TINJAUAN PUSTAKA BRONKIOLITIS
Dokter Pembimbing : dr. I Wayan Gde Sugiharta, Sp.A
Disusun oleh : Anggun Safariantiningrum (H1A006003) Arief Heri Kurniawan (H1A006004) L. Zulhirsan (H1A006024) Laili Khairani (H1A007033)
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUD PRAYA MATARAM 2013 1
BAB I PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ialah infeksi akut yang dapat terjadi di setiap tempat di sepanjang saluran pernapasan dan adneksanya (telinga tengah, kavum pleura dan sinus paranasalis). Secara anatomic ISPA dikelompokkan menjadi ISPA-atas misalnya batuk-pilek, faringitis, tonsillitis, dan ISPA-bawah seperti bronchitis, bronkiolitis dan pneumonia. ISPA-atas jarang menimbulkan kematian walaupun insidennnya jauh lebih tinggi dibandingkan ISPAbawah. Pneumonia dan bronkiolitis yang merupakan bagian dari ISPA-bawah yang banyak menimbulkan kematian, sehingga berperan besar dalam tingginya angka kematian bayi. Setiap tahun diperkirakan 4 juta anak balita meninggal akibat ISPA (terutama akibat pneumonia dan bronkiolitis) di negara berkembang. Bronkiolitis sendiri merupakan suatu penyakit infeksi akut tersering pada usia kurang dari 2 tahun yang menimbulkan obstruksi inflamasi pada saluran napas kecil (bronkiolus). Penyebab tersering dari bronkiolitis adalah virus Respiratory Syncytical (RSV). Secara klinis bronkiolitis akut sukar dibedakan dengan pneumonia bakteri. Dan karena mempunyai gejala obstruksi saluran napas, secara klinis sukar dibedakan dengan serangan asma. Bronkiolitis pada masa bayi dapat menimbulkan dampak pada saluran napas berupa batuk, wheezing dan hiperreaktivitas sampai beberapa tahun kemudian.
BAB II 2
BRONKIOLITIS
A. DEFINISI1,4 Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi disebabkan oleh virus. Penyakit ini terjadi selama usia 2 tahun pertama dengan insidensi puncaknya pada sekitar usia 6 bulan. Secara klinis ditandai dengan episode wheezing, nafas cepat dan retraksi dada. B. EPIDEMIOLOGI1,4,6 Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya terjadi pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75 % diantaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapat ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan, sedangkan Fjaerli menyebutkan 63 % kasus bronkiolitis adalah laki-laki. Sebanyak 11,4% anak berusia di bawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di Negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS. Insidensi terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di Negara-negara tropis. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei . Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara berkembang daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi,
3
kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di Negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3 %. C. ETIOLOGI2,4 Penyebab utama dari bronkiolitis adalah infeksi repiratory syncytical virus (RSV) yang memilki morbiditas dan mortalitas tinggi, terutama pada anak dengan risiko tinggi dan imnunokompromise. Sekitar 95 % dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza, Rhinovirus dan mikoplasma. Tidak ada bukti yang kuat bahwa bakteri menyebabkan bronkiolitis. Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas yang tidak bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis. RSV adalah golongan paramiksovirus dengan bungkus lipid serupa dengan virus parainfluenza, tetapi hanya mempunyai satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan nukleokapsid RNA helik linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya mempunyai satu antigen bungkus berarti bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil dari tahun ke tahun. D. FAKTOR RISIKO1,4 Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Selain itu, faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah status sosial ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, dan berada pada tempat penitipan anak atau tempat dengan lingkungan yang padat penduduk. E. PATOFISIOLOGI1,4,5 Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris selular/ sel4
sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memilki penampang saluran respiratori yang kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, akan tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air tapping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.
Gambar 1. Pembengkakan Bronkioli pada Baronkiolitis Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama end expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi 60x/menit. Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.
5
Berbeda dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentolerir edema saluran napas lebih baik, oleh karena itu pada anak besar dan dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terserang infeksi virus saluran napas.
F. MANIFESTASI KLINIS3,4,6 Mula-mula menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian satu atau dua hari kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing dan sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Pada pemeriksaan fisik ditemukan distres nafas dengan frekuensi nafas diatas 50- 60 kali per menit (takipnea), kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat (takikardi). Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi sampai 41 ºC. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi interkostal, subkostal dan suprasternal. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa 6
stetoskop, serta terdapat crackles. Pada auskultasi dapat didapatkan rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Hepar dan lien dapat teraba dibawah tepi kosta akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis. G. KLASIFIKASI7,13
Tabel 1. Klasifikasi bronkiolitis berdasarkan gejala klinis Keparahan Ringan
Sedang
•
Tanda Anak sadar, warna kulit merah muda
•
Dapat makan dengan baik
•
Saturasi oksigen > 90%. Saturasi oksigen diketahui dengan alat
sederhana di kantor dokter atau RS Salah satu di antara: •
Kesulitan makan
•
Lemah
•
Kesulitan bernapas, digunakannya otot-otot bantu pernapasan
•
Adanya kelainan jantung atau saluran napas
•
Saturasi oksigen < 90%
Usia kurang dari enam bulan Seperti kriteria untuk kategori sedang, namun: •
Berat
•
mungkin tidak membaik dengan pemberian oksigen
•
menunjukkan episode terhentinya napas
•
menunjukkan tanda kelelahan otot pernapasan atau terkumpulnya terlalu banyak karbon dioksida dalam tubuh.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG1,2,,4,5 -
Pemeriksaan darah tepi tidak khas, jumlah leukosit berkisar antara 5000-24000 sel/μl. Pada keadaan leukositosis, batand dan PMN banyak ditemukan.
7
-
Analisis Gas Darah : hiperkapnia sebagai tanda dari air tapping, asidosis metabolik atau respiratorik. Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan pernafasan berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala kelelahan dan hipoksia.
-
Foto Thorak diindikasikan pada : o
Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih
o
Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga
o
Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.
Rontgen thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral disertai dengan diafragma datar, penonjolan ruang retrosternal dan penonjolan ruang interkostal. Dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar pada sekitar 30 % penderita dan disebabkan oleh ateletaksis akibat obstruksi atau karena radang alveolus.
Gambar 2. Tampak gambaran hyperaerated, patchy infiltrates, diafragma mendatar.
8
Gambar 3. Hyperexpanded lung fields, bilateral interstitial densities, and atelectasis of the right upper lobe.
Gambar 4. Hyperaerated Lung, Infiltrate at the upper part of right hemithorax -
Identifikasi virus dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan tekhnik imunofluoresens atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
-
Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Sensifitas pemeriksaan ini adalah 8090%.
9
I. DIAGNOSIS1,2,4,9 Dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. 1. Anamnesis Gejala awal berupa gejala respiatori atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang mengarah ke diagnosis bronkhiolitis adalah adanya takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5 °C. selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 bulan. 3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi. Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan xfoto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. 10
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%. Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas, beratnya wheezing dan oksigenasi. Skala klinis yang digunakan Abul-Ainie dan Luyt, adalah: a. Respiratory rate (RR): dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali penghitungan dan diambil rata-ratanya. b. Heart rate (HR): diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama 1 menit, diambil rata-ratanya. c. Saturari O2: diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit dan diambil rata-ratanya. d. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell dkk. e. Status aktivitas bayi (empat tingkat: tidur, tenang, rewel, dan menangis) Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut: 1. Keadaan umum: diberik skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel). 2. Penggunaan otot bantu napas: skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat). 3. Wheezing: skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik).
11
Tabel 2. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)
J. DIAGNOSIS BANDING1,4,5 ♦ Asma bronchial Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia dan respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol. ♦ Pneumonia Terdapat gejala batuk dengan napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, adanya demam, crackels/ronkhi, pernapasan cuping hidung dan grunting/merintih. ♦ Aspirasi benda asing Adanya gejala dengan riwayat tersedak atau wheezing tiba-tiba, wheezing umumnya umumnya unilateral, adanya Air trapping dengan hipersonor dan pergeseran mediastinum, dan tanda kolaps paru. ♦ Miokarditis K. KOMPLIKASI11 Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyakit sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap, dimana
timbulnya
whezing
berulang
dan
hiperaktifitas
bronkial.
Beberapa
studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang 12
menjadi asma. Suau studi kohort prospektif menemukan bahwa 23 % bayi dengan riwayat bronkhiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1 % pada kelompok kontrol.(4) L. PENATALAKSANAAN1,16,17 Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar
tatalaksana
oksigen,
minimal
bronkiolitis handling
pada
pada
bayi
bayi,
bersifat
cairan
suportif,
intravena
dan
yaitu
pemberian
kecukupan
cairan,
penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline(polyclnal) atau humanized RSV monoclonal antibody (palvizumad). Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat.
Bayi
Penderita
resiko
bulan,
prematur,
dengan tinggi
bronkiolitis harus
kelainan
sedang
dirawat
jantung,
inap, kelainan
sampai
berat
diantaranya: neurologi,
harus berusia penyakit
dirawat kurang paru
inap. dari
3
kronis,
defisiensi imun dan distres napas. Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara klinis stabil, oksigenasi baik dan hidrasi baik. Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan akut bronkiolitis adalah : -
Dapat melakukan pengawasan terhadap status klinis
-
Dapat melakukan pemantauan saluran nafas (melalui penempatan posisi, pengisapan dan pembersihan cairan).
-
Dapat melakukan pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat
-
Dapat memberikan edukasi kepada orang tua.
-
Mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul
-
Mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai
-
Melakukan pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat indikasi.
Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit : -
Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan
-
Apnoe 13
-
Ketidakmampuan untuk makan
-
Hypoksemia
-
Pasien dengan kondisi dasar medis.
Pengobatan Suportif A. Pengawasan Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung paru dan jika ada indikasi dilakukan pemasanag pulse oxymetri. B.
Oksigenasi Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paruparu. Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika saturasi oksigen menetap dibawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas 94%. Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia,
gunakan
nasal
kanul
(dengan
kecepatan
maksimun
2L/m);
masker muka atau kotak kepala. Jika mungkin gunakan oksigen yang dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distress berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan permintaan untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator. C.
Pengaturan Cairan Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu > 38,5 0C). Cara pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan. Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit. 14
•
Bayi > 1 bulan : infus dekstrose 10% : NaCL 0,9% = 3:1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan
•
Neonatus : infus dekstrose 10 % : NaCl 0,9 % = 4:1 + KCl 10 mEq/500 ml
Pengobatan Medikamentosa A. Antivirus (Ribavirin) Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah obat antivirusyang bersifat virus statik. The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan penyakitnya menjadi
lebih
berat
seperti
pada
penderita
bronkiolitis
dengan
kelainan
jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi premature. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau dosis kecil dengan 2 jam 3 x/hari. B. Bronkodilator Secara umum jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6 bulan. Bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat. Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-adrenergik. Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik selektif adalah : -
Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation perfusing matching. 15
-
Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik
-
Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
-
Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema
-
Mengurangi sekresi kataral.
Beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap. C. Kortikosteroid Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5 hari. Dapat diberikan deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan. Sedangkan untuk penanganan pasien pada intensive care unit dengan bronkiolitis berat pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid inhalasi (budesonide & Fluticasone) sangat sedikit evidence based yang merekomendasikan. D. Antibiotik Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis. Pengobatan Intensive Care Unit Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika : -
Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada kelompok yang beresiko.
16
-
Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau adanya frekuensi pernafasan pendek lebih dari 15 detik.
-
Saturasi oksigen rendah yang menetap
-
Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan gangguan pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO2 > 50 mmHg; pH 5,12 Tabel 3. Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala
-
Ringan Tidak memerlukan
-
Bronkiolitis Sedang Perawatan di rumah sakit
penilaian lebih lanjut
-
Berikan oksigen sehingga -
Perawatan dirumah, jika orang tua pasien
-
mampu dan sudah dijelaskan keadaannya -
-
Berobat ulang ke dokter setelah 2 – 3 hari kemudian
-
Berat Perawatan di rumah sakit Pemberian oksigen sampai
saturasi oksigen > 93 %
saturasi oksigen > 95 %
Pertimbangkan pemberian -
Pengamatan seksama untuk
cairan intravena
antisipasi kemungkinan
Pengamatan seksama
memerlukan intubasi dan
terhadap perburukan
pemakaian ventilator
kondisi
-
Berikan cairan intravena
-
Foto thorak
-
Monitor system
-
Aspirasi nasopharyngeal
cardiorespiratori
untuk virus
-
Foto thorak
imunoflurorecency
-
Aspirasi nasopharyngeal untuk
dan kultur
virus imunoflurorecency dan kultur - Pertimbangkan pengawasan gas pembuluh darah arteri -
Pertimbangkan untuk konsultasi perawatan ICU anak.
Kriteria Pulang Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria : -
Status pernafasan 17
o Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda klinis usaha pernafasan lebih o Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan alat sedot gelembung. o Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi yang stabil. o Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan. - Status nutrisi o Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi -
Sosial o Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah o Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah o Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap
-
Peninjauan lebih lanjut o Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus melakukan visit terakhir. o
Pemberi pertolongan utama harus memberikan persetujuan untuk pemulangan
o
Kontrol untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.
Edukasi Keluarga Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan memberitahukan : -
Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
-
Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap gelembung.
-
Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika didapatkan gangguan pernafasan
-
Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan, dll.
18
Gambar 5. Algoritma tatalaksana Bronkiolitis Berdasarkan scoring RDAI M. PENCEGAHAN1,4 Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan 19
dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA. Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif (Vaksinasi) dan pasif (Immunoglobulin). Immunoglobulin Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang mengandung titer antibodi protektif tinggi (respigram). Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globilin. Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan, diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan kurang dari 35 minggu. Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan (augmentation) antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara pemberian dari luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung neutralizing antibody titer tinggi atau monoklonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap protein F yang disebut dengan Palivizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskular setiap hari, lama perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycuprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Akan tetapi resiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan penyakit jantung sianotik. AAP merekomendasikan profilaksis boleh diberikan hanya pada bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung sianotik. Vaksinasi Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live attenuated. Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged mutan, efektif untuk orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari permukaan glikoprotein murni, dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live – attenuated mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan sistemik. 20
Dianjurkan pemberian live attentuated RSV dan PIV3 (Parainfluenza virus serotipe 3) sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali dengan dosis pertama sebelum atau pada usia 1 bulan diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2 pada usia 4-6 bulan. H. PROGNOSIS Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas). Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48 – 72 jam. Mortalitas kurang dari 1 %. Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang makan-minum. Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkhiolitis mempunyai kecendrungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hipereaktifitas bronkhial yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik para RSV positif,
maupun
bronkiolitis
RSV
terjadi
negatif. pada
Tidak
anak
dapat
dengan
dibuktikan
secara
kecendrungan
asma,
jelas
bahwa
keberhasilan
pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma pada anak dari kelompok pengobatan.
BAB III LAPORAN KASUS
21
Identitas Pasien: Nama lengkap
: By. Martina
Tempat dan tanggal lahir
: Praya, 3 Agustus 2011
Umur
: 1 tahun 6 bulan
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Praya, Lombok Tengah
Identitas keluarga
: Anak kandung
Ibu
Ayah
Nama
Ny. N
Tn. R
Umur
25 tahun
34 tahun
Pendidikan/Berapa tahun
SMP
SMP
Pekerjaan
IRT
Tani
Masuk RS tanggal
: 29-01-2013
Diagnosis Masuk
: bronkhiolitis
I. ANAMNESIS (tanggal 28-01-2013, diberi tahu oleh pasien dan orangtua pasien) Keluhan Utama : sesak 1. Riwayat Penyakit Sekarang : 22
Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Praya dengan dikeluhkan mengalami sesak nafas sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dikeluhkan semakin hari semakin memberat. Sebelum timbulnya sesak pasien juga dikeluhkan mengalami batuk-batuk sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk dikeluhkan disertai dengan dahak namun sulit keluar. Pasien juga dikeluhkan mengalami pilek yang timbulnya bersamaan dengan keluhan batuk. Selain itu pasien juga dikeluhkan mengalami demam sejak ± 4 hari yang lalu (timbulnya bersamaan dengan timbulnya batuk), demam dikeluhkan naik turun. Apabila pasien diberikan minum obat, demam turun dan beberapa jam setelahnya demam naik kembali. Makan dan minum masih kuat, namun saat timbul sesak makan minum mulai berkurang dan nafsu makan mulai menurun. Riwayat BAB (+), namun dikeluhkan BAB keras dikarenakan sejak timbulnya sesak napas pasien hanya BAB 1 kali saat di Rumah Sakit. BAK (+) normal dengan frekuensi 4-5 kali per hari berwarna kuning jernih, darah (-).
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya : Riwayat sesak sebelumnya disangkal, jika mengalami batuk-pilek pasien hanya mengalami keluhan tersebut selama beberapa hari dan tanpa minum obat pasien dapat sembuh. Riwayat alergi makanan/obat disangkal 3. Riwayat penyakit keluarga dan sosial •
Riwayat sesak napas pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga lain, tetangga sekitar dan teman-teman pasien disangkal
•
Riwayat asma didalam keluarga pasien (-).
•
Riwayat sesak napas, sering bersin pagi hari pada keluarga disangkal
•
Riwayat alergi obat/makanan disangkal
4. Riwayat keluarga (ikhtisar) 23
Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara. 5. Riwayat Pengobatan •
Di rumah pasien diberikan obat penurun panas dan obat batuk yang dibelinya di apotik, namun keluhan pasien tidak membaik.
Riwayat Pribadi 1. Riwayat kehamilan dan persalinan - Ibu pasien rutin ANC di Puskesmas, frekuensi >4 x. - Riwayat sakit berat selama hamil (-). Riwayat minum obat-obatan selama hamil: ibu lupa - Riwayat konsumsi obat penambah darah dari Puskesmas (+) sejak bulan pertama kehamilan sampai menjelang persalinan - Selama ANC, tidak ditemukan kelainan pada janin atau ibu (riwayat perdarahan, muntah berlebihan, demam selama kehamilan disangkal; bidan juga mengatakan letak dan perkembangan janin normal) - Pasien lahir spontan di Puskesmas, ditolong Bidan, Lahir cukup bulan dengan berat lahir 2.800 gram. Lahir langsung menangis, riwayat biru setelah lahir (-), kuning setelah lahir (-). 2. Riwayat nutrisi •
ASI ekslusif (+) sampai usia 6 bulan dan > 6 bulan pasien sudah diberikan PASI.
•
Saat ini pasien sudah mulai berikan makan nasi biasa oleh orang tuanya.
•
Makan minum menurun sejak keluhan sesak datang. Makan yang biasanya 3 kali dalam sehari, saat ini menjadi hanya sampai 2 kali dalam sehari dengan jumlah yang sedikit.
3. Perkembangan dan kepandaian 24
Saat ini pasien sudah bias berjalan dan berlari, dan perkembangannya normal seperti teman-teman seusianya. 4. Vaksinasi : A. Dasar BCG : (+)
B. Ulangan pada umur: ibu lupa
Hepatitis : 2x pada umur: ibu lupa Polio : 3x, pada umur: lupa
Pada umur :
DPT : (+) pada umur: lupa
Pada umur :
Campak : 9 bulan
o Orangtua mengaku pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap o Riwayat imunisasi ulangan/lainnya disangkal
5. Sosial ekonomi dan lingkungan Keluarga pasien termasuk Sosial-ekonomi rendah, bapak pasien bekerja sebagai petani dengan penghasilan perbulan tidak tentu sekitar Rp. 500.000-800.000 perbulan. Pasien tinggal berempat bersama orang tuanya. Ayah pasien adalah perokok aktif (4-5 batang perhari) dan sering merokok di dekat pasien. Pasien tinggal di daerah perkampungan yang jarak antar rumah saling berdekatan (halaman sempit). Rumah pasien berdinding tembok, beratap genteng, lantai semen, jumlah kamar 3 dengan ukuran 3x3 m, ventilasi ruangan sedikit, sirkulasi udara kurang, pencahayaan kurang. Dapur dan kamar mandi terpisah dari rumah, memasak menggunakan kompor minyak, asap kompor sampai ke dalam rumah. Sumber air untuk MCK dari air sumur. Air minum dari air PAM, diakui dimasak dulu.
25
II. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 29-01-2013) •
•
Status Present KU
: Lemah
Kes
: Compos Mentis
RR
: 60 x/menit, tipe : torakoabdominal
Nadi
: 160 x/menit, isi dan tegangan cukup, teratur.
T ax
: 37,1 oC.
CRT
: <2 detik.
Status Gizi Berat badan : 10 kg,
Panjang badan : 76 cm
BB/TB : -2 SD s/d +2 SD Gizi baik BB/U : -2 SD s/d +2 SD BB Normal TB/U : -2 SD s/d +2 SD TB Normal Edema: (-) Kesimpulan status gizi : Gizi Baik
•
Status General : o
Kepala dan Leher : Kepala :
Bentuk
: normosefali
UUB
: datar, belum menutup
UUK
: datar, belum menutup 26
Rambut :
Warna
: hitam
Tebal/tipis
: tebal
Jarang/tidak (distribusi) : tidak jarang
Mata :
Alopesia
: tidak ada
Palpebra
: tidak edema
Alis & bulu mata
: tidak mudah dicabut
Konjungtiva : tidak anemis Sklera
: tidak ikterik
Produksi air mata
: cukup
Pupil : Diameter
: 3 mm/3 mm
Simetris
: isokor, normal
Reflek cahaya : +/+
Telinga :
Hidung :
Kornea
: jernih
Bentuk
: simetris
Sekret
: tidak ada
Serumen
: minimal
Nyeri
: tidak ada
Bentuk
: simetris
Pernafasan cuping hidung : Ada Epistaksis
: tidak ada
Sekret
: tidak ada 27
Mulut :
Bentuk
: normal
Bibir
: mukosa bibir kering, sianosis tidak ada
Gusi
: - tidak mudah berdarah - pembengkakan tidak ada
Lidah :
Bentuk: normal
Pucat/tidak : tidak pucat Tremor/tidak
: tidak tremor
Kotor/tidak
: tidak kotor
Warna
: kemerahan
Faring :
Hiperemi
: tidak Ada
Edema
: tidak ada
Membran/pseudomembran : (-) Tonsil :
Pembesaran
: tidak ada
Abses/tidak
: tidak ada
Membran/pseudomembran : (-) Leher : Vena Jugularis :
Pulsasi
: tidak terlihat
Tekanan
: tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher
: tidak Ada
Kaku kuduk
: tidak ada
Massa
: tidak ada 28
Tortikolis
: tidak ada
o Thorak : •
Dinding dada/paru : Inspeksi : Bentuk
Palpasi
: simetris
Retraksi
: Ada
Dispnea
: Ada
Pernafasan
: Abdomino-thorakal
: kesan simetris, massa (-)
Perkusi : sonor/sonor Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler Suara Napas Tambahan : Rhonki (±/±), Wheezing (+/+) hampir pada seluruh kedua lapang paru. •
Jantung : Inspeksi : Iktus
: tidak terlihat
Palpasi
: tidak teraba
: Apeks Thrill
: tidak ada
Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra Batas kiri
: ICS V LMK sinistra
Batas atas
: ICS II LPS dextra
Auskultasi : Frekuensi
: 110 x/menit 29
Suara dasar
: S1 dan S2 tunggal
Bising
: tidak ada
o Abdomen Inspeksi
: Bentuk
: datar,
tampak depan : proporsi perut lebih besar daripada pinggul dan paha tampak samping : bantalan bokong tebal tampak belakang : baggy pants (-) Palpasi
Perkusi
: Hati
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
Ginjal
: tidak teraba
Massa
: tidak ada
: Timpani/pekak : timpani Asites
: tidak ada
Auskultasi : bising usus (+) normal
o
Anggota Gerak: Tungkai Atas
Tungkai Bawah
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Akral hangat
+
+
+
+
Edema
-
-
-
-
Pucat
-
-
-
-
Kelainan bentuk
-
-
-
-
Pembengkakan
-
-
-
30
Sendi Pembesaran KGB Leher
-
-
-
-
Axilla
-
-
-
-
Inguinal
-
-
-
-
o
Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (-), sklofuloderma (-)
o
Urogenital : Laki-laki dan tidak tampak kelainan
o
Vertebrae : tidak tampak kelainan
III. RESUME Pasien anak perempuan usia 1 tahun 6 bulan datang ke Rumah Sakit Umum Praya dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dikeluhkan semakin hari semakin memberat. Sebelum timbulnya sesak pasien juga dikeluhkan mengalami batukbatuk sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk dikeluhkan disertai dengan dahak namun sulit keluar. Pasien juga dikeluhkan mengalami pilek yang timbulnya bersamaan dengan keluhan batuk. Selain itu pasien juga dikeluhkan mengalami demam sejak ± 4 hari yang lalu (timbulnya bersamaan dengan timbulnya batuk), demam dikeluhkan naik turun. Apabila pasien diberikan minum obat, demam turun dan beberapa jam setelahnya demam naik kembali. Makan dan minum masih kuat, namun saat timbul sesak makan minum mulai berkurang dan nafsu makan mulai menurun. Riwayat BAB (+), namun dikeluhkan BAB keras dikarenakan sejak timbulnya sesak napas pasien hanya BAB 1 kali saat di Rumah Sakit. BAK (+) normal dengan frekuensi 4-5 kali per hari berwarna kuning jernih, darah (-). Dan didalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan sesak seperti pasien saat ini. Didapatkan keadaan umum dalam keadaan sedang, kesadaran kompos mentis, N :110 x/menit, RR: 60x/menit, T: 37,1 ºC, CRT <2 detik, status gizi : gizi baik. Pada pemeriksaan fisik 31
pernapasan cuping hidung, adanya retraksi, rhonki (+), wheezing (+) pada hampir seluruh lapang paru.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG •
Tanggal 28/01/2013 o Darah Lengkap
WBC : 10,7 x103/ᵤL
N = 4x103 – 11x103/ᵤL
•
RBC : 3,27 x106/ᵤL
N = 3,5x106 – 5,0x106/ᵤL
•
HGB : 10 g/dl
N = 12 – 16 g/dl
•
HCT : 30,1 %
N = 37 – 48%
•
MCV : 64,2 fL
N = 82 – 95 fL
•
MCH : 19,3 pg
N = 27 - 31 pg
•
MCHC : 30,1 %
N = 32-36 %
•
PLT : 480 x103/ᵤL
N = 150x103 – 400x103/ᵤL
V. DIAGNOSIS KERJA •
Bronkiolitis o DD : Pneumonia Berat
•
Anemia ringan hipokromik mikrositik ec Anemia def. Fe
VII. RENCANA AWAL Rencana terapi : o O2 2 lt/mnt o Infus D5 ¼ NS 1000 cc/hari = 40 tpm micro o Inj. Ampicilin 500 mg/8 jam 32
o Inj. Dexametasone 2 mg/12 jam o Paracetamol syr. 100 mg/4 jam, jika suhu > 37,5 °C o Nebulisasi dengan Ventolin /6 jam BAB IV KESIMPULAN Bronkhiolitis adalah penyakit IRA – bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun. Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus(RSV), penyebab lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa virus lainnya. Tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri. Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan. Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami
bronkhiolitis.
Penyakit
ini
menyebabkan
90.000
kasus
perawatan
di
rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu. Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan whezing. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma bronkiale serangan pertama, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, miokarditis. Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu baru pemberian medikamentosa 33
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyaki sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap, dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial. Pencegahan dengan imunisasi aktif dan pasif serta menghindari penyebaran virus RSV. Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar belakang (penyakit jantung,defisiensi imun, prematuritas). Dari kasus yang didapatkan kami menyimpulkan bahwa pasien didiagnosis dengan bronkiolitis, dikarenakan dengan adanya onset gejala ISPA akut yang mendahului sesak napas yang timbul yaitu batuk, pilek dan demam yang timbulnya 2 hari sebelum timbulnya sesak. Dikatakan terjadinya bronkiolitis tersebut didahului oleh gejala ISPA seperti batuk dan pilek yang kemudian disusul dengan adanya sesak napas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan jumalh Respiratory rate 60 kali, adanya napas cuping hidung, dari pemeriksaan thorak didapatkan adanya retraksi dan adanya wheezing yang jelas dari kedua lapang paru. Namun dari pemeriksaan penunjang tidak tampak kelainan khas, dikarenakan hanya pada pemeriksaan awal hanya dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap yang bernilai tidak terlalu spesifik untuk mendiagnosis bronkiolitis. Sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lanjut untuk menegakkan diagnosis pasti bronkiolitis dengan uji serologi. Namun, berdasarkan pemeriksaan tersebut dapat memperkuat diagnosis kearah bronkiolitis. Tatalaksana yang diberikan berupa terapii oksigen 2 liter permenit dengan nasal canule untuk membantu pemberian oksigen yang optimal, terapi cairan dengan menggunakan D5% ¼ NS 40 tetes per menit micro, terapi antibiotic ampicilin dengan dosis 500 mg/8 jam, pemberian dexametason dengan dosis 2 mg/12 jam untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada saluran nafas, pemberian paracetamol syrup dengan dosis 100 mg/4 jam atau setara dengan 1 sendok takar, diberikan apabila suhu badan pasien > 37,5 °C. Serta ditambahkan nebulisasi dengan ventolin setiap 6 jam untuk mengencerkan dahak yang sulit keluar.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal : 333-347. 2. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.2005. Hal : 348-350.. 3. Mereinstein Gerald B, David W Kaplan, Adam A Rosenberg. Buku Pegangan Pediatri. Edisi 17. Jakarta : Penerbit Widya Medika. 2002. Hal :506-507. 4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders, 2000.Hal : 1112-1114; 1484-1486. 5. Garna H Herry. Pedoman Diagnosis Ilmu Kesehatan Anak. Bandung : Penerbit FK Unpad. 2005. Hal : 400-402. 6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD.Rudolph's Pediatrics. Edisi ke-20. California : Prentice Hall International Inc. 1996. Page : 671-676; 1636-1638. 7.
Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Pedoman Pelayanan Medis RSCM. Jakarta : Penerbit FKUI. 2004. Hal : 465-466.
8. ”Bronkiolitis ” : overview. Didapat dari
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=.
Diakses tanggal 28 Januari 2013. 9. Bronkiolitis ” : overview. Didapat dari http://www.medicastore.com//. Diakses tanggal 28 Januari 2013. 10. “Bronchiolitis”: overview. Didapat dari http://www.rch.org.au/kidsinfo/factsheets. Diakses tanggal 28 Januari 2013. 11. “Bronkiolitis”: overview. Didapat dari http://www.cpddokter.com/home. Diakses tanggal 28 Januari 2013. 12. “Bronchiolitis Guideline”: overview. Didapat dari http://www.rch.org.au/clinicalguide//. Diakses tanggal 30 Januari 2013.
35
13. “Bronkiolitis
Guideline”:
overview.
Didapat
dari
http://www.yayasanorangtuapeduli.com// Diakses tanggal 30 Januari 2013. 14. “Bronchiolitis”: overview. Didapat dari http://www.emedicine.com// Diakses tanggal 30 Januari 2013. 15. “Bronchiolitis”: overview. Didapat dari http://www.wikipedia.com.// Diakses tanggal 30 Januari 2013. 16. “Bronkiolitis”: overview. Didapat dari http://www.informasikesehatan.com. Diakses tanggal 30 Januari 2013. 17. “Bronkiolitis”: overview. Didapat dari http://www.indonesiaindonesia.com. Diakses tanggal 30 Januari 2013.
36