1 " Page
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial
Disampaikan dalam diskusi sabtuan di Cak Tarno Institut 31- 07 - 2010
Abna & Sulaiman, Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat "Masukan Dalam Lokakarya Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (Lkaam) Sumatera Barat Padang 2007
FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. Roma: Food and Agriculture Organization
Affandi Oding, Alfonsus, Harianja 2008 Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD) and International Tropical Timber Organization (ITTO)
Saptomo Ade Berjenjang Naik Bertangga Turun: Sebuah Kajian Antropologi Hukum tentang Proses Penyelesaian Sengketa Tanah di Minangkabau, Tesis 2. Jakarta: PPs UI (1995).
Taufik Rahman, Memulai Bisnis Sawit di Tanah Papua Lingkar Studi CSR Jakarta, Lingkar Studi CSR www.csrindonesia.com 19 Juli 2007.
Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan "Papua Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari" Max J. Tokede, dkk (Dede Wiliam, Widodo, Yosias Gandhi, Christian Imburi, Patriahadi, Jonni Marwa, Martha Ch. Yufuai,) CIFOR 2005.
Benny Ngalo Hak Atas Tanah : Luka Sejarah Anak Suku Pedalaman "Sebuah Catatan Masyarakat Adat di Indonesia Timur" Wacana No. 10/ September - Oktober 1997
Kristianto Laporan Magang Sylva Indonesia "Pendidikan dan Pembinaan Organis Melalui Metode Magang Konservasi dan Community Forestry (Pola Kolaboratif) di Kawasan Konservasi" Manokwari 2004
Pola Kepemilikan Komunal dalam
Kebijakan Redistribusi Lahan di Indonesia
Oleh :
D. Kristianto
Pengantar
Di Indonesia terdapat perbedaan mengenai pola atau sistem kepemilikan tanah antara di pulau Jawa dengan daerah-daerah lain seperti pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua serta pulau-pulau lainya.
Pada masyarakat pulau Jawa, tanah dahulunya dimiliki oleh Kerajaan, sementara masyarakat hanya diberikan hak untuk memanfaatkannya. Pengaruh hukum Belanda pada masa penjajahan telah berdampak pada model kepemilikan, sehingga selain dikuasai raja-raja lahan juga dimiliki secara personal. Pada tahun 1811 di pulau Jawa pernah melakukan pendataan tanah oleh pemerintahan Belanda, hal tersebut memberikan kemudahan untuk melakukan pendataan tanah. Sementara untuk di luar Pulau Jawa kepemilikan lahan dimiliki secara komunal oleh suku, klan, atau komunitas pedesaan kecuali untuk tanah tempat tinggal. Dalam sistem ini tidak dikenal kepemilikan secara porsonal, dalam pengelolaan dan pengaturanya berada di tangan kepala suku atau sesepuh di suatu kampung.
Untuk mencari model redistribusi lahan yang sesuai dengan pola kepemilikan komunal di Indonesia maka dalam tulisan ini akan disampaikan tentang pola-pola kepemilikan lahan dari berbagai daerah di Indonesia. Sebelumnya akan disampaikan tentang sejarah perjalanan pengelolaan agraria di Indonesia sebagai fondasi untuk memahami latar belakang lahirnya berbagai kebijakan pengelolaan agraria serta pengaruh-pengaruh asing yang mengkooptasi kebijakan agraria khusunya tanah di Indonesia selain itu juga akan disampaiakan bagaimana Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat karena berbicara kepemilikan komunal kita tidak bisa lepas dari keberadaan tanah Ulayat dan Hukum Adat yang berkembang pada masyarakat Indonesia.
3.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Agraria di Indonesia
Sejarah pengelolaan agraria pada masa pra kolonial tidak banyak data yang bisa mengambarkan pengelolaan agraria pada masa itu. Hal tersebut karena sebagian besar studi historis umunya hanya terpusat pada pengelolaan yang dilakukan oleh "istana" bukan pada konteks masyarakat pedesaan sehingga permasalahan tanah hanya disinggung sepanjang hal itu berkaitan dengan pengelolaan kerajaan. (Wiradi 2000, p.117).
Pada akhir kejayaan Kerajaan Mataram penguasaan tanah oleh pejabat terutama dibagi atas dasar appanage dimana bentuk penguasaanya diberikan kepada para pejabat sebagai hadiah dengan syarat memberikan upeti pada Penguasa pusat yaitu kerajaan Mataram (Martono, 1968:94 dalam Wiradi 2000). Masuknya Belanda (VOC) pada tahun 1677 ketika mataram jadi daerah protektorat VOC ada perubahan peranan pejabat dalam penguasaan tanah dimana Belanda berperan menjadi perantara antara pejabat daerah dengan raja dalam penyerahan hasil bumi dari rakyat. Disini awal pemungutan pemungutan hasil bumi secara langsung oleh Belanda dengan mempengaruhi pejabat daerah untuk menyerahkan upeti pada VOC (W.F. Wertheim, 1959; 48 dalam Wiradi 2000, p.121).
Wiradi (2000) dalam bukunya membagi sejarah perjalanan agraria di Indonesia dalam beberapa tonggak sejarah antara lain:
Tonggak Pertama:1811
Dalam mendorong kebijakan pengelolaan agraria Raffles melakukan kajian ilmiah pada tahun 1811. Hasilnya dikenal dengan Teori Domain dimana hasil dari kajian tersebut disimpulkan oleh Raffles bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Tujuan Raffles dengan teori domainya tidak lepas dari keinginan dia untuk menerapkan sistem penarikan pajak bumi seperti apa yang dilakukan oleh Inggris di India. Maka dengan hasil penelitianya tersebut dibuatlah sistem penerikan pajak bumi dimana setiap petani diwajibkan untuk membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapanya.Teori ini berpengaruh terhadap politik agraria selama sebagian besar abad ke-19.
Tonggak Kedua: 1830
Ketika kepemimpinan VOC di pegang oleh Van den Bosch dia menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel), dengan dasar teori Raffles. Hasilnya cukup melimpah baik penerimaan pajak maupun dari keuntungan lain bagi pemerintah Belanda sehingga menimbulkan kecemburuan bagi pemilik modal swasta di negeri Belanda.
Tonggak Ketiga: 1848.
Melihat hasil yang didapat pemerintah Belanda dengan penerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) kaum liberal pemilik modal menentang Cultuurstelsel. Meraka mengunakan wakil-wakil mereka dalam Parlemen (Belanda) menuntut untuk turut bercampurtangan pada pengelolaan tanah jajahan. Tuntutan mereka melalui parlemen antara lain : a). Agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom), untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan. Sebab, tanah di bawah hak komunal ataupun kekuasaan adat, tidak dapat dijual atau disewakan keluar, dan b). Agar dengan asas domain itu, pemerintah memberikan hak kepada swasta untuk dapat menyewa dalam jangka panjang dan murah.
Untuk itu pada tahun 1865 menteri Penjajahan Frans van de Putte mengajukan RUU yang berisi memberikan hak Erfpacht (hak untuk menyewa dengan biaya murah dalam jangka panjang) dan mengakui hak pribumi akan lahan menjadi hak milik mutlak (eigendom) serta tanah komunal diakui menjadi milik pribadi/perorangan. RUU tersebut ternyata ditolak oleh parlemen.
Tonggak Keempat:1870
Pada masa ini merupakan tonggak sejarah yang paling penting dalam pengelolaan agraria khusunya lahan di wilayah nusantara/Hindia Belanda (Indonesia). Karena RUU yang diusulkan oleh Menteri Penjajah yang baru yaitu de Waal disyahkan oleh parlemen. Salah satu keputusan penting yang lain ialah apa yang dikenal dengan Agrarisch Besluit yang memuat pernyataan penting yang dikenal dengan Domain Verklaring, yang menyatakan bahwa, "...semua tanah yang tidak terbukti bahwa tanah itu ada hak milik mutlak(eigendom), ialah domain negara." (domian negara artinya milik mutlak negara).
Undang-undang Agraria tahun 1870 hanya sukses memberikan kesempatan yang luas bagi modal swasta asing tapi tujuan melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Hindia Belanda (Indonesia) asli ternyata tidak terwujud bahkan jauh dari harapan. Salah satu penyebabnya karena sikap para raja atau sultan baik di Jawa atau di Luar Jawa yang tergiur memberikan konsesi kepada para pengusaha swata asing. Bool dalam Praptodiharjo, 1953;135 dalam tulisanya berjudul, DeLand bouwconcessies in de Residentie Oostkust van Sumatera, menyampaikan : "keseluruhan sistem itu, .... adalah hasil kelalaian para sultan pada waktu pertama memberikan konsesi; mereka tidak menjamin ketersediaan tanah untuk rakyatnya, tetapi memberikan begitu saja tanah-tanah yang luasnya tidak terbatas" (Wiradi 2000).
Berbagai kritik terhadap kondisi tersebut terus berlangsung, gugatan van Kol sebagai perlemen yang pernah bekerja di Hindia Belanda (Indonesia) yang intinya menyampaikan bahwa kemiskinan yang terjadi di Hindia Belanda (Indonesia) itu lebih disebabkan karena kebijakan pemerintah Belanda sehingga untuk menebus kesalahanya itu pemerintah Belanda melakukan berbagai penelitian yang kemudian melahirkan kebijakan "Politik Etis" dengan tokoh utama van Deventer. Oprasionalisai dari "Politik Etis"adalah Pemerintah Belanda memperbaiki keadaan dengan program irigasi, reboisasi, transmigrasi, sistem perkreditan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Meski di berbagai wilayah program tersebut dirasakan tetapi sayangnya belum mampu mentransformasi masyarakat pedesaan secara fundamental.
Tonggak Kelima :1960
Semangat revolosi yang melahirkan kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan telah memberikan landasan para pemimpin republik ini untuk mengisi kemerdekaan dengan menjalankan cita-cita luhur berbangsa dan bernegara yaitu menghadirkan masyarakat yang adil dan makmur dalam bingkai NKRI. Berangkat dari hal tersebut maka para pendiri Republik ini telah menyadari bahwa (sesuai dengan semangat hasil belajar dari berbagai negara maju), suatu program pembangunan, terutama yang memiliki hak rakyat banyak, perlu dilandasi dulu dengan "penataan kembali masalah pertanahan", sebelum menjangkau industrialisasi.
Setelah meraih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustua 1945 baru pada tanggal 24 September 1960 Bangsa Indonesa baru memiliki Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan UUPA. Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia sebenarnya telah mulai memparhatikan masalah agraria, dengan tujuan merancang pengelolaan sumber daya agraria yang berkeadilan dan berpihak pada kepentingan seluruh rakyat Indonesia maka dibentuklah panitia yang menyusun kebijakan agraria mulai dari Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta(1951), Paniti Suwahjo (1956), Ranvangan Sunarjo (1968), dan akhirnya rancangan Sujarwo (1960). Setelah disyahknya UUPA maka semua pereturan hukum Agraria yang bersumber dari Agrarische Wet 1870 tidak berlaku.
Masa Orde Baru.
Pada masa Orde Baru kebijakan pembangunan khusunya tentang agraria sangat jauh dari apa yang disusun dan disiapkan oleh Orla. UUPA 1060 sama sekali tidak diterapkan bahkan di peti es-kan. Strategi pembangunan yang tidak menempatkan masalah agraria sebagai dasar pembangunan disebabkan karena: a). Orde baru berangkapan bahwa stabilitas adalah faktor penting sementara pangan merupakan faktor strategis untuk menangkal keresahan, b). Revolusi Hijau yang lahir pada masa Orde Baru sangat mempengaruhi kebijakan pembangunan masa Orde Baru dimana kebijakan tentang pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan jalan prakmatis yaitu menerapkan Revolusi Hijau dan masalah pertanahan seolah hilang dari ingatan, c). Adanya stigma trauma politik yaitu peristiwa G30S PKI karena adanya prasangka bahwa UUPA 1960 adalah produk PKI.
Adanya konflik/sengketa pertanahan di Jawa dan Sumatera telah memberikan kesadaran kepada pemerintah Orde Baru sehingga lewat berbagai kajian pada tahun 1979 pemerintah menyatakan bahwa UUPA 1960 tetap sah menjadi panduan dasar dalam menyelesaikan persoalan pertanahan. Sehingga kepada Menteri Dalam Negeri kemudian dibebankan untuk melaksankan "Catur Tertip Pertanahan" dan pada tahun 1979 dibentuk Panitia Nasional Agraria yang diketua oleh Menpan untuk mengkoordinasikan peraturan-peraturan pertanahan.
Tapi pada kenyataanya meski UUPA 1960 masih diakui sebagi sumber hukum oleh pemerintahan Orde Baru terkait dengan peyelesaian masalah agraria tapi kebijakan agraria tidak sesuai isi UUPA 1960. Sehingga program land reform masih hanya sebagai isu politis saja, tanpa ada realisasinya.
Pasca reformasi permasalahan agraria yang semakin rumit karena tidak dijalankan UUPA 1960 disadari oleh banyak pihak hingga pada tahun 2001 keluarlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia NOMOR IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Isi dari TAP MPR NOMOR IX/MPR/2001 adalah: 1). Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti, 2). Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3.2. Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat
Istilah Dan Pengertian Tanah Negara
Dalam Abna & Sulaiman (2007) Istilah dan pengertian tanah negara ditemukan dalam PP No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara, Pasal 1 huruf a. tanah negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. Menurut Pasal 2, Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada pada Menteri Dalam Negeri.
Sementara dalam UUPA 1960 sebagai sumber hukum dalam pengelolaan sumber-sumber agraria justru tidak ditemukan istilah tanah negara. UUPA 1960 hanya menyampaikan khusunya Pasal 2. UUPA :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Sedangkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 angka 3 tentang Pendaftaran Tanah. Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Dari redaksi Abna & Sulaiman (2007) tersebut mencoba mempertanyaan, apakah memang ada tanah yang di atasnya tidak melekat suatu hak tertentu, setidak-tidaknya pada suatu bidang tanah tententu akan melekat hak ulayat dari masyarakat hukum adat.
Sementara kalau kita mengacu pada ketentuan UUD 1945 terdapat kerancuan pada istilah "dikuasai oleh negara" antara Pasal 33 ayat 2 dengan Pasal 33 ayat 3. Menurut Pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Istilah dikuasai oleh negara dalam pasal ini berarti dimiliki dan dikelola oleh negara secara langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN. Sementara makna "dikuasai oleh negara" dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dijelaskan oleh Pasal 2 UUPA, sebagai "Hak Menguasai Negara", yang sesuai dengan penjelasan Umum UUPA, istilah "dikuasai" dalam pasal ini tidak berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu.
Menurut Abna & Sulaiman (2007) kerancuan terhadap pemahaman makna "dikuasai oleh negara" seperti yang dimuat dalam UUD 45 dan UUPA itu, sering timbul salah faham bagi para penyelenggara negara, yang memandang bahwa hak menguasai negara atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi yang diurus oleh Badan Usaha Milik Negara, yakni diartikan sebagai milik negara, yang kemudian disebut dengan istilah tanah negara.
Tanah Ulayat dan Hak Ulayat
Berbicara tentang pengelolaan sumberdaya agraria khusunya lahan dangan kepemilikan komunal, hal yang tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tersebut adalah bagaimana posisi Tanah Ulayat dan Hak Ulayat ditinjau dari kebijakan pengelolaan agraria dan berbagai masalahnya?
Tanah menurut Abna & Sulaiman (2007) dalam makna hukum adalah bagian dari dan melengket pada permukaan bumi. Untuk kehidupannya manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum dapat melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan, karena tanah merupakan : a). tempat untuk mencari kebutuhan hidup manusia, seperti tempat berburu, memungut hasil hutan, areal pertanian, peternakan, pertambangan, industri, dsb, b). tempat berdirinya persekutuan hukum adat, kabupaten/kota. Propinsi dan negara serta merupakan tempat tinggal dan tempat mencari kehidupan warganya, c). harta kekayaan yang sangat berharga yang bersifat tetap, karena tanah walau apapun yang terjadi padanya tidak akan mengalami perubahan, d). salah satu alat pemersatu persekutuan, bangsa dan negara, e). harga diri dari suatu persekutuan, bangsa dan negara serta warganya, f). tempat dikebumikannya warga yang telah meninggal, g). tempat bermukimnya roh-roh pelindung persekutuan.
Sedangkan Hak menurut Abna & Sulaiman (2007) berasal dari bahasa Arab yang artinya benar atau kebenaran. Dalam bahasa hukum dewasa ini istilah hak dipadankan dengan istilah recht (Belanda) dan right (Inggris). Hak adalah kekuasaan yang dilindungi dan diberikan oleh hukum kepada subyek hukum (manusia dan badan hukum) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap obyek hukum tertentu (benda) atau untuk meminta, termasuk menuntut, subyek hukum lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian terdapat dua macam hak, yaitu hak subyek hukum terhadap obyek hukum (zakelijk recht), seperti kekuasaan orang terhadap tanah, rumah dan pakaian yang dimilikinya dan hak subyek hukum terhadap subyek hukum lain (persoonlijk recht) seperti hak anak terhadap ayah, buruh terhadap majikan, dsb
Dari penjelasan tersebut diatas Abna & Sulaiman (2007) memberikan penjelasan tentang apa itu Hak Ulayat. Pada awalnya manusia sebagai makhluk sosial hidup secara nomaden dengan berpindah-pindah dalam suatu kawasan tertentu secara melingkar. Mereka mengembara secara berkelompok, tergantung pada ketersediaan bahan makanan. Bila bahan makanan di utara habis, mereka bergerak ke timur, terus ke selatan dan barat. Bila di utara telah berbuah lagi mereka kembali ke utara. Pada setiap tempat yang dilalui, mereka selalu memberi tanda dan mengawasi wilayah itu, sehingga orang atau kelompok lain tidak diperkenankan lagi memasuki wilayah itu tanpa izin kelompok mereka.
Pada saat mereka masih mengembara itu, baru ada dan terjalin hubungan yang bersifat religio-magis antara kelompok dengan tanah-tanah dalam wilayah pengembaraan. Masing-masing anggota kelompok merasa berhak secara bersama dengan warga kelompoknya yang lain terhadap semua bidang tanah dalam wilayah itu. Saat itu belum ada hak perseorangan dari anggota tertentu terhadap bidang tanah tertentu, yang ada hanya hak kelompok/persekutuan.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut 'beschikkingsrecht'. Istilah ini dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertain yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) istilah yang dipergunakan semuanya pengertiannya adalah lingkungan kekuasaan, sedangkan 'beschickkingsrecht' itu menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah "hak ulayat" sebagai terjemahannya "beschikkingsrecht". Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah a.l. 'patuanan' (Ambon), 'panyampeto' (Kalimantan), 'wewengkon' (Jawa), 'prabumian' (Bali), 'pawatasan' (Kalimantan), 'totabuan' (Bolaang Mangondow), 'limpo' (Sulawesi Selatan), 'nuru' (Buru), 'ulayat' (Minangkabau). (Surojo Wignjodipuro dalam Abna & Sulaiman 2007)
Wignjodipuro dalam Abna & Sulaiman (2007) menyampaikan bahwa istilah wilayat pada masyarakat Minangkabau awalnya digunakan tersebut bersumber dari bahasa Arab 'wilayatun', artinya suatu areal yang cukup luas yang dikuasai oleh sekelompok orang yang merupakan persekutuan, baik genealogis maupun teritorial. Sebelum masuk Islam, sesuai dengan pepatah adat, "tanah nan sabingkah, ilalang nan saalai, capo nan sabatang pangulu nan punyo" istilah yang digunakan adalah "punyo" kami, yang berasal dari kata "mpu" artinya pengurus dan "nyo" artinya "nya", jadi "yang mengurusny"'. Sebagai hak dari suatu persekutuan, hak ulayat itu merupakan hak yang terletak di lapangan hukum publik yang berisi :
kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peruntukan, persediaan dan pencadangan semua bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (kewenangan menetapkan masterplan);
kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan menentukan hubungan hukum antara warga persekutuan dengan bidang tanah tertentu dalam wilayah persekutuan (kewenangan pemberian izin / hak atas tanah)
kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur hubungan hukum antar warga persekutuan atau antara warga persekutuan dengan orang luar persekutuan berkenaan dengan bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (izin-izin transaksi yang berhubungan dengan tanah)
Abna & Sulaiman (2007) menjelaskan bahwa Tanah Ulayat adalah suatu bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat. Menurutnya untuk menentukan apakah suatu bidang tanah tertentu adalah tanah ulayat atau bukan, pertama-tama kita harus memperhatikan apakah ada persekutuan hukum adat yang berkuasa atas tanah itu. Persekutuan hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat, namun persekutuan hukum adat bukanlah sekedar sekelompok orang yang berkumpul saja. Persekutuan hukum adat adalah sekelompok orang ( lelaki, perempuan, besar, kecil, tua, muda, termasuk yang akan lahir) yang merasa sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik karena faktor genealogis, teritorial maupun kepentingan, mempunyai struktur organisasi yang jelas, mempunyai pimpinan, mempunyai harta kekekayaan yang disendirikan, baik berujud maupun yang tak berujud.
Abna & Sulaiman (2007) membagi tiga bentuk persekutuan hukum adat, yakni :
genealogis, seperti suku dan paruik di Minangkabau, marga di Tanah Batak, Klebu di Kerinci;
teritorial seperti desa di Jawa dan Bali, dusun dan marga di Sumatera Selatan, dan
genealogis teritorial, seperti nagari di Minangkabau.
Abna & Sulaiman (2007) menyimpulkan bahwa Negara Indonesia yang terbentuk dari bersatunya masyarakat hukum adat (adatrecht gemeenschap) menjadi wilayah hukum adat (adat recht kringen), dapat dipandang sebagai suatu masyarakat hukum juga, sehingga hak negara atas seluruh wilayah negara yang sekarang disebut dengan "hak menguasai negara" dapat disebut sebagai hak ulayat negara dan seluruh tanah dalam teritorial Indonesia disebut dengan istilah tanah ulayat negara. Isi dari hak ulayat masyarakat hukum adat seperti telah diuraikan di atas identik dengan isi hak menguasai negara seperti dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Hal tersebut didasrkan pada Pasal 5 UUPA, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Di dalam hukum tanah adat, berlaku sistem hak atas tanah yang berlapis. Telah dikemukakan di depan bahwa pada waktu masih nomaden, yang ada baru hak persekutuan terhadap tanah, hak perseorangan baru muncul setelah masyarakat mulai menetap dengan ditemukannya pertanian dan pemukiman. Setelah orang mulai menetap, maka setiap warga persekutuan mempunyai hak terhadap tanah ulayat sebagai berikut :
Memungut hasil hutan dan menangkap binatang liar termasuk ikan, dalam tanah ulayat masyarakat hukum adat mereka;
Dengan izin persekutuan, membuka bidang tertentu dari tanah ulayat persekutuannya untuk diusahakan terus menerus sebagai tempat tinggal, lahan pertanian, peternakan, perikanan, dsb. Melalui cara ini anak nagari tententu akan memperoleh hak khusus atas tanah yang telah dibukanya itu yang disebut dengan ganggam bauntuak (hak pakai);
Dengan izin persekutuan seorang warga persekutuan dapat membuat perjanjian dengan pihak luar dalam memanfaatkan ganggam bauntuaknya;
Dengan izin persekutuan seorang warga persekutuan dapat mengalihkan ganggam bauntuaknya kepada warga persekutuannya yang lain, seperti hibah tanah, sewa tanah, dsb.
Asal-usul Tanah Negara
Abna & Sulaiman (2007) Menyampaikan bahwa untuk memahami asal usul dari tanah negara ini menurutnya kita harus mengembalikan ingatan kita kepada sejarah terbentuknya Indonesia. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht van Nederland Indie, sebelum datangnya kapal dengan bendara tiga warna ke nusantara, wilayah ini tidak kosong akan tata hukum. Menurutnya masyarakat di wilayah ini telah hidup teratur dalam masing-masing wilayah hukum adat (adatechtkringen) yang berjumlah 19 lingkaran. Artinya seluruh wilayah yang sekarang menjadi teritor Republik Indonesia telah terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah hukum adat itu, mulai dari Aceh, Batak, Minangkabau sampai ke Irian.
Melalui kolonialisasi dengan kekuatan senjata, akhirnya Belanda dapat menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda, kecuali Aceh. Awalnya, karena seluruh tanah telah tebagi habis ke dalam wilayah hukum adat yang terbagi habis pula ke dalam tanah ulayat masyarakat hukum adat, tanah negara Hindia Belanda tidak ada. Melalui berbagai Domein Verklaring (1870 sampai 1888) yang kemudian dicabut oleh UUPA pada bagian konsideran, dinyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan di atasnya ada hak eigendom adalah domein negara. Dengan demikian tanah yang tidak ada sertifikatnya dinyatakan sebagai domein negara. Tanah yang di atasnya ada hak adat disebut onfrijedomein, sebaliknya tanah yang di atasnya tidak ada hak adat disebut frijedomein. Tanah-tanah yang tidak digarap oleh masyarakat secara langsung, seperti hutan, tanah yang tidak produktif, gunung, sungai, danau, laut, dsb. dinyatakan sebagai frije domein, wilayah itu merupakan wilayah hidup (habitat) dari warga masyarakat hukum adat, seperti tempat menangkap ikan, memungut hasil hutan, berburu, dsb. Khusus hutan tertentu diberi patok oleh menjadi Hutan Boschwijzen, dan diawasi oleh Polisi Hutan, sementara masyarakat setempat dilarang untuk memasuki dan mengambil hasil hutan itu. Tanah-tanah untuk kepentingan umum, seperti untuk jalan kereta api, kantor pemerintahan, dsb. diperoleh dari tanah masyarakat melalui pembayaran ganti rugi seadanya jika pada tanah itu ada hak adat. Tanah-tanah tersebut di atasnya diletakkan hak beheer, yang kemudian diterjemahkan menjadi hak pengelolaan (Abna & Sulaiman 2007).
Sedangkan tanah untuk perkebunan besar, ditetapkan dengan Hak erpacht. Menurut Pasal 720 BW, hak erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan. Perbuatan perdata yang melahirkannya harus diumumkan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620. (Terjemahan Prof. Subekti, SH dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Dari ketentuan tentang hak erfpacht itu, seperti termuat dalam Buku Kedua Tentang Benda Bab Kedelapan Tentang Hak Erfpacht, Pasal 720 sampai dengan Pasal 736 dapat disimpulkan sebagai berikut (Abna & Sulaiman 2007):
Subyek hak erpacht adalah pengusaha;
Tanah merupakan milik orang lain;
pengusaha dapat menikmati sepenuhnya penggunaan tanah;
pengusaha membayar sewa tahunan kepada pemilik sebagai tanda pengakuan kepemilikan dari pemilik (rekognisi = pengakuan); maka kepemilikan tanah tidak beralih kepada pengusaha;
setelah jangka waktu berakhir tanah harus dikembalikan kepada pemilik;
Pemilik dapat menuntut ganti rugi atas kerusakan tanah yang terjadi karena kelalaian pengusaha.
Setelah Indonesia merdeka, atas kekuatan dari Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, kekuasaan Belanda atas tanah beheer tersebut dilanjutkan oleh Pemerintah RI. Sementara menurut Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA Pasal III. (1). Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam Pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. (2). Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria. Menurut Undang-undang Pokok Agraria Bab II Bagian IV , Pasal 28. (1). Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau pertenankan. Dalam ayat dan pasal-pasal selanjutnya ditetapkan bahwa HGU diberikan atas tanah dengan luas 5 hektar untuk waktu 25 tahun yang dapat diperpanjang, dapat beralih dan dialihkan, subyeknya WNI atau BHI, terjadi karena penetapan pemerintah, dan dapat dijadikan jaminan hutang (Abna & Sulaiman 2007).
Abna & Sulaiman (2007) dalam tulisanya menyimpulkan menurutnya dengan dikonversinya hak erfpacht menjadi hak guna usaha melalui Pasal 3 Ketentuan Konversi UUPA tersebut di atas, maka hak ulayat dari Masyarakat hukum adat telah diperkosa, berupa hilangannya hak ulayat nagari atas tanah-tanah bekas hak erpacht itu yang otomatis menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara Indonesia; pada hal menurut ketentuan pasal 18 UUD 1945 dilindungi sebagai hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.
Pola Kepemilikan Lahan Komunal di Indonesia
Karateristik lingkungan dan budaya berpengaruh kepada pola-pola pengelolaan dan kepemilikan lahan pada masyarakat.
Pada prinsipnya aturan-aturan tentang sistem penguasaan, pembagian, dan pola pemanfaatan lahan Menurut FAO (2002), sistem tenurial atas tanah dan sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam empat kategori umum kepemilikan sebagai berikut:
Kepemilikan privat
Kepemilikan diberikan kepada suatu badan privat yang terdiri dari satu orang/individu, suami istri dari suatu keluarga, sekelompok orang, suatu lembaga baik perusahaan swasta maupun nirlaba. Pada golongan tanah ini badan privat tersebut dapat mengambil manfaat dari tanah tersebut (sesuai dengan aturan yang berlaku) untuk kepentingan mereka. Sebagai contoh, dalam suatu masyarakat dapat diberikan hak kepada individu untuk membuka kebun.
Kepemilikan komunal
Tanah jenis ini dimiliki secara komunal yang hanya dapat digunakan oleh anggota dari masyarakat tersebut. Misalnya tanah itu digunakan untuk menggembalakan ternak oleh masyarakat yang merupakan anggota kelompok. Anggota masyarakat dari luar hanya dapat memperoleh akses atas tanah komunal bila memenuhi syarat yang berlaku dalam komunal tersebut.
Open acess
Pada dasarnya tidak ada yang dapat dikatakan sebagai 'pemilik' dari tanah atau sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian siapa saja dapat mengambil manfaat dari sumber daya tersebut. Sebagai contoh perairan laut lepas dimana nelayan dapat mengambil ikan
Kepemilikan publik atau negara
Lahan jenis ini merupakan lahan yang hak kepemilikannya diklaim oleh negara. Tanggung jawab pengelolaannya diserahkan pada satu sektor tertentu dalam pemerintah. Contohnya adalah di Indonesia, sebagain besar wilayah hutan yang diklaim sebagai hutan negara berada di bawah tanggung jawab Departemen Kehutanan.
Berbicara program land Reform di Indonesia hal yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana bentuk-bentuk kepemilikan dan pola pengelolaan lahan yang berlaku pada masyarakat Indonesia yang majemuk. Karena kemajemukan pola kehidupan masyarakat Indonesia mendasari bagaimana pola-pala kepemilikan dan pengelolaan lahan yang berbeda pada setiap suku dan wilayah geografis tertentu.
Dalam bab ini akan membahas bagaimana pola-pola kepemilikan lahan, pengelolaan lahan dan di beberapa tempat di wilayah Indonesia, sebagai gambaran bagaimana pola pengelolaan Sumberdaya Agraria dilakukan oleh masyarakat di penjuru nusantara khusunya pada masyarakat komunal/masyarakat adat.
Pola Kepemilikan Lahan Pada Masyarakat di Sekitar Danau Toba.
Mengambil kasus pada Masyarakat Batak yang bermukim di sekitar Danau Toba menyampaiakan bagaimana masyarakat mempunyai pola atau aturan tradisional dalam kepemilikan dan penguasaan lahan. Dari laporan penelitian yang dilakukan oleh International Tropical Timber Organization dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Dan Konservasi Alam "Sistem tenurial dan pengelolaan lahan secara kolaboratif" Menurut Muslim et al. 1993 pada pengelolaan Danau Toba menyampaikan bahwa pola pemilikan dan penguasaan lahan pada masyarakat hukum adat di masyarakat Batak tidak jauh berbeda antara satu suku dengan suku lainnya di Indonesia. Pemilikan lahan dapat oleh individu maupun kelompok melalui penemuan, pembukaan hutan, pemberian atau pewarisan, tukar menukar, dan pembelian. Dalam perkembangannya pola-pola tersebut disesuaikan berdasarkan pada budaya dan adat masing-masing masyarakat adat tersebut (Affandi Oding, Alfonsus, Harianja 2008)
Affandi Oding, Alfonsus dan Harianja (2008) menyampaikan bahwa secara umum aturan tradisional dalam kepemilikan dan penguasaan lahan di kawasan DTA Danau Toba berdasarkan adat dan budaya Batak yang bersifat patrilineal (didasarkan pada sistem kekerabatan dari pihak laki-laki). Adapun sistem kekerabatan yang ada di lokasi penelitian yang dilakukan oleh Affandi Oding, Alfonsus dan Harianja (2008) pada sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dengan sebutan Dalihan Natolu, Batak Karo dengan sebutan Daliken Sitelu, dan Batak Simalungun dengan sebutan Tolu Sahundulan. Sistem kekerabatan patrilineal atau patrialchal adat Batak secara umum memilki ciri-ciri :
Hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis ayah, anak menjadi hak ayah dan seorang ayah memegang peranan penting dalam pengaturan kehidupan keluarga.
Hak milik diwariskan melalui suatu garis di dalam susunan kekerabatan yang ditentukan oleh para anggota kerabat dari pria.
Pengantin baru bertempat tinggal atau hidup menetap pada pusat kediaman kekerabatan dari suami.
Para pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat.
Pola Pemanfaatan Lahan
Pola pemanfaatan lahan di sekitar kawasan DTA Danau Toba dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti hak kepemilikan, modal, tenaga kerja, pengetahuan, kepastian akses terhadap hasil, serta faktor kelestarian lingkungan. Pola pemanfaatan lahan yang dimiliki oleh individu berbeda dengan pola pemanfaatan yang dilakukan oleh komunal maupun negara (Lihat kembali pembahasan Kepemilikan Lahan). Lahan-lahan individu sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian/sawah, kebun/ladang, hutan, dan lahan kosong. Tingginnya persentase pemanfaatan lahan untuk pertanian/sawah dan kebun/ladang dikarenakan mata pencaharian utama masyarakat di sekitar kawasan DTA Danau Toba sebagai petani dan hasil dari pertanian ini menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat. Dalam memanfaatkan lahan pertanian/sawah para petani banyak melakukan penanaman tanaman pertanian seperti padi palawija, dan sayur-sayuran. Sementara pada lahan kebun/ladang para petani juga menanami lahannya dengan tanaman yang cepat menghasilkan (crash crop) seperti tanaman pertanian (padi gogo, jagung, kacang tanah, cabai rawit) dan tanaman perkebunan (seperti kopi dan coklat).
Pola pemanfaatan lahan seperti ini, menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan DTA Danau Toba masih berorientasi para tujuan ekonomi. Hal ini dilakukan karena masyarakat tidak mempunyai alternatif sumber pendapatan lain di luar pertanian dan luas lahan yang dimiliki sempit (rata-rata 0,25 Ha). Kalaupun di lahan mereka ditanami pohon, pohon tersebut tidak merupakan tanaman utama dan dominan yang akan menjadi sumber pendapatan masyarakat. Pohon hanya ditanam sebagai batas lahan dan jarang diusahakan secara komersil. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan Brokensha dan Riley (1987), bahwa rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada pepohonan.
Terkait dengan lahan kosong, yang belum dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan lahan, terdapat beberapa hambatan atau alasan yang disampaikan masyarakat ketika mereka tidak melakukan pemanfaatan lahannya. Alasan tersebut antara lain: lahan masih milik marga dan belum dibagi-bagi, kurangnya modal, lahan jaraknya jauh dari tempat tinggal, lahan kurang subur, kurangnya tenaga kerja, dan kurangnya pengetahuan dalam mengelola lahan.
Di masa yang akan datang, masyarakat menginginkan lahan kosong mereka bisa diproduktifkan jika hambatan-hambatan yang ada bisa diatasi. Oleh karenanya masyarakat mengharapkan adanya bantuan dan pendampingan dari pihak berwenang dalam memproduktifkan lahan kosong mereka. Jika masyarakat mendapat bantuan, mereka merencanakan menanami lahannya tidak hanya tanaman pertanian tapi juga tanaman kehutanan (pohon) yang akan dilakukan secara komersil. Kombinasi tanaman pertanian dan kehutanan dalam sistem pemanfaatan lahan (sebagai praktek agroforestry), sebenarnya menurut masyarakat sudah lama mereka lakukan. Dalam pemanfaatan lahan yang terkait dengan sistem tenurial merupakan sekumpulan atau serangkaian hak-hak (a bundle of right) untuk memanfaatkan sumber-sumber agraria yang terdapat pada suatu masyarakat yang secara bersama juga memunculkan sejumlah batasan-batasan tertentu dalam proses pemanfaatan itu Ridell (1987). Pada setiap sistem tenurial, masing-masing hak dimaksud setidaknya mengandung tiga komponen, yakni:
Subjek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu diletakkan. Subjek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat Negara.
Objek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, maupun suatu kawasan atau wilayah udara tertentu. Pada objek hak termaksud harus dapat dibedakan dengan alat tertentu dengan objek lainnya. Untuk objek hak berupa suatu persil tanah atau kawasan perairan, batas-batasnya biasanya diberi suatu simbol.
Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari hak milik, hak sewa, hingga hak pakai, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya.
Memahami kearifan Budaya Masyarakat Minangkabau dalam Mengelola Sumberdaya Lahan
Saptomo dalam penelitianya mencoba dalam penelitianya mencoba menyampaikan bahwa menurutnya jauh sebelum negara ini berdiri, nenek moyang kita diberbagai tempat telah mempunyai kebiasaan yang bukan saja mengatur hubungan antarorang-perorangan, orang dan kelompok, dan antarkelompok, tetapi juga antara orang dan kelompok itu sendiri di satu pihak dengan sumber alam sekitar di pihak lain. Kebiasaan pengaturan hubungan dimaksud mulai mulai teratur, diikuti, dan melembaga menjadi kekuatan kultural (cultural potentialities) tersendiri. Potensi ini sebenarnya akan menjadi sebagai kekuatan lokal strategis yang dapat digunakan sebagai pengatur hampir semua arena bidang kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal masyarakat tempatan. penelitian yang dilakukan pada tahun 1995 ini berjudul Berjenjang Naik Bertangga Turun: Sebuah Kajian Antropologi Hukum tentang Proses Penyelesaian Sengketa Tanah di Minangkabau. Saptomo, Ade (1995)
Meski demikian menurutnya semenjak negeri ini berdiri, terutama selama ini negeri yang multietnis dan multikultural ini telah terbit beragam kebijakan hukum sumber alam (tanah, air, hutan, laut, tambang, perikanan, dan sejenisnya) mendasarkan pada paradigma sentralisme hukum (legal centralism). De jure, kebijakan hukum sentralistik dimaksud ternyata berangsur-angsur mengubur sebagian besar potensi lokal masyarakat tempatan, sehingga ia seakan tidak berdaya dalam mengelola sumber alamnya sendiri. De facto di Sumatera Barat, tepatnya di Nagari Anduring, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman masih menunjukkan fenomena kelokalitasannya tersendiri.
Dalam konteks tanah dan sumber alam misalnya, di nagari ini praktik-praktik penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam berdasarkan atas potensi lokal tempatan. Sehubungan dengan itu, di dalam makalah ini dikemukakan jawaban atas tiga pertanyaan penting, yaitu mengapa penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dengan mendasarkan pada potensi lokal bertahan, bagaimanakah bentuk praktik penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dimaksud, dan apakah faktor pendorong dan penghambat praktik penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dimaksud.
Pola Kepemilikan dan pengelolaan Tanah pada Masyarakat Sembuluh Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah
Penelitian yang dilakukan oleh Mita Noveria, Irene H. Gayatri, dan Mashudi dengan judul Berbagi Ruang dengan Masyarakat : Upaya Resolusi Konflik Sumberdaya Hutan di Kalimantan Tengah, tahun 2004. Dengan lokasi penelitian di Kabupaten Seruyan Kalteng mencoba mengkaji konfik tentang tata batas lahan, kebijakan lahan dan hak milik, dan hak usaha masyarakat.
Seperti yang disampaikan Sardjono (2004) pada umumnya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani hubungan mereka dengan lahan sangat kuat. Lahan menjadi pusat kegiatan ekonomi, baik secara subsisten maupun komersial, hal tersebut mendasari pola penguasaan dan pengelolaan lahan. Mengingat pentingya lahan lahan sagi masyarakat, maka kepemilikan lahan dapat diartikan sebagai wujud keberadaan, penguasaan, status dan juga menunjukan harta yang dimiliki. Oleh karena itu kehilangan lahan dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat. (Noveria, Gayatri, & Mashudi, 2004).
Soetarta(2002)menyampaikan sebagai acuan seperti masyarakat Dayak Kanayant di daerah Kalimantan Barat masyarakat mempunyai konsep Palasar Palaya yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaanya lahan dan sumberdaya alam yang lainya sesuai dengan fungsinya dengan memperhatikan keseimbangan serta kemampuan daya dukung alam dalam suatu lingkungan komunitas,. dalam pengatutanya tanah/lahan dibagi menjadi beberapa yaitu tanah keramat, hutan adat, daerah tempat berladang, daerah tempat bersawah, daerah perkebunan rakyat dan cagar budaya. Berdasar konsep ini, masyarakat membagi wilayah kampung menjadi a). Kawasan hutan yang dilindungi atau dicanangkan untuk masa depan, b). kebun buah-buahan; c). lahan perkebunan karet, d). sawah, e). ladang dan bawas (lahan yang diistirahatkan dengan tujuan untuk mengembalikan kesuburan tanah), f). tanah pekuburan dan tanah keramat, g). lahan perkampungan dan h). sungai serta danau untuk perikanan (Noveria, Gayatri, & Mashudi, 2004).
Apabila mengacu pada pola pengelolaan seperti masyarakat Dayak Kanayant di daerah Kalimantan Barat dengan konsep Palasar Palaya-nya masyarakat Sembuluh tidak mempunya pengaturan ruang tersebut. Kecuali pada areal pemukiman dan hutan keramat yang dilarang untuk berbagai kegiatan mereka tidak menganal pengelolaan dan pembagian serta pengaturan lahan untuk fungsi lain. Seluruh areal lahan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produksi dan hampir tidak ada lahan yang diperuntukan bagi kepentingan lain seperti untuk konservasi yang dimaksudkan untuk cadangan lahan di masa depan. Dari wawancara dari penelitan Noveria, Gayatri, dan Mashudi ini didapat informasi bahwa belum ada pemikiran masyarakat sembuluh untuk mencadangkan lahan demi kepentingan masa depan hal tersebut karena pemikiran masyarakat belum kearah itu hal tersebut yang mendasari kenapa tidak ada ketentuan masyarakat sembuluh untuk membatasi wilayah pembukaan lahan bagi masyarakat.
Bagi masyarakat Sembuluh mengaggap bahwa hutan merupakan milik bersama (common property) yang dapat dimanfaatkan secara bebas (open access) untuk kelangsungan hidup manusia. Membuka hutan untuk kegiatan bertani dan berladang tidak hanya untuk masyarakat Sembuluh tapi masyarakat dari luar juga diperbolehkan meski dalam pemilikan lahan dapat berubah menjadi milik pribadi (individu, keluarga, atau kelompok masyarakat) dengan beberapa kondisi yang sesuai dengan beberapa kondisi yang sesuai dengan kesepakatan masyarakat. Padoch & Peluso (1996) menyampaikan ketentuan pengelolaan lahan seperti ini juga ditemukan pula pada sistim pengelolaan suku Dayak yang lainya seperti di desa Dayak Tara,n di Tae (Kabupaten Sanggau) dan Dayak Salaka di Bangak Sahwa (Kabupaten Sambas) di Kalimantan Barat pada komunitas masyarakat di dua tempet tersebut, lahan yang semula dimiliki secara komunal bisa berubah statusnya menjadi milik pribadi jika sudah dibersihkan, ditanamai dengan jenis-jenis tanaman tertentu dan dipelihara. Sistem kepemilikan ini sudah di praktekan dan diakui oleh masyarakat. Karena sudah bersifat pribadi, maka kepemilikan lahan ini dapat diwariskan kepada keturunannya(Noveria, Gayatri, & Mashudi, 2004).
Peluso & Padoch (1996) juga menyampaikan bahwa pada komunitas Dayak, lahan untuk bertani dan berladang diperoleh dengan cara membersihkan/membabat hutan. Pada masyarakat Dayak Kayan yang tinggal di daerah sungai Mendalam wilayah Kalimantan Barat, misalnya, mengakui bahwa mereka yang membuka hutan primer mempunyai hak untuk bertani dan berladang di areal yang dibuka. Hak penguasaan lahan ini dapat diturunkan kepada keturunan dari individu-individu yang pertama kali membuka lahan. (Noveria, Gayatri, & Mashudi, 2004).
Pola perladangan berpindah menjadi kebiasaan masyarakat Sembuluh, dengan pola bercocok tani yang tanpa mengunakan sentuhan teknologi modern maka lahan yang sudah tidak produktif karena sudah ditanamani beberapa tahun kemudian ditingalkan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Pola ini sama dengan pola pengelolaan lahan masyarakat Dayak pada umumnya meski masyarakat Sembuluh tidak semuanya suku Dayak. dan setelah beberapa tahun ditingalkan dan dianggap tanahnya kembali subur maka tanah yang tadinya ditelantarkan kemudian digarap lagi.
Pada prinsipnya, tanah yang sudah ditinggalkan dapat dimanfaatkan oleh semua orang untuk kegiatan berladang sejauh lahan yang ditingalkan tersebut tidak ditanamai oleh tanaman tahunan seperti karet, buah-buahan yang oleh masyarakat dikenal dengan "tanam tumbuh", maka lahan di anggap tanah tak bertuan dan siapapun yang berkeinginan untuk menanaminya dapat mengunakan lahan tersebut. sehingga seringkali dibeberapa tempat banyak ditemui di satu hamparan lahan di garap oleh lebih dari satu orang, apalagi jika lahan tersebut sudah dibuka dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dari penelitian Mita Noveria, dkk ini dapat disimpulkan bahwa pola kepemilikan lahan untuk bertani dan berladang dikalangan Masyarakat Sembuluh ditentukan berdasarkan kegiatan penanaman tanaman tumbuh. Praktek tersebut sudah berlangsung lama dalam masyarakat dan semua penduduk menghormati segala keseakatan yang berlaku, sehingga masing-masing dapat menjalankan kehidupan mereka.
Yang menarik dari penelitian Mita Noveriam, dkk adalah adanya perubahan paradigma dimasyarakat dimana tadinya mereka bisa membangun relasi sosial yang harmonis dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah/lahan, seiring dengan perkembangan waktu dan masuknya perkebunan kelapa sawit kewilayah danau Sembuluh menyebabkan tanah telah berubah dari hanya mempunyai nilai sosial bertambah nilai menjadi nilai komersial sehingga praktek-praktek pengelolaan lahan yang sudah di jalankan oleh masyarakat selama inipun berubah atau tidak berlangsung lagi.
Saat ini semua lahan sudah diklaim sebagai milik pribadi oleh orang-orang atau mereka yang merasa bahwa nenek moyangnya yang pertama kali membuka lahan pada areal tertentu. Jika dulu lahan yang sudah tidak dikelola dan ditanami oleh tanam tumbuh dan telah ditinggalkan oleh pengarap sebelumnya bisa dikelola atau dimanfaatkan oleh orang lain sekarang praktek tersebut sudah tidah berjalan lagi. Lahan yang tadinya terlantar sekarang mulai ditanami lagi untuk membuktikan bahwa tanah tersebut bukan tanah yang tidak bertuan. Hal tersebut berdampak pada perubahan relasi sosial dan sistem dimana masyarakat tidak ada kesempatan lagi mengarap lahan secara bebas sebagaimana ketika lahan tersebut belum dikembangkan menjadi daerah perkebunan. dari penelitan tersebut juga disampaikan bahwa saat ini sangat susah untuk bertemu dengan tanah kosong, semua lahan sudah dipasang papan nama untuk membuktikan lahan tersebut ada pemiliknya. bahkan sempai di daerah yang jauh dari kampung. Bagi beberapa generasi muda saat yang berkeinginan untuk bercocok tanam saat ini menjadi sulit untuk mendapatkan lahan yang bisa mereka kelola.
Pola Penguasaan Lahan pada Masyarakat Papua
Tanah dan hutan bagi masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat pada umumnya—bukan saja merupakan sumber kehidupan ekonomi semata, namun juga merupakan sentral kebutuhan spiritual. Terdapat konsep kunci dalam tradisi masyarakat adat Papua, bahwa tanah adalah "ibu". Hingga kini sesungunya bagi masyarakat adat Papua, tanah tidak bisa diperjualbelikan (Rahman 2007).
Penelitian UNIPA dan CIFOR tahun 2005 dengan judul Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua "Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari" menyampaikan bahwa penguasaan hak akan lahan pada masyarakat adat di Papua sama halnya pada masyarakat Dayak di pulau Kalimantan. Pada sebagian masyarakat adat di Papua, pola penguasaan lahan awalnya dilakukan berdasarkan siapa yang pertama kali membuka dan mengerjakan areal hutan yang belum dikuasai oleh orang lain. Pada sebagian yang lain, awal penguasaan wilayah oleh suatu marga didasarkan pada lokasi yang dijelajahinya pertama kali pada saat berburu binatang di areal hutan yang belum dikuasai marga lain. Begitu areal belum bertuan tersebut dikerjakan oleh suatu kelompok marga, maka secara ulayat lahan tersebut adalah milik marga yang bersangkutan (hak ulayat) dan penguasaan ini dapat diwariskan kepada keturunannya, terutama keturunan laki-laki (hak waris) (Tokede, et a1., 2005 dalam Wiliam, et al.,2005).
Konsep lain yang penting diperhatikan adalah konsep kepemilikan tanah. Bagi masyarakat adat Papua, kepemilikan tanah itu bersifat komunal. Bukan hanya milik satu garis keturunan tertentu, akan tetapi kepemilikan lahan merupakan milik satu suku. Masing-masing suku memiliki tradisi, bahasa dan tata cara adat yang berbeda-beda. Persilangan antar suku melalui perkawinan dan peperangan juga mengubah konsep komunalitas kepemilikan lahan. Masing-masing suku memiliki catatan sejarah umumnya tersimpan dalam tradisi lisan mengenai batas wilayah hak ulayat. Lebih kompleks lagi, apabila catatan klaim kepemilikan hak ulayat didasarkan pada sejarah peperangan antar suku (Rahman 2007).
Hak ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat diperjualbelikan, hanya boleh dipinjampakaikan antara sesama warga yang masih dalam satu rumpun adat (suku). Berdasarkan sistem penguasaan lahan seperti ini, secara informal masyarakat Papua mengakui bahwa seluruh kawasan hutan yang ada di daerah tersebut merupakan hak ulayat kelompok-kelompok masyarakat hukum adat (marga) tertentu, dimana ketentuan-ketentuan penggunaannya di antara anggota marga diatur oleh norma hukum adat yang berlaku di masing-masing marga. Adapun penggunaannya oleh pihak luar (pemerintah, HPH maupun pemilik modal swasta lainnya) harus atas sepengetahuan ketua marga dan mendapat persetujuan dari pemilik ulayat. Ijin yang diberikan pada pihak luar terbatas pada penggunaan sumberdaya hasil hutannya saja, sedangkan untuk lahan hutan itu sendiri sepenuhnya masih menjadi hak pemilik ulayat. Kecuali untuk lahan yang diperuntukkan untuk pembangunan (gedung perkantoran, sarana umum, dll.), harus dilakukan upacara pelepasan hak ulayat dengan pembayaran sejumlah kompensasi bagi masyarakat adat sesuai kesepakatan.
Kondisi seperti ini telah ada sejak lama di Papua, namun kembali berlaku secara kuat dan menyeluruh di Papua paska reformasi, setelah sebelumnya keberadaan masyarakat adat tidak mendapat tempat dalam sistem pengelolaan hutan sentralistik. Perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang sebagai buah dari reformasi telah memberi kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat hukum adat pemilik ulayat dalam pengelolaan hutan. Berbagai kebijakan baru telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih berdaulat mengelola sumberdaya lahan yang mereka miliki. Beberapa kebijakan yang mendukung hak orang Papua untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya alam di sekitar mereka antara lain : Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan yang memberi landasan hukum bagi pengakuan akan keberadaan hak-hak masyarakat adat, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Ini yang mendasari keluarnya SK Guberbur Propinsi Papua tentang Pemungutan Hasil Hutan Kayu olah Masyarakat Adat yang kemudian di kenal dengan IPK-MA (Ijin Pemungutan Kayu oleh Masyarakat Adat) dengan pedoman operasionalnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dibentuklah Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas)8, yaitu koperasi yang bergerak di sektor kehutanan. Melalui Kopermas ini, masyarakat adat dapat memperoleh ijin IPKMA (Ijin Pemungutan Kayu oleh Masyarakat Adat) yang memungkinkan mereka untuk mendapat manfaat langsung dari sumberdaya alam di sekitarnya (Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah 2002). Tujuan dibentuknya Kopermas adalah agar masyarakat lokal dapat memperoleh hak-hak mereka dan mengelola manfaat yang diterimanya melalui suatu organisasi ekonomi yang independen, namun masih terkait erat dengan sistem kelembagaan tradisional mereka.
Melalui Kopermas, masyarakat hukum adat dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh ijin IPK-MA dari pemerintah provinsi. Ijin tersebut memberikan hak untuk melakukan kegiatan penebangan di areal Hutan Produksi dengan luas antara 250 ha sampai 1000 ha (baik yang berada di dalam ataupun di luar areal konsesi HPH yang ada saat ini). Ijin IPK-MA yang diterbitkan dari provinsi ini hanya berlaku untuk satu tahun saja.
Untuk melihat sejauh mana kebijakan baru ini memberi kontribusi terhadap masyarakat dan lingkungan UNIPA bekerjasama dengan CIFOR melakukan kajian bagaimana pendistribusian manfaat yang diperoleh masyarakat lokal dari pengelolaan ijin penebangan skala kecil melalui Kopermas di Kabupaten Manokwari. tujuan dari penelitian adalah : a). Mengkaji sistem pengelolaan hutan lokal yang ada di Papua dan menggali informasi mengenai keberhasilan ataupun permasalahan yang timbul dari sistem IPK-MA, sehingga dapat memberikan pandangan dan usulan mengenai sistem pengelolaan hutan yang paling sesuai untuk diterapkan di Papua, b). Menganalisis potensi konflik dan tumpang tindih kepemilikan lahan di Kabupaten Manokwari setelah diberlakukannya desentralisasi di sektor kehutanan.
Secara adat, kawasan konsesi ketiga Kopermas di Kabupaten Manokwari ini merupakan ulayat dari Suku Besar Arfak. Kawasan Kopermas Meyuosusra adalah ulayat dari marga Mandacan, kawasan Kopermas Warbiadi merupakan ulayat dari marga Anari, sedang kawasan Kopermas Putra Bondi merupakan ulayat dari marga Aiba, Ainusi, Mandacan, dan Romander. Dalam marga, penguasaan atas lahan dan hutan bersifat komunal dan setiap keluarga diberi hak mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut. Berdasarkan fungsi dan status formalnya, kawasan konsesi ketiga Kopermas ini ditetapkan secara resmi oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Ketiga areal konsesi tersebut berada di luar areal konsesi HPH. Dengan demikian kecil kemungkinan adanya konflik lahan antara masyarakat pemilik ulayat dengan pemegang HPH. Tabel 1 menyajikan secara lengkap status, pola kepemilikan lahan ulayat pemilik dan luas areal konsesi ketiga Kopermas. Saat ini pola pemilikan dan pemanfaatan lahan ulayat telah mengalami perubahan, terutama dengan munculnya berbagai kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) pengusahaan hutan. Kecenderungan yang terlihat di masyarakat lebih mengarah ke pola pemilikan perorangan/keluarga. Dalam pemungutan hasil hutan kayu masyarakat adat oleh Kopermas di Kabupaten Manokwari, peran pemilik ulayat menjadi lebih besar dibandingkan dengan peran anggota marga (komunitas) lainnya dalam pengambilan keputusan untuk pelaksanaan ijin IPK-MA. Berdasarkan kepemilikannya, areal kerja Kopermas Warbiadi adalah milik satu keluarga yang dikepalai oleh Bapak Lambertus Anari. Sedangkan areal kerja Kopermas Meyuosusra adalah milik keluarga dari klan Mandacan yang terdiri dari beberapa kepala keluarga Kopermas Putra Bondi Indah bekerja pada areal milik lima keluarga dari klan yang berbedabeda.
Keluarga-keluarga tersebut memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan mengenai pengusahaan hutan ulayatnya, walaupun pada akhirnya nanti tidak selalu mereka memperoleh manfaat yang jumlahnya lebih besar dari anggota marga lainnya. Distribusi manfaat dan keuntungan sangat tergantung dari mekanisme yang berlaku di marga atau kopermas masing-masing.
Pandangan Papua Masyarakat Terhadap Tanah
Menurut Ngalo (1997) dengan tulisanya berjudul Hak Atas Tanah : Luka Sejarah Anak Suku Pedalaman "Sebuah Catatan Masyarakat Adat di Indonesia Timur" pada jurnal Wacana No. 10/ September - Oktober 1997 masyarakat Amungme di Puncak Jayawijaya memandang tanah sebagai seorang Ibu.
Ngelo (2007) menjelaskan bahwa bagian dengan elevasi paling tinggi disamakan dengan bagian kepala seorang Ibu (Ninggok), termasuk puncak-puncak gunung tertinggi di kawasan teritori mereka yaitu Puncak Cartenz, Ertsberg (Yel Sengggol Onggop Segel), Gratsberg dan sebagainya. Karena merupakan bagian dari Kepala Ibu, maka itu adalah daerah sakral. Artinya tidak dapat diganggu gugat. Zonasi berikutnya adalah kawasan perbukitan di bawah elevasi gunug-gunung tertinggi ini. Kawasan ini disebut dengan Menamorin, yang bagi Orang Amungme adalah pusat kehidupan mereka, dimana mereka tinggal dan mencari nafkah. Kawasan tersebut digambarkan sebagai bangun leher sampai dengan pusar seorang Ibu, karena disinilah anak dilahirkan dari rahim ibu dan dibesarkan dari air susu ibu. Di sinilah orang Amungme hidup, membangun tempat tinggal, mencari makan dan sebagainya. Dengan kata lain ini merupakan zona ekonomi orang Amungme.
Sedangkan pada kaki bukit dan hamparan dataran rendah, ditandai oleh aliran air yang tidak deras lagi dan digambarkan sebagai bagian tubuh ibu dari pusar sampai betis. Kawasan ini disebut Onisa, yaitu merupakan daerah larangan dan "pamali" bagi suku Amungme, sebagai simbolisasi alat kelamin Ibu. Daerah ini adalah kawasan yang ditakuti, karena apabila orang Amungme pergi berburu dan sampai ke daerah dataran luas ini, maka banyak yang kena sakit malaria, atau hilang di hutan. Timika dan Akimuga termasuk kategori ini. (Ngalo 1997).
Seringkali pertumpahan darah dan perang tanding (raha) menjadi lumrah ketika penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga tradisional telah tereduksi badan peradilan umum. Keputusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat mefasilitasi perang berkepanjangan. Kasus tertikamnya hakim di Ruteng karena mengabaikan kearifan tradisional dalam pertimbangan pengambilan keputusan adalah contoh menarik, betapa harga untuk suatu proses peradilan yang tidak bersih sangatlah mahal. Protes sporadis masyarakat Amungme terhadap kehadiran Freeport merupakan contoh lain ketika banyak pihak mengabaikan peran tokoh adat tradisional sebagai pemangku hukum adat.
Dari tinjauan dilapangan yang kami lakukan baik dari beberapa tulisan dan diskusi langsung dengan Masyarakat Papua pada penelitian yang kami lakukan di Taman Nasional Teluk Cendrawasih, bahwa hampir seluruh masyarakat Papua mempunyai cara pandang yang sama dalam memaknai sumberdaya alam yang mereka miliki, bahwa menurut mereka alam adalah Mama/Ibu bagi masyarakat Papua. (Kristianto et al. 2004).