BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Kelenjar Prostat Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Prostat berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram.
Gambar 2.1. Anatomi Prostat Batas-batas prostat, yaitu: a.
Batas superior : basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain.
b.
Batas inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior.
c.
Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica (cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi vascia pelvis.
d.
Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan anterior ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis (fascia denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke bawah menuju corpus perinealis.
e.
Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m. levator ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus ejaculatorius menembus bagian atas permukaan prostat untuk bermuara pada uretra pars prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus.
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proksimal dari sfincter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Gambar 2.2. Zona pada Kelenjar Prostat
1.
Zona Anterior atau Ventral Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
2.
Zona Perifer Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.
3.
Zona Sentralis Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten terhadap inflamasi.
4.
Zona Transisional Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).
5.
Kelenjar-Kelenjar Periuretra Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.
Prostat secara tidak sempurna terbagi menjadi lima lobus. Lobus anterior terletak didepan urethra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius atau lobus medianus adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak diantara urethra dan ductus ejaculatorius. Permukaan atas lobus medius berhubungan dengan trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak dibelakang urethra dan dibawah ductus ejaculatorius, juga mengandung kelenjar. Lobi prostat dexter dan sinister terletak di samping urethra dan dipisahkan satu dengan yang lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostat. Lobi lateralis mengandung banyak kelenjar.
Vaskularisasi Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari A. Vesikalis Inferior (cabang dari A. iliaca interna), A. hemoroidalis media (cabang dari A. mesenterium inferior), dan A. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Pembuluh ini bercabang-cabang dalam kapsula dan stroma, dan berakhir sebagai jala-jala kapiler yang berkembang baik dalam lamina propria. Pembuluh vena mengikuti jalannya arteri dan bermuara ke plexus venosus prostaticus, yang terletak diantara capsula prostatica dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menampung darah dari vena dorsalis profunda penis dan sejumlah venae vesicalis, selanjutnya bermuara ke vena iliaca interna.
Kelenjar Limfe Pembuluh limfe mulai sebagai kapiler dalam stroma dan mengikuti pembuluh darah. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaca interna dan nodus sacralis.
Persarafan Persarafan prostat berasal dari plexus hipogastrikus inferior dan membentuk plexus prostatikus. Prostat mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel- sel otot polos di stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah. Saraf simpatis merangsang otot polos prostat saat ejakulasi.
2.2. Fisiologi Kelenjar Prostat Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam
(6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. Kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 4680% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormone testosterone, yang di dalam sel kelenjar prostat, hormon ini dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron ( DHT ) dengan bantuan enzim 5α-reduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan dan proliferasi sel kelenjar prostat.
2.3. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 2.3.1 Definisi BPH adalah suatu pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau semua komponen dari prostat yang meliputi jaringan
dari
kelenjar
maupun
jaringan
fibromuskuler
yang
menyebabkan terjadinya penyumbatan uretra prostat dan bersifat tidak ganas.
2.3.2 Epidemiologi BPH mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia prostat. Prevalensi pemeriksaan BPH secara histologi pada
studi autopsy dikatakan meningkat dari kira-kira 20% pada laki-laki usia 41-50 tahun, hingga 50% pada laki-laki usia 51-60, sampai >90% pada laki-laki yang berusia lebih dari 80 tahun. meskipun bukti klinis penyakit ini jarang muncul, gejala obstruksi prostat sangat bergantung usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% laki-laki melaporkan gejala obstruksi saat berkemih. Pada usia 75 tahun, 50% laki-laki mengeluhkan penurunan pada kekuatan aliran urin.
2.3.3 Etiologi Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak
adalah
:
(1)
Teori
Dihidrotestosteron,
(2)
Adanya
ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel.
1. Teori Dihidrotestosteron (DHT) Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH
lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3. Interaksi stroma epitel Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma
mensintesis
suatu
growth
factor
yang
selanjutnya
mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma. 5
4. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis) Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan
pertambahan massa prostat. Diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.1
5. Teori stem cell Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
2.3.4 Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin
meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin (Lepor,2004). Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli- buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesicoureter.Keadaan ini jika berlangsung
terus
akan
mengakibatkan
hidroureter,
hidronefrosis,bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Presti et al, 2013). Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Presti et al, 2013; Lepor, 2004).
2.3.5 Manifestasi Klinik Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Beberapa gejala obstruktif adalah: a.
Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
b.
Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
c.
Miksi terputus (Intermittency)
d.
Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
e.
Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying). Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu, volume kelenjar periuretral, elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat dan kekuatan kontraksi otot detrusor.Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis (Presti et al, 2013). Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah: a.
Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
b.
Nokturia
c.
Miksi sulit ditahan (Urgency)
d.
Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut
nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra . Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (overflow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretradan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi (Roehrborn, 2013). Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis (Roehrborn, 2013).
2.3.6 Diagnosis Anamnesis Anamnesis dilakukan untuk gejala LUTS pada BPH dapat ditentukan dengan sistem skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS)
yang termasuk di dalamnya rasa kencing yang tidak puas, frekuensi, intermitensi, urgensi, pancaran urin lemah, hesitansi dan nokturia (Longo et al, 2012). Menurut IPSS keparahan LUTS dibagi dalam derajat ringan, sedang dan berat. Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan, diantara 8 – 19 derajat sedang, sedangkan nilai 20– 35 termasuk derajat berat (Presti et al, 2013)
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan
tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan (Homma et al,2011): a.
Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal) b.
Adakah asimetris
c.
Adakah nodul pada prostate
d.
Apakah batas atas dapat diraba
e.
Sulcus medianus prostate
f.
Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Gambar 2.3. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian
atas
kadang-kadang
ginjal
dapat
teraba
dan
apabila
sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk
mengetahui adanya hernia (Andriole, 2011). Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis (Andriole, 2011).
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan
laboratorium
yang
biasanya
dilakukan
adalah
uroflowmetri dan tes prostate-specific antigen (PSA). Uroflowmetri merupakan teknik urodinamik untuk menilai uropati obstruktif dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi. Apabila flow rate < 15 mL/sec, ini menandakan obstruksi, dan apabila postvoid residual volume > 100 mL, ini menandakan retensi. Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan (Roehrborn, 2013). Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) dapat dilihat dengan pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams- Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur (Homma et al,2011). Tes Prostate-Specific Antigen menghitung PSA di dalam darah pasien. Tes ini digunakan untuk mendiagnosa BPH dan karsinoma prostat.
Direkomendasikan untuk laki-laki diantara 40 - 50 tahun yang punya risiko tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-an didapatkan kadar serum PSA daripada BPH adalah 0.30 ng/mL per gram jaringan dan 3.5 ng/mL per cm3 dari jaringan kanker. Volume prostat dan kadar serum serum PSA mempunyai korelasi signifikan dan meningkat dengan pertambahan usia. Kadar PSA meningkat secara moderate dalam 30 hingga 50% pasien BPH, tergentung besarnya prostat dan derajat obstruksi, dan PSA juga meningkat bagi 25 hingga 92% pasien dengan carcinoma prostat, tergantung volume tumor tersebut (Roehrborn, 2013). Pemeriksaan Volume Residu Urin dapat dilihat dengan volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG (Homma et al,2011).
Pemeriksaan Penunjang A. Foto polos abdomen (BNO) Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat (Burnicardi, 2010). B. Pielografi Intravena (IVP) Pemeriksaan ini untuk melihat adanya obstruksi pada
traktus
urinarius.Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanyatrabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli – buli. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin (Burnicardi, 2010). C. Sistogram retrograd Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. D. Transrektal Ultrasonografi (TRUS) Dalam prosedur ini, probe dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada layar tampilan. Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume kandung kemih, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostate untuk menentukan jenis terapi yang tepat (Andriole, 2011). E. Sistoskopi Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang. Tabung, disebut sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.
2.3.7 Diagnosis Banding Kondisi obstruksi saluran kemih bawah, yang menyebabkan resistensi uretra meningkat disebabkan oleh penyakit seperti hyperplasia prostat jinak atau ganas, atau kelainan yang menyumbatkan uretra seperti uretralitiasis, urethritis akut atau kronik, striktur urethra, atau kekakuan leher kandung kemih yang mengalami fibrosis, batu saluran kemih, prostatitis akut atau kronis dan carcinoma prostat merupakan antara diagnosa banding apabila mendiagnosa pasien BPH. Kandung kemih
neuropati, yang disebabkan oleh kelainan neurologik, neuropati perifer, diabetes mellitus, dan alkoholisme menjadi antara diagnose banding BPH.
Obstruksi
fungsional
seperti
disenergi
detrusor-sfingter
terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter juga merupakan diagnose banding BPH (Deters, 2014).
2.3.8 Tatalaksana Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi
saja.
Namun
diantara
mereka
akhirnya
ada
yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah. Tujuan terapi pada pasien hyperplasia prostat adalah 1)
Memperbaiki keluhan miksi
2)
Meningkatkan kualitas hidup
3)
Mengurangi obstruksi infravesika
4)
Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal
5)
Mengurangi volume residu urine setelah miksi
6)
Mencegah progresifitas penyakit
OBSERVASI
MEDIKAMENTOSA
OPERASI
Menunggu (watchful waiting)
Penghambat adrenergik-α Penghambat reduktase-α Fitofarmaka Hormonal
Prostatektomi terbuka Endourologi: TURP TUIP TULP Elektrovaporasi
INVASIF MINIMAL TUMT TUBD Stent Uretra TUNA
Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan pada umumnya tidak ada terapi hanya watchful & waiting dan dilakukan kontrol saja. Nilai IPSS diantara 8 – 18 derajat sedang dilakukan terapi medikamentosa, sedangkan nilai 19 – 35 termasuk derajat berat diperlukan operasi
prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi reseksi transuretral (Transurethral Resection of the Prostate) (Singodimedjo, 2000). Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau terdapat BPH dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross hematuria rekuren, batu vesika urinaria rekuren, infeksi saluran kemih yang rekuren dan insufisiensi renal rekuren (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010). Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the Prostate (TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan konservatif. TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7% kasus-kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH. (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan
tindakan,
yaitu
observasi
(watchful
&
waiting),
medikamentosa, tindakan operatif dan tindakan invasif minimal. 1. Observasi (Watchful waiting) Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah (Presti et al, 2013). Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya; a.
Jangan mengkonsumsi alkohol setelah makan malam
b.
Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat)
c.
Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
d.
Kurangi makanan pedas dan asin
e.
Jangan menahan kencing terlalu lama
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obat penghambat adrenergik-α (adrenergik αbloker), mengurangi volume prostat sebagai komponen static
dengan
cara
menurunkan
kadar
hormon
testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5αreduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai obat golongan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas. Antagonis reseptor adrenergik-α Pengobatan
dengan
antagonis
adrenergik
α
bertujuan
menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju
pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural
dan
menyebabkan
penyulit
lain
pada
sistem
kardiovaskuler (Presti et al, 2013). Diketemukannya obat antagonis adrenergik α1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-α2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat antagonis adrenergik α1 yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek (short acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari. Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada buktibukti terjadinya intoleransi sampai pemberian 6- 12 bulan (Marks, 2007). Dibandingkan dengan inhibitor 5-α reduktase, golongan antagonis adrenergik-α lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urin. Dibuktikan
pula
bahwa
pemberian
kombinasi
antagonis
adrenergik-α dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan
pemberian
antagonis
adrenergik-α
saja.
Sebelum
pemberian antagonis adrenergik-α tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-α reductase (Marks, 2007). Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan (Presti et al, 2013). Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian
doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin atau plasebo (Lepor, 2007). Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovaskuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis adrenergik α yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-α1A. Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0- 1%13,32. Lepor (2007) menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-α tergantung pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul pada sistem kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik-α1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun. Inhibitor 5-α redukstase Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
pembentukan
dihidrotestosteron
(DHT)
dari
testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5-α redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu
menurunkan
ukuran
prostat
hingga
20-30%,
meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaran urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat
menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and wait”. Fitoterapi Kelompok
kemoterapi
pada
umumnya
telah
mempunyai
informasi farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi dan disebut demikian karena berasal dari tumbuhan (Presti et al, 2013). Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang. Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy” (Presti et al, 2013). Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat menghambat aktifitas enzim 5-α reduktase dan memblokir reseptor androgen atau bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.
3. Tindakan Operatif Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang:
Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa
Mengalami retensi urin
Infeksi saluran kemih berulang
Hematuria
Gagal ginjal
Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah.
Transurethral resection of the Prostate (TURP) TURP merupakan reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif, namun bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi (Rahardjo, 1999).
Gambar 2.4. Transurethral resection of the Prostate
Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TURP. Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra
dengan mempergunakan cairan
irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades) (Rahardjo, 1999; Presti et al, 2013). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relative atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Disamping itu operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain
selain
H2O
yaitu
glisin
dapat
mengurangi
resiko
hiponatremiapada TURP, tetapi harganya cukup mahal. Pada hyperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP
(transurethral incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI (bladder neck incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan pengukuran kadar PSA.
b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP) Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau insisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yang dipakai pada TURP tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat (Presti et al, 2013).
c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy) Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TURP) untuk mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan. (Roehrborn, 2013). Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan popcorn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi
lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 424 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TURP. Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih sama. Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan tindakan TURP karena kesehatannya.
4. Tindakan Invasif Minimal a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT) Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan gelombang
mikro
(microwave)
yaitu
dengan
gelombang
ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam.
Dengan cara pengobatan ini dengan mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil perbaikan kira-kira 70-80% pada symptom obyektif dan kira-kira 50-60% perbaikan pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang berada pada leher vesika dan prostat. Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperature pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mukosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang (Loughlin et al,2011).
Gambar 2.5. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD) Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar, kapsul prostat diregangkan, tonus otot polos prostat dihilangkan dengan
penekanan tersebut dan reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak (Presti et al,2013; Loughlin et al,2011). c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA) Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan (Muruve et al, 2012)
Gambar 2.6. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal d. Stent Urethra Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan
endoskopi
atau
bimbingan
pencitraan.
Untuk
memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif
sementara
apabila
kondisi
penderita
belum
memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars prostatika dengan kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon sampai mesh logam tersebut melekat pada dinding uretra (Presti et al,2013).
Gambar 2.7. Intra-Prostatic Stent
Kontrol berkala Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu control secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal control tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchful waiting) dianjurkan control setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri dan residu urine pasca miksi. Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian setiap satu tahun untuk menilai perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan penghambat
5α-adrenergik
harus
dinilai
respons
terhadap
pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri dan residu urin pasca miksi. Kalau terjadi
perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda perbaikan perlu dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain. Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin.
Watchfull & waiting Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5α-reduktase Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5α-adrenegik Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
Terapi invasive minimal Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
Pembedahan Paling
lambat
6
minggu
kemungkinan penyulit.
pasca
operasi
untuk
mengetahui
2.3.9 Komplikasi Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut (Deters, 2014; Andriole,2011): a.
Inkontinensia
b.
Batu Kandung Kemih
c.
Hematuria
d.
Sistitis
e.
Pielonefritis
f.
Retensi Urin Akut Atau Kronik
g.
Refluks Vesiko-Ureter
h.
Gagal Ginjal
2.3.10 Prognosis Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.
BAB III KESIMPULAN Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksidan gejala iritatif. Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubahubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.