6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Hipertiroid adalah suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid bebas dalam sirkulasi darah.1 Penyebab tersering hipertiroid adalah penyakit Grave's. Ini adalah suatu penyakit autoimun di mana tubuh tidak tepat dalam menghasilkan long-lasting thyroid stimulator (LATS), suatu antibody yang sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid.2
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidisme. Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormone tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang disebabkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Namun manifestasinya sama, hal ini disebabkan oleh ikatan T3 dengan reseptor T3-inti semakin penuh.3
Selain itu, penting juga untuk mengetahui definisi krisis hipertiroid. Krisis hipertiroid adalah tirotoksikosis yang amat membahayakan. Pada keadaan ini dijumpai dekompensasi satu atau lebih system organ.3
2.2 Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang dihubungkan di tengah oleh suatu bagian sempit kelenjar sehingga organ ini tampak seperti dasi kupu-kupu.1 kedua lobus tiroid dihubungkan oleh isthmus. Tiroid terletak pada anterior trakea, diantara kartilago cricoid dan notch suprasternal. Volume normal tiroid adalah sekitar 12-20 gram, vaskularisasi yang sangat tinggi, dan konsistensi yang lunak. Pada bagian posterior kelenjar tiroid terdapat empat buah kelenjar paratiroid yang memproduksi hormone paratiroid. Pada bagian lateral tiroid terdapat nervus laringeus rekurens. Cedera pada nervus laringeus rekurens dapat menyebabkan paralisis pada vocal cords.4
Gambar 2.1 Anatomi Tiroid2
Kelenjar tiroid berkembang dari dasar faring primitif pada minggu ketiga gestasi. Kelenjar yang berkembang bermigrasi sepanjang duktus tiroglossus hingga mencapai tempat akhir di leher. Gangguan perkembangan kelenjar tiroid dapat menyebabkan terbentuknya kelenjar tiroid ektopik, seperti lokasi tiroid pada dasar lidah (lingual thyroid) atau terbentuknya kista duktus tiroglossus pada sepanjang traktus perkembangannya. Pada umumnya, kelenjar tiroid mulai mensekresikan hormone tiroid pada usia sebelas minggu masa gestasi.4
2.3 Fisiologi Pembentukan Hormon Tiroid
Sel-sel sekretorik utama tiroid, yang dikenal sebagai sel folikel, tersusun membentuk bola-bola berongga yang masing-masing membentuk satu unit fungsional yang dinamakan folikel. Di dalam folikel terdapat koloid, yaitu bahan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormone tiroid. Konstituen utama koloid adalah suatu molekul protein besar yang dikenal sebagai tiroglobulin. Tiroglobulin berikatan dengan hormone tiroid dalam berbagai stadium sintesis.2
Sel folikel menghasilkan dua hormone yang mengandung iodium yang berasal dari asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Kedua hormone, yang secara kolektif disebut hormone tiroid, adalah regulator penting laju metabolic basal (BMR) keseluruhan. Di ruang interstisium di antara folikel-folikel terselip sel C, tipe sel sekretorik lain yang mensekresi hormone peptide kalsitonin. Kalsitonin berperan dalam metabolisme kalsium serta sama sekali tidak berkaitan dengan dua hormone tiroid utama lainnya.2
Gambar 2.2 Fisiologi Pembentukan Hormon Tiroid2
Bahan dasar untuk sintesis hormone tiroid adalah tirosin dan iodium. Tirosin, suatu asam amino, dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh sehingga bukan zat essensial dalam makanan. Sebaliknya, iodium yang dibutuhkan untuk sintesis hormone tiroid harus diperoleh dari makanan. Pembentukan, penyempitan, dan sekresi hormone tiroid melibatkan langkah-langkah tersebut :2
Semua tahap pembentukan hormone tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di dalam koloid. Tiroglobulin diproduksi oleh kompleks golgi / reticulum endoplasma sel folikel tiroid. Asam amino tirosin masuk ke dalam molekul tiroglobulin. Setelah terbentuk, tiroglobulin yang sudah mengandung tirosin di ekspor dari sel folikel ke dalam koloid melalui proses eksositosis.
Tiroid smenangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid melalui pompa iodium. Hampir semua iodium di tubuh dipindahkan melawan gradien konsentrasi untuk disimpan di tiroid untuk membentuk hormone tiroid. Iodium tidak memiliki fungsi lain di tubuh.
Di dalam koloid, iodium cepat dilekatkan ke tirosin di dalam molekul tiroglobulin. Perlekatan satu iodium ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan diiodotirosin (DIT).
Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin yang telah beriodium untuk membentuk hormone tiroid. Penggabungan MIT dengan satu DIT akan menghasilkan triiodotironin (T3). Penggabungan dua DIT menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin). Antara dua molekul MIT tidak terjadi penggabungan.
Semua produk ini tetap melekat ke tiroglobulin. Hormone tiroid tetap tersimpan dalam bentuk ini di koloid sampai terurai dan disekresikan. Jumlah hormone tiroid yang tersimpan umumnya dapat memenuhi kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan.
Pada perangsangan yang sesuai, sel folikel tiroid menelan sebagian dari koloid yang mengandung tiroglobulin melalui proses fagositosis. Lisosom menyerang vesikel yang ditelah tersebut dan memisahkan produk-produk beriodium tiroglobulin. Hormone tiroid karena sangat lipofilik , mudah melewati membrane luar sel folikel dan masuk ke dalam sirkulasi. MIT dan DIT mengalami deiodinasi, dan iodium yang bebas didaur ulang untuk membentuk hormone baru. Setelah hormone tiroid dikeluarkan ke dalam sirkulasi, molekul-molekul hormone tiroid yang sangat lipofilik berikatan dengan protein plasma. Sebagian besar T3 dan T4 diangkut oleh thyroxine-binding globulin, yang secara selektif berikatan hanya dengan hormone tiroid. Kurang dari 0.1% T4 dan kurang dari 1% T3 tetap berada dalam bentuk bebas (tak terikat). Hanya bentuk bebas dari keseluruhan hormone tiroid yang memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan efek.2
2.4 Regulasi Axis Tiroid
TSH (Thyroid-stimulating hormone) disekresi oleh sel thyrotrope oleh hipofisis anterior. TSH menjalankan peran penting dalam control aksis tiroid dan merupakan marker hormone tiroid secara fisiologis. TSH merupakan hormone 31 kDa yang terdiri atas subunit α dan β. Subunit α serupa dengan hormone glikoprotein lainnya (mis LH, FSH, dan hCG), sedangkan subunit β merupakan subunit yang unik yang hanya dimiliki oleh TSH. Kerja hormone TSH dikontrol oleh hormone TRH (Thyrotropin-releasing hormone). 4
Gambar 2.3 Regulasi Aksis Tiroid4
Aksis tiroid merupakan loop feedback endokrin. TRH diseksrei oleh hipotalamus memberikan stimulasi kepada hipofisis anterior untuk memproduksi dan mensekresi TSH. Hormone tiroid secara predominan bekerja melalui reseptor hormone tiroid β2 (TRβ2). Ketika hormone tiroid berikatan dengan reseptornya, maka akan terjadi feedback berupa inhibisi produksi TRH dan TSH. "Set point" dalam aksis tiroid, secara dominan diatur oleh TSH. TRH merupakan regulator positif sintesis dan sekresi hormone TSH. Puncak sekresi hormone TSH tercapai pada sekitar 15 menit setelah pemberian hormone TRH eksogen. Dopamin, glukokortikoid, dan somatostatin dapat menyebabkan supresi pada TSH, namun tidak berpengaruh besar, kecuali jika diberikan dalam dosis terapi. Penurunan kadar hormone tiroid dapat menyebabkan peningkatan produksi hormone TSH basal secara cepat dan meningkatkan produksi TRH untuk stimulasi sintesis dan sekresi hormone TSH. Hal tersebut menunjukkan bahwa hormone tiroid merupakan regulator dominan dalam produksi TSH.4
Seperti hormone hipofisis lainnya, TSH disekresikan secara pulsatile dan memiliki ritme diurnal. Kadar hormone TSH didapatkan mencapai kadar tertinggi saat malam hari. Dibandingkan dengan hormone hipofisis lainnya, TSH merupakan hormone hipofisis yang paling stabil. Hal ini disebabkan oleh karena TSH memiliki waktu paruh yang cukup panjang di dalam plasma, sekitar 50 menit. Oleh sebab itu, pengukuran kadar TSH sendiri sudah cukup adekuat dalam menilai kadarnya dalam sirkulasi. Kadar hormone TSH dapat digunakan dalam mendiagnosis hipertiroid (TSH rendah) maupun hipotiroid (TSH meningkat).4
2.5 Efek Hormon Tiroid dalam Tubuh
2.5.1 Efek hormone tiroid pada laju metabolisme dan produksi panas
Hormone tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh. Hormone ini adalah regulator mayor dalam laju konsumsi O2 dan pengeluaran energy tubuh dalam keadaan istirahat. Efek metabolic hormone tiroid berkaitan erat dengan efek kalorigenik sehingga menyebabkan peningkatan panas.2
2.5.2 Efek pada metabolisme antara
Hormone tiroid tidak hanya dapat memengaruhi pembentukan dan penguraian karbohidrat, lemak, dan protein. Dalam jumlah yang berbeda, hormone tiroid dapat menimbulkan efek metabolic yang berbeda. Contohnya, pada jumlah minimal, hormone tiroid dapat membentuk glukosa menjadi glikogen, namun dalam jumlah besar hormone ini dapat memecah glikogen menjadi glukosa. 2
2.5.3 Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan responsivitas sel target terhadap katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), mediator kimia yang digunakan oleh system saraf simpatis dan medulla adrenal. Hormon tiroid menyebabkan proliferasi reseptor sel target spesifik katekolamin. Sehingga jika terjadi peningkatan kadar hormone tiroid, maka akan serupa dengan aktivasi system saraf simpatis.2
2.5.4 Efek pada sistem kardiovaskular
Hormone tiroid meningkatkan sensitivitas jantung terhadap kadar katekolamin dalam darah, sehingga kontraktilitas dan curah jantung meningkat. Selain itu, sebagai respon terhadap panas yang dihasilkan oleh efek kalorigenik, akan terjadi vasodilatasi sistemik.2
2.5.6 Efek pada pertumbuhan dan sistem saraf
Hormon tiroid penting bagi pertumbuhan karena memiliki efek terhadap growth hormone dan IGF-1. Hormone tiroid berperan dalam merangsang sekresi GH dan meningkatkan produksi IGF-1 oleh hepar. Selain itu, hormone tiroid juga meningkatkan efek GH dan IGF-I dalam pembentukan protein structural dan pertumbuhan tulang. Namun, tidak seperti kelebihan hormone GH, hormone tiroid yang berlebih tidak menyebabkan pertumbuhan yang berlebih.2
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf, khususnya SSP. Hormone tiroid juga memiliki fungsi yang essensial dalam aktivitas normal SSP pada dewasa.2
2.5 Klasifikasi Hipertiroid
Berdasarkan etiologinya, hipertiroid diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Hipertiroid primer dan hipertiroid sekunder.4
Hipertiroid primer
Grave's disease
Toxic Multinodular goiter
Toxic adenoma
Functioning thyroid carcinoma metastases
Activating mutation of TSH receptor
Mc Cune-Albright syndrome
Struma ovarii
Efek obat : pemberian iodine berlebih
Hipertiroid sekunder
TSH-secreting pituitary adenoma
Sindrom resistensi hormone tiroid
Chorionic gonadotropin-secreting tumors
Tirotoksikosis gestasional
2.5 Etiologi Hipertiroid
Tabel 2.1 Etiologi Hipertiroid6
Grave's Disease merupakan penyebab tersering terjadinya hipertiroid, mencapai 60% hingga 80% dari seluruh kasus hipertiroid. Penyakit Grave disebabkan oleh autoimun. Toxic multinodular goiter merupakan etiologi sebanyak 5% kasus hipertiroid di US dan dapat 10 kali lebih sering pada daerah dengan defisiensi iodine. Penyakit ini cenderung muncul pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun dengan goiter kronik dan onset dapat muncul lebih mendadak dibandingkan dengan penyakit Grave's. Toxic adenoma merupakan nodul yang berfungsi secara autonomy yang umumnya ditemukan pada dewasa muda, terutama pada area dengan defisiensi iodine.6
Tiroiditis subakut menyebabkan onset gejala tirotoksis disebabkan oleh kebocoran hormone dari kelenjar yang mengalami inflamasi. Cenderung didahului oleh infeksi virus. Gejala cenderung dapat diatasi dalam jangka waktu delapan bulan. Namun kondisi tersebut dapat terjadi berulang pada beberapa pasien. Selain itu, dapat pula terjadi limfositik dan postpartum tiroiditis, yang merupakan inflamasi transient yang dapat menyebabkan hipertiroid, pada fase akut kondisi ini mungkin sulit dibedakan dengan penyakit Graves. Tiroiditis postpartum dapat terjadi pada 5% hingga 10% wanita pada tiga hingga enam bulan pertama pasca melahirkan.6
Penyebab hipertiroid lainnya adalah Treatment-induced hyperthyroidism. Salah satu penyebabnya ialah iodine-induced hypertiroidism. Hal ini dapat terjadi setelah intake iodine yang berlebih, paparan kontras radiografi, atau pengobatan. Kadar iodine yang berlebih dapat meningkatkan sintesis dan sekresi hormone tiroid pada pasien dengan defisiensi iodine dan pada pasien lansia dengan riwayata multinodular goiter sebelumnya.6
Selain itu, dapat pula disebabkan oleh konsumsi Amiodarone. Hipertiroid yang disebabkan oleh amiodarone mencapai 12% pada pasien yang di terapi, terutama pada daerah defisiensi iodine, hal ini terjadi dalam dua mekanisme. Mekanisme tipe I menjelaskan bahwa amiodarone mengandung 37% iodine sehingga dapat menyebabkan iodine-induced hypertiroid. Sedangkan tipe II adalah tiroiditis yang dapay mengenai pasien dengan kelenjar tiroid normal. Pengobatan menggunakan interferon, IL-2 dapat menyebabkan hipetiroid tipe II.6
Tabel 2.2 Etiologi Tirotoksikosis7
2.5.1 Penyakit Grave (Grave's Disease)
Penyakit Grave's merupakan 60-80% penyebab tirotoksikosis. Prevalensinya beragam pada setiap populasi, umumnya disebabkan oleh factor genetic dan intake iodine (intake iodine yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan prevalensi penyakit Grave). Penyakit Grave muncul sekitar 2% pada wanita, namun 1 hingga 10 kali lebih banyak terjadi pada pria. Penyakit ini cenderung muncul pada usia dewasa muda, sekitar usia 20-50 tahun, namun dapat juga terjadi pada lansia.4
Penyakit Grave diduga disebabkan oleh autoimun. Factor risiko yang berperan, antara lain factor genetic dan lingkungan. Diduga terjadi polimorfisme pada HLA-DR, CTLA-4, CD25, PTPN22 (gen yang meregulasi sel-T) dan TSH-R. selain itu, stress diduga sebagai factor tidak langsung yang dapat menyebabkan penyakit Graves. Faktor risiko lain yang diduga dapat menimbulkan penyakit Grave adalah4 :
Merokok sebagai factor risiko minor
Peningkatan intake iodine secara mendadak
Periode postpartum, terdapat tiga kali peningkatan insidensi penyakit Grave
Fase setelah pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART) atau terapi alemtuzumab
Sitokin memerankan bagian penting dalam terjadinya ophtalmopati terkait tiroid. Terdapat infoltrasi otot ekstraokular oleh sel T yang terlah teraktivasi, pelepasan sitokin, antara lain IFN-γ, TNF, dan IL-1, dapat menyebabkan aktivasi fibroblast dan meningkatkan sintesis glukosaminoglikan sehingga menarik air, sehingga menimbulkan manifestasi klinis edema otot. Pada fase lanjut dapat menyebabkan fibrosis otot. Fibroblas orbita sebagian besar sensitive terhadap sitokin, sehingga hal ini menjelaskan lokasi terjadinya edema pada orbita. Peningkatan tekanan intraorbita dapat menyebabkan proptosis, diplopia, dan neuropati optikus.4
Manifestasi klinis penyakit Grave sama dengan penyebab tirotoksikosis lainnya. Manifestasi klinis bergantung pada tingkat keparahan tirotoksikosis, durasi penyakit, faktor individu dalam sekresi hormone tiroid, dan usia pasien. Pada lansia gejala tirotoksikosis minimal dan tidak khas. Pasien cenderung hanya mengeluh lemas dan terdapat penurunan berat badan. Gejala ini dikenal dengan sebutan apathetic thyrotoxicosis.4
Gejala
Tanda
Hiperaktivitas, Iritabilitas, dan diforia
Takikardia, atrial fibrilasi pada lansia
Intoleransi panas dan berkeringat
Tremor
Palpitasi
Goiter
Mudah lelah dan lemas
Hangat, kulit lembab
Peningkatan nafsu makan disertai penurunan BB
kelemahan otot, miopati proksimal
Diare
retraksi kelopak mata
Poliuria
ginekomastia
Oligomenorrhea, penurunan libido
Tabel 2.3 Tanda dan Gejala Tirotoksikosis4
Pada pasien dengan hipertiroid tekstur rambut cenderung akan menjadi tipis, dapat disertai dengan alopecia pada 40% kasus. Kerja pencernaan menjadi lebih cepat sehingga frekuensi BAB menjadi lebih sering. Efek langsung peningkatan hormone tiroid adalah memicu terjadinya osteopenia pada tirotoksikosis kronis. Hiperkalsemia ringan muncul pada 20% kasus, namun hipekalsiuria lebih sering terjadi.4
Pada penyakit Graves, tiroid umumnya membesar secara difus dua hingga tiga kali dibandingkan ukuran normal. Konsistensi tiroid umumnya kenyal. Dapat ditemukan thrill atau bruit yang disebabkan oleh peningkatan vaskularisasi kelenjar dan sirkulasi yang hiperdinamik.
Retraksi kelopak mata dapat muncul pada pasien tirotoksikosis akibat overaktivitas simpatis. Penyakit Grave memiliki gejala pada mata yang disebut dengan Grave's opthalmopathy. Gambaran ini disebut juga sebagai thyroid associated opthalmopathy, namun gambaran ini dapat muncul pada kelainan tiroid tanpa disertai penyakit Graves sebanyak 10%. Onset Grave's ophtalmopathy muncul dalam beberapa tahun sebelum atau sesudah diagnosis tirotoksikosis ditegakkan. Namun dalam beberapa kasus ophtalmopathy dapat terjadi dalam keadaan eutiroid, disebut sebagai euthyroid ophthalmopathy
Gambar 2.4 Ophthalmology pada Grave's Disease ; retraksi kelopak mata, edema periorbital, injeksi konjungtiva, dan proptosis4
Beberapa pasien dengan penyakit Grave memiliki gejala ophthalmopathy yang ringan. Manisfestasi khas yang muncul adalah pembesaran otot ekstraokular. Manifestasi awal ophthalmopathy adalah sensasi mengganjal, mata terasa tidak nyaman, dan produksi air mata yang berlebih. Sekitar satu per tiga pasien mengalami proptosis, paling baik dideteksi dengan mengamati sclera diantara batas bawah iris dan kelopak mata bawah, dengan mata dalam posisi primer. Proptosis dapat diukur dengan menggunakan exophthalmometer. Pada beberapa kasus, proptosis dapat menyebabkan pajanan pada kornea, hingga kerusakan kornea, terutama jika kelopak gagal menutup pada saat tidur. Edema periorbita, injeksi sclera, dan kemosis juga sering muncul. Pada sekitar 5-10% pasien dengan edema otot yang cukup berat dapat menyebabkan munculnya keluhan diplopia, terutama saat pasien melirik ke atas dan lateral. Komplikasi terberat adalah terjadinya kompresi nervus optikus pada apeks orbita, dapat menyebabkan edema papil, defek lapang pandang perifer, hingga hilangnya fungsi penglihatan permanen.4
Terdapat beberapa system scoring yang digunakan dalam menentukan luas dan aktivitas perubahan orbita pada penyakit Graves. Salah satunya adalah penggunaan skema NO SPECS
O : No signs or symptoms
1 : Only signs (lid retraction or lag), no symptoms
2 : Soft-tissue involvement (edema periorbita)
3 : Proptosis (>22 mm)
4 : Extraocular-muscle involvement (diplopia)
5 : Corneal involvement
6 : Sight loss
Tabel 2.5 Penilaian Grave's Ophtalmopathy7
Tabel 2.6 Penilaian Derajat Keparahan Grave's Ophtalmopathy7
Tabel 2.8 Penggunaan Glukokortikoid Oral pada Pasien Grave's Ophthalmopathy7
Gejala lain yang dapat muncul adalah dermopathy tiroid, didapatkan pada sekitar 5% penderita penyakit Grave, umumnya pada penderita telah didapatkan gambaran ophthalmopathy moderate hingga berat. Dermopathy sering muncul pada aspek anterior dan lateral tungkai bawah (didapatkan gambaran myxedema pretibial), disertai perubahan warna kulit pada bagian tungkai lainnya, terutama pada tungkai pasca trauma. Lesi umumnya tidak disertai tanda inflamasi, plak indurasi dengan warna merah tua atau keunguan, dan tampak gambaran kulit jeruk.4
Gambar 2.5 Thyroid Dermopathy4
Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah Thyroid acropachy, merupakan gambaran clubbing finger pada pasien hipertiroid.
Gambar 2.6 Thyroid acropachy4
2.6 Penegakkan Diagnosis Tirotoksikosis
Gambar 2.7 Evaluasi Diagnosis Tirotoksikosis4
Kelainan hormone tiroid umumnya disebabkan oleh gangguan di dalam kelenjar tiroid itu sendiri dan jarang disebabkan oleh gangguan pada hipotalamus atau hipofisis anterior. Pemeriksaan dasar yang sebaiknya dilakukan adalah pengukuran free T3 dan free T4. Kadar free T3 dan free T4 lebih bermanfaat disbanding mengukur kadar T3 dan T4 karena dipengaruhi oleh Thyroxine binding globuline (TBG). Kadar T3 dan T4 total meningkat jika kadar TBG meningkat, begitu pun sebaliknya. Kadar T3 dan T4 bebas tidak dipengaruhi oleh kadar TBG. Kadar TBG meningkat pada kehamilan, hepatitis, dan terapi estrogen (HRT, pil kontrasepsi oral). Kadar TBG dapat menurun pada keadaan sindrom nefrotik dan malnutrisi (kehilangan protein), konsumsi obat-obatan (misalnya androgen, kortikosteroid, fenitoin), penyakit hati kronik, dan akromegali.5
Selain pemeriksaan kadar T3 dan T4 bebas, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH. Pemeriksaan kadar TSH bermanfaat untuk setiap kecurigaan hipertiroidisme. Pada setiap kecurigaan hipertiroid, maka perlu dilakukan pemeriksaan T3, T4, dan TSH. Dalam hipertiroid semua akan menyebabkan TSH menurun, kecuali dalam fenomena yang langka, yaitu terjadinya adenoma hipofisis penyekresi TSH. Kebanyakan mengalami peningkatan T4, tetapi hanya kurang dari 1% dari kasus yang hanya mengalami peningkatan T3.5
TSH, T4
Hipotiroidisme
TSH, T4 normal
Hipotirodisme yang telah diobati atau hipotiroidisme subklinis
TSH, T4
Tumor penyekresi TSH atau resistensi hormone tiroid
TSH, T4, atau T3
Konversi lambat T4 menjadi T3 (Defisiensi deiodinase, hipertiroksinemia eutiroid) atau artefak antibody hormone tiroid.
TSH, T4 atau T3
Hipertiroidisme
TSH, T3 dan T4 normal
Hipertiroidisme subklinis
TSH , T4
Hipotiroidisme sentral (gangguan hipotalamus atau hipofisis)
TSH, T4 dan T3
Sick eutiroidism, atau penyakit hipofisis
TSH normal, T4 abnormal
Pertimbangkan adanya perubahan pada globulin pengikat tiroid, gangguan assay, konsumsi amiodarone, atau tumor TSH hipofisis.
Tabel 2.9 Penilaian Laboratorium Tirotoksikosi4
Gambar 2.8 Alur Diagnosis Hipetiroidisme6
Berdasarkan journal American Family Physician, dikatakan jika pasien dengan tanda dan gejala hipertiroidisme disarankan mengukur TSH sebagai test inisial. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan jika kadar TSH abnormal. Kadar TSH yang tidak terdeteksi atau menurun dapat menegakkan diagnosis hipertiroid. Antibody antitiroid meningkat pada penyakit Grave's dan limfositik tiroiditis namun umumnya tidak digunakan dalam penegakkan diagnosis. Kadar antibody yang distimulasi oleh tiroid juga dapat digunakan untuk memonitoring efek terapi obat anti-tiroid pada pasien penyakit Grave's. pada pemeriksaan laboratorium hipertiroid dapat didapatkan hasil yang tidak khas, seperti anemia, granulositosis, limfositosis, hiperkalemia, peningkatan enzim transaminase, dan peningkatan alkaline fosfatase.6
2.7 Tata Laksana
Pilihan terapi hipertiroid bergantung pada penyebab dan tingkat keparahan penyakit, usia pasien, besar struma, kondisi komorbid, dan kebutuhan terapi. Tujuan terapi ialah untuk mengoreksi keadaan hipermetabolik dengan efek samping terendah dan kemungkinan menyebabkan hipotiroidisme terkecil. Pilihan terapi pada hipertiroid antara lain6 :
Beta blockers
Mekanisme kerjanya adalah dengan menginhibisi efek adrenergic.
Indikasi penggunaan ialah untuk mengontrol symptoms, merupakan terapi pilihan pada tiroiditis, merupakan 1st line terapi sebelum tindakan pembedahan, iodine radioaktif, dan obat anti tiroid, serta dapat digunakan sebagai terapi jangka pendek dalam kehamilan.
Kontraindikasi dan komplikasi : amati penggunaan pada pasien lansia dan pasien dengan riwayat penyakit jantung, PPOK, atau asma.
Tabel 2.10 Penggunaan Beta Blocker pada Terapi Tirotoksikosis
Berdasarkan penelitian American Thyroid Association, maka direkomendasikan untuk memberikan terapi beta-blocker pada pasien lansia dengan tirotoksikosis atau pada pasien tirotoksik dengan resting heart rate lebih dari 90 bpm atau dengan riwayat penyakit kardiovaskular. Selain itu, pemberian beta blocker direkomendasikan pada seluruh pasien dengan tirotoksikosis simptomatis.7
Pemberian beta blocker pada pasien dapat menimbulkan penurunan heart rate, penurunan tekanan darah sistolik, kelemahan otot, dan tremor. Gejala tersebut dapat pula disertai dengan iritabilitas, labilitas emosi, dan intoleransi aktivitas atau mudah lelah. Pemberian beta blocker juga di kontraindikasikan pada pasien dengan bronkospasme. Namun, pada pasien dengan asma bronkospastik ringan dan PPOK ringan yang memerlukan control heart rate maka pemberian Nadolol dapat dipertimbangkan dengan pengawasan ketat selama pemberian. Pemberian calcium-channel blocker (diltiazem dan verapamil) yang diberikan secara oral menampakkan hasil efek control yang baik pada pasien yang tidak toleransi atau kontraindikasi pada pemberian beta blocker.7
Iodida
Memblok konversi T4 menjadi T3 dan menginhibisi sekresi hormone
Indikasinya adalah menurunkan secara cepat kadar hormone tiroid, merupakan obat yang dapat digunakan pada preoperative ketika medikasilain tidak infektif atau terdapat kontraindikasi, dapat digunakan selama masa kehamilan jika obat anti-tiroid lain tidak dapat ditoleransi, dapat digunakan bersama obat anti-tiroid untuk terapi amiodarone-induced hypertiroidism.
Kontraindikasi dan komplikasi: peningkatan pelepasan hormone dengan penggunaan yang memanjang, efek samping yang sering dijumpai antara lain konjungtivitis, acneform rash, sialadenitis.
Obat Antitiroid
Mekanisme : PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3 dalam jumlah besar di perifer.
Indikasi : merupakan 1st line terapi jangka panjang pada Grave's disease (di Eropa, Jepang, dan Australia), PTU merupakan pilihan terapi pada pasien hamil dengan Grave's disease berat; merupakan pilihan terapi Grave's disease pada anak dan dewasa yang menolak menjalani terapi radioaktif iodine; pretreatment pada lansia pasien dengan penyakit jantung sebelum pembedahan atau menjalani terapi radioaktif; dapat digunakan selama menyusui.
Kontraindikasi : angka kekambuhan sangat tinggi, terutama pada perokok, pasien dengan ukuran goiter yang besar, dan pasien dengan thyroid-stimulating antibody level pada pengobatan fase lanjut. Efek samping yang sering muncul antara lain polyarthritis (1-2%), agranulositosis (0.1-0.5%), PTU dapat menyebabkan peningkatan enzim transaminase (30%), dan hepatitis imunoalergik (0.1-0.2%), methimazole dapat menyebabkan cholestasis dan abnormalitas kongenital, namun jarang. Efek samping minor (<5%) adalah rash, demam, efek gastrointestinal, dan arthralgia.
Berdasarkan guidelines American Thyroid Assosiation direkomendasikan untuk menggunakan obat anti tiroid pada pasien dengan kecenderungan tinggi untuk remisi (pasien, terutama wanita, dengan goiter ukuran kecil ringan, dan titer TRAb kadar rendah atau negatif), pasien lansia dengan peningkatan komorbiditas risiko pembedahan atau dengan angka harapan hidup yang rendah, pasien yang tidak memenuhi regulasi keamanan dalam terapi radiasi.7
Tujuan pengobatan dengan menggunakan obat anti tiroid adalah untuk membuat pasien berada dalam kondisi eutiroid, namun tidak akan menyembuhkan Grave's hipertiroid. Namun, jika digunakan dalam dosis yang adekuat, terapi ini sangat efektif dalam mengontrol hipertiroid.7
Methimazole direkomendasikan sebagai terapi yang digunakan pada setiap pasien dengan obat anti tiroid, kecuali pada kehamilan trimester pertama (pilihannya adalah PTU), krisis tiroid, dan pasien yang mengalami reaksi minor dengan pemberian methimazole. Selain itu, pasien yang mulai mengonsumsi obat anti tiroid direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap, diff count, dan profile fungsi hepar termasuk bilirubin dan enzim transaminase. Kontraindikasi untuk memulai terapi dengan obat anti-tiroid adalah jika jumlah neutrophil <500/mm3 atau kadar enzim transaminase meningkat lebih dari 5x lipat dari normal. Monitoring profile hepar pasien dengan konsumsi obat anti-tiroid rutin direkomendasikan dilakukan secara rutin, terutama pada 6 bulan pertama terapi. Namun, sulit dibedakan apakah penyebab peningkatan enzim transaminase tersebut disebabkan oleh pemberian anti-tiroid atau disebabkan oleh tirotoksikosis persisten. Namun umumnya, peningkatan enzim transaminase yang disebabkan oleh pemberian PTU bersifat akut dan sangat progresif. Pemberian PTU harus dihentikan jika didapatkan kadar enzim transaminase meningkat 2-3 kali lipat diatas normal dan tidak mengalami perbaikan dalam 1 minggu saat dilakukan pengukuran ulang. Setelah pemberian PTU dihentikan, profil fungsi hepar harus dimonitor setiap minggu hingga mencapai nilai normal.
Radioaktif
Mekanisme : terkonsentrasi pada kelenjar tiroid dan menghancurkan jaringan tiroid
Indikasi : memiliki high cure rates pada terapi single-dose (80%), merupakan terapi pilihan pada Grave's disease di US, multinodular goiter, nodul toksik, dan pasien dengan usia > 40 tahun, serta pada pasien yang mengalami relapse dengan terapi obat antitiroid.
Kontraindikasi : pasien hamil atau sedang menyusui, dapat menyebabkan suara serak, flushing, dan penurunan pengecapan, serta radiation thyroiditis (1%), dapat menimbulkan eksaserbasi Grave's ophthalmopathy. Membutuhkan pre-terapi dengan menggunakan obat anti-tiroid pada pasien dengan riwayat sakit jantung.
Pembedahan (Subtotal Tiroidektomi)
Mekanisme : mengurangi massa tiroid
Indikasi : terapi pilihan pada pasien hamil dan anak-anak dengan yang timbul efek samping dalam penggunaan obat anti tiroid, nodul toksik pada pasien dengan usia < 40 tahun, dan goiter yang besar dengan gejala hebat. Dapat menjadi pilihan pada pasien yang menolak terapi radioaktif, atau gagal dalam menjalani terapi anti-tiroid, serta dapat dilakukan dengan indikasi kosmetik.
Komplikasi dan kontraindikasi : risiko hipotiroid (25%), relapse hipertiroid (8%), hipoparatiroid temporer atau permanen, paralisis laring (<1%), morbiditas lebih tinggi. Kondisi pasien pre-operatif diharuskan mencapai kondisi eutiroid, sehingga membutuhkan pre-terapi dengan obat anti-tiroid dan iodide untuk menghindari terjadinya krisis tirotoksis.
Berdasarkan American Thyroid Assosiation direkomendasikan untuk memilih terapi pembedahan pada pasien dengan ukuran goiter besar (volume 80 gr), uptake iodium pada radioaktif relative rendah, dan jika dicurigai atau didapatkan adanya kemungkinan malignansi iodine, large non functioning, hypofunction nodule, wanita yang merencanakan kehamilan dalam jangka waktu < 4-6 bulan, atau disertai dengan hiperparatiroid yang membutuhkan terapi pembedahan.7
Sementara itu, kontraindikasi dilakukannya pembedahan adalah adanya komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular, kardiopulmonar, cancer stadium akhir. Kehamilan merupakan kontraindikasi relative, dan hanya boleh digunakan dalam keadaan mendesak, yaitu jika dibutuhkan control cepat hipertiroidisme dan obat anti-tiroid tidak dapat dikonsumsi. Tiroidektomi paling baik dihindari pada kehamilan trimester pertama dan trimester ketiga. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik yang terkait dengan agen anastesi, peningkatan risiko abortus pada trimester pertama, dan peningkatan risiko persalinan preterm pada trimester ketiga. Secara optimal, tiroidektomi disarankan dilakukan pada akhir trimester kedua, namun tetap menimbulkan risiko (4.5%-5.5% risiko persalinan preterm).7
2.7.1 Tata laksana Penyakit Grave
Hipertiroid pada penyakit Graves di terapi dengan mengurangi sintesis hormone tiroid menggunakan obat anti tiroid atau mengurangi jumlah jaringan tiroid dengan radioidine (I131) atau dengan tiroidektomi.4
Obat antiroid utama adalah thionamides, seperti propylthiouracil, carbimazole, dan metabolit aktif, yaitu methimazole. Semua bekerja untuk menginhibisi fungsi TPO, mengurangi oksidasi, dan organifikasi iodine. Selain itu, obat-obatan tersebut juga berfungsi dalam menurunkan kadar antibody tiroid dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan, sehingga berpengaruh dalam peningkatan remisi. PTU menginhibisi deiodinasi T4 menjadi T3. Namun, efek tersebut masing memberikan efek yang minimal Hal ini disebabkan oleh karena waktu paruh obat yang singkat (hanya 90 menit), dibandingkan dengan waktu paruh methimazole, yaitu enam jam.4
Terdapat banyak variasi regimen obat antitiroid. Dosis inisial carbimazole atau methimazole umumnya 10-20 mg per 8 atau 12 jam, namun dosis dapat diturunkan menjadi sekali sehari jika keadaan sudah kembali menjadi eutiroid.PTU diberikan dengan dosis 100-200 mg tiap 6-8 jam. Pemberian terapi dengan dosis rendah dapat dilakukan jika dikombinasikan dengan intake iodine yang rendah. 4
Tes fungsi tiroid dan menifestasi klinis dapat di evaluasi setiap 3-4 minggu setelah terapi dimulai. Dosis dititrasi sesuai dengan kadar free T4, pada umumnya, sebagian besar pasien belum mencapai kondisis eutiroid hingga minggu keenam hingga kedelapan pasca terapi dimulai. Kadar TSH cenderung kembali menurun pada beberapa bulan, sehingga sulit untuk menilai indeks respon terapi. Dosis rumatan pada regimen titrasi umumnya carbimazole atau methimazole 2.5-10 mg atau PTU dengan dosis 50-100 mg.4
Remisi maksmimal (pada lebih dari 30% hingga 50% populasi) cenderung dicapai pada 18-24 bulan setelah terapi titrasi. Pasien dengan hipertiroidism berat dan goiter yang besar sebagian besar mengalami relaps saat terapi dihentikan. Seluruh pasien sebaiknya sering dievaluasi untuk kemungkinan relaps selama satu tahun pertama terapi dan dievaluasi setiap tahunnya pasca terapi dimulai. 4
Efek samping tersering pada obat antitiroid adalah bercak-bercak kemerahan, urticarial, demam, dan arthralgia (1-5% pasien) efek samping tersebut dapat hilang dengan sendirinya atau dapat disarankan untuk mengganti terapi obat antitiroid. Efek samping lain, namun jarang terjadi adalah hepatitis, SLE-like syndrome, dan yang terpenting adalah agranulositosis (1%). Hal terpenting yang harus diingat adalah jika pasien mengalami efek samping berat, maka pemberian obat harus dihentikan dan tidak diulang kembali. Tanda-tanda terjadinya agranulositosi adalah suara serak, demam, dan ulserasi pada mulut. 4
Pemberian propranolol, (20-20 mg setiap 6 jam) atau beta-blocker long acting dapat membantu mengontrol gejala adrenergic, terutama pada fase awal sebelum obat anti tiroid memberikan efek.
Radioiodine menyebabkan destruksi progresif sel tiroid dan dapat digunakan sebagai terapi inisial atau untuk fase relaps setelah percobaan penggunaan obat antitiroid. Terdapat risiko ringan terjadinya krisis tirotoksik setelah terapi radioiodine, hal tersebut dapat diminimalisir dengan pemberian pre-treatment dengan obat anti tiroid selama minimal 1 bulan sebelum terapi. Carbimazole dan methimazole sebaiknya dihentikan minimal dua hari sebelum pemberian radioiodine untuk mencapai uptake iodine optimal. PTU dapat memperpanjang efek radio protektif sehingga sebaiknya dihentikan beberapa minggu sebelum pemberian terapi radioiodine, atau akan membutuhkan dosis radioiodine yang lebih tinggi.4
Dosis I131 umumnya berkisar antara 185 MBq (5mCi) hingga 555 MBq (15 mCi). Terapi yang tidak tuntas atau relaps dini lebih sering terjadi pada laki-laki dan pasien usia <40 tahun. Pada umumnya, terdapat kemungkinan terjadinya nyeri minimal dikarenakan tiroiditis radiasi pada 1-2 minggu pasca terapi, namun hal ini jarang terjadi. Hipertiroid dapat menetap pada 2-3 bulan sebelum radioiodine memberikan efek penuh. Oleh sebab itu, β-adrenergik blocker atau obat antitiroid dapat dimanfaatkan untuk mengontrol gejala selama interval berikut. Hipertiroid persisten dapat diterapi dengan dosis sekunder radioiodine, biasanya dilakukan enam bulan setelah terapi iodine pertama. Risiko terjadinya hipotiroid pasca terapi radioiodine bergantung pada dosis yang diberikan, namun cenderung muncul paling sedikit 10-20% pada tahun pertama terapi dan 5% setaipa tahun setelahnya. Pasien harus diberikan informasi mengenai kemungkinan tersebut sebelum menjalan terapi radioiodine, selain itu perlu dilakukan follow up rutin selama tahun pertama terapi, disertai dengan tes fungsi tiroid.4
Kehamilan dan menyusui merupakan kontraindikasi absolut dilakukannya terapi radioiodine, namun pasien dapat merencanakan kehamilan secara aman pada 6 bulan pasca terapi. Selain itu, jika terdapay ophthalmopathy berat, maka disarankan untuk memberikan prednisone 40 mg/hari saat akan dilakukan terapi radioiodine, diikuti dengan tapering off 2-3 bulan berikutnya untuk mencegah eksaserbasi ophthalmopathy. Secara keseluruhan, terapi radioiodine pada dewasa tidak meningkatkan risiko keganasan. Walau begitu, banyak ahli menghindari untuk memberikan terapi radioiodine pada anak-anak dan dewasa muda karena secara teori dapat meningkatkan risiko keganasan, namun beberapa penelitian menjelaskan bahwa terapi radioiodine aman diberikan pada anak.4
Subtotal atau near-total thyroidectomy merupakan terapi pilihan pada pasien yang mengalami relaps setelah pemberian obat antitiroid dan lebih memilih terapi ini dibandingkan dengan terapi radioiodine. Beberap ahli merekomendasikan pembedahan pada pasien dewasa muda, terutama jika goiter yang diderita memiliki ukuran yang besar. Control rutin terhadap tirotoksikosis dengan obat antitiroid, diikuti dengan pemberian potassium iodide (3 tetet per oral) diperlukan pada awal pembedahan untuk menghindari terjadinya krisis tirotoksis dan mengurangi vaskularisasi kelenjar. Komplikasi mayor yang dapat terjadi saat pembedaha adalah perdarahan, edema laring, hipoparatiroid, dan kerusakan nervus laringeus rekurens. 4
Pemberian obat antitiroid dengan titrasi sebaiknya digunakan untuk menangani penyakit Grave pada kehamilan. Pemberian obat antitiroid pada pasien hamil dapat menyebabkan hipotiroid pada janin. PTU biasanya digunakan karena memiliki transfer transplasenta yang relative rendah dan memiliki kemampuan untuk memblok konversi T4 menjadi T3. Selain itu, carbimazole dan methimazole dikaitkan dengan kejadian aplasia cutia dan kelainan kongenital lain, seperti choanal atresia. Terapi PTU harus diberikan dengan dosis optimal terendah, dan sebaiknya dihentikan pada trimester ketiga karena kadar TSI menurun pada kehamilan. Pemberian antitiroid pada ibu dapat digunakan untuk terapi pada janin, dan dibutuhkan selama 1-3 bulan setelah kelahiran, hingga antibody maternal menghilang pada sirkulasi bayi. Periode post partum merupakan waktu tersering terjadinya relapse pada penyakit Graves. Menyusui masih aman dilakukan pada pemberian obat antitiroid dengan dosis rendah. Penyakit Grave pada anak umumnya dapat diterapi dengan obat anti tiroid. Radioidine dan pembedahan dapat diindikasikan pada penyakit berat.4
Tabel 2.11 Perbandingan Berbagai Modalitas Terapi di Grave's Hipertiroid8
Ophthalmopathy tidak membutuhkan terapi aktif jika masih derajat ringan hingga sedang, karena seringkali terjadi perbaikan spontan.disarankan melakukan pemeriksaan rutin, termasuk kadar hormone tiroid dan mengurangi kebiasaan merokok. Keluhan tidak nyaman dapat ditangani dengan air mata buatan, salep mata, dan penggunaan kaca mata gelap. Untuk edema periorbita dapat ditangani dengan posisi tidur dengan posisi kepala lebih tinggi atau dengan pemberian diuretic. Sedangkan untuk ekpose kornea selama tidur dapat ditangani dengan penggunaan tape pada kelopak mata. Untuk ophthalmopathy berat dengan gangguan nervus optikus atau kemosis yang menyebabkan kerusakan kornea, merupakan indikasi untuk dilakukan penanganan bersama dengan dokter spesialis mata. Untuk tata laksana awal dapat diberikan glukokortikoid dosis tinggi (mis. Prednisone 40-80 mg per hari), kadang dikombinasikan dengan cyclosporine. Dosis glukokortikoid di tapering 5 mg setiap 2 minggu, namun tapering cenderung menyebabkan kondisi emergensi kongestif kembali muncul. Terapi lain yang digunakan adalah pemberian metilprednisolone (500-1000 mg dalam 250 mL infus saline dalam 2 jam setiap hari selama 1 minggu) diikuti dengan pemberian regimen oral. Ketika pemberian glukokortikoid tidak efektif, maka dekompresi orbita dengan mengangkat tulang-tulang orbita dapat dilakukan, namun tindakan ini dapat menyebabkan dislokasi lipid dan edema otot ekstraorbita.4
Thyroid dermopathy pada umumnya tidak membutuhkan terapi, namun cenderung pasien mengeluhkan terkait kosmetik atau kesulitan dalam menggunakan sepatu. Terapi bedah tidak diindikasikan, terapi yang biasa digunakan adalah topical, yaitu salep glukokortikoid potensi tinggi.4
2.8 Krisis Tiroid
Krisis Tirotoksis atau storm tiroid, jarang dan merupakan eksaserbasi hipertiroid yang mengancam nyawa, gejala yang menyertainya antara lain demam, delirium, kejang, muntah, diare, dan ikterik. Kadar mortalitas akibat gagal jantung, aritmia, dan hipertermia cukup tinggi, yaitu sekitar 30% meskipun dengan terapi. Krisis tirotoksis biasanya dicetuskan oleh penyakit akut,( misalnya stroke, infeksi, trauma, dan ketoasidosis DM), pembedahan (terutama pada daerah tiroid), atau terapi radioiodine pada pasien hipertiroid yang telah diberikan terapi sebagian atau belum diberikan terapi.
Tabel 2.11 Skala Diagnosis Krisis Tiroid7
Penanganan pada krisis tirotoksik membutuhkan monitoring dan terapi suportif, identifikasi dan terapi penyebab pencetus, dan pengukuran penurunan sintesis hormone tiroid. PTU dosis tinggi (600 mg loading dose dan 200-300 mg tiap 6 jam) sebaiknya diberikan secara oral atau melalui pipa nasogastric atau per rektal. PTU dipilih karena efek kerjanya dalam menginhibisi konversi T4 menjadi T3. Satu jam setelah pemberian PTU dosis pertama, perlu dilakukan stabilisasi iodide untuk memblok sintesis hormone tiroid melalui efek Wolff-Chaikoff (perlambatan memungkinkan obat anti tiroid untuk mencegah kelebihan iodine dalam membentuk hormone baru) . stabilisasi iodine dapat dilakukan dengan pemberian potassium iodide ( 5 tetes tiap 6 jam), atau ipodate atau asam iopanic (500 mg per 12 jam) per oral. Selain itu, dapat pula diberikan sodium iodide 0.25 gr IV tiap 6 jam, namun jarang dilakukan karena jarang tersedia. Propranolol sebaiknya diberikan untuk mengurangi takikardi dan manifestasi adrenergic lainnya (40-60 mg PO setial 4 jam, atau 2 mg IV setiap 4 jam). Meskipun pemberian β-adrenergik blockers dapat digunakan, namun pemberian dalam dosis tinggi dapat menurunkan konversi T4 menjadi T3, sehingga dapat menimbulkan efek inotropic negative. Terapi tambahan yang dapat diberikan antara lain glukokortikoid (dexamethasone 2 mg tiap 6 jam), antibiotik jika didapatkan adanya infeksi, oksigen dan cairan intravena.4
Tabel 2.12 Dosis Obat Krisis Tiroid7
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian kesehatan Indonesia. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan Indonesia.
Sherwood, lauralee. 2009. Human physiology from cells to system 6th Ed. Jakarta : EGC
R. Djoko Moejianto. 2009. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III h.1993-2009. Jakarta : Interna Publishing
Harrisons. 2012. Disorder of the Thyroid Gland. Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Ed p.5767- 5806. Mc Graw Hill
Murray Longmore, et al. 2012. Buku Saku Oxford Kedokteran Klinis Ed 8.
Jakarta : EGC
Jeri R Reid dan Stephen Wheeler. 2005. Hyperthyroidism : Diagnosis and Treatment. American Family Physician Vol 72, number 4; August 15,2005
Rebecca S Bahn, et al. 2011. Hypertiroidism and Other Causes Of Thyrotoxicosis Management Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinology. Hyperthyroidism Management Guidelines, Endocr Pract, May 24, 2011; 17 (No.3)
Elias S Siraj, MD. 2008. Updateoh Diagnosis and Treatment of Hypertiroidism. Department of Medicine,Section of Endocrinology, Diabetes, and Metabolism, Temple Universitiy School of Medicine, Philladelphia; June 2008 JCOM Vol.15 No.6 p.298-307