BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Untuk mengoperasikan sebuah organisasi yang kompleks (besar dan rumit) dengan efisien dan efektif, manajemen membutuhkan informasi terinci tentang operasi perusahaan. Seperti berapa jumlah bahan yang harus disediakan, darimana bahan diperoleh, berapa jumlah peralatan yang yang terpakai, berapa karyawan karyawan yang layak diperkerjakan, diperkerjakan, dll. Semua persoalan tersebut akan bisa diatasi oleh manajemen apabila manajemen memperoleh informasi yang tepat untuk digunakan sebagai dasar kebijakannya. Artinya manajemen harus memperoleh informasi tentang masukan dan keluaran operasi atau perusahaan untuk dasar operasinya. Tanpa informasi tentang masukan dan keluaran, maka tidak mungkin manajemen dapat mengambil keputusan dengan tepat. Dilain sisi, pasar keuangan adalah lingkungan yang tidak simetris ketika menyangkut aliran informasi. Informasi-informasi dalam perusahaan dapat dipilah menjadi dua jenis. Jenis pertama merupakan informasi yang bersifat umum dan biasanya tidak atau memiliki nilai ekonomis terbatas, yaitu disebut informasi generik. Informasi ini relatif mudah disampaikan dan diakses oleh pihak luar. Sebaliknya, beberapa informasi tertentu memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama jika terhubung dengan pihak yang tepat di luar perusahaan. Informasi jenis kedua disebut sebagai informasi spesifik. Pemicu skandal dan penyalahgunaan pada dasarnya bertumpu pada dua kejadian yang saling bertolak belakang menyangkut pengelolaan informasi spesifik. Kejadian pertama adalah ketika informasi spesifik positif mengalir kepada pihak di luar perusahaan melalui cara-cara tidak sah atau melanggar hukum. Tindakan ini umum disebut insider trading. Salah satu contoh pelanggaran praktek insider trading adalah tuduhan kepada Rajaratnam, pendiri Galleon Group dan salah satu hedge fund terkemuka di bursa New York. Kondisi bertolak belakang yang menyebabkan informasi asimetris adalah ketika informasi spesifik negatif dicegah mengalir keluar perusahaan. Skandal Olympus adalah contoh terkini dari tindakan ini.
Sistem informasi akuntansi manajemen Olympus adalah satu yang terburuk dalam sejarah korporasi Asia. Dalam skandal Olympus, ketidakterbukaan atas informasi akuntansi manajemen juga dipengaruhi oleh faktor budaya yang hidup dan berkembang di Jepang. Bagaimana skandal tersebut dapat ditutupi oleh pihak internal perusahaan sehingga tidak terendus –bahkan oleh pihak independen seperti KPMG atau Ernst & Young- dalam kurun waktu satu dekade.
B.
Ruang Lingkup Pembahasan
1.
Sejarah Olympus
2.
Kronologis praktek manipulasi yang dilakukan Olympus
3.
Pelanggaran kode etik akuntan manajemen Olympus
4.
Dampak manipulasi laporan keuangan Olympus
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Olympus
Ketika pertama kali dibuka untuk bisnis pada tahun 1919 dengan nama Takachiho Seisakusho, Olympus Corporation tidak dikenal untuk peralatan fotografi. Sebaliknya, perusahaan dirancang untuk memproduksi mikroskop, dan masih sampai hari ini Olympus Corporation adalah pemimpin dunia dalam pembuatan mikroskop medis dan peralatan pencitraan serta instrumen medis - endoskopi pada khususnya. Olympus meluncurkan baris pertama kamera pada tahun 1936, dan berperan penting sebagai pendiri dalam revolusi fotografi digital. Berkantor pusat di Tokyo, Olympus memiliki penjualan tahunan perkiraan $ 10 miliar dan mempekerjakan 35.000 orang (Hoovers, 2012). Struktur manajemen Olympus tentang praktek tata kelola perusahaan (CG) (Olympus, 2011), tidak drastis berbeda dari perusahaan-perusahaan multinasional Barat (MNCs), tetapi ada beberapa perbedaan penting berdasarkan tema independensi, objektivitas dan pengawasan. "Olympus mengadopsi struktur perusahaan dengan sistem auditor berdasarkan Hukum Perusahaan Jepang (Olympus, 2011)." Di perusahaan multinasional Barat, hirarki diatur sedemikian rupa sehingga selain dari pemegang saham umum (yang seolah-olah memegang kekuasaan tertinggi), maka disisi lain ada Dewan Direksi (BOD) yang memegang kekuasaan tertinggi, dengan Komite Audit memiliki tanggungjawab untuk memberikan laporan kepada mereka. Sebaliknya, Hukum Perusahaan Jepang Dewan Audit berada pada tingkat yang sama dengan Dewan Direksi, sekalipun memiliki kewenangan audit di atasnya. Dewan Direksi Olympus memiliki 15 anggota, termasuk tiga direksi luar. Fakta bahwa BOD secara internal memberikan laporan yang bias nantinya akan terbukti menjadi sumber kemarahan investor asing. Menariknya, biasanya pada perusahaan publik rasio outsiders pada insiders seharusnya lebih besar, tapi tidak di perusahaan Jepang, bahkan banyak di perusahaan Jepang tidak memiliki non-eksekutif independen (outsiders) pada BOD nya.
B. Kronologi Manipulasi Laporan Keuangan Olympus
Bom atom itu bernama Olympus. Berawal dari tuntutan mantan CEO-nya, Michael Woodford, skandal busuk yang sudah disimpan rapat selama 20 tahun itu terkuak sudah. Bahkan bukan hanya di Jepang, bau anyirnya menyebar ke banyak tempat, memancing rasa mual melihat rakusnya segelintir orang-orang terhormat di pucuk korporasi. Pemicu terkuaknya borok ini bermula dari permintaan Woodford terhadap perusahaan berumur 92 tahun ini untuk menjelaskan transaksi akuisisi sebesar US$ 1,3 miliar (Rp 11 triliun) yang menurutnya janggal. Woodford mencium bau busuk. Ada yang salah dari kebijakan yang diambil. Dia curiga dana tersebut mengalir ke pos yang salah. Awalnya – seperti lazimnya skandal yang harus ditutup rapat-rapat –, manajemen Olympus menyangkal mati-matian. Namun, lewat jalan berliku, akhirnya produsen kamera asal Jepang itu mengakui telah menyembunyikan kerugian investasi di perusahaan sekuritas selama 20 tahun, sejak era 1980-an. Aib ini bermula dari akuisisi Olympus atas produsen peralatan medis asal Inggris, Gyrus, pada tahun 2008. Transaksi senilai US$ 2,2 miliar (Rp 18,7 triliun) ini juga melibatkan biayabiaya lain, yakni ongkos penasihat yang mencapai US$ 687 juta (Rp 5,83 triliun) dan pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal senilai US$ 773 juta (Rp 6,57 triliun). Belakangan terungkap, biaya-biaya lain tersebut (ongkos penasihat dan perusahaan investasi lokal) adalah akal-akalan. Dana-dana itu digunakan untuk menutupi kerugian investasi di dua dekade lalu. Modus ini pun terlihat terang-benderang lantaran pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal itu dihapusbukukan. Presiden direktur Tsuyoshi Kikukawa, mantan wakil presiden eksekutif Hisashi Mori, dan mantan auditor Hideo Yamada, mantan bankir Akio Nakagawa dan Nobumasa Yokoo dan dua orang lainnya dicurigai membantu menyembunyikan kerugian investasi besar melalui kesepakatan M&A yang kompleks, kata laporan Reuters yang bersumber dari para pejabat di Jepang. Tiga mantan eksekutif, telah diidentifikasi oleh panel investigasi yang ditugaskan oleh Olympus, sebagai yang berperan utama dalam penipuan, berusaha menunda penghitungan dari investasi berisiko yang dilakukan pada akhir 1980-an. Menurut kantor Kejaksaan,
ketujuh orang itu dianggap berkonspirasi menyembunyikan kerugian di neraca keuangan Olympus. Mereka melaporkan aset netto Olympus secara konsolidasi mencapai 344,871 miliar yen (US$ 4,4 miliar) untuk tahun fiskal 2006, padahal mestinya hanya 233,737 miliar yen.
Mereka juga membuat laporan palsu untuk keuangan tahun 2007, dengan
melaporkan aset netto sebesar 367,876 miliar yen, menutupi nilai sesungguhnya yang hanya 254,246 miliar yen.
a.
Skema TOBASHI
Apa itu skema tobashi ? Tobashi dalam bahasa Jepang berarti " to make fly away : untuk membuatnya hilang" - mengacu pada teknik akuntansi yang digunakan oleh perusahaan untuk menyembunyikan kerugian investasi, biasanya dengan mentransfer kerugian menjadi aset untuk perusahaan sekutu atau perusahaan anak(Soble, 2011). Meskipun tobashi skema muncul di Jepang, perilaku seperti itu tidak asing lagi bagi skandal yang dialami perusahaan lainnya, termasuk Enron dan Lehman Brothers. Dalam menyembunyikan kredit macet, skema tobashi membuat perusahaan terlihat lebih baik. Dengan menjual aktiva bermasalah atau pinjaman ke perusahaan dummy, kerugian dapat dicegah untuk muncul di laporan keuangan (WSJ, 2011). Tobashi itu sah di Jepang sampai akhir 1990-an, dan tidak diizinkan untuk dipraktekan lagi ketika aturan diperketat. Dalam kasus Olympus, tobashi dipraktekkan dari 1990-an, mengabaikan aturan Jepang terhadap skema tersebut. Dengan cara yang berbelit-belit, Olympus memberikan pinjaman kepada bank investasi asing, yang kemudian melanjutkan untuk membeli produk yang paling tidak menguntungkan dari produksi dari mereka. Pinjaman tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyembunyikan sekuritas Olympus atas kerugian investasi terkait. "Produk tobashi itu tidak merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum Jepang pada waktu itu, tapi perilaku itu tetap dianggap tidak pantas (Jiji, 2011)." Praktik Olympus terlibat dalam tobashi seharusnya sudah menjadi tanda “red flag” dan indikator bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kecuali jika kepemimpinan keuangan
seluruh perusahaan berkolusi dengan satu sama lain, tidak mungkin bahwa semua transaksi mencurigakan bisa luput di bawah pengawasan auditor internal Olympus. Ironisnya, hal ini terutama berlaku dalam kasus struktur tata kelola perusahaan Olympus, di mana Dewan Audit tidak hanya pada tingkat hirarki yang sama dengan Direksi, tetapi juga dibebani oleh audit Direksi (yaitu pengamat yang diawasi). Olympus bahkan memiliki komite manajemen risiko. Selain itu, dari sudut pandang seorang investor, fakta bahwa investasi Olympus itu telah memburuk (sebelum skema tobashi) harus telah melayani sebagai peringatan dan pendukung untuk menyelidiki lebih lanjut. Olympus bukanlah satu-satunya perusahaan Jepang yang terlibat dalam skema tobashi, skema tersebut digunakan oleh banyak perusahaan pada tahun 1990. Namun pelanggaran Olympus yang paling mengerikan, dan telah menyebabkan pengurangan hampir 75% nilai pasar perusahaan pada tahun 2011-2012.
b.
Hubungan dengan Kejahatan Terorganisasi
Skandal-skandal yang disembunyikan Olympus masih terungkap satu persatu sampai sekarang ini, meskipun pada Oktober 2012 Sony secara sah telah membeli pemilik Olympus dengan memiliki 51% saham di Olympus. Tapi walaupun sudah ada kejelasan akan nasib Olympus, sampai sekarang tidak ada penghitungan lengkap tentang sampai dimana sebenarnya lingkup kerugian yang terjadi. Apa yang diketahui pasti adalah bahwa disamping akusisi bernilai besar yang dipertanyakan dipertanyakan, Olympus juga membeli pembuat peralatan medis untuk harga $ 2 miliar, ditambah sekitar $ 670 juta dengan akun "biaya konsultasi", pembelian tersebut dibayarkan kepada pihak yang tidak disebutkan namanya di Kepulauan Cayman. Skandal itu tidak berakhir di sana. Di mata banyak kritikus, ini hanya awal, dan beberapa perkiraan kerugian keseluruhan telah berada di kisaran $ 5 miliar. Seiring dengan pemeriksaan oleh panel luar berkembang, wartawan investigatif semakin menyebutkan adanya hubungan yang mungkin dilakukan Olympus untuk kejahatan terorganisir. Tepat sebelum Olympus secara otomatis dihapuskan dari Bursa Efek Tokyo (TSE), mereka mengungkapkan lebih dari dua dekade kejanggalan keuangan. Olympus
mengatakan bahwa semua akuisisi dipertanyakan adalah untuk menutupi kerugian. Olympus kemudian menyangkal bahwa mereka meminta bantuan sindikat terorganisir Jepang kejahatan, yang dikenal sebagai Yakuza, untuk membantu mengatur menutupnutupi (Tabuchi, 2011). Namun, peneliti menyimpulkan bahwa Olympus dibayar jauh lebih banyak daripada kerugian mereka mencoba untuk menyembunyikan. Peneliti menganggap bahwa banyak dari pembayaran pergi ke sindikat kejahatan terorganisir. Per Tabuchi (2011):
Olympus membayar total dari ¥ 481 miliar, atau $ 6.25 miliar, melalui
pembayaran
akuisisi
yang
dipertanyakan,
untuk
pembayaran biaya investasi dan biaya penasehat dari 2000 hingga 2009, menurut memo itu, tetapi hanya ¥ 105 miliar yang telah atau dicatat dalam laporan keuangannya. Itu menyisakan ¥ 376 miliar, atau $ 4.9 miliar, yang belum ditemukan, menurut memo itu.
Menurut memo tersebut, peneliti percaya bahwa lebih dari setengah dari kerugian yang luar biasa pergi ke kejahatan terorganisir. Sindikat kejahatan terbesar Jepang adalah Gummi Yamaguchi. Hal ini tidak jelas dalam memo jika Olympus mengetahui selama ini tentang koneksi tersebut. Jika ternyata dugaan itu benar, maka Olympus bisa dihapuskan dari Tokyo Stock Exchange.
C.
Pelanggaran Kode Etis Akuntansi Manajemen Olympus
Skandal Olympus merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah korporasi di Jepang, dimana kasus manipulasi laporang keuangan yang mereka lakukan benar-benar merugikan bukan hanya perusahaan Olympus, tapi merusak citra perusahaan-perusahaan di Jepang. Loyalitas dan ultrakorporasism justru memberikan dampak negative terhadap kondisi keuangan perusahaan. Seperti yang diketahui, Jepang memiliki budaya yang sangat kental akan kecintaan terhadap bangsa sendiri, budaya tersebut juga mengakar kepada perusahaan asli Jepang
seperti Olympus, Samsung, Toshiba, dll. Kebanyakan pegawai atau bagian dari manajemen perusahaan memiliki loyalitas dan kecintaan yang tinggi terhadap perusahaan. Tetapi loyalitas tersebut disalah artikan dengan menutup-nutupi kebobrokan perusahaan. Berikut pelanggaran kode etis akuntansi manajemen yang dilakukan oleh Olympus :
a.
Tata Kelola Perusahaan yang Buruk
Berbeda dengan perusahaan Barat (MNCs), Olympus dalam struktur tata kelola perusahaannya menempatkan Komite Audit pada level yang sama dengan Dewan Direksi, dimana Dewan Direksi juga memiliki wewenang untuk mengamati kinerja Komite Audit, padahal seharusnya Komite Audit dan Dewan Direksi merupakan bagian yang terpisah, dan Komite Audit bekerja secara independen untuk mengamati dan mengawasi kinerja Dewan Direksi beserta manajemen apakah sudah sesuai dengan kontrol internal perusahaan atau tidak, bukan malah sebaliknya diawasi oleh Dewan Direksi. Olympus juga tidak menempatkan eksekutif maupun non-eksekutif independen dalam jajaran direksinya, dalam hal ini bukan hanya Olympus tapi hampir semua perusahaan di Jepang tidak bisa menerima perubahan dengan menempatkan eksekutif atau non-eksekutif asing dalam jajaran direksinya. Khusus dalam kasus Olympus, exdirektur Michael Woodford dipecat dengan tidak hormat tak lama setelah ia mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di Olympus, independensi Woodford dan keterbukaan atas informasi yang dimilikinya tidak dapat diterima oleh jajaran direksi Olympus yang semuanya adalah orang Jepang.
b.
Manipulasi Laporan Keuangan Teroganisir
Dengan skema Tobashi, Olympus telah melakukan penipuan atas laporan keuangan perusahaan selama 20 tahun. Sekalipun skema Tobashi sebenarnya dilegalkan di Jepang sampai akhir 1990-an, tapi dalam praktik manajemen hal ini seharusnya tidak pantas dilakukan oleh manajemen sekalipun tidak melanggar hukum
Melalui praktek merger dan akuisisi yang kompleks, Olympus telah memanipulasi laporan keuangannya dan menyembunyikan kerugian investasi mereka. Padahal seharusnya, harus ada transparansi atas kinerja manajemen yang dilaporkan atau dipertanggungjawabkan dalam laporan keuangan. Hal ini bukan dilakukan perindividu melainkan teroganisir secara keseluruhan dalam badan organisasi Olympus. Baik dari manajemen level atas sampai level bawah telah bekerjasama dengan sangat baik selama hampir 20 tahun untuk menutupi kerugian tersebut. Kepemimpinan keuangan seluruh perusahaan berkolusi dengan satu sama lain, memungkinkan bahwa semua transaksi mencurigakan bisa luput di bawah pengawasan auditor internal Olympus. Auditer Internal Olympus, Hideo Yamada secara sengaja membantu menutup-nutupi kerugian investasi yang dialami oleh Olympus dan memberikan opini wajar atas kondisi internal Olympus. Bahkan dalam salah satu catatan investigasi atas Olympus disebutkan, salah satu mantan Direktur Operasional Olympus secara sengaja menyarankan penggantinya untuk tidak membuka mulut dan menutupi manipulasi yang dilakukan oleh Olympus. Ini menunjukkan kinerja manajemen yang tidak independen dan terlalu kolektif.
D.
Dampak Manipulasi Olympus
Skandal manipulasi yang dilakukan oleh manajemen Olympus, membuat Olympus hampir dihapuskan dari Tokyo Stock Exchange, Olympus telah mendapat ancaman akan dihapuskan dari STE, jika mereka tidak memberikan penjelasan tertulis atas kondisi perusahaan. Laporan pertanggungjawaban Olympus yang tertuang dalam Report for 144
th
Term
akhirnya menjelaskan kondisi Olympus yang sebenarnya kepada pihak yang berkepentingan pada April 2012. Pada laporan keuangan yang telah diaduit tersebut, terjadi penurunan nilai asset dari ¥966 miliar menjadi tersisa hanya ¥605 miliar, sebagai akibat kerugian investasi yang tidak dilaporkan oleh Olympus. th
Report for 144 Terms seperti pengakuan dosa Olympus terhadap khalayak ramai akan
penipuan besar yang telah mereka lakukan, memecat 7 jajaran direksi, dan menata ulang
manajemen perusahaan dengan memasukkan orang-orang baru untuk mengisi BoD Olympus. Lebih dari itu, nilai perusahaan juga turun drastis yaitu hampir 75% dari nilai sebelumnya sebagai dampak penurunan kepercayaan investor terhadap manajemen Olympus, sampai pada akhirnya Olympus harus menjual sahamnya kepada Sony agar tidak gukung tikar. Sony kini menjadi pemilik Olympus atas kepemilikan saham sebesar 51%.
BAB III KESIMPULAN
Restrukturisasi Hirarki Manajemen
Di AS, para pemegang saham seolah-olah memegang otoritas tertinggi, dan dapat mempengaruhi tindakan Direksi utama. Komite Audit merupakan subkomite Dewan, seperti Komite Manajemen Risiko. Pada Olympus, Komite Audit, meskipun bertanggung jawab kepada pemegang saham, pada tingkat yang sama wewenang sebagai Direksi, dan terdiri dari anggota yang mungkin atau mungkin tidak dapat dianggap independen. Ketua Olympus memimpin Komite Audit, dan ini kadang-kadang dipandang sebagai konflik kepentingan. Dewan Audit dan Direksi tidak boleh pada tingkat yang sama satu sama lain. Kalau mereka dalam level yang sama, akan ada kebiasan atas jobdesk masing-masing dewan. Olympus harus mempertimbangkan mengadopsi struktur gaya tata kelola perusahaan yang lebih ke Barat di mana ada penggunaan jauh lebih luas dari auditor independen di luar, sehingga menghindari potensi konflik kepentingan. Salah satu kesulitan dalam menerapkan strategi ini adalah kenyataan bahwa sedikit auditor eksternal yang berkualitas di Jepang meskipun tren untuk ketersediaan auditor independen terus meningkat.
Rekomposisi Dewan Direksi
Manajemen harus mengimplementasikan budaya independensi dan keterbukaan atas informasi pada perusahaan dengan memasukkan orang-orang yang non-Jepang, sekalipun ada pergantian BoD, tapi jika BoD tetap diisi oleh mayoritas orang Jepang sendiri, bisa jadi skandal yang sama akan terulang kembali. Sebelum sebagian besar dari BoD Olympus dipecat dan ditangkap untuk kasus penipuan, komposisi dewan Olympus terdiri dari hanya tiga direktur independen dari 15 anggota dewan. Komposisi Direksi perlu diubah, dan rasio yang lebih tinggi dari orang independen perlu dibudidayakan. Model ini bertentangan dengan norma Jepang, dan perusahaan publik sebagian besar orang Jepang melihat orang non-Jepang -termasuk direktur independen-
sebagai bentuk campur tangan. Hal ini harus diubah. Investor luar, terutama yang asing, harus memiliki suara yang didengar dan benar dimana hal tersebut hanya terjadi jika di wakili Direksi. Saat ini, proses pencalonan dewan sangat tidak imbang. Pemilihan kembali Direksi keseluruhan, termasuk memisahkan peran Chairman dan CEO, akan memberikan transparansi lebih di perusahaan.
Memastikan Kepatuhan dan Kode Etis Khusus berjalan Efektif
Hal ini dapat menjadi lebih menakutkan daripada kedengarannya, terutama jika program seperti itu tidak ada. Karena loss-masking yang disebut tobashi begitu mendarah daging dalam budaya perusahaan Olympus, itu akan membutuhkan pelatihan yang berkelanjutan dan pemantauan untuk mendukung perubahan. Perlu menanamkan budaya anti-penyuapan yang spesifik / konflik kepentingan dan kebijakan perlu memiliki taring. Semua dewan direksi harusnya diberikan pelatihan kepatuhan tahunan dan setiap tahunnya mengakui kode etik tambahan khusus selain kode biasa, yang mengatur direksi untuk memiliki standar yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahira,
Anne.
Manajemen
Resiko.
2012.
http://www.anneahira.com/manajemen-
resiko.htm[Terhubung Berkala] (10 Maret 2012)
Jones, C. (2011, December 13). Corporate governance in the shadow of Olympus. Japan Times. http://www.japantimes.co.jp/text/fl20111213zg.html
http://finance.detik.com/read/2011/11/08/153440/1763010/4/skandal-penipuankorporasi-terbesar-jepang-oleh-olympus Olympus Buys "Tobashi" Products from Foreign Firm. (12 November). Jiji Press English News Service. 19 April 2012, ProQuest Central.