I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Palpebrae
berfungsi
untuk
melindungi
bola
mata
serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebrae merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar, dan pengeringan bola mata. Palpebrae mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan, sedangkan di bagian belakang ditutupi selaput sela put lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. Salah satu kelainan palpebrae adalah entropion (Camara et al., 2002). al., 2002). Entropion merupakan suatu keadaan terlipatnya kelopak mata bagian tepi atau margo palpebrae kearah dalam bola mata. Penyebab entropion antara lain karena involusi, sikatriks, dan kongenital. Proses penuan merupakan penyebab tersering terjadinya entropion. Hal tersebut disebabkan karena adanya degenerasi progresif jaringan fibrous dan elastik kelopak mata bawah. Entropion dapat ditemukan pada semua usia, namun entropion khususnya entropion involusional lebih sering ditemukan pada orangtua. Entropion lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini mungkin disebabkan lempeng tarsal pada wanita rata-rata lebih kecil dibandingkan pada pria. Entropion involusional lebih sering ditemukan pada palpebrae inferior sedangkan entropion sikatrik lebih sering pada palpebrae superior yang didahului oleh trakoma. Entropion kongenital sering terjadi di kalangan ras Asia, tetapi jarang terjadi pada keturunan Eropa (Kreis et al., 2013). al., 2013). Entropion yang kronik dapat menyebabkan rasa sensitif akut terhadap cahaya dan angin, serta dapat menyebabkan infeksi mata, abrasi kornea, atau ulkus kornea. Untuk itu, penting dilakukan perbaikan kondisi oleh dokter sebelum terjadi kerusakan permanen pada mata. Apabila mengenai kornea, maka terjadi iritasi kornea yang berakhir menjadi ulkus.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Palpebra
Palpebra melindungi mata dari cedera dan cahaya berlebihan dengan gerakan menutup. Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah bergerak daripada palpebra inferior, dan kedua palpebra saling bertemu di angulus oculi medialis dan lateralis. Fissura palpebrae adalah celah berbentuk elips di antara palpebra superior dan inferior dan merupakan pintu masuk ke dalam saccus conjunctivalis. Permukaan superfisial palpebra ditutupi oleh kulit dan permukaan dalamnya diliputi oleh membrana mucosa yang disebut konjungtiva (Snell, 2013). Bulu mata berukuran pendek dan melengkung, terdapat pada pinggir bebas palpebra, dan tersusun dalam dua atau tiga baris pada batas mucocutan. Glandula sebasea (glandula Zeis) bermuara langsung ke dalam folikel bulu mata. Glandula siliaris (glandula Moll ) merupakan modifikasi kelenjar keringat yang bermuara secara terpisah di antara bulu mata yang berdekatan. Glandula tarsalis adalah modifikasi kelenjar sebasea yang panjang, yang mengalirkan sekretnya yang berminyak ke pinggir palpebra; muaranya terdapat di belakang bulu mata (Snell, 2013). Sudut medial yang lebih bulat dipisahkan dari bola mata oleh suatu rongga sempit, yaitu lacus lacrimalis. Di tengah rongga ini terdapat tonjolan kecil yang berwarna kuning kemerahan, disebut caruncula lacrimalis. Lipatan semilunaris kemerahan disebut plica semilunaris, terletak pada sisi lateral caruncula. Di dekat sudut medial mata, terdapat penonjolan kecil di palpebra, disebut papilla lacrimalis. Pada puncak papilla terdapat lubang kecil, punctum lacrimale, yang berhubungan dengan canaliculus lacrimalis. Papilla lacrimalis menonjol ke dalam lacus, punctum dan canaliculus mengalirkan air mata ke dalam hidung (Snell, 2013). Konjungtiva adalah membrana mukosa tipis yang melapisi palpebra, melipat pada fornix superior dan inferior untuk melapisi permukaan anterior bola mata. Epitelnya melaniutkan diri dengan epitel
2
kornea. Bagian lateral atas fornix superior ditembus oleh ductus glandula lacrimalis. Jadi konjungtiva membentuk ruang potensial, yaitu sakus konjungtivalis, yang terbuka ke fissura palpebrae. Di bawah kelopak mata terdapat alur, sulcus subtarsalis, yang berjalan dekat dan parallel dengan pinggir palpebra (Snell, 2013). Kerangka palpebra dibentuk oleh lembaran fibrosa, septum orbitale. Septum ini melekat pada periosteum di pinggir orbita. Septum orbitale menebal untuk membentuk lamina tarsalis inferior dan superior. Ujung lateral lamina dilekatkan oleh sebuah pita, ligamentum palpebrale laterale, pada tuberculum tepat di sebelah dalam pinggir orbita. Ujung medial lamina dilekatkan oleh sebuah pita, Iigamentum palpebrale mediale, ke crista ossis lacrimalis. Glandula tarsalis tertanam di dalam permukaan posterior lamina tarsalis. Permukaan superficial lamina tarsalis dan septum orbita diliputi oleh serabut-serabut palpebra musculus orbicularis oculi. Aponeurosis dari insersi musculus levator palpebrae superioris menembus septum orbitale untuk mencapai permukaan anterior lamina tarsalis superior dan kulit (Snell, 2013). Posisi palpebra pada waktu istirahat tergantung pada tonus musculus orbicularis oculi dan musculus levator palpebrae superioris serta posisi bola mata. Palpebra menutup oleh kontraksi musculus orbicularis oculi dan relaksasi musculus levator palpebrae superioris. Mata dibuka oleh kontraksi musculus levator palpebrae superioris yang mengangkat palpebra superior. Pada waktu melihat ke atas, musculus levator palpebrae superioris berkontraksi, dan palpebra superior bergerak bersama bola mata. Pada waktu melihat ke bawah, kedua palpebra bergerak, palpebra superior terus menutupi cornea bagian atas, dan palpebra inferior agak tertarik ke bawah oleh konjungtiva yang melekat pada sklera dan palpebra inferior (Snell, 2013).
B. Definisi Enteropion
Entropion adalah suatu keadaan melipatnya kelopak mata ke arah dalam bola mata. Selain palpebra bagian bawah, entropion juga dapat terjadi pada
3
palpebra bagian atas atau dapat mengalami seluruh bagian tepi kelopak mata yang masuk kedalam (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010). Entropion adalah suatu keadaan melipatnya kelopak mata bagian tepi atau margo palpebra kearah dalam sehingga bulu mata menggeser jaringan konjungtiva atau kornea atau apa yang disebut sebagai trikiasis (bulu mata mengarah pada bola mata yang akan menggosok kornea atau konjungtiva) (Ilyas dan Yulianti, 2015).
Gambar 2.1. Entropion
C. Epidemiologi
Entropion biasanya terjadi pada usia diatas 60 tahun dengan prevalensi 2,1% dari setiap 25.000 individu. Selain entropion pada usia lanjut, terdapat pula entropion kongenital yang terjadi pada anak-anak dengan prevalensi 20% dan paling sering terjadi pada ras Asia (Sari, 2016). Prevalensi tejadinya entropion inferior involusional dilaporkan mencapai 2,1% pada populasi orang tua (1,9% pada laki-laki dan 2,4% pada wanita) namun tanpa laporan frekuensi manajemen bedahnya (Damasceno et al ., 2011).
D. Etiologi
Penyebab utama terjadinya entropion adalah akibat peningkatan tegangan otot orbikularis melebihi bagian pretarsal, atrofi dan penyusutan lempeng tarsal, dan insersi abnormal dari otot retractor palpebra inferior (Bashour dan Harvey, 2000) E. Klasifikasi
Entropion diklasifikasikan menjadi empat, yang dibedakan berdasarkan penyebab dan mekanismenya, antara lain sebagai berikut (Artini et al ., 2011):
4
1. Entropion Involusional (senile) Entropion involusional terjadi pada individu dengan usia lanjut, biasanya pada usia diatas 60 tahun (Pereira et al ., 2010). Entropion kelopak mata bawah lebih sering terjadi daripada entropion kelopak mata atas. Entropion pada kelopak mata bawah lebih sering karena proses involusional pada proses penuaan. Biasanya terjadi akibat atrofi jaringan konektif palpebrae yang memisahkan serat m. orbicularis , dimana keadaan tersebut memungkinkan migrasi otot orbicularis praseptal ke atas, kelemahan horizontal dari kelopak mata menyebabkan menekuknya tepi tarsus inferior dan melemahnya fascia capsulo palpebrael (m. retractor palpebrae). Hal ini menyebabkan kehilangan elastisitas lempeng tarsal dan tepi kelopak mata memutar ke dalam.
Gambar 2.2. Entropion involusional
2. Entropion Sikatrik Entropion sikatrik adalah entropion akibat adanya jaringan sikatrik pada kelopak mata, biasanya setelah trauma atau pembedahan (Pereira et al ., 2010). Entropion pada kelopak mata atas sering karena sikatrikal (jaringan ikat yang menggantikan epidermis dan dermis yang sudah hilang) seperti akibat trakoma (Artini et al ., 2011). Entropion sikatrik terjadi karena pemendekkan dari lamella posterior yang disebabkan oleh kontraksi dari skar jaringan (Lang, 2006).
5
Gambar 2.3. Entropion sikatrik
3. Entropion Spastik Entropion spastik adalah entropion yang terjadi akibat adanya peradangan pada kelopak mata (Pereira et al ., 2010). Entropion spastik terjadi karena peningkatan dari tonus otot orbikularis okuli sehingga menyebabkan pelipatan tepi palpebra ke arah dalam (Lang, 2006).
Gambar 2.4. Entropion Spastik
4. Kongenital Entropion kongenital merupakan kelainan yang didapatkan sejak lahir hingga usia 1 tahun pada anak-anak (Pereira et al ., 2010). Entropion kongenital sering terjadi di kalangan orang Asia, tetapi jarang terjadi pada keturunan Eropa. Kasus entropion kongenital merupakan anomali yang jarang ditemukan. Pada entropion kongenital dapat terjadi erosi kornea kronik, yang menyebabkan terbentuknya ulkus pada bayi. Kondisi margo palpebra yang melipat ke dalam dapat mengakibatkan bulu mata menggesek kornea dan konjungtiva. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan terjadi perlukaan pada kornea bahkan ulkus (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010; Simon et al., 2005).
6
Gambar 2.5. Entropion Kongenital
F. Patomekanisme
Pasien yang menderita entropion akan terasa mengganjal pada matanya. Hal ini dapat disebabkan karena adanya sensasi benda asing yang masuk ke dalam mata. Bulu mata melengkung ke arah dalam mata yang menyebakan ganjalan di mata dan iritasi pada mata sehingga mata menjadi sering berair, merah dan nyeri karena gesekan yang ditimbulkan oleh bulu mata dan mata. Normalnya silia atau bulu mata melengkung ke arah luar (Erdian, 2013). Pada kasus ini bulu mata melengkung ke dalam, margo palpebra inferior oculi dekstra melipat ke dalam sehingga bulu mata yang tumbuh di daerah ini pun ikut melipat ke dalam. Entropion paling sering terjadi sebagai akibat proses penuaan. Seiring dengan meningkatnya usia, maka terjadi degenerasi progresif jaringan fibrous dan elastik kelopak mata bawah (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010). Entropion sikatrik berkaitan dengan riwayat terjadinya penyakit radang kronik misalnya trakoma. Trakoma merupakan penyebab yang sering menyebabkan entropion sikatrik (Rajak et al ., 2012). Mekanisme terjadinya entropion terkait pada usia, akibat degenerasi pada jaringan elastis dan fibrosa di dalam kelopak mata yang menyebabkan kelemahan kelopak mata horizontal. Hal ini disebabkan karena peregangan tendon dan lempeng tarsal. Ketidakstabilan kelopak mata vertikal, disebabkan karena pelemahan, disinersi dari retraktor kelopak mata bawah (Erdian, 2013). Entropion dikarakteristikkan dengan gesekan terus-menerus pada tepi kelopak mata, bulu mata dan kulit terhadap permukaan bola mata yang menghasilkan suatu inflamasi abrasi konjungtiva dan abrasi. Hal ini dapat
7
menyebabkan penipisan kornea sekunder, perdarahan dan pembentukan jaringan parut. Pasien dapat mengeluhkan sensasi mengganjal, kemerahan, mata berair, keluar sekret, bahkan penurunan visus (Artini et al ., 2011).
G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis Awalnya, posien akan mengeluh adanya sesuatu yang mengganjal di matanya
dan
terkadang
menimbulkan
nyeri.
Selain
itu
pasien
juga
mengeluhkan sering mengeluarkan banyak air mata (epifora), mata merah, tidak tahan melihat cahaya yang sangat terang (fotofobia), kelopak matanya menjadi keras, dan adanya kotoran mata (Yelena, 2014). 2. Pemeriksaan Fisik Pada
pemeriksaan
fisik,
pasien
dengan
entropion
involusional
menunjukkan kekenduran tendon kantus medial dan/atau tendon kantus lateral. Selain itu konjungtiva bulbi tampak hiperemis dan dapat ditemukan adanya blefarospasme (kontraksi otot-otot palpebra yang tidak terkendali). Pada kasuskasus yang lanjut, dapat terjadi ulserasi kornea disertai mata yang merah dan timbulnya gangguan penglihatan (Yelena, 2014). 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain (Yelena, 2014): a. Snap test Untuk menunjang diagnosis, dapat dilakukan snap test , yartu dengan menarik tepi palpebra inferior ke bawah dan dilepas secara cepat, kemudian diperhatikan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar palpebra inferior kembali ke posisi semula. Snap test dapat mengukur kelemahan relatif dari palpebra inferior. Palpebra dengan kelemahan yang normal dapat kembali ke posisi semula dengan segera. Semakin lama waktu yang dibutuhkan menunjukkan semakin berat kelemahan yang terjadi. Hasil snap test dikelompokkan menjadi 5 grade, yaitu: 1) Grade 0: palpebra normal yang kembali ke posisi semula dengan segera 2) Grade 1: palpebra kembali ke posisi semula dalam waktu 2-3 detrk
8
3) Grade 2: palpebra kembali ke posisi semula dalam waktu 4-5 detik 4) Grade 3: palpebra kembali ke posisi semula dalam waktu >5 detik, namun kembali dengan segera jika mata berkedip 5) Grade 4: palpebra tidak kembali ke posisi semula b. Medial canthal laxity test (Tes kelemahan kantus medial) Pemeriksaan ini dilakukan dengan menarik palpebra inferior ke sebelah lateral dari kantus medial, kemudian ukur pergeseran pungtum medialis. Semakin besar jarak pergeserannya, menunjukkan kelemahan palpebra yang semakin berat. Pergeseran normal berkisar antara 0-l mm. c. Lateral canthal laxity test (Tes kelemahan kantus lateral) Pemeriksaan ini dilakukan dengan menarik palpebra inferior ke sebelah medial dari kantus lateral, kemudian ukur pergeseran dari sudut kantus lateral. Semakin besar jarak pergeserannya, menunjukkan kelemahan palpebra yang semakin berat. Pergeseran normal berkisar antara 0-2 mm. d. Tes Schirmer Karena salah satu gejala entropion adalah epifora, maka tes Schirmer penting untuk dilakukan. Tes Schirmer digunakan untuk menilai produksi air mata. Sepotong kertas saring kecil dimasukkan ke dalam palpebra inferior dan didiamkan selama beberapa menit, baru kemudian dilepas. Dicatat ukuran kertas yang basah oleh air mata. e. Tes Fluorescein Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya tandatanda kerusakan kornea akibat gesekan bulu mata atau kulit palpebra terhadap kornea. Pemeriksaan ini sangat baik dilakukan untuk melihat keadaan kornea. Selain itu, juga dapat menilai derajat kekeringan kornea. f. Eksoftalmometri Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya enoftalmus relatif yang biasanya terjadi pada pasien yang mengalami entropion.
9
H. Diagnosis Banding
1. Trikiasis Definisi dari entropion adalah suatu keadaan melipatnya kelopak mata bagian tepi atau margopalpebra ke arah dalam sehingga bulu mata menggeser jaringan konjungtiva dan kornea, sedangkan trikiasis merupakan kelainan dimana bulu mata tumbuh mengarah ke dalam bola mata tanpa disertai dengan adanya kelainan pada kelopak mata (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010). 2. Distikiasis Distikiasis merupakan suatu keadaan dimana penumbuhan bulu mata abnormal atau terdapatnya duplikasi bulu mata pada daerah tempat keluarnya saluran Meibom (Ilyas dan Yulianti, 2015).
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan entropion adalah dengan operasi plastik atau suatu tindakan tarsotomi pada entropion akibat trakoma. Pembedahan untuk memutar keluar kelopak mata efektif pada semua jenis entropion. Operasi entropion transkonjungtiva merupakan prosedur yang aman dan lebih efisien pada entropion involusional (Shawn dan Meyer, 2002). Selain dengan tindakan operasi terdapat juga tindakan sementara untuk entropion involusional, yaitu menempelkan bulu mata ke pipi dengan selotip dengan tegangan mengarah ke temporal dan inferior, injeksi toksin botulinum, menggunakan obat tetes, dan salep pelumas (RiordanEva dan Whitcher, 2010). Terapi pembedahan merupakan pilihan pada entropion, yaitu untuk memutar keluar kelopak mata. Operasi entropion transkonjungtiva merupakan prosedur yang aman dan lebih efisien pada entropion involusi karena proses degeneratif dan cukup efektif pada entropion sikatriks (Kreis et al ., 2013).
J. Komplikasi
Tindakan operasi/pembedahan yang dilakukan pada pasien entropion (rekonstruksi palpebra) merupakan suatu prosedur aman dan efektif
10
dengan tingkat kekambuhan dan tingkat komplikasi yang rendah. Komplikasi yang dapat terjadi akibat entropion antara lain (Long, 2009): 1. Konjungtivitis yaitu peradangan pada konjungtiva. Akan terlihat lapisan putih yang transparan pada mata dan garis pada kelopaknya. Entropion dapat menyebabkan konjungtiva menjadi merah dan meradang, dan menimbulkan infeksi. 2. Keratitis yaitu suatu kondisi dimana kornea meradang. Masuknya bulu mata dan tepi kelopak ke kornea dapat menimbulkan iritasi dan rasa sakit. Jaringan parut akan terbentuk dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. 3. Ulkus kornea adalah ulkus yang terbentuk di kornea, dan biasanya disebabkan
oleh
keratitis.
Kondisi
ini
sangat
serius
karena
dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan. Sangat penting untuk segera berobat ke dokter jika mata menjadi merah, mata terasa sakit atau seperti ada yang mengganjal di dalam mata. 4. Komplikasi bedah, yaitu perdarahan, hematoma, infeksi, rasa sakit, dan posisi tarsal yang buruk.
K. Prognosis
Prognosis entropion pada umumnya memiliki prognosis yang baik, keefektifan pengobatan entropion tergantung pada penyebab utama dan tingkat keparahan penyakitnya bisa dilakukan dengan pembedahan yang tepat dan dapat memperbaiki keadaan kelopak mata yang mengalami kelainan tersebut (Kreis et al ., 2013). Namun tindakan operasi juga perlu diperhatikan dengan baik karena over koreksi justru dapat mengakibatkan ektropion pada akhirnya. Secara umum, prognosis entropion adalah prognosis quo ad vitam adalah ad bonam. Secara fungsional, dubia ad bonam, quo ad sanationam adalah dubia ad bonam (Harder et al ., 2014).
11
III. KESIMPULAN
Entropion adalah suatu keadaan melipatnya kelopak mata ke arah dalam bola mata. Entropion biasanya terjadi pada orang lanjut usia atau yang disebut entropion involusional. Entropion dibagi menjadi 4 jenis, yaitu : entropion invosional, entropion sikatrik, entropion spastik, dan entropion kongenital. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah melalui prosedur operatif. Jika tidak segera ditangani, entropion dapat menimbulkan konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea, dan komplikasi akibat pembedahan. Namun pada umumnya prognosis entropion adalah bonam.
12
DAFTAR PUSTAKA
Artini, W., Hutauruk, JA., Yudisianil. 2011. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. Bashour, M., Harvey, J. 2000. Causes of Involutional Ectropion and EntropionAge-Related Tarsal Changes are the Key. Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. 16 (2) : 131 – 41. Damasceno, R. W., Osaki, M. H., Dantas, P.E., Belfort, R. Jr. 2011. Involutional Entropion and Ectropion of the Lower Eyelid: Prevalence and Associated Risk Factors in the Elderly Population. Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. 27 (5) : 317 – 20. Erdian, DN. 2013. Entropion Senilis Oculi Dekstra, Entropion Sikatriks Oculi Sinistra dan Katarak Senilis Imatur Oculi Dekstra Sinistra pada Wanita 75 Tahun. Medula. 1 (4) : 54-59. Harder, BC., Von, Balz S., Schlichtenbrede, F., Jonas, JB., Schuster, AK. 2014. Entropion: Objective and Subjective Evaluation of Two Different Surgical Procedures. 231 (7): 729-34. Ilyas, Sidarta dan Sri Rahayu Yulianti. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Kreis AJ., Fariha S., Simon NM. 2013. Transconjungtival Entropion Repair-The Backdoor Approach. Orbit . 32 : 271-274 Lang G. 2006. Ophthalmology : A Pocket Textbook Atlas. Ed. 2. Hal. 24-27. Long JA. 2009. Oculoplastic Surgery. Philadelphia: Elsevier . Pereira, MG., Rodrigues, MA., Rodrigues, SA. 2010. Eyelid Entropion. Seminars in Ophthalmology. 25 (3) : 52 – 8. Rajak SN., Collin JR., Burton MJ. 2012. Trachomatous Trichiasis and its Management in Endemic Countries. Survey of Ophthalmology. 57(2).pp.105-35. ISSN0039-6257 Riordan-Eva, Paul., dan John P Whitcher. 2010 . Vaughan & Asbury: Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. Sari, Faraztya Purnama. 2016. Entropion Kelopak Bawah Mata Kanan pada Wanita Usia 78 Tahun. Jurnal Medula Unila. 4 (4) : 58-63. Shawn, JK., Meyer, DR. 2002. Transconjunctival Lower Eyelid Involutional Entropion Repair. Ophtalmology. 109 (11) : 2112 – 2117. Simon, GJB., Margarita, M., Robert., Schwarcz., John, A., Goldberg. 2005. External (Subciliary) vs Internal (Transconjunctival) Involutional Entropion Repair. Am J Ophthalmol . 139 : 482 – 487.
13
Snell, S. Richard. 2013. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC. Yelena. 2014. Entropion Involusional. Medicinus. 4 (7) : 19-26.
14