Penatalaksanaan Penatalaksanaan Bronkiolitis
Bronkiolitis umunya disebabkan oleh virus RSV dan bersifat sembuh sendiri sehingga pengobatan bronkiolitis sebahagian besar bersifat terapi suportif, yaitu pemberian oksigen, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti s eperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline ( immunoglobuline ( polyclnal polyclnal ) atau humanized RSV monoclonal antibody (palvizumad). antibody (palvizumad). (Edi Hartoyo dan Roni Naning, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/ Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Mengi Berulang Setelah Bronkhiolitis Akut Akibat Infeksi Virus) dan (Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Bronkiolitis Akut dalam Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan FKUI, 1985, hal : 1233-1235) Terapi supportif, supportif, pemberian Oksigen dan cairan merupakan merupakan dasar penatalaksanaan saat ini . Jenis terapi lainnya dari hasil kajian sistemik menunjukkan sedikit bukti tentang efektivitas penggunaannya penggunaannya seperti obat bronkodilator, bronkodilator, ribavirin begitu juga juga kortikosteroid baik oral maupun intravena. Penggunaan kortikosteroid bersamaan d engan beta 2 agonis juga masih menjadi kontroversi. Antibiotik dapat diberikan jika dicurigai adanya infeksi lain. Fisioterapi dada pun belum dianjurkan dalam penatalaksanaan bronkiolitis. (Herry Garna, Prof, dr. Sp.A(K), Ph.D, Heda Melinda D. Nataprawira, dr. Sp.A(K), Bronkhiolitis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi Ke -3, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rs. Dr. Hasan Sadikin Bandung, 2005. Hal : 400-402) Pasien bronkiolitis dengan klinis yang ringan dapat rawat jalan dengan tetap memperhatikan makanan dan pernafasan pasien . Jika klinisnya berat harus di lakukan rawat inap. Secara umum keputusan untuk melakukan rawat inap didasarkan pada usia pasien, faktor resiko tinggi, drajat gangguan pernafasan dan toleransi menerima cairan oral. Faktor resiko meliputi, usia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres nafas. Tujuan dari perawatan di rumah sakit adalah untuk terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila perlu diberikan tindakan antivirus. antivirus. (Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Klinis. Edisi 1, Badan Penerbit IDAI, 2008. 2008. Hal. 31-32.) 31-32.)
Bayi dengan bronkiolitis dapat juga di rawat di ruang perawatan intensif jika :Gagal mempertahankan saturasi O2 > 92 % dengan terapi oksigen, Perburukan status pernafasan yang ditandai dengan peningkatan distres nafas atau kelelahan, dan Apneu berulang. (Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Klinis. Edisi 1, Badan Penerbit IDAI, 2008. Hal. 31-32.) 1. Pengobatan Suportif a.
Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat perlu pengawasan sistem jantung paru dan jika ada indikasi dilakukan pemasangan pukseOxymetri.
b.
Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen bertujuan untuk memepertahnakan saturasi heamoglobin >92 %. Oksigenasi ini penting untuk mencegah hipoksia sehingga nantinya akan memperberat penyakit. Hipoksia ini bisa terjadi karena gangguan perfusi ventilasi paru. Walaupun efek pemberian oksigen terhadap pemulihan bronkiolitis belum diketahui tetapi hal ini sangat menjadi pertimbangan dalam lama perawaatan bayi yang menderita bronkiolitis. Pemberian oksigen dapat dihentikan jika saturasi heamoglobin terus menerus di atas 90%, bayi sudah mau untuk menyusui dengan baik dan
gangguan
pernafasan
minimal.(Eber
Ernst.
Treatment
of
Acute
Viral
Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164) Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distres berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan permintaan untuk penanganan di
ICU untuk penggunaan ventilator.
( NSW
HEALTH, Acut
Management of Infant and Children with Acute Bronchiolitis. Revision December 2006 www.health.nsw.gov.au) dan (Mary Ellen B, Wohl, MD. Bronchiolitis in Kendig’s Disorder of The Respiratory Tract in Children. Seventh Edition, Elsevier Inc, 2006 page : 423 – 431.)
c.
Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akiba keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu >
38,5 0C). Cara pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan. Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit. (NSW HEALTH, Acut Management of Infant
and
Children
with
Acute
Bronchiolitis.
Revision
December
2006 www.health.nsw.gov.au) dan (Edi Hartoyo dan Roni Naning, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/ Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Mengi Berulang Setelah Bronkhiolitis Akut Akibat Infeksi Virus.)
2. Pengobatan Medikamentosa a. Bronkodilator (Beta 2 Agonis, Efinefrin)
Penyempitan saluran pernafasan sampai terjadinya obstruksi dari jalan nafas pada banyak kasus disebabkan oleh penumpukkan lendir, debris, dan edema mukosa. Berdasarkan hal inilah disimpulkan pengobatan dengan menngunakan beta 2 agonis memberikan hasil yang tidak terlalu berarti. Sampai saat ini penggunaan bronkodilator masih
kontroversial.
(Eber
Ernst.
Treatment
of
Acute
Viral
Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164) Penggunaan
epinefrin
didsarkan
pada
kerjanya
yang
merangsang
adrenoreseptor alfa yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dari mukosa saluran pernafasan sehingga bisa mengurangi edema mukosa. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan
pemberian
bronkodilator
(selain
epinefrin)
dengan
plasebo
didapatkan kesimpulan bahwa pemberian bronkodilator memberikan perbaikan jangka pendek dalam gejala klinis tetapi tidak memberikan hasil yang signifikan dalam oksigenasi secara keseluruhan dan angka rawatan di rumah sakit. Disamping itu salah satu alsan dari penggunaan beta 2 agonis adalah karena 15-25% pasien bronkiolitis bisa menjadi asma. Inhalasi beta 2 agonis diberikan satu kali sebagai trial dosis. Karena effek akan terlihat dalam satu jam, maka dosis ulangan akan diberikan pada pasien yang menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap. (Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159164) dan Magdalena Sidharta Zain, Bronkhiolitis dalam Buku Ajar Respirology Anak, Edisi Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit IDAI, 2008)
b. Kortikosteroid
Dari hasil penelitian yang dilakukan tidak ditemukan pengaruh berarti dari penggunaan kortikosteroid inhalasi bayi yang memnderita infeksi saluran nafas bawah karena RSV. Jadi penggunaan kortikosteroid inhalasi tidak dianjurkan. Penelitian lain tentang pemberian suntikan intra muskular tunggal dexametason menjukkan mamfaat sederhana dan juga berkaitan dengan lamanya rawatan di rumah sakit. Dalam penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian dexametason oral dosis tunggal tidak memberikan efek pada bayi yang menderita bronkiolitis. Begitu juga pemberian prednison oral selama fase akut bronkiolitis tidak efektis mencegah mengi pasca bronkiolitis. Rekomendasi saat ini adalah penggunaan kortikosteroid sistemik tidak boleh digunakan secara rutin dalam pengobatan bronkiolitis virus akut. Penelitian lain yang memberian kombinasi epinefrin dan dexametason inhalasi cukup bermamfaat tapi hal inipun belum menjadi rekomendasi dalam pengobatan. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat dipertimbangkan pemberiaanya pada penanganan pasien di ICU dengan bronkiolitis berat. (Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164)
c. Antagonis reseptor leukotrien
Leukotrien cystenil secara signifikan meningkatkan sekresi dari saluran pernafasan. Penelitian yang dilakukan dengan
pemberian montelukast (antagonis
reseptor leukotrien) untuk bronkiolitis tidak menurunkan gejala saluran pernafasan selama
masa
rekomendasikan
pengobatan. pada
Dari
hal
ini
bronkiolitis. (Eber
pemberian Ernst.
montelukast
Treatment
of
belum
Acute
di
Viral
Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164)
d. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder dan
diberikan
antibiotik
spektrum
luas.
Pemberian
antibiotik
justru
akan
meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis. (Herry
Garna, Prof, dr. Sp.A(K), Ph.D, Heda Melinda D. Nataprawira, dr. Sp.A(K), Bronkhiolitis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi Ke 3, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rs. Dr. Hasan Sadikin Bandung, 2005. Hal : 400-402) dan (Edi Hartoyo dan Roni Naning, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/ Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Mengi Berulang Setelah Bronkhiolitis Akut Akibat Infeksi Virus.)
e. Antibody Immunoglobulin dan Monoklonal
suatu antibody monoclonal IgG1 humanis spesifik terhadap penyatuan protein RSV menunjukkan efikasi dalam mencegah penyakit RSV serius pada pasien dengan resiko tinggi. Dari hasil penelitian terakhir penggunaan immunoglobulin ataupun antibody monoclonal RSV bisa digunakan untuk bronkiolitis viral akut. (Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164)
f.
Antivirus
Ribavirin adalah agen antiviral spectrum luas yang disetujui untuk pengobatan infeksi RSV dan satu-satunya obat anti viral yang telah diteliti pada anak-anak dengan bronkiolitis viral akut. Tetapi penggunaannya masih menjadi kontroversi karena keamanan dan juga harganya yang mahal. Ribavirin
dapat mengurangi durasi
ventilasi mekanik dan lama perawatan serta dapat menurunkan insidens wheezing berulang saat bronkiolitis. Sampai saat ini penggunaan Ribavirin secara rutin pada bronkiolitis belum direkomendasikan. (Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164)
The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan penyakitnya menjadi tambah lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik, immunodefisiensi dan pada bayi prematur. Penggunaan ribavirin biasanya dengan menggunakan nebulizer aerosol 12-18 jam perhari atau dosis kecil dengan 2 jam 3x/hari. (Magdalena Sidharta Zain, Bronkhiolitis dalam Buku Ajar Respirology Anak, Edisi Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit IDAI, 2008)
g. Hipertonik Saline
Dalam sebuah studi menunjukkan bahwa inhalasi 3 % HS adalah pengobatan yang efektif untuk bayi hingga usia 18 bulan dirawat di rumah sakit dengan bronchiolitis virus. Penggunaan rutin dari 3 % HS dalam pengobatan bayi dirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis memiliki potensi besar karena sangant mengurangi lama rawatan di rumah sakit dan juga mengurangi tingakt keparahan. Edema saluran nafas dan sumbatan mukus adalah karakteristik patologis pada bronkiolitis virus akut. Hipertonik saline menurunkan edema saluran nafas, meningkatkan banyaknya rheologic mucus dan bersihan mukosiliar, dan akhirnya, penurunan obstruksi saluran nafas. (Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164)
h. Sufaktan
Bukti klinis dan laboratorium menunjukkan bahwa bronkitis virus berat dapat menyebabkan insufisiensi surfaktan sekunder. Dengan demikian pemberian surfaktan eksogen merupakan potensi terapi yang menjanjikan.penggunaan surfaktan ini dikaitkan dengan penurunan penggunaan ventilasi mekanik dan penurunan lama perawatan di ICU. (Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164)
i.
Fisioterapi dada
Tujuan dari fisoterapi dada adalah untuk mengurangi resistensi jalan nafas dan kerja pernafasan serta untuk membantu meningkatkan pertukaran gas dengan pembersihan sekresi
jalan pernafasan. Dari penelitian terakhir fisioterapi tidak
mengurangi kebutuhan oksigen, lama rawatan dan penurunan gejala klinis sehingga saat ini juga belum di rekomendasikan. (Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;5:159-164)
3. Pemulangan Pasien
Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria : a.
Status pernafasan
o Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda klinis usaha pernafasan lebih.
o Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan alat sedot gelembung. o Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi yang stabil. o Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan. NSW HEALTH, Acut Management of Infant and Children with Acute Bronchiolitis. Revision December 2006 www.health.nsw.gov.au
b.
Status nutrisi
Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi
c. Sosial
o Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah o Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah o Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap