REFERAT
PERANAN POLIMORFISME COMT DALAM PATOFISIOLOGI BREAST CANCER
Oleh:
Anggita Dewi
G99161014
Nur Ratri
G0098128
Noni Kartika Sari
G99152024
Gladys Octavia
G99152040
Naila Shofwati
G99151022
Pembimbing:
dr. Widyanti Soewoto, Sp.B(K)Onk.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2017
A. PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan keganasan pada jaringan payudara yang dapat berasal dari epitel duktus maupun lobulusnya. Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak di Indonesia. Berdasarkan Pathological Based Registration di Indonesia, kanker payudara menempati urutan pertama dengan frekuensi relatif sebesar 18,6%. Diperkirakan angka kejadiannya di Indonesia adalah 12/100.000 wanita, sedangkan di Amerika adalah sekitar 92/100.000 wanita dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18 % dari kematian yang dijumpai pada wanita. Penyakit ini juga dapat diderita pada laki - laki dengan frekuensi sekitar 1 %. Di Indonesia, lebih dari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang lanjut, dimana upaya pengobatan sulit dilakukan (Kemenkes, 2014). Faktor risiko yang erat kaitannya dengan peningkatan insiden kanker payudara antara lain jenis kelamin wanita, usia > 50 tahun, riwayat r iwayat keluarga keluar ga dan genetik (Pembawa mutasi gen BRCA1, BRCA2, ATM atau TP53 (p53)), riwayat penyakit payudara sebelumnya (DCIS pada payudara yang sama, LCIS, densitas tinggi pada mamografi), riwayat menstruasi dini (< 12 tahun) atau menarche lambat (>55 tahun), riwayat reproduksi (tidak memiliki anak dan tidak menyusui), hormonal, obesitas, konsumsi alkohol, riwayat radiasi dinding dada, faktor lingkungan (Kemenkes, 2014). Sejumlah kecil polimorfisme pada gen terkait kanker payudara telah dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Polimorfisme nukleotida tunggal (Single ( Single Nucleotide Polymorphisms) Polymorphisms) adalah jenis variasi yang paling sering terjadi pada genom manusia, dan juga berharga dalam uji dan studi berbagai penyakit dan sifat farmakogenetik. Banyak penelitian telah mempelajari hubungan antara polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen terkait estrogen, seperti CYP17, CYP19, CYP1A1, CYP1B1, COMT, GSTP1, dan ERα / β, dan risiko kanker payudara, terutama pada wanita pascamenopause.
Polimorfisme
pada
gen-gen
ini
telah
dilaporkan
mempengaruhi regulasi, transkripsi, dan aktivitas enzim, serta paparan selanjutnya terhadap estrogen endogen dan perkembangan kanker payudara.
2
Meskipun efek polimorfisme tunggal pada perkembangan keganasan lemah, beberapa lokus dapat bergabung untuk menghasilkan risiko kumulatif yang bekerja sama dengan paparan lingkungan dalam perkembangan keganasan (Sun et al., 2015).
B. FAKTOR RISIKO KANKER PAYUDARA 1. Faktor Risiko yang dapat dicegah
a. Kegemukan: Berat badan berlebih (terutama di bagian pinggang) yaitu IMT (indeks massa tubuh) lebih dari 25 berhubungan dengan peningkatan risiko kanker payudara, terutama untuk wanita setelah menopause. Jaringan lemak merupakan sumber utama estrogen tubuh setelah menopause ketika ovarium berhenti memproduksihormon. Memiliki jaringan lemak yang lebih banyak berarti memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi, yang dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Berat badan berlebih juga dapat meningkatkan risiko kanker payudara untuk kambuh kembali (rekuren) pada wanita yang telah memilikipenyakit tersebut. Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa wanita obesitaslebih mungkin untuk memiliki tumor dengan ukuran besar, keterlibatan kelenjar getah bening yang lebih besar, dan prognosis kanker payudara yang lebih buruk dengan risiko kematian 30% lebih tinggi. Namun, hubungan antara berat badan berlebih dan kanker payudara adalah rumit dan dipengaruhi olehfaktor-faktor lainnya. Misalnya, lokasi dari berat badan yang berlebih juga penting. Lemak berlebih di sekitar perut dapat meningkatkan risiko besar lebih dari lemak berlebih di sekitar paha atau pinggul dengan jumlah yang sama (Lakshmi et al, 2012). b. Diabetes Melitus Wanita dengan tipe 2 DM dengan hiper-insulinemia lebih mungkin untuk mengembangkan kanker payudara dibandingkan wanita non-DM. Penelitian kami menemukan wanita dengan DM tipe 2 memiliki risiko 14% lebih tinggi dari kanker payudara pada diabet es dibandingkan pada
3
wanita nondiabetes. Hiperinsulinemia juga memiliki secara tidak langsung efek pada jaringan payudara dengan meningkatkan endogen tingkat estrogen dan androgen serta penurunan kadar plasma dari hormon seks pengikat globulin (Anothaisintawee et al, 2013). c. Kurangnya Latihan: Penelitian menunjukkan bahwa olahraga dapat menurunkan
risiko
kanker
payudara.
The
American
Cancer
Societymerekomendasikan 45-60 menit latihan fisik5 hari atau lebih dalam seminggu. Latihan fisikdapat mengontrolgula darah dan membatasi kadar insulin growth factor dalam darah, hormon yang dapat mempengaruhi pertumbuhan sel payudara. Orang yang berolahraga secara teratur cenderung lebih sehat danlebih mungkin untuk mempertahankan berat badan yang sehat dan memiliki lebih sedikit atau tidak adakelebihan lemak dibandingkan dengan orang yang tidak berolahraga (Lakshmi et al, 2012). d. Diet: Diet merupakan faktor risiko yang diduga berperan pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker payudara. Baik untuk membatasi sumber daging merah dan lemak hewan lainnya (termasuk lemak dalam keju, susu, dan es krim), karena mungkin mengandung hormon, faktor pertumbuhan lain, antibiotik, dan pestisida. Menkonsumsi terlalu banyak kolesterol dan lemak lainnya merupakan faktor risiko untuk kanker,dan studi menunjukkan bahwa makan banyak daging merah dan atau daging yang diproses berhubungan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara. Diet rendah lemak kaya buah-buahan dan sayuran umumnya direkomendasikan. Satu studi baru menunjukkan bahwa diet rendah lemak secara signifikan dapat mengurangi risiko kanker payudara serta kambuhnya kanker payudara (Lakshmi et al, 2012). e. Konsumsi alkohol: Penelitian telah menunjukkan risiko kanker payudara yang meningkat seiring dengan jumlah alkohol yang dikonsumsi oleh wanita. Mekanisme utama alkohol menyebabkan kanker payudara yaitu meningkatnya kadar estrogen. Alkohol dapat
4
membatasi kemampuan untuk mengontrol kadar hormon estrogen dalam darah. Alkohol juga dapat meningkatkan risiko kanker payudara dengan cara merusak DNA dalam sel. Dibandingkan dengan wanita yang tidak minum alkohol sama sekali, wanita yang mengkonsumsi minuman beralkohol 3 kali per minggu memiliki risiko kanker payudara 15% lebih tinggi. Diperkirakan bahwa risiko kanker payudara naik 10% untuk setiap minuman tambahan yang dikonsumsi per hari. Sebuah studi pada lebih dari satu juta wanita Inggris setengah baya menyimpulkan bahwa setiap minuman beralkohol yang dikonsumsi setiap hari meningkatkan kejadian kanker payudara sebesar 11 kasus per 1000 wanita(Lakshmi et al, 2012). f. Merokok: Merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Merokok menyebabkan sejumlah penyakit dan dikaitkan dengan risiko terkena kanker payudara lebih tinggi pada yang wanita premenopause
dengan
usia
lebih
muda.
Penelitian
juga
telah
menunjukkan bahwa mungkin ada hubungan antara perokok pasif yang sangat
berat
dengan
risiko
kanker
payudara
pada
wanita
pascamenopause. Merokok pasif meningkatkan risiko kanker payudara 70% pada perempuan usia muda terutama pra-menopause. Ada beberapa bukti bahwa paparan asap tembakau yang paling berperngaruh pada masa antara pubertas dan persalinan pertama. Jaringan payudara tampaknya paling sensitif terhadap bahan kimia karsinogen pada fase ini karena sel-sel payudara belum sepenuhnya berdiferensiasi sampai laktasi.
Merokok
juga
dapat
meningkatkan
komplikasi
dari
pengobatankanker payudara, termasuk (Lakshmi et al, 2012).: 1) Kerusakan paru-paru dari terapi radiasi 2) Kesulitan penyembuhan setelah operasi dan rekonstruksi payudara 3) Risiko bekuan darah yang lebih tinggi saat menjalani terapi hormonal. g. Hormone Replacement Therapy : Penggunaan terapi penggantian hormon atau hormone replacement therapy (HRT) memiliki risiko
5
tinggi untuk didiagnosa dengan kanker payudara. Kanker payudara terkait HRT memiliki karakteristik prognosis yang buruk (stage yang lebih lanjut dan tumor yang lebih besar) dibandingkan dengan kanker yang terjadi pada kelompok plasebo. Penggunaan hormon jangka pendek untukpengobatan gejala menopause menunjukkan sedikit atau tidak ada risiko kanker payudara. Ada dua jenis utama HRT dan masing-masing jenis HRT tampaknya memiliki efek yang berbeda pada risiko kanker payudara (Lakshmi et al, 2012): 1) HRT Kombinasi mengandung hormon estrogen danprogesteron 2) Estrogen-only HRT mengandung hanya estrogen h. Penggunaan Kontrasepsi Oral : Menggunakan kontrasepsi oral tampaknya sedikit meningkatkan risiko wanita untuk terkena kanker payudara, tetapi hanya untuk jangka waktu tertentu. Wanita yang berhenti menggunakan kontrasepsi oral lebih dari 10 tahun lalu tidak memiliki risiko kanker payudara yang meningkat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita yang mulai menggunakan kontrasepsi hormonal sebelum usia 20 mengalami peningkatan risiko kanker payudara(Lakshmi et al, 2012). i. Faktor lingkungan: Mekanisme utama yang menyebabkan senyawa lingkungan meningkatkan risiko kanker payudara adalah bertindak seperti hormon, terutama estrogen, atau mempengaruhi kerentanan terhadap carcinogenesis. Bukti umumnya mendukung adanya hubungan antara kanker payudara dan polycyclic aromatic hydrocarbons(PAH) dan polychlorinated biphenyls (PCBs) dioxins dan pelarut organik. Di sisi lain, bukti yang ada masih didasarkan pada studi yang relatif sedikit (Lakshmi et al, 2012). 2. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dicegah
a. Umur: Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring usia. Hal ini disebabkan
karnasemakin
lama
usia
hidup,
maka
lebih
banyakkesempatan untuk terjadi kerusakan genetik (mutasi) di dalam tubuh. Dan semakin tua usia, tubuh menjadi kurang mampu
6
memperbaiki kerusakan genetik. Seorang wanita lebih dari 100 kali lebih mungkin mengembangkan kanker payudara di usia 60-an daripada di usia 20-an. menurut American Cancer Society, sekitar 1 dari
8
kanker payudara invasif berkembang pada wanita yang lebih muda dari 45. Sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada wanita usia 55 tahun atau lebih tua.Probabilitas kanker payudara meningkat seiring dengan usia, tapi kanker payudara cenderung lebih agresif pada pasien usia muda (Lakshmi et al, 2012). b. Sex: Menjadi seorang wanita adalah faktor risiko yang paling signifikan untuk terjadinya kanker payudara. Meskipun laki-laki bisa terkena kanker payudara, sel payudara perempuan terus berubah dan tumbuh, terutama
karena
aktivitas
hormon
wanita
yaitu
estrogen
dan
progesteron. Laki-laki memiliki risiko jauh lebih rendah untukterkena kanker payudara dibandingkan wanita. Pada negara berkembang, sekitar 99% dari kasus kanker payudara didiagnosa di perempuan; padabeberapa negara Afrika (yang mewakili insiden tertinggi kanker payudara pada laki-laki), 5- 15% dari kasus kanker payudara terjadi pada laki-laki. Prognosis keseluruhan lebih buruk untuk laki-laki daripada perempuan (Lakshmi et al, 2012). c. Riwayat menstruasi: Wanita yang mulai menstruasi lebih muda dari usia 12 memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara di kemudian hari. Hal yang sama berlaku bagi wanita yang mengalami menopause ketika mereka lebih tua dari 55. Selama 15 tahun terakhir, perempuan telah mulai pubertas di usia lebih muda. Pertumbuhan payudara bahkan telah dimulai lebih awal dari periode
menstruasi.
Pergeseran tak terduga ini dikaitkan dengan epidemi obesitas dan pajanan yang luas terhadap pengacau hormon, karena kenaikan hormon memicu pertumbuhan payudara dan pubertas. Semakin lama wanita menstruasi, semakin tinggi juga paparan terhadap hormon estrogen dan progesteron. Semua faktor ini dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara di kemudian hari (Lakshmi et al, 2012).
7
d. Riwayat
kehamilan:
Usia
melahirkan
pertama
yang
lebih
muda(dibandingkan dengan usia rata-rata 24), memiliki lebih banyak anak (penurunan risiko sekitar 7% per anak) berkorelasi dengan penurunan risiko kanker payudara dalam studi besar. Wanita yang belum memiliki kehamilan aterm atau memiliki anak pertama mereka setelah usia 30 memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang melahirkan sebelum usia 30. Sel-sel payudarapada masa remaja belum matang dan sangat aktif sampai kehamilan pertama cukup bulan. Sel-sel payudara yang belum matang berespon terhadap hormon estrogen serta zat kimia pengacau hormon. Kehamilan full-term pertama membuat sel-sel payudara sepenuhnya matang dan tumbuh dalam cara yang lebih teratur. Ini adalah alasan utama mengapa kehamilan membantu melindungi payudara terhadap kanker (Lakshmi et al, 2012). e. Rwayat Menyusui: Bagi wanita yang memiliki anak, ASI dapat sedikit menurunkan risiko kanker payudara mereka, terutama jika mereka terus menyusui selama 1,5 sampai 2 tahun. Ada beberapa alasan mengapa ASI melindungi kesehatan payudara: 1) Produksi ASI terus menerus dapat mencegah sel payudara tumbuh abnormal 2) Kebanyakan wanita memiliki siklus menstruasi yang lebih sedikit ketika mereka menyusui sehingga tingkat estrogen lebih rendah 3) Banyak wanita cenderung makan makanan yang lebih bergizi dan ikuti gaya hidup sehat (membatasi rokok dan penggunaan alkohol) selama menyusui (Anothaisintawee et al, 2013). f. Riwayat keluarga: Dalam 5% dari kasus kanker payudara, ada risiko inheredited-familial yang kuat.Wanita dengan kerabat dekatyang telah didiagnosa dengan kanker payudara memiliki risiko lebih tinggi terserang penyakit itu. Jika memiliki salah satu saudara perempuan (adik/kakak, ibu, anak perempuan) didiagnosis dengan kanker payudara,
risiko
meningkat
8
dua
kali
lipat.
Jika
2
saudara
perempuan(adik/kakak, ibu, anak perempuan) telah didiagnosa, risiko mereka adalah 5 kali lebih tinggi dari rata-rata. Jika saudara laki-laki atau ayah seseorang telah didiagnosis dengan kanker payudara, risiko lebih tinggi. Dua gen autosomal dominan, BRCA1 dan BRCA2, berperan dalam sebagian besar kasus kanker payudara familial. Wanita yang membawa mutasi BRCA berbahaya memiliki risiko 60%-80% untuk terkena kanker payudara dalam hidup mereka. Keganasan lain yang terkait termasuk kanker ovarium dan kanker pankreas (Anothaisintawee et al, 2013). g. Riwayat pribadi: Pasien yang sebelumnya telah didiagnosiskanker payudara, ovarium, rahim, atau kanker usus memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara di masa depan. Ibu dari anak-anak dengan sarkoma jaringan lunak mungkin memiliki peningkatan risiko kanker payudara. Pria dengan kanker prostat mungkin memiliki risiko kanker payudara yang meningkat, meskipun risiko absolut masih rendah. Jika seseorang telah didiagnosis kanker payudara, maka ia 3 sampai 4 kali lebih mungkin untuk mengidap kanker baru di payudara lain atau bagian yang berbeda dari payudara yang sama. Risiko ini berbeda dengan risiko kanker yang asli datang kembali (disebut risiko kekambuhan atau risk of recurrence) (Lakshmi et al, 2012). h. Radiasi ke dada atau wajah sebelum Usia 30: Wanita yang ditatalaksana untuk kanker pada masa anak-anak dengan terapi radiasi ke daerah dada memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dari rata-rata untuk terkena kanker payudara di kemudian hari. Risiko ini adalah sama seperti pada wanita yang memiliki gen kanker payudara abnormal. Risikobervariasi dengan usia pasien ketika mereka menjalani terapi radiasi. Jika kemoterapi juga diberikan, hal itu mungkin menghentikan produksi hormon ovarium untuk beberapa waktu, sehinggga menurunkan risiko kanker payudara. Risiko tertinggi terkena kanker payudara akibat
9
radiasi pada dada terjadi jika radiasi diberikan selama remaja, ketika payudara masih berkembang (Lakshmi et al, 2012). i. Ras / etnis: Perempuan berkulit putih sedikit lebih seringterkena kanker payudara dibandingkan wanita Afrika-Amerika. Wanita Asia, Hispanik, dan penduduk asli Amerika memiliki risiko lebih rendah terkena kanker payudara dan kematian akibat kanker payudara. Perempuan Kaukasia berada pada risiko sedikit lebih tinggi dari perempuan Afrika-Amerika. Wanita Afrika-Amerika juga lebih seringmengalami kematian akibat kanker payudara. Hal ini mungkin disebabkan karena akses untuk mamografi dan perawatan medis yang berkualitas rendah, serta berbagai pola gaya hidup (kebiasaan makan, masalah berat badan dll) yang lebih umum di beberapa kelompok etnis dari pada etnis lainnya (Lakshmi et al, 2012). j. Perubahan Seluler pada Payudara / Lesi Payudara: Perubahan tidak biasa pada sel-sel payudara yang ditemukan selama biopsi dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya kanker payudara. Perubahan ini termasuk hiperplasia atau atypical appearance. Hasil biopsi payudara sebelumnya berupahiperplasia atipikal (lobular atau duktal) atau karsinoma lobular in situ meningkatkan risiko kanker payudara wanita 4-5 kali (Lakshmi et al, 2012). k. Ooforektomi dan Mastektomi: Ooforektomi dan mastektomi profilaksis pada individu dengan risiko tinggi mutasi gen BRCA1 atau BRCA2 mengurangi risiko kanker payudara serta mengurangi risiko kanker ovarium. Namun karena keseimbangan yang kompleks antara manfaat dan risiko sebuah operasi profilaksis maka hal ini dianjurkan hanya dalam kasus-kasus yang sangat spesifik (Lakshmi et a l, 2012). l. Genetik Empat gene yang berhubungan dengan kanker payudara adalah BRCA1, BRCA2, TP53, dan CDH1. Mutasi pada BRCA 1 dan TP53 berhubungan dengan terjadinya IDC, sdangkan mutasi pada BRCA2 berhubungan dengan keduanya, sementara mutasi pada CDH1 secara
10
eksklusif berhubungan dengan ILC. Mutasi pada PTEN dan STK11 menyebabkan Cowden and Peutz-Jaeger syndrome, dan risiko kanker payudara juga tinggi pada wanita. Meskipun demikian manifestasi biasanya tidak berhubungan dengan kanker payudara (sebagai contoh makrosefal, abnormalitas susunan saraf pusat, lesi mukokutaneus, gastrointestinal hamartomas) (Anothaisintawee et al, 2013). m. Paparan Estrogen: Hormon estrogen merangsang pertumbuhan sel payudara, paparan estrogen jangka lama, tanpa jeda waktu, dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Beberapa faktor risiko tersebut tidak dapat dikontrol, seperti: 1) Mulai menstruasidi usia muda (Sebelum usia 12) 2) Menopause di usia akhir (setelah 55) 3) Paparan estrogen dalam lingkungan (seperti hormon dalam daging atau pestisida seperti DDT, yang menghasilkan zat seperti estrogen ketika dipecah oleh tubuh) (Lakshmi et al, 2012).
C. Faktor Genetik dalam Kanker Payudara
Dampak
riwayat
keluarga
terhadap
risiko
kanker
payudara
menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan peran penting dalam kerentanan terhadap kanker payudara. Para peneliti mulai memahami bagaimana perubahan pada gen tertentu dapat mengganggu kemampuan gen untuk mengendalikan pertumbuhan dan pembelahan sel, sehingga sel payudara normal dapat berkembang menjadi kanker (NIEHS, 2012). Bagi jutaan wanita yang hidup dengan kanker payudara, penemuan gen kanker payudara pertama tahun 1994 oleh para peneliti dari National Institute of Environmental Health Sciences (NIEHS) dan rekan kerja mereka merupakan tanda pembaruan dan kemajuan dalam perang melawan penyakit ini.
Predisposisi
genetik
pada
kanker
payudara
secara
signifikan
mempengaruhi proses skrining dan rekomendasi tindak lanjut untuk wanita berisiko tinggi (NIEHS, 2012).
11
Meskipun faktor genetik merupakan penyumbang penting bagi perkembangan kanker payudara, studi yang dilakukan oleh para ilmuwan di Skandinavia menunjukkan bahwa faktor genetik hanya mencakup 27 persen risiko kanker payudara. Studi lain menunjukkan bahwa prevalensi kanker payudara pada wanita keturunan Jepang, yang bermigrasi ke Amerika Serikat, menjadi serupa dengan prevalensi kanker payudara wanita Barat dalam satu atau dua generasi. Temuan ini menunjukkan peran penting yang dimainkan oleh faktor lingkungan dalam menentukan kerentanan terhadap kanker payudara. Para ahli sepakat bahwa kanker payudara disebabkan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, dan lingkungan (NIEHS, 2012).
Kanker Payudara yang Diwariskan
Peningkatan risiko perkembangan kanker pada wanita dengan mutasi pada gen kerentanan kanker selalu dimulai dengan pewarisan mutasi germinal dari kedua orang tua. Kelompok gen yang merupakan faktor predisposisi perkembangan keganasan ginekologi sebagian besar bersifat autosomal dan diwariskan dari kedua orang tua. Dengan kata lain, mutasi germinal diwariskan saat pembuahan. Konsep ini sangat penting saat penggalian informasi riwayat keluarga karena kedua orang tua dapat mentransmisikan mutasi gen. Dengan demikian, penggalian riwayat keluarga ibu dan ayah secara cermat dan terperinci penting untuk memperkirakan risiko kanker individu secara akurat (Shulman, 2013). Warisan alel yang bermutasi hanyalah langkah pertama dalam perkembangan
keganasan.
Mewarisi
langkah
pertama,
dibandingkan
menunggu perubahan somatik terjadi secara spontan tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya keganasan dibandingkan dengan individu-individu yang tidak mewarisi mutasi tersebut. Tetapi hal ini tidak menjamin bahwa seseorang akan mengalami perkembangan
keganasan.
Perkembangan kanker yang dapat diwariskan, serta sebagian besar kanker lainnya, dipercaya bergantung pada terjadinya perubahan genomik kedua. Langkah kedua (dan selanjutnya) selalu bersifat somatik, juga menjelaskan
12
mengapa tidak semua orang yang mewarisi gen dengan mutasi dapat mengalami perkembangan keganasan (Shulman, 2013). Studi molekuler kanker pada individu dengan keganasan yang timbul dari pewarisan mutasi gen sering menunjukkan hilangnya heterozigositas pada posisi genom gen supresor tumor pada jaringan tumor. Hilangnya heterozigositas ini adalah "langkah kedua" dalam pengembangan kanker pada individu yang telah mewarisi gen yang bermutasi, meningkatkan predisposisi transformasi ganas organ tersebut (Shulman, 2013). Meskipun demikian, kebanyakan kasus kanker payudara, sekalipun dengan riwayat keluarga yang signifikan, tidak terkait dengan mutasi germinal dari gen predisposisi kanker yang diketahui. Dengan demikian, mekanisme
alternatif
mungkin
terjadi
dan
bertanggung
jawab
atas
perkembangan lebih banyak kasus kanker daripada yang saat ini terkait dengan mutasi germinal gen predisposisi kanker. Fasching dkk. mengusulkan bahwa perkembangan kanker dapat dipengaruhi oleh polimorfisme genetik penetran rendah yang relatif umum, serupa dengan penyakit orang dewasa umum seperti diabetes (Shulman, 2013). Ketika kebanyakan keganasan payudara tidak terkait dengan mutasi germinal
yang
teridentifikasi,
tinjauan
literatur
menemukan
dan
mengkonfirmasi lima gen yang langka, namun sangat penetran (BRCA1, BRCA2, PTEN, TP53, CDH1) dan empat gen yang juga langka dengan tingkat penetran sedang (CHEK2 , Ataxia teleangectasia mutated [ATM], BRIP1, PALB2), bersamaan dengan daftar panjang gen penetran tingkat rendah yang berkontribusi terhadap risiko kanker payudara. Hingga 25% kasus yang diturunkan disebabkan oleh mutasi pada salah satu gen penetran tinggi (BRCA1, BRCA2, PTEN, TP53, CDH1, dan STK11), yang memberikan risiko kanker payudara 80% seumur hidup. Tambahan 2% -3% kasus disebabkan oleh mutasi pada gen penetrasi sedang yang jarang terjadi (misalnya CHEK2, BRIP1, ATM, dan PALB2), masing-masing dikaitkan dengan peningkatan risiko dua kali lipat (Shiovitz dan Korde, 2015).
13
Sejumlah kecil polimorfisme pada gen terkait kanker payudara telah dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Polimorfisme nukleotida tunggal (Single Nucleotide Polymorphisms) adalah jenis variasi yang paling sering terjadi pada genom manusia, dan juga berharga dalam uji dan studi berbagai penyakit dan sifat farmakogenetik. Banyak penelitian telah mempelajari hubungan antara polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen terkait estrogen, seperti CYP17, CYP19, CYP1A1, CYP1B1, COMT,
14
GSTP1, dan ERα / β, dan risiko kanker payudara, terutama pada wanita pascamenopause.
Polimorfisme
pada
gen-gen
ini
telah
dilaporkan
mempengaruhi regulasi, transkripsi, dan aktivitas enzim, serta paparan selanjutnya terhadap estrogen endogen dan perkembangan kanker payudara. Meskipun efek polimorfisme tunggal pada perkembangan keganasan lemah, beberapa lokus dapat bergabung untuk menghasilkan risiko kumulatif yang bekerja sama dengan paparan lingkungan dalam perkembangan keganasan (Sun et al., 2015).
D. PERAN POLIMORFISME COMT DALAM KANKER PAYUDARA
Kesehatan dan homeostasis tubuh dipelihara melalui interaksi dan keseimbangan sistem saraf dan kekebalan tubuh. Interaksi sistem saraf pusat (SSP), endokrin dan sistem kekebalan dimediasi oleh neurotransmitter (serotonin, norepinefrin dan dopamin), neurohormon (hormon pertumbuhan dan prolaktin) dan sitokin (interleukin, TNFα, interferon α dan γ). Neurotransmiter mempengaruhi sel melalui reseptor khusus yang akan berubah dalam kondisi stres. Misalnya, katekol amina terutama dopamin dan serotonin mempengaruhi fungsi sistem kekebalan tubuh atau mempengaruhi berbagai jenis sel yang berbeda melalui berbagai reseptornya dan juga dapat mempengaruhi sel tumor. Studi yang berbeda menunjukkan bahwa profil ekspresi gen reseptor ini dikaitkan dengan kondisi stres kronis pada berbagai jenis penyakit termasuk lupus eritematosus, skizofrenia, kanker paru jenis sel non-kecil dan kanker payudara. Meskipun kondisi stres dapat meningkatkan jumlah dopamin dan menghambat pertumbuhan tumor, perlu dicatat bahwa tubuh memiliki sistem pengatur untuk menurunkan tingkat dopamin dan seluruh variasi ini bisa menjadi tidak lancar, jika dopamin dimetilasi dan dimetabolisme (Pornour et al, 2015). Catecholamine O-Methyl Transferase (COMT) memainkan peran kunci
dalam
metabolisme
dopamin
dan
estrogen
katekol.
COMT
mengkatalisasi pengalihan gugus metil dari S-adenosil-L-metionin ke salah satu dari dua gugus hidroksil dari senyawa katekolik, termasuk L-dopa,
15
estrogen katekol, katekolamin endogen dan eksogen serta metabolit hidroksilasinya. Hubungan antara polimorfisme COMT val158met dan kejadian penyakit yang berbeda seperti nyeri saraf, skizofrenia, gangguan obsesif-kompulsif dan kanker payudara telah dilaporkan. Namun, ekspresi dan aktivitas COMT yang berlebihan dapat menyebabkan depresi dan dapat berbahaya. Tidak ada penjelasan tentang karakter COMT yang khas dalam kejadian penyakit terutama kanker payudara dan sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan antara kerentanan pasien dengan haplotipe COMT. Yang diketahui selama ini, diasumsikan bahwa stres dapat menyebabkan perubahan ekspresi gen COMT dan hal ini dapat dikaitkan dengan perkembangan penyakit. Oleh karena itu, evaluasi perubahan tingkat ekspresi gen COMT dan aktivitas enzim spesifik yang terkait dengan stres kronis pada pasien kanker payudara tampaknya diperlukan (Pornour et al., 2015). Sebuah penelitian dilakukan untuk mengevaluasi peran perubahan ekspresi gen COMT pada sel mononuklear darah perifer ( peripheral blood mononuclear cells; PBMCs) dan aktivitas enzim spesifiknya pada sampel darah pasien kanker payudara sebagai penekan faktor stres. Sampel darah perifer diperoleh dari 40 pasien dan 40 individu sehat. Total mRNA diekstraksi dari PBMC dan plasma mereka disimpan untuk mengevaluasi perubahan
aktivitas
enzim
tertentu.
RT-PCR
dilakukan
untuk
mengkonfirmasi adanya ekspresi gen COMT pada PBMC. Perubahan ekspresi gen COMT dievaluasi dengan teknik PCR real time. Selanjutnya, aktivitas enzim spesifik dari COMT diselidiki. Didapatkan bahwa ekspresi gen COMT pada PBMCs pasien kanker payudara meningkat dibandingkan dengan individu sehat. Selain itu, aktivitas enzim COMT meningkat pada pasien kanker payudara dibandingkan dengan individu sehat. Peningkatan ekspresi gen COMT pada PBMC meningkatkan jumlah metilasi dopamin dan perkembangan kanker payudara lebih lanjut. Oleh karena itu, penilaian perubahan COMT dan metabolisme dopamin (faktor risiko) dalam diagnosis kanker payudara tampaknya diperlukan dan penggunaan obat-obatan tertentu
16
yang sesuai seperti inhibitor COMT merupakan perspektif yang menjanjikan dalam terapi kanker payudara (Pornouret et al., 2015). Hubungan antara polimorfisme COMT Val158Met dan risiko kanker payudara masih belum meyakinkan. Sedangkan kanker payudara herediter hanya mewakili 5-9% dari semua kasus kanker payudara, studi tentang polimorfisme pada gen penetrasi rendah telah menjadi area penelitian baru untuk mengidentifikasi kombinasi polimorfisme yang dapat memodifikasi kerentanan individu terhadap kanker payudara (Li et al., 2013). Beberapa penelitian
telah
melaporkan
bahwa
tingginya
jumlah
stres
dapat
meningkatkan risiko kanker payudara di kalangan wanita (Pornour, 2015). Telah
diperkirakan
dikombinasikan
bahwa
dengan
gen
faktor
kerentanan lingkungan
penetrasi mungkin
rendah penting
yang dalam
pengembangan kanker (Li et al., 2013). Secara biologis adalah masuk akal untuk berhipotesis bahwa wanita yang membawa mutan COMT-Met alele mungkin memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi. Sampai saat ini, sejumlah studi epidemiologi molekuler telah melaporkan peran potensial dari polimorfisme COMT Val158Met
pada
risiko
kanker
payudara.
Namun,
hasilnya
tetap
kontroversial. Beberapa penelitian menganggap bahwa polimorfisme COMT Val158Met dikaitkan dengan risiko kanker payudara, namun ada juga pendapat yang berbeda (Li et al., 2013). COMT adalah enzim metabolism estrogen yang penting; sehingga, polimorfisme pada COMT dapat mempengaruhi risiko kanker payudara. COMT, di sisi lain, adalah enzim fase II yang mengubah estrogen katekol menjadi methylether nongenotoksik, sehingga menginaktivasikannya. Satu perubahan pasangan basa G menjadi A pada gen COMT menghasilkan perubahan asam amino (Val / Met) pada kodon 108 dari COMT soluble dan kodon 158 dari COMT terikat membran, dan perubahan ini telah dikaitkan dengan penurunan aktivitas COMT dua sampai tiga kali lipat (Li et al., 2013). Pencarian literatur yang komprehensif dilakukan melalui database Medline, PubMed, Embase, dan Web of Science (pencarian terakhir telah
17
diupdate pada tanggal 4 Oktober 2013), dengan menggunakan istilah pencarian "Katekol-O-methyltransferase," "COMT," "polimorfisme," "kanker payudara," dan frasa gabungan. Studi yang disertakan harus memenuhi kriteria berikut: (1) hanya studi kontrol kasus yang dipertimbangkan, (2) mengevaluasi polimorfisme COMT Val158Met dan risiko kanker payudara, dan (3) distribusi genotipe polimorfisme pada kasus dan kontrol dijelaskan secara rinci dan hasilnya dinyatakan sebagai rasio odds (OR) dan interval kepercayaan 95% yang sesuai (95% CI). Alasan utama untuk tidak mengikutsertakan penelitian adalah sebagai berikut: (1) bukan untuk penelitian kanker; (2) hanya laporan kasus; Dan (3) duplikat dari publikasi sebelumnya. 18 studi kasus kontrol dari keturunan Asia termasuk dalam analisis ini, mencakup 5.175 kasus kanker payudara dan 6.463 kontrol. Di antara penelitian ini, 11 adalah penelitian berbasis rumah sakit dan tujuh penelitian adalah penelitian berbasis populasi (Li et al., 2013). Efek polimorfisme COMT Val158Met terhadap risiko kanker payudara
dievaluasi
sesuai
sumber
kontrol.
Ketika
dikelompokkan
berdasarkan studi berbasis populasi atau penelitian berbasis rumah sakit, tidak ada risiko yang meningkat secara statistik yang signifikan keduanya ditemukan dalam studi berbasis populasi dan studi berbasis rumah sakit berdasarkan semua model genetik. Secara keseluruhan, tidak ada hubungan yang signifikan antara polimorfisme COMT Val158Met dan kerentanan kanker payudara yang diamati pada semua model genetik ketika semua penelitian yang memenuhi syarat dikumpulkan ke metaanalisis (Li et al., 2013).
Metabolisme estrogen
Estrogen merupakan faktor risiko hormonal pada kanker payudara. Selain karena efek yang dimediasi reseptor, estrogen dapat bekerja melalui mekanisme ER independen sebagai mutagen dari jaringan payudara dan pengatur jumlah stem sel mammae. Kemungkinan bahwa E 2 berkontribusi pada perkembangan kanker payudara melalui mekanisme ER independen
18
memunculkan pertanyaan apakan pemberian anti-estrogen atau inhibitor aromatase dapat menjadi lebih efektif untuk mencegan kanker payudara. Anti-estrogen, tamoxifen, dan raloxifen, bekerja spesifik pada jalur reseptor dependen pada karsinogenesis. Sebaliknya, inhibitor aromatase mengurangi produksi estrogen dan menutup sedua resepror estrogen, baik dependen maupun reseptor independen (Yager, 2012). Agen COMT, glutahione transferase (GST), dan quinone reductase (QR) dapat menonaktifkan katekol estrogen, semikuinon, dan kuinon, dan mencegah formasi adisi dan kerusakan oksidatif DNACOMT berperan sebagai penjaga metilasi metabolit katekol pada posisi 2-OH, 3-OH, atau 4OH untuk menghentikan kemampuan mengikat ER dan menghentikan metabolisme oksidatif ER untuk mengaktifkan kembali kuinon, dan kemudian melindunginya dari formasi adisi depurinasi dan kerusakan oksidatif DNA.
Pemaparan yang terlalu lama oleh estrogen merupakan faktor risiko penting untuk kejadian kanker payudara. Tingkat estrogen diatur sebagian oleh katabolisme. Di sisi lain, metabolit estrogen tertentu, terutama katekol estrogen-3,4-kuinon,
dapat
bereaksi
19
dengan
DNA,
menghasilkan
pembentukan DNA, yang menyebabkan mutasi yang dapat memicu kanker payudara (Lajin et al., 2013). Fase I pada metabolisme melibatkan berbagai enzim sitokrom P-450 yang mengkatalisis metabolisme oksidatif estron (E1) dan estradiol (E2) secara dominan, menjadi 2-hydroxycatechol estrogen (sitokrom P-450 1A1, 1A2, dan 3A) atau 4-hydrocatechol estrogen (sitokrom P-450 1B1). Sitokrom P-450 1B1 diekspresikan di payudara, ovarium, kelenjar adrenal, uterus, dan beberapa jaringan lain. Estrogen 3-4 quinone dapat membentuk ikatan unstabil dengan adenin dan guanin pada DNA yang menyebabkan depurinasi dan mutasi in vitro dan in vivo. Reduksi pada estrogen quinones dapat menghasilkan suatu reactive oxygen spesies (Yager, 2012). Fase II jalur detoksifikasi, termasuk sulfatasi, metilasi, dan reaksi dengan gluthatione adalah fase aktif, usaha protektif jaringan payudara agar tidak terjadi kerusakan oleh metabolit reaktif oleh bahan kimia eksogen dan endogen.
Metilasi
estrogen
catechol
dikatalisis
oleh
catechol
0-
methyltransferase (COMT) dan estrogen semiquinone dan reaksi quinone dengan glutathione dapat terjadi. Sebagain tambahan, untuk mencegah metabolisme estrogen catechol menjadi quinones, 2-methoxy catechol dapat menjadi metabolit protektif. 4-hydroxyequilenin, sebuah estrogen equine yang terdapat pada preparat terapi sulih hormon, dapat menghambat enzim detoksifikasi seperti glutathion S-transferase P1-1 dan COMT. Selanjutnya ditemukan bahwa COMT rekombinan dengan low activity lebih efektif daripada
enzim
asli
untuk
menghambat
4-hydroxyquilenin.
Hal
ini
menunjukkan bahwa metabolit estrogen equine reaktif berkontribusi pada kanker payudara melalui inhibisi enzim protektif pada fase II dan meningkatkan kemungkinan bahwa wanita yang homozigot pada variasi polimorfisme COMT low activity dapat meningkatkan resiko s aat penggunaan preparat terapi sulih hormon yang mengandung equine estrogen (Yager, 2012). Terdapar hipotesis mengenai metabolit estrogen genotoksik potensial yang berkontribusi pada kanker payudara tergantung pada bentukndan
20
keberadaannya pada jaringan payudara. Pada wanita post menopause, estrogen pada jaringan payudara 10-50 kali lebih tinggi dibanding di darah dan konsentraso estadiol lebih tinggi pada jaringan maligna daripada non maligna. Penemuan tersebut merefleksikan aktivitas aromatase pada jaringan payudara. Selanjutnya, level metabolit dan konjugaai estrogen 3-13 pmol per gram jaringan terdeteksi pada jaringan payudara wanita yang mendemonstrasikan jalur oksidatif yang aktif. Masih diperlukan penelitian untuk mendeteksi apakah estrogen-quinone adenine dan aduksi guanine dan kerusakan oksidatif DNA pada jaringan payudara untuk memberikan bukti definitif pada genotoksisitas
estrogen
yang
dapat
berkontribusi
pada
inisiasi
dan
progresivitas kanker payudara (Yager, 2012). Bukti lain yang menunjukkan terdapat hubungan metabolit estrogen pada kanker payudara adalah produk dari gen-gen yang terlibat dalam sintesis estrogen (contohnya: sitokrom P-450 17 dan sitokrom P-450 19; yang selanjutnya disebut aromatase)(Tabel 2). Selain itu, bukti yang terdapat pada metabolisme fase I yang menyebabkan peningkatan jumlah metabolit (seperti sitokrom P-450 1A1 dan sitokrom P-450 1B1). Kemudian metabolisme fase II yang menyebabkan pengurangan konjugasi protektif (glutathione S-transferase M1 dan COMT) (Yager, 2012).
21
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Anothaisintawee, Thunyarat et al (2013). Risk factors of breast cancer: a systematic review and meta-analysis. Asia Pac J Public Health; DOI: 10.1177/1010539513488795. 2. Lakshmi R, Athira R, Mary JT et al (2012). Breast cancer risk factors: preventable
and
non-preventable. International
Research
Journal
Of
Pharmacy; 3(10):48-52. 3. National Institute of Environmental Health Science (2012). Breast Cancer Risk and
Environmental
Factors.
https://www.niehs.nih.gov/health/materials/breast_cancer_risk_and_environme ntal_factors_508.pdf - diakses pada April 2017. 4. Shiovitz S, Korde LA (2015). Genetics of breast cancer: a topic in evolution. Annals of Oncology, 26: 1291-1299. 5. Shulman LP (2013). Genetics and genomic factors in breast cancer. Dalam: N.M. Hansen (eds). Management of the Patient at High Risk for Breast Cancer. New York: Springer Science and Business Media. 6. Sun MY, Du HY, Zhu AN, Liang HY, Garibay GR, Li FX (2015). Genetics polymorphisms in estrogen-related genes and the risk of breast cancer among Han Chinese women. Int. J. Mol Sci., 16:4121-4135. 7. Li K, Li W, Zou H (2013). Catechol-O-methyltransferase Val158Met polymorphism and breast cancer risk in Asian population. Tumour Biol., 35(3):2343-50. 8. Pornour M, Aminzadeh S, Bakhtou H, Ahmadkhaniha HR (2015). Significant association between catechol amine o-methyl transferase (COMT) gene expression changes and breast cancer pathogenesis. J Carcinog & Mutagen, 6:219. 9. Yager,
JD
(2012).
Catechol-O-methyltransferase:
characteristics,
polymorphisms and role in breast cancer. Drug Discov Today Dis Mec. 9; 1-2.
23