CLINIC SCIENCE SESSION *Kepanitraan Klinik Senior ** Pembimbing
PENATALAKSANAAN GANGGUAN CEMAS MENYELURUH Niko Ulfat Matrya, S.Ked*, Yodi Wijaya, S.Ked*, Thomas Gredio S, S.Ked*, Miranti Tiara Indah P, S.Ked* Gita Tanbao Suselin, S.Ked* dr. Victor Eliezer, Sp.KJ**
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2017
PENATALAKSANAAN GANGGUAN CEMAS MENYELURUH
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Gangguan cemas merupakan gangguan yang sering dijumpai pada klinik psikiatri. Kondisi ini terjadi sebagai akibat interaksi faktor-faktor biopsikososial, termasuk kerentanan genetik yang berinteraksi dengan kondisi tertentu, stress atau trauma yang menimbulkan sindroma klinis yang bermakna. Gangguan cemas harus dapat dibedakan menjadi cemas normal dan patologis. Secara praktis, gangguan cemas patologis dapat dibedakan melalui penilaian pasien, keluarga, teman-teman dan pemeriksa bahwa kenyataannya penderita mengalami kecemasan patologis. Penilaian tersebut dinilai dari laporan keadaan internal pasien, perilakunya dan kemampuan pasien untuk berfungsi sebagaimana mustinya. Seorang pasien dengan kecemasan patologis pemeriksaan neuropsikiatrik yang menyeluruh dan suatu rencana pengobatan yang disusun secara individual. Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3 – 8% dan rasio antara perempuan dan laki-laki sekitar 2 : 1. Pasien gangguan cemas menyeluruh sering memiliki komorbiditas dengan gangguan mental lainnya seperti gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma, dan gangguan depresi berat. 1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan umum Referat ini disusun sebagai salah satu pesyaratan kelulusan klinik Ilmu
Kesehatan
Jiwa, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jambi. 1.2.2 Tujuan Khusus Dokter umum mampu mengenal dan mendiagnosis bentu-bentuk gangguan
cemas
sebagai masalah psikiatri sehingga dapat memberikan pengobatan yang benar.
BAB 2 GANGGUAN CEMAS MENYELURUH
2.1 DEFINISI Gangguan cemas menyeluruh ( Generalised Anxiety Disorder, GAD ) merupakan kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak realistis terhadap berbagai peristiwa kehidupan seharihari. Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurangnya selama 6 bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-gejala somatik seperti ketegangan otot, irritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan, sehingga menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan. 2.2 ETIOLOGI 2.2.1 TEORI BIOLOGI Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya GAD adalah lobus oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik, dan korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat pada etiologi timbulnya GAD. Pada pasien GAD juga ditemukan serotonergik yang abnormal. Neurotransmitter yang berkaitan dengan GAD adalah GABA, serotonin, norepinefrin, glutamat, dan kolesitokinin. Pemeriksaan PET ( Positron Emission Tomography ) pada pasien GAD ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih otak.
2.2.2 TEORI GENETIK Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien GAD dan Gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama penderita GAD juga menderita gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik. 2.2.3 TEORI PSIKOANALITIK Teori psikoanalitik menghipnotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif anxietas dihubungkan dengan perpisahahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi anxietas dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting. Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oedipal sedangkan anxietas superego merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri.
2.2.4 TEORI KOGNITIF PERILAKU Penderita GAD berespons secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman, disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal negatif pada lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan diri menghadapi ancaman. 2.3 PATOFISIOLOGI Pada kecemasan terjadi mekanisme sebagaimana terjadi pada stres. Terjadi pengaktifansistem saraf simpatis dan aktivasi hipotalamus-hipofisis-adrenal. Bila sebagian besar daerah sistem saraf simpatis melepaskan impuls pada saat yang bersamaan, maka dengan berbagai cara, keadaan ini akan meningkatkan kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas otot yang besar, di antaranya dengan cara : 1. Peningkatan tekanan arteri. 2. Peningkatan aliran darah untuk mengaktifkan otot-otot bersamaan dengan penurunan aliran darah ke organ-organ, seperti traktus gastrointestinalis dan ginjal, yang tidak diperlukan untuk aktivitas motorik cepat. 3. Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh 4. Peningkatan konsentrasi glukosa darah. 5. Peningkatan proses glikolisis di hati dan otot. 6. Peningkatan kekuatan otot. 7. Peningkatan aktivitas mental.
8. Peningkatan kecepatan koagulasi darah. Seluruh efek diatas menyebabkan orang tersebut dapat melaksanakan aktivitas fisik yang jauh lebih besar dari pada bila tidak ada efek tersebut. Keadaan ini sering disebut sebagai respons stres simpatis. Sistem simpatis terutama teraktivasi dengan kuat pada berbagai keadaan emosi, termasuk di dalamnya kecemasan dan stres. Jika stres menyebabkan keseimbangan terganggu, maka tubuh kita akan melalui serangkaian tindakan (respons stres) untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan. Perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan ini disebut sebagai sindrom adaptasi umum. Ini adalah cara tubuh bereaksi terhadap stres dan untuk membawa kembali sistem tubuh ke keadaan yang seimbang. Tahapan salah satu responnya disebut fase alarm, yang dicirikan oleh aktivasi langsung dari sistem saraf dan kelenjar adrenal. Berikutnya fase resistensi, yang ditandai denganaktivasi hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis. HPA axis adalah sistem terkoordinasi dari tiga jaringan endokrin yang mengelola respon kita terhadap stres. HPA adalah bagian utama dari sistem neuroendokrin yang mengendalikan reaksi terhadap stres dan memiliki fungsi penting dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan tubuh dan penggunaan energi. Spesies dari manusia keorganisme yang paling kuno berbagi komponen dari sumbu HPA. Ini adalah mekanisme untuk satu set interaksi di antara kelenjar, hormon dan bagianbagian tengah otak yang menengahi sindrom adaptasi umum. Sedikit kenaikan kortisol memiliki beberapa efek positif termasuk semburan energi untuk alasan bertahan hidup, peningkatan fungsi memori, semburan lebih rendah meningkatkan kekebalan dan kepekaan terhadap rasa sakit. Masalah terjadi ketika kita meminta tubuh kita bereaksi terlalu sering atau dengan perlawanan yang berlebihan - baik dari yang dapat mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol. Ketika stres diulangi, atau konstan, kadar kortisol meningkat dan tetap tinggi menyebabkan fase ketiga dari sindrom adaptasi umum yang tepat disebut sebagai overload .Pada tahap overload , sistem tubuh mulai memecah dan risiko penyakit kronis meningkat secara signifikan. Diketahui bahwa orang-orang normal tingkat kortisol dalam aliran darah puncaknya terjadi pada pagi hari dan berkurang seiring berjalannya hari itu. Sekresi kortisol bervariasi antar individu. Satu orang dapat mengeluarkan kortisol lebih tinggi daripada yang lain dalam situasi yang sama. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mengeluarkan tingkat kortisol lebih tinggi sebagai respons terhadap stres juga cenderung makan lebih
banyak makanan, dan makanan yang lebih tinggi karbohidrat daripada orang yang kurang mengeluarkan kortisol. 2.3.1.NEUROTRANSMITTER Tiga neurotransmitter utama yang berhubungan dengan dasar dari penelitian binatangdan respon kepada penanganan obat adalah norepinephrine (MODA), serotonin, dan γ-asam amino butirat (GABA). Sebagian besar informasi dasar neuroscience tentang eksperimen binatang membentuk paradigma tingkah laku dan agen psikoaktif. Satu diantaranya adalah eksperimen untuk mempelajari test konflik, di mana binatang secara simultan menghadiahi stimuli yang positif (e.g., makanan) dan negatif (e.g., goncangan elektrik). Obat-obatanAnxiolytic (e.g., benzodiazepines) cenderung untuk memberikan fasilitas adaptasi pada binatang terhadap situasi ini, sedangkan obat-obatan lain (e.g., amfitamin) lebih lanjut mengganggu respon tingkah laku binatang.
2.3.1.1.NOREPINEFRIN Gejala kronis pasien dengan gangguan cemas, seperti serangan panik, kesulitan untuk tidur, mengejutkan, dan autonomic hyperarousal, adalah karakteristik noradrenergik yang meningkat. Teori umum tentang peran dari norepinefrin dalam ke tidak teraturan dimana dipengaruhi pasien, mungkin mempunyai satu sistem noradrenergik yang buruk pengaturannya sehingga terjadi ledakan sekali-kali dari aktivitas ini. Badan sel dari sistem noradrenergik terutama dilokalisir pada tempat ceruleus di rostral pons, dan fungsinya memproyeksikan akson-akson pada korteks cerebral, sistem limbik, brainstem, dan medula spinalis. `
Eksperimen dalam kardinal/primata telah mendemonstrasikan stimulasi itu sehingga
dari tempat ceruleus menghasilkan suatu respon ketakutan dalam binatang dan ablasi pada area yang sama, menghalangi atau seluruhnya menghalangi kemampuan dari binatang untuk membentuk suatu respon ketakutan. Penelitian pada manusia telah ditemukan bahwa dalam pasien dengan gangguan panik, receptor adrenergic agonists (e.g., isoproterenol [Isuprel]) dan sel peka terhadap rangsangan 2-adrenergic antagonis (e.g., yohimbine [Yocon]) bisa membuat serangan panik bertambah parah. Sebaliknya, clonidine (Catapres), sel yang peka terhadap rangsangan agonis, mengurangi gejala pada beberapa situasi eksperimental dan dapat mengobati. Sebuah temuan lain adalah pasien dengan gangguan cemas, gangguan terutama panik, telah menyebabkan cerebrospinal mengalir (CSF) atau terpresentasi dalam uruin dalam bentuk noradrenergic metabolite 3methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG).
2.3.1.2. HYPOTHALAMIC-PITUITARY-ADRENAL SYSTEM Bukti tetap yang menunjukan bahwa banyak peningkatan sintesa dan pelepasan dari kortisol dapat membuat dampak psikologis. Kortisol berfungsi untuk mengerahkan dan untuk mengisi penyimpanan energi serta meningkatkan kewaspadaan, memfokuskan perhatian, dan formasi memori, pertumbuhan dan sistem reproduksi, dan respon kekebalan tubuh (imun). Pengeluaran kortisol Berlebihan dapat mempunyai efek kurang baik yang serius, mencakup hipertensi, osteoporosis, immunosuppresi, resistansi hormon insulin, dislipidemia, diskoagulasi, dan pada akhirnya, aterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Perubahan pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) fungsi poros masih sedang dipelajari dalam kaitannya dengan PTSD. Pada pasien dengan gangguan panik, adrenocorticoid hormon (ACTH) mempengaruhi pada corticotropin-releasing factor (CRF) masih sedang dipelajari dalam beberapa penelitian. Corticotropin-Releasing Hormone (CRH) Salah satu dari penengah terpenting respon tekanan, CRH mengkoordinir perubahan tingkah laku dan fisiologis adaptif yang terjadi selama tekanan psikis. Hypothalamic tingkat CRH meningkat dengan tekanan, menghasilkan aktivasi dari poros HPA dan pelepasan dari kortisol ditingkatkan serta dehydroepiandrosterone (DHEA). CRH juga menghalangi berbagai neurovegetatif berfungsi, seperti masukan makanan, aktivitas seksual, dan program endokrin untuk pertumbuhan serta reproduksi. 2.3.1.3. SEROTONIN Identifikasi dari banyak jenis reseptor serotonin telah menstimulasi pencarian dari peran serotonin pada patogenesis gangguan cemas. Tipe berbeda dari hasil tekanan akut dalam peningkatan 5-hydroxytryptamine (5-HT) terjadi di korteks prefrontal, nukleus accumbens, amigdala, dan hipothalamus lateral. Keterikatan pada hubungan ini pada awalnya termotivasi oleh observasi dimana serotonergik antidepresan mempunyai efek terapeutik pada beberapa gangguan cemas, sebagai contoh : clomipramine (Anafranil) pada OCD. Efektivitas dari buspirone (BuSpar), suatu serotonin 5-HT1A reseptor agonis, dalam penanganan dari gangguan cemas juga menyarankan kemungkinan dari satu asosiasi antara serotonin dan kecemasan. Badan sel dari sebagian besar neuron serotonergik adalah terletak di raphe nuclei di rostral brainstem dan memproyeksikan ke korteks cerebral, sistem limbik (terutama,amygdala dan hippocampus), dan hipotalamus. Beberapa laporan menunjukkan bahwa metachlorophenylpiperazine (mCPP), satu obat dengan berbagai efek serotonergik dan nonserotonergik, dan fenfluramine (Pondimin), yang menyebabkan pelepasan dari serotonin,
jugamenyebabkan peningkatan rasa cemas pada pasien dengan gangguan cemas, dan banyak laporan anekdot menunjukkan bahwa serotonergik halusinogen serta stimulan, sebagaicontoh: asam lysergic diethylamide (LSD) dan 3,
4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA)
dihubungkan dengan perkembangan gangguan cemas akut dan kronis pada orang yang menggunakan obat-obatan ini. Penelitian Klinis dari 5-HT berfungsi pada gangguan cemas yang mempunyai hasil campuran. Satu penelitian menemukan bahwa pasien dengan gangguan panik mempunyai tingkat yang lebih rendah dalam sirkulasi 5-HT dibandingkan dengan pengaturannya. Dengan begitu, tidak ada pola jelas dari kelainan dalam fungsi 5-HT pada gangguan panik yang muncul dari analisa dari unsur-unsur darah perifer. 2.3.1.4. GABA Sebuah peran dari GABA pada gangguan cemas adalah sebagian besar didukung oleh keefektifan dari benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas dari GABA pada reseptor GABA tipe A (GABA-A), dalam penanganan dari beberapa bentuk
gangguan cemas.Walaupun
benzodiazepine potensi-rendah adalah paling efektif untuk gejala gangguan cemaspada umumnya, potensi-tinggi benzodiazepine, seperti alprazolam (Xanax), dan clonazepam adalah efektif dalam penanganan dari gangguan panik. Penelitian pada primata telah ditemukan bahwa susunan saraf otonom memperlihatkan gejala gangguan cemas yang diinduksi ketika satu benzodiazepine invers agonist, asam β-carboline-3-carboxylic (BCCE dikelola. BCCE juga dapat menyebabkan kecemasan. Antagonis benzodiazepin, flumazenil (Romazicon), menyebabkan serangan panik yang sering pada pasien dengan gangguan panik.Data ini telah memimpin peneliti untuk memberikan hipotesa bahwa beberapa pasien dengangangguan cemas mempunyai fungsi abnormal dari reseptor GABA-A mereka, walaupun hubungan ini sudah tidak diperlihatkan secara langsung. 2.3.1.5. APLYSIA Sebuah tipe neurotransmitter untuk gangguan cemas menjadi dasar penelitian dari Aplysia California, oleh Eric Kandel, M.D, pemenang Penghargaan Nobel. Aplysia adalah suatu keong laut yang bereaksi pada bahaya dengan cara berpindah,penarikan ke dalam kulit/kerangnya, dan penurunan perilaku makanannya. Perilaku ini mungkin menjadi secara sederhana dikondisikan, sedemikian rupa sehingga keongmemberikan reaksi terhadap satu stimulus netral seolah-olah adalah satu stimulus berbahaya.Keong dapat juga dibuat peka oleh shock random, sedemikian rupa sehingga hal itumemperlihatkan suatu reaksi dan tidak adanya bahaya nyata. Secara paralel
sebelumnya telahdigambarkan pengaruh antara keadaan klasik dan manusia dengan kecemasan dan fobia.Yang secara sederhana Aplysia dikondisikan sebagai adanya perubahan yang terukur pada presinaptik, menghasilkan pelepasan dan peningkatan sejumlah neurotransmitter. Walaupun keong laut adalah satu binatang sederhana, pekerjaan ini memperlihatkan satu pendekatan eksperimental kepada neurokimiawi kompleks memproses potensi yang terlibat dalam gangguan cemas pada manusia. 2.4. DIAGNOSIS Kriteria diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh menurut DSM-IV : 1. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari, sepanjang hari, terjadi sekurang-kurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau kejadian ( seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah ). 2. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya. 3. Kecemasan dan kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut ini ( dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan terakhir ). Catatan: hanya satu nomor yang diperlukan pada anak. 1. Kegelisahan 2. Merasa mudah lelah 3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong 4. Iritabilitas 5. Ketegangan otot 6. Gangguan tidur 4. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I, misalnya, kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita suatu serangan panik ( seperti pada gangguan panik ), merasa malu pada situasi umum ( seperi pada fobia sosial ), terkontaminasi ( seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara ( seperti gangguan cemas perpisahan ), penambahan berat badan ( seperti pada anoreksia nervosa ), menderita keluhan fisik berganda ( seperti pada gangguan somatisasi ), atau menderita penyakit serius ( seperti pada hipokondriasis ) serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama gangguan stress pasca trauma. 5. Kecemasan, kekhawatiran atau gejala fisik menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
6. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat ( misalnya penyalahgunaan zat, medikasi ) atau kondisi medis umum( misalnya hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama gangguan mood, gangguan psikotik atau gangguan perkembangan pervasif. 2.5. GAMBARAN KLINIS Gejala utama GAD adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas autonom, dan kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan bersifat berlebihan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan, dan sakit kepala. Hiperaktivitas autonom timbul dalam bentuk pernafasan yang pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran pencernaan. Terdapat juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk irritabilitas. Pasien GAD biasanya datang ke dokter umum karena keluhan somatis, atau datang ke dokter spesialis karena gejala spesifik seperti diare kronik. Pasien biasanya memperlihatkan perilaku mencari perhatian. Beberapa pasien menerima diagnosis GAD dan terapi adekuat, dan beberapa lainnya meminta konsultasi medik tambahan untuk masalah-masalah mereka.
2.6. DIAGNOSIS BANDING Gangguan Cemas Menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan akibat kondisi medis umum maupun gangguan yang berhubungan dengan penggunaan zat. Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes kimia darah, EKG, dan tes fungsi tiroid. Klinisi harus menyingkirkan adanya intoksifikasi kafein, penyalahgunaan stimulansia, kondisi putus zat atau obat seperti alkohol, hipnotik-sedatif, dan anxioltik. Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD adalah gangguan panik, fobia, gangguan obsesif kompulsif, hipokondriasis, gangguan somatisasi, gangguan penyesuaian dengan kecemasan, gangguan kepribadian. Membedakan GAD dengan gangguan depresi dan distimik tidak mudah, dan gangguan-gangguan ini sering kali terdapat bersama-sama GAD. 2.7 TERAPI 2.7.1 FARMAKOTERAPI 2.7.1.1.BENZODIAZEPIN Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepin dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai respons terapi. Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama
pengobatan rata-rata adalah 2-6 minggu dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1 – 2 minggu. 2.7.1.2.BUSPIRON Buspiron efektif pada 60 – 80 % penderita GAD. Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding gejala somatik pada GAD. Tidak menyebabkan withdrawal. Kekurangannya adalah efek klinisnya baru terasa 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan memberikan respon baik terhadap buspiron. Dapat dilakukan pemberian bersamaan dengan benzodiazepin kemudain dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terpai buspiron sudah mencapai maksimal. 2.7.1.3. SSRI Sertraline dan Paroxetine merupakan pilihan yang lebih baik daripada Fluoxetine. Pemberian Fluoxetine dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI selektif terutama pada pasien GAD dengan depresi. 2.7.2.PSIKOTERAPI 2.7.2.1. TERAPI KOGNITIF PERILAKU Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung megenali distorsi kognitif dan pendekatan perilaku, megenali gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback. 2.7.2.2. TERAPI SUPORTIF Psien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan belum tampak, didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan kerjanya. 2.7.2.3. PSIKOTERAPI BERORIENTASI TILIKAN Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta kebutuhan pasien sendiri. Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah menjadi lebih matur, bila tidak tercapai minimal pasien terfasilitasi untuk beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya. 2.7.3 MANAJEMEN KRISIS Manajemen krisis adalah proses pendek yang di disain untuk menolong seseorang menyembuhkan problem akut kepada tingkat fungsional normal mereka melalui cara personal,sosial dan lingkungan. Langkah - langkah dalam manajemen krisis :
Pengukuran psikososial dari individu, bahwa keluarga ikut didalam krisis. Pengembanganrencana dengan individu atau keluarga dalam krisis. Penerapan rencana dan penggambaran secara personal, kelanjutan dari rencana (follow up) Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah : 1. Peredaaan gejala 2. Pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek 3. Suportif (dukungan) 2.8.PROGNOSIS Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin berlangsung seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami depresi mayor.
BAB 3 KESIMPULAN
Gangguan cemas menyeluruh merupakan penyakit kejiwaan yang tergolong dalam gangguan anxietas serta dapat dikontrol dengan baik oleh pasien apabila klinisi tepat diagnosis dan penatalaksanaan, dengan trend globalisasi dengan perkembangan iptek maka kejadian gangguan cemas menyeluruh akan naik dan selalu terjadi di masyarakat, maka disinilah peran dokter umum dan dokter spesialis sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia ( SKDI ) untuk memerankan peran terapis baik secara farmakoterapi, psikoterapi dan manajemen krisis disertai edukasi ke masyarakat agar penderita dapat mengkontrol keadaannya dan melakukan diagnosis dini agar penderita dapat adaptif di lingkungan sosial. Penanganan pasien melalui penanganan multiple melalui metode sediaan farmakologi, disertai psikoterapi dan manajemen krisis dapat memperbaiki kualitas hidup pasien agar dapat mengkontrol apabila situasi cemas menyeluruh timbul pada penderita oleh karena itu penting seorang kilinisi memahami betul dari sediaan obat, dosis obat, efek samping obat disertai dengan penanganan psikoterapi baik secara kognitif, supportif dan tilikan yang disesuaikan dengan kepribadian penderita secara individual agar kualitas hidup penderita dapat membaik ataupun terkontrol dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Redayani, Petrin: Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. 2013., Jakarta: Badan Penerbit FKUI; hlmn 253 – 257. 2. Howard E., et.al : Anxiety Disorders, Synopsis of Psychiatry, 10th Ed., 2007 ; 594 – 602, 623 – 628. 3. Kaplan HI, Sadock BJ. Anxiety Disorders, Synopsis of Psychiatry, 7th Ed.,William and Wilkins, Baltimore, USA. 1994; 673 – 616.