BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
I. TONSILEKTOMI
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.1
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.9 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi a.
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase β-laktamase resisten. Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.1,2
II. ANESTESI UMUM 2.1 Definisi
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. 3 Anestesi umum (General Anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU). Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, anestesia, yaitu: 3
Hipnotik (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot) Untuk mecapai trias tersebut, dapat digunakan satu jenis obat, misalnya eter atau
dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, analgetik, dan obat pelumpuh otot. Agar anestesi umum dapat berjalan dengan baik, pertimbangan utamanya adalah memiliki anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anastetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta
obat yang tersedia. Sifat anastetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang baik, kesadaran cepat kembali.3,4 2.2
Metode anestesi umum
Parenteral Anestesia
umum
yang
diberikan
secara
parenteral
baik
intravena
maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesia.
Perektal Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun tindakan singkat.
Perinhalasi Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.3
2.3 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium yaitu: 5 a.
Stadium I Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b.
Stadium II Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c.
Stadium III Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d.
Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
2.4 Keuntungan anestesi umum :
Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama.
Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal.
Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga .
Dapat diberikan dengan cepat.
Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang.3
2.5 Kekurangan anestesi umum :
Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien.
Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental yang normal.
Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.3
2.6 Indikasi anestesi umum :
Infant dan anak usia muda.
Dewasa yang memilih anestesi umum.
Pembedahan luas.
Penderita sakit mental.
Pembedahan lama.
Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan.
Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal.
Penderita dengan pengobatan antikoagulan
2.7 Komplikasi Anestesi Umum
a. Komplikasi Kardiovaskular
Hipotensi : tekanan sistol kurang dari 70 mmHg atau turun 25% dari sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin.
Gagal Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata : Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat. d. Komplikasi Neurologi : Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer). e. Perubahan Cairan Tubuh : Hipovolemia, Hipervolemia f. Komplikasi Lain-Lain : Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan suhu tubuh.3,4
III. PROSEDUR ANESTESI UMUM 3.1 Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Tujuan kunjungan pra anestesi:
Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA ( American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.5
3.2 Persiapan pasien
a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.5
b. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.6,7 c. Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. Setelah
dilakukan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
dan
pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari. 5,6,7 d. Kebugaran untuk anestesi Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.7 e. Masukan oral Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.7 f. Klasifikasi status fisik
Skor ASA ASA ( American Society of Anaesthesiologist ) adalah klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi. Klasifikasi ini berasal dari The American Society of Anesthesiologist yang terdiri dari:8
Kelas
Status fisik
I
Pasien normal yang sehat
Contoh
Pasien bugar dengan hernia inguinal
II
III
IV
Pasien dengan penyakit sistemik
Hipertensi esensial,
ringan
diabetes ringan
Pasien dengan penyakit sistemik
Angina, insufisiensi
berat yang tidak melemahkan
pulmoner sedang
(incapacitating)
sampai berat
Pasien dengan penyakit sistemik
Penyakit paru
yang melemahkan dan merupakan
stadium lanjut, gagal
ancaman konstan terhadap
jantung
kehidupan V
E
Pasien sekarat yang diperkirakan
Ruptur aneurisma
tidak bertahan selama 24 jam
aorta, emboli paru
dengan atau tanpa operasi
massif
Kasus-ksus emergensi diberi tambahan hurup “E” ke angka. Tabel 1. Klasifikasi ASA dari status fisik
Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan intubasi.1 Kelas 1
tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
Kelas 2
palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atas
Kelas 3
Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah
Kelas 4
Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior
faring,
uvula,
dan
palatum
seluruhnya oleh lidah Tabel 2. Klasifikasi skor mallampati
Gambar 1. Penilaian Skor Mallampati
g. Premedikasi
mole
tertutup
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :5
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang
tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).5
3.3 Persiapan peralatan anestesi
1. Endotracheal tube (ETT) ETT dapat digunakan
untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke
trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Gambar 2. ETT berbagai ukuran dan Laringoskop
Tujuan
dilakukannya
tindakan
intubasi
endotrakhea
adalah
untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
- Mempermudah pemberian anestesia. - Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan.
- Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
- Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. - Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. - Mengatasi obstruksi laring akut. Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain : a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
- oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
- Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
- Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
- Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi. b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan. d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal. e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pad a obstruksi intestinal. f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme. g. Tracheostomi. h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords. Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
- Asfiksia neonatorum yang berat. - Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
- Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir. - Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru. - Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
- Pada post operative respiratory insufficiency.7,8 3.4 Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:7
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah atau
daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5
tahun dengan balon (cuffed). A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas. T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya Tabel 3. Persiapan induksi anestesi
Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan antara lain10 :
Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.Ventilasi atau oksigenasi diberikan
dengan
tangan
kanan
memompa
balon
dan
tangan
kiri
memfiksasi.Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru.
Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.6,7
3.5 Obat Anestesi umum
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena. 1. Anestetik inhalasi Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.9,10
2. Anestetik intravena Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk :
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
Opioid analgesik dan neuroleptik
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
3.6 Induksi Anestesi
a.
Induksi intravena Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 3060 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.9,10
Propofol Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil , 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2-2,5mg/kgBB untuk.9,10 Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik. Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.9,10 Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal. Tidak di anjurkan pada pasien yang hipotensi (tensi rendah) karena dapat menyebabkan hipotensi berat9,10
Tiopental (tiopenton, pentotal) Diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.9,1 Midazolam merupakan golongan benzodiazepin aksi-pendek. Memiliki sifat
sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Digunakaan saat premedikasi, sedasi sadar, dan obat induksi suplementasi anestesia. Dosis IV 50350 µg/kg. Dosis premedikasi o,5 mg – 5 mg IV. Midazolam menyebabkan depresi ringan vaskuler sistemik dan curah jantung. Laju jantung biasanya tidak berubah. Perubahan hemodinamik yang berat dapat terjadi jika pemberian dilakukan secara cepat dalam dosis besar atau bersama-sama dengan narkotik. Pemberian midazolam juga menyebabkan depresi ringan pada volume tidal, laju napas, dan sensitivitas terhadap CO2. Hal ini makin nyata bila digunakan bersama
dengan opioid dan pada pasien dengan penyakit jalan obstruktif jalan nafas. Pada pasien yang sehat, midazolam tidak menyebabkan bronkhokonstriksi. Midazolam tidak memiliki efek iritasi setelah penyuntikan intravena. Hal ini terlihat dari tidak adanya nyeri saat penyuntikan dan tidak ada gejala-gejala sisa pada vena.9,10 b.
Induksi intramuscular Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3 -5 menit pasien tidur.
c.
Induksi inhalasi Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
tidak berbau menyengat / merangsang baunya enak cepat membuat pasien tertidur. Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Induksi inhalasi
hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.3,9,10 d.
Induksi per rektal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. e. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah : Atracurium besilat (tracrium) Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Indikasi, sebagai adjuvant terhadap anestesi umum agar intubasi trakea dapat dilakukan dan untuk relaksasi otot rangka selama proses pembedahan atau ventilasi terkendali. Dosis yang dianjurkan : 0,3-0,6 mg/kg (tergantung durasi blokade penuh yang dibutuhkan) dan akan memberikan relaksasi yang memadai selama 15-35 menit. Intubasi endotrakea biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena 0,5-0,6 mg/k g. Efek samping :
Skin flushing, hioptensi atau bronkospasme ringan dan sementara, yang berhubungan dengan pelepasan histamine.
Sangat jarang terjadi : reaksi anafilaktik berat dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan atracurium bersamaan dengan beberapa obat lain. Pasien ini biasanya memiliki satu atau lebih kondisi medis yang memudahkan terjadinya kejang (contohnya trauma cranial, edema serebri, uremia).
KI : Pasien yg hipersensitif trhadap obat ini. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit,
sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15 -35 menit3. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Nampaknya
atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2. Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.9,10 Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
3.7 Rumatan Anestesia ( Manitenance )
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled). 4 Isoflurane
-
Bau tidak enak
- Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi otot baik - Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi, meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual, muntah, dan keadaan tegang
- Sediaan : isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi; maintenance : 0,5%-3% Sevoflurane
Sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit. Efek terhadap Sistem Organ Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati. Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot. 3.8 Teknik anestesi
1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan nap as bebas dan pernafasan lancer. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi. 2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi. 3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha “nafas sendiri” secara manual.
Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi. 4. Ekstubasi Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.4,6
3.9 Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan p erioperatif bertujuan untuk .
-
Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
-
Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi : a. Pra operasi Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %. b. Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : Ringan
= 4 ml/kgBB/jam.
Sedang
= 6 ml/kgBB/jam
Berat
= 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran. c. Setelah operasi Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
3.10 Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). 1. Skor Aldrete
Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar dari ruang pemulihan. 11
Kriteria
Skor
Kesadaran Sadar penuh
2
Terangsang oleh stimulus verbal
1
Tidak terangsang oleh stimulus verbal
0
Respirasi Dapat bernapas dalam dan batuk
2
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal
1
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea)
0
Tekanan Darah Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi
2
Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi
1
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi
0
Oksigenasi SpO2 > 92% pada udara ruangan
2
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO 2 > 90%
1
SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O 2 tambahan
0
Tabel 4. Aldrete’s Score
2. Penilaian Skala Nyeri Ada empat skala yang digunakan untuk menentukan derajat intesitas nyeri.2 a. Eskpresi wajah. Skala ini digunakan untuk pasien yang mengalami komunikasi. Misalnya anak-anak, orang tua, pasien jiwa, pasien ganguan mental atau pasien yeng tidak dapat berbicara dengan bahasa setempat. b. Verbal Rating Scale (VRS). Dimana pasien ditanya tentang derajat nyeri. Yaitu nyeri ringan, sedang, hebat dan sangat hebat
c. Numerical Rating Scale (NRS) terdiri daripada angka 0-5 atau 0 -10 dimana pasien ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk angka. d. Visual Analog Scale (VAS). Terdiri dari pada garis lurus sepanjang 100 ml meter dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang mengambarkan itensitas nyerinya.12
Gambar. 3 Penilaian Skala Nyeri
DAFTAR PUSTAKA
1.
Drake A. Tonsillectomy. http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emed-tonsilektomi.
2.
Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
3.
Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Indeks : Jakarta.
4.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
5.
Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R, et al. Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003.
6.
Oktavia, I.P. 2014. General Anestesi Pada Pasien Tonsilektomi. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
7.
Sutisna, A.A. 2015. General Anestesi. Fakultas Kedokteran Univ ersitas Batam.
8.
American Society of Anesthesiologists.2015.
9.
Syarif,Amir,et al. 2009.Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI: Jakarta.
10. Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 11. Dowling,L.P.2015. Aldrete Discharge Scoring Appropriate for Post Anesthesia Phase 1 Discharge. University of New Hampshire. 12. Andres, Jose, Fischer, J, Ivani, Girgio, et.all. Postoperative Pain Management Good Clinical Pratice. Of European Society of Regional Anasthesia.2005.