penanganan gigitan ular lengkap Posted on 2 Maret 2015 by lilinrosyanti
PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Penatalaksanaan tergantung derajat keparahan envenomasi; dibagi menjadi perawatan di lapangan dan manajemen di rumah sakit. Perawatan di Lapangan seperti kasus-kasus emergensi lainnya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan pasien sampai mereka tiba di instalasi gawat darurat. Sering penatalaksanaan dengan autentisitas yang kurang lebih memperburuk daripada memperbaiki keadaan, termasuk membuat insisi pada luka gigitan, menghisap dengan mulut, pemasangan turniket, kompres dengan es, atau kejutan listrik. Perawatan di lapangan yang tepat harus sesuai dengan prinsi p dasar emergency life support. Tenangkan pasien untuk menghindari hysteria selama implementasi ABC (Airway, Breathing, Circulation) Pertolongan Pertama : Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan 1. Cegah gigitan sekunder atau adanya korban kedua. Ular dapat terus mengigit dan menginjeksikan bisa melalui gigitan berturut-turut sampai bisa mereka habis . Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian 2. Buat korban tetap tenang, yakinkan mereka bahwa gigitan ular dapat ditangani secara efektif di instalasi gawat darurat. Batasi aktivitas dan imobilisasi area yang terkena (umumnya satu ekstrimitas), karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening dan tetap posisikan daerah yang tergigit berada di bawah tinggi jantung untuk mengurangi aliran bisa. 3. Jika terdapat alat penghisap, (seperti Sawyer Extractor), ikuti petunjuk penggunaan. Alat penghisap tekanan-negatif dapat memberi beberapa keuntungan keuntungan jika digunakan dalam beberapa menit setelah envenomasi. Alat ini telah direkomendasikan oleh banyak banyak ahli di masa lalu, namun alat ini semakin tidak ti dak dipercaya untuk dapat menghisap bisa secara signifikan, dan mungkin alat penghisap dapat meningkatkan kerusakan jaringan lokal Menghisap racun dari luka juga menjadi tindakan yang cukup menjadi hal kontroversial disatu sisi mungkin dapat mengurangi jumlah racun tetapi tentu saja jumlah racun yang dikurangi tidak signifikan. Kekurangan dari tindakan ini adalah kemungkinan kerusakan jarinan lokal yang lebih luas. Selain itu apabila menghisap menghisap racun dengan mulut, mungkn dapat menyebabkan keracunan bagi orang yang menghisap apabila terdapat luka pada mulut atupun saluran pencernaan. Oleh karena itu akan lebih baik jangan memanupulasi daerah gigitan.
4. Diusahakan melepaskan barang yang berbentuk melingkar pada ekstremitas, karena dikawatirkan apabila terjadi pembengkakan akan dapat menekan sehingga aliran darah menjadi terputus. Apabila orang tersebut digigit ular yang cukup beracun dan tidak tamak luka yang cukup parah, maka penekanan mungkin dapat dilakukan. Bungkus perban di lokasi gigitan dan sampai ujung dengan tekanan sampai membungkus pergelangan kaki terkilir. Kemudian melumpuhkan ekstremitas dengan bebat, dengan tindakan yang sama akan membatasi aliran darah. Teknik ini dapat membantu mencegah efek sistemik dari racun, tetapi j uga dapat memperburuk kerusakan lokal pada lokasi luka jika gejala yang signifikan hadir di sana. Tetapi pada penelitian terakhir pengunaan bebat hingga pulsasi hilang menjadi perdebatan karena akan menyebabkan iskemia jaringan, oleh karena itu sekarang lebih disarankan bebat hanya dengan tujuan menghambat aliran linfa tidak untuk menghambat aliran vena ataupun arteri. Hal berikutnya yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan bidai agar tidak terlalu banyak pergerakan di daerah tersebut, karena banyaknya pergerakan menyebabkan peningkatan absorbsi dari racun tersebut melalui otot. 5. Monitor tanda-tanda vital korban ” temperatur, denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah” jika mungkin Jalan napas, pernapasan, pulsasi arteri dan level kesadaran harus diperiksa sesegera mungkin. Berikut adalah beberapa keadaan yang membutuhkan resususitasi antara la in: * Hipotensi yang parah dan shock akibat langsung dari bisa ular ataupun evek sekunder seperti hipovolemia, pelepasan mediator inflamasi, shock hermoragik atau reaksi anafilaksis yang diakibatkan oleh racun itu sendiri * Gagal napas yang cukup parah akibat keracunan neurotoksis yang mengakibatkan paralisis dari otot pernapasan. * Deorientasi segera ataupun gejala sistemik yang sergera timbul setelah pelepasan torniket ataupun pengikat dari luka tersebut * Henti jantung karena hiperkalemia yang diakibatkan kerusakan otot setelah gigitan ular laut * Apabila pasien datang terlambat sehinga racunnya sangat parah seperti adanya gagal ginjal, dan septikemia akibat komplikasi dari nekrosis lokal 6. Jika daerah yang tergigit mulai membengkak dan berubah warna, ular yang mengigit kemungkinan berbisa. 7. Segera dapatkan pertolongan medis. Transportasikan korban secara cepat dan aman ke fasilitas medis darurat kecuali ular telah pasti diidentifikasi tidak berbahaya (tidak berbisa). Identifikasi atau upayakan mendeskripsikan jenis ular, tapi la kukan jika tanpa resiko yang signifikan terhadap adanya gigitan sekunder atau jatuhnya korban lain. Jika aman, bawa serta ular yang sudah mati. Hati-hati pada kepalanya saat membawa ular – ular masih dapat mengigit hingga satu jam setelah mati (dari reflek). Ingat, identifikasi yang salah bisa fatal. Sebuah gigitan tanpa gejala inisial dapat tetap berbahaya atau bahkan fatal. 8. Jika berada di wilayah yang terpencil dimana transportasi ke instalasi gawat darurat akan lama, pasang bidai pada ekstremitas yang tergigit. Jika memasang bidai, ingat untuk memastikan luka tidak cukup bengkak sehingga menyebabkan bidai men ghambat aliran
darah. Periksa untuk memastikan jari atau ujung jari tetap pink dan hangat, yang berarti ekstrimitas tidak menjadi kesemutan, dan tidak memperburuk rasa sakit. 9. Jika dipastikan digigit oleh elapid yang berbahaya dan tidak terdapat efek mayor dari luka lokal, dapat dipasang pembalut dengan teknik imobilis asi dengan tekanan. Teknik ini terutama digunakan untuk gigitan oleh elapid Australia atauular laut. Balutkan perban pada luka gigitan dan terus sampai ke bagian atas ekstremitas dengan tekanan seperti akan membalut pergelangan kaki yang terpeleset. Kemudian imobilisasi ekstremitas dengan bidai, dengan tetap memperhatikan mencegah terhambatnya aliran darah. Teknik ini membantu mencegah efek sistemik yang mengancam nyawa dari bisa, tapi juga bisa memperburuk kerusakan lokal pada sisi gigitan jika gejala yang signifikan terdapat di sana. Sejumlah teknik pertolongan pertama yang lama telah ditinggalkan. Penemuan klinik terbaru mendukung hal-hal berikut _ Jangan mencoba menghisap bisa dengan mulut dan memotong sisi gigitan. Memotong sisi yang tergigit dapat merusak organ yang mendasarinya, meningkatkan resiko infeksi, dan tidak membuang racun. _ Jangan gunakan es atau kompres dingin pada sisi gigitan. Es tidak mendeaktivasi bisa dan dapat menyebabkan radang dingin. _ Jangan menggunakan kejutan listrik. Kejutan listrik tidak efektif dan dapat menyebabkan luka bakar atau masalah elektrik pada jantung. _ Jangan gunakan alkohol. Alkohol dapat menghilangkan sakit, tapi juga membuat pembuluh darah lokal berdilatasi, dimana dapat meningkatkan absorpsi bisa. _ Jangan menggunakan turniket atau verband yang ketat. Hal ini tidak terbukti efektif, dapat meningkatkan kerusakan jaringan, dan dapat menyebabkan keharusan amputasi. _ Jangan mengangkat sisi gigitan di atas tinggi jantung korban Manajemen di Rumah Sakit Perawatan definitif Meliputi pengecekan kembali ABC dan mengevaluasi pasien atas tanda-ta nda syok (seperti takipneu, takikardi, kulit kering dan pucat, perubahan status mental, hipotensi). Rawat dahulu keadaan yang mengancam nyawa. Korban dengan kesulitan bernafas mungkin membutuhkan endotracheal tube dan sebuah mesin ventilator untuk menolong korban bernafas. Korban dengan syok membutuhkan cairan intravena dan mungkin obat-obatan lain untuk mempertahankan ali ran darah ke organ-organ vital. Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata. a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai
dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat. Medikamentosa 1. Penanganan berikutnya yaitu dengan memberikan antibisa ular (antivenom) Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Tujuan pemberian antivenin adalah untuk mengikat racun dalam bisa dan mencegah efek buruk baik lokal maupun sistemik pemberi SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dikebalkan) polivalen 1 ml berisi : 10-50 LD50 bisa Ankystrodon; 25-50 LD50 bisa Bungarus; 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix; Fenol 0.25% v/v Teknikpenthenan: 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 500 ml NaC10,9% atau Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Sekarang tersedia 2 jenis antivenin. Salah satunya te lah diproduksi sejak 1956. Dibuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan bisa ular dalam dosis subletal (Wyeth). Antivenin telah dipurifikasi tapi masih mengandung protein serum lain yang mungkin bisa imunogenik. Versi terakhir, didukung oleh FDA pada tahun 2000 (CroFab, Savage) adalah suatu fragmen immunoglobulin monovalen yang berasal dari domba namun dipurifikasi untuk menghilangkan protein antigenik lain. Antivenin yang lama mungkin masih tersedia, namun secara umum telah direkomendasikan untuk memakai obat yang lebih spesifik dan telah dipurifikasi. Bahkan dengan agen terbaru, harus diperhatikan bahwa saat mungkin antivenin dapat menyelamatkan nyawa, antivenin juga dapat mengarah pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis) dan tipe lambat (serum sickness) dan harus digunakan dalam pengawasan. Untuk mencapai efikasi maksimum, berikan dalam 4 – 6 jam setelah gigitan. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001): – Derajat 0 dan 1: ditandai dengan rasa sakit lokal, edema, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan hasil laboratorium yang normal., tidak diperlukan SABU; dilakukan evaltinsi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU – Derajat II : Envenomasi sedang ditandai dengan rasa sakit lokal yang hebat; edema lebih dari 12 inci di sekitar luka; dan toksisitas sistemik termasuk nausea, vomitus dan penyimpangan pada hasil laboratorium (misalnya penurunan jumlah hematokrit atau trombosit).dapat di berikan 3 — 4 vial SABU; – Derajat III : 5 — 15 vial SABU; – Derajat IV : berikan penambahan 6 — 8 vial SABU, Untuk derajat 3 dan 4 termasuk derajat berat, ditandai dengan ptekie, ekimosis, sputum bercampur darah, hipotensi, hipoperfusi, disfungsi renal, perubahan pada protrombin time dan tromboplastin time parsial teraktivasi, dan hasil-hasil abnormal dari tes-tes lain yang menunjukkan koagulopati konsumtif.
Penderajatan envenomasi merupakan proses yang dinamis. Dalam beberapa jam, sindrom ringan awal dapat berkembang menjadi sedang bahkan reaksi yang berat 2. Antibiotik – sering diberikan saat korban tiba di rumah sakit tapi lebih sering digunakan hanya pada kasus berat. Bagaimanapun, profilaksis dengan antibiotik spektrum luas masih direkomendasikan. Contoh obat yang sering digunakan adalah Ceftriax one (Rocephin) – generasi-ketiga dari cephalosporin; diberikan dengan dosis dewasa 1-2 g IV per 12 – 24 jam, dan dosis anak 75 mg/kg/d IV per 12 jam. 3. Imunisasi, Imunisasi – ular tidak membawa Clostridium tetani pada mulutnya, tapi gigitan ular dapat membawa bakteri lain, terutama spesies gram-negatif. Profilaksis tetanus direkomendasikan jika pasien belum diimunisasi dalam 5 tahun terakhir. Difteri-tetanus toxoid – digunakan untuk menginduksi imunitas aktif melawan te tanus pada pasien tertentu. Agen imunisasi pilihan untuk kebanyakan korban dewasa dan anak > 7 tahun adalah tetanus dan toxoid difteri. Pemberian serum anti tetanus dilakukan sesuai indikasi. Penanganan simptomatik Berdasarkan gejala dapat dilakukan berdasarkan gejala yang timbul seperti gangguan saraf, gangguan hemostatik, shock dan gangguan otot jantung, gagal ginjal akut ataupun efek lokal yang cukup parah. 1. Untuk keracunan oleh agen neurotoksik dan adanya paralisis otot pernafasan perlu dilakukan bantuan pernafasan dengan udara biasa ataupun dengan menguknakan oksigen dan harus terus dipantau sampai kembali seperti keadaan s emula yaitu pasien dapat bernafas dengan normal. Apabila tidak ada ventilator pengunaan ventilasi manual berupa anastetic bag dapat dilakukan oleh tenaga profesional dan hasilnya cukup memuaskan. Pemberian anticholinesterase yang berguna untuk meningkatkan neurotransmiter asetilkolin dapat dicoba dan pada beberapa hasil penelitian memberikan hasil yang cukup memuaskan 2. Gangguan hemostatik dapat terjadi pada keracunan bisa ular tertentu. Tir ah baring yang ketat wajib dilakukan untuk mengurangi kemungkinan adanya trauma minor yang dapat menyebabkan perdarahan. Pemberian faktor penbekuan dan trombosit, fresh frosen plasma dan cryopresipitat dengan trombosit akan lebih membantu apabila ada kelainan hemostatic. Apabila semua itu tidak ada dapat dipertimbangkan pemberian fresh whole blood. Penyuntikan untuk memberikan melalui intra muskular tidak disarankan 3. Shock dan kerusakan otot jantung akan menyebabkan hipovolenia dan harus segera dikoreksi dengan cairan koloid ataupun cristaloid, akan lebih baik pemantauan dilakukan di vena central. Obat-obatan vasokonstriksi seperti dopamin dan adrenalin sangat diperlukan. Pasien dengan hipotensi biasanya berhubungan dengan bradikardia dan harus diterapi dengan pemberian atropin. Pada keadaan rabdomioliisis perlu diberikan carian dan natrium bikarbonat. 4. Gagalginjal akut dapat diterapi dengan terapi konservatif ataupun dengan dialisis. Pada urin yang berwarna kecoklatan sampai hitam dapat diduga bahwa adanya mioglobinuria ataupun hemoglobinuria. Pada keadaan ini perlu diperhatian penambahan cairan dengan cairan intravena, pada keadaan asidosis dapat dipertimbangkan permberian cairan intravena 50-100mmol sodium bikarbonat. Pada keadaan syndrom crush dapat diberi kan 200ml cairan manitol 20% secara intravena tetapi pada keadaan gagal ginjal akut perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi intoksikasi ginjal dan adanya ketidakseimbangan elektrolit. Pembedahan
Efek lokal dari keracunan seperti nekrosis lokal, sindrom kompartemen dan trombosis dari pembuluh darah utama biasanya terjadi pada pasien yang tidak diterapi dengan anti bisa. Intervensi pembedahan mungkin dapat dilakukan. Tetapi intervensi ini menjadi bahaya apabila pasie n dengan komplikasi consumption coagulopathy, trombositopenia, fibrinolisis. Pada pasien dengan keadaan t ersebut harus dilakukan penanganan yang lebih komperhensif untuk menangani komplikasi dari efek lokal racun tersebut. – Fasciotomy Jika perawatan dengan elevasi tungkai dan obat-obatan gagal, ahli bedah mungkin perlu melakukan pembedahan pada kulit sampai kompartemen yang terkena, disebut fasciotomy. Prosedur ini dapat memperbaiki pembengkakan dan penekanan tungkai, ber potensi menyelamatkan lengan atau tungkai. Fasciotomi tidak diindikasikan pada setiap gigitan ular, tapi dilakukan pada pasien dengan bukti objektif adanya peningkatan tekanan kompartemen. Cedera jaringan setelah sindrom kompartemen bersifat reversible tapi dapat dicegah – Nekrotomi dikerjakan bila telah nampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Dalam penanganan yang menyeluruh, maka perlu dil akukan pengambilan darah untu pemeriksaan waktu protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen, dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, CK. Periksa waktu pembekua, jika dalam 10 menit menunjukkan adanya koagulopati. Juga dapat dilakukan apus tempat gigitan dengan venom detection. Studi Laboratorium – Penghitungan jumlah sel-sel darah – Prothrombin time dan activated partial thromboplastin time. – Fibrinogen dan produk-produk pemisahan darah – Tipe dan jenis golongan darah – Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN, kreatinin – Urinalisis untuk myoglobinuria – Analisa gas darah untuk pasien dengan gejala sis temik Studi Imaging : – Radiografi thoraks pada pasien dengan edema pulmoner – Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal Tes lain : – Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersial tersedia alat yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Stryker pressure monitor). Pengukuran tekanan kompartemen diindikasikan jika terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit TINDAK LANJUT Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit : Pengiriman pasien ke rumah sakit sudah menjadi hal rutin untuk setiap kasus envenomasi. Untuk kasus gigitan kering dari ular viper, observasi di instalasi gawat darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien dengan envenomasi yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut
dan untuk menyingkirkan sindrom kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit. Fasciotomy diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mm Hg. Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen PENCEGAHAN GIGITAN ULAR Secara umum ular akan merasa terancam apabila bertemu dengan manusia dibandingkan manusia itu sendiri, alasannya adalah ular mengigit karena me rasa terancam dan bertujuan untuk melarikan diri. Sebagian ular akan lebih menjadi aktif apabila merasa terpojok atau merasa takut, oleh karena itu, jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (IPD UI) Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan sebagai pencegahannya antara lain: • Sercara umum orang dapat melakukan pencegahan yang terbaik dar i gigitan ular dengan menggunakan sepatu ketika bekerja dekat dengan ular atau mendaki gunung. Celana panjang juga dapat menurunkan keparahan dari gigitan ular. Pada negara dengan populasi ular yang tinggi diusahakan jangan berjalan dengan telanjang kaki pada saat berada di hutan ataupun semak-semak • Jangan mencoba menangani, menangkap, atau menggoda ular berbisa atau ular identitas tidak diketahui. Di AS, sekitar 40% dari gigitan ular terjadi ket ika korban mencoba untuk menangkap ular atau menangani ular dengan tidakan yang ceroboh. • Buat suara (atau lebih tepatnya vibrasi di sekeliling – ular merupakan hewan yang tuli, tapi bereaksi terhadap getaran). Pukul-pukul dengan cabang atau ranting pohon sekitar 3 – 5 langkah ke depan, dan tetap berdiri beberapa saat sebelum mengambil langkah berikutnya. Mayoritas ular akan menghindar jika diberi kesempatan. Pengecualian pada ular Taipan Australia yang agresif, yang dapat tiba-tiba menggigit tanpa bisa diprediksi • Gigitan ular sering dihubungkan dengan pengunaan alkohol. Pengunaan alkohol dapat memperlemah daya tahan tubuh seseorang, membuat gangguan kondisi kesadaran, sehingga membuar orang lebih berani memegang ular tanpa kewaspadaan yang tinggi. Selain itu jg alkohol dapat menurunkan koordinasi sehingga meningkatkan kemungkinan kecelakaan tergigit ular. • Hindari berpergian ke wilayah yang berular saat gelap. Jika s angat penting, bawa serta obor yang terang. Ular lebih menghindari cahaya terang dan getaran. • Jika bertemu dengan ular, tetap berdiri tegak. Ular secara instingtif akan menghindar dan kebanyakan ular menyerang objek yang bergerak. • Jika menemukan ular ‘mati’, pastikan ular benar -benar mati. Banyak orang telah tergigit dua atau tiga kali oleh ular ‘mati’. J ika seseorang tergigit, pastikan ular yang menggigit telah benar-benar mati dan bawa serta untuk identifikasi, tapi pegang di bagian ekor dan tetap perhatikan kepalanya, atau lebih baik tempatkan pada suatu kantung yang bisa ditempatkan jauh dari tubuh. • Apabila pekerjaan atau hobi seseorang terpapar langsung dengan ular yang berbahaya, maka diperlukan pencegahan awal dengan memberikan antibisa sebelum tergigit dapat menyelamatkan nyawa. Karena tidak setiap dokter mengerti tentang gigitan ular dan tidak setiap rumah sakit memiliki dan tahu cara untuk mendapatkan anti bisa, mengerti mengenai informasi jenis ular, jenis racun, dan pengadaan dan penggunaan antibisa sehingga mengerti akan karakteristik ular dan anti bisa yang digunakan dapat membantu dalam pencegahan kondisi yang lebih buruk. • Ketersediaan serum antibisa ular untuk daerah dimana sering terjadi kasus gigitan ular. • Semua ular laut (Hydrophiidae) berpotensi sangat berbisa dan peneliti atau penyelam jangan
mencoba melihat terlalu dekat. Biasanya ular laut muncul di pantai-pantai Asia Tenggara dan Australia. DAFTAR RUJUKAN 1. American Red Cross. Standartd First Aid and Personal Safety. First Editi on. New York: Doubleday & Company,Inc, 1979,h.114-25 2. David A Warrell. Guidelines for the management of snake-bites. India: World Health Organization,2010. Diunduh dari : http://www.who.int 3. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM. Penatalaksanaan Keracunan akibat Gigitan Ular Berbisa. Jakarta. Diunduh dari : Diunduh dari: http://www.pom.go.id 4. Djoni Djunaedi. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Pen yakit Dalam. Jilid 2. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.280-3 5. David A Warrell. Guidelines for the Clinical Ma nagement of Snake Bite in the South-East Asia Region . India: World Health Organization,2005. Diunduh dari : http://www.who.int 6. Brian James Daley. Snakebite. Amerika: Medscape, 2010. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview 7. Jerry R. Balentine. Snakebite. Amerika,2011. Diunduh dari : http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite%20Overview 8. Iris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukamana, Dina Mahdi. Rejatan anafilaktik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.257-61 9. Djoni Djunaedi. Penatalaksanaan Keracunan Bisa Kaljengking. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. J ilid 2. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.278-9 10. Jacob L. Heller. Snake Bites. Washington,2010. Diunduh dari: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/animalbites.html 11. Sioux Lembaga Studi Ular Indonesia. MAKALAH PENGANTAR IDENTIFIKASI DAN PENANGANAN Ular Indonesia. Jakarta: 2009. Diunduh dari: http://www.siouxsnake.blogspot.com 12. Ular – Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia available at URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Ular 13. Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta, Mei 1997. Hal. 99-100. 14. Snakebite, 2005 available at URL : http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite. 15. Daley eMedicine – Snakebite : Article by Brian James, MD, MBA, FACS, 2006 available at URL : http://www.emedicine.com/med/topic2143.htm 16. MedlinePlus Medical Encyclopedia: Snake bite, A.D.A.M., Inc. 2006 available at URL : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000031.htm 17. MedlinePlus Medical Encyclopedia:Snakebite (poison) treatment – series… A.D.A.M., Inc. 2006, available at URL : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100141_1.htm http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100141_2.htm 18. MedlinePlus Medical Encyclopedia: Snake bite on the finger, A.D.A.M., Inc. 2006 available at URL : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/2583.ht 19. Snakes and snake bites, 2005 available at URL : http://www.netdoctor.co.uk/travel/diseases/snakes_and_snake_bites.htm
Senin, Januari 18, 2010 A. Ular berbisa di Indonesia Ular berbisa hanya sedikit yang ditemukan di Indonesia, diantaranya: ular sendok (kobra), ular anang (tedung atau king kobra), ular welang, ular weling, ular hijau pucuk/ular gadung (luwuk), ular taliwangsa (belang hitam-kuning) dan ular tanah (coklat tua dengan taring panjang). B. Sifat Ular Sifat ular yang harus dipahami adalah; ular takut pada manusia, menggigit untuk memperingatkan/mengusir manusia (pada kebanyakan kasus) serta 70% gigitan ular bukan dari ular berbisa, umumnya hanya sedikit atau tidak ada racun yang disuntikkan. Gigitan ular tidak semuanya berakhir dengan kematian. Kematian tidak datang seketika atau dala m beberapa menit saja. Gejala biasanya timbul 15 menit sampai 2 jam kemudian setelah korban digigit ular. C. Ciri-ciri ular berbisa Ciri secara umum (tidak mutlak) yg biasanya ada pada ular b erbisa, yaitu: bentuk kepala pipih dan berpola huruf ‘V’, ukuran relatif kecil atau pendek, kecuali King Cobra yang bisa mencapai 5 meter dan warna biasanya cerah (tetapi hal ini tidak mutlak). D. Mencegah tidak digigit ular Mencegah agar tidak digigit ular adalah; jangan membuat koleksi dari ular, tinggalkan/jangan ganggu ular. beberapa orang digigt karena berusa ha membunuh atau mencoba mendekat. Di daerah yang banyak ular, pakai sepatu, kaos kaki dan jeans apabila keluar r umah , jangan masukkan tangan dicelah-celah timbunan kayu atau sampah, Bila berjalan di semak belukar usahakan membuat suara berisik agar ular tahu keberadaan kita dan menyingkir, hati-hati bila berjalan di rumput yang tebal dan potong pendek rumput di sekitar rumah, tempat kerja dan sekolah dan pergunakan senter bila berjalan di malam hari. E. gambaran gigian ular berbisa Gambaran gigian ular berbisa akan timbul rasa nyeri daerah tusukan (muncul se gera seelah gigitan), daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar (dapat cepat berkembang), reaksi emosi yang kuat, penglihatan kembar/kabur, mengantuk, sakit kepala, pusing dan pingsan, mual dan atau muntah dan diare, rasa sakit atau berat didada dan perut, tanda-tanda tusukan gigi, gigitan biasanya pada tungkai/kaki, sukar bernafas dan berkeringat banyak, kesulitan menelan serta kaku di daerah leher dan geraham. F. Pertolongan pertama pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. selanjutnya lakukan prinsip : R = Reassure = yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. terkadang pasien pingsan / panik karena kaget. I = Immobilisation = jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang: lakukan tehnik balut tekan ( pressure-immoblisation ) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan) G = Get = bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin. T =Tell the Doctor = informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul pada korban.
G. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan) 1. Balut tekan pada tangan a. Istirahatkan (Immobilisasikan) Korban b. Keringkan sekitar luka gigitan c. Gunakan pembalut elastis d. Jaga luka lebih rendah dari jantung e. Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik keatas. f. Biarkan jari kaki jangan dibalut g. Jangan melepas celana atau baju korban h. Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kakiyang tetap pink) i. Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki. 2. Balut tekan pada tangan a. Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut) b. Balut siku & lengan dngn posisi ditekuk 90 drjt. c. Lanjutkan balutan ke lengan s/d pangkal lengan. d. Pasang papan sebagai fiksasi e. Gunakan mitela untuk menggendong tangan H. Kesalahan Penanganan Kesalahan penanganan yg sering dilakukan, mengikat (Tourniquets) sekitar luka /gigitan membuat sayatan memotong, membuat perdarahan atau menggerakan daerah gigitan, mencuci luka gigitan dan menyedot racun dari luka gigit I. Pertolongan di RS 1. Pasang I.V., 2. resusitasi cairan jika diperlukan 3. Pelacakan alergi, 4. Jenis gigitan untuk menentukan antibisa 5. Resusitasi kardiopulmoner jika diperlukan, 6. Adrenalin 7. Cek laboratorium darah, jika dlm waktu 4 jam darah korban tidak terdapat tanda koagulopati, miolisis dan pasien tidak menunjukan tanda gigitan berbisa maka pasien tidak terkena gigitan berbisa. J. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa 1. Infus RL, 2. resusitasi cairan jika diperlukan 3. Cek laboratorium 4. Urinalisa 5. Darah lengkap 6. Golongan darah 7. Ptt,aptt, fibrinogen 8. BUN, creatinin, Va, phospat, dll 9. EKG 10. Monitor ketat pasien ( tiap 15mnt – 2 jam setelah gigitan ) 11. Intubasi jika gagal nafas, cek sumbatan jalam nafas 12. RKP jika cardipulmonary arrest 13. pemberian antibisa 14. Larutkan antibisa dalam RL 60 cc,
15. berikan selama 30 mnt 16. Cek efek antibisa 15 menit setelah antibisa ha bis 17. Kemudian buka balutan dng hati-hati dlm waktu 5 mnt, 18. Jika setelah dibuka keadaan umum pasien tambah buruk 19. lakukan pembidaian kembali 20. Beri ATSAntibiotik profilaksis 21. Kontraindikasi diberikan Morfin SELAMAT MENCOBA… Pertolongan Pertama Pada Korban Gigitan Ular BERBISA Jika anda berpergian ke dalam hutan dan tergigit ular, hal pert ama yang harus dilakukan adalah : JANGAN PANIK, lalu coba jauhi ular itu dan jangan melakukan aktivitas/gerakan yang dapat mempercepat detak jantung. Berusaha untuk tetap sadar dan mengingat warna serta bentuk ular yang menggigit anda, apabila memungkinkan bunuh ular itu untuk dibawa ke medis. Setelah itu kenali ciri-ciri luka akibat gigitan ular berbisa yaitu : Luka gigitan terdapat 2 titik yang nyata ! Efek gigitan ular beracun bervariasi tergantung jenis racunnya namun efek umum yang timbul antara lain : – Pembengkakan pada luka diikuti perubahan warna. – Rasa sakit di seluruh persendian tubuh. – Mulut terasa kering dan mata berkunang-kunang. – Demam, menggigil. – Selanjutnya anda akan muntah dan pinggang terasa pegal akibat ginjal berusaha membersihkan darah. Tindakan Pertolongan Pertama SATU, Posisikan bagian tubuh yang luka lebih rendah dari posisi jantung. DUA, Ikat diatas luka sampai berkerut setiap 10 menit dan kendorkan 1 menit. TIGA, Buat luka baru sedalam 1 cm dengan menggunakan pisau, cutter atau silet. Ingat, buat sayatan luka baru vertikal terhadap luka gigitan. EMPAT, Keluarkan darah sebanyak mungkin dari s ayatan baru itu dan jangan mengeluarkan darah dengan menyedot dari mulut karena racun dapat mengkontaminasi mulut bahkan resiko tertelan. LIMA, Lakukan proses pengeluran darah berulang-ulang hingga warna darah yang keluar berubah dari merah kehitaman menjadi merah segar. ENAM, Segera pergi ke dokter terdekat, jangan lupa menceritakan apabila anda aler gi terhadap obat tertentu. Tidak semua gigitan ular berbisa memiliki ciri-ciri diatas dan pada kasus gigitan ular seperti ular weling , ular laut dan ular pudak seruni penanganannya berbeda karena mereka memiliki spesifikasi racun berbeda.
Penatalaksanaan gigitan ular Snake Bite, Pedoman Penatalaksanaan SRS
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme “Kerja” Bisa ular Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006) Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998) Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).
2.2 Jenis – jenis ular berbisa Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998) Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4
familli utama yaitu: Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo Familli Hydrophidae, misalnya ular laut Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: Ciri – ciri ular tidak berbisa: Bentuk kepala segi empat panjang Gigi taring kecil Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung Ciri – ciri ular berbisa: Kepala segi tiga Dua gigi taring besar di rahang atas Dua luka gigitan utama akibat gigi taring Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular : Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan) Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan. 2.3 Patofisiologi Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat ber tambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan. Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005). 2.4
Gejala
klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998) Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987): Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam) Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur Gejala khusus gigitan ular berbisa : o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID) o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006) Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut: Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan : Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam. Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular: Gigitan Elapidae Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata. Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala – gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam. Gigitan
Viperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae: Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae: Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting Gigitan Coral Snake: Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006) Tanda 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Gejala Umum mual, muntah,
dan Tanda
gejala gigi
lokal taring lokal lokal Bruising lymphangitis panas Melepuh Necrosis
Nyeri Pendarahan
Bengkak,
dan malaise,
merah,
tanda nyeri
abdominal,
sistemik weakness,
drowsiness,
umum prostration
Kardiovascular (Viperidae) Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) Perdarahan dari luka gigitan Perdarahan sitemik spontan – dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russell’s viper) Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, “heavy” eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper) Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut Ginjal (Viperidae, sea snakes) LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain) Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper) Fase akut: syok, hypoglycaemia Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999) 2.5 Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria) EKG Foto dada 2.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk snakebite antara lain : Anafilasis Trombosis vena bagian dalam Trauma vaskular ekstrimitas Scorpion Sting Syok septik Luka infeksi 2.7 Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan Menghalangi/ memperlambat absorbsi Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke Mengatasi efek lokal dan sistemik
Penatalaksanaan ular berbisa adalah bisa ular dalam sirkulasi darah (Sudoyo, 2006)
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari
lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot. Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es. Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dar i pada bahaya syok anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid. Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila ragu – ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de Jong, 1998) Tindakan Pelaksanaan A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri. B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut: Penatalaksanaan jalan napas Penatalaksanaan fungsi pernapasan Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai) Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi: 10-50 LD50 bisa Ankystrodon 25-50 LD50 bisa Bungarus 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001): Pedoman terapi SABU menurut Luck Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom • Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. • Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan Terapi suportif lainnya pada keadaan : • Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin) • Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit • Hipotensi: beri infus cairan kristaloid • Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat • Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan • Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi • Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin • Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan • Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat – obatan narkotik depresan Terapi profilaksis • Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis • Beri toksoid tetanus • Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006) Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak – semak Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006) DAFTAR
PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care,
University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand. Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com. sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/snake-bite-pedoman penatalaksanaan.html#ixzz4qJLFc8Nd Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial