporosis ternyata lebih besar dibandingkan mereka yang meninggal akibat kanker. Dengan bertambahnya usia, harapan hidup sebagai dampak pembangunan kesehatan di Indonesia, osteoporosis menjadi suatu masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Penelitian pada tahun-tahun sekarang ini memberi kesan bahwa terdapat beberapa bentuk penatalaksanaan yang efektif untuk penderita osteoporosis (Djuwantoro, 2006).
4
BAB II OSTEOPOROSIS DAN ESTROGEN
A. OSTEOPOROSIS 1. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan kekuatan tulang yang berkurang dan menyebabkan peningkatan risiko patah tulang. Kekuatan tulang memiliki dua komponen utama, yaitu bone mass (jumlah tulang) dan kualitas tulang. Osteoporosis merupakan penyebab utama patah tulang pada wanita menopause dan orang tua. Fraktur terjadi paling sering pada tulang pinggul, tulang belakang, dan pergelangan tangan, tapi tulang apapun dapat terpengaruh. Beberapa patah tulang dapat secara permanen melumpuhkan, terutama ketika terjadi di pinggul (Joyce et al, 2003). Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisis baru, yaitu osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromise bone strength sehingga tulang mudah patah (Setyohadi, 2006). Dalam kata lain Osteoporosis merupakan kelainan tulang umum yang ditandai dengan massa tulang rendah dan kerusakan mikroarsitektural jaringan tulang dengan kerentanan meningkat menjadi fraktur. Osteoporosis memiliki etiologi yang kompleks dan dianggap penyakit poligenik multifaktorial dimana faktor penentu genetik yang dimodulasi oleh faktor hormonal, lingkungan, dan gizi (Joyce et al, 2003). Osteoporosis sering disebut silent disease karena biasanya berlangsung tanpa gejala sampai terjadi patah tulang, satu atau lebih vertebra (tulang belakang) runtuh. Kolaps vertebra pertama dapat dirasakan atau dilihat ketika seseorang merasakan sakit punggung yang parah, kehilangan tinggi badan, atau kelainan 5
tulang belakang seperti postur membungkuk. Tulang yang terserang osteoporosis dapat menjadi begitu rapuh, sehingga patah tulang terjadi secara spontan, atau sebagai akibat dari benjolan kecil, jatuh, ketegangan, dan tekanan seperti membungkuk, mengangkat, atau bahkan batuk (National Institute of Arthritis and Musculosceletal and Skin Disease, 2010). Osteoporosis dapat diperlambat atau bahkan disembuhkan jika faktor risiko seperti aktivitas fisik, asupan makanan rendah kalsium, dan hiperparatiroidisme primer diidentifikasi dan diobati. Sebuah laporan dari National Osteoporosis Foundation menyimpulkan bahwa faktor-faktor berikut ini berguna untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko patah tulang, yaitu berat badan rendah (kurang dari 58 kg), merokok, dan riwayat patah tulang trauma ringan. (Richard, 2008).
2. Faktor Risiko Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Namun, penurunan densitas tulang merupakan faktor utamanya. Adapun faktor yang lain yaitu: •
Umur Tiap peningkatan 1 dekade, risiko meningkat 1,4-1,8 kali.
•
Genetik a. Etnis Etnis kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia. b. Jenis kelamin Permpuan > laki-laki. c. Riwayat keluarga
6
•
Lingkungan a. Defisiensi kalsium b. Kurangnya aktivitas fisik c. Obat-obatan (kortikosteroid, antikonvulsan, heparin, siklosporin) d. Merokok, alkohol e. Risiko terjatuh yang meningkat
•
Hormonal dan penyakit kronik a. Defisiensi androgen, estrogen b. Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme, gagal ginjal, gastrektomi
(Setyohadi, 2006).
3. Patofisiologi Osteoporosis
Tiga jenis sel ditemukan dalam tulang, yaitu osteoblas, osteoklas, dan osteosit. Namun dari dekat, sumsum tulang memperlihatkan pengaruh jenis sel tulang yang memainkan peran penting baik dalam produksi sel osteogenik dan dalam regulasi modeling dan remodeling tulang. a. Osteoblas Osteoblas bertanggung jawab untuk pembentukan dan mineralisasi tulang. Osteoblas berasal dari sel-sel batang mesenchymal pluripotent, yang juga dapat dibedakan ke dalam kondrosit, sel lemak, myoblast, dan fibroblast. Sejumlah faktor yang diperlukan untuk diferensiasi osteoblas normal termasuk faktor pertumbuhan fibroblastik (FGFs), mengubah faktor pertumbuhan-β (TGF-β), 7
faktor morphogenetic tulang (BMP), glukokortikoid, dan 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25 (OH) 2D]. b. Osteosit Osteosit adalah sel-sel tulang pipih kecil dalam matriks dan yang terhubung satu sama lain dengan sel-sel osteoblastik pada permukaan tulang oleh jaringan kanalikular luas yang berisi cairan ekstra seluler tulang. Osteosit diyakini memainkan peran sentral dalam respon terhadap rangsangan mekanik, sensor strain mekanik dan menginisiasi suatu respon modeling atau remodeling melalui sejumlah perantara kimia termasuk dehidrogenase glukosa-6-fosfat, oksida nitrat, dan faktor pertumbuhan seperti insulin. c. Osteoklas Osteoklas adalah sel-sel tulang resorbing multinuklear yang berasal dari prekursor hematopoetik dari monosit/makrofag keturunan. Osteoklas dibentuk oleh fusi sel mononuklear dan dicirikan oleh adanya perbatasan kabur, yang terdiri dari infolding kompleks membran plasma dan sitoskeleton yang menonjol. Sel osteoklas kaya enzim lisosomal. Selama proses resorpsi tulang, ion hidrogen yang dihasilkan oleh karbonat anhydrase dikirim melintasi membran plasma oleh pompa proton untuk membongkar mineral tulang. Selanjutnya, enzim lisosomal termasuk kolagenase dan cathepsins dilepaskan dan mendegradasi matriks tulang. Pelepasan osteoklas ke permukaan tulang merupakan prasyarat penting untuk resorpsi dan dimediasi oleh integrins, terutama avβ3, yang mengikat protein matriks yang berisi motif Arg-Gly-Asp, ligan potensial termasuk osteopontin, sialoprotein tulang, thrombospondin, osteonectin, dan kolagen tipe1. Apoptosis osteoklas merupakan faktor penentu penting dari aktivitas osteoklas. Sitokin interleukin-1, TNF-α, dan M-CSF semua mengurangi apoptosis osteoklas, sehingga memperpanjang kelangsungan hidup sel-sel ini. Sebaliknya,
8
estrogen meningkatkan apoptosis osteoklas, efek yang berhubungan dengan peningkatan produksi TGF-β dan mengurangi ekspresi pengaktifan gen NFκB (Julliet, 2001). Pada keaadan normal tulang mengalami pembentukan dan absorbsi dalam suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa petumbuhan kanak-kanak ketika terjadi lebih banyak pembentukan daripada absorbsi tulang. Pergantian yang berlangsung terus menerus ini penting untuk fungsi normal tulang dan membuat tulang berespons terhadap tekanan-tekanan yang meningkat dan untuk mecegah terjadi patah tulang. Bentuk tulang dapat disesuaikan dalam menanggung kekuatan mekanis yang semakin meningkat. Perubahan tersebut juga membantu menjaga kekuatan tulang pada proses penuaan. Matriks organik yang sudah tua berdegenerasi, sehingga membuat tulang relatif menjadi lemah dan rapuh. Pembentukan tulang baru memerlukan matriks organik baru, sehingga memberi tambahan kekuatan pada tulang (Michael, 2002).
4. Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis dibagi menjadi 2 kelompok, osteoporosis primer dan sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan
osteoporosis
sekunder
adalah
osteoporosis
yang
diketahui
penyebabnya. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis sekunder menjadi osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I yaitu osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh
gangguan
absorbsi
kalsium
di
usus
sehingga
menyebabkan
hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan terjadinya osteoporosis. Tetapi belakangan konsep tersebut berubah, karena peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya hasil yang signifikan 9
pada pemberian vitamin D dan kalsium pada pasien osteoporosis tipe II. Sehingga pada tahun 2006, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya bahwa peran estrogen juga menonjol baik pada osteoporosis tipe I dan tipe II (Setyohadi, 2006). Patogenesis Osteoporosis Tipe I
Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat sehingga terjadi penurunan densitas tulang, terutama pada tulang trabekular yang memiliki permukaan yang luas. Penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin, antara lain : IL-1, IL-6, TNF-α, sehingga aktivitas osteoklast akan meningkat. Menopause juga menyebabkan penurunan absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium di ginjal. Menopause juga menyebabkan
penurunan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25
(OH)2D (Setyohadi, 2006). Patogenesis Osteoporosis Tipe II
Pada usia lanjut, dekade ke delapan dan sembilan, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan mengakibatkan penurunan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur (Setyohadi, 2006).
B. ESTROGEN 1. Definisi Estrogen
Estrogen adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Tiga jenis 10
estrogen utama yang terdapat secara alami dalam tubuh wanita adalah estradiol, estriol, dan estron. Sejak menarche sampai menopause, estrogen utama adalah 17β-estradiol. Di dalam tubuh, ketiga jenis estrogen tersebut dibuat dari androgen dengan bantuan enzim. Estradiol dibuat dari testosteron, sedangkan estron dibuat dari androstenadion. Estron bersifat lebih lemah daripada estradiol, dan pada wanita pascamenopause estron ditemukan lebih banyak daripada estradiol. Berbagai zat alami maupun buatan telah ditemukan memiliki aktivitas bersifat mirip estrogen. Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut xenoestrogen, sedangkan bahan alami dari tumbuhan yang memiliki aktivitas seperti estrogen disebut fitoestrogen (Ryan, 2002).
2. Sintesis Estrogen
Estrogen diproduksi terutama dengan mengembangkan folikel di ovarium, korpus luteum, dan plasenta. Hormon Luteinizing (LH) merangsang produksi estrogen di ovarium. Beberapa estrogen juga diproduksi dalam jumlah yang lebih kecil dengan jaringan lain seperti hati, kelenjar adrenal, dan payudara. Sumbersumber sekunder estrogen terutama penting pada wanita menopause. Sel lemak juga menghasilkan estrogen, oleh karena itulah mengapa berat badan atau kegemukan merupakan faktor risiko untuk infertilitas (Nelson, 2001). Pada wanita, sintesis estrogen dimulai dalam sel-sel teka interna di ovarium, oleh sintesis androstenedione dari kolesterol. Androstenedione adalah zat aktivitas androgenik moderat. Senyawa ini melintasi membran basal ke dalam sel granulosa sekitarnya, di mana ia diubah ke estrone atau estradiol, baik langsung atau melalui testosteron. Konversi testosteron untuk estradiol, dan androstenedion untuk estrone, dikatalisis oleh enzim aromatase. Estradiol tingkat bervariasi melalui siklus haid, dengan tingkat tertinggi sebelum ovulasi (American Society for Reproductive Medicine, 2009). 11
3. Metabolisme Estrogen
Metabolisme estrogen terjadi di beberapa daerah tubuh, namun yang utama adalah liver dan gastrointestinal jaringan. Lebih dari 50% dari metabolisme dan konjugasi esterogen terjadi dalam hati, karena itu hati menjadi sentral utama yang mempengaruhi rasio peredaran estrogen. Kolesterol adalah molekul, yang berfungsi sebagai tulang punggung untuk pembentukan banyak hormon termasuk estrogen. Ada banyak jalur biokimia, yang menyebabkan produksi estrogen. Jalur utama dari metabolisme estrogen adalah dari estradiol menjadi estrone (Mustapha, 2005). Pada gilirannya, estrone (yang
dapat berasal dari androstenedione atau
estradiol) dimetabolisme lebih lanjut menjadi 2-hydroxyestrone atau 16alfahydroxyestrone. Akhirnya, 16alfa-hydroxyestrone dapat dimetabolisme menjadi estriol (bentuk terkecil dari estrogen) atau ke katekol estrogen, yang kemudian terkonjugasi terutama sebagai glucuronides, sulfat, dan thioether (Fishman et al, 2006). Bentuk estrogen terkonjugasi adalah air-larut sebagaimana mereka juga tidak mengikat untuk dalam pengangkutan protein. Oleh karena itu bentuk estrogen konjugasi dapat segera dikeluarkan melalui empedu, kotoran dan urine. Para konjugat glukuronat diekskresikan dalam urin lebih cepat dibandingkan sulfat. Karena sulfat estrogen yang dikeluarkan dari tubuh berada pada tingkat lebih lambat, mereka memiliki kesempatan lebih tinggi untuk terhidrolisis pada jaringan dan bertindak sebagai sumber estrogen biologis aktif (Eriksson, 2007). Cara lain metabolisme estrogen dicapai adalah dengan sistem pencernaan. Sekitar 50% dari estrogen konjugat, yang masuk atau dibentuk di hati, diekskresikan dalam empedu, masuk ke dalam usus, dan dihidrolisis dengan
12
bacteria usus. Berikut ini reaksi hydrolyzation dalam usus yang baik estrogen diekskresikan dalam tinja atau diserap ke dalam sirkulasi portal. Setelah reabsorbsi berlangsung, estrogen tersebut terhidrolisis dimetabolisme oleh hati lagi dan dilepaskan ke dalam empedu atau tinggal di sirkulasi dan merangsang target. Hidrolisis estrogen-glucoronides ini dilakukan oleh enzim bakteri yang disebut beta-glucuronidase. Enzim ini dilakukan dalam beberapa bakteri usus yang kurang baik. Namun, beberapa suplemen gizi, diet dan antibiotik dapat mempengaruhi tingkat aktivitas enzim ini (Adlercreutz et al, 20 06).
4. Proteomik
Ada dua bentuk yang berbeda dari reseptor estrogen, biasanya disebut sebagai α, dan β masing-masing dikode oleh gen terpisah (ESR1 dan ESR2). Reseptor hormon estrogen teraktivasi dalam bentuk dimer, karena dua bentuk yang coexpressed dalam berbagai tipe sel, reseptor dapat membentuk ERα (αα) atau ERβ (ββ) homodimers atau ERαβ (αβ) heterodimers. Estrogen reseptor alpha dan beta menunjukkan signifikan secara keseluruhan homologi urutan, dan keduanya terdiri dari lima domain (terdaftar dari N-terminus untuk C-; nomor urutan asam amino lihat ER manusia): (AF domain). Struktur domain dari ERα dan ERβ, termasuk beberapa situs fosforilasi dikenal terlibat dalam pengaturan ligan-independen. A N-terminal / domain B mampu mengaktifkan transkripsi gen tanpa adanya ligan terikat (misalnya, hormon estrogen). Sementara wilayah ini mampu mengaktifkan transkripsi gen tanpa ligan, aktivasi ini lemah dan lebih selektif dibandingkan dengan aktivasi yang disediakan oleh domain E. Domain C, juga dikenal sebagai domain DNA-binding, mengikat unsur-unsur respon estrogen dalam DNA. Domain D adalah engsel wilayah yang menghubungkan domain C dan E. Domain E berisi rongga mengikat ligan serta situs mengikat protein coactivator dan corepressor. E-domain di hadapan ligan 13
terikat mampu mengaktifkan transkripsi gen. Fungsi F domain C-terminal tidak sepenuhnya jelas dan merupakan variabel panjang. Karena RNA splicing alternatif, isoform beberapa ER diketahui ada. Setidaknya tiga ER alpha dan lima ER beta isoform telah diidentifikasi. Isoform reseptor subtype ERbeta dapat mengaktifkan transkripsi hanya ketika sebuah heterodimer dengan reseptor ERß1 fungsional 59 kDa terbentuk. Reseptor ERß3 terdeteksi pada tingkat tinggi di testis. Dua lainnya ERalpha isoform adalah 36 dan 46kDa.Hanya pada ikan, tetapi tidak pada manusia, suatu reseptor ERgamma telah ditemukan. (Riggs, 2003)
C. TERAPI ESTROGEN PADA WANITA DENGAN OSTEOPOROSIS
Terapi hormon estrogen setelah menopause (sebelumnya disebut sebagai Hormone Replacement Therapy/HRT) telah ditunjukkan untuk mencegah osteoporosis, meningkatkan kepadatan tulang, dan mencegah fraktur. Hal ini
14
berguna dalam mencegah osteoporosis pada wanita menopause. Estrogen tersedia dalam sediaan oral (Premarin, Estrace, dan lain-lain) atau sebagai patch kulit (Estraderm, Vivelle, dan lain-lain) (Dennis,2010). Hormone replacement therapy atau yang diterjemahkan sebagai terapi sulih
hormon didefinisikan sebagai : a. Terapi menggunakan hormon yang diberikan untuk mengurangi efek defisiensi hormon. b. Pemberian hormon (estrogen, progesteron atau keduanya) pada wanita pascamenopause
atau
wanita
yang
ovariumnya
telah
diangkat,
untuk
menggantikan produksi estrogen oleh ovarium. c. Terapi menggunakan estrogen atau estrogen dan progesteron yang diberikan pada wanita pascamenopause atau wanita yang menjalani ovarektomi, untuk mencegah efek patologis dari penurunan produksi estrogen. Terapi pengganti estrogen yang digunakan untuk pengobatan yang disetujui FDA hanya untuk mencegah osteoporosis. Banyak obat lain sekarang untuk osteoporosis, tetapi estrogen tetap merupakan pengobatan umum untuk menjaga massa tulang dan mencegah fraktur osteoporosis yang terkait pada wanita pascamenopause (Pauline, 2010). Dalam kebanyakan kasus, juga akan digunakan hormon progesteron bersamaan dengan estrogen. Hal ini karena penggunaan estrogen saja meningkatkan risiko untuk kanker rahim, sedangkan kombinasi estrogen dan progesteron sangat mengurangi risiko ini. Namun, jika ada riwayat pernah menjalani histerektomi, pengangkatan rahim, atau terlahir tanpa rahim, dengan aman dapat digunakan estrogen saja karena tidak memiliki risiko kanker rahim (Pauline, 2010). Berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh North American Menopause Society (NAMS), indikasi primer pemberian terapi sulih hormon adalah adanya
15
keluhan menopause seperti gejala vasomotor berupa hot flush dan gejala urogenital. Di Indonesia, terapi sulih hormon diberikan hanya pada pasien menopause dengan keluhan terkait defisiensi estrogen yang mengganggu atau adanya ancaman osteoporosis dengan lama pemberian maksimal 5 tahun (Dennis, 2010). Saat ini, obat paling efektif untuk osteoporosis yang disetujui oleh FDA adalah agen-agen antiresorptive, yang mengurangi pemindahan kalsium dari tulang. tulang merupakan struktur dinamis yang hidup, melainkan terus-menerus dibangun dan dihapus (diresorpsi). Proses ini merupakan bagian penting dari mempertahankan tingkat kalsium yang normal dalam darah dan berfungsi untuk memperbaiki retakan kecil dalam tulang yang terjadi dengan aktivitas sehari-hari normal dan untuk merombak tulang karena adanya physical stress pada tulang. Osteoporosis terjadi ketika kecepatan resorpsi tulang melebihi tingkat rebuilding (pembentukan kembali) tulang. obat antiresorptive menghambat resorbsi tulang, sehingga terbentuk keseimbangan dalam mendukung rebuilding tulang dan meningkatkan kepadatan tulang. HRT yang dalam hal ini bagian dari selective estrogen-receptor modulators (SERMs) merupakan salah satu contoh dari agen
antiresorptive. Termasuk kedalamnya alendronate, risedronate, raloxifene, ibandronate , kalsitonin, zoledronate, dan Denosumab (Dennis, 2010).
MEKANISME KERJA SEMRs Senyawa estrogenik span spektrum kegiatan mulai dari: - agonis penuh (agonis di semua jaringan) seperti hormon estrogen alami endogen - campuran agonis / antagonistics (agonis dibeberapa jaringan sementara antagois pada jaringan lainnya) seperti tamoxifen (a SERM) - murni antagonis (antagonis dalam semua jaringan)
seperti fulvestrant (ICI-
182780).
16
Mekanisme agonis campuran / antagonis mungkin berbeda tergantung pada struktur kimia dari SERM, tapi setidaknya untuk beberapa SERMs, tampaknya terkait dengan (1) rasio co-penggerak untuk protein co-represor dalam tipe sel yang berbeda dan (2) konformasi darireseptor estrogen yang disebabkan oleh obat mengikat yang pada gilirannya menentukan seberapa kuat obat / kompleks reseptor merekrutco-aktivator (menghasilkan respon agonis) relatif terhadap corepresor (yang mengakibatkan antagonisme). Sebagai contoh, tamoxifen SERM prototipikal bertindak sebagai antagonis di payudara dan sebaliknya suatu agonis dalam rahim. Konsentrasi steroid aktivator reseptor co-1(SRC-1; NCOA1) lebih tinggi di dalam rahim daripada payudara, sehingga SERMs seperti tamoxifen lebih agonis dalam rahim daripada dipayudara. Sebaliknya, raloxifene berperilaku sebagai antagonis di kedua jaringan. Tampaknya raloxifene yang lebih kuat merekrut co-represor protein dan akibatnya masih merupakan antagonis dalam rahim meskipun tinggi konsentrasi co-aktivator relatif terhadap co-represor. (Wikipedia, 2010)
Algoritme Penggunaan Terapi Sulih Hormon pada Wanita Menopause
17
Gejala Menopause
Tidak ada
Tidak perlu HRT
Faktor risiko osteoporosis (-)
Ada
Diskusikan penggunaan HRT dengan pasien
Faktor risiko osteoporosis (+)
HRT (-)
HRT (+)
Pilihan terapi lain
Riwayat Kanker payudara
Periksa densitas mineral tulang
Densitas tulang Normal
Densitas tulang rendah
Diet dan gaya hidup sehat
Pilihan HRT atau alternatif
Diskusikan terapi lain, pertimbangkan HRT
Riwayat Keluarga dengan Kanker Payudara
HRT jangka pendek
1. Cara Pemberian
Sulih hormon dapat berisi estrogen saja atau kombinasi dengan progesteron. Pilihan rejimen yang digunakan bergantung pada riwayat histerektomi. Untuk wanita yang tidak menjalani histerektomi, umumnya diberikan kombinasi dengan progesteron untuk mengurangi risiko terjadinya keganasan pada uterus. a. Rejimen I, yang hanya mengandung estrogen Rejimen ini bermanfaat bagi wanita yang telah menjalani histerektomi. Estrogen diberikan setiap hari tanpa terputus. b. Rejimen II, yang mengandung kombinasi antara estrogen dan progesteron.
18
•
Kombinasi sekuensial : estrogen diberikan kontinyu, dengan progesteron diberikan secara sekuensial hanya untuk 10-14 hari (12-14 hari) setiap siklus dengan tujuan mencegah terjadinya hiperplasia endometrium. Lebih sesuai diberikan pada perempuan pada usia pra atau perimenopause yang masih menginginkan siklus haid.
•
Estrogen dan progesteron diberikan bersamaan secara kontinyu tanpa terputus. Cara ini akan menimbulkan amenorea. Pada 3-6 bulan pertama dapat saja terjadi perdarahan bercak. Rejimen ini tepat diberikan pada perempuan pascamenopause.
(Kawiyana, 2009).
2. Jenis dan Dosis yang Dianjurkan
Berikut ini adalah dosis sulih estrogen yang dianjurkan di Indonesia. Jenis Estrogen konjugasi 17β estradiol
Estradiol valerate Estradiol
Kontinyu
Oral Oral Transdermal Subkutan Oral Oral
Dosis 0.3-0.4 mg 1-2 mg 50-100 mg 25 mg 1-2 mg 0,625-1,25 mg
Pencegahan dan Pengobatan Osteoporosis dengan SERMs Raloxifene pada dosis 60 mg per hari efektif dalam mencegah dan mengobati osteoporosis postmenopause. Karena memiliki insiden
efek
samping yang
sangat rendah, dapat melindungi terhadap perkembangan kanker payudara, dan mempertahankan setidaknya beberapa manfaat extraskeletal putatif estrogen.
19
Seperti dengan obat lain yangdigunakan sebagai terapi antiresorptive, pengobatan dikombinasikan dengan 1000 mg atau lebih dari kalsium elemental dan 400 unit vitamin D harian disarankan.Tamoxifen dan toremifene tidak diindikasikan untu k pengobatan osteoporosis. (Riggs, 2003)
3. Lama Penggunaan
Menurut NHMRC lamanya pemberian terapi sulih hormon adalah sebagai berikut: a. Untuk penatalaksanaan gejolak panas, pemberian terapi sulih hormon sistemik selama 1 tahun dan kemudian dihentikan total secara berangsur-angsur (dalam periode 1-3 bulan) dapat efektif. b. Untuk perlindungan terhadap tulang dan menghindari atrofi urogenital, pemakaian jangka lama diindikasikan tetapi lamanya waktu yang optimal tidak diterangkan dengan jelas. c. Setelah penghentian terapi masih terdapat manfaat untuk perlindungan terhadap tulang dan koroner, tetapi menghilang bertahap setelah beberapa tahun. Mengacu pada hasil penelitian terbaru dari WHO, lama pemakaian terapi sulih hormon di Indonesia maksimal 5 tahun. Hal ini ditentukan berdasarkan aspek keamanan penggunaan terapi sulih hormon jangka panjang. (Kawiyana, 2009).
4. Kontra Indikasi
The American College of Obstetrics and Gynaecologists menetapkan kontra
indikasi penggunaan terapi sulih hormon, sebagai berikut : 20
•
Kehamilan
•
Perdarahan genital yang belum diketahui penyebabnya
•
Penyakit hepar akut maupun kronik atau Penyakit trombosis vaskular
•
Pasien menolak terapi
Kontra indikasi relatif : •
Hipertrigliseridemia
•
Riwayat tromboemboli
•
Riwayat keganasan payudara dalam keluarga
•
Gangguan kandung empedu
•
Mioma uteri The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists menyebutkan
beberapa kontra indikasi absolut terapi sulih hormon, yaitu karsinoma payudara, kanker endometrium, riwayat tromboemboli vena dan penyakit hati akut.
21
BAB III KESIMPULAN
Terapi pengganti estrogen adalah
pengobatan pilihan pertama, karena
pengalaman jangka panjang dan manfaat lainnya selain pengobatan osteoporosis. Perawatan harus diberikan setidaknya selama lima tahun, karena manfaatnya tidak dapat bertahan setelah pengobatan dihentikan. Kepatuhan ditingkatkan oleh diskusi secara rinci tentang risiko dan manfaat terapi pengganti estrogen dengan menggunakan preparat yang tidak menyebabkan perdarahan rahim (gabungan estrogen dan progestin kontinyu), dan memantau respon terhadap pengobatan. Selective estrogen reseptor modulators (SERMs) adalah sebuah alternatif yang efektif
untuk terapi estrogen-pengganti. Hal ini sangat berguna bagi perempuan yang peduli tentang efek samping dari terapi estrogen. Pentingnya waktu administrasi harus ditekankan, dan respon terhadap pengobatan harus dipantau. 22
Untuk pencegahan optimal patah tulang, terapi estrogen harus dimulai dalam waktu 5 tahun menopause, bahkan di antara wanita yang telah menggunakan estrogen selama lebih dari 10 tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan harus terus menggunakan estrogen dimulai segera setelah menopause untuk seumur hidup untuk mencegah osteoporosis, disamping juga meningkatkan keprihatinan tentang kanker payudara dan risiko lain yang terkait dengan penggunaan yang berkepanjangan estrogen. Meskipun terapi penggantian estrogen menjadi obat osteoporosis, tapi tidak seperti yang banyak digunakan saat ini. Sebagian dari alasan ini adalah karena terapi telah berkaitan dengan meningkatnya resiko kanker rahim, kanker payudara, stroke, serangan jantung, pembekuan darah, dan bahkan penurunan mental. Namun, meskipun mempunyai potensi efek samping, terapi penggantian estrogen efektif untuk melindungi wanita pasca-menopause dari osteoporosis. Jika terapi penggantian estrogen dipertimbangkan sebagai pengobatan yang tepat untuk, kemungkinan besar akan digunakan dalam dosis serendah mungkin dan dalam waktu terpendek. Beberapa SERMs mungkin menjadi pengganti yang baik untuk terapi sulih hormone (HRT), yang telah umum digunakan untuk mengobati gejala menopause sampai publikasi studi skala luas menunjukkan bahwa HRT sedikit meningkatkan risiko kanker payudara dan trombosis. Namun beberapa agen SERMs di atas masih memiliki efek samping yang signifikan yang merupakan kontraindikasi jika digunakan secara luas.
23
DAFTAR PUSTAKA
André Gonta. 2006. Estrogen Receptor Polymorphism Predicts the Onset of Natural and Surgical Menopause http://jcem.endojournals.org/cgi/content/full/84/9/3146? ijkey=58b4838eefc85a34facbc3b4f0fe8baa37919cf5 Jane Cauley Yusuf, A. M. Zmuda, Kristine E. Ensrud. 2001. Timing of Estrogen Replacement Therapy for Optimal Osteoporosis Prevention
http://jcem.endojournals.org/cgi/content/full/86/12/5700 Osteoporosis Treatment Jacob Kosmin. 2010. http://emedicine.medscape.com/article/330598-treatment
and
Medication
National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS). 2010. Osteoporosis Hand out on Health. http://www.niams.nih.gov/Health_Info/Bone/Osteoporosis/osteoporosis_hoh.asp
24
Joyce B.J. van Meurs, Stephanie C.E. Schuit , Angélique E.A.M. Weel1, et al. 2003. Association of 5′ estrogen receptor alpha gene polymorphisms with bone mineral density, vertebral bone area and fracture risk. http://hmg.oxfordjournals.org/content/12/14/1745.full
Bambang Setyohadi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. pp: 1259-1274. Richard
Eastell.
2008.
Treatment
of
Postmenopausal
Osteoporosis
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199803123381107? hits=10&andorexactfulltext=and&FIRSTINDEX=270&FIRSTINDEX=270&SEARC HID=1&searchid=1&COLLECTION_NUM=14&resourcetype=HWCIT&resourcety pe=HWCIT&andorexacttitleabs=and Michael A. Carter. 2002. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Ryan KJ. 2002. "Biochemistry of aromatase: significance to female reproductive physiology". Cancer Res. 42 (8 Suppl): 3342s–3344s. Nelson LR, Bulun SE (September 2001). Estrogen production and action. J. Am. Acad. Dermatol. 45 (3 Suppl): S116–24. Mustapha A. Beleh et al. Estrogen metabolism in microsomal, cell and tissue preparations of kidney and liver from Syrian hamsters. J Steroid Biochem Molec Biol 2005;52(5):479-89. Fishman J, Bradlow HL, Gallagher TF. Oxidative metabolism of estradiol. J Biol Chem. 2006;235:3104-07. Eriksson H, Gustafsson JA. Excretion of steroid hormones in adults. Eur J Biochem 2007;18:146-50. Adlercreutz H et al. Intestinal metabolism of estrogens. J Clin Endocrinol Metab 2006;43:497-505. Dennis Lee, Jay Marks, http://medicinet/osteoporosis.htm
Catherine
driver.
2010.
Osteoporosis
25
Pauline M. MD Camacho, FACE dan Kelly M. Rehan. 2010. Estrogen Replacement Therapy http://www.endocrineweb.com/conditions/osteoporosis/estrogen-replacementtherapy-osteoporosis Siki Kawiyana. 2009. Interleukin-6 dan RANK-ligand yang Tinggi sebagai Faktor Risiko terhadap Kejadian Osteoporosis pada Wanita Menopause Defisiensi Estrogen. Doktoral (Disertasi). Denpasar : Program Doktor Studi Ilmu Kedokteran Pascasarjana Universitas Udayana. American College of Obstetricians and Gynecologists Women's Health Care Physicians (2004). Venous thromboembolic disease. Obstetrics and Gynecology, 104(4, Suppl): 118S–127S. B. Lawrence Riggs, M.D., and Lynn C. Hartmann, M.D. 2003. Selective EstrogenReceptor Modulators — Mechanisms of Action and Application to Clinical Practice. New England Journal Med. http://en.wikipedia.org/wiki/Selective_estrogen_receptor_modulator
26