PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI PADA KEHAMILAN PRETERM PENDAHULUAN Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.1 Insidensi ketuban pecah dini lebih kurang 10% dari semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%. Sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua kehamilan. Hampir semua KPD pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah.2 Sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas. Ketuban pecah dini berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi 30-40%. Neonatologis dan ahli obstetri harus bekerja sebagai tim untuk memastikan perawatan yang optimal untuk ibu dan janin.3 Etiologi pada sebagian besar kasus tidak diketahui. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebabnya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi sosial ekonomi rendah yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorrhea.2 Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.1 Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan sehingga masa tunggu akan memanjang, yang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup.2 3.1 Definisi Ketuban pecah dini atau premature rupture of the membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Jika ketuban pecah sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini kehamilan preterm atau preterm premature rupture of the membranes (PPROM). 4 3.2 Etiologi Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi adalah:2 1. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini 2. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase) 3. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya tumor, hidramnion, gemelli 4. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi
5. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah. 6. Keadaan sosial ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorhoe. (ANDALAS) 7. Faktor lain yaitu: a. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu b. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum c. Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C Membrana khorioamniotik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban.2 3.3 Diagnosis Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Dari anamnesis 90% sudah dapat mendiagnosa KPD secara benar. Pengeluaran urin dan cairan vagina yang banyak dapat disalahartikan sebagai KPD.2 Pemeriksaan fisik kondisi ibu dan janinnya. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi antara lain bila suhu ibu ≥38°C. Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.2 Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama terhadap kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada forniks posterior. 3 Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, bau dan pH nya. Air ketuban yang keruh dan berbau menunjukkan adanya proses infeksi.1 Tentukan pula tanda-tanda inpartu. Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvik dan dibatasi sedikit mungkin.1 Pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. 2 Pemeriksaan penunjang diagnosis antara lain:2 1. Pemeriksaan laboratorium a. Tes lakmus (tes Nitrazin): jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis) karena pH air ketuban 7 – 7,5 sedangkan sekret vagina ibu hamil pH nya 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap berwarna kuning. Darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.
b. Mikroskopik (tes pakis): dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. 2. Pemeriksaan ultrasonografi USG Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri dan konfirmasi usia kehamilan. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana. 3.4 Komplikasi Ada tiga komplikasi utama yang terjadi yaitu peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu risiko resusitasi, dan yang ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan. Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan korioamnionitis. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban 50% wanita yang lahir prematur, didapatkan korioamnionitis (infeksi saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan klinis. Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi lokal misalnya konjungtivitis. 3.5 Penatalaksanaan Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.1 3.5.1 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Preterm Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan preterm berupa penanganan konservatif, antara lain:1 - Rawat di Rumah Sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu - Berikan antibiotika (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari - Jika umur kehamilan < 32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi - Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Sedian terdiri atas betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali - Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa (-): beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu - Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam - Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi - Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin)
3.5.2 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Aterm Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan aterm berupa penanganan aktif, antara lain:1 - Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. - Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan di akhiri: a. bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks kemudian induksi. Jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria. b. bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginam.
PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI ABSTRAK Ketuban pecah dini (KPD) yaitu apabila ketuban pecah spontan dan tidak diikuti tanda-tanda persalinan. Normalnya selaput ketuban pecah pada akhir kala I atau awal kala II persalinan. Pasien wanita berumur 27 tahun G1P0A0 dengan usia kehamilan 39+6 minggu datang rujukan dari bidan dengan keluhan ketuban rembes. Kata kunci : KPD, anamnesis, pemeriksaan KASUS Pasien wanita, G1P0A0 hamil 39+6 minggu, datang dengan keluhan ketuban rembes jam 00.00, warna jernih, tidadisertai lendir darah, kenceng-kenceng belum teratur sejak kemarin malam jam 22.00, dan pasien masih merasakan gerak janin aktif. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma dan penyakit jantung disangkal. Riwayat penyakit keluarga seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma dan penyakit jantung juga disangkal. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum baik, kesadaran: compos mentis, TD:120/80 mmHg, N:92x/menit, RR: 20x/menit, S:36,2º C, CA-/-, SI-/-. Dari status obstetri didapatkan Palpasi: L1: teraba bagian bulat lunak (bokong), L2: teraba memanjang ada tahan keras (puka), L3: teraba bulat keras (kepala), L4: floating, TFU: 32 cm, DJJ: (+) 140 x/menit, His: (+) 2-3x dalam 10 menit selama 20-30 detik, TBJ: 3200 gram. Pemeriksaan Vaginal Toucher/VT: vulva dan uretra tenang, dinding vagina licin, portio tebal lunak dibelakang, pembukaan (-), selaput ketuban (+), air ketuban (+), sarung tangan lendir darah (-). DIAGNOSIS KPD (20 jam) PI, Primigravida hamil aterm belum dalam persalinan TERAPI Rencana persalinan pervaginam, IVFD RL 24 tpm, observasi HIS dan DJJ, induksi persalinan dengan Misoprostol 25 mg/vag/tab, Inj. Ampicilin 1 gr DISKUSI Prinsip penanganan KPD adalah mempertahankan kehamilan sampai paru janin matur atau sampai adanya kecurigaan khorioamnionitis. Dalam menetapkan penatalaksanaan ada beberapa faktor sebagai pertimbangan; keadaan pasien dalam fase persalinan, kematangan paru janin, yang terpenting adalah umur kehamilan. Center for Disease Control (CDC) and Prevention Amerika Serikat menganjurkan pemberian antibiotika untuk mencegah onset infeksi GBS. Antibiotika profilaksis yang diberikan adalah penisilin atau ampisilin. Apabila ibu hamil alergi terhadap penisilin diganti dengan klindamisin atau eritromisin sebagai alternatifnya. Berdasarkan umur kehamilan maka penanganannya pada KPD dengan umur kehamilan kurang dari 27 minggu. Penanganannya masih kontroversial. Penanganan cara pertama adalah penanganan aktif yaitu segera dilakukan terminasi. Tindakan ini dilakukan berdasarkan atas risiko bayi yang baru lahir dengan kelangsungan hidup, kemudian mental bayi serta dana perawatan yang cukup tinggi. Penanganan yang kedua dengan mempertahankan kehamilan sampai umur 28 minggu atau lebih dengan melakukan Observasi selama 2 x 24 jam, setiap jam dilakukan pengukuran suhu rectal. Bila suhu rectal meningkat lebih dari 37,6oC segera dilakukan terminasi. Pemberian steroid pada ketuban pecah dini kehamilan preterm masih merupakan hal yang kontroversial. Glukokortikoid
diberikan untuk memacu pematangan paru dalam mencegah RDS dan perdarahan intraventrikuler. Glukokortikoid dapat mengurangi keefektifan antibiotika oleh karena bersifat imunosupresif. Sementara antibiotika diperlukan untuk mencegah infeksi pada ibu dan janin. The Consencus Development Panel of The National Institutes of Health merekomendasikan kortikosteroid diberikan pada kasus ketuban pecah dini kurang dari 32 minggu dan tidak didapatkan tanda-tanda chorioamnionitis. Dosis betametason yang diberikan 12 mg intramuskular sebanyak 4 kali selama 2 hari. Deksametason dapat juga diberikan 2 kali tiap 12 jam intramuskular. Setelah satu minggu pemberian jika persalinan belum terjadi perlu dilakukan penilaian maturitas paru dan pemberian kortikosteroid dapat diulangi bila diperlukan. Terapi dengan antibiotika Ampicillin 3x1 gram intravena atau intramuskuler selama 2 x 24 jam dilanjutkan dengan ampicillin 4 x 500 mg selama 3 hari. Untuk merangsang maturasi paru terapi dengan kortikosteroid yaitu dexametason 5 mg setiap 12 jam selama 48 jam. Bilamana selama 2 x 24 jam cairan ketuban tidak keluar, dilakukan pemeriksaan dengan USG guna mengetahui volume cairan ketuban dalam rahim . Kalau cairan ketuban cukup diatas 1500 ml, kehamilan dilanjutkan secara konservatif. Jika air ketuban volumenya kurang dari 1500 ml kehamilan diakhiri dengan terminasi. Bila dalam observasi 2 x 24 jam cairan masih terus keluar dilakukan terminasi. Pasien dapat dipulangkan pada hari ke lima dengan nasehat : tidak boleh mengadakan hubungan seksual, tidak memanipulasi vagina dan bila keluar cairan agar segera kembali ke Rumah Sakit . KPD dengan umur kehamilan antar 28-36 minggu. Untuk mencegah infeksi diberikan terapi antibiotika yaitu Ampicillin 3x1 grm intramuskuler atau intravena selama 2 x 24 jam dilanjutkan dengan Ampicillin 4 x 500 mg selama 3 hari. Untuk merangsang maturasi paru diterapi dengan kortikosteroid yaitu dexamethason 5 mg setiap 12 jam dalam 4 kali pemberian. Observasi dilakukan selama 2 x 24 jam. Lewat dari masa observasi belum ada tanda-tanda persalinan segera dilakukan terminasi. Observasi suhu rektal setiap 3 jam, bila kecenderungan naik suhu diatas 37,60 C segera dilakukan terminasi. KPD umur kehamilan lebih dari 36 minggu. Pasien diberikan terapi dengan antibiotik. Observasi suhu rektal setiap 3 jam. Bilamana suhu tidak meningkat, observasi dilanjutkan sampai dengan 24 jam dan bila belum ada tanda-tanda persalinan maka segera dilakukan terminasi. Pemberian antibiotika profilaksis dapat mengurangi risiko infeksi maternal dan perinatal. Hasil dari beberapa penelitian tersebut diatas disimpulkan pemberian antibiotika yang dianjurkan adalah ampisilin dengan dosis 2 gram intravena tiap 6 jam, dan eritromisin 250 mg intravena tiap 6 jam selama 48 jam dilanjutkan dengan pemberian amoksisilin 250 mg peroral tiap 8 jam dan eritromisin basa 300 mg peroral tiap 8 jam selama 5 hari. Jumlah pemberian antibiotika selama 7 hari. Pilihan antibiotika yang lain adalah ampisilin/sulbaktam 3 gram intravena tiap 6 jam selama 48 jam, dilanjutkan dengan pemberian amoksisilin/klavulanat 250 mg oral selama 5 hari. Apabila pasien alergi terhadap penisilin dapat diberikan cephalosporin atau klindamisin. Proses persalinan per vaginal pada kasus ini sebenarnya bisa dilakukan mengingat indikasi test Osborne (-). Namun setelah dilakukan induksi dengan Oksitosin kemajuan proses persalinan tidak terjadi ditandai dengan His yang masih lemah dan tidak teratur sehingga SC dilakukan atas indikasi induksi gagal. Penyebab induksi gagal antara lain dipengaruhi oleh faktor maternal yaitu abnormalitas pada tenaga ekspulsi, yaitu his yang tidak cukup kuat atau yang tidak terkoordinasi dengan tepat untuk menghasilkan penipisan dan dilatasi serviks atau upaya otot volunteer yang tidak memadai pada persalinan kala II. Dalam kasus ini, induksi oksitosin 24-30 tetes / mnt tidak mampu menimbulkan kontraksi rahim yang memuaskan, maka takaran yang lebih besar lagi juga tidak akan menghasilkan his yang baik. Berat badan janin waktu lahir 3800 gr sedangkan perkiraan berat janin ( tbj = 3200 gr ). Perbedaan yang cukup besar ini disebabkan pada KPD terjadi pengeluaran air ketuban yang di
dalam uterus berfungsi sebagai penahan terhadap tekanan dari luar, akibatnya ukuran uterus mengecil sehingga pada saat dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri terjadi penurunan → tbj ikut terpengaruh. KESIMPULAN Pada kasus ini, tindakan pertama yaitu induksi dengan oksitosin dilakukan atas dasar : KPD ( 24 jam ), primigravida hamil aterm pada persalinan dengan pemanjangan fase laten. Tindakan kedua yaitu SC dilakukan setelah evaluasi terhadap tindakan pertama tidak menghasilkan kemajuan dalam persalinan, KPD ( 26 jam ) / induksi gagal, dengan penyebab antara lain abnormalitas tenaga uterus yang tidak cukup kuat untuk menghasilkan penipisan dan dilatasi serviks. Tindakan profilaksis pada KPD adalah pemberian antibiotika spectrum luas untuk mencegah infeksi intra uterine maupun infeksi sistemik. Terminasi kehamilan jika usia kehamilan sudah 37 minggu → untuk mencegah komplikasi seperti dry labor ( partus kering ). REFERENSI 1. Smith .J.F., Premature Rupture of Membranes, www.chclibrary.org, 2001. 2. Bruce.E., Premature Rupture of Membrane (PROM), www.compleatmother.com, 2002. 3. Yancey .M.K., Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or Wait?, medscape General Medicine 1 (1), 1999 4. Anonim, Premature Rupture of Membrane, www.medem.com, 2002. 5. Anonim, Premature Rupture of Membrane, www.mcevoy.demon.co.uk, 2002. 6. Parry.S, Strauss.J.F, Premature Rupture of the Fetal Membrane dalam The New England Jurnal of medicine, Volume 338:663-670, March, 1998 7. Syaifuddin.A.B., Ketuban Pecah Dini dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, JNPKKD – POGI bekjerjasama dengan Yayasan Buku Pustaka Suwarno Prawihardjo, Jakarta, 2002, hal : 218 – 220. 8. Hacker.N.F., Moor J.George, Ketuban Pecah Dini dalam Esensial Obstetri dan Ginekologi, edisi 2, Hipokrates, Jakarta, 2001, hal : 304 – 306 PENULIS Khodimatur Rofiah. Ilmu Obstertri dan Ginekologi. RSUD Saras Husada Purworejo Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW) atau Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Ketuban Pecah Prematur (KPP) Ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) atau ketuban pecah prematur (KPP) adalah keluarnya cairan dari jalan lahir/vagina sebelum proses persalinan. Ketuban pecah prematur yaitu pecahnya membran khorio-amniotik sebelum onset persalinan atu disebut juga Premature Rupture Of Membrane = Prelabour Rupture Of Membrane = PROM. Ketuban pecah prematur pada preterm yaitu pecahnya membran Chorio-amniotik sebelum onset persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau disebut juga Preterm Premature Rupture Of Membrane = Preterm Prelabour Rupture Of Membrane = PPROM Insiden
PROM PPROM
: 6-19% kehamilan : 2% kehamilan
Etiologi
Penyebab dari KPD tidak atau masih belum diketahui secara jelas maka usaha preventif tidak dapat dilakukan, kecuali dalam usaha menekan infeksi. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya insidensi KPD antara lain :
o o o o o o o o o o o o
Fisiologi selaput amnion/ketuban yang abnormal Inkompetensi serviks Infeksi vagina/serviks Kehamilan ganda Polihidramnion Trauma Distensi uteri Stress maternal Stress fetal Infeksi Serviks yang pendek Prosedur medis
Diagnosa Secara klinik diagnosa ketuban pecah dini tidak sukar dibuat anamnesa pada klien dengan keluarnya air seperti kencing dengan tanda-tanda yang khas sudah dapat menilai itu mengarah ke ketuban pecah dini. Untuk menentukan betul tidaknya ketuban pecah dini bisa dilakukan dengan cara :
Adanya cairan yang berisi mekonium (kotoran janin), verniks kaseosa (lemak putih) rambut lanugo atau (bulu-bulu halus) bila telah terinfeksi bau Pemeriksaan inspekulo, lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada bagian yang sudah pecah, atau terdapat cairan ketuban pada forniks posterior USG : volume cairan amnion berkurang/oligohidramnion Terdapat infeksi genital (sistemik) Gejala chorioamnionitis
Maternal : demam (dan takikardi), uterine tenderness, cairan amnion yang keruh dan berbau, leukositosis (peningkatan sel darah putih) meninggi, leukosit esterase (LEA) meningkat, kultur darah/urin Fetal : takikardi, kardiotokografi, profilbiofisik, volume cairan ketuban berkurang Cairan amnion Tes cairan amnion, diantaranya dengan kultur/gram stain, fetal fibronectin, glukosa, leukosit esterase (LEA) dan sitokin. Jika terjadi chorioamnionitis maka angka mortalitas neonatal 4x lebih besar, angka respiratory distress, neonatal sepsis dan pardarahan intraventrikuler 3x lebih besar
Dilakukan tes valsava, tes nitrazin dan tes fern
Normal pH cairan vagina 4,5-5,5 dan normal pH cairan amnion 7,0-7,5
Dilakukan uji kertas lakmus/nitrazine test o Jadi biru (basa) : air ketuban o Jadi merah (asam) : air kencing
Prognosis/komplikasi Adapun pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin adalah : Prognosis ibu
Infeksi intrapartal/dalam persalinan
Jika terjadi infeksi dan kontraksi ketuban pecah maka bisa menyebabkan sepsis yang selanjutnya dapat mengakibatkan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas
Infeksi puerperalis/ masa nifas Dry labour/Partus lama Perdarahan post partum Meningkatkan tindakan operatif obstetri (khususnya SC) Morbiditas dan mortalitas maternal
Prognosis janin
Prematuritas
Masalah yang dapat terjadi pada persalinan prematur diantaranya adalah respiratory distress sindrome, hypothermia, neonatal feeding problem, retinopathy of premturity, intraventricular hemorrhage, necrotizing enterocolitis, brain disorder (and risk of cerebral palsy), hyperbilirubinemia, anemia, sepsis.
Prolaps funiculli/ penurunan tali pusat Hipoksia dan Asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi)
Mengakibatkan kompresi tali pusat, prolaps uteri, dry labour/pertus lama, apgar score rendah, ensefalopaty, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, renal failure, respiratory distress.
Sindrom deformitas janin
Terjadi akibat oligohidramnion. Diantaranya terjadi hipoplasia paru, deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat (PJT)
Morbiditas dan mortalitas perinatal
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan dan tanda infeksi intrauterin Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan KPD ke RS dan melahirkan bayi yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauterin Tindakan konservatif (mempertahankan kehamilan) diantaranya pemberian antibiotik dan cegah infeksi (tidak melakukan pemeriksaan dalam), tokolisis, pematangan paru, amnioinfusi, epitelisasi (vit C dan trace element, masih kontroversi), fetal and maternal monitoring. Tindakan aktif (terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu dengan sectio caesarea (SC) atau pun partus pervaginam Dalam penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah konservatif ataukah aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan, kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu dan tempat perawatan, fasilitas/kemampuan monitoring, kondisi/status imunologi ibu dan kemampuan finansial keluarga. Untuk usia kehamilan <37 minggu dilakukan penanganan konservatif dengan mempertahankan kehamilan sampai usia kehamilan matur. Untuk usia kehamilan 37 minggu atau lebih lakukan terminasi dan pemberian profilaksis streptokokkus grup B. Untuk kehamilan 34-36 minggu lakukan penatalaksanaan sama halnya dengan aterm Untuk usia kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan tindakan konservatif/expectant management kecuali jika paru-paru sudah matur (maka perlu dilakukan tes pematangan paru), profilaksis streptokokkus grup B, pemberian kortikosteroid (belum ada konsensus namun direkomendasikan oleh para ahli), pemberian antibiotik selama fase laten. Untuk previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu lengkap) lakukan tindakan konservatif, pemberian profilaksis streptokokkus grup B, single-course kortikosteroid, tokolisis (belum ada konsensus) dan pemberian antibiotik selama fase laten (jika tidak ada kontraindikasi) Untuk non viable preterm (usia kehamilan <24 minggu), lakukan koseling pasien dan keluarga, lakukan tindakan konservatif atau induksi persalinan, tidak direkomendasikan profilaksis streptokokkus grup B dan kortikosteroid, pemberian antibiotik tidak dianjurkan karena belum ada data untuk pemberian yang lama) Rekomendasi klinik untuk PROM, yaitu pemberian antibiotik karena periode fase laten yang panjang, kortikosteroid harus diberikan antara 24-32 minggu (untuk mencegah terjadinya resiko perdarahan intraventrikuler, respiratory distress syndrome dan necrotizing examinations),tidak boleh dilakukan digital cervical examinations jadi pilihannya adalah dengan spekulum, tokolisis untuk jangka waktu yang lama tidak diindikasikan sedangkan untuk jangka pendek dapat dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid, antibiotik dan transportasi maternal, pemberian kortikosteroid setelah 34 minggu dan pemberian multiple course tidak direkomendasikan Pematangan paru dilakukan dengan pemberian kortikosteroid yaitu deksametason 2×6 mg (2 hari) atau betametason 1×12 mg (2 hari) Agentokolisis yaitu B2 agonis (terbutalin, ritodrine), calsium antagonis (nifedipine), prostaglandin sintase inhibitor (indometasin), magnesium sulfat, oksitosin antagonis (atosiban)
Tindakan epitelisasi masih kotroversial, walaupun vitamin C dan trace element terbukti berhubungan dengan terjadinya ketuban pecah terutama dalam metabolisme kolagen untuk maintenance integritas membran korio-amniotik, namun tidak terbukti menimbulkan epitelisasi lagi setelah terjadi PROM Tindakan terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda chorioamnionitis, terdapat tandatanda kompresi tali pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan antara usia kehamilan, lamanya ketuban pecah dan resiko menunda persalinan KPD pada kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi, berikan antibiotik eritromisin 3×250 mg, amoksisillin 3×500 mg dan kortikosteroid KPD pada kehamilan > 37 minggu tanpa infeksi (ketuban pecah >6 jam) berikan ampisillin 2×1 gr IV dan penisillin G 4×2 juta IU, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC KPD dengan infeksi (kehamilan <37 ataupun > 37 minggu), berikan antibiotik ampisillin 4×2 gr IV, gentamisin 5 mg/KgBB, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC
POLIHIDRAMNION Polihidramnion atau disebut juga dengan hidramnion adalah keadaan dimana air ketuban melebihi 2000 ml. Hidramnion akut adalah penambahan air ketuban secara mendadak dan cept dalam beberapa hari, biasanya terdapat pada kehamilan yang agak muda, bulan ke 5 dan ke 6. Hidramnion kronis adalah penambahan air ketuban secara perlahan-lahan, biasanya terjadi pada kehamilan lanjut. Diagnosis pasti bisa didapatkan dari pemeriksaan ultrasonografi (USG). Insidensi hidramnion adalah 1% dari semua kehamilan. Biggio dkk (1999) melaporkan dari Alabama, insisden hidramnion 1% diantara lebih dari 36.000 kehamilan. Etiologi Sampai sekarang penyebab hidramnion masih belum jelas. Pada banyak kasus hidramnion berhubungan dengan kelainan malformasi janin, khususnya kelainan sistem syaraf pusat dan traktus gastrointestinal. Namun secara teori, hidramnion bisa terjadi karena :
Produksi air ketuban bertambah
Diduga air ketuban dibentuk oleh sel-sel amnion, tetapi air ketuban dapat bertambah cairan lain masuk kedalam ruangan amnion, misalnya air kencing janin dan cairan otak anensefalus. Naeye dan Blanc (1972) mengidentifikasi dilatasi tubulus ginjal, bladder (vesica urinaria) ukuran besar, akan meningkatkan output urine pada awal periode pertumbuhan fetus, hal inilah yang meningkatkan produksi urine fetus yang mengakibatkan hidramnion.
Pengaliran air ketuban terganggu
Air ketuban yang dibentuk, secara rutin dikeluarkan dan diganti dengan yang baru. Salah satu cara pengeluaran adalah ditelan oleh janin, diabsorpsi oleh usus kemudian dialirkan ke plasenta
untuk akhirnya masuk kedalam peredaran darah ibu. Ekskresi air ketuban ini akan terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti pada atresia esofagus dan anensefalus. Damato dan koleganya (1993) melaporkan bahwa dari 105 wanita yang diteliti cairan amnionnya, ditemukan hampir 65% dinyatakan hidramnion. Ada 47 orang hamil tunggal dengan satu atau lebih mengalami kelainan kongenital. Diantaranya kelainan gastrointestinal, sistem syaraf pusat, thorax, skeletal, kelainan kromosom (2 janin mempunyai trisomi 18—Edward syndrome dan dua janin dengan trisomi 21—Down syndrome), dan kelainan jantung. 19 orang wanita hamil kembar. Hidramnion berhubungan dengan kehamilan kembar monozigotik, hipotesis telah dibuktikan bahwa salah satu fetus menguasai satu bagian sirkulasi dari janin lainnya, dimana fetus yang satu ini mengalami cardiac hypertrofi dan produksi output urine yang meningkat. Diagnosis 1. Anamnesis
Perut terasa lebih besar dan lebih berat dari biasa Sesak nafas, beberapa ibu mengalami sesak nafas berat, pada kasus ekstrim ibu hanya bisa bernafas bila berdiri tegak Nyeri ulu hati dan sianosis Nyeri perut karena tegangnya uterus Oliguria. Kasus sangat jarang terjadi. Hal ini terjadi karena urethra mengalami obstruksi akibat uterus yang membesar melebihi kehamilan normal.
2. Inspeksi
Perut terlihat sangat buncit dan tegang, kulit perut mengkilat, retak-retak kulit jelas dan kadang-kadang umbilikus mendatar Ibu terlihat sesak dan sianosis serta terlihat payah karena kehamilannya Edema pada kedua tungkai, vulva dan abdomen. Hal ini terjadi karena kompresi terhadap sebagian besar sistem pembuluh darah balik (vena) akibat uterus yang terlalu besar
3. Palpasi
Perut tegang dan nyeri tekan Fundus uteri lebih tinggi dari usia kehamilan sesungguhnya Bagian-bagian janin sukar dikenali
4. Auskultasi
Denyut jantung janin sukar didengar
5. Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen (bahaya radiasi)
Ultrasonografi o Banyak ahli mendefinisikan hidramnion bila index cairan amnion (ICA) melebihi 24-25 cm pada pemeriksaan USG. o Dari pemeriksaan USG, hidramnion terbagi menjadi :
Mild hydramnion (hidramnion ringan), bila kantung amnion mencapai 8-11 cm dalam dimensi vertikal. Insiden sebesar 80% dari semua kasus yang terjadi. Moderate hydramnion (hidramnion sedang), bila kantung amnion mencapai 12-15 cm dalamnya. Insiden sebesar 15%. Severe hydramnion (hidramnion berat), bila janin ditemukan berenang dengan bebas dalam kantung amnion yang mencapai 16 cm atau lebih besar. Insiden sebesar 5%. Weeks gestation 16 28 36 40
Fetus (gr) 100 1000 2500 3300
Placenta (gr) Amnionic fluid (ml) 100 200 200 1000 400 900 500 800
Fluid (%) 50 45 24 17
From Queenan (1991) Diagnosa banding
Gemelli (kembar) Asites (pengumpulan cairan
serosa dalam rongga perut) Kista ovarium Kehamilan dengan tumor
Prognosis Janin
Kelainan kongenital Prematuritas Prolapsus tali pusat
Solusio plasenta Atonia uteri Perdarahan postpartum
Ibu
Penanganan Pada masa hamil Pada hidramnion ringan tidak perlu pengobatan khusus. Hidramnion sedang dengan beberapa ketidaknyamanan biasanya dapat diatasi, tidak perlu intervensi sampai persalinan atau sampai selaput membran pecah spontan. Jika terjadi sesak nafas atau nyeri pada abdomen, terapi khusus
diperlukan. Bed rest, diuretik dan air serta diet rendah garam sangat efektif. Terapi indomethacin biasa digunakan untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul menyertai hidramnion. Kramer dan koleganya (1994) melalui beberapa hasil penelitiannya membuktikan bahwa indomethacin mengurangi produksi cairan dalam paru-paru atau meningkatkan absorpsi, menurunkan produksi urine fetus dan meningkatkan sirkulasi cairan dalam membran amnion. Dosis yang boleh diberikan 1,5-3 mg/Kg per hari. Tetapi pada hidramnion berat maka penderita harus dirawat dan bila keluhan terlalu hebat dapat dilakukan amniosentesis (pengambilan sampel cairan ketuban melalui dinding abdomen). Prinsip dilakukan amniosintesis adalah untuk mengurangi distress pada ibu. Selain itu, cairan amnion juga bisa di tes untuk memprediksi kematangan paru-paru janin. Pada masa persalinan Bila tidak ada hal-hal yang mendesak maka sikap kita adalah menunggu. Jika pada waktu pemeriksaan dalam ketuban tiba-tiba pecah, maka untuk menghalangi air ketuban mengalir keluar dengan deras, masukanlah tinju kedalam vagina sebagai tampon beberapa lama supaya air ketuban keluar pelan-pelan. Maksudnya adalah supaya tidak terjadi solusio plasenta, syok karena tiba-tiba perut kosong atau perdarahan postpartum karena atonia uteri. Pada masa nifas Observasi perdarahan postpartum OLIGOHIDRAMNION Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal yaitu kurang dari 500 mL. Marks dan Divon (1992) mendefinisikan oligohidramnion bila pada pemeriksaan USG ditemukan bahwa index kantong amnion 5 cm atau kurang dan insiden oligohidramnion 12% dari 511 kehamilan pada usia kehamilan 41 minggu. Etiologi Penyebab pasti terjadinya oligohidramnion masih belum diketahui. Beberapa keadaan berhubungan dengan oligohidramnion hampir selalu berhubungan dengan obstruksi saluran traktus urinarius janin atau renal agenesis. Fetal Chromosomal abnormalities Congenital anomalies Growth restriction Postterm pregnancy Ruptured membranes Placenta Abruptio placenta
Maternal Uteroplacental insufficiency Hypertension Preeclampsia Diabetes
From Peipert and Donnenfeld (1991) Gambaran klinis
Perut ibu kelihatan kurang membuncit Denyut jantung janin sudah terdengar lebih dini dan lebih jelas Ibu merasa nyeri di perut pada setiap gerakan anak Persalinan lebih lama dari biasanya Sewaktu his/mules akan terasa sakit sekali Bila ketuban pecah, air ketuban akan sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar
Prognosis Prognosis oligohidramnion tidak baik terutama untuk janin. Bila terjadi kehamilan muda akan mengakibatkan gangguan bagi pertumbuhan janin, bahkan bisa terjadi foetus papyreceous, yaitu picak seperti kertas karena tekanan-tekanan. Bila terjadi pada kehamilan lanjut akan terjadi cacat bawaan, cacat karena tekanan atau kulit menjadi tebal dan kering. Selain itu, dapat mengakibatkan kelainan musculoskeletal (sistem otot). Oligohidramnion yang berkaitan dengan PPROM pada janin yang kurang dari 24 minggu dapat mengakibatkan terjadinya hipoplasia paru-paru. Ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
Kompresi toraks, mengakibatkan pengembangan dinding dada dan paru-paru terhambat Terbatasnya pernapasan janin menurunkan pengembangan paru-paru Terganggunya produksi serta aliran cairan paru-paru berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan paru-paru
Penatalaksanaan Penanganan oligohidramnion bergantung pada situasi klinik dan dilakukan pada fasilitas kesehatan yang lebih lengkap mengingat prognosis janin yang tidak baik. Kompresi tali pusat selama proses persalinan biasa terjadi pada oligohidramnion, oleh karena itu persalinan dengan sectio caesarea merupakan pilihan terbaik pada kasus oligohidramnion. Selain itu, pertimbangan untuk melakukan SC karena :
Index kantung amnion (ICA) 5 cm atau kurang Deselerasi frekuensi detak jantung janin Kemungkinan aspirasi mekonium pada kehamilan postterm.