DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
LAPSUS AGUUSTUS 2017
ASMA BRONKIAL (BBLR)
Disusun Oleh : AHMAD FARANRENGI 111 2016 2109 Pembimbing : dr. Tanty Febriany, Sp.A
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2017 BAB I PENDAHULUAN Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai dengan mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran 1
pernapasan. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit dari ringan sampai berat, bahkan beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pada anak-anak dan usia muda sehingga dapat menyebabkan berkuranganya produktifitas, juga menyebabkan gangguan aktivitas social, bahkan berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.1 Prevalensi asma bronkial pada anak-anak bervariasi antara 0-30%, sedangkan pada dewasa secara umum berdasarkan beberapa survei sekitar 6% pada beberapa negara yang berbeda. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, asma, bronkhitis kronis dan emfisiema merupakan penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Pada tahun 1995, prevalensi asma bronkial diseluruh Indonesia sebesar 13 dari 1000 penderita. 2 Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodelling. Di lain pihak, walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Akibat ketidakjelasan tadi, definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya adalah adanya under /overdiagnosis maupun under / overtreatment.3 Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol
2
dan menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah terjadinya remodelling.4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1
EPIDEMIOLOGI Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO dan GINA, prevalensi asma di berbagai negara berkisar 1-18%, di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita 3
asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. 1 Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Umumnya prevalensi anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama, di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7 %. 5 Asma bronkial merupakan penyakit yang sangat dikenal di masyarakat. Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan. 4 – 5% populasi di AS ditemukan menderita asma. Lebih dari 10 % anak – anak ditemukan asma. 6 Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. 3 Prevalensi nasional penyakit asma berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 4,5% masyarakat Indonesia menderita asma. Terdapat 18 provinsi di Indonesia yang mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional, 5 provinsi dengan prevalensi tertinggi yaitu Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. 1
4
Gambar 1. Prevalensi Asma di Indonesia tahun 2013 Dikutip dari kepustakaan 1
Gambar 2. Prevalensi asma berdasarkan karakterisktik umur tahun 2007 dan 2013 Dikutip dari kepustakaan 1
2.3
ETIOLOGI Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi. 2 Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas factor genetik dan faktor lingkungan. 7 1.
Faktor Genetik7 a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus
5
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik e. Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor lingkungan7
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor Lain7
a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh:
penisilin,
sefalosporin,
golongan
beta
lactam
lainnya,
eritrosin,tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain. d. Ekspresi emosi berlebih
6
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
7
2.3
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ASMA
Gambar 3. Patogenesis Asma Dikutip dari kepustakaan 8 2.3.1
Patogenesis Asma (8,9) Asma merupakan penyakit obstruksi jalan napas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk , wheezing, (mengi) dispnea pada individu dengan jalan napas yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering menucul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Beberapa orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade pertama kehidupan, lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai Imunoglobulin E (IgE) dan memiliki penyakit atopik terkait lainnya, terutama rhinitis alergika dan dermatitis atopik. 8 Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang terdiri dari 3 fase, yaitu ; 8
8
1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast dan basofil 2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek mediator – mediator yang dilepas sel mast/basophil Sensitasi terhadap allergen mungkin terjadi pada usia awal. Fase sensitasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc –R) pada permukaan sel mast atau basophil. Antigen presenting cell (APCs) di bronkial menangkap alergen dan mengenalkannya pada CD4 sel T yang kemudian akan berdeferensiasi masuk ke sel T dari TH2 fenotip. Sel akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13 yang mencetus pengaktifan pada sekresi immunoglobulin limfosit B. IL-13 juga akan menginduksi aktifasi eosinophil dan basophilic granulocytes sebagaimana pelepasan kemokin dan enzim proteolitik seperti metalloproteinase. IgE kemudian akan bersirkulasi dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas tinggi (FcεRI) disel mast dan basophil dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas rendah (FcεRI, CD23) pada eosinophil dan makrofag. 8 Ketika terjadi reekspos, allergen dapat dengan cepat berikatan ke permukaan sel. Histamine, protease, leukotriene, prostaglandin, platelet – activating factor (PAF) akan dilepaskan. Respon bronkokonstriktif asmatikus terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, fungsi paru dengan cepat menurun dalam waktu 10-20 menit pertama dan secara perlahan kembali 2 jam berikutnya. Respon awal ini melibatkan Histamin, PGD2, cysteinyl-leukotrienes (LTC4, LTD4,LTE4) dan PAF. Cysteinyl-leukotrienes akan menginduksi pelepasan protease : tryptase cleaves D3a dan bradikinin dan molekul prokursor protein yang menimbulkan kontraksi sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vascular. Chymase
disisi
lain
akan
mencetus
sekresi
mucus. Adanya
induksi
bronkokonstriksi dengan edema mukosa dan sekresi mucus akan menimbulkan batuk, wheezing, dan breathlessness. 8
9
Fase kedua dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB 4 dan PAF akan menarik eosinophil. LTB4 dan PAF dalam hal ini akan menarik major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang memiliki efek toksik terhadap sel epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late stage. Pada akhirnya akan menimbulkan akumulasi mucus di lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan hipertropi dari kelenjar mucous submukosal.8 Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses inflamasi dengan proses remodelling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi. Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses diferensiasi, migrasi, dan maturasi struktur sel. 8
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks 10
interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi : 9 1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas. 2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus 3. Penebalan membran retikular basal 4. Pembuluh darah meningkat 5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat 6. Perubahan struktur parenkim 7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. 9 2.3.2
Patofisiologi Asma (9)
1.
Obstruksi saluran respiratori Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang dipicu oleh mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi. Akibatnya terjadi hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Selain itu, dapat pula terjadi hipersekresi mukus dan pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler. (9) 2.
Hiperaktivitas saluran respiratori Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan karakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
11
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya. (9) 3.
Otot polos saluran respiratori Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. (9) 4.
Hipersekresi mucus Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator. (9) 2.4
GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis asma bronkial adalah sesak nafas, serangan episodik
batuk, dan mengi, disertai rasa gelisah. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik kadang disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah variant asma 3 Pada asma alergik, sering berhubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran pernapasan ataupun perubahan cuaca. 3
12
Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada, takikardi dan pernafasan cepat dangkal. 3 2.5
KLASIFIKASI Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) tahun 2015, mengklasifikasi asma
berdasarkan tingkat kekerapan asma, keadaan saat terjadi serangan asma, dan derajat kendali asma pada anak, sebagai berikut: 10 1. Tingkat kekerapan asma
Derajat asma Intermitten
Kekerapan gejala asma Episode gejala asma <6x/ tahun atau jarak antar ≥6 minggu Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan atau <1x/minggu Persisten Sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari Persisten Berat Episode gejala asma terjadi setiap hari Tabel 1. PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children 2. Keadaan saat serangan asma Ringan Sedang Bicara dalam kalimat Lebih senang duduk daripada berbaring Frekuensi napas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi minimal SpO2 : 90-95 % PEF > 50% prediksi terbaik
Berat
Ancaman henti napas
Bicara dalam kata Duduk bertopang lengan Gelisah Frekuensi napas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi jelas SpO2 < 90 % PEF ≤ 50% prediksi ter
Mengantuk/letargi Suara nafas tak terdengar
Tabel 2. PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children Kriteria serangan asma pada balita Gejala Kesadaran terganggu Saturasi oksigen Berbicara Frekuensi napas Frekuensi jantung Sianosis sentral Intensitas wheezing
Ringan Tidak >95% Perkalimat Meningkat sedikit <100 x/menit Tidak ada Jarang
Berat Agitasi, bingung, dan mengantuk <95% Perkata Meningkat >200 x/menit (0-3 tahun) >180 x/menit (4-5 tahun) Mungkin ada sering
13
Tabel 3. PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children 3. Derajat kendali asma Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana yang tengah dijalankan dan untu penentuan peningkatan (step up), pemeliharaan (maintenance) atau penurunan (step-down) tatalaksana yang akan diberikan10 Indikator derajat kendali asma A. Penilaian klinis (dalam 6-8 minggu) Manifestasi klinis
Terkendali dengan atau tanpa obat pengendali (Bila semua kriteria terpenuhi) Tidak pernah (≤2kali/ minggu) Tidak ada
Terkendali sebagian (minimal satu kriteria terpenuhi)
Tidak terkendali
Gejala siang >2kali/minggu Tiga atau hari lebih kriteria terkendali Aktivitas Ada sebagian terbatas Gejala malam Tidak ada Ada hari Pemakaian Tidak ada >2kali/minggu pereda (≤2kali/ minggu) Tabel 4. PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko ekserbasi, ketidakstabilan, penurunan fungsi paru, efek samping) Asma tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU, FEV1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi. 2.6 DIAGNOSIS 1. Anamnesis Keluhan mengi dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, produksi sputum. Gejala dengan karakeristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah gejala timbul secara episodik atau berulang. Gejala timbul bila ada faktor pencetus misalnya iritan (asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan dan minuman dingin); allergen
14
(debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari); infeksi respiratori; aktivitas fisik (lari, teriak, menangis, atau tertawa berlebihan). 11 Riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun, memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Seringkali ada riwayat alergi pada pasien atau keluarganya. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah ada orang yang merokok di rumah.7 Intensitas gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Gejala juga dapat membaik secara spontan dengan atau dengan pemberian obat pereda asma. 11 2. Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis pada penderita asma, keadaan umum penderita tampak sesak nafas dan gelisah dimana penderita lebih nyaman dalam posisi duduk, pernafasan cepat dengan ekspirasi memanjang sampai sianosis. 3 Pada dinding toraks akan terlihat lebih mengembang dengan diafragma terdorong kebawah, dan pada auskultasi akan terdengar bunyi wheezing (mengi). Penderita juga menggunakan otot-otot bantu pernafasan untuk memaksimalkan proses ekspirasi akibat tidak terjadinya pertukaran gas secara normal.
3,6
Perlu dicari gejala lain alergi pada pasien seperti dermatitis atopik
atau rhinitis alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue. 11 3. Pemeriksaan Penunjang A. Spirometri Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan beta adrenergik. Peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥ 200mL) menunjukkan diagnosis 15
asma bronkial. Pemeriksaan spirometri selain untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.3 B. Uji provokasi bronkus Hal ini bertujuan untuk membuktikan adanya hiperaktivitas dari bronkus, antara lain dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani dan udara dingin.3 C. Pemeriksaan sputum dan eosinofil total. Pemeriksaan sputum pada penderita yang dicurigai menderita asma sangat karakteristik dengan ditemukannya banyak eosinofil.3 D. Uji kulit Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh.3 E. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum. Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.3
Pedoman Nasional Asma Anak 2015 membuat alur diagnosis asma pada anak umur diatas 5 tahun dan balita (dibawah 5 tahun) sebagai berikut :
16
Gambar 2. Alur diagnosis asma pada anak diatas 5 tahun Dikutip dari kepustakaan 11 Diagnosis asma pada balita (anak dibawah 5 tahun) memiliki 3 indikator, yaitu11 1. Pola gejala
: wheezing, batuk, dyspnea, tidur terganggu
2. Faktor risiko pencetus asma berdasarkan Indeks Prediksi Asma yaitu Memiliki salah satu faktor mayor (american pediatric) -
Orangtua dengan asma
-
Diagnosis eksim (dermatitis atopik) oleh dokter 17
-
Peka terhadap allergen di udara melalui tes kulit positif atau tes darah untuk allergen seperti rumput, tunagu, debu, dll
Atau memiliki dua faktor minor -
Alergi makanan
-
Eosinophil dalam darah ≥ 4%
-
Mengi
3. Berespon terhadap pemberian terapi pengontrol
Gambar 3. Alur diagnosis asma pada balita (anak dibawah 5 tahun) Dikutip dari kepustakaan 11 2.6
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS2 1. Benda asing di saluran napas 2. Laringotrakeomalasia 3. Tumor 4. Stenosis trakea 5. Bronkiolitis
2.7
PENATALAKSANAAN
18
Tujuan tatalaksana asma anak secara umuM adalah untuk mencapai kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah :11 1. 2. 3. 4.
Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikitnya mungkin terjadi, terutama yang mempenagruhi tumbuh kembang anak.
2.7.1
Tatalaksana Serangan Asma Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif dari gejala –
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala – gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat serangan bermacam – macam, mulai dari serangan ringan hingga serangan yang dapat mengancam nyawa. Serangan asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang lazim dijumpai, perlu ditekankan serangan asma berat dapat dicegah.11 Tujuan tatalaksana serangan asma antara lain sebagai berikut: 11 1. 2. 3. 4.
Mengatasi penyempitan saluran respiratori secepat mungkin Mengurangi hipoksemia Mengembalikan fungsi paru – paru ke keadaan normal secepatnya Mengevaluasi dan memperbaharui tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan
Pada beberapa kondisi pasien harus segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat jika pasien mempunyai satu atau lebih faktor resiko seperti : 11 -
Riwayat serangan asma yang mengancam nyawa Pernah intubasi karena serangan asma Pneumothoraks dan/ atau pneumomediastinum Serangan asma yang berlangsung dalam waktu yang lama Penggunaan steroid sistemik (ini atau baru berhenti) Kunjungan ke IGD atau perawatan rumah sakit karena asma dalam
-
setahun terkakhir Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi Berkurangnya persepsi tentang sesak napas Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial, Pasien tiba – tiba dalam kondisi distress pernapasan
19
2.7.2
Serangan Asma Ringan Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi, hasil yang sama efektifnya. Pemberian MDI dengan spacer dapat diberikan dengan dosis 2 – 4 puff, bila belum ada perbaikan bisa diulang lagi 2 – 4 puff dengan selang 30 menit dalam waktu 1 jam. Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. 11 2.7.3 Serangan Asma Sedang Pada serangan sedang pemberian bronkodilator adalah β2 – agonis dengan penambahan antikolinergik. Jika setelah dua kali pemberian nebulisasi pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) kemungkinan derajat serangannya adalah sedang. Oleh karena itu, perlu dinilai ulang derajatnya sesuai dengan pedoman klasifikasi. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada serangan asma sedang diberikan steroid sistemik oral methylprednisolon dengan dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/hari selama 3 – 5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan selain metilprednisolon adalah prednison. Ada yang berpendapat bahwa steroid nebulisasi dengan dosis yang sangat tinggi (1600-2400µg budesonide) dapat digunakan untuk serangan asma, tetapi belum banyak kepustakaan yang mendukung. Steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk serangan asma. 11 Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan darurat, sejak di UGD pasien akan diobservasi di RRS sebaiknya langsung dipasangkan jalur parenteral. 11 2.7.4 Serangan Asma Berat
20
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan antikolinergik. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks
guna
mendeteksi
komplikasi
pneumotoraks
dan/atau
pneumomediastinum.11 2.7.5 Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS) Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan. Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respon parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi β2 –agonis + antikolinergik setiap 2 jam. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa metiprednisolon atau prednison. Pemberian steroid ini dilanjutkan selama 3 – 5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tatalaksana serangan asma berat. 11 2.7.6 Tatalaksana di Ruang Rawat Inap Pemberian oksigen diteruskan Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya. Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: 11 Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6 - 8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 30 menit, dengan infussion pump atau mikroburet
21
Bila respon belum optimal dilanjutkan pemberian dengan pemberian aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5 – 1 mg/kgBB/jam Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan 1/2nya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25 – 0,5 mg/kg/jam) Bila memungkinkan kadar sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana. 11 2.7.7
Tatalaksana Asma Jangka Panjang Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai
pengobatan
jangka
panjang.
Sebelum
memutuskan
meningkatkan
atau
menurunkan langkah tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi dn mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma dapat menggunakan penilaian seperti pada tabel berikut11 A. Penilaian klinis (dalam 6 – 8 minggu)
Manifestasi klinis
Gejala siang hari Aktivitas terbatas Gejala malam hari Pemakaian pereda
Terkendali (Bila semua kriteria terpenuhi) Tidak (≤2x/mgg)
pernah
Tidak ada
Terkendali sebagian (minimal satu kriteria terpenuhi)
Tidak terkendali
>2x/mggu Ada Ada >2x/mggu
Tiga atau lebih kriteria terkendali sebagian
Tidak ada Tidak ada (≤2x/mgg)
22
B. Penilaian resiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan, penurunan fungsi paru, efek samping) Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi
OBAT PENGENDALI ASMA Obat pengendali asma adalah obat yang dapat mencegah terjadinya serangan asma. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Dengan demikian, pemakaian obat ini secara terus- menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Yang termasuk obat pengendali asma adalah antiinflamasi kortikosteroid inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid – Long acting B2-agonist (LABA), teofilin lepas lambat, sodium kromoglikat, nedokromil, anti immunoglobulin E. 11
Kortikosteroid Inhalasi Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting dan tatalaksana asma jangka panjang. Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian kortikosteroid inhalasi setara dosis budesonid 100 – 200 ug per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. 12 Beberapa pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ug per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi resiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
23
kekambuhan akibat berolahraga. Pemakaian kortikosteroid inhalasi atau sistemik pada asma episodik jarang dan wheezing akibat infeksi virus masih controversial. Kortikosteroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak mempengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Steroid inhalasi dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, tetapi tidak mempengaruhi tinggi badan secara keseluruhan. Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian kortyikosteroid inhalasi. Pada anak asma yang mendapatkan kortikosteroid inhalasi harus dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Kortikosteroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat kortikosteroid inhalasi yang baru, efek samping minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat kortikosteroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 11 Long acting B2-agonist (LABA) Sebagai pengendali asma, LABA selalu digunakan bersama kortikosteroid inhalasi. Kombinasi steroid-LABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Pemberian preparat kombinasi steroidLABA banyak diteliti pada anak asma yang berusia diatas 5 tahun, pada saat pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-LABA dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingksn kortikosteroid inhalasi dan LABA dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-LABA pada anak yang berusia dibawah 5 tahun masih terbatas. 11 Kombinasi LABA-steroid inhalasi juga bisa digunakan untuk memcegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan kortikosteroid B2 agonis inhalasi kerja cepat. Formoterol memiliki kerja yang lebih cepat daripada Salmeterol sehingga Formoterol lebiih cocok untuk mengurangi gejala dan mencegah timbulnya gejala. 11 Antileukotrien
24
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, prantlukast dan zafirlukast dan inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi. Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul dibandingkan kortikosteroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal efeknya lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga. Antileukotrien juga dapat mencegah kekambuhan asma akibat infeksi virus pada anak usia dibawah 5 tahun. Pemberian kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten episodik sering dan asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dosis sedang. 11 Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian steroid inhalasi.
Teofilin Lepas Lambat Dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Efek samping teofilin bisa berupa mual, muntah , anoreksi, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut dan diare. Efek samping teofilin terutama timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari. 11 Anti Ig-E Anti Ig-E (omalizumab) adalah antibodi monoklonal mampu mengurnagi kadar bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 6 tahun, omalizumab boleh diberikan pada pasien asma yang mendapat kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan LABA yang masih sering mengalami eksaserbasi dan
25
terbukti disebabkan karena alergi. Omalizumab diberikan sebahai injeksi subkutan setiap dua samapi empat minggu. 11
26
Gambar 4. Algoritma Penanganan SeranganAsma pada Anak diatas 5 tahun PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children
27
Gambar 5. Algoritma Penanganan Asma pada Anak dibawah 5 tahun PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children 2.8
Prognosis Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.13,14 Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak.13,14
28
DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. You Can Control Your Asthma. Info Datin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016; hal.1-3 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. 2003; hal 1-15 3. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004. 4. UKK Pulmonologi PP IDAI. Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri.Vol.2:1.2000 5. Sundaru Heru, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Sudoyo, Ayu W, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h404-414. 6. McFadden E. Rjr. Asthma. In: Kasper Dennis L, Fauci Athony S, Longo Dan L, Braunwald Eugene, Hauser Stephen L, Jameson J Larry, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16thed. New York United States of America: McGraw – Hill Companies Medical Publishing Division; 2005. p. 1508 – 1516. 7. Rengganis Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. Volume 58 No. 11. Jakarta: 2008; hal. 446-447. 8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96. 9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104 10. Indawati W. Diagnosis and Classification of Asthma in Children. UKK Respirologi IDAI- PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015
29
11. Kartasasmita C,. B. Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Asma pada Anak. Bogor Pediatric Update 2015. IDAI Cabang Jawa Barat. 2015 12. Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health, 2015. 13. Buku pedoman pengendalian penyakit asma [online]. 13 Maret 2017 [cited 200]; Avaible from: URL: http://www.depkes.go.id 14. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia [online]. 13 Maret 2017 2015 [cited 2003]; Avaible from: URL: http://www.klikpdpi.com
30