2007
PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM
HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PANEL AHLI Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Rahajuningsih Dharma, Sp.PK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Retno Kadarsih, Sp.MK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Risma Kaban, Sp. A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD Fakultas Ilmu Keperawatan Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta TIM TEKNIS Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sastroasmoro, Sp.A (K) Ketua dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota dr. N. Soebijanto, Soebijanto, SpPD Anggota dr. Suginarti, M.Kes Anggota dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota dr. Syanti Ayu Anggraini Anggota dr. Melani Marissa Anggota dr. Titiek Resmisari Anggota dr. Aini Bachruddin Bachtiar Anggota
PANEL AHLI Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Rahajuningsih Dharma, Sp.PK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Retno Kadarsih, Sp.MK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Risma Kaban, Sp. A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD Fakultas Ilmu Keperawatan Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta TIM TEKNIS Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sastroasmoro, Sp.A (K) Ketua dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota dr. N. Soebijanto, Soebijanto, SpPD Anggota dr. Suginarti, M.Kes Anggota dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota dr. Syanti Ayu Anggraini Anggota dr. Melani Marissa Anggota dr. Titiek Resmisari Anggota dr. Aini Bachruddin Bachtiar Anggota
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang. berkembang. 1 Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup. 2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari
State of the world’s mother
2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain. 3 Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. 4 Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik. 5 Angka kejadian/insidens kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,818 per 1000 kelahiran k elahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%. 6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang diperoleh diperoleh dari Rumah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Mangunkusumo Jakarta Jakarta periode JanuariJanuariSeptember 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%. 8 Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain. berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan
kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan lain-lain. 9 Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran hidup)
mendorong
Health
Technology
Assessment (HTA) Indonesia untuk
melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10 1.2. Permasalahan Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi. Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara antara lain angka kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibiotik spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum. Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit
ditegakkan ditegakka n karena gejala klinis
yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang penunjang seperti seperti biakan darah perlu perlu dilakukan. dilakukan. Pemeriksaan kultur kultur merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara. Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan sehingga memperburuk memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi 8,11 nosokomial. nosokomial.8,11
Perkembangan
teknologi
kedokteran
yang
tersedia
saat
ini
telah
menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan
Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein,
dan
lain
sebagainya pada sepsis neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa
kritis berdasarkan Evidence-based dalam mempertimbangkan
risiko, keuntungan
dan kerugiannya. Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di Indonesia. Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan dikembangkan dikemudian hari.
12,13,14
1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi Indonesia. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidence- based medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan sepsis neonatorum. 2. Tersusunnya
rekomendasi
pemerintah
dalam
menetapkan
kebijakan
proGramyang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.
BAB II METODOLOGI PENILAIAN
2.1. Strategi penelusuran kepustakaan Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka Journal of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics , dalam 20 tahun terakhir (1986-2006) serta World Health Organization tentang “Neonatal Problems ” tahun 2003. Kata kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in newborn, SGB (Group B Streptococcus).
2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal) berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network , sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research .
Tingkat pembuktian (Level of evidence) Ia.
Meta-analisis randomized controlled trials.
Ib.
Minimal satu randomized controlled trials.
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials. IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol. IIIa. Studi cross-sectional. IIIb. Seri kasus dan laporan kasus. IV.
Konsensus dan pendapat ahli.
Tingkat rekomendasi A.
Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.
B.
Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.
C.
Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.
BAB III SEPSIS NEONATORUM
3.1. Definisi Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. 15 Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses
berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian. 16
3.2. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis ) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis ).5 Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli , Haemophilus influenza , dan Listeria monocytogenes , sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%. 19 Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). 20,21 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS ) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli , Klebsiella , dan Pseudomonas aeruginosa ).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.
Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi
20
Dini
Lambat
Awitan
<72 jam
>72 jam
Sumber infeksi
Jalan lahir
Lingkungan (nosokomial)
Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL).9 3.3. Etiologi Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini, kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum.23 Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp dan E. Coli , sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas , Enterobacter , dan Staphylococcus aureus .24 Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp , Enterobacter sp , Pseudomonas sp . Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005
menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26 Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu
26
1975-1980
1985-1990
1995-2003
RSCM/FKUI
Salmonella sp
Pseudomonas sp
Acinetobacter sp
(Monintja, 1981;
Klebsiella sp
Klebsiella sp
Enterobacter sp
E. coli
Pseudomonas sp
Amir Aminullah 1993, I 2003)
Serratia sp
Amerika Serikat
Group B Strep.
Group B Strep.
E. coli
(Texas Univ.; CDC
E. coli
Listeria sp
Group B Strep
Atlanta)
Listeria sp
Enterovirus
Listeria sp
(Shattuck 1992;
Strep. Pneumoniae
Schuchat 1997)
Inggris
Group B Strep.
Group B Strep
(Health PT 2003)
E. coli
Listeria sp
Listeria sp
E. coli
Enterovirus
Enterovirus
Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004
Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering adalah Streptokokus Grup B , Escherichia coli , Haemophilus influenzae , dan Listeria monocytogenes .27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan berturut-turut adalah Enterobacter sp ., Acinetobacter sp ., dan Coli sp., Coagulase- negative staphylococci , Staphylococcus aureus , E. coli , Klebsiella , Pseudomonas , Candida , Streptokokus Grup B , Serratia , Acinetobacter , dan bakteri anaerob. Kolonikoloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva, dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang invasif.4 Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000 terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan 21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram positif (70,2%). Bakteri Gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL (tabel 3).28
Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi hematogen pada BBLR ( < 1500 Gram)
28
SAD
SAL
Organisme Jumlah infeksi
Gram-positive bacteria
Mortalitas
Jumlah infeksi
Mortalitas
(% of total)
(%)
922 (70.2)
11.2
30 (2.3)
21.9
9 (10.7)
629 (47.9)
9.1
1 (1.2)
103 (7.8)
17.2
(% of total)
(%)
31 (36.9)
26
b
b
(total) SGB
9 (10.7)
Viridans streptococcus
3 (3.6)
Other streptococci
4 (4.8)
Listeria monocytogenes
2 (2.4)
Coagulase-negative Staphylococcus Staphylococcus aureus Enterococcus species Other Gram-negative bacteria
43 (3.3) 3 (3.6) 51 (60.7)
117 (8.9) 41
231 (17.6)
36.2
64 (4.9)
34.0
52 (4.0)
22.6
Pseudomonas
35 (2.7)
74.4
Enterobacter
33 (2.5)
26.8
Serratia
29 (2.2)
35.9
(total) Escherichia coli
37 (44.0)
Haemophilus influenzae
7 (8.3)
Citrobacter
2 (2.4)
Bacteroides
2 (2.4)
Klebsiella
1 (1.2)
Other
2 (2.4)
18 (1.4)
Fungi (total)
2 (2.4)
160 (12.2)
31.8
2 (2.4)
76 (5.8)
43.9
Candida parapsilosis
54 (4.1)
15.9
Other
30 (2.3)
Candida albicans
a
NICHD Neonatal Network Survey , th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447
orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL . b
Semua penyebab kematian . Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641
Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis neonatorum berlainan antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu, kuman penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang peranan yang sangat penting. 3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel 4).16 Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus
16
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan: Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi FIRS/
dan desaturasi O2 Suhu
tubuh
tidak
stabil
(<36ºC
SIRS
atau
>37.5ºC)
Waktu pengisian kapiler > 3 detik Hitung
leukosit
9
<4000x10
/L
atau
9
>34000x10 /L CRP >10mg/dl IL-6 atau IL-8 >70pg/ml 16 S rRNA gene PCR : Positif Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai
SEPSIS
SEPSIS BERAT
SYOK
dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat dalam Tabel 5. Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi cairan dan obat-obat inotropik
SEPTIK
Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah
SINDROM DISFUNGSI MULTIORGAN
mendapatkan pengobatan optimal
↓ KEMATIAN
Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5 dan 6).29 Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi ( suspected ) maupun terbukti infeksi (proven ).30 Tabel 5. Kriteria SIRS Usia Neonatus
29
Suhu
Laju Nadi per
Laju napas
Jumlah leukosit X
menit
per menit
10 /mm
3
3
Usia 0-7 hari
>38,5ºC atau <36ºC
>180 atau <100
>50
>34
Usia 7-30 hari
>38,5ºC atau <36ºC
>180 atau <100
>40
>19,5 atau <5
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit) Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
Tabel 6. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok se ptik Infeksi
29
Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).
Sepsis
SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.
Sepsis berat
Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan h epatologi).
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari). Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
3.5. Patofisiologi Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
5,31
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll. 2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin. 3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.
INFEKSI PRANATAL
INFEKSI INTRANATAL Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan Sumber : Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.31 Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.32 3.5.1 Respons inflamasi Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab. 33 Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.32 Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.16, 34 Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.33,35
Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis
33
Sumber : Short MA. Adv Neonat Care 2004; 5:258-73
Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β (IL-1β), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab. Namun
demikian,
pembentukan
sitokin
proinflamasi
yang
berlebihan
dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik. 36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide , tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin),
selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.33 Aktivasi
endotel
akan
meningkatkan
jumlah
reseptor
trombin
pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah. 33 3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga mengaktivasi jalur intrinsik.33 Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF- α. Selain itu, trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler. 33 Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.
Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company
33
Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
3.5.3. Gangguan fibrinolisis Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka. 33 Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinase- type plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis fibrin.33,37,38 Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator inhibitor -1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan. 33 Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin .33,35,39,40 Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF- α dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan
disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan kematian.33 Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam mikrovaskular.
Gambar 4. Supresi Fibrinolisis Sumber:...................................... Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk.33,Error! Bookmark not defined. Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian.41 Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini yang memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat mekanisme ini.33
Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi
33
Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
3.6 DIAGNOSIS Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.8 3.6.1. Faktor Risiko Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi dan lain-lain. Faktor risiko ibu: 1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya .27,42,43 2. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.42,44,45 3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.27,42 4. Kehamilan multipel.42,44,46 5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan. 47
6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.47 Faktor risiko pada bayi: 1. Prematuritas dan berat lahir rendah.42,43,46,48 2. Dirawat di Rumah Sakit.49 3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan.42,43,48 4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.42,43,48 5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia.42,46 6. Asfiksia neonatorum.27,43,48 7. Cacat bawaan.27,43,48 8. Tanpa rawat gabung.43 9. Tidak diberi ASI.49 10. Pemberian nutrisi parenteral. 50,51 11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama .50 12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded .49 13. Buruknya kebersihan di NICU.49 Faktor risiko lain: Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di NICU.27,42,46,48 Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.
3.6.2. Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon