PORTOFOLIO
Nama Peserta
: dr. Listyono Wahid Rhomadani
Nama Wahana
: Rumkit Tk. II Dr. R. Hardjanto
Topik
: Hubungan Kejadian ISK Pada Pasien BPH
Tanggal (kasus)
: 22 Maret 2017
Nama Pasien
: Tn. A
No. RM :
Tanggal Presentasi
: 29 Maret 2017
Nama Pendamping:
1. dr. Yuli Astutiandriani 2. dr. Helen Morista Tempat Presentasi
: Ruang Komite Medik Rumkit Tk. II Dr. R. Hardjanto
Obyektif Presentasi
:
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Lansia
Dewasa
Bumil
Deskripsi : Pria, 72 tahun dating dengan keluhan nyeri pinggang dan sulit untuk BAK dan terkdang terasa nyeri. Tujuan :
Melatih keterampilan diagnosis dan tatalaksana pa sien dengan BPH dan ISK.
Menyikapi adanya hubungan kejadian ISK pada pasie n BPH.
Bahan Bahasan
:
Tinjauan Pustaka
Kasus
Riset
Audit
Diskusi
Presentasi dan diskusi
: Nama : Tn. M
Pendidikan
: SLTA
Umur : 72 Tahun
Pekerjaan
: Purnawirawan TNI-AD
Suku : Banjar
Status
: Menikah
Cara Membahas : Data Pasien
Email
Pos
Data Utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/gambaran klinis : Pasien mengeluhkan nyeri pinggang yang sebelumnya diawali keluhan tidak bisa BAK. Keluhan dirasakan sejak sekitar 1 bulan yang lalu dan berobat ke RS kemudian di pasang selang kencing. Setelah selang kencing dilepas, pasien masih tidak bisa kencing, kemudian pasien dirujuk. Pada awaln ya pasien mengeluhkan setiap kencing lama untuk memulai , harus mengedan, kencing menetes dan setelah kencing masih terasa bersisa. Nyeri saat kencing. Nyeri seperti ditusuk di perut bawah sampai selangkangan, berkurang setelah kencing. 2. Riwayat pengobatan :
Tidak ada obat yang rutin dikonsumsi
3. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat hipertensi (+)
4. Riwayat keluarga :
Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa
5. Riwayat pekerjaan : TNI-AD 6. Pemeriksaan Fisik : Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran
: Compos Mentis
Berat Badan
: 60 kg
Tinggi Badan
: 160 cm
IMT
: 23,33 kg/m2
Tekanan darah
: 160/100 mmHg
Frekuensi nadi
: 92 x/menit
Frekuensi napas : 18 x/menit Suhu
: 36,5oC.
Digital Rectal Examination :
Sekitar anus
: tidak tampak skin tag/ hemorrhoid
Mukosa rectum
: licin
Tonus sfingter ani
: normal
Prostat
: besar gr.IIII/IV, Konsistensi kenyal, Sulkus medianus menghilang, Pole atas tidak teraba Nodul (-), BCR normal
Handscoon
: darah (-), tinja (+) sedikit
IPSS
: 24
7. Pemeriksaan Penunjang : Hasil USG Traktus Urinarius
Kesan : Hyperplasia Prostat, Vol. Prostat 40 mL Penebalan dinding Buli-buli, permukaan irregular, Suspek CA, Buli-buli DD Cystitis Kronik. Daftar Pustaka :
1. Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia. Dalam: Campbell’s Urology, edisi ke-7. Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p. 1297-330, 1429-52.
2. Chatelain CH, Denis L, Foo JKT, et al. Recommendations of The International Scientific Committee: Evaluation and Treatment of Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) in older man. Dalam: Chatelain Ch, Denis L, Foo JKT. Khoury S, McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2000. p. 51935. 3. Lee C, Cockett A, Cussenot O, Griflith K, Isaac W, Shalken J. Regulation of Prostatic Growth. Dalam: Chatelain CH, Denis L, Foo KT, Khoury S, McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2001. p.79116. 4. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Jakarta. 2003. p. 15-35. 5. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan J inak, Diagnosis, dan Penanganan. Jakarta: 1999. p. 42-55. Hasil Pembelajaran : 1. Diagnosis BPH dan BSK
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi). Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan, disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis. Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi, yaitu : a. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra pubik, disuria, frekuensi, hematuri, dan urgensi, b. Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri punggung, muntah 2. Klasifikasi ISK
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu organisme.(1) Beberapa istilah yang sering digunakan dalam klinis mengenai infeksi saluran kemih : -
ISK uncomplicated (sederhana), yaitu infeksi saluran kemih pada pasien tanpa disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih.
-
ISK complicated (rumit), yaitu infeksi saluran kemih yang terjadi pada pasien yang menderita kelainan anatomis/ struktur saluran kemih , atau adanya penyakit sistemik. Kelainan ini menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika.
-
First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection, yaitu infeksi saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah sekurang – kurangnya 6 bulan bebes dari ISK.
-
Infeksi berulang, yaitu timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya dapat dibasmi dengan pemberian antibiotika pada infeksi yang pertama.
-
Asymtomatic significant bacteriuria (ASB), yaitu bakteriuria yang bermakna tanpa disertai gejala.
Infeksi saluran kemih (ISK) diklasifikasikan berdasarkan : 1. Anatomi a. Infeksi Saluran kemih (ISK) bawah, Presentasi klinis infeksi saluran kemih (ISK) bawah tergantung dari gender.
Perempuan Sistitis, adalah presentasi klinis infeksi saluran kemih disertai bakteriuria bermakna, adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril)
Laki – laki Presentasi ISK bawah pada laki – laki dapat berupa sistitis, prostatitis, epidimidis, dan uretritis.
b. ISK atas
Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Pielonefritis kronik (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih serta refluk vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik.
3. Komplikasi yang dapat terjadi pada ISK dan BPH
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH a ntara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat da ri obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi re fluks menyebabkan pyelonefritis. Sindroma TUR merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi periopratif maupun pasca operatif. Sindroma TUR adalah kumpulan tanda dan gejala yang terjadi pada penderita yang menjalani operasi TURP yang disebabkan karena penyerapan cairan irigasi dalam jumlah besar. Sindroma TUR dapat terjadi pada 2-10% operasi TURP dan masih dapat terjadi walaupun di tangan urolog yang sudah berpengalaman sekalipun. Sindroma TUR paling banyak terjadi pada pemakaian cairan irigasi yang hipotonik terutama bila yang dipakai adalah air steril. Karena penyerapan air dalam jumlah besar mudah menimbulkan hiponatremia dan hemolisis. Frekuensi sindroma TUR meningkat pada operasi yang lamanya lebih dari 90 menit, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sindroma TUR dapat terjadi pada operasi yang berlangsung dibawah 30 menit, pada prostat yang besarnya lebih dari 45 gram, dan bil a cairan irigasi yang dipakai 30 liter atau lebih. Dalam penanganan sindroma TUR, yang paling penting adalah diagnosa dini yang memerlukan kerja sama yang baik antara ahli bedah dan ahli anestesi. Diagnosa dini dari sindrom TUR dan penanganan yang tepat banyak menurunkan angka kema tian sindroma TUR ini. Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi saluran kemih antara lain batu saluran kemih, obstruksi salran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multisistem, gangguan fungsi ginjal. 4. Hubungan Kejadian ISK pada pasien dengan BPH
Penyakit BPH sebagai salah satu faktor risiko ter jadinya ISK. Perubahan anatomi dan fisiologi pada pasien BPH telah mendukung hipotesis bahwa BPH adalah faktor risiko terjadinya ISK. Adanya berbagai gangguan fisiologis prostat pada penderita BPH mengganggu aliran urin dan pertahanan tubuh untuk menyingkirkan kuman. Infeksi kuman penyebab mengganggu fungsi urotelium, mekanisme aliran urin dan sistem pertahanan tubuh yang lainnya. Keseimbangan antara faktor pertahan tubuh seperti urotelium, pH urin, osmolalitas urin dan lainnya memainkan peranan yang sangat penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi yang menyebabkan ISK. Hubungan antara Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dengan terjadinya infeksi saluran kemih dapat dibuktikan. Dimana dikatakan bahwa kedua variable ini berhubungan. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai hal ini harus dilakukan. Tingkat infeksi yang diterbitkan UTIs in the institutionalized geriatric population range pada populasi berkisar dari 12% sampai 30%. Perubahan anatomis dan fungsional yang terjadi pada populasi ini biasanya complicated (rumit) oleh karena adanya penyakit yang mendasari atau kronis. BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria dan terga ntung pada hormon testosteron dan produksi dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologi BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. Pembesaran prostat pada pasien BPH akan menyebabkan obstruksi pada saluran kemih . Selain itu pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua dan adanya obstruksi akibat BPH akan menyebabkan menurunnya kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi. Aliran urin mampu
membersihkan kuman yang ada di dalam urin. Gangguan dari mekanisme aliran urin ini akan menyebabkan kuman mudah sekali mengadakan replikasi dan menempel pada urotelium. Selain itu, terdapat berbagai perubahan daya tahan tubuh dan perubahan anatomi maupun fungsi pada sistem organ tubuh seorang usia lanjut yang dapat menjadi alasan kenapa seorang yang berusia lanjut lebih muda terkena infeksi dibandingkan usia muda. Perubahan yang terjadi tersebut salah satunya pada saluran kemih. Pada usia lanjut ginjal kurang mampu mengekskresikan asam dan urea dan gagal untuk mempertahankan osmolalitas normal. Padahal, derajat keasaman urin, osmolalitas, kandungan urea dan asam organik, serta protein-protein didalam urin bersifat bakterisidal.
5. Tatalaksana BPH sebagai terapi utama mencegah ISK pada pasien dengan BPH
Penatalaksanaan terhadap BPH dibagi menjadi watchful waiting, medikamentosa, minimal invasive, dan pembedahan (operatif). Hal ini dapat didasarkan pada skor IPSS yang didapatkan dari penderita. Watchful waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS <3). 1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia. 2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan). 3. Mengurangi kopi. 4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS. 5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi. Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif cepat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/ hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/ hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/ hari. Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi.
Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/ hari. Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan populer diberikan di Eropa dan baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.
Minimal invasive
Meliputi : 1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation) 2) Prostat Stent 3) Terapi Termal , dibagi menjadi tiga macam antara lain14: a. Hipertermi b. TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy) c. TUNA (Transurethral Needle Ablation)
Pembedahan (operatif)
Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami : -
inkontinensia uri
-
hematuria
-
retentio uri
-
infeksi saluran kemih berulang
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan : 1. Prostatektomi tertutup 2. Prostatektomi terbuka
a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate) b. TUIP (Trans Urethral Incision of the Prostate) c. TULP (Trans Urehral Laser Prostatectomy)
d. Prostatektomi Terbuka Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer) Prostatektomi retropubik (Terence Millin) Prostatektomi perinealis (Young) 6. Edukasi pasien dengan BPH untuk mencegah ISK
Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan). Mengurangi kopi. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS. Bila terjadi perburukan, segera diambil tindakan.