PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN
DI INDONESIA*
oleh :
JOKO A. SUGIANTO,SH
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Amandemen ke – tiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[1]
Merujuk pada ketentuan tersebut lembaga-lembaga mana yang berwenang melakukan kekuasaan kehakiman telah disebutkan secara terbatas (limitatif). Dengan kata lain tidak ada yang namanya lembaga peradilan selain apa yang telah disebutkan secara tegas (expressive verbis) dalam konstitusi. Meskipun ada pengadilan selain sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi maka pengadilan tersebut haruslah berada dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu, misalnya lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha negara.[2]
Terbongkarnya penyelewengan oleh pegawai pajak terkait keberatan dan banding dari wajib pajak, misalnya yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan sebagai Penelaah Keberatan pada Seksi Bidang Keberatan dan Banding di Kantor Wilayah Direktorat Pajak[3], potensi kerugian negara akibat seringnya sengketa pajak dimenangkan oleh wajib pajak di mana dari 16.953 berkas gugatan yang secara formal diterima periode 2002 -2009 sebanyak 13.672 berkas gugatan (kurang lebih 81 persen) dikabulkan oleh pengadilan pajak dan lemahnya sistem pengawasan pengadilan pajak[4], telah menyadarkan berbagai pihak mengenai pentingnya dilakukan reformasi pengadilan pajak.
Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang – Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak awalnya dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan sebagaimana tercantum dalam konsideran faktual undang – undang a-quo, yang antara lain menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung oleh karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.[5]
Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa sebagaimana dikutip oleh media online www.politikindonesia.com menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tidak bisa dilakukan pada pengadilan pajak mengingat dalam Undang – Undang Dasar 1945 sudah menyebutkan hanya ada empat jenis peradilan, yaitu peradilan umum, tata usaha negara, militer dan agama. Pengadilan pajak memang secara teknis di Mahkamah Agung, tapi administrasinya ada di kementerian keuangan. Oleh karenanya menurut Harifin A. Tumpa agar Mahkamah Agung dapat mengawasi pengadilan pajak baik itu teknis maupun administratif, maka pengadilan pajak harus masuk ke dalam lingkungan dari empat jenis peradilan di bawah Mahkamah Agung untuk itu perlu dilakukan perubahan regulasi pengadilan pajak. Selain Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD juga berpendapat sama yang pada prinsipnya menyatakan bahwa perlu dilakukan pengkajian mendalam agar bisa tercipta suatu sistem atau mekanisme yang efektif dalam mengawasi pengadilan pajak, oleh karena lemahnya pengawasan akan menjadikan pengadilan pajak berpotensi diisi oleh sejumlah orang yang terlibat praktik mafia hukum.[6]
Berdasarkan uraian tersebut relevan kiranya untuk menganalisa bagaimana sebenarnya kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia, sehingga dapat diketahui keberadaan atau eksistensi pengadilan pajak apakah benar pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara sebagaimana amanat konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku.
2. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam tulisan ini dibatasi pada pertanyaan sebagai berikut :
- Bagaimanakah kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia, apakah telah sejalan dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan dibidang kekuasaan kehakiman ?
3. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan pendekatan analisis konten (content analysis), yaitu teknik penulisan dengan memanfaatkan data sekunder atau bahan dokumen siap pakai (preexisting data) untuk menggambarkan dan menganalisis pokok permasalahan.[7]
II. SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Peradilan sebagai sebuah sistem merupakan salah satu pilar penyangga kehidupan bernegara yang keberadaannya ikut menentukan tegak tidaknya martabat bangsa dan negara. Hal ini bisa dilihat pada realita yang terjadi di negara Indonesia di mana korupsi di lembaga peradilan pernah menempati urutan tertinggi yaitu 32,8 % yang berbanding lurus dengan indeks persepsi korupsi internasional yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke-122 dari 133 negara.[8]
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penting untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sistem peradilan di Indonesia, apakah ada yang salah dengan sistem peradilan tersebut. Transparansi Internasional mengidentifikasi beberapa faktor yang cukup signifikan mempengaruhi persepsi permasalahan korupsi salah satunya ,yaitu perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum.[9]
Terkait hal tersebut untuk mengetahui bagaimana sistem peradilan di Indonesia, maka terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan sistem peradilan.
Pengertian sistem menurut H.Thierry adalah "een geheel van elkaar wederzijds beinvloedende componenten, die volgens een plan geordend zijn, teneinde een bepaald doel te bereiken" yang apabila diterjemahkan secara bebas, yaitu keseluruhan bagian yang saling mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang ditentukan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu,[10] sedangkan yang dimaksud peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan.[11] Dengan demikian sistem peradilan kurang lebih dapat diartikan sebagai keseluruhan dari bagian-bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan.
Bagir Manan memberikan definisi sistem peradilan dari dua segi, yaitu: Pertama, segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan yang mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana. Kedua, proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara). Kelembagaan peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan susunan vertikal. Susunan horizontal menyangkut berbagai lingkungan badan peradilan, sedangkan susunan vertikal terkait dengan tingkat penyelesaian perkara dari tingkat pertama, banding dan kasasi.[12]
Sistem Peradilan di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyebutkan sebagai berikut :
Ayat (1) : "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan".
(2) : "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi".
Pengaturan lebih lanjut atas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang – undang ini menggantikan undang – undang kekuasaan kehakiman sebelumnya yaitu Undang – Undang No.4 Tahun 2004 yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UUD Negara RI Tahun 1945 sehingga perlu ada penataan kembali sistem peradilan secara terpadu agar peradilan independen dalam rangka mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
Berdasarkan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman peradilan dilakukan bertumpu pada irah – irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".[13] Ini menunjukkan bahwa hakim dalam melaksanakan fungsinya bertindak sebagai penegak keadilan dan bukannya penegak hukum (undang - undang), oleh karena hukum tidak identik dengan keadilan.[14] Hukum bagi hakim dalam proses penyelesaian perkara adalah merupakan salah satu sumber menemukan nilai keadilan oleh karenanya ketika undang – undang tidak mencerminkan nilai keadilan atau bertentangan dengan konstitusi, hakim wajib menggali nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Namun demikian bukan berarti hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara bebas menyampingkan ketentuan hukum positif oleh karena kepastian hukum sebagaimana tertuang dalam peraturan perundangan juga merupakan salah satu sumber nilai – nilai keadilan dalam rangka mewujudkan kehidupan bernegara yang tertib dan adil berdasarkan Pancasila.
Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman secara kelembagaan juga menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan oleh badan peradilan melalui hakim dilakukan dengan menjaga kemandirian peradilan, oleh karena itu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Setiap orang yang dengan sengaja ikut campur dalam urusan peradilan dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[15]
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya selaku penyelenggara kekuasaan kehakiman menurut Undang – Undang No.48 tahun 2009 diatur dalam BAB III tentang Pelaku Kekuasaan Kehakiman Bagian Kedua Pasal 20 sampai dengan Pasal 28.
Mahkamah Agung secara struktural kelembagaan merupakan pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan badan peradilan yang berada dibawahnya, yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara. Sebagai pengadilan negara tertinggi Mahkmah Agung mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang – undang menentukan lain. Selain kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung juga berwenang menguji peraturan perundang – undangan di bawah undang – undang terhadap undang – undang dan kewenangan lainnya yang diberikan undang – undang.[16]
Konsekuensi Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi merujuk pada ketentuan Pasal 21 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka urusan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang meliputi peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Selanjutnya mengenai kewenangan empat lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, masing – masing mempunyai kewenangan sesuai peraturan perundang - undangan sebagai berikut, yaitu:[17]
Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata;
Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang – orang yang beragama Islam;
Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana militer;
Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara;
Putusan pengadilan dari masing – masing badan peradilan tersebut dapat diajukan upaya hukum secara berjenjang sesuai dengan tingkat peradilan. Untuk putusan peradilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak berperkara, dan terhadap putusan dalam pengadilan tingkat banding juga masih dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali undang – undang menentukan lain.[18]
Kemudian terkait dengan pengadilan khusus, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Penjelasan ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa yang dimaksud pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pengadilan Pajak sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 disebutkan sebagai salah satu pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara. Oleh karena Pengadilan Pajak menurut penjelasan ketentuan ini merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan tata usaha negara, maka keberadaan Pengadilan Pajak harus sesuai dengan prinsip dasar kekuasaan kehakiman sebagaiamana amanat konstitusi dan peraturan perundang – undangan dibidang kekuasaan kehakiman. Untuk itu dalam sub bab berikutnya akan diuraikan apakah keberadaan Pengadilan Pajak telah sesuai dengan sistem peradilan di Indonesia.
II.2 Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Pajak saat ini diatur dalam Ketentuan Undang – Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam ketentuan undang – undang ini yang dimaksud Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 2 adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Selanjutnya ketengtuan Pasal 3 menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota Negara.
Kewenangan Pengadilan Pajak adalah menyelesaikan Sengketa Pajak. Sengketa Pajak menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang – undangan di bidang perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang – Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengertian Banding menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku di bidang perpajakan.. Sedangkan yang dimaksud Gugatan menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang – undangan perpajakan yang berlaku.
Sebagai salah satu pengadilan khusus sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berkaitan dengan (juncto) penjelasan ketentuan Pasal 9A UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengkhususan adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus masih belum tegas oleh karena dalam UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 peradilan apa saja yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Menurut Muchsin Pengadilan Pajak lebih tepat berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara karena selain telah disebut secara tegas (expressive verbis) berada di bawah lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 27 UU No.48 tahun 2009 jo. Penjelasan Pasal 21 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Penjelasan Pasal 9A UU No.51 tahun 2009 jo. UU No. 9 Tahun 2004 juga didasarkan pada kemiripan objek yang diperiksa di Pengadilan Pajak dengan objek yang diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara.[19]
Objek gugatan di Pengadilan Pajak sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.14 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
"Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang – Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa"
Sedangkan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut:
"Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata".
Merujuk pada kedua ketentuan tersebut di mana keputusan yang menjadi objek gugatan di Pengadilan Pajak diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, pejabat mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.14 Tahun 2002 adalah Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Gubernur, Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara diterbitkan oleh Pejabat atau Badan Tata usaha Negara, pejabat atau badan mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No.51 Tahun 2009 adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa pengertian pejabat yang berwenang dalam Undang –Undang Pengadilan Pajak adalah termasuk dalam pengertian Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga cukup beralasan hukum apabila Pengadilan Pajak didudukkan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Terkait dengan aspek kelembagaan peradilan berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan terkait pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Ketentuan mengenai pembinaan terhadap Pengadilan Pajak merujuk pada ketentuan tersebut apabila dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman menunjukkan adanya inkonsistensi serta tidak taat asas. Pasal 21 UU No.48 Tahun 2009 menghendaki agar mengenai urusan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal mana sesuai dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di mana badan peradilan harus diselenggarakan lepas dari campur tangan pihak lain dan untuk menjaga kemandirian badan peradilan dalam rangka mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari persoalan pengaturan organisasi, personalia, administrasi, keuangan, pembinaan dan pengawasannya.[20] Dengan demikian ketentuan undang – undang perpajakan terkait dengan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan adalah tidak taat asas dan tidak tepat oleh karena Menteri Keuangan selaku Pimpinan Depertemen Keuangan adalah pembantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang memiliki kekuasaan setingkat dengan yudikatif. Adanya dualisme pembinaan dan pengawasan terhadap Pengadilan Pajak dapat mempengaruhi nilai – nilai kemandirian serta netralitas badan peradilan yang tentunya tidak sesuai dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 24 Undang – Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Tujuan utama dari asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari campur tangan pihak lain menurut Yahya Harahap sebagaimana dikutip Muchsin adalah tidak lain agar peradilan dapat terlaksana dengan jujur dan adil (to ensures a fair and just trial) serta agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to enable the judges to exercise control over government action). Oleh karena itu sesuai dengan tuntutan pokok kemandirian badan peradilan, maka pengadilan harus bebas dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif (independence from the executive power).[21]
Kekhususan lain dari Pengadilan Pajak yang terkait dengan aspek kemandirian badan peradilan adalah mengenai pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak. Menurut Ketentuan Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa: " Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung". Ketentuan yang menyebutkan Hakim diangkat dari daftar nama yang diusulkan Menteri tidak berbeda dengan pengangkatan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 sebelum diubah dengan UU No.51 Tahun 2009.
Apabila ketentuan pengangkatan Hakim Pajak tersebut dikaitkan dengan sistem peradilan yang menganut sistem satu atap (one roof system) sebagaimana spirit Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, maka hal tersebut sudah tidak dapat lagi dipertahankan oleh karena tidak sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.
Kemudian terkait dengan syarat - syarat pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f yang berbunyi :
" mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain".
Apabila ketentuan ini dikaitkan dengan praktek yang selama ini terjadi dalam pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak yaitu diangkat dari sarjana ekonomi yang merupakan mantan pegawai Ditjend Pajak sebagaimana diterangkan oleh Abdullah Anshari Ritonga dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh Marah Sutan Nasution wartawan Hukumonline.[22] Hal tersebut merupakan salah satu hal yang perlu diperbaiki untuk menjaga kemandirian Pengadilan Pajak, sehingga perlu ada perubahan atas pola rekruitmen hakim Pengadilan Pajak.
Terkait pola rekruitmen dan komposisi Hakim Pengadilan Pajak dapat diterapkan sebagaimana yang terdapat dalam pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum, misal di Pengadilan Hubungan Industrial atau di Pengadilan Niaga sebagaimana pendapat Muchsin yang mengusulkan hakim Pengadilan Pajak diambil dari hakim karir Pengadilan Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai ketua majelis, sedangkan hakim anggota diisi dari hakim ad hoc yang diangkat dari praktisi dan akademisi.[23]
III. Kesimpulan
Bahwa peradilan sebagai sebuah sistem mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam ikut membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean government). Peradilan yang tidak independen dan cenderung korup telah terbukti ikut memberikan kontribusi dalam keterpurukan berbangsa dan bernegara sebagaimana terlihat dalam indeks persepsi permasalahan korupsi yang tentunya berdampak dalam program pemerintah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana amanat konstitusi.
Bahwa keberadaan Pengadilan Pajak dalam sistem Peradilan di Indonesia masih menggambarkan adanya campur tangan eksekutif dalam kekuasaan kehakiman sebagaimana tercermin dalam ketentuan yang mengatur tentang Pengadilan Pajak yaitu Undang – Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, hal mana tentunya tidak sejalan dan tidak sesuai dengan prinsip dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka (independence of judiciary) seperti tercantum dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945 yang bisa mengakibatkan dirugikannya para pencari keadilan (justiciabelen).
Dengan demikian untuk mewujudkan sistem peradilan yang independen dalam rangka melindungi kepentingan pencari keadilan dan mencegah penyimpangan di Pengadilan Pajak yang bisa merugikan kepentingan umum, maka keberadaan Pengadilan Pajak perlu diubah dan diperbaiki sesuai dengan prinsip dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UUD Negara 1945 sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
REFERENSI
BUKU
- Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
- Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), MA RI, Jakarta, 2007.
- S. F Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2003.
- Sudikno Mertokusumo, Bab- Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993.
MAKALAH
- Muchsin, Reformasi Pengadilan Pajak, Varia Peradilan, Edisi No. 294, Mei 2010.
- Valerin J.L Kriekhof, Analisis Konten: Penerapannya Dalam Praktek Peradilan, Makalah dalam Bagir Manan (Ilmuwan dan Penegak Hukum), MA RI, 2008.
- Ibnu Purna, Pemberantasan Mafia Hukum, www.setneg.go.id.
Website
- Todung: Korupsi tertinggi di lembaga peradilan,www.tempointeraktif.com
- Wawancara Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga: Kami Bukan Penguber Target Setoran Pajak, www.hukumonline.com.
- Perlunya Regulasi Perubahan Pengadilan Pajak, www.politikindonesia.com
- Gayus divonis Tujuh Tahun, www.kompas.com
- Perubahan Ke-tiga UUD Negara RI Tahun 1945, www.mpr.go.id
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
- UUD NEGARA RI TAHUN 1945
- UU NO. 48 TAHUN 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
- UU NO. 14 TAHUN 2002 Tentang Pengadilan Pajak
- UU NO. 51 TAHUN 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[1] Perubahan Ke-tiga Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 9 Nopember 2001, www.mpr.go.id.
[2] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3] Gayus divonis Tujuh Tahun, 19 Januari 2011, www.kompas.com.
[4] Perlunya Regulasi Perubahan Pengadilan Pajak, 24 April 2010, www.politikindonesia.com
[5] Undang – Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
[6] Ibid.
[7] Valerine J. L. Kriekhof, Analisis Konten : Penerapannya Dalam Praktek Peradilan, Makalah dalam Bagir Manan (Ilmuwan & Penegak Hukum), Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 133
[8] TODUNG: Korupsi Tertinggi Di Lembaga Peradilan, 12 Nopember 2003, www.tempointeraktif.com
[9] IBNU PURNA, Pemberantasan Mafia Hukum, 6 Januari 2010, www.setneg.go.id
[10] Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 10-11
[11] www.artikata.com
[12] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2007, hlm.17
[13] Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[14] Sudikno Mertokusumo, Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.2
[15] Pasal 3 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[16] Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[17] Pasal 25 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[18] Pasal 23 dan 26 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[19] Muchsin, Reformasi Pengadilan Pajak, Varia Peradilan No.294, Mei 2010, hlm.42
[20] S.F Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII PRESS, Yogyakarta, 2003, hlm.42-43
[21] Muchsin, Reformasi…, op.cit hlm.41
[22] Wawancara Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga: Kami Bukan Penguber Target Setoran Pajak, www.hukumonline.com, 16 Mei 2008.
[23] Muchsin, Reformasi…, op.cit, hlm.45.
* Tulisan dibuat dalam rangka DWI DASA WARSA PERATUN.
Posted by Joko A. Sugianto
Reaction:
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
No comments:
Post a Comment
Newer Post O
http://jagusto.blogspot.com/2011/02/pengadilan-pajak-dalam-sistem-peradilan.html
Eksistensi Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
24 December 2012 — Rocky Marbun, S.H., M.H.
Oleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini termuat dalam konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan lebih lanjut dijelaskan dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[1] Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Menurut Galang Asmara yang mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja, pengertian negara hukum adalah negara yang yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.[2]
Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu kekuasaan dimana setiap orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada hukum. Selain itu segala kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada ketentuan hukum. Apabila ada perilaku atau kegiatan yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum, harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap konsep hukum itu sendiri.
Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun rakyat yang melanggar ketentuan hukum.[3]
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan merupakan salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum.[4]
Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah "…..memajukan kesejahteraan umum…". Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Di sebagian besar negara Eropa sendiri pajak merupakan sumber utama keuangan Negara. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun di Negara-negara Eropa sangat besar tarif pajak yang dibebankan kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.
Majunya perekonomian suatu Negara juga harus didukung oleh hukumnya yang dibuat dengan tujuan mensejahterakan rakyat juga, sehingga hukum dan ekonomi negara berjalan dengan seimbang, jangan sampai perkembangan ekonomi dihambat oleh hukum itu sendiri. Jika kita lihat dari uraian di atas ada suatu hubungan hukum dalam pajak yaitu antara Negara sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai Wajib Pajak (WP), hubungan ini diatur berdasarkan suatu aturan hukum. Pajak sendiri harus berdasarkan undang-undang, dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Mengapa pajak diwajibkan oleh UUD 1945 menggunakan undang-undang ? sebab pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan).[5] Maka supaya pajak tidak dikatakan perampokan atau pemberian hadiah dengan sukarela maka pajak haruslah berdasarkan undang-undang. Falsafah pajak yang dianut oleh Inggris sama dengan di Indonesia yaitu "No Taxation Without Representation" dan juga di Amerika "Taxation Without Representation is Roberry".
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.
Dalam konteks tersebut, maka ketentuan Pasal 24 UUD 1945 ayat (2) mengenai adanya kekuasaan kehakiman menjadi relevan. Salah satu konsekwensi Pasal 24 ayat (2) adalah munculnya berbagai lembaga peradilan, diantaranya adalah Lembaga Peradilan Pajak.
Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyat.
Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan apabila terjadisengketa pajak dengan fiscus atau pemungut pajak.[6]
Hal ini memberikan gambaran bahwa tugas dari pengadilan pajak adalah memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak.
Keberadaan lembaga-lembaga peradilan di tanah air tidak bisa dilepaskan dari konsep negara hukum yang menghendaki adanya supremasi hukum dan penegakan hukum.[7] Lembaga-lembaga peradilan tersebut menjadi sangat penting, karena dapat dipastikan tanpa adanya lembaga peradilan yang diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, maka hukum tidak akan banyak maknanya dalam masyarakat. Salah satu lembaga peradilan yang yang bertugas melakukan penegakan hukum tersebut adalah Lembaga Peradilan Pajak.
Peradilan Pajak merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) UU KUP, yang mengatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan pemohonan Banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak maka penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak. Pengadilan ini didirikan untuk menggantikan peran Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Menurut UU, pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak yang terjadi antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.
Sebenarnya, niat awal pembentukan peradilan ini sudah sesuai dengan semangat konstitusi dan integrated justice system, yakni peradilan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang terpadu dan berpuncak ke Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya, BPSP–yang diperdebatkan statusnya sebagai badan peradilan– tidak berpuncak di MA.
Namun di dalam pembentukan UU Pengadilan Pajak semenjak diundangkan justru memunculkan dualisme pembinaan sehingga sangat rawan disalahgunakan. Mengutip penelitian Benny K. Harman (1997) dan Muhammad Asrun (2004) yang menyimpulkan bahwa dualisme antara yudikatif dan eksekutif adalah masalah inti peradilan selama orde lama dan orde baru yang menyebabkan rentannya peradilan terhadap intervensi politik dan korupsi. Oleh karena itulah diawal reformasi, agenda utama reformasi hukum yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. X/1998 adalah pemisahan yang tegas fungsi yudikatif dari esekutif.
Pemisahan ini diperkuat dengan lahirnya UU No. 35/1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan untuk menerapkan sistem satu atap peradilan (one roof system). Sistem ini menghendaki semua urusan yang berhubungan dengan peradilan berada dibawah kendali MA.
Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada dibawah MA. Selain itu, patut dipertimbangkan membentuk pengadilan pajak setidaknya di empat kota, Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan pengadilan tinggi banding di Jakarta. Dengan tujuan, memutus mata rantai mafia pajak dan makelar kasus yang sudah menggerogoti pengadilan pajak.
Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembaharuan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.[8]
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum yang sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyongsong era global dan pasar bebas mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan bobot materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka Penulis menemukan beebrapa rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia?
Apakah yang menjadi kendala dalam implementasi Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa Pajak?
C. Pembahasan/Analisis
1.
Aspek Hukum Dalam Hukum Pajak
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[9] Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang. Dengan undang-undang diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Detournement de pouvoir adalah penggunaan daripada wewenang yang menyimpang dari tujuannya menurut undang-undang yang bersangkutan.[10]
Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan definisi berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[11] Sedangkan menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmeddelen van Indonesia, Leiden, 1949, adalah
"Belastinge zijn aan de overheid (volgens aglemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestties, waar geen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van publieke uitgaven".
"Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum".[12]
Mengenai pajak dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang dapat dikenakan pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak pada rakyatnya. Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum.[13]
Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2 menyebutkan subjek pajak dalam PPh adalah:
Orang pribadi atau perorangan,
Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,
Bentuk usaha tetap.
Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain harus memenuhi syarat subjektif juga harus memenuhi syarat objektif yaitu memenuhi Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka 2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand. Misalnya: [14]
Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan bermotor, menempati rumah tertentu.
Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau barang.
Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak.
2.
Pengadilan Pajak Dan Kekuasaan Kehakiman
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.[15]
Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Karena, diakui atau tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap tidak jelas, kurang tegas dan cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara berbeda oleh kedua pihak yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda pula.
Apalagi jika sudah menyangkut kepentingan antara Wajib Pajak dan fiskus, maka adanya beda penafsiran itu dapat dipastikan akan selalu ada. Fiskus dalam konteks ini menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah yang notabene memiliki tujuan dan kepentingan mencari dan mengumpulkan dana penerimaan negara dari sektor pajak semaksimal dan seoptimal mungkin. Sementara di sisi lain, Wajib Pajak seminimal mungkin agar keuntungan usaha dan kesejahteraannya tidak berkurang.
Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan Pajak. Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa.
Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000, dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Setelah berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 sedangkan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam paragrap pertama Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak dibentuk salah satunya adalah untuk menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dianggap dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbukan ketidakadilan.
Paragrap terakhir Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam undang-undang ini bersifat khusus menyangkut acara penyelengaraan persidangan sengketa perpajakan, yaitu:
Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat, sidang dapt dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijzah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya.
Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, disamping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini diatus hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut Sudjawardi[16], Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, mengadili sengketa pajak. Sengketa pajak sendiri terdiri dari pajak pusat maupun pajak daerah. Pajak pusat ada 7, yaitu yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). Sedangkang dua pajak dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu bea dan cukai.
Menurut Istiani[17], Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Selanjutnya menurut Galang Asmara, kebutuhan adanya suatu lembaga Peradilan Pajak didasarkan pada dua hal sebagai berikut:[18]
Lembaga Peradilan Pajak dan Konsep Negara Hukum
Keberadaan lembaga peradilan pajak bila dikaitkan dengan konsep Negara Hukum adalah untuk menegakkan konsep Negara Hukum itu sendiri yang menghendaki adanya penegakkan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk negara.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang dianggap baik atau paling baik.[19] Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non- fisik.
2. Perlindungan Pajak dan Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Lembaga Peradilan Pajak sebagai salah satu lembaga perlindungan hukum terutama berfungsi di dalam memberikan perlindungan terhadap Wajib Pajak dan penanggung pajak dari tindakan pemerintah di dalam memungut pajak terhadap rakyat.
Lembaga peradilan pajak disini berperan di dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan, bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.[20]
Munculnya Pengadilan Pajak tidak terlepas suatu proses legal reform (pembaharuan hukum) dalam hukum perpajakan yang sebelum dirasakan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sebagai wajib pajak. Legal reform (pembaharuan hukum)sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem hukum.
Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).[21] Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum. Karena luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam tulisan ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen sistem hukum yakni substansi/materi hukum. Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah "pembaharuan hukum" tetap dipertahankan yang sebenarnya mengandung makna lebih khusus atau sepadan dengan istilah "pembentukan hukum".
Banyak teori yang mencoba menemukan skema atau ide dasar pembentukan atau pembaharuan hukum. Masing-masing teori berupaya mengemukakan argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan sisi keunggulan masing-masing. Biasanya teori yang disusun tersebut dipengaruhi oleh teori-teori lama atau bisa juga sebagai bentuk kritik (penyempurnaan) dan dukungan terhadap teori-teori sebelumnya. Aspek waktu, kondisi psikologis masyarakat/negara maupun tempat memiliki peran yang signifikan bagi perumusan bentuk/materi dari teori tersebut. Sehingga sering terjadi bahwa teori-teori itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing manakala teori itu dihadapkan pada kondisi atau situasi masyarakat yang berbeda.
Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:
"Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879)."
Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada UU Kekuasaan Kehakiman, yang saat ini melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman 2009, sebagai berikut:
"Yang dimaksud dengan "pengadilan khusus" antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara."
Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:[22]
Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.
2. Kompetensi Absolut
Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum. Kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.
Eksistensi Pengadilan Pajak yang mejalankan kekuasaan kehakiman berdasarkan lex specialist dengan predikat sebagai pengadilan banding. Seperti diketahui, bahwa pengadilan banding merupakan tahapan peradilan setelah adanya putusan pengadilan di bawahnya yang bersifat final.
Sebenarnya peradilan yang berkaitan dengan pajak sudah eksis jauh sebelum dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebut sebagai Majelis Pertimbangan Pajak yang dibentuk pemerintah sebagai badan peradilan dan menjalankan fungsi sebagai peradilan administrasi khusus menangani masalah perselisihan pajak. Dalam prakteknya perkara sengketa yang penyelesaiannya dilakukan di Majelis Pertimbangan Pajak adalah perkara perselisihan yang timbul sebagai akibat perbuatan hukum berupa penetapan atau keputusan dari pejabat pajak yang tidak disetujui oleh pembayar pajak. Pertimbangan pembentukan undang-undang untuk memasukkan pengadilan pajak sebagai badan penyelesaian sengketa perpajakan dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara. Dipandang dari perjalanan dan perkembangan Majelis Pertimbangan Pajak institusi ini sudah dapat memberikan saluran bagi ketidakpuasan dan ketidak setujuan wajib pajak melalui sengketa pajak.
Eksistensi Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal setiap badan pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Keberadaan Pengadilan Pajak dalam hukum Pajak dikenal adanya penafsiran historis yaitu penafsiran yang didasarkan atas sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Seperti diketahui bahwa sebelum undang-undang tentang Pengadilan Pajak lahir, Majelis Pengadilan Pajak mendasarkan penyelesaian sengketa pajak atas undang-undang yang khusus dibentuk untuk itu. Demikian juga halnya dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, keberadaannya didasarkan kepada suatu undang-undang sehingga kedua-duanya sah dan dapat menjalankan fungsi yudikatif meskipun belum menjalankan kekuasaan kehakiman.[23]
Penyelesaian melalui sengketa pajak dapat dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Oleh karena itu proses pencapaian kepastian hukum dan keadilan akan dijamin dan dipertanggung jawabkan berdasarkan Undang-Undang. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan meningkatnya jumlah wajib pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Karenanya diperlukan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut tolak ukur sebagai berikut:
Tolak Ukur Subyek
Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi :
"Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa."
Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa manakala sengketa itu terjadi antara rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata Usaha Negara.[24]
2. Tolak Ukur Obyek
Yang menjadi obyek dalam sengketa pajak berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut Pasal 1 butir 4 UU Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diamandemen pertama dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004 dam amandemen kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, berbunyi sebagai berikut :
"Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata."
Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak merupakanSengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi bagian dari Sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Pengadilan Pajak, maka proses penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak.[25]
Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2004, merupakan badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan dalam hal terjadi sengketa pajak dengan fiscus.[26]
Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, yakni berupa Banding atas keputusan keberatan dan Gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak atas keputusan pembetulan.[27]
Konsep dasar pembentukan Pengadilan Pajak yang pada awalnya bernama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) kemudian diubah menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang bersengketa dibidang perpajakan, karena dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan.[28]
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah berbagai aturan yang termuat dalam UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan semangat konstitusi dan ketundukkan pada integrated justice system. UU Pengadilan Pajak menjadikan institusi Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan tersendiri di luar MA. Hal ini dapat ditelisik dari beberapa ketentuan berikut.
Pertama, Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33 dan diperkuat oleh Pasal 77 yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80 ayat 2 menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus kata akhir dalam sengketa pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.
Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak tidak.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa UU memposisikan pengadilan ini sebagai badan peradilan yang berdiri sendiri. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi dinegeri ini tidak dilibatkan. MA hanya dilibatkan di mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang merupakan upaya hukum luar biasa, bukan upaya hukum biasa dan itupun dengan syarat yang sangat limitatif. Sehingga dengan kata lain, sebenarnya UU ini ingin mengesampingkan peran MA dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kedua, hal yang mencerminkan pengadilan ini sebagai institusi yang berdiri sendiri adalah adanya hukum acara yang khusus. Hukum acaranya sebagian besar tidak mengacu pada sistem hukum acara yang ada (KUHAP atau KUHAPerdata). Hal ini berbeda dengan pengadilan khusus lainnya dimana hukum acaranya masih mengacu pada sistem hukum acara yang ada kecuali hanya beberapa ketentuan khusus saja.
Mengutip penelitian Komisi Hukum Nasional tahun 2007 bahwa diantara beberapa pengadilan khusus yang ada, yakni pengadilan anak, hak asasi manuasia, perikanan, hubungan industrial, tindak pidana korupsi dan pengadilan niaga, hanya pengadilan pajak yang menggunakan hukum acara sendiri.
Ketiga, rekrutmen hakim pengadilan pajak sangat berbeda dari pengadilan lain. Menteri Keuangan mempunyai peran yang sangat besar. Mayoritas hakim juga berasal dari mantan pejabat Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Sehingga rawan menimbulkan konflik kepentingan dan merusak independensi hakim.
Keempat,Pengadilan Pajak tidak memadai untuk memutus perkara karena tempat dan ruangan sidang yang kurang baik. Selain itu, tiap majelis masing-masing memeriksa 25 berkas yang membuat perkara menjadi tidak fokus hingga putusan pun menjadi terlambat. Belum lagi, Pengadilan Pajak kekurangan tenaga kerja dibidang disiplin ilmu lainnya seperti akuntansi, hukum dagang, perdata, HAKI, tata usaha negara dan lainnya.
Kelima, proses penanganan perkara sengketa pajak di Indonesia berjalan lamban karena setiap perkara harus diselesaikan di pusat. Hal itu, katanya, memperlambat kerja pengadilan pajak. Tjip Ismail[29] menyarankan agar pengadilan pajak dapat digelar di luar Jakarta atau daerah tempat berperkara.
Beberapa ketentuan diatas mengindikasikan bahwa pengadilan pajak seperti pengadilan yang berdiri sendiri dan berada diluar sistem peradilan terpadu. Hal itu bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Lalu, dimana posisi pengadilan pajak? Karena pengadilan ini tidak tunduk dibawah lingkungan peradilan manapun. Selain bertentangan dengan konstitusi, UU Pengadilan Pajak juga bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 tahun 2009. Pasal 27 mengatur bahwa Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah MA.
Kekeliruan lain yang terdapat dalam UU Pengadilan pajak adalah legitimasi terhadap dualisme pembinaan peradilan. Pembinaan teknis peradilan dan pengawasan umum hakim dilakukan oleh MA. Sementara pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Menteri Keuangan. Dalam praktiknya, sistem pembinaan ini didominasi oleh Kementerian Keuangan.
Dengan memperhatikan uraian-uraian tersebut diatas, maka seyogyanya pembentukan hukum, dalam hal ini adalah Undang-undang, memperhatikan unsur-unsur idee des recht, yang meliputi asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas kemanfaatan. Walaupun pada praktiknya hampir tidak mungkin untuk menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional. Jika keadilan lebih dipentingkan maka kepastian hukum dikorbankan. Jika kepastian hukumnya didahulukan, keadilannya akan dikorbankan. Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka hakim berdasarkan Freies Ermessen (kebebasannya) dapat memiliih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Terkait dengan teori idee des rechts, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
Asas kemanfaatan, seharusnya hukum dapat menjadi alat bahkan panglima untuk dapat mengawal masyarakat menuju kehidupan yang tentram, aman dan adil. Sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound "law as a tool of social engineering" bahwa hukum bukan merupakan pagar yang dapat membatasi secara normatif saja, tetapi hukum dapat dipergunakan sebagai alat untuk membangun masyarakat. Badan pembentuk undang-undang yang berwenang menciptakan hukum seharusnya dapat memanfaatkan perannya untuk dapat mengembangkan perekonomian yang dapat mendorong pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat.
Asas kepastian hukum, tanpa adanya kepastian hukum, hukum tidak akan memiliki wibawa bagi masyarakat. Hukum akan dianggap sebagai aturan tertulis saja yang tidak diindahkan keberadaannya.
Ketentuan untuk melakukan pembayaran sebesar 50% sebelum mengajukan upaya hukum melalui Pengadilan Pajak merupakan ketentuan yang sangat merugikan Wajib Pajak. Secara yuridis normati, ketentuan tersebut merupakan landasan hukum bagi Pengadilan Pajak bahwa untuk memenuhi persyaratan formill, yang berasaskan kepada ajaran positivisme, maka pemenuhan asas kepastian hukum dalam ketentuan hukum tersebut bersifat sumir, karena hanya kepastian dalam bentuk redaksional, sehingga berbenturan dengan asas keadilan.
Asas keadilan, tujuan utama dari hukum yang paling penting adalah asas keadilan. Sehingga, pembentukan peraturan perundang-undangan wajib memperhatikan keterkaitan pasal-pasal dalam RUU yang akan dibentuk, bahkan upaya sinkronisasi wajib untuk dilakukan dalam menjaga tingkat keadilan bagi masyarakat.
Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan pada Pasal 8 memberikan ketegasan bahwa seorang Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum, namun pada UU Pengadilan Pajak pada Pasal 77, dinyatakan putusan Pengadilan Pajak adalah final and binding.
Dengan terkuaknya kasus mafia hukum yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, maka menjadi titik awal untuk membenahi sistem perpajakan serta Pengadilan Pajak itu sendiri demi cita-cita reformasi birokrasi dan reformasi hukum.
Reformasi Birokrasi di Kementrian Keuangan bukan hanya dititikberatkan pada persoalan remunerasi, tetapi pembinaan mental aparaturnya, pelayanan yang prima, sehingga menurut penulis, sebesar apapun gaji yang diterima, jika mentalnya seorang aparatur sudah bobrok, maka sama saja.
Mengenai reformasi hukum dalam lingkup Pengadilan Pajak, seperti yang penulis sudah uraikan diatas, maka sudah saatnya mengevaluasi kembali UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, mencakup dintegrasikan kembali Pangadilan Pajak di bawah MA, perekrutan hakim yang benar-benar akuntabel, jujur dan mempunyai integritas tinggi serta kemudahan pengawasan dalam hukum acara Pengadilan Pajak.
Jika kelemahan dalam UU Pengadilan Pajak ini dapat segera diatasi, maka setidaknya, kekalahan negara dalam skala besar melawan WP dapat diminimalisir. Pajak merupakan garda terdepan untuk penerimaan negara. Jika pemerintah menutup mata dengan hal ini, maka tidak heran perbandingan penerimaan pajak akan tidak berbanding lurus dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Kini tantangan-tantangan lain harus segera dijawab, seperti beranikah jajaran aparatur di Kementrian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak untuk memberikan pembuktian terbalik bahwa tidak ada lagi pelanggaran dan penyelewengan lainnya setelah Gayus.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa di dalam Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dimana Pengadilan Pajak merupakan bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya memiliki hukum acara tersendiri. Namun jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU Pengadilan Pajak tersebut, maka nampaknya Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri terpisah dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan serta rekrutmen para Hakim Pengadilan Pajak.
Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada dibawah MA. Selain itu, patut dipertimbangkan membentuk pengadilan pajak setidaknya di empat kota, Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan pengadilan tinggi banding di Jakarta. Dengan tujuan, memutus mata rantai mafia pajak dan makelar kasus yang sudah menggerogoti pengadilan pajak.
Daftar Referensi
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: Toko Agung , 2002.
Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1989.
Rochmat Soemitro. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika Aditama, 1998.
Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (ed.), Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, Bandung : Penerbit Alumni, 1980.
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama, 1998.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1986.
Lawrence M. Friedman, American Law, New York: W.W. Norton & Company, 1930.
Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.
Ali Purwito & Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak: Proses Keberatan dan Banding. Edisi Revisi, Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Fiskal Fh-UI, 2007.
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Bandung: Refika Aditama, 2006.
Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2007.
INTERNET/MAKALAH/ARTIKEL
"Proses Penyelesaian Sengketa Berjalan Lamban", Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd8c35ad7be7/proses-penyelesaian-sengketa-pajak-lamban, diakses tanggal 23 Desember 2012.
Suparmanto Adjie, " Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Indonesia serta Eksistensi dan Kelemahan Peradilan Pajak Dalam Menyelesaikan Masalah Sengketa Pajak", Sumber: http://suparmantoadjie.blogspot.com/2011/10/kedudukan-pengadilan-pajak-dalam-sistem.html, diakses tanggal 23 Desember 2012.
MaPPI FHUI, "Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak," Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=205&tipe=kolom, diakses tanggal 23 Desember 2012.
Yustus Maturbongs, "Membedah Pengadilan Pajak:, Sumber: http://politik.kompasiana.com/2010/04/06/membedah-pengadilan-pajak/, diakses tanggal 23 Desember 2012.
E. Rial N, Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa Pajak Di Indonesia, Warta Hukum, Edisi: Maret – April 2009, Sumber: http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index2.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=76&Itemid=86, diakses tanggal 23 Desember 2012.
Hariyanti, "Tinjauan Yuridis Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak", Sumber: http://risalah.fhunmul.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/2.-Tinjauan-Yuridis-Kedudukan-Pengadilan-Pajak-Dalam-Sistem-Peradilan-di-Indonesia-Berdasarkan-Undang-Undang-Nomor-14-Tahun-2004-tentang-Pengadilan-Pajak-Hariyanti.pdf, di akses tanggal 23 Desember 2012.
Rizky Argama, "Pengadilan Pajak Di Indonesia: Aturan Dan Pelaksanaannya Sebagai Solusi Sengketa Pajak", Makalah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Desember 2005, Sumber: http://argama.files.wordpress.com/2007/08/pengadilanpajakdiindonesia_aturandanpelaksanaannyasebagaisolusisengketapajak.pdf, diakses tanggal 23 Desember 2012.
Nisa Istiani, "Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak", Teropong : Media Hukum Dan Keadilan, FH-UI, 2004
[1] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Toko Agung , 2002), hlm. 2
[2] Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Indonesia, (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 3.
[4] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 26.
[5] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.8.
[6] Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 72
[7] Galang Asmara, Op.cit., hlm. 1.
[8] Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (ed.), Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, (Bandung : Penerbit Alumni, 1980), hlm. 2.
[9] R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 1998), hlm. 2.
[10] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 127
[11] R. Santoso Brotodihardjo, Op.cit, hlm.2
[12] Ibid., hlm. 4
[13] Rochmat Soemitro, Op.cit., hlm. 62.
[14] Ibid, hlm. 101.
[15] MaPPI FHUI, "Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak," Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=205&tipe=kolom, diakses tanggal 23 Desember 2012.
[16] Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret 2005. http://www.pemantauperadilan.com/detil (3 Maret 2008)
[17] Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil (3 Maret 2008)
[18] Galang Asmara, Op.cit., hlm. 8-12
[19] Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 36
[20] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 1
[21] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1930), hlm. 5-6
[22] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 60-62
[23] Ali Purwito & Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak: Proses Keberatan dan Banding. Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Fiskal Fh-UI, 2007), hlm. 107-108.
[24] Sjachran Basah, Op.cit., hlm. 37
[25] Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 43.
[26] Dewi Kania Sugiarti, Op.cit., hlm. 72
[27] Ibid
[28] Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), hlm. 78-79
[29] "Proses Penyelesaian Sengketa Berjalan Lamban", Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd8c35ad7be7/proses-penyelesaian-sengketa-pajak-lamban, diakses tanggal 23 Desember 2012.
Share this:
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2012/12/24/eksistensi-pengadilan-pajak-dalam-kekuasaan-kehakiman-di-indonesia/
POSISI DAN KEDUDUKAN PENGADILAN KHUSUS DALAM LINGKUP KEKUASAAN KEHAKIMAN
1 Vote
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10 November 2001 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Hukum. Dan sejalan dengan itu maka terdapat konsep daripada negara hukum yaitu mempunyai karakteristik penyelenggaraan negara berdasar konstitusi, kekuasaan kehakiman yang merdeka, penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakan harus berdasar ketentuan hukum (due process of law).
Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka yaitu bebas dari campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. Perubahan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan.
Lembaga peradilan di Indonesia pada kenyataannya mencoba menghadapi keterbatasannya dengan memperbaharui strukturnya. Hal mana dapat kita lihat dalam hadirnya peradilan khusus yang pada hakikatnya adalah untuk memberikan tempat yang lebih baik kepada pencari keadilan. Karena melihat dengan makin besarnya dinamika dalam masyarakat Indonesia maka begitu banyak pula kepentingan yang muncul dan patut maupun harus terakomodasi dengan baik. Salah satunya yaitu meningkatkan kebutuhan dari para pencari keadilan untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum.
Dengan adanya peradilan khusus, yang dalam hal ini hanya dapat dibentuk dibawah salah satu lingkungan peradilan, maka struktur dalam lembaga peradilanpun menjadi lebih kompleks, dan hal ini pun dapat dikatakan seperti bertingkat-tingkat. Dapat pula dikatakan bahwa dimana Mahkamah Agung membawahi empat lingkungan peradilan, dan dibawahnya lagi terdapat peradilan khusus dalam lingkungannya masing-masing.
Pembentukan peradilan khusus tidak ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang dasar yang sebenarnya dapat mempengaruhi struktur ketatanegaraan dalam lembaga peradilan. Undang-Undang terbaru yang mengatur tentang Kekuasaaan Kehakiman yakni UU No 48 Tahun 2009 telah memberi ruang dimasukkannya pengadilan khusus dalam kekuasaan kehakiman. Sedangkan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah posisi dan kedudukan pengadilan khusus dalam lingkup kekuasaan kehakiman
Bagaimanakah kita bisa menyatakan suatu pengadilan termasuk pengadilan khusus atau tidak?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pengadilan Khusus dalam Perundang-Undangan
Dalam setiap Undang-undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman telah diatur mengenai pengadilan khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajad penegasan yang berbeda-beda. Dalam UU No 19 Tahun 1964 pengaturan mengenai pengadilan khusus tidak terlalu jelas. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut "peradilan administratif" dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut "peradilan kepegawaian" dalam Pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian.
Berbeda dengan UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai pengadilan khusus, walaupun tetap pengaturannya masih dalam bagian penjelasan UU, bukan dalam batang tubuh. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilant ingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pengaturan mengenai pengadilan khusus sudah relatif lebih tegas dari peraturan sebelumnya. Ketentuan ini membuka pintu untuk dibentuknya pengadilan-pengadilan khusus di semua lingkungan peradilan, tidak terbatas hanya pada Peradilan Umum semata. Pengaturan mengenai peraturan perundang-undangan apa yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan khusus tersebut juga sudah cukup jelas, yaitu UU. Jika dibandingkan kedua UU tersebut juga terlihat bahwa dalam hal lingkungan peradilan sendiri terjadi perubahan-perubahan. Jika sebelumnya lingkungan peradilan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus yang terdiri dari Peradilan Agama dan Peradilan Militer, dan Peradilan TUN, UU No. 14 Tahun 1970 membaginya hanya menjadi dua, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus yang mana Peradilan Agama, TUN dan Militer digolongkan sebagai Peradilan Khusus.
Melihat ketentuan Undang-undang tersebut, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa istilah pengadilan khusus ternyata belum dikenal. Istilah pengadilan khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970. Selain itu dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini posisi pengadilan khusus tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah dimasukkan dalam bagian batang tubuh.
Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.
Penjelasan:
Pasal 15
(1) Yang dimaksud dengan "pengadilan khusus" dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman di atas, tampaknya penegasan pengaturan pengadilan khusus dalam bagian batang tubuh dilakukan karena pada saat merumuskan UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan khusus yang sudah didirikan memang sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelum dirumuskan, di mana sebelumnya pengadilan khusus yang ada atau pernah ada hanya satu, yaitu pengadilan ekonomi.
Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak seperti yang terjadi pada masa sebelumnya, kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 9A UU No. 9 Tahun 2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga) dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena dua hal, yaitu: pertama, untuk dapat membuat pengadilan pajak, dimana menurut UU, pada awalnya didirikan sebagai badan peradilan tersendiri, kemudian menjadi bagian dari Badan Peradilan TUN. Kedua, karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap tiga badan/lingkungan peradilan selain peradilan umum yang dulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai peradilan khusus.
Sedangkan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru yakni UU No 48 tahun 2009 pada pasal 1 angka 8 terdapat pengertian Pengadilan khusus. Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu, yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang diattur dalam Undang-Undang. Pengaturan pengadilan khusus dalam batang tubuh Undang-Undang No 48 Tahun 2009 semakin memperjelas, mempertegas posisi, kedudukan dan legitemasi pengadilan khusus yang tidak disebutkan secara rinci dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya.
Melihat lebih jauh lagi kedalam, maka ditemukan dalam lingkungan pengadilan hingga saat ini, terdapat 8 (delapan) pengadilan Khusus. Yang mana 6 (enam) pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, 1 (satu) pengadilan dalam lingkungan peradilan TUN, dan 1(satu) pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Agama. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 dalam pasal 1 angka 8 menyatakan pengadilan Khusus hanya boleh dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan, yaitu pengadilan umum (sekarang terdapat: pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan hubungan industrial, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan perikanan), pengadilan agama (mahkamah syariah), pengadilan militer, dan pengadilan tata Usaha Negara (Pengadilan pajak). Mengenai kriteria pun tidak dicantumkan didalamnya.
Pada lingkungan peradilan umum dibentuk : pengadilan anak dengan UU nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Pengadilan niaga dengan nomor 37 Tahun 2003 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, Pengadilan HAM dengan UU no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembarantasan Tindak pidana Korupsi, pengadilan Hubungan Industrial dengan UU no.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, dan pengadilan perikanan berdasarkan UU nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Pada lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dibentuk pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan Peradilan (khusus) Syariah Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam berada di lingkungan peradilan agama. Dengan dinamika dalam masyarakat seperti dikemukakan dalam latar belakang dapat memicu bertambahnya pengadilan khusus dalam setiap lingkungan peradilan.
B. Diferensiasi/Spesifikasi daripada Pengadilan khusus
Begitu banyak perbedaan yang mendasar dalam pengadilan khusus yang ada pada saat ini. Perbedaan tersebut yang nyatanya merupakan hal yang menjadi dasar dari pada pengkhususannya. Hal pertama yang paling mutlak adalah mengenai Yurisdiksi dari masing-masing pengadilan khusus. Adapun hal-hal yang membedakan pengadilan satu dengan yang lainnya dimana terdapat dalam hal hukum acara maupun dalam ketentuan hukum formil
yang digunakan dalam setiap pengadilan khusus tersebut dan aparat penegak hukumnya.
Pengadilan anak
1. Yurisdiksi:
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak yang berumur 8-18 tahun dan belum pernah kawin.
2. Pemeriksaan sidang pengadilan :
Pemeriksaan bersifat tertutup tapi jika dipandang perlu dilakukan terbuka
Diperiksa/diputus hakim tunggal, jika dipandang perlu dilakukan hakim majelis
Hakim adalah Hakim karir khusus dengue persyaratan: berpengalaman, dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasehat hukum, serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas
3. Keterlibatan petugas kemasyarakatan yaitu:
Pembimbing kemasyarakatan (proses sidang)
Pekerja sosial dari departemen sosial dan pekerja sosial sukarela dari organisasi sosial kemasyarakatan. (pelaksanaan putusan)
4. Penyidik dan penuntut umum yang khusus
5. Penahanan
Ditempat khusus untuk anak dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.
Dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan mesyarakat yang dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.
Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial harus tetap dipenuhi.
Pengadilan HAM (UU no 26/2000)
1. Yurisdiksi:
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
2. Pemeriksaan persidangan.
Diperiksa-diputus majelis hakim terdiri dari 5 hakim dengue komposisi 2 hakim karier dan 3 hakim ad-hoc
Diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM dalam waktu paling lama180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan dalam pengadilan HAM
Banding paling lama 90 hari dan kasasi paling lama 90
3. Penyelidikan
Dibentuk Komnasham untuk melakukan penyelidikan yang kewenangannya
4. Penyidikan
Dilakukan jaksa agung dan dapat diangkat penyidik ad-hoc
paling lama 90 hari dapat diperpanjang, 90+60 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika tidak ditemukan bukti yang cukup wajib SP3
5. Penuntutan
Dilakukan jaksa agung dan dapat diangkat penuntut umum ad-hoc
Paling lama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Pengadilan Tipikor (UU No 31 Tahun 1999)
1. Yurisdiksi
Memutus tindak pidana yang penuntutannya diajukan KPK
2. Pemeriksaan persidangan
Diperiksa dan diputus majelis hakim terdiri dari 5hakim dengan komposisi 2 hakim karir dan 3 hakim advokat
3. Penyelidikan penyidikan, penuntutan dilakukan KPK
4. proses prajudikasi
KPK tidak berwenang mengluarkan SP3
Penyidik, penuntut umum, berwenang meminta keterangan pada bank tentang keadaan keuangan dan meminta pada bank untuk memblokirrekening milik tersangka/terdakwa.
Pengadilan Perikanan (UU No 31 Tahun 2004)
Yurisdiksinya yaitu memeriksa, mengadili,dan memutus tuindak pidana dibidang perikanan. Pemeriksaan persidangan; diperiksa, diputus majelis hakim terdiri dari 5 hakim 2 hakim karir dan 3 hakim ad-hoc dan dibentuk pengawas perikanan. Undang-undang tidak mengatur secara khusus tentang penyelidikan.penyidikan dilakukan oleh PPNS perikanan, perwira TNI AL, dan POLRI
Pengadilan Niaga (UU 37 Tahun 2003)
Memeriksa dan memutus perkara permohonan pernyataan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Diperiksa oleh hakim majelis untuk jenis dan nilai perkara tertentu oleh hakim tunggal. Dalam upaya hukum tidak terdapat upaya banding
Pengadilan Hubungan Industrial (UU No 2 Tahun 2004)
Bertugas dan berwenang memutus tingkat pertama mengenai perselisihan hak dan perselisisihan pemutusan hubungan kerja dan ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pengadilan Pajak (UU 14 Tahun 2002)
Memeriksa dam memutus sengketa pajak. Hakim diangkat oleh presiden atas usul menteri yang disetujui ketua MA dan mempunyai keahlian dibidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjan lain. sidang diperiksa oleh majelis atau hakim tunggal. Dalam hal putusan, putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas banding diambil dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat banding diterima. Dalam kasus-kasus khusus diperpanjang paling lama 3 bulan.
Mahkamah Syariah NAD
Kewenangan mencakup perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama dan pengadilan umum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengaturan mengenai pengadilan khusus dalam setiap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mempunyai derajad ketegasan pengaturan yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh cara pandang pembentuk Undang-Undang dalam menafsirkan pengertian pengadilan khusus dan semakin banyaknya Pengadilan khusus yang terbentuk
Penyebutan suatu pengadilan disebut pengadilan khusus atau tidak terletak dari kekhususan yuridiksi pengadilan, hukum formil (hukum acaranya), aparat penegak hukumnya dan undang-undang yang mengatur.
Saran
Mengenai Pengadilan khusus sebaiknya dipertegas lagi pengaturannya dalam undang-undang dengan mencantumkan kriteria dalam pembentukkan pengadilan khusus dan membatasi timbulnya pengadilan yang baru. Karena hal ini dapat memberikan kerumitan tersendiri dalam sistem peradilan di Indonesia termasuk dalam sistem kelembagaan negara.
Kekhususan dari pengadilan khusus sendiri menuntut pihak yang berkompeten dalam melaksanakan fungsinya karena itu para pihak yang terkait didalamnya pun harus ditingkatkan kemampuannya yang tentunya akan membawa dampak positif pada usaha pencarian keadilan oleh masyarakat dan demi tercapainya hukum yang berkeadilan.
Daftar Pustaka
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No 19 Tahu 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman
UU No 14 Tahun 1970
UU No 4 Tahun 2004
UU No 48 Tahun 2009
T Triwulan Tutiek, Pokok-pokok Hukum Tata Negara. Prestasi Pustaka. Jakarta. 2005
http://ajibagoespramukti.wordpress.com/2011/06/07/226/