BAB I PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dengan prevalensi yang terus meningkat. Gagal G agal jantung jantun g mempengaruhi mempengaruh i lebih dari 5.2 juta pernduduk amerika, dan lebih dari 550,000 kasus baru yang didiagnosis tiap tahunnya. Tiap tahunnya gagal jantung bertanggung jawab terhadap hampir 1 juta hospitalisasi. Mortalitas rata – rata rata rawatan yang dilaporkan pada 3 hari, 12 bulan, dan 5 tahun pada pasien yang dirawat di rumah sakit masing – masing masing adalah 12%, 33%, dan 50%. Rata – rata yang mengalami hospitalisasi kembali adalah 47% dalam 9 bulan. Gagal jantung merupakan gejala – gejala gejala dimana pasien memenuhi ciri berikut: gejala – gejala gejala gagal jantung, nafas pendek yang khas selama istirahat atau saat melakukan aktifitas, dan atau kelelahan; tanda – tanda retensi cairan seperti kongestif pulmonal atau pembengkakan tungkai.1 Selain itu gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis dimana pasien memiliki beberapa gambaran antara lain gejala khas gagal jantung (sesak napas saat aktifitas fisik atau saat istirahat, kelelahan, keletihan, pembengkakan pada tungkai) dan tanda khas gagal jantung (takikardia, takipnea, pulmonary rales, efusi pleura, peningkatan jugular venous pressure , edema perifer, hepatomegali) dan temuan objektif pada abnormalitas struktur dan fungsi jantung saat istirahat (kardiomegali, bunyi jantung ketiga, cardiac murmur , abnormalitas
pada
elektrokardiogram,
penigkatan
konsentrasi natriuretic
peptide).3
Beban ekonomi terhadap gagal jantung masih besar. Pada tahun 2007, biaya langsung dan tidak langsung yang dialokasikan untuk gagal jantung adalah 33.2 juta dolar. Biaya hospitalisasi hospitalis asi untuk bagian yang yan g lebih besar sekitar 54%.1 Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat merupakan penyebab paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke instalasi gawat darurat. Sekitar sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut.1
Data yang diperoleh dari beberapa studi mengenai beberapa penggolongan klinis terhadap pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit dengan perburukan gagal jantung. Studi ini menunjukan bahwa mayoritas pasien yang dirawat dengan gagal jantung memiliki bukti hipertensi sistemik pada saat masuk rumah sakit dan umumnya mengalami left ventricular ejection fraction (LVEF).2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Jantung (cor ) merupakan organ berotot, berskeleton dan berongga dengan berukuran sekepalan tangan yang dibungkus oleh pericardium.). Jantung terdiri dari sepasang ruang atrium (dextra et sinistra / kanan kiri) dan sepasang ruang ventrikel (dextra et sinistra/kanan kiri) serta jantung tersusun atas 3 lapisan yaitu epikardium, miokardium, dan endokardium, antara atrium dan ventrikel dihubungkan oleh ostium atrioventrikular yang dilengkapi oleh katup (valvula) yaitu valvula tricuspidalis untuk bagian dextra (kanan) dan valvula mitralis atau valvula bicuspidalis untuk bagian sinistra (kiri). Pada ventrikel dextra et sinistra di dalamnya.1 Vaskularisasi utama jantung berasal dari a.coronaria dextra dan a.coronaria sinistra, dimana darah yang untuk mendarahi jantung berasal
dari residu fase sistolik jantung yang masuk ke dalam a.coronaria dextra et sinistra melalui sinus valsava yang membuka saat fase diastolik
jantung. Sistem konduktorium jantung ini utamanya ada pada Nodus sinus sinu s atrial berperan sebagai pacemaker yang menghasilkan impuls secara transport aktif dengan menggunakan ion Natrium, ion Kalium dan ion Kalsium melalui 3 kanal yaitu 1). Kanal cepat Natrium, 2). Kanal lambat Natrium-Kalsium, dan 3). Kanal Kalium.1 Secara fisiologis jantung berfungsi sebagai pompa darah untuk mengedarkan oksigen (O2) dan nutrisi untuk jaringan untuk proses metabolisme. Darah diedarkan oleh jantung melalui dua sirkulasi utama yaitu sirkulasi jantung-paru dan sirkulasi jantung-paru-jantung-sistemik.1
Gambar 3. Sirkulasi jantung
B. Definisi Gagal
jantung
adalah
sindrom
kompleks
yang
melibatkan
keduanya proses akut dan kronis. Gagal jantung akut memiliki beragam presentasi. Ini dapat ditandai dengan berkembang dengan cepat gejala gagal jantung baru atau de novo, atau bisa juga memburuknya secara bertahap gagal jantung kronis yang mencapai puncaknya gagal jantung akut dekompensasi (ADHF), kadang-kadang disebut sebagai ‘‘ akut pada gagal jantung kronis ’.1
Gagal jantung akut dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis dimana pasien memiliki beberapa gambaran antara lain gejala khas gagal jantung (sesak napas saat aktifitas fisik atau saat istirahat, kelelahan, keletihan, pembengkakan pada tungkai) dan tanda khas gagal jantung (takikardia, takipnea, pulmonary rales, efusi pleura, peningkatan jugular venous pressure, edema perifer, hepatomegali) dan temuan objektif pada
abnormalitas struktur dan fungsi jantung saat istirahat (kardiomegali,
bunyi
jantung
ketiga,
cardiac
murmur ,
abnormalitas
pada
elektrokardiogram, penigkatan konsentrasi natriuretic peptide).3 C. Epidemiologi Gagal jantung (HF) memiliki insiden dan prevalensi tinggi di seluruh dunia, 1-2 % dari populasi negara-negara maju diperkirakan memiliki HF, dan peningkatkan prevalensi ini mencapai 10% pada populasi dengan usia 70 tahun atau lebih. Sedangkan di Eropa 10 juta orang diperkirakan telah HF terkait dengan disfungsi ventrikel, dan 10 juta lainnya memiliki HF dengan preserved ejection fraktion (HFPEF) . Data Brasil 2012 menunjukkan bahwa 21,5% rawat-inap terdapat 1.137.572 yang mengalami penyakit HF, dengan 9,5% di rumah sakit mengalami kematian, dan 70% kasus berada di rentang usia 60 tahun ke atas (Mangini et al ., 2013).
D. Etiologi Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%.3 Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal [dengan ketiadaan penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan terjadinya abormalitas miokard.3
Tabel 1. Penyebab umum gagal jantung oleh karena penyakit otot jantung (penyakit miokardial)3
Penyakit jantung coroner
Banyak manifestasi
Hipertensi
Sering dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel kanan dan fraks injeksi
Kardiomiopati
Faktor genetic dan non – genetic (termasuk
yang
didapat
seperti
myocarditis) Hypertrophic (HCM), dilated (DCM),
(RCM) ,
restrictive
arrhythmogenic
right ventricular (ARVC) , yang tidak
terklasifikasikan Obat – obatan
β - Blocker , calcium antagonists , antiarrhythmics, cytotoxic agent
Toksin
Alkohol,
cocaine,
trace
elements
(mercury, cobalt, arsenik) Endokrin
Diabetes mellitus,
hypo/hyperthyroidism,
Cushing
syndrome,
insufficiency,
adrenal
excessive
growth
hormone, phaeochromocytoma
Nutrisional
Defisiensi
thiamine,
selenium,
carnitine. Obesitas, kaheksia Infiltrative
Sarcoidosis,
amyloidosis,
haemochromatosis, penyakit jaringan ikat Lainnya
Penyakit peripartum
Chagas,
infeksi
HIV,
cardiomyopathy,
gagal
ginjal tahap akhir
E. Patofisiologi Ketidakmampuan dan kegagalan jantung memompa darah secara langsung menciptakan suatu keadaan hipovolemik relatif yang lebih dikenal dengan arterial underfilling . Selain itu respon terhadap faktor – faktor neurohormonal (seperti sistem saraf simpatis, renin – angiotensin – aldosterone system, arginine vasopressin dan endotelin – 1) menjadi teraktivasi untuk mempertahankan euvolemia yang menyebabkan retensi cairan, vasokonstriksi, atau keduanya. Pada pasien tanpa gagal jantung, respon ini untuk mengakhiri volume cairan yang telah dipertahakan.4 Aktivasi proinflamasi
neurohormonal
juga
menstimulasi
dan mediator – mediator
apoptosis
aktivasi
sitokin
miosit.
Elevasi
neurohormonal dan imunomodulator yang diamati pada pasien dengan ADHF yang dikaitkan dengan perburukan gejala gagal jantung dan perburukan
prognosis
pasien
(Gambar
1).4
Gambar 1. Dampak dari mediator secara patofisiologi pada hemodinamik pada pasien dengan gagal jantung. PCWP = pulmonary capillary wedge pressure; SNS = sympathetic nervous system; SVR = systemic vascular resistance.4
Aktifitas Neurohormonal pada ADHF Pada pasien dengan gagal jantung, aktivasi sistem saraf simpatik mencegah terjadinya arterial underfilling yang meningkatkan cardiac output sampai toleransi berkembang dengan dua mekanisme. Pertama, myocardial 1 – receptor terpisah dari second messenger protein, yang
mengurangi jumlah cyclic adenosine 5¸-monophosphate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah interaksi reseptor ligan tertentu. Kedua, mekanisme
dephosphorylation menginternalisasi
1-reseptor
dalam
vesikula sitoplasma di miosit tersebut. Bahkan dengan latar belakang tingkat toleransi., peningkatan marker akut pada katekolamin diamati di antara pasien dengan ADHF masih mengangkat cAMP miokard, meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler dan tingkat metabolisme anaerobik. Hal ini dapat meningkatkan risiko tachyarrhythmias ventrikel dan kematian sel terprogram. Selain itu, overdrive simbol-menyedihkan menyebabkan ditingkatkan 1-reseptor rangsangan tidak mengakibatkan toleransi dan meningkatkan derajat vasokonstriksi sistemik, meningkatkan stres dinding miokard. Selanjutnya, peningkatan vasokonstriksi sistemik mengurangi tingkat filtrasi glomerulus, sehingga memberikan kontribusi bagi aktivasi sistem renin angiotensin aldosterone.4 F. Gejala Klinis Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung.2
Tabel 2. Manifestasi Klinis yang umum pada gagal jantung3 Gambaran
Klinis Gejala
Tanda
perifer/ Sesak
napas, Edema
yang Dominan Edema kongesti
kelelahan, Anoreksia
Perifer,
peningkatan
vena
jugularis,
edema
pulmonal, hepatomegaly, asites, overload
cairan
(kongesti), kaheksia Edema pulmonal
Sesak
napas
yang Crackles
berat saat istirahat
atau rales
pada paru-paru bagian atas, efusi, Takikardia, takipnea
Syok
kardiogenik Konfusi, kelemahan, Perfusi perifer yang
(low
output
dingin pada perifer
syndrome)
buruk, Systolic Blood Pressure
(SBP)
<
90mmHg, anuria atau oliguria Tekanan darah tinggi Sesak napas (gagal
jantung
Biasanya
terjadi
peningkatan
hipertensif)
darah,
tekanan hipertrofi
ventrikel kiri Gagal jantung kanan
Sesak kelelahan
napas, Bukti
disfungsi
ventrikel peningkatan edema hepatomegaly, kongesti usus.
kanan, JVP, perifer,
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut.1
Tabel 3. Gejala dan Tanda Acute Decompensated Heart Failure1 Volume Overload
Dispneu saat melakukan kegiatan Orthopnea Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) Ronchi Cepat kenyang Mual dan muntah Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali Distensi vena jugular Reflex hepatojugular Asites Edema perifer Hipoperfusi
Kelelahan Perubahan status mental Penyempitan tekanan nadi Hipotensi Ekstremitas dingin Perburukan fungsi ginjal G. Penegakan diagnosis Penegakan diagnosis gagal jantung dalam praktik dokter umum adalah dengan kriteria Framingham, membutuhkan keberadaan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor disertai dua kriteria minor ((Imaligy, 2014).
Tabel 4. Kriteria mayor dan minor gagal jantung (Framingham) Kriteria Mayor
Paroxysmal
Kriteria Minor
nocturnal
bilateral
dyspnea
Edema pergelangan kaki
Peningkatan tekanan vena jugular
Ronki
Kardiomegali
Batuk nokturnal Dyspnea
on
ordinary
exertio
pemeriksaan
pada
Hepatomegal
radiologi
Efusi pleural
Penurunan kapasitas vital
toraks
Edema pulmoner akut
hingga
Gallop S3
maksimum (yang pernah
Peningkatan tekanan vena
tercatat)
pusat (>16 cmH2O pada atrium kanan) Hepatojugular reflux
Penurunan kg
berat dalam
dari
Takikardia (detak jantung >120 kali/ menit)
>4,5
sepertiga
badan 5
hari
sebagai respons terhadap terapi
1. Teknik diagnostik Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitif pada
pasien
gagal
jantung
dengan
fraksi
ejeksi
normal.
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik (Siswanto et al ., 2015).
2. Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%) (Siswanto et al ., 2015). 3. Ekokardiografi Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%) (Siswanto et al ., 2015). 4. Foto toraks Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik (Siswanto et al ., 2015).
Pemeriksaan foto toraks memberikan informasi ukuran dan bentuk
jantung
serta
keadaan
vaskularisasi
paru,
yang
memungkinkan penilaian kongesti. Foto toraks juga dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak seperti kelainan paru atau toraks. Modalitas diagnostik lain yang dapat digunakan antara lain angiografi koroner, MRI, dan CT-scan (Imaligy, 2014). 5. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Gangguan hematologis atau
elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone (Siswanto et al ., 2015). 6. Peptida natriuretik Kadar plasma peptida natriuretik dapat mendukung untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien- pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil. Kadar peptida natriuretik
yang
mengindikasikan
tetap prognosis
tinggi buruk.
walaupun Kadar
terapi
peptida
optimal natriuretik
meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik (Siswanto et al ., 2015). 7. Troponin-I atau T Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard (Siswanto et al ., 2015). Troponin-I telah menunjukkan nilai signifikan dalam memprediksi hasil pada gagal jantung tetapi tidak sesignifikan sebagai BNP dan TNF -a (Murthy et al ., 2016).
H. Penatalaksanaan 1. Non farmakologi a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung b. Manajemen diet, yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat badan bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori adekuat c. Latihan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas fisik yang berlebihan akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan muskuloskeletal. Latihan fisik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung d. Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien (Imaligy, 2014).
2. Farmakologi Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala. Gejala dikurangi dengan cara menurunkan preload (aliran darah balik ke jantung), afterload (tahanan yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan memperbaiki kontraktilitas miokardium. Prinsip terapi di atas dicapai dengan pemberian golongan obat diuretik, ACE-inhibitor , penyekat
beta,
digitalis,
vasodilator,
agen
inotropik
positif,
penghambat kanal kalsium, antikoagulan, dan obat antiaritmia (Imaligy, 2014). a. Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan
bukti
A).
ACEI
kadang-kadang
menyebabkan
perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal. Indikasi pemberian ACEI : Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
-
Kontraindikasi pemberian ACEI : -
Riwayat angioedema
-
Stenosis renal bilateral
-
Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
-
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
-
Stenosis aorta berat (Siswanto et al ., 2015).
b. Diuretik Diuretik mengurangi cairan ekstraseluler, tekanan pengisian dan cavitas jantung, dengan peningkatan kerja yang konsekuen, sehingga cepat mengurangi gejala-gejala kongesti. Diuretik memiliki efek yang merugikan seperti hipotensi, tingkat abnormal serum elektrolit, disfungsi ginjal dan aktivasi neurohormonal dengan hipovolemia. Penggunaan diuretik harus rasional dan bijaksana, bertujuan untuk melestarikan fungsi ginjal. Loop diuretik furosemid dan bumetanide adalah yang paling ditunjukkan. Pada pasien yang tahan terhadap diuretik yang terus-menerus penggunaan secara intravena sebaiknya dikombinasikan dengan tiazid dan aldosteron antagonis. Pada kasus “baru” akut HF diuretik harus hati-hati digunakan, karena
beberapa pasien telah menunjukkan normovolemia, atau bahkan hipovolemia (Mangini et al ., 2013).
c. Antagonis aldosteron Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 %
dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
-
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
-
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
-
Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak
ACEI dan ARB) Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron -
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
-
Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
-
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
-
Kombinasi ACEI dan ARB (Siswanto et al ., 2015).
d. Digoksin Digoksin memiliki efek inotropik positif dengan menahan Ca2+ intrasel
sehingga
kontraktilitas
sel
otot
jantung
meningkat. Obat ini juga memiliki efek mengurangi aktivasi saraf simpatis sehingga dapat mengurangi denyut jantung pada pasien fibrilasi atrium. Efek toksik digoksin jarang, tetapi dapat terjadi pada pasien geriatri dengan penurunan fungsi ginjal dan status gizi kurang. Digoksin tidak menurunkan mortalitas sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi dapat memperbaiki gejala dan mengurangi rawat inap akibat memburuknya gagal jantung (Imaligy, 2014).
e.
Penyekat β Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Indikasi pemberian penyekat β : -
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
-
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
-
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
-
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat) Kontraindikasi pemberian penyekat β
-
Asma
-
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit) (Siswanto et al ., 2015).
f.
Angiotensin receptor blockers (ARB) ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi e jeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal,
kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB
-
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
-
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
-
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk Kontraindikasi pemberian ARB -
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
-
Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
-
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI (Siswanto et al ., 2015).
g.
Lain-lainnya Metoprolol,
bisoprolol
dan
carvedilol
bermanfaat
menurunkan progresi klinis, hospitalisasi dan mortalitas pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III) stabil dengan fraksi ejeksi <35%-45%. Obat ini juga diindikasikan untuk
gagal
jantung
dengan
etiologi
iskemik
maupun
noniskemik. Pemberiannya dapat dikombinasi dengan ACE inhibitor dan diuretik (Imaligy, 2014).
Gambar 2. Algoritma untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure di instalasi gawatdarurat.7
Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure. ADHF, acute decompensated heart failure; AJR, abdominal jugular reflex; BiPAP, bi-level positive airway pressure; BNP, B-type natriuretic peptide; CI, cardiac index; CPAP, continuous positive airway pressure; DOE, dyspnea on exertion ; HJR, hepatojugular reflex; JVD, jugular venous distention; PCWP, pulmonary capillary wedge pressure;
PND, paroxysmal nocturnal dyspnea; SBP, systolic blood pressure; SCr,
serum creatinine; SOB, shortness of breath; SVR, systemic vascular resistance.7
BP Blood pressure; D5W Dextrose 5% in water; ECG Electrocardiogram; IV Intravenous; SBP Systolic blood pressure
Gambar 4. Pilihan pengobatan pasien dengan acute decompensated heart failure7
I. Prognosis Angka harapan hidup pada penderita gagal jantung di usia lanjut sebesar <35% dalam lima tahun. Pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung, angka harapan hidup satu tahun dapat kurang dari 50%. Pada sebuah studi retrospektif laki-laki usia tua (rata-rata 89 tahun) yang dirawat di rumah sakit dalam jangka lama, mortalitas satu tahun sebesar 87%. Prognosis akan memburuk dengan meningkatnya klas fungsional NYHA. Berbagai keadaan medis (tekanan darah, faktor komorbid, status fungsional), keadaan sosial (penikahan, status sosial) dan psikososial
(depresi dan kesehatan jiwa) memiliki efek signifikan terhadap harapan hidup (Imaligy, 2014).
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
: Ny. Eviruddian
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 24 tahun
Tanggal Pemeriksaan : 29 Agustus 2018 Ruangan
: ICVCU RSUD Undata
B. Anamnesis
a. Keluhan Utama
: Sesak nafas, perut bengkak
b. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien masuk rumah sakit rujukan rumah sakit Budi Agung masuk dengan keluhan sesak napas dan perut bengkak sejak 9 hari yang lalu. Pasien di rawat selama 10 hari sebelum dirujuk. Sesak dirasakan seluruh rongga dada. Sesak dirasakan hilang timbul. Faktor yang memperberat sesak saat melakukan aktivitas yang lama – kelamaan, faktor yang memperingan saat istirahat saat berbaringpun pasien harus menggunakan bantal yang tinggi agar tidak sesak. Pada saat sesak pasien merasakan nyeri dada seperti ditusuk – tusuk, dengan frekuensi > 3 menit, sebelum masuk rumah sakit di Budi Agung perut pasien belum terlalu bengkak. Setelah 3 hari dirawat perut pasien mulai membengkak dengan lebar. Nyeri bagian suprapubik (+), mual (+), batuk (+) kadang – kadang. BAB (+) lancar dan BAK (+) lancar. c. Riwayat Penyakit Terdahulu
: Pasien pernah dirawat di Rumah
Sakit Budi Agung selama 10 hari dengan Diagnosis ADHF ec MVD, dan riwayat penyakit jantung dari umur 21 tahun. d. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga pada Ayah
: Riwayat penyakit Jantung
C. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum
:
SP: sakit sedang/composmentis ( E4 M6 V5 )
BB: 40 kg
TB: 160 cm
Pemeriksaan tanda vital :
Tekanan darah : 100/60 mmHg Nadi
: 72x/menit
Respirasi
: 22x/menit
Suhu
: 36,5℃
Kepala
Wajah
: Simetris (+), massa (-), exopthalmus (-), ptosis (-)
Deformitas
: Tidak ada
Bentuk
: Normocephal
Mata
Cowong
: -/-
Konjungtiva : Anemis -/Sklera
:Ikterik -/-
Pupil
: Isokor 2,5/2,5 mm
Mulut
:bibir sianosis (-), lidah kotor (-) ,stomatitis (-)
Leher
Kelenjar GB : Tidak ada pembesaran Tiroid
: pembesaran (-/-)
JVP
: peningkatan (+) 5+4 cm H2O
Massa lain
: Tidak ada
Dada Paru-paru
Inspeksi
:Simetris bilateral
Palpasi
:Ekspansi paru normal, vocal fremitus paru kanan = kiri
Perkusi
:Sonor (+) seluruh lapang paru
Auskultasi
:Bunyi vesikular (+/+) diseluruh lapang paru, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi
:Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
:Ictus cordis teraba di SIC V ke arah lateral linea midclavicularis sinistra, kuat angkat
Perkusi
:
Batas atas
:SIC II linea parasternalis dextra et sinistra
Batas kanan :SIC IV linea parasternalis dextra Batas kiri Auskultasi
:SIC V linea midclavicularis sinistra :Bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur (+)
Perut
Inspeksi
: Tampak cembung
Auskultasi
: Peristaltik usus (+) kesan normal
Perkusi
: Timpani ke empat kuadran (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (+) suprapubik
Anggota gerak
Atas
: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Bawah
: Akral hangat (+/+), edema(+/+)
D. Resume
Pasien masuk rumah sakit rujukan RS Budi Agung masuk dengan keluhan sesak nafas dan perut bengkak, sejak 9 hari yang lalu. Pasien dirawat 10 hari sebelum di rujuk. Sesak seluruh rongga dada, sesak hilang timbul. Faktor yang memperberat melakukan aktivitas lama – kelamaan. Faktor yang memperingan saat istirahat. Sesak terkadang dirasakan nyeri dada seperti ditusuk – tusuk. Frekuensi > 3 menit. Sebelum masuk rumah sakit perut pasien belum terlalu bengkak. TD
: 100/60 mmHg
N
: 72x/menit
R
: 22x/menit
SB
: 36,5 derajat celcius
E. Diagnosis Kerja
Acute Decompensated Heart Failure ec Multi Valve Desease F. Diagnosis Banding
Infark Miokard G. Anjuran pemeriksaan lanjutan
-
Darah lengkap
-
Kimia darah (glukosa, creatinine, urea)
-
Fungsi tiroid (FT$ dan TSHs)
-
Foto Thorax PA
-
EKG
-
Echocardiografi
H. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa -
Posisi setengah duduk
-
Perbanyak istirahat dan mengurangi aktivitas berat
Medikamentosa -
O2 nasal canule 2-4 lpm
-
Furosemide 40 mg 1-0-0
-
Propanolol 3x5mg
-
PTU 3x100mg
-
Amlodipin 5 mg 1x1
I. Hasil pemeriksaan penunjang Lab
:
RBC : 5,09 x106/mm3 HGB : 10,9 g/dl HCT : 36,6 % PLT : 297 x103/mm3 WBC : 9,9 x103/mm3 Glukosa
: 123 mg/dl
Creatinine : 1,90 mg/dl Urea
: 149,0 mg/dl
Radiologi: EKG
:
o
Atrial flutter
o
Right axis deviation
o
Biventricular hypertrophy
o
Probable RVH
o
ST abnormality, possible subendocardial
Pemeriksaan penujang lainnya : tidak dilakukan pemeriksaan lain J. Diagnosis akhir
Acute Decompensated Heart Failure ec Multi Valve Desease
K. Prognosis
Ad Vitam
: Malam.
Ad Fungsionam
: Malam.
Ad Sanationam
: Malam.
BAB IV PEMBAHASAN
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit yang paling penting untuk diobati. Keadaan tersebut dapat terjadi akibat semua kondisi jantung yang menurunkan kemampuan jantung untuk memompa darah. Penyebab biasanya adalah penurunan kontraktilitas miokardium akibat kurangnya aliran darah koroner. Kegagalan dapat juga disebabkan oleh rusaknya katup jantung, tekanan eksternal disekitar jantung defisiensi vitamin B, penyakit otot jantung primer, atau segala kelainan lain yang dapat membuat pemompaan jantung menjadi kurang efektif (Guyton dan Hall, 2014). American Heart Association (AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta
penduduk Amerika Serikat menderita gagal jantung. Data Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2008 menunjukan pasien yang dirawat dengan diagnosis gagal jantung mencapai 14.449 (Imaligy, 2014). Gagal jantung di Indonesia menyebabkan banyaknya angka kesakitan maupun kematian. Menurut data Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring bertambahnya umur. Penderita tertinggi pada umur 65-74 tahun sebesar 0,5%. Pada umur ≥75 tahun mengalami penurunan yaitu 0,4%. Bagi yang terdiagnosis dokter atau mempunyai gejala tertinggi terjadi pada umur ≥75 tahun
yaitu sebesar 1,1%. Jumlah yang berhasil terdiagnosis oleh dokter, prevalensinya lebih tinggi pada perempuan sebesar 0,2% dibandingkan dengan laki-laki yaitu 0,1%. Sehingga prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia sebesar 0,3% (Marenda, 2016). Gagal jantung umumnya ada yang bersifat akut dan ada pula yang bersifat kronik. Gagal jantung akut disebabkan oleh kelainan katup secara tiba-tiba akibat endocarditis, trauma, atau infark miokard luas, sedangkan gagal jantung kronik disebabkan oleh kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan (Pamungkas, 2012).
Kasus pasien Nn. E. yang didiagnosis ADHF diketahui penyebabnya adalah
MVD ( Multiple Valva Disease). MVD merupakan penyakit dari
terganggunya beberapa atau seluruh katup-katup jantung meliputi:
stenosis
mitral, regurgitasi mitral, stenosis aorta, regurgitasi aorta, penyakit katup pulmonal, dan penyakit katup trikuspid (Setiati et al., 2014). Gagal jantung memiliki tampilan gejala khas: sesak saat istirahat atau saat aktivitas, kelelahan, serta tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki. Tanda khas: takikardi, takipnea, ronki, efusi pleura, peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegali serta bukti objektif kelainan struktural atau fungsional jantung saat istirahat: kardiomegali, bunyi jantung 3, murmur, kelainan pada ekokardiografi , peningkatan natriuretic peptide (Imaligy, 2014). Jika jantung mengalami kerusakan berat, tidak ada kompensasi yang dapat membuat pompa jantung yang sangat lemah ini menghasilkan curah jantung normal, baik melalui refleks saraf simpatis maupun oleh retensi cairan. Akibatnya, curah jantung tidak dapat naik cukup tinggi untuk membuat ginjal mensekresikan cairan dalam jumlah yang normal. Oleh karena itu, cairan akan terus diretensi, sehingga pasien akan semakin edema, dan keadaan ini akhirnya dapat menimbulkan kematian. Keadaan tersebut dikenal dengan gagal jantung dekompensasi. Penyebab utama gagal jantung dekompensasi adalah kegagalan jantung untuk memompa cukup darah agar ginjal dapat mensekresi cairan dalam jumlah yang sesuai setiap harinya (Guyton dan Hall, 2014). Ureum creatinin, dan asam urat (UA) merupakan sisa-sisa metabolisme tubuh yang harus dibuang melalui proses di ginjal (Armezya et al , 2016). Tetapi pada kasus gagal jantung dekompensasi, kerja ginjal menjadi berkurang karena penurunan curah jantung dan aliran darah ke ginjal sehingga mempengaruhi sekresi ginjal. Kejadian tersebut dapat menyebabkan peningkatan ureum dan creatinin dalam darah seperti yang terjadi pada kasus. Edema menunjukkan adanya cairan berlebihan di jaringan tubuh. Salah satu penyebab edema tersering dan paling serius adalah gagal jantung. Jantung gagal memompa darah secara normal dari vena ke dalam arteri, hal ini
meningkatkan tekanan vena dan tekanan kapiler , yang menyebabkan penigkatan filtrasi kapiler. Tekanan arteri cenderung turun , menyebabkan penurunan ekskresi garam dan air oleh ginjal, yang meningktkan volume darah dan lebih lanjut meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler sehingga edema semakin bertambah. Aliran darah yang berkurang ke ginjal merangsang sekresi renin, menyebabkan peningkatan pembentukan angiotensin II dan peningkatan sekresi aldosteron, yang menambah beratnya retensi garam dan air oleh ginjal sehingga dapat membentuk edema ekstrasel generalisata yang hebat (Guyton dan Hall, 2014). Hal inilah yang menyebabkan edema pada tungkai terutama pada tungkai bawah. Edema juga terjadi pada perut pasien selain edema pada tungkai bawahnya. Perut merupakan salah satu rongga potensial dari tubuh. Selain itu, rongga potensial tubuh juga meliputi antara lain : rongga pleura, rongga perikardium, rongga sinovia (rongga sendi dan bursa sendi). Hampir semua rongga potensial ini mempunyai permukaan yang hampir bersentuhan satu sama lain, hanya dengan satu lapisan tipis cairan diantaranya, dan permukaan ini bergesekan satu sama lain. Untuk mempermudah pergesekannya, terdapat suatu cairan kental mengandung protein yang melumasi permukaan tersebut. Ketika terjadi edema pada jaringan subkutan yang berdekatan dengan rongga potensial, cairan edema biasanya juga akan terkumpul dirongga potensial dan cairan ini disebut efusi (Guyton dan Hall, 2014). Rongga abdomen merupakan tempat yang terutama rentan untuk terjadinya pengumpulan cairan efusi, dan pada keadaan ini efusi disebut asites. Pada kasus yang berat, bisa terjadi pengumpulan cairan asites sampai 20 L atau lebih (Guyton dan Hall, 2014). Edema perut yang dialami oleh pasien pada kasus merupakan edema karena adanya cairan asites yang menempati ruang abdomen, hal ini terkait dengan ADHF yang dialami oleh pasien sesuai dengan teori diatas. Pada gagal jantung, jantung tidak dapat menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (Imaligy, 2014). Sehingga, kebutuhan metabolik tubuh hanya terpenuhi sebagian sedangkan tubuh masih merasa kekurangan. Hal inilah yang dapat mempengaruhi terjadinya
penurunan
hemoglobin, yaitu kurang terpenuhinya metabolik tubuh akibat
kurangnya hantaran darah ke seluruh tubuh. Pada kasus juga didapatkan kadar HDL yang menurun. HDL memiliki efek
transportasi
kolesterol
balik,
antioksidan,
anti-inflamasi,
dan
sifat
antitrombotik yang diyakini sebagai atheroprotektif. Semakin tinggi kadar kolesterol total atau LDL dan semakin rendah kadar kolesterol HDL, maka semakin tinggi risiko terkena penyakit kardiovaskular. Bila dikelompokkan menurut tingkat HDL, subjek dengan kadar HDL lebih dari 60 mg/dL memiliki risiko PJK lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki HDL 40-60 mg/dL, tingkat ini masih memiliki risiko yang lebih rendah daripada mereka yang memiliki HDL kurang dari 40 mg/dL (Firdiansyah, 2014). Pasien pada kasus memiliki riwayat PJK menahun, hal ini dapat dikaitkan sebagai penyebab menurunnya kada HDL pasien dari hasil pemeriksaan. Pemeriksaan EKG 12 sadapan sangat dianjurkan. Kepentingan utama EKG adalah untuk menilai irama jantung, menentukan keberadaan hipertrofi ventrikel kiri atau riwayat infark miokard (ada atau tidak adanya Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan kemungkinan disfungsi diastolik ventrikel kiri (Imaligy, 2014). Selain itu, penegakan diaagnosis juga dapat dilakukan melalui teknik diagnostik, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi. Penatalaksanaan
medikamentosa
yang
dilakukan
setelah
diagnosis
ditegakkan adalah pemberian : bisoprolol 5 mg, lisinopril 5 mg, simarc 2 mg, digoxin 25 mg, cefixime 10 mg, furosemide 40 mg, VIP albumin. Bisoprolol merupakan obat penghambat golongan ß-blocker yang mampu menghambat efek merugikan dari aktivasi simpatis pada pasien gagal jantung. Lisinopril merupakan obat hipertensi golongan ACE-inhibitor yang berfungsi menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Digoksin adalah golongan obat glikosida jantung yang digunakan untuk terapi gagal jantung dan memiliki efek pengobatan : inotropik positif, kronotropik negatif, dan mengurangi aktivasi saraf simpatis. Furosemid adalah golongan diuretik kuat yang dapat mengatasi gagal jantung yang selalu disertai kelebihan cairan dan kongesti paru
atau edema (Gunawan et al , 2017). Keempat obat tersebut merupakan obat yang digunakan dalam penanganan pasien gagal jantung pada kasus referat ini. Golongan obat antikoagulan yang digunakan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah yang membahayakan kesehatan dan jiwa pada pasien gagal jantung adalah Simarc. Sedangkan Cefixime adalah golongan obat cephalosporin yang berfungsi untuk mengobati infeksi bakteri pada pasien di kasus ini (Gunawa et al ., 2012). Pada edema yang dialami pasien juga ada indikasi akibat protein
albumin yang mengalami penurunan sehingga pasien diberikan albumin dalam perawatannya. Albumin adalah protein utama yang terdapat dalam darah manusia yang diproduksi oleh organ hati. Albumin berfungsi untuk mengatur tekanan dalam pembuluh darah dan menjaga agar cairan yang terdapat dalam pembuluh darah tidak bocor ke jaringan tubuh sekitarnya (Sherwood, 2014).
BAB V KESIMPULAN
1.
Gagal jantung adalah kegagalan jantung dalam memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan dan biasanya bersifat akut atau kronik.
2.
Gagal jantung akut ada 2 yaitu, gagal jantung akut yang baru terjadi pertama kali ( de novo ) dan gagal jantung dekompensasi akut pada gagal jantung kronis yang sebelumnya stabil.
3.
Gagal jantung dekompensasi adalah kegagalan jantung untuk memompa darah yang cukup agar ginjal dapat mensekresi cairan dalam jumlah yang sesuai setiap harinya.
4.
MVD ( Multiple Valva Disease) merupakan penyakit dari terganggunya beberapa atau seluruh katup-katup jantung meliputi:
stenosis mitral,
regurgitasi mitral, stenosis aorta, regurgitasi aorta, penyakit katup pulmonal, dan penyakit katup trikuspid. 5.
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
Firdiansyah, M.H. 2014. Hubungan antara rasio kadar kolesterol total terhadap high-density lipoprotein (hdl) dengan kejadian penyakit jantung koroner di
rsud dr. moewardi.
(cited 2017 Sep 24); Available from: URL:
http://www. eprints.ums.ac.id/28358/12/Naspub_hafidz_2.pdf
Gunawan et al., (2017 ) Farmakologi dan terapi. Edisi 6. Jakarta : FKUI.
Guyton dan Hall. (2014) Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 12. Belanda : Elsevier.
Imaligy, E.U. 2014. Gagal jantung pada geriatri . (cited 2017 Sep 24); 41 (1); Available from: URL: http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_212Gagal Jantung pada Geriatri.pdf
Mangini, S. et al ., 2013. Decompensated heart failure. (cited 2017 Sep 24); 11 (3);
Available from: URL: http://www. ncbi.nlm.nih.gov
Marenda, A.D. 2016. Upaya penurunan nyeri dada pada pasien gagal jantung di rsud dr. soehadi prijonegoro. (cited 2017 Sep 24); Available from:
http://www.eprints.ums.ac.
id/44458/12/PUBLIKASI ILMIAH E.pdf
Mishra, S. 2016. Upscaling cardiac assist devices in decompensated heart failure: Choice of device and its timing. (cited 2017 Sep 24); Available from:
http://www. sciencedirect.com/science/article/pii/S0019483215009426
Murthy, K.A.S, et al., 2016. Evaluation and comparison of biomarkers in heart failure. (cited 2017
Sep
24);
www.sciencedirect.com/science/article/pii/
Available
from:
S0019483215003995
http://