PEDOMAN TATALAKSANA CEDERA OTAK (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury)
Editor: Joni Wahyuhadi Wihasto Suryaningtyas Rahadian Indarto Susilo Muhammad Faris Tedy Apriawan Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 2014
Tim Neurotrauma dan Kontributor Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS Dr. dr. Agus Turchan, SpBS Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS dr. Eko Agus Subagio, SpBS dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS dr. Muhammad Faris, SpBS dr. Achmad Fahmi, SpBS dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS dr. Tedy Apriawan, SpBS dr. Alfan Syah Putra Nasution dr. Yusuf Hermawan dr. Mohammad Kamil dr. Geizar Arsika Ramadhana dr. Yusnita Rahman dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi dr. Mochamad Rizki Yulianto dr. Yudhistira Kaysa Karim dr. Adi Wismayasa dr. Gibran Aditiara Wibawa dr. Fatkhul Adhiatmadja dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo dr. Wisnu Baskoro
Sekretariat Neurotrauma: SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf RSU dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8 Surabaya Telp: 031-5501325/ 5501304 Fax: 031-5025188 e-mail:
[email protected]
SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOETOMO, SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak” edisi kedua tahun 2014. Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju untuk menjawab tantangan di bidang pelayanan, pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidang pelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap institusi yang berhubungan dengan penanganan cedera otak, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat cedera otak. Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima. Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa sehingga memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum semuanya terjawab dengan jelas. Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis, dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan kemajuan di masa mendatang. Wassalamualaikum Wr. Wb
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
dr. Dodo Anondo, MPH
SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”, edisi kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base Medicine (EBM). Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmu kedokteran, membawa perubahan yang mendasar pada pelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf. Cedera Otak adalah salah satu kasus emergency bidang bedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang cepat, tepat, dan akurat. Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah, merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya bagi pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma. Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis, perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang telah ada selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan wawasan keilmuan. Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya. Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki demi kemanusiaan. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Sc., Sp. PD-KEMD FINASIM
KATA PENGANTAR
Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan perawatan gawat darurat. Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian. Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara 3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sebesar 7,1 %. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa. Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan kesehatan di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah saraf, saraf dan aneatesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah dipahami. Buku ini dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada saat yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan dan ketepatan adalah faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cedera pada susunan saraf. Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi kemanusiaan.
Ketua Tim Neurotrauma RSUD.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.
Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS.
DAFTAR ISI SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA SAMBUTAN Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN I. PENDAHULUAN
1
II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN
3
III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM (GENERAL MEASURES)
6
III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage
6
III.2. Langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat
6
III.2.1 Perlindungan Umum (General precaution)
6
III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas
8
III.2.3 Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak
8
III.3 Survey Sekunder
9
III.3.1 Anamnesis
9
III.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum
9
III.3.3 Pemeriksaan Neurologis
10
III.4 Observasi
11
III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala
11
III.6 Pemeriksaan CT Scan
12
III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit
12
III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala
13
III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang
13
III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI)
13
III.11 Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1
14
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA
15
IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan
15
IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang
16
IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat
17
V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA
18
V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang
18
V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Hipertonik Saline
22
V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Kateter
26
Ventrikel V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik
28
V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid
31
V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer
33
V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi
37
V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent
40
V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline
42
V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam
44
V.11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptide
47
V.12. Rekomendasi Penggunaan sel punca (Stem Cell)
49
VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN
50
(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT) VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)
50
VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH)
52
VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak
56
VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior
58
VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii
60
VI.6. Rekomendasi Pembedahan Pada Diffuse Axonal Injury (DAI)
63
VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR
65
INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT) VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial – ventrikulostomi
65
VII.2. Manajemen Tekanan Intrakranial
66
VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIKA PADA ANAK
72
VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi
72
VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial
75
VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat
80
VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial
83
VIII.5. Peran Pengeluaran LCS pada Pengendalian TIK
87
VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB
89
VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri
91
IX. CEDERA OTAK TERKAIT OLAHRAGA
99
IX. PENUTUP
103
Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd edition. McGraw-Hill. New York, 1996
DAFTAR SINGKATAN CBF
: Cerebral Blood Flow
CMRO2
: Cerebral Metabolic Rate of O2
COB
: Cedera Otak Berat
COR
: Cedera Otak Ringan
COS
: Cedera Otak Sedang
CPP
: Cerebral Perfusion Pressure
CSF
: Cerebro Spinal Fluid
CSS
: Cairan Serebro Spinal
CT Scan
: Computed Tomography Scanning
EDH
: Epidural Hematoma
EVD
: External Ventricular Drainage
GCS
: Glasgow Coma Scale
HCU
: High Care Unit
ICP
: Intracranial Pressure
IRD
: Instalasi Rawat Darurat
KRS
: Keluar Rumah Sakit
LCT
: Long Chain Triglycerides
LCU
: Low Care Unit
MAP
: Main Arterial Pressure
MCT
: Medium Chain Triglycerides
MRS
: Masuk Rumah Sakit
NSAID
: Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs
PPI
: Proton Pump Inhibitor
RCT
: Randomized Control Trial
ROI
: Ruang Observasi Intensif
SDH
: Sub Dural Hematoma
SRMD
: Stress Related Mucosa Damage
TBI
: Traumatic Brain Injury
TIK
: Tekanan Intra Kranial
AAN
: American Academy of Neurology
I. PENDAHULUAN Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf, dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan biaya tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana cedera otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera, melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan
sistim
syaraf dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan patofisiologi ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif, metode neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari pasien cedera otak.
Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr. Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data: Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo Th. 2002 - 2013 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ʃ penderita CO 2005 1910 1621 1670 1588 1231 1339 1487 916 1050 1026 1411
Ʃ penderita COB 455 467 275 199 195 159 196 209 126 145 173 166
Total Kematian 225 210 134 103 98 75 81 76 123 124 106 101
% 11.22 10.99 8.27 6.17 6.17 6.09 6.05 5.11 13.4 11.8 9.96 7.1
Total kematian COB 169 127 81 65 49 30 38 29 98 96 72 80
% 37.14 27.19 29.45 32.66 25.13 18.85 19.34 13.87 77.7 66.2 41.6 48.1
Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.
1
Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %.
Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera otak yang datang ke IRD.
Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr. Soetomo menunjukkan
bahwa cedera otak
memerlukan
penanganan
yang
komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pembenahan Hospital Care meliputi: 1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara: a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran (PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak. b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider) c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU) e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris 2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara: a. Sosialisasi Guideline b. Peningkatan sistem rujukan c. Peningkatan
kemampuan
sumber
daya
manusia
dengan
cara
pendidikan berkelanjutan. 3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain 4. Evaluasi berkala
Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional. Langkah awal adalah tersusunnya pedoman ini.
2
II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga dengan membentuk tim
neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf,
anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan pengumpulan data,
identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi
literatur serta penelitian yang berkaitan dengan cedera otak.
Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak di RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan.
Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C (Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) : A.
Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard atau standard (high degree of clinical certainty).
B.
Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan guideline (moderate clinical certainty).
C.
Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif, serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus, dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan option (unclear clinical certainty).
3
Level of Evidence (pembuktian klas)
Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2011 No
level of
Evidence finding
Evidence 1.
I-a
Evidence diperoleh berdasar
hasil metaanalisis atau
sistemik review dari berbagai uji klinik acak dengan kontrol/kelola (randomized controlled trials Study / RCT) 2.
I -b
Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol/kelola ( RCT)
3.
II - a
Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan pembanding, tapi tanpa randomisasi
4.
II - b
Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian dengan rancangan quasi-eksperimental
5.
III
Evidence
berasal
dari
penelitian
deskriptif
non
eksperimental (studi komparatif, korelasi dan studi kasus) 6.
IV
Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini, maupun pengalaman klinik ahli yang diakui.
KLASIFIKASI REKOMENDASI ( EBM-HTA ) Adelson, 2003 : (Diagnostik maupun Tindakan) 1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B ) Rekomendasi : A 2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b) Rekomendasi : B 3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV ) Rekomendasi : C
4
Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan. Diharapkan
secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter
spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan laboratorium
serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin
berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.
Editor
5
III.
ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM ( GENERAL MEASURES )
III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada dokter jaga bedah saraf.
III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 1. General precaution 2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation) 3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan pemeriksaan fisik seluruh organ) 4. Pemeriksaan neurologis 5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan 6. Menentukan diagnosis pasti 7. Menentukan tatalaksana III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution ) Perlindungan umum (General precaution) terdiri dari : a. Informed to Consent dan Informed Consent b. Perlindungan diri No 1.
2.
3.
4.
Jenis Perlindungan Mencuci tangan dengan antiseptik - setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda yang terkontaminasi - segera setelah melepas sarung tangan - diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda Pemakaian sarung tangan - jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda – benda yang terkontaminasi - jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak Pemakaian Masker, dan goggles - untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan berhadapan dengan darah atau cairan tubuh Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns) - untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh 6
5.
6.
7.
8.
10.
11.
mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh
Linen - hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi - jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien Alat perawatan pasien - hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat yang telah terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta lingkungan sekitarnya - alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali Kebersihan lingkungan - area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan menggunakan desinfektan Benda tajam - jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan - jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya - jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan tangan - buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus. Resusitasi pasien - hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation bags, atau alat bantu ventilasi lain. Penempatan pasien - pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan ditempatkan pada ruangan khusus
Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities with Limited Resources )
c. Persiapan alat dan sarana pelayanan
Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan dan keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan yang akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan sarana yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya.
7
III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas Pemeriksaan
Evaluasi
Perhatikan, catat, dan perbaiki
A. Airway
Patensi saluran napas ?
Obstruksi ?
Suara tambahan ? B. Breathing
Apakah oksigenasi
Rate dan depth
Efektif…. ?
Gerakan dada Air entry Sianosis
C. Circulation
Apakah perfusi Adekuat …..?
Pulse rate dan volume Warna kulit Capilarry return Perdarahan Tekanan darah
D. Disability ( status neurologis )
Apakah ada kecacatan
Tingkat kesadaran-
neurologis …?
menggunakan sistem GCS atau AVPU. Pupil (besar, bentuk, reflek cahaya, bandingkan kanan-kiri)
E. Exposure
Cedera organ lain… ?
(buka seluruh pakaian)
Jejas, deformitas, dan gerakan ekstremitas. Evaluasi respon terhadap perintah atau rangsang nyeri
Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak
III.2.3. Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 1.
Penanganan cedera otak primer
2.
Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder
3.
Optimalisasi metabolisme otak
4.
Rehabilitasi 8
III.3. Survey Sekunder III.3.1 Anamnesis Informasi yang diperlukan adalah: –
Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
–
Keluhan utama
–
Mekanisma trauma
–
Waktu dan perjalanan trauma
–
Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
–
Amnesia retrograde atau antegrade
–
Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo
–
Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
–
Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah
III.3.2 Pemeriksaan fisik Umum Pemeriksaan
dengan
inspeksi,
palpasi,
perkusi,
dan
auskultasi,
serta
pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode: –
Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
–
Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah: 1. Pemeriksaan kepala Mencari tanda : a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing. b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius. c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan fraktur mandibula d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata. 9
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan dengan diseksi karotis 2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang. Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan autonomik.
III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan status neurologis terdiri dari : a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 14 – 15
: Cedera otak ringan (COR)
GCS 9 – 13
: Cedera otak sedang (COS)
GCS 3 – 8
: Cedera otak berat (COB)
b. Saraf kranial, terutama: •
Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri
•
Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.
c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal detachment. d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda lateralisasi. e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.
10
III.4 Observasi Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar observasi neurologis sebagai berikut:
Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5 menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan penanganan yang kurang tepat
III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala Indikasi pemeriksaan foto polos kepala : 1. Kehilangan kesadaran, amnesia 2. Nyeri kepala menetap 3. Gejala neurologis fokal 4. Jejas pada kulit kepala 11
5. Kecurigaan luka tembus 6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga 7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba 8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak 9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko : benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50 tahun.
III.6. Pemeriksaan CT Scan Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala : 1. GCS< 13 setelah resusitasi. 2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang. 3. Nyeri kepala, muntah yang menetap 4. Terdapat tanda fokal neurologis 5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur 6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus 7. Evaluasi pasca operasi 8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ ) 9. Indikasi sosial
III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran 2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah 3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi 4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus 5. Fraktur tengkorak 6. CT scan abnormal
12
7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit 8. Umur pasien diatas 50 tahun 9. Anak-anak 10. Indikasi sosial
III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan : -
Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
-
Tidak ada gejala neurologis
-
Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
-
Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
-
Ada yang mengawasi di rumah
-
Tempat tinggal dalam kota
III.9 Lembar Pesanan saat Pulang Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera dibawa ke IRD bila : -
Muntah makin sering
-
Nyeri kepala atau vertigo memberat
-
Gelisah atau kesadaran menurun
-
Kejang
-
Kelumpuhan anggota gerak
III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI) Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI : -
GCS < 8
-
GCS < 13 dg tanda TIK tinggi
-
GCS < 15 dengan lateralisasi
-
GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.
-
Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan operasi. 13
-
Pasien pasca operasi
Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1 -
pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan transportable ( layak transport ).
-
III.11
Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1
Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1 -
Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi
-
Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan memerlukan observasi ketat.
-
Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska pindah dari ICU/ROI IRD.
14
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK
IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan Pasien
1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC) 2. Anamnesis, fisik diagnostik 3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi 4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi 5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi 6. Lapor jaga bedah saraf
IRD
MRS di ruang HCU - F
OPERASI
ICU - ROI
• Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam (anak < 2 tahun: D5 0.25 NS) • Puasa 6 jam • Obat simptomatik IV atau supp • Observasi ketat sebagai pasien cidera otak • Catat keadaan vital dan neurologis bila akan dikirim ke ruangan perawatan • Serah terima penderita serta informasi lengkap keadaan penderita
VS. Stabil Neurologis Stabil
Cepat memburuk
R. Perawatan ( LCU )
Resusitasi + Rediagnosis
KRS
ICU ROI - 1
Operasi
15
IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang
Penderita
• Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace • Lapor jaga bedah saraf • Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya • Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match) • Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam • Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp • Bila telah stabil CT scan kepala, foto leher lat, thorak foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pasang kateter, evaluasi produksi urine
IRD
Operatif
MRS di ruang HCU - F
ICU-ROI
Membaik
VS. Stabil Neurologis Stabil
Memburuk
• Stabilisasi + Resusitasi • Rediagnosis cito
ICU - ROI
Operasi
Ruang Perawatan (LCU)
16
IV.3 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat
Penderita
IRD
Lapor jaga bedah saraf
• Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi • Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan cricothyrotomi dan persiapan intubasi atau tracheostomi • Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200 atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung • Pasang collar brace • Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tandatanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.. • Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg. • Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan atau gagal jantung, manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm. • Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus10-18 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB • Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas indikasi. . Pemeriksaan lab DL, BGA, GDA, cross match • Anamnesis pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi • Pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi • Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine • Tanda vital stabil CT scan kepala, foto leher lat, thorak fot AP, • Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek oculocephalik • Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmhg.atau<22 cm H2O pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat operasi emergensi
• Bila keadaan fungsi vital telah stabil • Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU • Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita, obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan)
Operasi
MRS di ICU -ROI
R. HCU - F
R. Perawatan (LCU)
17
V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA
V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
1) Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam. 2) Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan
setelah
7
hari
pasca
trauma
karena
tidak
menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma. 3) Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini pasca trauma Option
:-
Penjelasan Rekomendasi : Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma (early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun 2013 tentang levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa levetiracetam memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis kejang pasca trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek samping yang lebih sedikit. Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma: 1. GCS ≤ 10 2. Immediate seizures 3. Kontusio kortikal 4. Fraktur linier 5. Penetrating Head Injury 18
6. Fraktur depresi 7. Alkoholik kronis 8. Post traumatic Amnesia> 30 menit 9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom 10. Defisit neurologis fokal 11. Usia ≥ 65 tahun atau ≤15 tahun
Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml. Pengobatan profilaksis dengan levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis 500 mg setiap 12 jam selama 7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading dose.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi Penilaian
TP/DR II/B
Kesimpulan
Temkin
Penelitian
Fenitoin hanya efektif untuk
et al., 1990
randomized double
mencegah kejang dini pasca
blind untuk
trauma
mengetahui efektifitas pemberian feniotin untuk mencegah kejang pasca trauma 2
Golden N,
Penelitian
II/B
Faktor resiko terjadinya epilepsi
1996
retrospektif dengan
pasca trauma dini:
rancangan case
-usia < 15 tahun 19
control study untuk
-fraktur depress
mengetahui
-lesi intrakranial
pengaruh faktor
-defisit neurologis fokal
risiko terhadap angka kejadian epilepsi pasca trauma dini 3
Annegers
Penelitian
II/B
Faktor resiko yang signifikan:
et al., 1998
retrospektif untuk
- subdural hematom
mengetahui
- skull factures
karakteristik cedera
- amnesia lebih dari satu hari
otak yang
- usia > 65 tahun
berhubungan dengan timbulnya kejang pasca trauma 4
Temkin
Penelitian
II/B
Tidak didapatkan perbedaan
et al., 1999
randomized double-
yang signifikan untuk terjadinya
blind untuk
kejang pasca trauma lanjut
mengetahui
pada pasien yang mendapatkan
efektifitas fenitoin
terapi fenitoin selama 1 minggu
yang diberikan
dibandingkan dengan yang
selama 1 minggu
mendapatkan terapi asam
dibandingkan asam
valproat selama 1 atau 6 bulan
valproat yang diberikan selama 1 atau 6 bulan sebagai profilaksis kejang pasca trauma 5
Chang SB,
Meta analisis
II/B
Pengobatan profilaksis dengan
Lowenstein
beberapa penelitian
Fenitoin, dimulai dengan dosis
DH, 2003
level l,ll untuk
loading segera setelah trauma 20
mengetahui peranan
efektif menurunkan resiko
profilaksis obat anti
kejang dini pasca trauma.
epilepsi pada
Profilaksis tidak efektif untuk
penderita cedera
kejang fase lanjut. Faktor resiko
otak berat
terjadinya kejang : cedera otak berat, amnesia atau tidak sadar berkepanjangan, hematom intrakranial atau kontusio serebri, dan fraktur depress.
6
Torbic H
Meta analisis
II/B
Profilaksis anti kejang efektif
et al., 2013
penelitian level I
diberikan pada 1 minggu
dan II untuk
pertama pasca trauma.
mengetahui
Alternatif obat yang efektif
efektivitas obat-
adalah phenytoin dan
obatan anti kejang
levetiracetam.
dan faktor risikonya Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol. Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309. Annegers JF et al. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain lnjuries. TheNEJM 1998 Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Qua|ity Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurotogy 2003; 60:10-6. Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996 21
Temkin et al. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502. Temkin et al. Valproate therapy for prevention of post traumatic seizures: a randomized trial. J Neurosurg 1999;91:593–600. Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic brain injury. Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66
V2. Rekomendasi penggunaan manitol dan Sodium Laktat Hipertonis Standard
Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol
Guideline
Manitol
membantu
menurunkan
TIK
pada
pasien
COB.
Pemberian secara bolus dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus menerus Option
1) Pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan ICP
Monitor
jika
didapatkan
tanda-tanda
transtentorial atau terjadi penurunan
herniasi
kesadaran yang
progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol/l untuk mencegah terjadinya gagal ginjal. Pasien harus dipertahankan dalam kondisi euvolemia dan dipasang katater urine untuk memonitor produksi urine. 2) Terapi
dengan
menggunakan
larutan
sodium
laktat
hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol Penjelasan Rekomendasi : Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK me↓→ CBF dan CPP me↑). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe “non surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol 22
harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol. Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis. Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8 Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum <320 mmol/l. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang isotonis dan harus dicegah terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound dapat dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol dilakukan secara bertahap.
Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau hipotensi. Sodium laktat dapat menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih cepat.
Komplikasi pemberian hipertonik salin diantaranya adalah rebound edema, kerusakan BBB, penurunan tingkat kesadaran karena hipernatremia, dan central pontine myelinolisis (CPM). Sodium laktat hipertonis dapat memberikan keluaran pasien yang lebih baik dengan indikator Glasgow Outcome Scale, Barthel Index, dan Karnoffsky Score bila dibandingkan dengan manitol dan dapat diberikan pada pasien dengan kondisi syok. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Pembuktian (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penelitian
Mendelow
Penilaian pengaruh
et al.,1985
pemberian manitol 20
TP/DR
Kesimpulan
III/C Terjadi penurunan TlK, dan peningkatan CBF dan CPP
% dengan dosis 0,25 0,5g/kg intravena terhadap TlK. CPP dan CBF 23
2
Gemma
Prospective
II/B
Hypertonic saline sama
et al., 1997
randomized
efektifnya dengan manitol
Clinical study
dalam menurunkan edema
membandingkan efek
otak selama proses operasi
hypertonic saline 7,5 %
bedah saraf
dengan manitol 20 % 3
Balafif F.,
Studi case control
II/B
Manitol secara bermakna
Bajamal A.H.,
Membandingkan antara
menurunkan mortalitas COB
1999
pasien COB tipe "non
tipe “non surgical mass
surgical mass lession"
lession” bila tidak ada episode
yang mendapat
hypotension atau hypoksia
manitol secara empiris
selama perawatan pada GCS
dengan tanpa manitol.
3-5 atau CT scan menunjukkan kontusio grade lll
4
Qureshi
Review dari literatur
III/C Hipertonik saline
et al., 2000
tentang hipertonik salin
menunjukkan efek yang
dalam terapi edema
menguntungkan dalam hal
otak dan hipertensi
penurunan TIK sekaligus
intrakranial
menjaga hemodinamik pada penelitian klinis dan di laboratorium
5
6
Faris M.,
Penelitian eksperimen
I/A
Wahyuhadi J.,
dengan analisis
manitol efektif dan aman
2009
komparatif antara
dalam pengobatan
pemberian sodium
peningkatan TIK. Hipertonik
laktat dengan manitol
sodium laktat lebih efektif
dalam menurunkan TIK
dibandingkan manitol I/A
Hipertonik sodium laktat dan
Ichai C,
Prospective open
Terapi dengan menggunakan
et al., 2009
randomized study
larutan sodium laktat
membandingkan terapi
hiperosmolar lebih efektif
sodium laktat
dalam menurunkan TIK bila 24
hiperosmolar dengan
dibandingkan dengan manitol
manitol dalam menurunkan TIK pada kasus cedera otak 7
Ardyansyah A., Penelitian eksperimen
I/A
Hipertonik natrium laktat
Wahyuhadi J.,
dengan analisis
dapat menurunkan TIK lebih
2011
komparatif antara
banyak dan lebih lama
pemberian Hipertonik
dibandingkan manitol
natrium laktat dengan manitol dalam menurunkan TIK 8
Wakai
Randomized control
I/A
Pemberian manitol lebih baik
et al., 2013
trial dengan pemberian
dibandingkan dengan
manitol pada pasien
pemberian pentobarbital dan
trauma akut cedera
kurang menguntungkan jika
otak sedang dan berat
dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Ardyansah A., Wahyuhadi J., Perbandingan Pemberian Dosis Multipel Hipertonik Natrium Laktat dan Manitol terhadap Penurunan Tekanan Intrakranial pada Penderita Cedera Otak Berat tanpa Indikasi Operasi dengan Tekanan Intrakranial lebih dari 20 mmHg, SMF Bedah Saraf RSU Dr Soetomo, 2011 Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr. Soetomo Surabaya. 1999 Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium Laktat
dan
Manitol
terhadap
Progresifitas
Penurunan
Tekanan
Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah Saraf RSU Dr Soetomo,2009 25
Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Catvi MR, Cipriani A, Garancini MP. 7.5% Hypertonic saline versus 20% mannitol during elective neurosurgical
supratentorial procedures, J Neurosurg
Anesthesiol,
1997;9(4):329 – 34 Ichai C, Armando G, Orban JC, et al. Sodium Lactate versus Mannitol in The Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 – 479 Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004 Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral perfusion pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9 Reilly P, Selladurai B. Initial Management of Head Injury: a Comprehensive Guide. McGraw Hill, 2007, p177 – 205 Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of cerebral edema and
intracranial hypertension, Crit
Care Med,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11008996 2000;28(9):3301-13 Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013
V.3 Rekomendasi penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan Kateter Ventrikel Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Belum ada data yang mendukung
Option
1. Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi resiko infeksi 2. Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak menurunkan resiko infeksi pada pemasangan kateter ventrikel.
Penjelasan Rekomendasi : Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi 26
pengaruh signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dari penderita. Pada pemasangan ICP monitor jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi sampai dengan 27% sedangkan penggunaan ICP monitor jangka pendek belum terbukti menaikkan resiko morbiditas dan mortalitas. Dari seluruh pasien COB, tidak ada insiden definitive terhadap infeksi CSF.
Cephalosporin
generasi ke 1 dan
2
merupakan
jenis antibiotik
yang
di
rekomendasikan. Pada trauma penetrasi craniocerebral, tidak didapatkan bukti yang mendukung penggunaan antibiotik profilaksis namun para ahli menyarankan pemberian antibiotika broad spectrum secara rutin berkaitan dengan beratnya komplikasi yang mungkin terjadi.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi
TP/DR
Kesimpulan
Sunbarg
Analisa rertrospektif dari
III/C
et al.,1996
648 pasien yang
COB tidak ada insiden
memakai TIK monitor.
definitive terhadap
142-nya adalah COB.
infeksi CSF.
Dari seluruh pasien
Tidak ada yang mendapat antibiotik profilaksis. 2
Holloway
Analisa retrospektif dari
III/C
61 pasien dengan
et al.,1996
584 pasien cedera otak
venticulostomy
berat berkaitan dengan
ditemukan infeksi. Pada
efek penggantian kateter
umumnya infeksi
terhadap insiden
ditemukan pada 10 hari
terjadinya infeksi
pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada pengaruh antara 27
kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. 3
Arabi
Analisa terhadap
III/C
Penggunaan antibiotik
et al., 2005
insidens infeksi
lokal maupun sistemik
ventrokulostomy dan
tidak menurunkan resiko
evaluasi terhadap faktor
infeksi pada
resikonya.
pemasangan kateter ventrikel.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections: Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43. Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy
infections:
the effect of
monitoring duration and catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg 1996;85:419–24. Sundbarg
G,
Nordstrom
prolonged
C-H,
ventricular
Soderstrom
S.
Complication
due
to
fluid pressure recording. Br. J Neurosurg
1988;2:485–95. Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong Journal of Emergency Medicine
V.4 Rekomendasi penggunaan analgetik Standard
: Belum ada data pendukung
Guideline
1. Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari. 2. Obat-obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa diberikan per-oral. 3. Ketoprofen
supp
dan
acetaminophen
supp
bermanfaat
mengurangi nyeri pada COR.
28
Option
1.
Belum ada data yang tidak membolehkan metamizol diberikan pada pasien trauma kepala (Insiden agranulocytosis 92% terjadi pada 2 bulan pertama pemakaian metamizol)
2.
Indometasin dapat bermanfaat untuk menurunkan tekanan intrakranial yang refrakter pada cedera kepala berat.
Penjelasan rekomendasi : Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX). Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama dalam menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.
Indometasin merupakan golongan NSAID yang mempunyai sifat anti inflamasi, analgesik dan antipiretik melalui efek inhibisi reversibel terhadap enzim COX. Indometasin
dapat
berfungsi
sebagai
terapi
alternatif
dalam
manajemen
peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter pada COB. Namun mekanisme aksi indometasin dalam menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan tekanan intrakranial masih belum dipahami sepenuhnya.
Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau 30 mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan dengan dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal.
29
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR II/B
Kesimpulan
Jacobi J
Review literatur pada
Ketorolac dan
et al., 2002
Medline search 1994-2001
acetaminophen boleh
untuk penyusunan
digunakan pada pasien
guideline dengan review
trauma kepala
dari metaanalisis dan tabel evidence 2
3
Hedenmalm Secara retrospektif
III/C
Insiden agranulocytosis
K et al.,
membahas laporan kasus
92% terjadi pada 2 bulan
2002
agranulocytosis akibat
pertama pemakaian
pemakaian metamizole
metamizole
Roberts
Review : Peran
et al., 2002
III/C
Indometasin
indometasin pada
dipertimbangkan pada
penanganan cedera kepala
penanganan cedera kepala dengan peningkatan TIK yang refrakter
4
Prasetya H,
eksperimental semu pada
II/B
Ketoprofen dan
Bajamal
pemakaian ketoprofen dan
acetaminophen bermanfaat
A.H., 2005
acetaminophen pada COR
mengurangi nyeri pada COR
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Hedenmalm
K
associated
et al. with
Agranulocytosis
and
other
blood
dyscrasias
dipyrone (metamizole). Eur J Clin Pharmacol
2002;58(4):265-74. Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives and analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm 2002;59(2):150-78 30
Prasetya H, Bajamal A.H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian Paracetamol
650
mg
Suppositoria
Suppositoria
terhadap Nyeri
denganKetoprofen
Kepala
100
mg
pada Penderita Cedera Otak
Ringan. Karya Akhir, 2005. Roberts R, Redman J. Indomethacin - A Review of its Role in the Management of Traumatic Brain Injury. Critical Care and Resuscitation 2002; 4: 271280 V.5 Rekomendasi penggunaan kortikosteroid Standard
: Penggunaan glukokortikoid tidak direkomendasikan untuk pasien dengan COB. Glukokortikoid tidak meningkatkan keluaran dan menurunkan TIK pada pasien dengan COB
Guideline
: Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar otak secara statistik hasil terapi tidak berbeda bermakna
Option
: Tidak
ada
penurunan
angka
kematian
dengan
pemberian
metilprednisolon dalam 2 minggu setelah cedera kepala
Penjelasan rekomendasi : Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagian reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu.
Pada beberapa kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi bisa timbul perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan mortalitas dan manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid dibeberapa penelitian menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien dengan cedera otak.
31
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi
Kasan U., 1994
Penelitian prospektif
TP/DR Kesimpulan II/B
Outcome terapi dengan
komparatif penggunaan
dan tanpa
dengan dan tanpa
kortikosteroid pada
kortikosteroid pada
pasien memar otak
pasien cedera otak
secara statistik tidak berbeda bermakna
2
Aiderson P., 1997
Penelitian Randomized
I/A
Review sistemik pada
Controlled Trials untuk
RCT untuk
menilai kuantitas
kortikosteroid pada
efektifitas dan
cedera otak akut
keamanan tentang
menunjukan efek yang
penggunaan
tidak jelas
kortikosteroid pada trauma kepala 3
4.
CRASH trial
Penurunan angka
collaborators,
kematian dengan
angka kematian
2004
pemberian
dengan pemberian
metilprednisolon dalam
metilprednisolon dalam
2 minggu setelah
2 minggu setelah
cedera kepala
cedera kepala
Alderson P., 2005
Penelitian Randomized
III/C
I/A
Tidak ada penurunan
Penelitian yang
Controlled Trials untuk
terbesar menyimpulkan
menilai kuantitas
mortalitas dengan
efektifitas dan
steroid pada penelitian
keamanan tentang
ini menyarankan
penggunaan
steroid tidak lagi
kortikosteroid pada
digunakan rutin pada
trauma kepala
cedera otak
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
32
Referensi Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005 CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death within 14 days in 10 008 adults with clinically significant head injury (MRC CRASH trial): randomized placebo-controlled trial Lancet 2004; 364: 1321–28 Alderson P. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of randomized controlled trials, BMJ 1997. Kasan U. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif Komparatif dengan dan tanpa penggunaan Kortikosteroid, disertasi 1994. V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer Standard
: Baik propofol, midazolam, ataupun kombinasi keduanya dinyatakan aman untuk pasien dengan trauma kepala.
Guideline
1. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. 2. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara awal. 3. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak.
Option
:-
Penjelasan rekomendasi : Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak, dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic 33
window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis. Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK.
Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3 mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20 menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan 510mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam. Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti infus siringe
pump
(0.3-7.5
mg/kgBB/jam)
atau
thiopental
1-6
mg/kg/hr.
Dexmedetomidine diberikan dengan loading dose 0,5-1 mcg/KgBb selama 10 menit, diikuti dengan dosis maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam. Analgesia and sedation strategy in patients with various acute neurological conditions Head injury,
Head injury,
Cerebrovascular
Hepatic
Alcohol
mechanical
spontaneus
accident
encelophaty
withdrawl
ventilation,
breathing GCS
GCS ≤ 8
>8
syndrome
Analgesia
Opioids
NSAID
-
-
-
Sedation
Midazolam
Light sedation:
Light sedation:
Isoflurane for
Midazolam
Propofol
propofol &
propofol &
short periods
Other
Barbiturates
midazolam
midazolam
benzodiazepines
(Uncontrolled
Neuroleptic.
Neuroleptic.
Clonidine
ICP)
Phenothiazine
Phenothiazine
Neuroleptics Clomethiazole
Antagonist
No
No
No?
Yes
Yes
Monitoring
Vital functions,
Vital functions,
Vital functions,
Vital functions,
Vital functions,
invasive
neurologial
neurologial
neurologial
neurological
haemodinamic
functions
functions
functions, liver
function.
monitoring,
function tests
ICP SjO2 GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs; SjO2, oxygen saturation of the jugular vein.
34
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR I/A
Kesimpulan
Sanchez
Meneliti safety dan
Baik propofol, midazolam,
et al., 1998
efficacy penggunaan
ataupun kombinasi keduanya
propofol; midazolam
dinyatakan aman untuk pasien
araupun kombinasi
dengan trauma kepala.
propofol dan midazolam pada pasien trauma kepala 2
Karabinis
Meneliti safety dan
I/A
Waktu pemeriksaan
et al., 2004
efficacy sedasi
neurologis lebih cepat dan
berbasis analgesia
lebih mudah diprediksi dengan
menggunakan
menggunakan ramifentanil
ramifentanil,
dibandingkan dengan
kombinasi dengan
penggunaan fentanil ataupun
midazolam dan
morphin.
propofol dibandingkan dengsn fentanil, morphin kombinasi dengan midazolam dan propofol di unit perawatan neurointensif. 3
Chen HI
Meneliti penggunaan
III/C
Penggunaan barbiturat dapat
et al., 2008
barbiturat terhadap
meningkatkan oksigenasi
keadaan intractable
jaringan otak pada penderita
peningkatan TIK
dengan TIK yang meningkat
ketika penggunaan
pasca trauma.
terapi sedasi dan terapi osmotik gagal.
35
4
Shigemori
Pertimbangan
M et al.,
penggunaan sedasi
II/B
2012
Diazepam dapat digunakan pada kasus epilepsy tetapi tidak cocok untuk mengevaluasi tingkat kesadaran. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi: Chen HI, Malhotra NR, Oddo M, Heuer GG, Levine JM, LeRoux PD. Barbiturate infusion for intractable intracranial hypertension and its effect on brain oxygenation. Neurosurgery. 2008 Nov;63(5):880-6; discussion 886-7. doi: 10.1227/01.NEU.0000327882.10629.06. Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with severe brain trauma. Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35 Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive care unit patients with brain injuries: a randomized, controlled trial. Crit Care.2004;8(4): 268 - 80. Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the BrainFailure Patient. In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park GR and Sladen RN. Blackwell Science 1995. pp 130-144 36
Sanchez-Izquierdo-Riera JA et al. Propofol versus Midazolam: safety and efficacy
for sedating
the severe trauma patient. Anesth
Analg.
1998;86(6):1219-24. Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition. Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo) 52, 1 – 30, 2012. V.7 Rekomendasi pemberian nutrisi Standard
: Pemberian nutrisi dini
Guideline
1. Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total harus tercapai dalam 7 hari setelah trauma. 2. Kebutuhan nutrisi pasien cedera otak yang tidak dilumpuhkan sebesar 140% dari kebutuhan basal, dan pada pasien yang dilumpuhkan sebesar 100% dari kebutuhan basal 3. Nutrisi dapat diberikan secara enteral dan parenteral 4. Sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein 5. Pemberian lemak sebaiknya yang merupakan kombinasi LongChain Triglyserides (LCT) dan Medium-Chain Triglyserides (MCT)
Option
: Pemberian melalui gastrojejunostomy untuk menghindari masalah pengosongan
lambung
dan
memudahkan
pemberian
dan
terhindar dari tercabut saat pasien gelisah karena letaknya yang jauh dari wajah pasien Penjelasan Rekomendasi : Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feeding yang adekuat karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik pada pasien dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode pemberian mana yang paling baik
Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca 37
trauma. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding (lebih dari 1 minggu setelah trauma) berhubungan dengan nitrogen loss yang besar disertai penurunan berat badan sebesar 15% perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari ke-7, maka pemberian nutrisi harus dimulai paling lambat 72 jam setelah trauma atau cedera.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No. Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
1.
Calon B
Meneliti nilai metabolik MCT
et al.,1990
dan LCT pada penderita
menguntungkan
trauma kepala
pada metabolisme
II/B
Kesimpulan MCT memiliki efek
protein viseral pasca trauma 2.
Sarafzadeh
Mengukur perubahan
II/B
Hiperventilasi
et al.,2003
metabolik pada penderita
memiliki potensi
impending atau manifest
terjadinya efek
hypoxia pada pasien cedera
samping
otak. Meneliti safety dan
metabolisma
efficacy penggunaan propofol
cerebral. Keadaan
dan midazolam pada pasien
metabolisme cerebral
trauma kepala
anaerob tergantung dari derajat dan lamanya episode hipoksik
3.
Krakau K
Systematic review mengenai
I/A
Hasil review
et al., 2006
status metabolik dan terapi
menunjukkan
nutrisi pada penderita cedera
peningkatan
otak sedang – berat
metabolic rate, hiperkatabolisme, dan intoleransi gastrointestinal sampai 2 minggu 38
pasca trauma. Kecenderungan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah pada penderita yang mendapat early feeding 4.
Aaron M. Cook
Review artikel
III/C
et al., 2008
Terapi nutrisi termasuk pemberian cairan yang tepat dan monitoring elektrolit yang ketat untuk mencegah kelebiihan cairan, elektrolit atau glukosa yang dapat merugikan pasien.
5.
Roger Hartl
Penelitian retrospektif pada
III/C
Jumlah nutrisi
et al., 2008
pasien dengan cedera otak
berhubungan dengan
berat dan pemberian nutrisinya
mortalitas.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi: Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008 Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients. Infusiontherapie.1990;17(5):246-8. Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67. Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic brain injury. 2008 39
Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest cerebral hypoxia in traumatic brain injury. Br J Neurosurg. 2003;17 (4) : 340-6 V.8 Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Supresssor Agent Standard
: Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid supressive agent dengan H2 blocker, proton pump inhibitor (PPI), dan gastric mucosal protector dapat membantu penurunan insiden perdarahan gastrointestinal dan stress related mucosal damage (SRMD). Proton pump inhibitor (PPI) lebih dianjurkan karena memiliki karakteristik cara kerja dan durasi kerja yang lebih baik dibandingkan H2 Blocker dan gastric mucosal protector
Guideline
:-
Option
:-
Penjelasan rekomendasi Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent
dapat menurunkan insiden
perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan PH asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde (Messori et al., 2000., Michelle et al., David C. Metz, 2005)
Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50 mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena perinfus dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector diberikan dengan dosis 1 gr/6 jam.
40
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
2
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR I/A
Kesimpulan
S Trippoli,
Meta analisis dari
et al.,
penelitian tentang
sucralfat kurang efektif dalam
2000
penggunaan ranitidine
pencegahan perdarahan
versus sucralfat dalam
gastrointestinal yang
pencegahan stress ulcer
disebabkan oleh stress ulcer I/A
Pemberian ranitidine dan
Michelle
Meta analisis dari
Pemberian obat profilaksis
E, Allen,
Randomized Controlled
untuk pencegahan perdarahan
2004
Trials tentang
gastrointestinal yang
profilaksis terapi
disebabkan oleh stress ulcer
terhadap stress ulcer
memberikan hasil yang sedikit significan dalam menurunkan insiden perdarahan gastrointestinal
3
David C.
Meta analisis dari
Metz,2005 Randomized Controlled
I/A
Pemberian regimen acid suppressive agent dapat
Trials tentang
mencegah terjadinya SRMD
penggunaan acid
dan stress ulcer dengan
suppressive agent untuk
menjaga keasaman lambung.
pencegahan SRMD dan stress ulcer Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of StressRelated Mucosal Disease. Medscape. 2005 Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of HealthSystem Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79. S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in intensive care patients given ranitidine and sucralfate for prevention
41
of stress ulcer: meta-analysis of randomized controlled trials. BMJ 2000;321:1103-07 V.9 Rekomendasi penggunaan Citicoline Standard
: Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo
Guideline
1. Pemberian citicolin pada pasien sindroma post concussion, ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala pasca comotio 2. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pasca cedera menunjukkan perbaikan yang bermakna
Option
: Pemberian Citicolin pada jangka waktu lama setelah cedera Otak dapat memberikan peningkatan kemampuan Kognitif
Penjelasan Rekomendasi : Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak dan menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2.
Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala sindroma post concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya. Pemberian dapat diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil penelitian : a) Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo b) Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin dibanding tanpa pemberian obat tersebut
42
a) Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan adanya pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian citicoline
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No
Penulis
1
Levin HS, 1991
Deskripsi penilaian Penelitian double blind
TP/DR II/B
Kesimpulan Hasil: adanya perbaikan
placebo-control untuk
dalam fungsi memori
menilai efikasi
pada pasien dengan
citicoline dengan
pemberian citicoline
pemberian 1 gram
dibanding dengan tanpa
tablet selama 1 bulan
pemberian obat tersebut
pada 14 orang untuk
(p<0,02)
pengobatan tanda dan gejala sindroma post concussional setelah cedera otak ringan dan sedang 2
Calatayud MV,
Penelitian single blind
II/B
Hasil: adanya perbaikan
Perez JB, Aso
randomized pada 216
dalam fungsimotor,
Escario J., 1991
pasien cedera otak
kognisi dan psikis serta
sedang dan berat
didapatkan adanya
yang menerima
pemendekan masa
pengobatan citicoline.
waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian citicoline
3
Spiers
Laporan kasus 2
III/B
Citicoline memberikan
PA,Hochanadel
pasien dengan
hasil perbaikan fungsi
G, 1999
pemberian citicoline
kognisi setelah cedera
selama 1,5 sampai 4
otak sedang dan berat.
tahun setelah cedera otak 43
4
Zafonte et al,
CORBIT (The
I/A
Citicoline tidak
2009
Citicoline Brain Injury
memberikan perbaikan
Treatment), suatu
outcome yang signifikan
RCT besar yang
dibandingkan dengan
menilai efektifitas
kelompok placebo
pemberian citicoline terhadap outcome fungsional pasien dengan cedera kepala Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi: Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J Neurology Science.103: 539-42, 1991 Maldonado VC ef aI. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with head injury. JNeurology
Science. 103: 515-18, 1991
Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999 Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal of Neurotrauma 26:2207–2216 (December 2009) V.10 Rekomendasi Penggunaan Piracetam Standard
: Belum ada data pendukung
Guideline
1. Pemberian
piracetam
dengan
dosis
24-30
gr/hari
secara
bermakna dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis pada pasien cedera otak. 2. Setelah pengobatan piracetam 8 minggu dengan dosis 4800 mg ditemukan
pengurangan
tanda dan
gejala sindroma post
concussional seperti vertigo, sakit kepala, kelelahan, gangguan kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain. 3. Dosis 40-50 mg/kg (1600 – 2400 mg/hari) memberikan hasil yang positif untuk memperbaiki kondisi pasien yang dapat dilihat pada parameter kemampuan fungsi kognitif (memori, atensi) dan 44
fungsi koordinasi motorik Option
: Dosis tinggi piracetam (24-30 g/hari) memperbaiki kondisi pasien jika pengobatan dimulai segera setelah cedera.
Penjelasan Rekomendasi : Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal → dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD.
Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30 gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan dosis PO 4,8 gr/hari.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No
Penulis
1 Hakkarainen
Deskripsi penelitian Penelitian double-blind
TP/DR
Kesimpulan
II/B Hasil: setelah pengobatan,
H., Hakamies dengan 60 pasien dengan
8 minggu ditemukan
L., 1978
sindroma post concussion
pengurangan tanda dan gejala
yang diberikan selama 2-
sindroma post concussion
12 bulan, dengan dosis
seperti vertigo, sakit kepala,
4800 mq perhari.
kelelahan, gangguan kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain.
2 Goscinski l,
Penelitian prospektif
II/B Hasil: Dosis 24-30 g/hari
et al., 1998
kasus-kontrol untuk
memberikan hasil yang positif
mengetahui efektifitas
untuk memperbaiki kondisi
pemberian piracetam
pasien yang dapat dilihat pada
pada 100 pasien cedera
parameter: partial oxygen 45
otak sedang dan berat 3 Goscinski l, et al., 1999
pressure dan kadar gula darah
Penelitian observasional
III/C Hasil: dosis tinggi piracetam
yang dilakukan pada tahun
(24-30 g/hari) memperbaiki
1995-1996 dengan jumlah
kondisi pasien jika pengobatan
pasien 100 orang untuk
dimulai segera setelah cedera.
mengetahui pengaruh piracetam pada cedera otak. 4 Zavadenko
Penelitian prospektif
II/B Hasil: Dosis 40-50 mg/kg
NN, et al.,
case/control untuk
(1600 – 2400 mg/hari)
2008
mengetahui efektifitas
memberikan hasil yang positif
pemberian piracetam
untuk memperbaiki kondisi
pada 42 pasien trauma
pasien yang dapat dilihat pada
kepala tertutup cedera
parameter kemampuan fungsi
otak sedang dan berat
kognitif (memori, atensi) dan fungsi koordinasi motorik.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi: Hakkrainen, H. & Hakamies, L.
Piracetam in the treatment of
post-
concussional syndrome. Eur Neurol 17, 50-55, 1978 Goscinski l, Sliwonik S, SondejT, KwiatkowskiS, Moskala M, CichonskiJ, Wegrzyn D, Uhl H, Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol Neurochir Pol Sep-Oct;32(5):1't 89-97, 1 998 Goscinski l, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T, Clinical observations conceming piracetam treatment of patients after craniocerebral injury, Przegl Lek;56(2):1 19-20, 1999 Zavadenko NN, Guzilova LS, The consequences of closed traumatic brain injury and piracetam efficacy in their treatment in adolescents. Neurosci Behav Physiol; 108(3):43-8, 2008.
46
V11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptida Standard
Belum ada data yang mendukung
Guideline
Belum ada data yang mendukung
Option
Neuroprotektif pada cedera otak traumatik untuk mencegah dan mengurangi pemulihan
cedera dari
sekunder,
cedera.
serta
meningkatkan
Neuroprotektif
ditargetkan
proses untuk
mengurangi kerusakan otak dan memberikan harapan yang bagus pada kasus cedera otak dan stroke.
Penjelasan Rekomendasi: Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah dan
mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera,
sedangkan tujuan neuroprotektif pada stroke adalah untuk mencegah kematian saraf
di daerah
penumbra. Ada mekanisme absolut
dan
relatif
proses
neuroprotektif. Mekanisme relatif meliputi : modulasi saluran kalsium, modulasi saluran sodium, modulasi antagonis NMDA reseptor, modulasi antagonis GABA reseptor,
antioksidan, anti radikal bebas, adesi molekul, agonis dan antagonis
adenosin. Mekanisme absolut meliputi : faktor neurotropik, neurotrophic factor-like molecules, sitokin.
Faktor neurotropik berperan dalam : pembangunan ontogenetik
yang berperan
dalam kontrol selular proliferasi dan diferensiasi (ekspresi dari fenotipe mediator, saluran ion, pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada tidak merusak agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan daya tahan sel neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia, eksisitotoksis, zat toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan aktivitas sinaptik dalam proses belajar
47
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1.
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
Kesimpulan
Muresanu
Review , neuroprotektif III/C
Neuroprotektif meningkatkan
et al., 2007
pada cedera otak
daya tahan sel neuron akibat
traumatik adalah untuk
agen yang merusak
mencegah dan
(hipoksia, iskemia,
mengurangi cedera
hipoglikemia, eksisitotoksis,
sekunder, serta pada
zat toksik, dan trauma)
proses pemulihan dari cedera. 2.
Teasdale, G.M
Review, neuroprotektif III/C
Konsep neuroproteksi telah
et al., 1997
ditargetkan untuk
semakin luas diketahui
mengurangi kerusakan
dengan memberikan terapi
otak dan memberikan
sedini mungkin dan banyak
harapan yang bagus
hal-hal baru yang diketahui
pada kasus cedera
berperan dalam mekanisme
otak dan stroke
cedera otak dan banyak dikembangkan secara luas obat neuroprotektan yang punya target yang spesifik
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page: 154-165 Teasdale, G.M & Bannan, P. E. 1997. Neuroprotection in Head Injury. In Head Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury. Editor : Reilly, P; Bullock, R. Page : 423-436. Chapman & Hall Medicaal. London. UK
48
V.12 Rekomendasi penggunaan sel punca (Stem Cell) Terapi sel punca telah mengalami kemajuan signifikan sebagai strategi pengobatan untuk berbagai penyakit selama dekade terakhir. Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak. Saat ini terdapat beberapa data dari banyak laboratorium bahwa pengobatan cedera otak (TBI), stroke, perdarahan intraserebral, cedera tulang belakang, dan penyakit neurodegeneratif menggunakan sel batang mesenchymal (MSC) menghasilkan manfaat fungsional, meskipun tanpa mengurangi lesi, menunjukkan bahwa sel-sel ini merangsang pemulihan fungsi dan merombak cedera jaringan. Tabel Pembuktian (Evidence) Clinical Trial No 1
Penulis
Deskripsi
Kesimpulan
Harting, T.M
Penelitian
Infus intravena sel punca mesenkimal
et al., 2008
prospektif
tidak menghasilkan hasil yang signifikan
menggunakan
dari sel yang rusak atau proses
hewan coba tikus
pemulihan motorik atau fungsi kognitif sampel.
2
Harting, T.M
Penelitian
Kombinasi sel punca embrionik
et al., 2009
prospektif
pluripotentiality dengan beberapa hasil
menggunakan
diferensiasi sel germinal memiliki
hewan coba tikus
kerangka kerja konseptual yang baru untuk perbaikan SSP.
3
Richardson
Review Literatur
Dengan paradigma baru neurogenesis
R.M et al.,
endogenik dan transplantasi diferensiasi
2010
NPC memberikan harapan pada terapi penyakit destruktif SSP seperti TBI dan SCI.
4
Tajiri N, et al.,
Experimental
Penurunan yang signifikan dari
2014
menggunakan
kerusakan dan kehilangan sel dari
hewan coba tikus
korteks dan hippocampus pada terapi Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
49
Referensi Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of traumatic
brain
injury.
J
Neurosurg
110:1186–1188,
2009.,
Departments of Neurology and Neurosurgery, Henry Ford Health System, Detroit, Michigan Harting TM., Baumgartner J.E., Worth L.L., Ewing-Cobbs L., Gee A.P., Cell therapies for traumatic brain injury, Neurosurg Focus 24 (3&4):E17, 2008 Harting TM., Jimenez F., Xue H., Fischer U.M., Baumgartner J., Intravenous mesenchymal stem cell therapy for traumatic brain injury, J. Neurosurg. / Volume 110 / Page 1189–1197 / June 2009 Richardson R.M., et all., Stem cell biology in traumatic brain injury: effects of injury and strategies for repair,. J Neurosurg 112:1125–1138, 2010 Tajiri N, et al. Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell protect
the
brain
from
traumatic
brain
injury-induced
neurodegeneration and motor and cognitive impairments: cell graft biodistribution and soluble factors in young and aged rats. J Neurosci. 2014 Jan 1;34(1):313-26. doi: 10.1523/JNEUROSCI.2425-13.2014 Vadivelu S., Platik. M.M., Choi L., Lacy M.L., Shah A.R. Multi-germ layer lineage central nervous system repair:nerve and vascular cell generation by embryonic stecells transplanted in the injured brain., J Neurosurg 103:124–135, 2005 VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN (GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT) VI.1 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Belum ada data yang mendukung
Option
: Pengambilan keputusan operatif atau non operatif berdasarkan keadaan klinis dan radiologis penderita. Indikasi pembedahan atau evakuasi massa dilakukan bila terdapat efek massa dan penurunan fungsi neurologi secara progresif 50
Indikasi pembedahan
:
1) Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm, atau 2) Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor
Waktu : Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito pembedahan atau evakuasi Metode : Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan, bagaimanapun juga craniotomy memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih baik
Penjelasan Rekomendasi : Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT Scan kepala awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada pasien non operatif dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm tanpa melihat GCS, dilakukan tindakan pembedahan karena efek massa yang signifikan. Pasien EDH dengan volume < 30 cc dan GCS < 9 disertai pupil anisokor secepat mungkin dilakukan tindakan evakuasi. Pasien EDH dengan volume <30 cc, ketebalan <15 mm, pergeseran midline <5 mm tanpa melihat GCS yang tidak disertai pupil anisokor dilakukan manajemen non operatif yang agresif. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis Mitesh V, 1998
Deskripsi Analisis Retrospektif
TP/DR III/C
Kesimpulan Pengambilan
terhadap 221 pasien
keputusan operatif
EDH
atau non operatif berdasarkan radiologis dan keadaan klinis penderita
51
2
Bullock
Manajemen
III/C
Evakuasi massa bila
et al., 2006
pembedahan
ada efek massa
hematoma epidural
dan penurunan fungsi neurologi secara progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Bullock
et al. Surgical management of
Acute Epidural Hematomas.
Neurosurgery 2006;58:7-15 Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland,
USA.Mitesh
V.
American
Journal
of
Neuroradiology
1998;20:115-6 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw Hill Co. New York. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill Co. New York. VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
1. Menurunkan TIK dengan drainase LCS
transventrikel dan
monitoring TIK, keduanya lebih penting daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10mm) 2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statitistik antara tindakan operasi dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan hematom subdural akut traumatika tipis. Option
: Indikasi
pembedahan
pada
SDH
akut
sesuai
penjelasan
rekomendasi. Dengan indikasi pembedahan sebagai berikut:
Indikasi pembedahan
:
SDH Akut 1)
Pasien SDH tanpa melihat GCS : 52
a. Dengan ketebalan > 10 mm b. Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan 2)
Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
3)
Pasien SDH dengan GCS < 9 : a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline, jika mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed c. Dan/atau TIK > 20 mmHg
SDH Kronis 1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau kejang 2. Ketebalan lesi > 1cm Waktu : Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi hematom. Metode : Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy dekompresi dan pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi tertentu. Penjelasan Rekomendasi : Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada efek SDH itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada tindakan evakuasi hematom. Tindakan drainase LCS transventrikel lebih baik dibandingkan dengan pembedahan evakuasi hematom dan dekompresi pada SDH tipis 53
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
Kesimpulan
II/B
Kemampuan untuk
Wilberger
Penelitian retrospektif analitik
et al.,1991
untuk mengetahui apakah operasi
mengontrol TIK
yang dilakukan kurang dari 4 jam
lebih berpengaruh
setelah trauma memberi hasil akhir
terhadap hasil akhir
yang lebih baik
dibandingkan waktu pelaksanaan evakuasi hematom
2
Widodo,
Penelitian prospektif eksperimental
II/B
Tidak ada
Kasan U,
untuk mengetahui perbedaan hasil
perbedaan
1999
akhir antara tindakan operasi dan
bermakna secara
konservatif pada penderita cedera
statitistik antara
otak berat dengan hematom
tindakan operasi
subdural akut traumatika tipis.
dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan hematom subdural akut traumatika tipis.
3
4
Hartanto,
Penelitian prospektif analitik
II/B
Kasan U,
evakuasi hematom dan dekompresi
pembedahan
2003
dibanding penanganan secara
(evakuasi
konservatif pada penderita dengan
hematom dan
cedera otak berat dengan
dekompresi) lebih
komplikasi hematom subdural
baik daripada
kurang dari 1cm dan efek massa
penanganan secara
lebih dari 5 mm.
konservatif. II/B
Tindakan
Thohari K,
Studi prospektif observasional
Tindakan drainase
Bajamal
untuk mengetahui perbedaan
CSF transventrikel
A.H.,
hasil akhir antara tindakan
lebih baik
2006
pembedahan evakuasi hematom
dibandingkan 54
dan dekompresi dengan drainase
dengan
CSF transventrikel pada penderita
pembedahan
dengan cedera otak berat dengan
evakuasi hematom
komplikasi hematom subdural
dan dekompresi.
kurang dari 1 cm dan efek massa lebih dari 5 mm. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA Greenberg, MS 2010, Handbook of Neurosurgery, 7th eds, Thieme, New York. Hartanto RA, Kasan U. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural akut tipis pada cedera otakberat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUDDr Soetomo. 2003 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Palmer JD. Head trauma in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New York 1997. pp. 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Thohari K., Bajamal A.H., Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis pada Penderita Cedera otak Berat.Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006 Valadka AB, Andrews BT, 2005, Neurotrauma: Evidence-Based Answers to Common Questions, Thieme, New York, Stuttgart. Widodo J., Kasan U. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita dengan komplikasihematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS IIlmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999 Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity, mortality, andoperative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.
55
VI.3 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Belum ada data yang mendukung
Option
: Indikasi, waktu dan metode pembedahan
Indikasi pembedahan : 1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah frontal atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan pergeseran struktur midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna. 2) Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc 3) Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi neurologis yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang refrakter dengan medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa pada CT scan.
Waktu dan Metode : Kraniotomy dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas. Kraniektomy dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan cerebral edema diffusa dan hipertensi intrakranial membandel dengan pengobatan. Prosedur dekompresi termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi temporal dan kraniektomy dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan hipertensi intrakranial yang membandel dan trauma parenkimal diffusa dengan klinis dan radiologis adanya impending herniasi transtentorial Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi
Soloniuk
Manajemen dan indikasi
et al, 1986
operasi ICH trauma
TP/DR III/C
kesimpulan Indikasi operasi dibuat berdasarkan data dari yang ada dan waktu kapan untuk dilakuan evakuasi.
2
De Luca
Pengalaman pengarang
et al, 2000
penanganan pasien
IV/C
Operasi dekompresi untuk peningkatan TIK 56
dengan peningkatan
harus dilakukan
tekanan intracranial.
sesegera mungkin, sebelum keadaan yang irrversibel terjadi.
3
Bullock
Manajemen bedah pada
et al., 2006
perdarahan parenkim otak
III/C
Evakuasi massa segera dilakukan bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Bullock et al. Surgical management of posterior
fossa mass
lesions.
Neurosurgery 2006;58:47– 55. Cooper PR (ed), 1993, Head Injury, 3rd ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland, USA. De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al. The role of decompressive craniectomy in the treatment
of
uncontrollable
post-traumatic
intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl 2000;76:401-4. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 Neurotrauma, MC Graw Hill Comp, New York. Palmer JD. Head Trauma in Manual of Neurosurgery Churchill Livingstone, New York 1997. pp 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al. Traumatic intracerebral hematomas: timing of appearance and indications for operative removal. J Trauma 1986; 26:787-94. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed MC Graw Hill Comp New York.
57
VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Belum ada data yang mendukung
Option
: Indikasi, waktu dan metode pembedahan
Indikasi pembedahan
:
1) Pasien dengan efek massa pada CT Scan kepala. Efek massa ditandai dengan : a) Kompresi atau obliterasi ventrikel IV b) Kompresi atau hilangnya sisterna basalis, atau c) Hidrosefalus obstruktif 2) Pasien dengan defisit neurologis
Waktu
:
Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukan segera bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi yang progresif dan penderita dengan GCS > 8 memiliki prognosa / outcome yang lebih baik Metode : Kraniektomi
suboccipital
merupakan
metode
yang
banyak
dipakai
dan
direkomendasikan untuk evakuasi lesi massa fossa posterior
Penjelasan Rekomendasi : Trauma yang berakibat lesi massa pada fossa posterior hanya berkisar 3% dari seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi massa fossa posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan ruang fossa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.
Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik. Terapi konservatif dapat dilakukan secara selektif pada kasus SDH fossa posterior Pasien dengan perdarahan cerebellum dengan diameter <3cm, atau tidak didapatkan defisit neurologis namun pada CT Scan terdapat efek massa, dapat diterapi konservatif dengan observasi ketat dan CT scan serial 58
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
2
Penulis
Deskripsi
TP/DR III/C
Kesimpulan
Kizikilc
Laporan kasus pasien
et al., 2003
SDH trauma fosa
dapat dilakukan secara
posterior dengan kista
selektif pada kasus
arakhnoid
SDH fosa posterior III/C
Terapi konservatif
Avella
Laporan kasus 24 pasien
Pada pasien dengan
et al., 2003
SDH trauma fosa
GCS > 8 yang segera
posterior
dilakukan operasi memiliki outcome yang lebih baik
3
Bullock
Manajemen bedah lesi
III/C
Evakuasi massa yang
et al., 2006
massa fosa posterior dari
segera bila ada efek
analisa 24 dokumen
masa dan penurunan
medline secara review
fungsi neurologi
sistematis
progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Avella
et
al.
Traumatic
Subdural
Hematomas
of
posterior
fossa :
Clinicoradiological analysis of 24 patients. 2003. Bullock et al. Surgical management of Posterior fossa mass lession. Neurosurgery 2006;58:47-55 Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland, USA Kizikilc et al. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with an Arachnoid Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003; 29: 242-6 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw Hill Co. New York. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill Co. New York. 59
VI.5 Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Pemberian antibiotika profilaksis untuk pencegahan meningitis pada fraktur basis cranii tidak bermakna dibandingkan placebo
Option
: Penatalaksanaan Fraktur basis cranii terdiri dari perawatan konservatif dan atau tindakan pembedahan
Indikasi pembedahan
:
1. Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan meningitis. 2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule 3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah 4. Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari
Waktu : Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi insiden infeksi Metode : Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal. Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang petrosus.
Diusahakan
melakukan
penutupan
primer,
namun
bila
tidak
memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk menutupi defek. Tindakan operasi untuk Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yamg diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.
60
Penjelasan Rekomendasi
:
Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS yang persisten, fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan pendengaran, atau kebutaan.
Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama 5 hari untuk memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir menganjurkan pemberian PNC 1-2 juta unit/hari pada kasus kebocoran LCS. Kultur nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur. Pasien dipertahankan dalam posisi bed rest total dengan elevasi posisi the head of bed, untuk mengurangi aliran LCS.
Bila kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi konservatif, pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS perhari selama 3-4 hari. Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu penutupan secara spontan.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penilaian
TP/DR
Kesimpulan
II/B
Pemberian obat antibiotik
Turchan A.
Prospektif case
1995
control insiden
propilaksis untuk
meningitis pada
pencegahan meningitis
pemberian antibiotik
pada fraktur dasar
pada fraktur dasar
tengkorak tidak
tengkorak
bermakna dibandingkan placebo.
2
Katzen T.
Review beberapa
III/C
Penanganan fraktur dasar
et al., 2007
penelitian tentang
tengkorak dapat
fraktur dasar
dilakukan dengan
tengkorak
konservatif bila tidak didapatkan indikasi pembedahan. 61
3
Bachli H,
Review beberapa
III/C
Penanganan pembedahan
et al., 2009
penelitian mengenai
dari fraktur basis kranii
tingkat keparahan
secara bermakna dapat
dari fraktur basis
didasarkan dari tingkat
kranii
keparahannya (CMF-ISS)
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Bachli H, et al. Skull base and maxillofacial fractures: Two centre study with correlation ofclinical findings with a comprehensive craniofacial classification system. Journal of Cranio-Maxilofacial Surgery. 2009;37: 305-311 Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA. Greenberg, Mark S. 2010. Handbook of NeuroSurgery 7th Ed. Thieme Publishers, pp 887-889. Katzen T., Janahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK. Craniofacial and Skull Base Trauma. 2007. Available at \AMM/. Skull Base lnstitute' Kaye AH. Essential Neurosurgery.Blackwell Publishing, Ltd. Massachusetts. 2005 pp 50-51 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal Mencegah
Komplikasi Meningitis Bakteri Pada Penderita Patah
Tulang Dasar Tengkorak.Laboratorium
llmu Bedah RSUD Dr Soetomo.
Fakuhas Kedokteran UniversitasAirlangga. 1995 Wahyuhadi J, dkk. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Tim Neurotrauma RSUD Dr Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007, pp 5, 31-32
62
VI.3 Rekomendasi Pembedahan pada Diffuse Axonal Injury (DAI) Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
1. Pasien
dengan
DAI
tanpa lesi
massa
memiliki
tekanan
intrakranial yang normal sehingga pemasangan ICP monitor tidak diperlukan 2. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan menurunkan terjadinya vasospasm. Option
:-
Penjelasan Rekomendasi : Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa lesi massa harus diintubasi atau ditracheostomy untuk proteksi terhadap jalan nafas, dan diberikan oksigen dengan monitoring terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien harus mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal nafas atau klinis pasien yang mengalami perburukan. Dapat diberikan sedasi ringan dengan midazolam i.v tunggal atau kombinasi dengan morphine. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan menurunkan terjadinya vasospasm. Nimodipine diberikan dengan dosis 60 mg setiap 4 jam segera setelah pasien masuk RS Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi
TP/DR II/B
Kesimpulan
Farhaoudi M
Efek nimodipine pada
Nimodipine memperbaiki
et al., 2007
hemodinamik cerebral,
prognosis pasien dengan
vasospasm dan prognosis
diffuse axonal injury dan
jangka pendek pasien
menurunkan terjadinya
dengan diffuse axonal
vasospasm.
injury 2
Liew B
Keluaran pasien cedera
II/B
Pasien dengan DAI tanpa
et al., 2009
otak berat dengan diffuse
lesi massa memiliki
axonal injury yang diterapi
tekanan intrakranial yang
dengan manajemen ICP-
normal sehingga
CPP dibandingkan terapi
pemasangan ICP monitor 63
konservatif di RS. Sultanah
tidak diperlukan bila
Aminah, Johor Bahru
dibandingkan dengan bentuk cedera otak berat yang lain. Keluaran pasien dengan diffuse axonal injury yang diterapi secara konservatif lebih baik dalam hal lama rawatan di RS/ICU dan perbaikan GCS
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Farhoudi M et all., Effects of nimodipine on cerebral hemodynamics, and prognosis of diffuse axonal injury patients. Neurosciences 2007; Vol. 12 (4) Liew B et al., Severe Traumatic Brain Injury: Outcome in Patients withDiffuse Axonal Injury Managed Conservatively in Hospital Sultanah Aminah, Johor Bahru – An Observational Study. Med J Malaysia Vol . 64 No. 4 December 2009
64
VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT ) VII.1 Indikasi
pemasangan
alat
pantau
tekanan
intrakranial-
Ventrikulostomi Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mmHg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan lebih baik dinilai dari status kognitif.
Option
: Indikasi dan metode pemasangan ICP monitor
Indikasi : 1. Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB (GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal (hematoma, contusio, edema serebri atau penyempitan sisterna basalis). 2. ICP monitor juga dipasang pada pasien COB dengan CT Scan kepala normal jika didapatkan 2 atau lebih dari hal berikut : a. Usia > 40 tahun b. TDS < 90 mmHg c. Postural bilateral atau unilateral
Metode: Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler, dengan lokasi insersi pada titik kocher.
Penjelasan Rekomendasi
:
Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP adalah dengan memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu.
65
Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
Kesimpulan
II/B
Pasien dengan cedera kepala
Randall M.
Monitoring tekanan
et al., 2012
intrakranial
berat dengan tekanan intra
dipertimbangkan
kranial 20 mm Hg atau lebih
sebagai terapi standar
rendah memberikan outcome
untuk pasien cedera
yang signifikan dinilai dari
kepala berat
status kognitif.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Palmer JD. HEAD TRAUMA in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New York 1997. pp 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring in Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81. Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw Hill Comp New York.
VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Belum ada data yang mendukung
Option
: Beberapa option dalam penanganan ICP
66
Penjelasan rekomendasi : Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:
Pemasangan ICP Monitor
Menjaga CPP>70 mmHg
Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)
Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB
Hyperventilation PaCO2 30-35 mmHg
Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCo2<30mmHg, Hypothermia, Decompressive Craniecktomy.
67
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I
Pemasangan ICP Monitor
Menjaga CPP>70mmHg
Hipertensi TIK
CT Scan ulang
Pertahankan terapi TIK
Manitol 0.25-1.0 g/KgBB
ya a
Hipertensi TIK?
tidak j
Hiperventilasi sampai PaCO2 30-35mmHg
ya
Hipertensi TIK?
tidak
Terapi tersier penanganan TIK
Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma November 1996)
68
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II
Sedasi dan analgesik
Penggunaan Ventilator (PaCO2 30-35 mmHg, PEEP sampai 10 cmH2O)
Head Up 30° dengan leher yang lurus Terapi Dasar Terapi Lanjutan Manitol
THAM
Cairan hipertonik
Drainase CSF
Decompressive Craniectomy
Koma dengan barbiturat
Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions. 2004
69
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III
Sedasi
Drainase CSF
Manitol
Mild Hiperventilasihipothermi 32
Hiperventilasi agresif
Barbiturat
Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997
70
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
2
3
Pengarang
Diskripsi
Bullock
Jalur kritis
et al., 1996
penanganan TIK
Peter Reilly,
Algoritma
1997
penanganan TIK
Valadka
Algoritma
et al., 2004
penanganan TIK
TP/DR
Kesimpulan
III/C
Sesuai skema I, drainase CSF setelah itu manitol
III/C
Skema III,drainase CSF dulu baru pemberian manitol
III/C
Sesuai skema II, pemberian manitol setelah itu drainase CSF
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury, Journal of Neurotrauma,November 1996. Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury, 1997 Valadka, Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004
71
VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIK PADA ANAK
VIII.1 Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi Standard
: Belum ada data yang cukup
Guideline
: Hipotensi harus segera diatasi dengan cairan resusitasi
Option
: Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS ≤8
Penjelasan Rekomendasi
:
Pada anak, hipotensi didefenisikan sebagai penurunan tekanan darah dibawah 5 persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah TDS (persentil kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula : 70 mmHg + (2 x Usia dalam tahun). Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri dan End-tidal CO2 monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala. Hipoksia didefenisikan sebagai : apnea, Cyanosis, PaO2 < 60-65 mmHg, atau saturasi oksigen 90%. Cyanosis sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya hipoksia pada anak-anak.
Hipoventilasi didefenisikan sebagai pernafasan yang tidak adekuat sesuai usianya, pernafasan yang tidak teratur dan dangkal, periode apnea yang sering, atau didapatkan tanda hiperkarbia. Hipoventilasi adalah indikasi untuk dilakukan kontrol jalan nafas dan assisted ventilation dengan oksigen 100%.
Pada anak, resusitasi cairan merupakan indikasi bila didapatkan tanda-tanda penurunan perfusi meskipun tekanan darah sudah adekuat. Syok biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, evaluasi adanya cedera spinal atau cedera lainnya harus dilakukan. Restriksi cairan untuk membatasi edema otak merupakan kontraindikasi pada penanganan cedera otak. Jika akses vaskuler perifer sulit didapatkan, infus intraosseus dan obat-obatan harus dilakukan.
Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi, 72
sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia, hipotensi dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia meningkatkan angka mortalitas secara signifikan Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
Kesimpulan
Fisher
Penelitian double-blind cross
III/C
et al, 1992
over membandingkan
3% dapat menurunkan
penggunaan cairan saline
TIK dan mengurangi
3% (1025 mOsm/L) dan
intervensi yang lain
0,9% (308 mOsm/L) pada
( thiopental dan
anak dengan cedera otak
hiperventilasi). Kadar
berat
Serum sodium
Cairan hipertonis saline
meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian saline 3% 2
Khanna
Studi prospektif tentang
III/C
Terjadi penurunan yang
et al., 2000
penggunaan cairan
signifikan pada TIK dan
hipertonis saline 3% (1025
peningkatan CPP selama
mOsm/L)
pemberian cairan saline 3% Timbulnya hipernatremi dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak
3
Peterson
Penelitian retrospektif untuk
III/C
Cairan hipertonis Saline
et al., 2000
mengetahui efek cairan
3%efektif dalam
hipertonis Saline 3% dalam
menurunkan TIK
menurunkan TIK 4
Simma
Penelitian prospektif random
III/C
Pasien yang diterapi
et al., 2000
terbuka membandingkan
dengan salin hipertonis
penggunaan saline
memerlukan intervensi 73
hipertonis (598 mOsm/L)
tambahan yang lebih
dengan ringer laktat yang
sedikit dibandingkan
diberikan lebih dari 3 hari
dengan pemberian
pada 35 anak dengan
dengan ringer laktat
cedera otak berat
dalam mengatur TIK. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan penggunaan ringer laktat
5
Sakellaridis
Penelitian prospektif untuk
II/B
Tidak ada perbedaan
et al., 2011
membandingkan efek dari
diantara kedua terapi
mannitol dan saline
baik dalam hal
hipertonis terhadap
penurunan ICP dan
hipertensi intrakranial pada
durasi kerjanya
pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severe refractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury. Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
74
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al . Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluid management in children with severe head injury : Lactated Ringer’s solution versus hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270
VIII.2 Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial Standard
: Belum ada data yang cukup
Guidelines
: Belum ada data yang cukup
Option
: ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera otak berat
Penjelasan Rekomendasi: ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari keadaan berikut : 1)
Motor posturing
2)
Hipotensi sistemik
Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan
terjadinya TIK yang
tinggi atau
menyingkirkan
penggunaan ICP monitor
ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT untuk mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau tanpa pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan resiko kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg (anak) merupakan faktor prediktif untuk hasil akhir yang jelek 75
Anak-anak dengan Cedera pada brain stem dengan TIK > 40 mmHg berhubungan dengan kematian dan vegetative state yang tinggi. Tujuan terapi pasien anak dengan cedera otak berat adalah normalisasi TIK (< 20 mmHg), optimalisasi CPP dan CBF, mencegah terjadinya cedera otak sekunder dan menghindari terjadinya komplikasi berkaitan dengan modalitas terapi yang bervariasi Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
Eder
Studi retrospektif pada
et al., 2000
anak dengan cedera
cedera pada batang otak
otak berat.
dan TIK > 40 mm
Membandingkan
berhubungan dengan
beberapa faktor dan TIK
kematian dan kondisi
monitor terhadap
vegetatif yang tinggi.
III/C
Kesimpulan Anak-anak dengan
outcome 2
Peterson
Penelitian retrospektif
III/C
Cairan hipertonis Saline
et al., 2000
untuk mengetahui efek
3% efektif dalam
cairan hipertonis Saline
menurunkan TIK.
3% dalam menurunkan TIK 3
4
5
Downard
Penelitian retrospektif
III/C
et al., 2000
pada anak yang
berhubungan dengan
dilakukan pemasangan
peningkatan resiko
TIK
kematian III/C
TIK > 20 mmHg
Chambers
Penelitian observational
et al., 2001
pada pada anak-anak
merupakan prediktif
dan dewasa yang
faktor untuk hasil akhir
dilakukan TIK dan CPP
yang jelek pada anak
monitor
dan dewasa III C
TIK > 35 mm
White
Penelitian retrospektif
14% survivor pada
et al., 2001
dan observasional
kelompok 1 dan 41%
terhadap 136 pasien di
nonsurvivor pada
NICU dan PICU dengan
kelompok 2 memiliki ICP 76
ICP monitor
> 20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan outcome yang baik.
6
Cruz
Penelitian retrospektif
III C
ICP yang tinggi pada
et al., 2002
mengenai efek dari
hari 1-5 pertama,
pemasangan ICP pada
berhubungan dengan
pasien pediatric
penurunan ekstraksi oksigen otak dan prognosis yang buruk.
7
Pfenninger,
Penelitian retrospektif
III C
Hipertensi intrakranial
Santi, 2002
mengenai hubungan
sebanding dengan
pengukuran ICP dan
prognosis buruk.
monitoring tekanan vena jugular dengan outcome pada pasien pediatric 8
Adelson
Penelitian rondomized
IIIC
ICP > 20 adalah
et al, 2005
controlled trial terapi
prediktor buruk untuk
hyptotermi dan
prognosis yang paling
normotermi pada terapi
sensitif. Rerata ICP yang
peningkatan TIK pada
rendah berhubungan
pasien pediatric
dengan prognosis yang baik
9
Wahlstrom
Penelitian observasional
et al, 2005
mengenai terapi
terbukti adanya
monitoring ICP
hubungan signifikan
menggunakan protokol
antara ukuran ICP dan
III C
Pada penelitian ini tidak
77
Lund pada pasien
outcomen pasien.
pediatri 10
Stiefel M,
Penelitian retrospektif
III/C
Pemasangan monitor
et al, 2006
pada pasien anak-anak
PO2jaringan merupakan
yang dilakukan
tambahan yang berguna
pemasangan monitor
dan aman pada
TIK dan PO2 jaringan
pemasangan monitor TIK
11
Grinkeviciute
Penelitian observasional
III C
Pada penelitian ini tidak
et al, 2008
satu senter mengenai
ada perbedaan outcome
hubungan beberapa
pada kelompok dengan
terapi TIK tinggi pada
tekanan ICP rerata baik
pasien pediatri
(22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg)
12
Jagannathan
Penelitian observasional
III C
Outcome yang baik
et al, 2008
mengenai terapi
berhubungan dengan
pemasangan ICP dalam
manajemen kenaikan
hubungannya dengan
TIK yang baik.
tindakan craniektomy dekompresi pada pasien pediatric Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate hypothermia
after severe traumatic brain injury in children.
Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of cerebral perfusionpressure and intracranial pressure in severe brain injury
by
using
receiver
operatingcharacteristic
curves
:
An
observational study in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :412-416 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and 78
intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion pressure and survival in pediatric brain-injured patients. J Trauma 2000; 49: 654-659 Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs Nerv Syst 2000;16: 21-24 Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Jagannathan J, Okonkwo DO, Yeoh HK, et al: Long-term outcomes and prognostic factors in pediatric patients with severe traumatic brain injury and elevated intracranial pressure. J Neurosurg Pediatr 2008; 2:240 –249 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results improving? Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Stiefel M, Joshua D, Storm P, et al : Brain tissue oxygen monitoring in pediatric patients with severe traumatic brain injury. J Neurosurg 2006; 105:281-286 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely headinjured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540 Wahlstrom MR, Olivecrona M, Koskinen LO, et al: Severe traumatic brain injury in pediatric patients: Treatment and outcome using an intracranial pressure targeted therapy— The Lund concept. Intensive Care Med 2005; 31:832– 839
79
VIII.3 Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat Standard
: Belum ada data yang cukup
Guidelines
: Belum ada data yang cukup
Option
1. Hipertensi intrakranial didefenisikan sebagai peningkatan patologis pada TIK 2. Tatalaksana segera dimulai bila TIK ≥ 20 mmHg 3. Interpretasi dan terapi hipertensi intrakranial didasarkan pada titik kritis TIK yang dikaitkan dengan : pemeriksaan klinis, pemantauan variabel fisiologis misal CPP dan foto serial
Penjelasan Rekomendasi : Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK < 20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan COB belum dapat ditegakkan
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
Kesimpulan
1
Shapiro and
Studi prospektif non random
III/C
Peningkatan TIK >20
Marmarou,
menentukan hubungan
mmHg berbanding
1982
antara TIK dan PVI (Pressure
terbalik dengan PVI
Volume Index)
(Pressure Volume Index)
2
3
Cho
Penelitian retrospektif pada
et al., 1995
shaken baby syndrome pada
bila TIK > 30 mmHg
pasien < 2 tahun, yang
dibandingkan TIK <
dipasang TIK / operasi.
20 mmHg
Sharples
Penelitian prospektif.
et al., 1995
Mengetahui hubungan antara
III/C
III/C
Outcome yang jelek
CBF berbanding terbalik dengan TIK
CBF dengan TIK
80
4
White
Penelitian retrospektif dan
III/C
14% survivors dan
et al., 2001
observasional terhadap 136
41% nonsurvivors
pasien di NICU dan PICU
memiliki ICP >
dengan ICP monitor
20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan outcome yang baik.
5
Cruz
Penelitian prospektif pada
III C
Rerata ICP 15-21
et al., 2002
terapi monitoring ICP pada
mmHg pada hari ke 2-
pasien pediatri.
5 didapatkan pada kelompok pasien pasien dengan outcome yang baik. Rerata ICP 19-26 mmHg pada hari ke 25 didapatkan pada kelompok pasien dengan outcome yang buruk.
6.
Pfenninger,
Penelitian retrospektif
III C
Hipertensi intrakranial
Santi, 2002
mengenai hubungan
dengan tinggi > 20
pengukuran ICP dan
mmHg sebanding
monitoring tekanan vena
dengan prognosis
jugular dengan outcome
buruk.
pada pasien pediatric 7
Adelson
Penelitian rondomized
et al., 2005
controlled trial terapi
IIIC
Rerata ICP pada anak-anak dengan
81
hyptotermi dan normotermi
prognosis baik (11.9
pada terapi peningkatan TIK
+ 4.7 mm Hg) vs
pada pasien pediatri
prognosis buruk (24.9 + 26.3 mm Hg). Ukuran ICP > 20 mmHg sebanding dengan prognosis buruk
8
9
Kan
Penelitian prospektif untuk
et al., 2006
mengetahui mortalitas dan
kraniektomi
morbiditas pada pasien anak-
dekompresi hanya
anak dengan cedera otak
untuk peningkatan
berat yang dilakukan
TIK memiliki
kraniektomi dekompresi
mortalitas yang tinggi
Grinkeviciute Penelitian observasional satu et al., 2008
III/C
III C
Pasien yang dilakukan
Tidak ada perbedaan
senter mengenai hubungan
outcome pada
beberapa terapi TIK tinggi
kelompok dengan
pada pasien pediatri
tekanan ICP rerata baik (22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg)
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate hypothermia
after
severe
traumatic
brain
injury
in
children.
Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact baby syndrome. Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 82
Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Kan P, Amini A, Hansen K, et al : Outcome after decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury in children. Journal Neurosurgery: Pediatrics 2006; 105:337-342 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results improving? . Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825 Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and metabolism in children with severe head injury. Part I : Relation to age, Glasgow Coma Score, outcome, intracranial pressure, and time after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely headinjured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540
VIII.4 Penggunaan Terapi Hiperosmolar Untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial Standard
: Pemberian manitol lebih baik dibandingkan dengan pemberian pentobarbital dan kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline.
Guidelines
: Tidak ada perbedaan diantara mannitol dan saline hipertonis terhadap hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera otak berat dalam hal penurunan ICP dan durasi kerjanya
Option
: Cairan hipertonis NaCl 3% dan manitol dapat digunakan untuk mengendalikan TIK
Penjelasan Rekomendasi
:
Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak. Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme : 83
1. Menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan mengurangi resultante diameter pembuluh darah → Penurunan volume darah otak dan TIK ( bersifat sementara < 75 menit ) 2. Efek Osmotik yang berkembang secara perlahan 15-30 menit, mengikuti pergerakan air secara graduil dari parenkim (ICF) ke sirkulasi (IVF) → efek timbul sekitar > 6 jam dan memerlukan Blood Brain Barrier yang intak Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 gr/kgBB -1 gr/kgBB. Persyaratan penggunaan manitol : 1. Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan 2. Pemasangan kateter urethra diwajibkan untuk mencegah ruptur buli 3. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L
Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) → me↓ TIK dan me↑ CPP. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1 ml/kgBB/jam-1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L. Kadar serum sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%. Timbulnya hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR III/C
Kesimpulan
Fisher
Penelitian double-blind
Cairan hipertonis saline
et al., 1992
cross over
3%dapat menurunkan
membandingkan
TIK danmengurangi
penggunaan cairan saline
intervensi yanglain
3% (1025 mOsm/L) dan
(thiopental
0,9% (308 mOsm/L) pada
danhiperventilasi).
anak dengan cedera otak
Kadar Serum
berat.
sodiummeningkat sekitar 84
7 mEq/Lsetelah pemberian saline3% 2
Khanna
Studi prospektif tentang
III/C
Terjadi penurunan yang
et al., 2000
penggunaan cairan
signifikan pada TIK dan
hipertonis saline 3%
peningkatan CPP selama
(1025mOsm/L)
pemberian cairan saline 3%Timbulnya hipernatremia dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak.
3
Peterson
Penelitian retrospektif
III/C
Cairan hipertonis Saline
et al., 2000
untuk mengetahui efek
3% efektif dalam
cairan hipertonis Saline
menurunkanTIK.
3% dalam menurunkan TIK. 4
Simma
Penelitian prospektif
III/C
Pasien yang diterapi
et al., 2000
random terbuka
dengan salin hipertonis
membandingkan
memerlukan intervensi
penggunaan saline
tambahan yang lebih
hipertonis (598 mOsm/L)
sedikit dibandingkan
dengan ringerlaktat yang
dengan pemberian
diberikan lebih dari 3 hari
dengan ringer laktat
pada 35 anak dengan
dalam mengatur TIK.
cedera otak berat
Groupdengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan 85
penggunaan ringer laktat 5
Wakai, 2013
Randomized control trial
I/A
Pemberian manitol lebih
dengan pemberian manitol
baik dibandingkan
pada pasien trauma akut
dengan pemberian
cedera otak sedang dan
pentobarbital dan kurang
berat
menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline.
6
Sakellaridis
Penelitian prospektif untuk
II/B
Tidak ada perbedaan
et al., 2011
membandingkan efek dari
diantara kedua terapi
mannitol dan saline
baik dalam hal
hipertonis terhadap
penurunan ICP dan
hipertensi intrakranial
durasi kerjanya
pada pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severerefractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury.Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluidmanagement in children with severe head injury : Lactated 86
Ringer’s solution versushypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270
VIII.5 Peran pengeluaran LCS Pada pengendalian TIK Standard
: Belum ada data yang cukup
Guidelines
: Drainase cairan serebrospinal (3 ml) secara signifikan mengurangi ICP dan meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit.
Option
: Pengeluaran atau drainase dapat dilakukan melalui kateter ventrikulostomi atau dikombinasi dengan drainase lumbal
Penjelasan Rekomendasi: Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI berat, didapat score ≤ 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya dilakukan ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index, dan angka kematian.
Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK, kematian
hanya
terjadi
pada
pasien
dengan
hipertensi
intrakranial
tak
terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus : 1) Hipertensi
intrakranial
yang
membandel
setelah
pamasangan
kateter
ventrikulostomi yang berfungsi baik, 2) Sisterna basal yang terbuka 3) Dan tidak ada gambaran lesi massa yang besar atau pergeseran kompartemen pada foto
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR III/C
Kesimpulan
Shapiro,
Penelitian retrospektif,
Drainage meningkatkan
Marmaron, 1982
22 pasien dengan EVD
PVI, menurunkan TIK,
ditentukan TIK/PVI
kematian hanya pada 87
pasien dengan TIK tak terkendali 2
3
Baldwin and
laporan serial klinis, lima
III/C
Tiga dari lima selamat
rekate, 1991-
pasien dengan drain
1992
lumbar
Levy
Penelitian retrospektif,
et al., 1995
16 pasien dengan
kematian pada dua
lumbar drain
pasien dengan TIK tak
setelah penurunan TIK
III/C
Penderita dari 16 orang ,
terkendali 4
Kerr E Mary,
Case control, untuk
II/B
Drainase cairan
et al., 2001
mengetahui efek
serebrospinal (3 ml)
drainase LCS pada ICP
secara signifikan
monitor terhadap
mengurangi ICP dan
perfusi otak
meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi : Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external lumbar drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg 1991-2; 17: 115-120 Kerr ME, et al : Dose response to cerebrospinal fluid drainage on cerebral perfusion in traumatic brain-injured adult, Neurosurg Focus 11 (4):Article 1; 1-6. 2001 Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in pediatric head injury. J Neurosurg 1995; 83 : 452-460. Shapiro K, Marmarou A : Clinical application of the pressure-volume index on treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825
88
VIII.6
Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB
Standard
: Belum ada data yang cukup
Guidelines
: Belum ada data yang cukup
Option
: Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2<35 mmHg) harus dihindari pada anak
Penjelasan Rekomendasi: Hiperventilasi → Hipocapnia (PaCO2 ↓) → Vasokonstriksi otak → Pe↓ CBF → pe ↓ volume darah otak → pe ↓ TIK. Terapi hiperventilasi menunjukkan keuntungan pada cedera otak dengan berbagai mekanisme yaitu : 1) Penurunan asidosis otak 2) Peningkatan metabolisme otak 3) Perbaikan tekanan darah dari aliran darah otak Hiperventilasi → Pe ↓ TIK dan pe ↑ CPP 4) Peningkatan perfusi pada area otak yang iskemia
Hiperventilasi ringan (PaCO2 30-35 mmHg) dapat dipertimbangkan pada kondisi hipertensi intrakranial yang tidak turun dengan : 1. Sedasi dan analgesia 2. Blokade neuromuskular 3. Pengeluaran LCS 4. Terapi hiperosmolar
Hiperventilasi agresif (PaCO2 < 30 mmHg) dapat dipertimbangkan sebagai terapi tingkat kedua pada hipertensi intrakranial refrakter. CBF, SaO2 vena jugularis, atau monitor oksigen jaringan otak dianjurkan untuk membantu mengidentifikasi terjadinya
iskemia
pada
kondisi
ini.
Hiperventilasi
agresif
singkat
dapat
dipertimbangkan pada kasus herniasi otak atau penurunan kondisi neurologis. Hiperventilasi dihubungkan dengan resiko iskemia iatrogenik. Hipocapnia (alkalosis respiratoris) menimbulkan pergeseran ke kiri dari kurva dissosiasi Hb-O2 → mengganggu pembawaan oksigen ke jaringan otak yang cedera dan masih intak. 89
Tidak ada bukti bahwa hiperventilasi sedang (PaCO2 25 – 30 mmHg) pada awal cedera otak dapat menyebabkan iskemia global ataupun regional. Meskipun aman, Hiperventilasi sementara masih diragukan manfaatnya.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR II/B
Kesimpulan
Stringer
Penelitian serial non
Iskemia karena
et al.,1993
randomuntuk pengukuran
hiperventilasi terjadi dan
CBF.Diukur TIK, CPP,
mempengaruhi jaringan
MAP,ETCO2, XeCT, CBF
otak yang cedera dan masih intak.
2
Skippen
Penelitian kohort
et al.,1997
prospektif,23 anak dengan
II/B
Bila PaCO2 turun, TIK akan turun dan CPP meningkat
cedera otakberat, GCS < 8. Umur 3 hingga 16 thn, rata-rata 11 tahun. PaCO2 dipertahankan pada > 35, 25-35 dan < 25torr 3
Diringer
Penelitian kohort
II/B
Hiperventilasi pada awal
et al.,2002
prospektif, 13 pasien
cedera otak tidak terbukti
dengan cedera otak berat,
menyebabkan iskemia
dibagi dalam 2 grup, membandingkan grup yang diterapi dengan hiperventilasi sedang, dan berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi : Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and Metabolic Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain Injury. J Neurosurg 2002;96:103-108 90
Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al. Effect of hyperventilation on regional cerebral blood flow inhead-injured children. Crit Care Med 1997; 25: 1402-1409 Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al. Hyperventialtion-induced cerebral ischemia inpatients with acute brain lesions : Demonstration by Xenon -enhanced CT.AJNR 1993;14: 475-484
VIII.7 Pembedahan Untuk Hipertensi Intrakranial Pada Pediatri Standard
: Belum ada data yang cukup
Guidelines
: Belum ada data yang cukup
Option
1. Kraniektomy dekompresi perlu dipertimbangkan pada pasien pediatri dengan: a. Cedera Otak Berat (COB) b. Edema serebri (brain swelling) c. Hipertensi intrakranial yang membandel terhadap terapi medis intensif d. COB dengan hipertensi intrakranial yang tampaknya akan mengalami perbaikan dari cedera otaknya. 2. Kraniektomy dekompresi tampaknya kurang efektif pada pada pasien cedera otak sekunder yang berat 3. Outcome yang baik dapat diharapkan pada kasus penurunan GCS sekunder dan atau sindroma herniasi otak yang masih dalam proses dalam waktu 48 jam pertama setelah cedera 4. Pasien dengan GCS 3 dan tidak membaik adalah kelompok dengan outcome yang tidak baik
Penjelasan Rekomendasi
:
Tindakan pembedahan secara umum bertujuan kontrol terhadap hipertensi intrakranial yang berat. Tindakan kraniektomy dekompresi untuk kasus traumatic brain injury pada anak-anak menurunkan TIK secara
signifikan (rata-rata
penurunan 9 mmHg). Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi lebih awal dan TIK tidak pernah > 40 mmHg 91
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No. Penuls 1.
Deskripsi Penelitian
Cho et al., 1995 Penelitian retrospektif pada
TP/DR Kesimpulan III/C
Pasien yang dioperasi
pada anak-anak dengan
survivalnya lebih baik
shaken baby syndrome yang
dibandingkan yang
dilakukan operasi
hanya mendapat
dekompresi atau terapi
terapi medis
medis 2.
Polin
Penelitian case control, 35
III/C
Outcome yang baik
et al., 1997
pasien cedera otak berat
didapatkan pada usia
yang dilakukan dekompresi
muda, operasi lebih
kraniektomi dengan pre dan
awal dan TIK tidak
post operatif TIK monitor
pernah >40 mmHg
dan terapi medis 3.
4.
Taylor
Single center PRCT, 27
III/C
et al., 2001
cedera otak berat pada anak
dekompresi secara
dengan hipertensi
nyata menurunkan
intrakranial yang membandel
TIK dalam 48 jam
dengan terapi medis dan
setelah dirandomisasi
drainase ventrikel yang
dan hasilnya tidak
dirandom antara bitemporal
terlalu bermakna
dekompresi kraniotomi vs
terhadap perbaikan
tanpa pembedahan
klinis III/C
Kraniotomi
Hejazi
Penelitian retrospektif 7
Semua pasien
et al., 2002
kasus serial pada pasien
mengalami perbaikan
pediatri yang mengalami
komplit pada
brain swelling dengan ICP
monitoring selama 8
inisial>45mmHg telah
bulan post operasi.
dilakukan craniektomi dekompresi 5.
Figaji
Studi pada 5 kasus pasien
et al., 2003
pediatri yang mengalami
III/C
Semua pasien mengalami perbaikan 92
6.
Ruf et al., 2003
deteriorisasi neurologis (GCS
dan skor GOS 4 – 5
<8) yang dilakukan tindakan
pada monitoring14-
craniektomi.
40 bulan.
Studi kasus serial pada 6
III/C
3 pasien mengalami
kasus dengan skor GCS 3-7,
perbaikan komplit, 2
kisaran usia 5-11 tahun yang
pasein mengalami
dilakukan craniektomy
kecacatan pada
unilateral dan bilateral
monitoring selama 6
dekompresi.
bulan. ICP post operasi teregulasi dibawah 20 mm Hg.
7.
Kan et al., 2006
Studi kasus serial pada 6
III/C
5 dari 6 pasien
pasien pediatri dengan
meninggal. 3 dari 4
rerata skor GCS 4.6 yang
pasien memiliki ICP <
dilakukan craniektomi
20 mmHg
dekompresi. 8.
Rutgliano
Studi kasus retrospektif pada
III/C
5 dari 6 pasien
et al, 2006
6 pasien dengan kisaran usia
memiliki ICP tidak
dibawah 20 tahun yang
tinggi. 1 pasien
dilakukan craniektomy
mengalami kenaikan
dekompresi
ICP, setelah dilakukan operasi kedua ICP kembali normal.
9.
Skoglund
pasien pediatri dengan GCS
III/C
3 pasien memiliki
et al., 2006
3-15, riwayat deteriorisasi,
skor GOS 5pada
herniasi dan kenaikan ICP
monitoring selama 1
yang dilakukan unilateral
tahun, 1 pasien
atau bilateral craniektomy
dengan GOS 4, 3
dekompresi.
pasien dengan GOS 3 dan 1 pasien meninggal. 93
10.
Jagannathan
Studi kasus serial pada 23
III/C
ICP yang tinggi
et al., 2007
pasien dengan rerata usia
sebanding dengan
1.9 tahun yang dilakukan
mortalitas,
craniektomy dekompresi
didapatkan pula
post cedera kepala.
survival rate sebesar 70% dengan mortalitas terutama pada pasien dengan multitrauma.
4.
Ellis JA
Penelitian retrospektif
III/C
Internal cranial
et al., 2012
terhadap 10 pasien yang
expansion adalah
menjalani operasi internal
operasi yang aman
cranial expansion selama 5
dan efektif untuk
tahun
pasien dengan intraserebral hipertensi yang refrakter.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi: Cho
DY,
Wang
YC,
Chi
CS:
Decompressive
craniotomy
for
acute
shaken/impact syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192–198 Ellis JA et al. Internal cranial expansion surgery for the treatment of refractory idiopathic intracranial hypertension. 2012 Figaji AA, Fieggen AG, Peter JC: Early decompressive craniotomy in children with se- vere traumatic brain injury. Childs Nerv Syst 2003; 19:666 – 673 Hejazi N, Witzmann A, Fae P: Unilateral decompressive craniectomy for children with severe brain injury. Report of seven cases and review of the relevant literature. Eur J Pedi- atr 2002; 161:99–104 Jagannathan J, Okonkwo DO, Dumont AS, et al: Outcome following decompressive craniec- tomy in children with severe traumatic brain 94
injury: A 10-year single-center experience with long-term follow up. J Neurosurg 2007; 106: 268 –275 Kan P, Amini A, Hansen K, et al: Outcomes after decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury in children. J Neuro- surg 2006; 105:337–342 Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy in the treatment of severe refractory posttraumatic cerebral edema. Neurosurgery 1997; 41:84–94 Ruf B, Heckmann M, Schroth I, et al: Early decompressive craniectomy and duraplasty for refractory intracranial hypertension in children: results of a pilot study. Crit Care 2003; 7:R133–R138 Rutigliano D, Egnor MR, Priebe CJ, et al: Decompressive craniectomy in pediatric pa- tients with traumatic brain injury with intractable elevated intracranial pressure. J Pe- diatr Surg 2006; 41:83– 87; discussion 83– 87 Skoglund TS, Eriksson-Ritzen C, Jensen C, et al: Aspects on decompressive craniectomy in patients with traumatic head injuries. J Neurotrauma 2006; 23:1502–1509 Taylor A, Warwick B, Rosenfeld J, et al: A randomized trial of very early decompressive craniectomy in children with traumatic brain injury and sustained intracranial hypertension. Childs Nerv Syst 2001; 17:154–162
Tinjauan antara Cedera Otak Pediatri dan Dewasa : Perbandingan antara Cedera pada anak dan dewasa menurut “National Pediatric Trauma Registry” menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami cedera otak traumatik lebih besar dibandingkan orang dewasa. Tetapi karena sulitnya untuk menilai terapi pada anak dengan rentang kelompok umur yang lebar dan perbedaan tingkat perkembangan pada tiap fase mengakibatkan masih belum banyak penelitian yang memenuhi syarat untuk dijadikan standard penanganan pada masa akut hingga rehabilitasi. Karena tidak benar anggapan bahwa “ anak adalah miniatur orang dewasa”, maka tidaklah tepat untuk menyamakan dan mengaplikasikan begitu saja literatur penelitian pada orang dewasa atau guideline yang ada untuk orang 95
dewasa pada anak. Usaha-usaha untuk mengenali aspek khusus pada anak dikaji dan guideline yang disusun adalah sebagai pendamping guideline yang ada untuk orang dewasa. Guideline yang disusun sebagian besar adalah hasil konsensus bersama.
Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Cedera otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai “cedera otak” saja, adalah perlukaan primer atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cedera otak akibat penganiayaan (abusive head injury) termasuk didalamnya penganiyaan, penyiksaan, penelantaran dan shaken baby syndrome dimasukkan juga dalam kategori cedera otak ini. Cedera akibat trauma kelahiran, tenggelam, dan gangguan pembuluh darah otak tidak dimasukkan dalam kelompok ini.
Secara epidemiologi, cedera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40% kasus anak usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19 tahun. Pola dan prinsip manajemen cedera kepala pada anak hampir sama dengan pada orang dewasa tetapi ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat perkembangan anak, variasi anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan respon otak anak terhadap cedera traumatik. Hal-hal yang terkait adalah : pada anak kecil tidak mungkin melakukan pemeriksaanGCS seperti orang dewasa. Modifikasi skala yang diadopsi untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi respon lebih banyak pada anak dan dicatat secara terpisah pada kartu monitoring seringkali menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan apakah ada penurunan kesadaran pada waktu benturan. Gegar otak bisa sangat singkat dan tidak bisa dinilai dengan observasi Trauma tumpul pada kepala anak dapat terjadi dalam waktu singkat dengan perkembangan edema otak akut. Kondisi ini bisa terjadi pada trauma kepala yang nampaknya terlihat ringan dan diindikasikan dengan penurunan status kesadaran yang cepat dan dalam.Kondisi ini dapat di diagnosa hanya setelah lesi masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan. Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai beratnya cedera kepala. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk memastikan tidak ada perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak 96
trauma tidak sama resikonya dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang dewasa. Pada umumnya anak anak membaik dan sembuh total setelah serangan, tidak ada indikasi pemberian anti konvulsan. Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak kecil meningkatkan resiko kerusakan otak oleh penetrasi objek dimana pada orang dewasa tidak bisa tembus. Beberapa luka tusuk pada kepala anak harus diterapi seolah-olah telah terjadi trauma langsung pada otak. Luka masuk harus diperiksa dengan teliti untuk mencari tanda fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak. Jika masih ragu-ragu, CT scan dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada sisi itu. Rujukan ke ahli bedah saraf diperlukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Fraktur impresi, baik yang sederhana maupun yang komplikata umumnya berkaitan dengan kerusakan lokal terhadap otak dibawahnya. Energi benturan secara substansial dapat diserap pada sisi trauma dan efek akselerasi pada otak diminimalisir. Tidak adanya riwayat hilangnya kesadaran tidak menghilangkan adanya cedera fokal yang berat. Foto polos kepala, khususnya tangensial view, bisa menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT scan dapat menunjukkan lebih jelas aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan apakah ada atau tidak cedera otak dibawahnya. Karena elastisitasnya, kalvaria anak kecil dapat mengalami perubahan bentuk setelah benturan tanpa ada fraktur. Deformitas ini bisa berhubungan dengan trauma lokal terhadap otak atau trauma pada meningen yang menghasilkan
timbulnya
hematom
ekstradural.
Tidak
adanya
fraktur
tidak
menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah adalah pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak termasuk bayi.
Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan dari luka, hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil karena mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya penting untuk menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi peningkatan tekanan intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah bisaturun dengan cepat. Ini penting pada anak-anak jika merencanakan untuk melakukan
pembedahan
sebagai
pertimbangan
pemberian
transfusi
darah
segera.Pada kondisi emergensi darah O negatif dapat diberikan. Otak anak kecil 97
kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma tumpul dan ini penting sekali untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti ini. Sebagaimana pada orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk mengganti perkiraan kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan perubahan yang tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama 24 jam setelah cedera ringan dianjurkan.
Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya peningkatan tekanan intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral menunjukkan suatu trauma non kecelakaan. Gelisah pada cedera kepala anak kecil bisa menyulitkan saat CT scan. Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi akut. Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cedera otak berat pada anak sesuai dengan Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain Injury in Infants, Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine, 4(3), 2003
(Rainer Gedeit.Head Injury. Pediatrics in Review Vol.22 No.4 April 2001)
98
IX. Cedera otak terkait olahraga Cedera otak merupakan diagnosis klinis dari cedera kepala dengan gangguan fungsi neurologis yang dapat berupa gejala akut dari gangguan fungsi kognitif. Diperkirakan terdapat 1,7 sampai 3,8 juta kerjadian cedera otak tiap tahunnya di AS, 10% nya berhubungan dengan trauma olahraga. Pada umumnya cedera otak dapat sembuh sendiri dengan perbaikan gejala dalam satu minggu namun dapat juga terjadinya sequel dari cedera otak dari yang ringan berupa nyeri kepala dan yang berat sampai meninggal. Diagnosis yang tepat dan pengobatan sesuai dengan pedoman standar sangat penting ketika merawat atlet yang mengalami cedera otak dan kemungkinan meningkatnya gangguan jangka panjang.
Conccusion karena trauma olahraga Gejala dari conccusion karena trauma olahraga diklasifikasikan dalam 4 kelompok : gangguan fisik, kognitif, emosi, dan gangguan tidur. Gangguan fisik
Gangguan kognitif
Gangguan
Gangguan tidur
emosi - Nyeri kepala - Mual muntah
- Mental “berkabut”
Mudah marah
Mengantuk
- Merasa “lambat”
Sedih
Tidur lebih lama
- Susah konsentrasi
Lebih emosi
Susah tidur
- Gangguan keseimbangan - Mudah lelah
- Mudah lupa
dan gugup
- Gangguan visus - Sensitif dengan
- Mengulang
cahaya
pertanyaan
- Sensitif dengan bising - Mati rasa - kesemutan
- Menjawab pertanyaan dengan pelan
99
Derajat concussion berdasarkan system Cantu dan AAN : Grade Ringan
Sistem Cantu 1. Amnesia post traumatic < 30 menit 2. Tidak pernah penurunan kesadaran
Sedang
1. penurunan kesadaran n < 5 menit atau
Sistem AAN 1. Bingung 2. Tidak pernah penurunan kesadaran 3. Gejala hilang < 15 menit Seperti diatas namun gejala masih masih ada > 15 menit
2. Amnesia post trauma > 30 menit Berat
1. penurunan kesadaran ≥ 5 menit atau
Tiap ada penurunan kesadaran
2. Amnesia post trauma ≥ 24 jam
Kontraindikasi untuk kembali bermain olahraga yang memerlukan kontak fisik : 1. Gejala post concussion yang persisten 2. Sisa gejala trauma kepala pada sistem saraf pusat yang menetap ( dementia organik, hemiplegia, hemianopsia homonym) 3. Hidrosefalus 4. SAH spontan 5. Gejala abnormal dari foramen magnum (malformasi chiari)
Pedoman untuk atlit bisa kembali bermain (AAN guideline) Grade AAN Ringan
Rekomendasi penanganan concussion pada olahraga
keluar dari kontes
periksa setiap 5 menit untuk gejala amnesia dan post concussive
Dimungkinkan bisa kembali bermain jika gejala menghilang dalam 15 menit
Sedang
Keluar dari kontes
Tidak disarankan kembali bermain pada hari itu
Periksa secara berkala untuk tanda-tanda berkembangnya gangguan intrakranial
Periksa kembali pada hari berikutna 100
CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau lebih dari 1 minggu
Berat
Latihan kembali setelah 1 minggu bebas gejala
Transportasi ambulans dari lapangan ke UGD RS jika belum sadar ( pasang stabilisator C-Spine)
Segera lakukan pemeriksaan neurologi.
neuroimaging yang
sesuai
Dapat kembali ke rumah dengan instruksi “cedera kepala” jika pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan
Segera ke RS setiap ada tanda kelainan atau mental status tidak normal yang berkelanjutan.
Periksa status neurologi tiap hari sampai semua gejala membaik atau stabil
Adanya
penurunan
kesadaran
yang
berlangsung
lama,
perubahan mental status yang persisten, perburukan gejala post concussion atau pemeriksaan neurologi yang tidak normal evaluasi neurosurgical segera atau transfer ke trauma center.
Setelah penurunan kesadaran < 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama satu minggu
Setelah penurunan kesadaran > 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama dua minggu.
CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau lebih dari dua minggu.
Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi yang berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT scan) pada atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung penilaian dari dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang disarankan adalah : 1. Concussion berat 101
2. Gejala yang menetap > 1 minggu, meskipun ringan 3. Sebelum kembali berkompetisi setelah concussion yang kedua dan ketiga pada musim kompetisi yang sama.
Rekomendasi pada concussion berulang pada satu musim kompetisi Concussion No 2
Panduan sebelum kembali bermain
Tingkat keparahan Ringan
1 minggu*
Sedang atau Berat 1 bulan* dengan CT scan atau MRI normal † 3
Ringan
Disarankan untuk tidak bermain lagi pada musim ini, CT scan atau MRI†
2
Sedang
Disarankan tidak bermain lagi pada musim ini,dan hindari
Berat
olahraga yang memerlukan kontak fisik
*
tanpa gejala-gejala pada saat istirahat dan aktivitas
†
jika didapatkan abnormalitas akut pada CT/MRI: akhiri musim kompetisi. Pertimbangkan untuk tidak ikut berpartisipasi pada olahraga yang bersifat kontak fisik
Referensi Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4 Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain injury. Psychiatric annals. 42 : 10 Sahler, et al. 2012. Traumatic brain injury in sports : A review. Hindawi rehabilitation research and practice. Greenberg, Mark. 2010. Handbook of neurosurgery 7 ed. Thieme : Hal 850.
102
PENUTUP Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan penelitian yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera otak.
Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran dan kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung
pada
pelayanan
dan
pendidikan
serta
penelitian
dibidang
neurotrauma.
Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada.
103