BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Angka kematian kematian ibu (AKI) merupakan salah salah satu indikator dalam menentukan derajat derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu Ibu tertinggi dibandingkan negaranegara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2003). Berdasarkan SDKI 2007 Indonesia telah berhasil menurunkan Angka Kematian Ibu dari 390/100.000 kelahiran hidup (1992) menjadi 334/100.000 kelahiran hidup (1997). Selanjutnya turun menjadi 228/100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2008). Meskipun telah terjadi penurunan dalam beberapa tahun tarakhir akan tetapi penurunan tersebut masih sangat lambat (Wilopo, 2010). Langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu adalah mengetahui penyebab utama kematian. Penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab obstetri langsung yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/eklampsi 24 %, infeksi 11 %, sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obstetri 5 % dan lain – lain – lain 11 % (WHO, 2007). Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya dan mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda dan kehamilan tua ialah kehamilan 28 minggu (dengan berat janin 1000 gram), meningat kemungkinan hidup janin diluar uterus (Wiknjosastro, 1999). Kondisi kematian ibu secara keseluruhan diperberat oleh “tiga terlambat” yaitu terlambat dalam pengambilan keputusan, terlambat mencapai tempat rujukan, terlambat 3 dalam mendapatkan pertolongan yang tepat di fasilitas kesehatan ( Dinas Propinsi NTB, 2010). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini meliputi : 1. Apa yang dimaksud dengan pendarahan pada kehamilan muda, pendarahan antepartum dan pendarahan postpartum? 2. Bagaimana klasifikasi pendarahan pada kehamilan muda, pendarahan antepartum dan pendarahan postpartum? 3. Bagaimana etiologi, patofisiologi, faktor resiko, tanda dan gejala, diagnose komplikasi serta penanganan pendarahan pada kehamilan muda, pendarahan antepartum dan pendarahan postpartum?
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan pendarahan pada kehamilan muda, pendarahan antepartum dan pendarahan porspartum 2. Tujuan khusus a. Mengetahui definisi dari pendarahan pada kehamilan muda, pendarahan antepartum dan pendarahan postpartum b. Mengetahui klasifikasi pendarahan pada kehamilan muda, pendarahan antepartum dan pendarahan postpartum c. Mengetahui etiologi, patofisiologi, faktor resiko, tanda dan gejala, komplikasi serta memahami cara penanganan pendarahan pada kehamilan muda, pendarahan antepartum dan pendarahan postpartum.
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pendarahan pada Kehamilan Muda B. Pendarahan Antepartum 1. Definisi Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada umur kehamilan yang telah melewati trimester III atau menjelang persalinan. (Hadijanto cit Saifuddin dkk, 2010). Terminologi lain menjelaskan perdarahan antepartum sebagai perdarahan yang terjadi pada traktus genital wanita hamil pada usia kehamilan lebih dari 24 minggu dan sebelum kelahiran bayi (Hanretty, 2003). 2. Klasifikasi a. Plasenta Previa 1) Definisi Plasenta previa adalah plasenta yang tidak berimplantasi di tempat normal yaitu pada kavum uteri, melainkan di segmen bawah uterus sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum sebagai jalan lahir normal. 8Keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan yang terjadi pada trimester ketiga kehamilan sehingga tergolong sebagai perdarahan antepartum. Perdarahan yangterjadi setelah bayi atau plasenta dilahirkan umumn ya termasuk perdarahan yang berat, dan apabila tidak ditangani secara sigap dapat mengakibatkan syok yang fatal. Keadaan ini harus diantisipasi sedini mungkin, sebelum terjadi perdarahan yang dapat membahayakan ibu dan bayin ya (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). 2) Klasifikasi Plasenta previa diklasifikasikan menjadi 4, yaitu : (1) total atau komplit apabila plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum, (2) parsial apabila plasenta menutupi sebagian ostium uteri internum, (3) marginal apabila bagian plasenta menyentuh tepi ostium uteri internum, (4) letak rendah apabila plasenta berada di segmen bawah uterus namun tidak menyentuh ostium uteri internum (Bahar dkk,2009). Plasenta dikatakan letak rendah jika jaraknya kurang lebih 2 cm dari ostium uteri internum, sedangkan jika terletak pada j arak lebih dari 2 cm dianggap sebagai plasenta letak normal. Plasenta previa komplit dan parsial digolongkan sebagai “major placenta previa”, sedangkan plasenta previa marginal dan letak rendah digolongkan sebagai “minor placenta previa” (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). 3) Tanda dan Gejala Penyakit ini memiliki gejala berupa perdarahan berulang yang tidak banyak, tidak disertai nyeri, dan timbul pada waktu yang tidak tentu, tanpa adanya
trauma. Perdarahan disertai adanya kelainan letak janin, atau pada usia kehamilan lebih tua bagian bawah janin masih mengambang di atas pintu atas panggul dan belum masuk ke rongga panggul. Wanita hamil yang diduga menderita plasenta previa harus secepatnya dirujuk ke Rumah Sakit dan tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam karena hanya akan memperburuk kondisi perdarahan (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). 4) Etiologi Penyebab dari plasenta previa belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang diduga kuat menimbulkan kelainan ini. Salah satu penyebab plasenta previa yaitu vaskularisasi desidua yang tidak memadai, sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Multiparitas dan cacat rahim juga berhubungan dengan kejadian plasenta previa. Hal ini berkaitan dengan proses peradangan dan atrofi di endometrium, misalnya bekas bedah caesar, kuretase, dan miomektomi. Cacat bekas bedah caesar bahkan dapat menaikkan insiden dua sampai tiga kali lebih besar (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Usia lanjut juga meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Penelitian yang dilakukan di Parkland Hospital, Dallas, Amerika Serikat terhadap 169.000 10 kelahiran yang terjadi pada tahun 1988-1999 menyimpulkan bahwa insiden 1 : 1.500 pada ibu berusia 19 tahun atau lebih muda, dan 1 : 100 untuk ibu berusia 35 tahun atau lebih tua (Cunningham,2005). Insidensi plasenta previa meningkat hingga dua kali lipat pada wanita perokok. Hipoksemia akibat zat karbon monoksida hasil pembakaran rokok menyebabkan hipertrofi plasenta sebagai upaya kompensasi. Penyebab lainnya antara lain plasenta yang terlalu besar, misalnya pada kehamilan ganda dan kasus erotroblastosis fetalis. Kelainan tersebut menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi seluruh atau sebagian ostium uteri internum (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010 ). 5) Patofisiologi Letak plasenta secara fisiologis umumnya di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas arah fundus uteri. Hal ini disebabkan permukaan bagian atas korpus uteri lebih luas, sehingga tersedia lebih banyak tempat untuk berimplantasi. Plasenta berimplantasi pada tempat tertentu di mana terdapat venavena yang lebar (sinus) untuk menampung darah kembali. Suatu ruang vena yang luas di bagian pinggir plasenta berfungsi untuk menampung darah dari ruang intervilier (Abdat, 2010). Manuaba (2008) menyatakan terjadinya implantasi plasenta di segmen bawah rahim dapat disebabkan karena : (1) endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, (2) lapisan endometrium tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin, (3) vili khorialis pada chorion leave yang persisten Usia kehamilan yang bertambah tua
menyebabkan segmen bawah uterus melebar dan serviks mulai membuka. Implantasi plasenta yang abnormal pada segmen bawah uterus akan mengakibatkan pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks, serta terjadi pelepasan sebagian plasenta dari dinding u terus. Plasenta yang terlepas mengakibatkan terjadinya perdarahan (Abdat, 2010). 6) Diagnosis Diagnosis plasenta previa ditegakkan dengan c ara : ultrasonografi transabdominal Doppler, ultrasonografi transvaginal, sonografi transperineal, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Ultrasonografi transabdominal yang dilakukan dalam keadaan kandung kemih dikosongkan dapat memberi kepastian diagnosis plasenta previa dengan ketepatan tinggi sebesar 96-98 % (Chalik cit S aifuddin dkk, 2010). Ultrasonografi transabdominal Doppler dapat mendeteksi area abnormal den gan hipervaskularisasi dengan dilatasi pembuluh darah pada plasenta dan jaringan uterus (Chou dkk, 2000). Diagnosis dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal jarang digunakan meskipun memiliki ketepatan lebih tinggi. Penggunaan oleh tangan yang tidak ahli justru akan mengakibatkan perdarahan lebih banyak (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Penggunaan yang tepat oleh ahli membuat ultrasonografi transvaginal dapat mencapai 93,3 % positive predictive value dan 97,6 % negative predictive value pada diagnosis kasus plasenta previa (Oppenheimer dkk, 2007). Sonografi transperineal dan MRI juga dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010).Diagnosis plasenta previa dengan MRI dapat dikatakan paling akurat, sebab lokalisasi plasenta dan ostium uteri internum digambarkan dengan sangat jelas. Penggunaan MRI lebih jarang dibandingkan ultrasonografi, dan biasanya hanya digunakan apabila penggunaan ultrasonografi tidak memadai untuk menegakkan diagnosis (Hacker, dkk, 2004). 7) Komplikasi Chalik cit Saifuddin dkk(2010) menyebutkan komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil dengan plasenta previa di antaranya bisa menimbulkan perdarahan yang banyak dan fatal, serta hal-hal sebagai berikut : a) Pelepasan plasenta dari perlekatannya yang terjadi secara ritmik dan berulang akan mengakibatkan perdarahan yang semakin lama semakin banyak sehingga dapat menimbulkan komplikasi berupa anemia bahkan syok b) Plasenta akan berimplantasi di segmen bawah rahim yang tipis sehingga jaringan trofoblas yang memiliki kemampuan invasi dapat menerobos ke miometrium sampai perimetrium, dan mengakibatkan kejadian plasenta akreta, inkreta dan bahkan plasenta perkreta. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya retensio plasenta sehingga pada bagian plasenta yang terlepas
timbullah perdarahan pada kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang pernah sectio caesarea. c) Serviks dan segmen bawah rahim kaya akan pembuluh darah, sehingga potensial mengalami kerobekan disertai perdarahan yang banyak. Karena itulah, setiap tindakan manual yang dilakukan pada tempat ini harus dilakukan dengan sangat berhati-hati agar tidak memperparah perdarahan. d) Kelainan letak janin akan lebih sering terjadi, sehingga menuntut untuk dilakukan tindakan operasi. e) Komplikasi lain yang tidak dapat dihindarkan adalah kelahiran prematur dan gawat janin. Pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu dapat dilakukan amniosentesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian terapi kortikosteroid sebagai upaya antisipasi. f) Plasenta previa juga memberikan risiko lebih tinggi untuk terjadinya solusio plasenta. 8) Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada kasus plasenta previa memperhatikan beberapa faktor, yaitu : banyaknya perdarahan, apakah bayi sudah mampu bertahan apabila dilahirkan, luas permukaan serviks yang tertutup plasenta, posisi janin, jumla h persalinan sebelumnya, serta apakah pasien dalam proses persalinan atau tidakTransfusi darah, pemberian obat untuk mempertahankan kehamilan setidaknya sampai usia 36 minggu, dan pemberian obat RhoGam jika pasien memiliki faktor Rhesus negatif juga dapat dipertimbangkan (Vorvick, 2 011). Pasien dalam keadaan stabil dapat dirawat di rumah atau rawat jalan. Pada usia kehamilan antara 24 minggu sampai 34 minggu dapat diberikan terapi steroid dalam perawatan antenatal untuk mendukung proses pematangan paru janin. Rawat jalan diharapkan dapat mengurangi stres pada pasien serta menekan biaya perawatan. Rawat inap harus kembali dilakukan jika keadaan menjadi lebih serius (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). b. Solutio Plasenta 1. Definisi Solusio plasenta yaitu terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari lokasi implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya atau sebelum bayi lahir. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut solusio plasenta yaitu abruptio placentae, ablatio placentae, dan accidental hemorrhage. Nama lain yang lebih deskriptif adalah premature separation of the normally implanted placenta (pelepasan dini plasenta yang implantasinya normal). Diagnosis definitif baru dapat ditegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada permukaan maternal plasenta (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010).
2. Klasifikasi Solusio plasenta dibagi menjadi solusio plasenta ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas. Solusio plasenta ringan terjadi dengan luas plasenta yang terlepas dari im plantasinya tidak sampai 25 % dan jumlah darah yang keluar kurang 250 ml. Gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa, kecuali warna darah yang kehitaman. Solusio plasenta sedang ditandai luas plasenta yang terlepas telah sampai 25 %, tetapi belum mencapai separuhnya (50 %), dan jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Gejala dan tanda perdarahan semakin jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi, dan takikardi. Solusio plasenta berat ditandai luas plasenta yang terlepas melebihi 50 %, dan jumlah darah yang keluar mencapai 1000 ml atau lebih. Gejala klinik berupa keadaan umum penderita yang buruk bahkan bisa terjadi syok, dan janin biasanya telah meninggal. Komplikasi berupa koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai oliguria juga sering terjadi (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). 3. Etiologi Penyebab primer dari solusio plasenta belum diketahui, tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang sering menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol, merokok, penyakit diabetes, trombofilia, hipertensi pada kehamilan, riwayat solusio plasenta, dan banyaknya jumlah kelahiran sebelumnya juga termasuk dalam faktor risiko. Faktor risiko lain yang jarang terjadi yaitu trauma pada abdomen dan hilangnya sebagian volume uterus secara cepat, misalnya kehilangan cairan amnion dengan cepat setelah kelahiran bayi pertama pada kehamilan kembar (Vorvick, 2011). 4. Gejala (Gambaran Klinik) Gejala yang terjadi pada solusio plasenta antara lain nyeri abdomen, kontraksi uterus yang sering, dan keluarnya darah dari vagina (Vorvick, 2011). Sebanyak 30 % penderita solusio plasenta ringan tidak merasakan gejala. Rasa nyeri pada perut masih ringan sehingga kadang tidak dihiraukan oleh pasien, dan darah yang keluar masih sedikit sehingga belum keluar melalui vagina. Darah pada solusio plasenta berwarna kehitaman, berbeda dengan darah pada plasenta previa yang berwarna merah segar (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Solusio plasenta sedang akan menunjukkan gejala serta tanda yang lebih jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin yang telah menunjukkan gawat janin, perdarahan tampak keluar lebih banyak, takikardi, hipotensi, kulit dingin dan berkeringat, serta mungkin dijumpai kelainan pembekuan darah (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Solusio plasenta berat membuat perut ibu akan terasa sangat nyeri dan tegang sehingga palpasi bagian janin tidak dapat dilakukan. Perdarahan terjadi
dalam jumlah banyak dan berwarna hitam. Fundus uteri menjadi lebih tinggi karena terjadi penumpukan darah di dalam rahim pada tipe concealed hemorrhage. Keadaan umum menjadi lebih buruk disertai syok. Komplikasi berupa pembekuan darah intravaskuler yang luas (disseminated intravascular coagulation) dan gangguan fungsi ginjal juga dapat terjadi (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). 5. Patofisiologi Solusio plasenta merupakan manifestasi akhir dari proses pemisahan vilivili khorialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Terbentuknya hematoma retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas sampai ke bagian pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes di antara selaput ketuban dan miometrium untuk kemudian keluar melalui serviks ke vagina, pada tipe revealed hemorrhage. Perdarahan pada beberapa kasus tidak bisa berhenti karena uterus yang dalam keadaan hamil tidak dapat berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus. Perdarahan yang tinggal dan terperangkap di dalam uterus disebut sebagai concealed hemorrhage (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). 6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui gejala dan tanda klinik yaitu adanya perdarahan melalui vagina, nyeri karena kontraksi pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin. Pasien dapat datang dengan gejala mirip persalinan prematur, atau datang dengan perdarahan yang tidak banyak tetapi perut menegang dan janin ternyata telah meninggal. Diagnosis definitif hanya dapat ditegakkan secara retrospektif, yaitu setelah partus den gan melihat adanya hematoma retroplasenta (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan USG abdomen, hitung darah lengkap, monitor janin, pemeriksaan kadar fibrinogen, pemeriksaan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta ultrasonografi transvaginal (Vorvick, 2011). 7. Komplikasi Komplikasi pada solusio plasenta berupa anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, dan sebagai kelanjutannya dapat meningkatkan angka kematian perinatal (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Anemia yang dimaksud pada ibu hamil yaitu apabila kadar hemoglobin kurang dari 11 gr/dl (Kusumah, 2009). Kematian janin, kelahiran prematur, dan kematian perinatal dilaporkan sebagai komplikasi yang paling sering terjadi.
Solusio plasenta berulang dilaporkan terjadi pada 25 % perempuan yang pernah menderita solusio plasenta sebelumnya (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Komplikasi berupa koagulopati timbul karena hematoma retroplasenta yang terbentuk melepaskan tromboplastin ke dalam peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan darah, terutama pada solusio plasenta berat. Mekanisme ini mengakibatkan apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak, dapat terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). 8. Penatalaksanaan Semua pasien yang diduga menderita solusio plasenta harus dirawat inap di rumah sakit yang memiliki fasilitas cukup lengkap. Pasien yang baru masuk segera dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah, serta gambaran pembekuan darah dengan memeriksa waktu pembekuan, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, kadar fibrinogen, dan kadar hancuran fibrin serta fibrinogen dalam plasma. Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna terutama untuk membedakannya dengan plasenta previa dan memastikan janin masih hidup. Diagnosis yang belum dapat dipastikan namun dikhawatirkan sebagai solusio plasenta, meskipun janin hidup dan tidak ada tanda gawat janin, memerlukan observasi yang ketat dengan kesiagaan dan fasilitas yang dapat segera diaktifkan sebagai upaya an tisipasi (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010). Persalinan dapat dilakukan pervaginam maupun perabdominam, bergantung pada banyaknya perdarahan, telah ada tanda -tanda persalinan spontan atau belum, dan tanda-tanda gawat janin. Janin yang masih hidup dan cukup bulan, namun untuk persalinan pervaginam belum ada tanda-tandanya, umumn ya merupakan indikasi persalinan melalui bedah sesar darurat (Emergenc y Caesarean Section). Perdarahan yang cukup banyak membutuhkan resusitasi segera dengan pemberian transfusi darah dan kristaloid yang cukup diikuti persalinan yang dipercepat untuk mengendalikan perdarahan dan menyelamatkan ibu serta janin (Vorvick, 2011). c. Vasa Previa (Insersio Velamentosa) 1) Definisi Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian sampai ke dalam insersinya di tali pusat (Prawirohardjo, 2011).
2)
3)
4)
5)
6)
Vasa previa adalah suatu kondisi dimana pembuluh darah umbilicus tidak disokong oleh tali pusat atau jaringan plasenta, melewati membrane fetus pada segmen bawah uterus di atas serviks (Baulis, 200 7). Etiologi Insersi velamentosa ini biasanya terjadi pada kehamilan ganda/ gemeli, karena pada kehamilan ganda sumber makanan yang ada padaplasenta akan menjadi rebutan oleh janin, sehingga dengan adanyarebutan tersebut akan mempengaruhi kepen anaman tali pusat/ insersi. Faktor Resiko a) Plasenta letak rendah atau plasenta previa b) Plasenta bilobata atau suksenturiata c) Insersi velamentosa d) Kehamilan pada fertilisasi in vitro e) Multiparitas f) Riwayat seksio sesarea (The International Vasa Previa Foundation) Patofisiologi Pada insersio velamentosa tali pusat yang dihubungkan dengan plasenta olehpembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam selaput janin. Pembuluh darah janin,yang biasanya dilindungi oleh Wharton jelly dalam tali pusat, tidak terdapat dalamvasa previa. Pembuluh darah secara kuat menempel pada membrane khorionik diatasnya, yang pada saat pecahnya baik spontan atau buatan dapat menyebabkanrobeknya pembuluh yg mendasarinya.sehingga terjadi perdarahan intrapartum danjika perdarahan banyak, kehamilan harus segera diakhiri (Maulida, 2011). Tanda dan Gejala Tanda dan gejalanya belum diketahui secara pasti, perdarahan pada insersi velamentosa ini terlihat jika telah terjadi vasa previa yaitu perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari anak dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk. Bisa juga menyebabkan ba yi itu meninggal. Satu-satunya cara mengetahui adanya insersi velamentosa ini sebelum terjadinya perdarahan adalah dengan cara USG. Jadi sebaiknya pada ibu deng an kehamilan gemeli dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan USG, karena untuk mengantisipasi dengan segala kemungkinan penyulit yang ada, salah satunya insersio velamentosa ini. Manifestasi klinik a) Dapat timbul perdarahan pada kehamilan ³ 20 minggu b) Darah berwarna merah segar c) Tidak disertai atau dapat disertai nyeri perut (kontraksi uterus)
d)
Perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari anak maka dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk. 7) Diagnosa Kriteria diagnosis vasa previa dengan menggunakan USG transvaginal adalah dengan ditemukan adanya daerah linear yang sonolucent di atas ostium uteri interna dengan tidak adanya Wharton jelly. Ketika menggunakan Doppler dapat dilihat aliran darah yang melewati pembuluh darah., dan bentuk gelombang Doppler adalah tipikal dengan tali bentuk gelombang tali pusat. Karena bentuk normal yang melingkar dari tali pusat dapat di salah artikan sebagai vasa previa, penting untuk memastikan pembuluh darah tidak berpindah dengan adanya pergerakan dari ibu. Visualisasi vasa previa mungkin susah jika dengan USG transvagina saja. Pembuluh darah janin dapat bergerak ke yang tidak diinginkan dengan sudut insonasi 90 derajat dengan transducer yang terfiksasi secara relatif. Jika visualisasi transvaginal dengan Doppler tidak mungkin, maka rute transabdominal dapat menghasilkan sudut insonasi (insonasi: terpaparnya jaringan terhadap gelombang ultrasound) yang lebih diinginkan. Dengan kata lain hanya dengan kombinasi penggunaan USG transabdominal dan transvaginal dapat dimengetahui tipe plasenta, situasi plasenta, dan insersi dari tali pusat (Ma ulida, 2011). Vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun dapat diduga bila usg antenatal dengan Coolor Doppler memperlihatkan adanya pembuluh darah pada selaput ketuban didepan ostium uteri internum. Tes Apt : uji pelarutan basa hemoglobin. Diteteskan 2 – 3 tetes larutan basa kedalam 1 mL darah. Eritrosit janin tahan terhadap pecah sehingga campuran akan tetap berwarna merah. Jika darah tersebut berasal dari ibu, eritrosit akan segera pecah dan campuran berubah warna menjadi coklat. Diagnosa dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput ketuban dan plasenta Seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa ditegakkan mengingat bahwa sedikit perdarahan yang terjadi sudah berdampak fatal bagi janin. Pemeriksaan penunjang a) USG : biometri janin, plasenta (letak, derajat maturasi, dan kel ainan), ICA. b) Kardiotokografi:kehamilan > 28 minggu. c) Laboratorium : darah perifer lengkap. 8) Penatalaksanaan Bila diagnosa dapat ditegakkan sebelum persalinan, maka tindakan terpilih untuk menyelamatkan janin adalah melalui bedah sesar. Seksio sesarea elektif efektif dilakukan pada usia kehamilan 35 minggu (The International Vasa Previa Foundation). d. Rupture Uteri 1) Definisi Ruptur uteri didefinisikan sebagai terpisahnya dinding uterus ibuhamil,dengan atau tanpa ekspulsi janin. (Maureen, 2002).
Ruptur uteri merupakan uterus yang ruptur yang dapat langsung terhubung dengan rongga peritoneum (komplet) atau mungkin dipisahkan darinya oleh peritoneum viseralis yang menutupi uterus atau oleh ligamentum latum(inkomplet)(Obstetric Williams vol 1 edisi 21, 20 06). Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya o leh peritoneum viseralis yang menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit) (Cunningham,2005;h.217).
2) Klasifikasi a) Menurut waktu terjadinya: - Rupture uteri gravidarum : terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus. - Rupture uteri durante partum: terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada segmen bawah rahim. Jenis inilah yang paling terbanyak. b) Menurut lokasinya: - Korpus Uteri : biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti: SC klasik (korporal) atau miomektomi. - Segmen bawah rahim: biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). Segmen bawah rahim tambah lama tambah tegang dan tipis dan akhirnya terjadi ruptur uteri. - Servik uteri: biasanya terjadi pada waktu melak ukan ekstraksi forsep atau versa dan ekstraksi,sedang pembukaan belum lengkap. - Kolpoporeksis-kolporeksi : Robekan-robekan diantara servik dan vagina. Batas antara korpus uteri dan dan servik uteri disebut istmus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan sudah kira-kira 20 minggu, di mana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR (Segmen Bawah Rahim) istmus ini. c) Menurut Etiologi - Ruptur uteri spontanea : Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, dan karena peregangan yang luar biasa pada rahim. - Rupture uteri traumatika: karena tindakan dan trauma d) Menurut robeknya peritoneum - Ruptur uteri kompleta: robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis. - Ruptur uteri inkompleta: robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya.Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke ligamentum latum. - Dehisensi jaringan parut meliputi penipisan atau robekan dinding u terus di sepanjang jaringan parut yang sudah lama. Membran janin masih utuh dan janin tidak keluar ke dalam rongga peritoneum. e) Menurut gejala klinis:
- Rupture uteri imminens (membakat=mengancam): penting untuk diketahui. - Rupture uteri sebenarnya 3) Etiologi (Rupture uterus spontan (Fraser dab Cooper,2009;h.593)) a) Paritas tinggi b) Penggunaan oksitosin yang tidak tepat, terutama pada ibu paritas tinggi c) Pengunaan prostaglandin untuk menginduksi persalinan , pada ibu yang memiliki eskar. d)
Persalinan macet; rupture uteri terjadi akibat penipisan yang berlebihan pada segmen bawah uterus.
e)
Persalinan terabaikan, dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
f)
Perluasan laserasi serviks yang berat ke atas menuju segmen bawah uterus –hal ini dapat terjadi akibat trauma selama pelahiran dan tindakan.
g)
Trauma akibat cedera ledakan atau kecelakaan.
h)
Perforasi uterus non-hamil , mengakibatkan rupture uteri pada kehamilan berikutnya;perforasi dan rupture terjadi pada segmen atas ute rus.
i)
Rupture uterin antenatal dengan riwayat seksio sesarea klasik sebelumnya.
4) Tanda dan Gejala Menurut (Chapman,2006;h.290) a) Nyeri : Nyeri uterus atau jaringan parut mendadak, “ingin melahirkan” , nyeri abdomen bagian bawah bisa muncul bersama kontraksi, atau nyeri konstan yang tidak hilang, ibu merasa bahwa uterusnya sangat nyeri saat di sentuh atau di raba. b) Kontraksi uterus : Uterus solid atau tonik, kontraksi dapat berkurang atau bahkan berhenti. c)
Denyut Jantung Janin: perubahan Denyut Jantung Janin abnormal dapat terjadi seperti deselarasi memanjang atau variable yang biasanya memburuk menjadi bradikardia serius.
d) Syok : dapat terjadi perubahan tanda vital (Takikardia, Tekanan darah rendah, S esak napas, respirasi, > 24x/menit), kemungkinan ibu : Tampak dingin dan lembap, tampak gelisah,agitasi, atau menarik diri,berkata bahwa ia takut dan ada se suatu yang tidak beres, muntah. e)
Perdarahan : Perdarahan kadang keluar dari vagina sebagai cairan amnion bercampur darah atau perdarahan segar, kadang seperti setelah bayi lahir, fundus uteri segera meninggi karena terisi darah.
f)
Pemeriksaan dalam : Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak, kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat me lalui robekan tadi maka dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin dan hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih
5) Patofisiologi
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri me njadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segme n bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya : panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas. 6) Penatalaksanaan Tindakan pertama adalah mengatsi syok,memperbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infuse cairan dan transfuse darah, kardiotonika, antibiotika, dan sebagainya. Bilakeadan umum mulai membaik tindakan selanjutnya adalah melakukan laparotomi dengan jenis tindakan operasi : Histerektomi, baik total maupun subtotal, Histerorafia, yaitu tepi luka dieksider dan dijahit sebaik – baiknya dan Konservatif, hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang cukup. 7) Komplikasi Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok hipovolemik terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah segar. Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptura uteri telah terjadi sebe lum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasukperiksa dalam yang berulang. C. Pendarahan Postpartum Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2011). Perdarahan postpartum sering didefenisikan secara berturut-turut sebagai kehilangan darah berlebihan dari traktus genetalia dalam 24 jam setelah persalinan, sebanyak 500 ml atau lebih, atau sebanyak apapun yang mengganggu kesejahtraan ibu (Widiarti, 2007). Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, ant ara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi> 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL. Menurut pendapat (Varney, 2008), perdarahan post partum dibagi menjadi 2: 1.
Perdarahan Post Partum Dini/Perdarahan Post Partum Primer (Early Postpartum Hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III. Penyebab utama perdarahan post partum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan pada Masa Nifas I Perdarahan Post Partum Sekunder (Late Postpartum Hemorrhage) ialah perdarahan yang terjadi setelah anak lahir biasanya hari ke 5-15 post partum. Penyebab utamanya robekan jalan lahir dan sisa plasenta.
Klasifikasi penyebab pendarahan postpartum adalah: 1. Atonia Uteri a.
Definisi Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2011).
b. Tanda dan Gejala 1)
Perdarahan pervaginam
2) Konsistensi lunak 3) Fundus uteri tinggi 4) Terdapat tanda-tanda syok c.
Etiologi 1)
Umur terlalu muda 25 tahun atau tim 35 tahun
2)
Paritas
3)
Partus lama yang menyebabkan inersia uteri karena kelelahan pada otot-otot uterus
4)
Uterus terlalu regang dan besar, pada kondisi ini miometrium teregang dengan hebat sehingga kontraksi setelah kelahiran bayi tidak menjadi efisien.
5)
Kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi uterus.
6)
Solusio placenta, bila terjadi solusio maka darah di dalam rongga uterus dapat meresap diantara serat-serat otot uterus dan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi tidak efektif.
7)
Penatalaksanaan yang salah pada kala tiga
8)
Placenta yang baru lepas sebagian, maka akan terjadi robekan pada sinus-sinus maternalis dan plasenta yang masih melekat menghambat kontraksi dan relaksasi dan otot-otot uterus.
9)
Persalinan yang terlalu cepat, bila uterus sudah berkontraksi terlalu kuat dan terus menerus maka uterus akan kekurangan kemampuannya untuk berkontraksi (Saifudin, 2005).
d. Penatalaksanaan 1)
Pencegahan: a) Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri b) Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800 – 1.000 g) segera setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2011).
2)
Penanganan a) Rangsangan taktil (pemijatan). Fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 menit). Pantau apakah uterus berkontraksi? b) Jika Ya evaluasi rutin. Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera. c) Jika tidak lanjutkan langkah berikutnya. d) Bersihkanlah bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks.
e) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong. f)
Jika penuh atau dapat dipalpasi, kateterisasi kandung kemih menggunakan teknik aseptik. Lakukan kompresi bimanual internal (KBIdan KBE) (Prawirohardjo, 2007).
2. Robekan jalan lahir (robekan perineum 1)
Definisi Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardio, 2011).
2) Tanda dan gejala Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, keadaan plasenta baik (Wiknjosatro, 2006) 3) Etiologi a) Episiotomi yang terlalu lebar b) Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik. perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri. c) Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum. d) Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipitobregmatika Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat (Prawirohardjo, 2007). 3.
Retensio Plasenta 1)
Definisi Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30 menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2007).
2) Etiologi a) Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena melekat dan tumbuh dalam. Menurut tingkat perlekatannya: b) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam. c) Plasenta
inkreta
: vili
khorialis tumbuh
lebih
dalam
dan
menembus
desidua endometrium sampai kemiometrium. d) Plasenta akreta : vili khorialais tumbuh menembusmiometrium sampai ke serosa.
e) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembusserosa atau peritoneum dinding rahim. f)
Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun belum keluar karena atonia uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata). Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian
plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya (WHO, 2003). 3) Penanganan a) Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. jika anda dapat merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut. b) Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan lakukan kateterisasi. c) Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10 U LM, jika belum dilakukan pada penanganan aktif kala tiga, jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi uterus yang tonik yang bisa memperlambat pengeluaran placenta. d) Jika placenta belum lahir setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi, lakukan peregangan tali pusat terkendali, hindari penarikan tali pusat dan penekanan nindus yang yang terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi uterus. e) Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobaiah untuk melakukan pengeluaran placenta secara manual dengan cara mengeluarkan plasenta secara manual yang merupakan tindakan darurat untuk mengatasi perdarahan pasca persaiinan cian mencegah kematian ibu. Waktu sangat menentukan, dan kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai tindakan. 4. Rest Plasenta 1)
Definisi Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh darah (Prawirohardio, 2011).
2) Tanda dan Gejala a) Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan s egera b) Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang (WHO, 2003). 3) Etiologi a) Kesalahan penatalaksanaan kala tiga b) Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui c) Jaringan yang melekat dengan kuat 4) Penatalaksanaan a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G intravena dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral dikombinasi dengan metronidazole 1 G supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral. b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau D&K.
c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB 8 gr %, berikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. 5.
Inversio Uteri Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998). Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat (Wiknjosastro, 2005) : 1)
Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut
2) Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina 3) Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina. Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.
Gejala dan tanda
Penyulit
Diagnosa penyebab
Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah bayi lahir
Syok Bekuan darah pada serviks atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluar
Atonia uteri
Darah segar mengalir segera setelah anak lahir Uterus berkontraksi dan keras Plasenta lengkap
Pucat Lemah Mengigil
Robekan jalan lahir
Plasenta belum lahir setelah 30 menit Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras
Tali pusat putus Inversio uteri Perdarahan lanjutan
Retensio plasenta
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap Perdarahan segera
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
Tertinggalnya sebagian plasenta
Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa
Neurogenik syok, pucat dan limbung
Inversio uteri