PROPOSAL TUGAS AKHIR TL – 4099 4099 Studi Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah TPA Kawasan Regional (Studi Kasus: TPA Legok Nangka)
(Tugas Akhir: Penelitian Lapangan)
Disusun Oleh: Aghnia Qinthari Nabilah (15311049)
Topik ini telah dikonsultasikan dengan dosen Emenda Sembiring, S.T, M.T, MEngSc, Ph.D.
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015
I. Judul
Judul tugas akhir yang diajukan oleh penulis adalah Studi Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah TPA Kawasan Regional (Studi Kasus: TPA Legok Nangka).
II. Latar Belakang
Sampah telah menjadi permasalahan di Kota Bandung sejak terjadi longsor di TPA Leuwi Gajah pada Februari 2005 lalu. Sejak saat itu sampah Kota Bandung tidak dapat dibuang ke TPA Leuwi Gajah sehingga menumpuk di TPS bahkan di pinggir jalan, lahan kosong dan sungai. Hal ini menjadi pemicu permasalahan sanitasi dan kesehatan. Tak ayal TPA Sarimukti menjadi sasaran penampungan sampah Kota Bandung. Mulanya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan izin operasional TPA Sarimukti hingga tahun 2013 namun diperpanjang hingga tahun 2018. TPA Sarimukti kini telah kelebihan beban sehingga dibutuhkan solusi untuk menangani permasalahan ini. ( Sustaining Partnership, Partnership, 2011)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal 26 ayat 1 tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama antarpemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah. Salah satu solusi permasalahan pengelolaan sampah adalah dengan mendirikan TPA kawasan regional. TPA Legok Nangka yang berada di Desa Ciherang, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan pengelolaan sampah di Jawa Barat. TPA Legok Nangka akan menampung sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sumedang. Aspek pengolahan sampah merupakan poin penting dalam pengeloaan sampah. Beberapa teknologi teknologi seperti sanitary seperti sanitary landfill , anaerobic digestion, digestion, gasifikasi, dan RDF (refused (refused derived fuel ) dapat menjadi pilihan untuk diterapkan pada TPA Legok Nangka dengan tujuan mereduksi timbulan sampah dan meningkatkan umur operasional TPA. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan adanya suatu pendekatan ilmiah yang digunakan untuk memutuskan alternatif teknologi pengolahan sampah di TPA
Legok Nangka. Metode ilmiah yang digunakan dalam penentuan alternatif teknologi pengolahan adalah metode analytical hierarchy process (AHP) berdasarkan pendapat para pakar dan pemangku kepentingan di bidang persampahan.
III. Maksud dan Tujuan
a.Maksud dari penelitian ini adalah untuk menentukan teknologi pengolahan sampah untuk diterapkan di TPA Legok Nangka. b.Tujuan:
Identifikasi alternatif teknologi pengolahan sampah untuk diterapkan di TPA Legok Nangka.
Identifikasi kriteria-kriteria penilaian teknologi pengolahan sampah.
Menentukan alternatif teknologi pengolahan sampah yang tepat dengan metode analytical hierarchy process.
IV. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
Data karakteristik sampah merupakan data sekunder.
Penelitian difokuskan untuk menentukan teknologi pengolahan sampah antara lain sanitary landfill , anaerobic digestion, gasifikasi, dan RDF (refused derived fuel ).
Penilaian terhadap alternatif teknologi pengolahan berdasarkan pendapat para pakar dan pemangku kepentingan di bidang persampahan.
Metode analytical hierarchy process digunakan untuk menentukan alternatif teknologi pengolahan sampah.
V. Tinjauan Pustaka
5.1 Pengertian Sampah Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Apabila sampah tidak dikelola dengan baik, sampah sebagai sumber pencemar lingkungan akan
menyebabkan berkembangnya bibit penyakit, menyumbat saluran air, bahkan menyebabkan banjir. Selain itu timbunan sampah merusak keindahan dan menimbulkan bau yang tidak sedap.
5.2 Pengelolaan Sampah Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008, pengelolaan
sampah
adalah
kegiatan
sistematis,
menyeluruh,
dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Kegiatan pengelolaan sampah meliputi pengurangan sampah ( waste minimization) dan penanganan sampah (waste handling ).
Kegiatan pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse), dan pendauran ulang sampah (recycle). Kegiatan penanganan sampah (waste handling ) meliputi beberapa hal sebagai berikut (Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008): 1. Pemilahan dalam bentuk pengelompokkan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah. 2. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu. 3. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir. 4. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik sampah, komposisi sampah, dan jumlah sampah. 5. Pemrosesan akhir dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
5.3 Stakeholders dalam Pengelolaan Sampah Kota Berdasarkan pelaksanaan dan pengelolaan fasilitas pengolahan sampah tidak terlepas dari peranan institusi pengelola. Berikut ini merupakan beberapa bentuk institusi pengelolaan persampahan kota yang dianut Indonesia (Damanhuri, 2010).
Seksi Kebersihan di bawah suatu dinas.
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di bawah suatu dinas.
Dinas Kebersihan.
Perusahaan Daerah Kebersihan.
Dalam
pengelolaan
sampah
skala
regional,
banyak
pihak-pihak
( stakeholders) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap pihak ini berperan dengan posisinya masing-masing. Stakeholders utama yang biasa terlibat dalam sistem pengelolaan persampahan Indonesia antara lain:
Sektor formal 1) Pengelola kawasan, yang dapat bertindak sebagai pengelola sampah. 2) Masyarakat atau instansi penghasil sampah yang menggantungkan penanganan sampahnya pada sistem yang berlaku. 3) Instansi non-pemerintah yang bergerak dalam pengelolaan sampah, termasuk aktivitas daur ulang, seperti swasta, LSM, pengelola real estate, dan sebagainya, yang aktivitasnya berkoordinasi dengan pengelola sampah.
Sektor informal 1) Masyarakat yang bertindak secara individu dalam penangan sampah secara langsung maupun tidak langsung. 2) Instansi yang tertarik dan peduli dengan persoalan persampahan.
5.4 Pengolahan Sampah Salah satu cara mengurangi timbulan sampah di perkotaan adalah dengan melakukan pengolahan sampah. Saat ini reduksi sampah hanya dilakukan
melalui kegiatan pemulungan sampah yang dilakukan oleh sektor informal (pemulung). Program daur ulang sampah di Indonesia belum cukup untuk mengurangi laju pertambahan timbulan sampah yang akan meningkat setiap tahun. Penerapan teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan sudah saatnya dimulai sehingga dapat mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke lahan pembuangan akhir. Beberapa teknologi konversi sampah menjadi energi seperti metode sanitary landfill , anaerobic digestion, gasifikasi, dan refused derived fuel (RDF) dapat diaplikasikan untuk pengolahan sampah skala regional.
Sanitary Landfill Sistem pembuangan akhir sampah merupakan sistem terakhir dalam rangkaian sistem pengelolaan sampah. Selain itu pembuangan air adalah prasarana yang harus tersedia karena pilihan teknologi apapun selalu membutuhkan lahan untuk membuang sisa hasil prosesnya. Sistem pembuangan akhir sampah terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut (Bagchi, 2004): 1. Pembongkaran sampah dari kendaraan pengangkut. 2. Penyebaran dan perataan sampah dengan alat pendorong (dozer ). 3. Pemadatan sampah dengan alat pemadat. 4. Penutupan sampah dengan tanah.
Metode sanitary
landfill merupakan
lahan
urug
yang
telah
memperhatikan aspek sanitasi lingkungan. Sampah diletakkan pada lokasi cekung, kemudian sampah dihamparkan lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi dengan tanah penutup harian setiap hari akhir operasi dan dipadatkan kembali setebal 10-15% dari ketebalan lapisan sampah untuk mencegah berkembangnya vektor penyakit, penyebaran debu, dan sampah ringan yang dapat mencemari lingkungan sekitarnya. Lalu pada bagian atas timbunan tanah penutup harian tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah penutup harian. Demikian seterusnya hingga terbentuk lapisan-lapisan sampah dan tanah.
Bagian dasar konstruksi sanitary landfill dibuat lapisan kedap air, yang dilengkapi dengan pipa pengumpul dan penyalur air lindi yang terbentuk dari proses penguraian sampah organik. Terdapat juga saluran penyalur gas untuk mengolah metan yang dihasilkan dari proses degradasi limbah organik.
Sistem ini dilengkapi dengan sistem pengamanan gas metan dan pengamanan lindi. Gas metan adalah gas yang mudah terbakar dan meledak, jika tidak dikendalikan akan membahayakan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengendalikan pengumpulan gas tersebut, di dasar lahan urug dibuat sistem jaringan pipa atau batu koral untuk aliran pelepasan gas metan ke udara. Jika volume sampah yang diurug sangat besar, maka gas metan dibakar pada setiap ujung pelepasannya lalu dikonversi menjadi tenaga listrik. Demikian juga dengan lindi, karena adalnya proses pembusukan pada sampah, maka lindi dari sampah tersebut perlu dilakukan pengamanan untuk menghidari pencemaran di lingkungan sekitar. Lindi yang keluar dari dasar TPA dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran terbuka. Lindi memiliki karakteristik sangat pekat, mempercepat karat, memiliki nilai COD dan BOD sangat tinggi serta mengandung bahan beracun dan berbahaya.
Anaerobic Digestion Anaerobic digestion merupakan
teknologi konversi biomassa yang
dapat merubah sampah organik menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas metana, karbon dioksida, dan padatan yang kaya kandungan organik. Produk dari digester berupa gas metana dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm 3. Proses mekanisme
pembentukan
ditampilkan pada Gambar 1.
energi
listrik
dari
anaerobic
digester
Gambar 1. Mekanisme Pengolahan Anaerobic Digestion
Proses anaerobic digestion terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1) Hidrolisa Tahap hidrolisa merupakan tahap persiapan dimana senyawa kompleks organik diuraikan menjadi molekul sederhana seperti reaksi di bawah ini. (C6H10O5)n + nH2O n(C6H12O6) Senyawa yang termasuk tipe ini adalah glukosa, senyawa asam organik, dan etanol yang dimanfaatkan sebagai su mber karbon dalam energi untuk melakukan fermentasi. Proses hidrolisa merupakan tahapan penting dalam pengolahan limbah dengan kandungan organik tinggi dan membutuhkan waktu cukup lama sehingga untuk mempercepat proses digunakan reagen kimia.
2) Asidogenesis Senyawa organik hasil dari proses hidrolisa dicerna oleh bakteri acetogen menjadi asam lemak yang mudah menguap misal asam laktat, butirat, dan propionate. Pada proses ini juga terbentuk gas karbon dioksida dan hidrogen, sehingga pada dasarnya tahap asidifikasi tidak terjadi reduksi COD. Bakteri acetogen relatif tahan terhadap perubahan pH dan temperatur serta memiliki pertumbuhan relatif cepat dibandingkan dengan bakteri metanogen.
Berikut
adalah
senyawa
hasil
pembentukan
melalui
proses
asidogenesis: C2H12O6 CH3CH2COOH + 2CO 2 (Asam propionat) C6H12O2 CH3COOH (Asam asetat)
3) Metanogenesis Pada tahap ini metana diproduksi oleh bakteri pembentuk gas metana dengan memecah molekul asam asetat untuk membentuk CO 2 dan metana serta mereduksi CO2 dengan hidrogen. Bakteri metanogen bersifat anaerob dan peka terhadap perubahan pH, temperatur, dan konsentrasi. Reaksi yang terjadi pada tahap metanogenesis adalah: 4H2 + CO2 CH4 + 2H2O 4HCOOH CH4 + 3CO2 + 2H2O CH3COOH CH4 + CO2 CH3CH2COOH + 1/2H2O 7/4CH4 + CO2 4CH3OH 3CH4 + CO2 +H2O CH3(CH2)2COOH + 2H2O + CO2 CH3COOH + CH4 4CO + 2H2O CH4 + 3CO
Gasifikasi Gasifikasi adalah proses perubahan limbah padat secara termokimia menjadi gas. Perbedaan gasifikasi dengan pembakaran terletak pada jumlah oksigen yang digunakan dalam proses serta produk yang dihasilkan. Proses pembakaran menggunakan oksigen yang melebihi kebutuhan stoikiometrik, selain itu produk yang dihasilkan berupa energi panas dan gas yang tidak terbakar. Sementara itu, proses gasifikasi sangat bergantung pada reaksi kimia yang terjadi pada temperatur di atas 700°C. Produk gas yang dihasilkan pada proses gasifikasi antara lain karbon monoksida (CO), metana (CH 4), dan hidrogen (H 2) dengan mereaksikan bahan baku pada temperatur tinggi dengan jumlah oksigen yang diatur. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengubah unsur-unsur pokok dari bahan bakar yang digunakan ke dalam bentuk gas yang lebih
mudah dibakar, sehingga hanya menyisakan abu dan sisa-sisa material yang tidak terbakar (inert).
Proses gasifikasi terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah pirolisis yang terjadi ketika biomassa mulai mengalami kenaikan temperatur. Pada tahap ini volatil yang terkandung pada limbah terlepas dan menghasilkan arang (char ).
Tahapan kedua adalah terjadinya proses pembakaran (combustion). Pada tahapan ini volatil dan sebagian arang yang memiliki kandungan karbon C bereaksi dengan oksigen membentuk CO 2 dan CO serta menghasilkan panas yang digunakan pada tahap selanjutnya yaitu tahap gasifikasi. Reaksi kimia yang terjadi pada tahap ini adalah:
Reaksi pembakaran
C + ½ O2
CO
Reaksi Boudouars
C + CO2
2CO
Tahapan berikutnya adalah tahap gasifikasi. Tahapan ini terjadi ketika arang bereaksi dengan CO 2 dan uap air yang menghasilkan gas CO dan H2 yang merupakan produk yang diinginkan dari keseluruhan proses gasifikasi. Reaksi kimia yang terjadi adalah: Reaksi water gas
C + H2O CO + H2
Tahapan tambahan dalam proses ini adalah tahap water shift reaction. Melalui tahapan ini, reaksi termokimia yang terjadi di dalam reactor gasifikasi mengalami keseimbangan. Sebagian CO yang terbentuk dalam reaktor bereaksi dengan uap air dan membentuk CO 2 dan H2. Reaksi kimia yang terjadi adalah: Reaksi water shift reaction CO + H2O CO2 + H2
Jika proses gasifikasi dapat dikendalikan sehingga temperatur reaksi terjadi di bawah 1000°C, maka akan terjadi reaksi pembentukan CH 4. Hal ini terjadi ketika C bereaksi dengan H 2.
Selama proses gasifikasi reaksi kimia utama yang terjadi adalah endotermis. Media yang umumnya digunakan dalam proses ini adalah udara dan uap. Gas yang dihasilkan dari gasifikasi dengan menggunakan udara mempunyai nilai kalor lebih rendah namun di sisi lain operasi menjadi lebih sederhana. Berdasarkan arah aliran gas, reaktor gasifikasi terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.Updraft Gasifier Pada reaktor gasifikasi tipe ini, zona pembakaran terletak di bawah bahan bakar dan bergerak ke atas. Gas panas yang dihasilkan mengalir ke atas melewati bahan bakar yang belum terbakar sementara bahan bakar akan terus jatuh ke bawah.
2. Downdraft Gasifier Pada tipe ini sumber panas terletak di bawah bahan bakar. Aliran udara bergerak ke zona gasifikasi di bagian bawah yang menyebabkan asap pirolisis yang dihasilkan melewati zona gasifikasi yang panas. Hal ini membuat tar yang terkandung dalam asap terbakar, sehingga gas yang dihasilkan oleh reaktor ini lebih bersih. Keuntungan reaktor tipe ini adalah dapat digunakan untuk operasi gasifikasi secara berkesinambungan dengan menambahkan bahan bakar melalui bagian atas reaktor. Namun untuk operasi berkesinambungan dibutuhkan sistem pengeluaran abu yang baik agar bahan bakar bisa terus ditambahkan ke dalam reaktor.
3. Crossdraft Gasifier Pada reaktor ini, aliran udara mengalir tegak lurus dengan arah gerak zona
pembakaran.
Reaktor
tipe
ini
memungkinkan
operasi
berkesinambungan apabila memiliki sistem pengeluaran abu yang baik.
Refused Derived Fuel (RDF) Refused Derived Fuel (RDF) adalah hasil dari pemilahan municipal solid waste (MSW) berdasarkan fraksi yang dapat dibakar dan tidak dapat dibakar. RDF biasanya didominasi oleh kertas, plastik, kayu, sisa makanan, dan sampah kebun. Nilai kalor yang dimilki RDF lebih tinggi daripada MSW yang tidak diolah, yaitu berada di kisaran 12-13 Mj/kg (Cheremisinoff, 2003).
Komposisi MSW bervariasi dari berbagai tempat dan gaya hidup. MSW yang belum diolah memiliki kadar air tinggi, nilai kalor rendah, dan ukuran partikel heterogen. Hal tersebut menyebabkan penggunaan MSW sebagai bahan bakar menjadi kurang menarik. Mengolah MSW menjadi RDF memberikan banyak keuntungan. Keuntungan yang paling utama adalah tingginya nilai kalor yang cenderung bersifat konstan, bentuk fisik dan karakteristik yang homogen, kemudahan dalam penyimpanan dan transportasi, rendahnya emisi polutan dan reduksi dari udara berlebih saat pembakaran (Caputo & Pelagagge, 2002).
Karakteristik penting untuk RDF sebagai bahan bakar antara lain adalah nilai kalor, kadar air, kadar abu, sulfur, dan kandungan klor. Menurut Putri (2013), ada dua jenis material yang terdapat dalam RDF, material dengan nilai kalor tinggi dan nilai kalor rendah. Material dengan nilai kalor tinggi adalah produk kertas serta plastik dengan nilai kalor rata-rata 18600 J/g. Sedangkan bahan anorganik seperti kaca halus dan bahan organik basah memiliki nilai kalor relatif rendah yaitu 10800 J/g. Jika kedua material tersebut dicampur, nilai kalor RDF secara keseluruhan akan menurun. Penghilangan material bahan kaca dan bahan organik basah akan meningkatkan nilai kalor RDF sebesar 20%. Penurunan nilai kalor dapat dikontrol melalui pengontrolan komposisi campuran.
Menurut Nithikul (2007), RDF berkualitas baik adalah RDF yang memiliki nilai kalor tinggi dan konsentrasi senyawa toksik rendah,
dalam hal ini logam berat dan klorin. Aspek kualitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa pihak, seperti produsen RDF, pengguna, dan peraturan terkait.
5.4 Analaytical Hierarchy Process (AHP) Analaytical Hierarchy Process (AHP) adalah suatu metode sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam perancangannya terhadap suatu masalah (dibuat sesuai dengan masing-masing pemakai). Metode ini menstrukstur
masalah
dalam
bentuk
hierarki
dan
memasukkan
pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. Kekuatan AHP terletak pada rancangannya yang bersifat holistik yang menggunakan logika, pertimbangan berdasarkan intuisi, data kuantitatif, dan preferensi kualitatif (Saaty, 1991).
AHP merupakan filosofi untuk mengatur kompleksitas masalah san untuk membuat keputusan mengenai alternatif terbaik untuk dipilih, bagaimana mengalokasikan sumber daya yang langka, menyelesaikan konflik, melakukan perencanaan, dan menganalisis biaya dan manfaat. Kekuatan AHP terletak pada struktur hierarkinya sendiri yang memungkinkan seseorang memasukkan semua faktor penting, nyata maupun tidak, dan mengaturnya dari atas ke bawah mulai dengan yang penting ke tingkat yang berisi alternatif untuk dipilih mana yang terbaik. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai masalah keputusan berbentuk hierarki, kadangkadang dengan loop ketergantungan untuk menunjukkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama yang lain bergantung padanya. Elemen-elemen dalam setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemen-elemen yang berada setingkat di bawahnya. Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip yaitu prinsip penyusunan hierarki, prinsip menetapkan prioritas, dan prinsip konsistensi logis.
Prinsip utama dalam AHP menurut Mulyono (2002, p335-337), antara lain: 1. Decomposition Persoalan yang sudah terkumpul dipecah menjadi unsur-unsur yang mempengaruhinya. Setiap unsur dibagi hingga ke dasarnya agar hasil lebih
detail.
Pemecahan
dilakukan
untuk
setiap
unsur
agar
mendapatkan hasil yang lebih akurat. Setiap tingkatan memiliki proses penentuan prioritas masing-masing. Maka dari itu, proses ini dinamakan hierarki. Ada 2 jenis hierarki, yaitu lengkap dan tidak lengkap. Dalam hierarki lengkap, semua elemen yang ada pada suatu tingkatan memiliki semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Jika tidak demikian maka dinamakan hierarki tidak lengkap.
2. Comparative Judgement Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan tampak lebih enak bila disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan pairwise comparison matrix. Pertanyaan yang biasa diajukan dalam menyusun skala kepentingan adalah: a. Elemen mana yang lebih (penting/disukai/mungkin/…)? dan b. Berapa kali lebih (penting/disukai/mungkin/…)? Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan dua elemen, seseorang yang akan memberikan jawaban perlu pengertian menyeluruh
tentang
elemen-elemen
yang
dibandingkan
dan
relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari.
3. Synthesis of priority Dari setiap pairwise comparison matrix kemudian dicari eigen vector nya untuk mendapatkan local priority. Karena pairwise comparison matrix terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global
priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hierarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa yang dinamakan priority setting .
4. Logical consistency Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Contohnya, anggur dan kelereng dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat merupakan kriterianya, tetapi tak dapat jika rasa sebagai kriterianya. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Contohnya jika manis merupakan kriterianya, maka madu dinilai lebih manis lima kali lebih manis daripada gula, dan gula dinilai dua kali lebih manis dibanding sirup, maka seharusnya madu dinilai sepuluh kali lebih manis dibanding sirup. Jika madu hanya dinilai empat kali lebih manis dibanding sirup maka penilaian tidak konsisten dan proses harus diulang.
Menurut Saaty (1991, p23-25), AHP merupakan sebuah model luwes untuk membantu pengambilan keputusan. Pengamatan mendasar ini tentang sifat manusia, pemikiran analitik, dan pengukuran membawa pada pengembangan suatu model yang berguna untuk memecahkan persoalan secara
kuantitatif.
AHP
merupakan
proses
yang
ampuh
untuk
menanggulangi berbagai persoalan politik dan sosio ekonomi yang kompleks. AHP harus memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis, karena hal tersebut merupakan faktor yang dapat mempengaruhi hasil keputusan. Prosesnya adalah mengidentifikasi, memahami, dan menilai interaksi dari suatu sistem sebagai suatu keseluruhan. Kita sulit untuk mengharapkan pemecahan langsung untuk persoalan yang rumit, oleh karena itu, AHP harus terus dicoba dan diulang.
Secara umum, keuntungan AHP dapat dikatakan sebagai berikut: 1. Kesatuan, AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti pada beragam persoalan. 2. Kompleksitas, AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan berbagai persoalan. 3. Saling ketergantungan, AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linear. 4. Penyusunan hierarki, AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 5. Pengukuran, AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan wujud suatu metode untuk menetapkan prioritas. 6. Konsistensi, AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 7. Sintesis, AHP menuntun kesatuan taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 8. Tawar menawar, AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang untuk memilih alternatif yang terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. 9. Penilaian dan konsensus, AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian. 10. Pengulangan proses, AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
VI. Metodologi Penelitian
Gambar 2 menampilkan skema metodologi dari penelitian Studi Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah TPA Kawasan Regional (Studi Kasus: TPA Legok Nangka),
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Data Primer (Wawancara, Kuisioner, dan Observasi Lapangan)
Data Sekunder (Kondisi Eksisting dari PD Kebersihan dan Badan Pengelolaan Sampah Regional Jawa Barat)
Analisis dan Pengolahan Data
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2. Metodologi Penelitian
1. Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk mengetahui teknologi pengolahan sanitary landfill , anaerobic digestion, gasifikasi, dan RDF (refused derived fuel ) yang akan diterapkan di TPA Legok Nangka. Hasil studi literatur ini selanjutnya dijadikan acuan dalam penyusunan kriteria penilaian teknologi pengolahan.
2. Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder berupa kondisi eksisting dan data karakteristik sampah diperoleh dari PD Kebersihan dan Badan Pengelolaan Sampah Regional Jawa Barat. Sedangkan data primer didapatkan melalui kuisioner yang disebarkan kepada stakeholders pengelolaan sampah kota, antara lain: 1) Pemerintah Pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam kebijakan pengelolaan sampah berpartisipasi dalam memiliki informasi terkait, mampu mendefinisikan alternatif dan kriteria, serta pengambil keputusan akhir. Dalam penelitian ini, yang menjadi responden adalah BPLHD (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah) Jawa Barat, BPSR (Badan Pengelolaan Sampah Regional) Jawa Barat, dan PD (Perusahaan Daerah) Kebersihan Kota Bandung. 2) Masyarakat Masyarakat sebagai penghasil timbulan sampah menjadi responden utama dalam penelitian ini, Responden yang digunakan untuk mewakili masyarakat adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang persampahan. 3) Akademisi Kelompok akademisi dapat dikategorikan sebagai ahli dan perencana di bidangnya. Responden dari kelompok ini diwakili oleh dosen dan mahasiswa Teknik Lingkungan, dengan pertimbangan pengelolaan
sampah merupakan salah satu objek yang dipelajari di program studi ini.
3. Analisis dan Pengolahan Data Analisis dilakukan berdasarkan pembobotan menggunakan metode analytical hierarchy process untuk mendapatkan alternatif teknologi pengolahan sampah. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan teknologi pengolahan sampah antara lain: 1) Aspek Sosial Pertimbangan aspek sosial dalam menentukan alternatif teknologi pengolahan sampah yang tepat penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan penggunaan teknologi dan masyarakat sekitar. Penjabaran aspek sosial adalah sebagai berikut:
Penyerapan tenaga kerja Penerapan teknologi pengolahan pada pengelolaan sampah dapat membuka peluang lapangan pekerjaan sehingga dapat mengatasi salah satu masalah sosial yang ada di masyarakat.
Potensi konflik dengan masyarakat rendah Penggunaan serta penempatan suatu teknologi harus memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan supaya menghindari konflik serta adanya
penerimaan
masyarakat
terhadap
teknologi
yang
diimplementasikan.
Penguatan peran serta masyarakat Implementasi teknologi pengolahan sampah diharapkan dapat memperkuat peran serta masyarakat dalam mengelola sampah sehingga dijadikan salah satu pertimbangan dalam aspek sosial.
2) Aspek Ekonomi Kriteria untuk aspek ekonomi terbagi menjadi tiga, yaitu:
Investasi rendah Keterbatasan anggaran pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan sampah harus dipertimbangkan dalam menentukan jenis teknologi yang sesuai.
Biaya operasional rendah Pertimbangan biaya operasional rendah sama dengan pertimbangan investasi yaitu adanya keterbatasan anggaran pemerintah.
Menghasilkan pendapatan asli daerah yang tinggi Jika kegiatan pengelolaan sampah dapat menghasilkan suatu barang bernilai ekonomi, maka hal ini akan mendorong minat sektor swasta untuk menanam investasi di bidang pengelolaan sampah sehngga dapat menaikan pendapatan asli daerah.
3) Aspek Lingkungan Aspek lingkungan merupakan hal penting dalam menentukan alternatif pengolahan karena menyangkut masalah pengelolaan lingkungan hidup di suatu kawasan. Kriteria yang ditinjau dari aspek lingkungan adalah sebagai berikut:
Minimalisasi bibit penyakit Kegiatan pengolahan sampah yang dilakukan dengan cara tidak benar dapat menjadikan sumber bibit penyakit. Oleh karena itu perlu penerapan jenis teknologi pengolahan yang tepat agar kegiatan pengolaan sampah mencapai tingkat yang diinginkan.
Emisi gas Kegiatan pengolahan sampah dapat menimbulkan pencemaran udara berupa gas metana, SOx, NOx, H2S, dan NH3. Oleh karena itu kriteria ini menjadi penting dalam menentukan preferensi teknologi pengolahan.
Minimalisasi pencemaran air dan tanah Lindi merupakan salah satu potensi pencemaran yang timbul akibat kegiatan pengelolaan sampah serta dapat mencemari tanah dan air tanah karena konsentrasi bahan pencemar yang tinggi.
4) Aspek Teknis Aspek teknis dalam menentukan alternatif teknologi pengolahan adalah
untuk
menjamin
bahwa
teknologi
tersebut
dapat
diimplementasikan di lapangan serta perangkat kelembagaan yang ada
dapat melaksanakannya. Kriteria untuk aspek teknis adalah sebagai berikut:
Efektifitas reduksi sampah Tujuan utama dalam pengolahan sampah adalah untuk mereduksi timbulan di lahan akhir pembuangan sehingga efektifitas merupakan kriteria sangat penting dalam menentukan teknologi.
Kemudahan operasional Suatu teknologi apabila sulit untuk diimplementasikan di lapangan akan sia-sia sehingga kemudahan operasional merupakan salah satu kriteria teknis yang patut dipertimbangkan.
Ketersediaan sumber daya manusia Kriteria ini menjadi pertimbangan untuk menjamin beroperasinya teknologi terpilih.
4. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan berupa alternatif teknologi pengolahan sampah yang dapat diterapkan di TPA Legok Nangka serta diharapkan menjadi solusi dari permasalahan ini.
VII. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Studi literatur Pengumpulan data primer Pegumpulan data sekunder Verifikasi data sekunder
Bulan-1
Bulan-2
Bulan-3
Bulan-4
Bulan-5
Bulan-6
Kegiatan
Analisa
Bulan-1
Bulan-2
Bulan-3
Bulan-4
Bulan-5
Bulan-6
dan
pengolahan data Penyusunan laporan
VII. Daftar Pustaka
Anonim. (2011). “Legok Nangka Siap Gantikan TPA Sarimukti”. Sustaining Partnership edisi November.
Caputo, A. C. & Pelagagge, P.M. (2002). RDF Production Plants: Design and Costs. Applied Thermal Engineering, 22, 423-437.
Cheremisinoff, N.P. (2003). Handbook of Solid Waste Management and Waste Minimization Technologies. Amsterdam: Butterworth-Heinemann. Fernando,
A.
(2007).
Pemilihan
Teknologi
Pengolahan
Sampah,
Pembiayaan, dan Institusi TPA Regional (Studi Kasus: Kota Jakarta Barat, Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kabupaten Serang). Tesis Magister pada Universitas Indonesia.
Damanhuri, E. & Padmi, T. (2010). Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah. Program Studi Teknik Lingkungan, FTSL, ITB.
Nithikul, J. (2011). Reject Management from A Mechanical
Biological
Treatment Plant in Bangkok, Thailand. Resources, Conservation, and Recycling, 55(4), 417-422.
Putri, A.P. (2013). Studi Pemanfaatan Limbah B3 Sludge Produce Water Sebagai Bahan Baku Refused Derived Fuel (RDF). Skripsi Sarjana pada Institut Teknologi Bandung.
Saaty, Thomas. (2000). The Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with the Analytic Hierarchy Process, volume IV of AHP Series . RWS Publication.
Tchobanoglous, G., Theisen H., Vigil S.A. (1993). Integrated Solid Waste Manegement. International Edition: McGraw-Hill., Inc.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.