PEDOMAN NASIONAL
ASMA ANA ANAK K EDISI KE-2 CETAKAN KE-2
Penyunting:
Noenoeng Rahajoe Cissy B Kartasasmita Bambang Supriyatno Darmawan Budi Setyanto
UKK RESPIROLOGI PP IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA 2016
Diterbitkan pertama kali oleh: UKK Respirologi PP IDAI Jakarta, 2004 Edisi ke-2 Cetakan I, Oktober 2015 Cetakan II, Januari 2016 Tata Bahasa dan Letak: Madeleine Ramdhani Jasin Jasin Dewi Andini Putri Elisa Noor Ilustrasi Sampul : Dewi Andini Putri
Kontributor Pedoman Nasional Asma Anak UKK Respirologi PP IDAI 1.
Bambang Supriyatno, Prof, DR, Dr, SpA(K) - Jakarta
2.
Cissy B Kartasasmita, Prof, Dr, Dr, MSc, MSc, PhD, Sp.A(K) - Bandung
3.
Darmawan B Setyanto, Dr, SpA(K) - Jakarta
4.
Finny Fitry Yani, Dr, SpA(K) - Padang
5.
Heda Melinda D Nataprawira, Prof, DR, Dr, Dr, MKes, SpA(K) - Bandung
6.
Landia Setiawati, Dr, Dr, SpA(K), alm - Surabaya Surabaya
7.
Nastiti Kaswandani, Dr, Dr, SpA(K) - Jakarta
8.
Nastiti N Rahajoe, Dr, Dr, SpA(K) - Jakarta
9.
Noenoeng Rahajoe, Dr, Dr, SpAK - Jakarta
10. Retno Asih Setyoningrum, Dr, SpA(K) - Surabaya 11. Rina Triasih, Dr, SpA(K) - Yogyakarta 12. Sri Sudarwati, Dr, SpA(K) SpA(K) - Bandung 13. Wahyuni Indawati, Dr, Dr, SpA(K) - Jakarta
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
iii
Anggota UKK Respirologi PP IDAI Tahun 2015 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Adi Utomo Suardi, Dr, MM, SpA(K) Bandung Amalia Setyati, Dr, SpA(K) - Yogyakarta Amiruddin Laompo, Dr, SpA - Makassar Arief Wijaya Rosli, Dr, SpA - Surabaya Audrey Wahani, Dr, SpA(K) - Manado Ayu Setyorini Mestika Mayangsari, Dr, MSc, SpA - Denpasar Bakhtiar, DR, Dr, SpA - Banda Aceh Bambang Supriyatno, Prof, DR, Dr, SpA(K) - Jakarta Bob Wahyudin, DR, Dr, SpA(K) - Makassar Cissy B Kartasasmita, Prof, Dr, MSc, PhD, SpA(K) - Bandung Darfioes Basir, Prof, Dr, SpA(K) - Padang Darmawan B Setyanto, Dr, SpA(K) - Jakarta Deddy Iskandar, Dr, SpA - Surabaya Diah Asri Wulandari, Dr, SpA(K) - Bandung Dwi Wastoro Dadiyanto, Dr, SpA(K) Semarang Dwikisworo Setyowireni, Dr, SpA(K) Yogyakarta Eddy Widodo, DR, Dr, SpA(K) - Jakarta Ery Olivianto, Dr, SpA - Malang Fatimah Arifin, Dr, SpA(K) - Palembang Fauzi Mahfuzh, Dr, SpA - Jakarta Fifi Sofiah, Dr, SpA - Palembang Finny Fitry Yani, Dr, SpA(K) - Padang Fith Dahlan, Dr, SpA - Makasar Gabriel Panggabean, Dr, SpA(K) - Medan Hadianto Ismangoen, Dr, SpA(K) Yogyakarta Heda Melinda D Nataprawira, Prof, DR, Dr, MKes, SpA(K) - Bandung Helmi Lubis, Dr, SpA(K) - Medan HMS Chandra Kusuma, Prof, DR, Dr, SpA(K) - Malang Ida Bagus Subanada, Dr, SpA(K) - Denpasar Imam Boediman, Dr, SpA(K) - Jakarta Ismiranti Andarini, Dr, SpA - Surabaya
32. Khairiyadi Ismail, Dr, MKes, SpA Banjarmasin 33. Kiagus Yangtjik, Dr, SpA(K) - Palembang 34. Madeleine Ramdhani Jasin, SpA - Jakarta 35. Magdalena Sidhartani Zain, Prof, Dr, MSc, SpA(K) - Semarang 36. Makmuri MS, Dr, SpA(K) - Surabaya 37. Mardjanis Said, Prof, Dr, SpA(K) - Jakarta 38. M Syarofil Anam, Dr, Msi Med, SpA – Semarang 39. Moeljono S Trastotenojo, Prof, Dr, SpA(K) Semarang 40. Muchammad Fahrul Udin, Dr, MKes, SpA Malang 41. Muhammad Sidqi Anwar, Dr, SpA(K) Banda Aceh 42. Nastiti Kaswandani, Dr, SpA(K) - Jakarta 43. Nastiti N Rahajoe, Dr, SpA(K) - Jakarta 44. Noenoeng Rahajoe, Dr, SpA(K) - Jakarta 45. Noorleila B Affandi, Dr, SpA(K) - Jakarta 46. Nurjanah, Dr, SpA(K) - Banda Aceh 47. Oma Rosmayudi, Dr, SpA(K) - Bandung 48. Putu Siadi Purniti, Dr, SpA(K) - Denpasar 49. Retno Asih Setyoningrum, Dr, SpA(K) Surabaya 50. Retno Widyaningsih, Dr, SpA(K) - Jakarta 51. Ridwan M Daulay, Dr, SpA(K) - Medan 52. Rifan Fauzie, Dr, SpA - Jakarta 53. Rina Triasih , Dr, SpA(K) - Yogyakarta 54. Rini Savitri Daulay, Dr, MKed(Ped), SpA Medan 55. Riza Sahyuni, Dr, SpA, Mkes - Banjarmasin 56. Roni Naning, Dr, MKes, SpA(K) Yogyakarta 57. Sang Ayu K Indriyani, Dr, SpA, Mkes Mataram 58. Sri Sudarwati, Dr, SpA(K) - Bandung 59. Tjatur Kuat Sagoro, Dr, SpA - Jakarta 60. Wahyuni Indawati, Dr, SpA(K) - Jakarta 61. Wisman Dalimunthe, Dr, SpA(K) - Medan
Anggota UKK Respirologi PP IDAI yang telah meninggal 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Iskandar Zulkarnaen, Dr, SpA(K), alm. - Solo Jan Wantania, Prof, DR, Dr, SpA(K), alm. – Manado Landia Setiawati, Dr, SpA(K), alm. – Surabaya Muhammad Farid, Prof, Dr, SpA(K), alm. – Makassar Muljono Wirjodiardjo, Dr, SpA(K), alm. – Jakarta Putu Suwendra, Dr, SpA(K), alm - Denpasar Syarifuddin Dalimunthe, Dr, SpA, alm. - Medan Tonny Sadjimin, Prof, Dr, MPH, PhD, SpA(K), alm. - Yogyakarta Usman Alwi, Dr, SpA, alm. - Jakarta Zakaria Siregar, Dr, SpA(K), alm. - Medan
iv
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Sambutan Ketua Umum PP IDAI Assalamu'alaikum wr. wb. Asma merupakan salah satu penyakit tidak menular atau noncommunicable disease (NCD) yang masih menjadi masalah kesehatan global. Pada anak, penyakit respiratorik kronik ini merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai dan sejak dua dekade terakhir angka kejadiannya dilaporkan meningkat baik pada anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, angka kejadian asma pada anak usia 0 - 14 tahun adalah 9,2%. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma. Penanganan asma yang tidak tepat diantaranya dapat membatasi aktivitas anak sehari-hari, mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menurunkan prestasi di sekolah. Hal tersebut dapat mengakibatkan turunnya kualitas hidup anak dengan asma. Berbagai panduan asma telah diterbitkan baik secara nasional maupun internasional. Namun demikian, revisi yang berkelanjutan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan sangat diperlukan agar kualitas hidup anak dengan asma dapat meningkat. Atas nama Pengurus Pusat IDAI, kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada UKK Respirologi dan seluruh pihak yang telah membantu proses penerbitan Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA). Penerbitan buku pedoman ini merupakan bentuk komitmen IDAI dalam upaya menurunkan angka NCDs dan menutup kesenjangan pelayanan kesehatan terkait asma. Kami berharap, buku pedoman ini dapat dijadikan acuan oleh seluruh praktisi kesehatan yang membutuhkan, sehingga tumbuh kembang anak dengan asma dapat optimal sesuai dengan dengan potensi genetiknya. Wassalammu'alaikum wr. wb. Jakarta, 22 Oktober 2015 DR. Dr. Aman B. Pulungan, SpA(K) Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
5
Sambutan Ketua UKK Respirologi PP IDAI Assalaamu'alaikum wr. wb. Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, oleh karena hanya berkat karuniaNya maka Buku Pedoman Nasional Asma Anak 2015 (PNAA 2015) berhasil diterbitkan. Buku pedoman ini merupakan edisi kedua, setelah penerbitan Buku PNAA edisi pertama pada tahun 2004. Kurun waktu yang panjang tentunya telah membuat tata laksana asma pada anak secara global mengalami banyak perubahan. Selain penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan pada anak, angka kejadian non-communicable disease termasuk asma cenderung untuk terus meningkat. Sebagai salah satu penyakit kronik yang paling banyak dijumpai pada anak, angka kematian akibat asma tidak setinggi infeksi respiratori akut seperti pneumonia. Namun, asma yang tidak mendapat tata laksana yang optimal akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup anak dengan asma. Buku PNAA 2015 ini akan membantu dokter dalam melakukan penatalaksanaan anak asma berdasarkan bukti-bukti terkini yang sahih dan menggunakan prinsip evidence-based practice. Bukti-bukti terkini tidak langsung diimplementasikan di dalam pedoman namun dikaji dengan menggunakan analisis kemampulaksanaannya di lapangan. Selaku Ketua UKK Respirologi bersama dengan pengurus UKK, kami mengucapkan terima kasih atas kerja keras seluruh kontributor dan penyunting Buku PNAA 2015, yang upayanya telah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu pada periode kepengurusan UKK Respirologi sebelumnya. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada Ketua Umum PP IDAI atas dukungannya, seluruh anggota UKK Respirologi PP IDAI, mitra dan semua pihak yang membantu terbitnya buku ini. Dengan adanya Buku PNAA 2015 ini diharapkan agar pelayanan kesehatan terhadap anak asma di Indonesia menjadi semakin baik. Amin. Wassalaammu'alaikum wr.wb. Jakarta, 22 Oktober 2015 Dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K) Ketua UKK Respirologi PP IDAI Pedoman Nasional Asma Anak 2015
7
Panduan Mempelajari PNAA
Untuk lebih memahami penggunaan alur dalam PNAA, uraian dalam naskahnya perlu dipelajari. Bila fasilitas diagnostik atau terapi di suatu layanan kesehatan belum tersedia, gunakan pilihan lain sesuai dengan keadaan. Sejauh mungkin PNAA disusun berdasarkan kepustakaan terkini yang sesuai dan menggunakan kaidah Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-Based Medicine, EBM). Khusus untuk tatalaksana asma jangka panjang dan serangan asma, pada kepustakaan yang dikutip, dicantumkan pula level of evidencenya seperti berikut ini: o Evidence A: berdasarkan penelitian randomized controlled trial (RCT) dengan jumlah data (penelitian, sampel) yang besar. o Evidence B: berdasarkan penelitian RCT dengan jumlah data (penelitian, sampel) yang terbatas. o Evidence C: berdasarkan penelitian nonrandomisasi, atau penelitian observasional. o Evidence D: berdasarkan konsensus (kesepakatan) para ahli.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
ix
DAFTAR ISI Halaman
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
xi
4.2.3. Pemeriksaan penunjang 4.3. Diagnosis banding 4.4. Klasifikasi 4.5. Tahapan penegakan diagnosis asma 4.6. Labelisasi pasien asma
26 29 30 32 33
BAB V : TATA LAKSANA JANGKA PANJANG 5.1. Tujuan tata laksana 5.2. Garis besar tata laksana 5.3. Tata laksana medikamentosa 5.3.1. Cara pemberian obat 5.3.2. Obat pengendali asma 5.4. Penentuan derajat kendali 5.5. Jenjang pengendalian asma
35 35 35 35 36 37 41 42
BAB VI. TATA LAKSANA SERANGAN ASMA 6.1. Definisi 6.2. Tujuan tata laksana serangan asma 6.3. Patofisiologi serangan asma 6.4. Penilaian derajat serangan asma 6.5. Tahapan tata laksana serangan asma 6.5.1. Tata Laksana di klinik atau unit gawat darurat 6.5.1.1. Serangan asma ringan sedang 6.5.1.2. Serangan asma berat 6.5.2. Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RSS) 6.5.3. Tata laksana di Ruang Rawat Inap 6.6. Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif 6.7. Obat-obatan untuk serangan asma 6.7.1. Agonis β2 kerja pendek 6.7.2. Ipratropium bromida 6.7.3. Aminofilin intravena 6.7.4. Steroid sistemik 6.7.5. Adrenalin 6.7.6. Magnesium sulfat 6.7.7. Steroid inhalasi 6.7.8. Mukolitik 6.7.9. Antibiotik 6.7.10. Obat Sedasi 6.7.11. Antihistamin
47 47 47 47 49 51 60 62 63 63 63 64 65 65 66 66 66 67 67 68 68 68 69 69
xii
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB VII. TATA LAKSANA NON-MEDIKAMENTOSA 7.1. Program KIE 7.2. Rencana Aksi Asma (RAA)/ Asthma Action Plan (AAP) 7.3. Kartu Aksi Asma (KAA) 7.4. Penghindaran Pencetus
73 73 75 76 77
BAB VIII. ASMA DENGAN PENYAKIT PENYERTA 8.1. Rinitis alergi dan rinosinusitis 8.2. Refluks gastroesofageal 8.3. Obesitas 8.4. Infeksi respiratori
87 87 89 90 90
BAB IX. ASMA PADA ANAK BALITA 9.1. Patogenesis dan patofisiologi asma anak balita 9.2. Diagnosis asma anak balita 9.2.1. Pemeriksaan Penunjang 9.3. Diagnosis banding 9.4. Indikasi untuk rujukan 9.5. Tata laksana jangka panjang asma anak balita 9.5.1. Penentuan tingkat kendali asma 9.5.2. Menilai respons dan penyesuaian terapi 9.6. Tata laksana serangan asma anak balita 9.6.1. Penilaian tingkat keparahan serangan asma 9.6.2. Kriteria pulang dari RS dan pemantauan setelah eksaserbasi
95 95 95 97 98 99 99 102 103 104 104
BAB X. KEKELIRUAN DALAM TATA KELOLA ASMA 10.1. Kekeliruan pada diagnosis 10.2. Kekeliruan pada tata laksana 10.2.1. Pada saat serangan 10.2.2. Tata laksana jangka panjang 10.3. Kekeliruan pada terapi inhalasi
111 111 114 114 116 119
LAMPIRAN
121
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
105
xiii
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
15
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
xvi
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
17
xviii
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada anak maupun dewasa. Prevalens asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia, berkisar antara 118%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga dan sektor pelayanan kesehatan, asma yang tidak terkendali akan meningkatkan pengeluaran biaya. Pemahaman patogenesis, imunopatologi, genetika, manifestasi klinis, diagnosis, dan tata laksana asma telah mengalami banyak kemajuan. Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Akan tetapi, faktor mana yang lebih berperan tidak dapat dipastikan karena kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut. Asma terjadi karena inflamasi kronik, hiper-responsif dan perubahan struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan obstruksi pada saluran respiratori terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos, edema mukosa, hipersekresi mukus. Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah sama. Namun, ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai pada dewasa karena bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi yang sering tidak dapat diprediksi sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada anak usia balita (<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh berbagai keadaan yang terkait dengan patogenesis dan patofisiologinya (endotip). Pedoman Nasional Asma Anak 2015
1
Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada yang diterima secara universal. Definisi asma yang ada pada beberapa pedoman memasukkan gejala klinis dan karakteristiknya, serta mekanisme yang mendasari dengan rincian yang berbeda antara satu pedoman dengan lainnya. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori. International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan obstruksi saluran respiratori dan hiperresponsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang. UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus. Sampai saat ini belum ada satupun alat atau baku emas yang dapat digunakan untuk mendiagnosis asma pada anak dengan pasti. Diagnosis asma pada praktik sehari-hari ditentukan berdasarkan kombinasi dari adanya gejala yang khas, pemeriksaan fisis, respons terhadap bronkodilator, dan telah disingkirkan kemungkinan penyebab yang lain. Pada anak usia kurang dari 5 tahun, Asthma Predictive Index (API) dapat membantu menentukan program apabila seorang anak dengan gejala wheezing kelak akan berlanjut menjadi asma. Beberapa pemeriksaan seperti uji bronkodilator, uji metakolin, variabilitas harian atau diurnal dari peak expiratory flow (PEF) dapat meningkatkan akurasi diagnosis, akan tetapi pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada anak-anak usia sekolah.
2
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Penentuan klasifikasi/derajat keparahan penyakit asma pada anak juga tidak mudah dan bervariasi di berbagai negara. Pada waktu yang lalu, beberapa pedoman menggunakan derajat keparahan dan persistensi asma sebagai dasar untuk menentukan klasifikasi asma. Dalam hal persistensi, asma biasanya diklasifikasikan sebagai intermiten atau persisten; ada juga yang mengklasifikasikannya sebagai frequent dan infrequent seperti yang digunakan di Australia. Untuk derajat keparahan, asma persisten biasanya diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, dan berat. Saat ini direkomendasikan bahwa penentuan klasifikasi/derajat asma hanya dilakukan pada pemeriksaan awal dan tidak dilakukan lagi pada saat pasien kontrol. Konsep klasifikasi asma saat ini digantikan dengan konsep “terkendali atau terkontrol (controlled )” yang secara klinis dianggap lebih bermanfaat untuk menilai derajat penyakit asma pada saat pasien melakukan kunjungan ulang, baik yang mendapat terapi medikamentosa maupun tidak. Pedoman tata laksana asma anak juga bervariasi antara negara satu dengan lainnya. Meskipun demikian, beberapa pedoman tersebut memunyai prinsip dan komponen tata laksana serta pesan kunci yang konsisten. Tujuan tata laksana asma pada anak adalah mencapai asma yang terkendali dengan frekuensi serangan seminimal mungkin. Untuk itu, tata laksana harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu meliputi semua elemen penting berikut: edukasi pasien dan orang tua/pengasuh, identifikasi dan pencegahan faktor pemicu, pemakaian obat yang baik dan benar dengan pencatatan yang baik, serta pemantauan yang teratur. Pemberian obat pereda (reliever ) maupun pengendali (controller ) secara inhalasi lebih dianjurkan dibanding pemberian peroral karena efek sampingnya minimal. Keteraturan terhadap pengobatan merupakan salah satu kunci keberhasilan tata laksana asma yang perlu mendapat perhatian. Asma adalah penyakit multifaktorial dengan perjalanan klinis yang bervariasi pada setiap anak dan dapat berubah seiring berjalannya waktu. Asma tidak dapat sembuh, tetapi dapat dikendalikan agar gejala tidak sering muncul. Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua merupakan kunci penting untuk mencapai asma terkendali. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
3
Buku ini merupakan pemutakhiran (update) dari Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) tahun 2004 dan disusun berdasarkan beberapa pedoman terbaru yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Terdapat beberapa perubahan yang perlu dicermati dalam buku ini seperti pada klasifikasi, diagnosis asma pada usia bawah lima tahun (balita), dan tata laksana. Buku ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan tata kelola asma pada anak di Indonesia agar anak dengan asma mendapatkan tata kelola yang optimal dan rasional.
Daftar Bacaan 1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2014. 2. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy - a global perspective. Allergy. 2007;62:213-5 3. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67:976–97 4. Waltraud E, Markus J E, Erika M. Current concepts: the asthma epidemic. N Eng J Med. 2006;355:2226-35. 5. Castro-Rodriguez JA, Catharine JH, Anne LW, Martinez FD, Martinez. A clinical index to define risk of asthma in young children with recurrent wheezing. Am J Respir Crit Care Med. 2000;162:1403-6. 6. Australian Asthma Management Handbook. Diunduh dari: www.asthmahandbook.org.au.
4
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB II EPIDEMIOLOGI 2.1. Prevalens asma anak
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak maupun dewasa, dengan gejala utama wheezing. Sejarah penyakit asma mengindikasikan bahwa asma merupakan penyakit yang kebanyakan terjadi di negara yang telah berkembang dengan pendapatan tinggi (high income countries), seperti Amerika. Diperkirakan secara global, terdapat 334 juta orang penderita asma di dunia. Global disease burden penyakit asma kebanyakan terdapat di negara berkembang dengan pendapatan yang rendah. Angka ini didapatkan dari analisis komprehensif mutakhir Global Burden of Diseasestudy(GBD) yang dilakukan pada tahun 2008-2010. Pada paruh kedua abad 20, prevalens asma di negara industri meningkat bermakna, namun penyebab kenaikan prevalens ini tidak jelas. Kini diketahui bahwa penyakit asma sering ditemukan baik di negara dengan pendapatan tinggi maupun rendah, dan prevalens asma ringan sedang dan asma berat meningkat lebih cepat di negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Diperkirakan prevalens asma di berbagai negara dengan pendapatan rendah dan menengah terus meningkat. Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan penelitian tentang prevalens asma anak di seluruh dunia. Belum adanya definisi asma anak yang diterima secara universal dan belum adanya baku emas yang obyektif dan mudah dilakukan pada anak menyebabkan bervariasinya definisi asma dan metodologi yang digunakan dalam penelitian-penelitian untuk menentukan prevalens asma. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam membandingkan dan menganalisis perbedaan prevalens asma antar negara, serta dalam menilai perubahan prevalens asma dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, prevalens asma anak di dunia tidak dapat ditentukan dengan pasti. Sebagian besar penelitian mengumpulkan data asma anak berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner. Para ahli epidemiologi biasanya menanyakan tentang ada tidaknya “diagnosis asma oleh dokter” atau “gejala asma” (seperti wheezing) Pedoman Nasional Asma Anak 2015
5
kepada orang tua atau anak untuk menentukan prevalens yang berkaitan dengan asma anak. Pertanyaan tersebut digunakan baik untuk menentukan lifetime prevalence (dengan pertanyaan “apakah pernah didiagnosis asma oleh dokter atau apakah pernah memunyai gejala asma?”) ataupun current prevalence (dengan pertanyaan: “apakah dalam 12 bulan terakhir pernah didiagnosis asma oleh dokter atau memunyai gejala asma). Jadi, tergantung dari pertanyaan yang dipakai, penelitian-penelitian prevalens asma anak akan melaporkan outcome yang berbeda, seperti prevalens lifetime asthma atau current wheeze atau currentasthma. Pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau uji provokasi bronkus juga dilakukan pada penelitian prevalens asma untuk meningkatkan validitas data. Akan tetapi nilai diagnostik kedua pemeriksaan tersebut kurang baik. Pada anak yang sudah dapat melakukan uji fungsi paru secara adekuat, 30% dari anak yang hasil wawancaranya mendukung adanya diagnosis asma menunjukkan hasil uji provokasi bronkus negatif; sedangkan 8-15% anak yang tidak pernah wheezing memunyai hasil yang positif. Beberapa peneliti melakukan penelitian yang diulang dengan menggunakan kuesioner dan metodologi yang sama untuk menilai kecenderungan prevalens asma dari waktu ke waktu di suatu negara (Tabel 2.1). Sebagian besar penelitian ini dilakukan di sekolah. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan peningkatan prevalens asma pada anak sampai dengan tahun 1900-an. Akan tetapi, sejak akhir 1990-an, beberapa penelitian melaporkan bahwa prevalens asma anak cenderung stabil atau bahkan menurun. Untuk mendapatkan data prevalens asma anak di dunia yang lebih akurat, para ahli asma anak mencoba melakukan penelitian multisenter menggunakan kuesioner dan metodologi yang sama, yaitu dengan mengadakan penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Penelitian ISAAC telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, dan terdiri atas 3 fase: fase I (tahun 19931997), fase II (1998-2004) dan fase III (2000-2003). Sebanyak 1,96 juta orang anak ikut dalam penelitian ISAAC yang dilakukan di 306 pusat studi di 106 negara di dunia. Subyek penelitian adalah anak sekolah 6
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
berusia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Pemilihan usia 6-7 tahun karena usia tersebut merupakan usia termuda anak sekolah, dan usia 13-14 tahun karena mereka sudah bisa mengisi kuesioner sendiri. ISAAC fase I (1993-1997) Tujuan utama ISAAC fase I adalah untuk mengetahui dan membandingkan prevalens dan beratnya gejala asma, rinitis, dan eksema pada anak di berbagai negara. Penelitian ini melibatkan 156 pusat studi di 56 negara, dengan total 721.601 anak yang terdiri atas kelompok usia 6 -7 tahun (257.800 anak) dan kelompok usia 13-14 tahun (463.801 anak). Dalam penelitian ini, yang dilaporkan adalah prevalens gejala asma, bukan prevalens asma. Pertanyaan yang diajukan adalah “Dalam 12 bulan terakhir, seberapa sering (rata-rata) tidur malam anak anda terganggu karena wheezing? Apakah lebih dari satu malam per minggu?“. Jika jawabannya ya, maka dianggap memunyai gejala asma. Hasil penelitian fase I menunjukkan bahwa prevalens gejala asma anak antara beberapa negara di dunia menunjukkan variasi yang sangat besar (Gambar 2.1). Untuk anak usia 13-14 tahun, prevalens bervariasi antara 2,1% (Indonesia) sampai 32,2% (Inggris); sedangkan pada anak usia 6-7 tahun antara 4,1% (Indonesia) sampai 32,1% di Costa Rica. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya variasi prevalens yang besar di antara negaranegara di benua yang sama.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
7
Gambar 2.1. Distribusi prevalens gejala asma di beberapa negara untuk (a) umur 13-
14 tahun dan (b) umur 6-7 tahun (Diambil dari Lancet. 1998;351:1225-32.)
ISAAC fase II (1998-2004) ISAAC fase II merupakan penelitian untuk mengetahui peran faktor risiko pada asma anak. Penelitian dilakukan pada anak usia 8-12 tahun yang dipilih secara acak dengan menggunakan metodologi yang baku. Sebanyak 30 pusat studi dari 22 negara di dunia ikut serta. Pada fase II ini, peran sensitisasi atopi yang menentukan prevalens asma pada anak diselidiki lebih mendalam. Data pada fase II didapatkan dari pengisian kuesioner oleh orang tua, uji tusuk kulit, dan pengukuran kadar IgE spesifik-alergen dalam serum. Hasil penelitian fase II mendapatkan prevalens wheezing pada 12 bulan terakhir berkisar antara 0% dan 25%. Di luar dugaan, hasil analisis menunjukkan tidak didapatkan hubungan antara prevalens wheezingsaat ini dan sensitisasi atopi. 8
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
ISAAC fase III (2000-2003) ISAAC fase III merupakan pengulangan dari fase I, dan menggunakan kuesioner yang sama dengan fase I. Sejumlah 798.685 anak usia 13-14 tahun dari 233 pusat studi di 97 negara, dan 388.811 anak usia 6-7 tahun dari 144 pusat studi di 61 negara diikutsertakan dalam penelitian ini. Sama seperti pada fase I, prevalens gejala asma pada penelitian fase III ini juga sangat bervariasi antar negara. Prevalens wheezing pada 12 bulan terakhir pada remaja bervariasi antara 0,8% di Tibet, sampai 32,6% di Wellington, Selandia Baru. Sedangkan prevalens pada anak bervariasi antara 2,4% di Jodhpur, India sampai 37,6% di Costa Rica. Prevalens gejala asma berat (didefinisikan sebagai terjadinya serangan wheezing >4 kali per minggu , atau gangguan tidur malam > 1 malam per minggu) pada remaja bervariasi antara 0,1% di Pune, India, sampai 16% di Costa Rica: dan pada anak berkisar dari 0% sampai 20,3%. Hasil analisis selanjutnya dari ISAAC fase III menunjukkan bahwa di negara-negara yang memunyai prevalens gejala asma yang sangat tinggi hanya terjadi sedikit peningkatan prevalens antara fase I dan fase III, bahkan di beberapa negara mengalami penurunan. Sebaliknya, negara-negara dengan prevalens tinggi dan menengah pada fase I menunjukkan peningkatan prevalens yang signifikan pada pada fase III (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Perubahan prevalens gejala asma (antara fase I dan fase III) berdasarkan prevalens gejala asma, untuk (a) umur 6-7 tahun dan (b) umur 13-14 tahun. (Diambil dari Lancet. 2006;368:733-43)
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
9
Prevalens asma anak di Indonesia Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun 1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti menggunakan kuesioner yang dirancang masing masing sehingga hasilnya berbeda (Djajanto, Rosmayudi, Dahlan). Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di Indonesia dan berbagai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama dari studi ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Tabel 2.1. Prevalensi asma di Indonesia
Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar antara 3% di Bandung (Kartasasmita CB) sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada kelompok usia 6-7 tahun. Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung (Rosalina I) dan tertinggi di Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang yang dibandingkan dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta 10
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
(12,5%), hampir 2 kali lipat; diduga disebabkan karena tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur dari Gunung Tangkuban Perahu (Sundaru). Di Bandung dilakukan dilakukan penelitian ulangan dengan kuesioner yang sama, pada kelompok 13-14 tahun, setelah 5 tahun terjadi peningkatan 2 kali lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun 2012, hasil penelitian di daerah rural kotamadya Bandung pada anak usia 7-14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma sebesar 9,6% dari 332 subyek penelitian (Kartasamita (Kartasamita dkk). Selain prevalens asma, penting pula untuk mengetahui serangan asma tahun lalu, kunjungan ke gawat darurat, dan perawatan rumah sakit. Menurut Martinez pada tahun 2001, serangan di tahun sebelumnya dialami oleh 63,1% pasien yang didiagnosis asma, angka ini tidak berubah di tahun 2001-2004. Untuk kunjungan ke gawat darurat terjadi peningkatan antara tahun 1992 dan 1995 sebanyak 57,3 menjadi 71% per 100.000 orang. Setelah itu tidak jelas peningkatan yang terjadi yaitu rata-rata 59,8% pada 2001 menjadi 68,0% pada tahun 2002. Laju perawatan asma di rumah sakit dalam 12 bulan terakhir juga mengalami penurunan bermakna dari 6% pada tahun 1980 ke 3,4% di tahun 1995, angka tersebut stabil pada tahun 2001 dan 2004. 2.2. Mortalitas
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995, dari 14,3 menjadi 20,6 per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per juta. Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang tua ≥65tahun, dan dua d ua per tiga diantaranya dian taranya wanita. wanit a. 2.3. Faktor risiko
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non-genetik. Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara, asap rokok, makanan cepat saji, berat lahir, cooking fuel, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah yang tidak memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi. Penelitian yang dilakukan di Padang memberikan Pedoman Nasional Asma Anak 2015
11
hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah atau ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian obat parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan kontak dengan unggas merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma. Daftar Bacaan 1. Pallapies D. Trends in childhood disease. Mutat Res. 2006;608:10011. 2. Phelan PD. Asthma in children: epidemiology. BMJ. 1994;308:1584-5. 3. Robertson CF, Roberts MF, Kappers JH. Asthma prevalence in Melbourne schoolchildren: have we reached the peak? Med J Aust. 2004;180:273-6. 4. Lawson JA, Senthilselvan A. Asthma epidemiology: has the crisis passed? Curr Opin Pulm Med. 2005;11:79-84. 5. Sears MR. Epidemiology of childhood asthma. Lancet. 1997;350:1015. 6. Eder W, Ege MJ, von Mutius E. The asthma epidemic. N Engl J Med. 2006;355:2226-35. 7. Ninan TK, Russell G. The changing picture of childhood asthma. Paediatr Respir Rev. 2000;1:71-8. 8. Toelle BG, Peat JK, Salome CM, Mellis CM, Woolcock AJ. Toward a definition of asthma for epidemiology. Am Rev Respir Dis. 1992;146:633-7. 9. Ronchetti R, Villa MP, Barreto M, Rota R, Pagani J, Martella S, dkk. Is the increase in childhood asthma coming to an end? Findings from three surveys of schoolchildren in Rome, Italy. Eur Respir J. 2001;17:881-6. 10. Kalyoncu AF, Selcuk ZT, Enunlu T, Demir AU, Coplu L, Sahin AA, dkk. Prevalence of asthma and allergic diseases in primary school children in Ankara, Turkey: two cross-sectional studies, five years apart. Pediatr Allergy Immunol. 1999;10:261-5.
12
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
11. Devenny A, Wassall H, Ninan T, Omran M, Khan SD, Russell G. Respiratory symptoms and atopy in children in Aberdeen: questionnaire studies of a defined school population repeated over 35 years. BMJ. 2004;329:489-90. 12. Peat JK, van den Berg RH, Green WF, Mellis CM, Leeder SR, Woolcock AJ. Changing prevalence of asthma in Australian children. BMJ. 1994;308:1591-6. 13. Butland BK, Strachan DP, Crawley-Boevey EE, Anderson HR. Childhood asthma in South London: trends in prevalence and use of medical services 1991-2002. Thorax. 2006;61:383-7. 14. Anderson HR, Butland BK, Strachan DP. Trends in prevalence and severity of childhood asthma. BMJ. 1994;308:1600-4. 15. Asher MI, Keil U, Anderson HR, Beasley R, Crane J, Martinez F, dkk. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC): rationale and methods. Eur Respir J. 1995;8:483-91. 16. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet. 1998;351:1225-32. 17. Weiland SK, Bjorksten B, Brunekreef B, Cookson WO, von ME, Strachan DP. Phase II of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC II): rationale and methods. Eur Respir J. 2004;24:406-12. 18. Lai CK, Beasley R, Crane J, Foliaki S, Shah J, Weiland S. Global variation in the prevalence and severity of asthma symptoms: phase three of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Thorax. 2009;64:476-83. 19. Asher MI, Montefort S, Bjorksten B, Lai CKW, Strachan DP, Weiland SK, dkk. Worldwide time trends in the prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and eczema in childhood: ISAAC phases one and three repeat multicountry cross-sectional surveys. Lancet. 2006;368:733-43. 20. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Dalam: Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Badan Penerbit PP IDAI; 2013. h. 71-84.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
13
21. Martinez FD. Links between pediatric and adult asthma. J Allergy Clin Immunol. 2001;107: S449-55. 22. Anderson HR, Ruggles R, Pandey KD, Kapetanakis V, Brunekreef B, dkk. Ambient particulate pollution and the world-wide prevalence of asthma, rhinoconjunctivitis and eczema in children: Phase one of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Occup Environ Med.2010;67:293-300. 23. Mitchell EA and Stewart AW. The ecological relationship of tobacco smoking to the prevalence of symptoms of asthma and other atopic diseases in children: the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Eur J Epidemiol. 2001;17:667-73. 24. Ellwood P, Asher MI, García-Marcos L, Williams H, Keil U, Robertson C, dkk. Do fast foods cause asthma, rhinoconjunctivitis and eczema? Global findings from the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) phase three. Thorax. 2013;68:351-60. 25. Mitchell EA, Clayton T, Garcia-Marcos L, Pearce N, Foliaki S, dkk. Birthweight and the risk of atopic diseases: the ISAAC Phase III study. Pediatr Allergy Immunol. 2014;25:264-70. 26. Wong GWK, Brunekreef B, Ellwood P, Anderson HR, Asher MI, dkk. Cooking fuels and prevalence of asthma: a global analysis of phase three of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Lancet.2013;1:386-94. 27. Afdhal, Yani FY, Basir D, Mahmud R. Faktor Risiko Asma pada murid sekolah dasar usia 6-7 tahun di Kota Padang. Jurnal Kedokteran Andalas. 2012; 1:118-24.
14
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB III PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering berawal pada anak usia dini. Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan sehingga upaya dikerahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat dimodifikasi untuk pencegahan. Banyak pedoman menyebutkan bahwa faktor tersebut antara lain infeksi, pajanan mikroba, alergen, stres, polusi, dan asap tembakau. Perkembangan alergen-IgE spesifik, terutama jika terjadi pada awal kehidupan, merupakan faktor risiko penting berkembangnya asma, terutama di negara-negara maju. Konsep terkini patogenesis asma adalah asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori, peningkatan reaktivitas saluran respiratori dan menyebabkan terbatasnya aliran udara. Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadi penyempitan saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratori adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratori. Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Pemunculan sel-sel tersebut secara luas berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis. Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratori. Proses tersebut menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratori, dikenal dengan istilah remodeling. 3.1. Patogenesis 3.1.1. Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori
Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgEdependent . Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
15
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th1 dan Th2), limfosit +
subtipe CD4 telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi interleukin-3 (IL-3) dan granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat ataupun cellmediated . Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk jaringan luas, dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk dalam klaster gen 5q31-33 (IL-4 genecluster ). Bagan patogenesis asma tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.
16
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Gambar 3.1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health.
National Heart, Lung, and Blood Institute; 2002)
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien asma atopi dan nonatopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T-eosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh ditemukannya sel
yang
mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma atopi. IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien asma berkorelasi dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
17
Sel-sel Inflamasi yang Berperan pada Asma Sel mast, sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi (histamin, leukotrien sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut diaktivasi oleh alergen melalui reseptor IgE yang berafinitas tinggi, juga oleh stimulus osmotik (misalnya bronkokontriksi yang diinduksi oleh olahraga). Meningkatnya jumlah sel mast pada otot polos saluran respiratori dapat dihubungkan dengan hiperreaktivitas saluran respiratori. Eosinofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan protein dasar yang dapat merusak sel epitel saluran respiratori. Juga berperan dalam pelepasan growthfactor dan airwayremodeling. Limfosit T, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, memproduksi sitokin spesifik, di antaranya IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13 yang membantu proses inflamasi eosinofilik dan produksi IgE oleh limfosit B. Peningkatan pada aktifitas sel Th2 mungkin sebagian karena penurunan sel T regulator yang normalnya menghambat sel Th2. Juga terjadi peningkatan sel inKT, yang melepaskan Th1 dalam jumlah banyak dan sitokin Th2. Sel dendritik, menangkap alergen dari permukaan saluran respiratori lalu bermigrasi ke kelenjar getah bening regional. Di kelenjar getah bening, mereka berinteraksi dengan sel T regulator dan akhirnya menstimulus produksi sel Th2 dari sel T naif . Makrofag, jumlahnya meningkat pada saluran napas, dapat diaktivasi oleh alergen melalui reseptor IgE yang berafinitas rendah untuk memproduksi mediator inflamasi dan sitokin yang memperkuat respons inflamasi. Neutrofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori dan dahak pasien dengan asma berat dan pasien asma yang merokok, namun peranan patofisiologi dari sel ini masih belum jelas dan peningkatannya dapat pula disebabkan oleh terapi steroid.
18
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
3.1.2. Inflamasi akut dan kronik
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE-spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif. Bersamasama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskuler. Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama berlangsung pajanan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi. 3.1.3. Remodelingsaluran respiratori
Remodelingsaluran respiratori merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori, meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
19
Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori, dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori. (Gambar 3.2)
Gambar 3.2. Inflamasi dan remodeling pada asma.(Diambil dari GINA 2002)
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas saluran respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu penyembuhannya lama (lebih dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid hirupan. 20
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Penyempitan Saluran Respiratori pada Asma Kontraksi otot polos saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai mediator bronkokonstriksi dan neurotransmiter dan merupakan mekanisme utama dari penyempitan saluran respiratori dan sebagian besar normal kembali dengan bronkodilator. Edema saluran napas disebabkan peningkatan kebocoran mikrovaskuler sebagai respons terhadap mediator inflamasi. Hal ini kemungkinan sangat berperan selama eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas karena perubahan struktural, seringkali disebut remodeling, mungkin penting dalam penyakit yang lebih parah dan tidak sepenuhnya reversibel dengan terapi yang ada saat ini. Hipersekresi mukus dapat menyebabkan oklusi luminal (“ mucus plugging”) dan merupakan produk dari peningkatan sekresi mukus dan
eksudat inflamasi.
3.2. Patofisiologi 3.2.1. Obstruksi saluran respiratori
Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan. (Gambar 3.3)
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
21
Gambar 3.3. Patofisiologi asma bronkial. Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai dengan adanya inflamasi saluran respiratori kornik dan remodeling. Hiperresponsivitas saluran respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan oleh inflamasi. (Diambil dari: Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese guideline for childhood asthma. Allergol Int. 2014;63:335-56.)
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel sekretori, serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular.
22
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Gambar 3.4. Remodeling saluran respiratori pada asma.(Diambil dari ICON 2012)
Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi. 3.2.2. Hiperreaktivitas saluranrespiratori
Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan patofisiologi yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder, yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratori selama kontraksi otot polos. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
23
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis, hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak memunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%. Daftar Bacaan 1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report; 2002. 2. Kay AB. Asthma and inflammation. J Allergy Clin Immunol. 1991:87:893- 910. 3. Vignola AM, Chanez P, Campbell AM, Souques F, Lebel B, Enander I, dkk. Airway inflammation in mild intermittent and in persistent asthma. Am J respir Crirt Care Med. 1998;157:403- 9. 4. Holgate ST, Davies DE, Lackie PM, Wilson SJ, Puddicombe SM, Lordan JL. Epithe lial-mese nchymal interactions in the p a t h o g e n e s i s o f a s t h m a . J A l l e rg y C l i n I m m u n o l . 2000;105:193- 204. 5. Platts-Mills TAE, Sporik RB, Chapman MD, Heymann PW. The role of domestic allergens. Dalam: The rising trends in asthma. New York: John Wiley & sons; 1997. h. 173- 90. 6. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma: from bronchoconstriction to airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:1720- 45. 7. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67:967-97.
24
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB IV DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI 4.1. Pengertian
Asma merupakan penyakit respiratori kronik yang heterogen dengan dasar inflamasi kronik yang bervariasi luas dalam manifestasi klinis, mekanisme inflamasi, patogenesis, dan perjalanan alamiah dengan banyak sekali faktor yang berperan. Berbagai definisi asma yang ada saat ini sifatnya deskriptif, menggambarkan gejala kinis dan polanya, disertai patofisiologi dan patologi dengan derajat rincian yang bervariasi. Perkembangan pemahaman tentang hal tersebut menyebabkan definisi asma bersifat dinamis dan berubah dari waktu ke waktu. Pedoman ini menggunakan definisi asma sebagai berikut: Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus 4.2. Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara kinis. 4.2.1. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah: Pedoman Nasional Asma Anak 2015
25
•
•
•
•
•
Gejala timbul secara episodik atau berulang. Timbul bila ada faktor pencetus. o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan. o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari. o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan. Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya. Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma.
4.2.2. Pemeriksaan fisis
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue. 4.2.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien. Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan peakflowmeter . •
26
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
•
Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
•
Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO ( fractional exhaled nitric oxide), eosinofil sputum.
•
Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik. Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan
untuk mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastroesofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi). Tabel 4.1. Kriteria diagnosis asma
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
27
28
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
4.3. Diagnosis banding
Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding. Inflamasi: infeksi, alergi Rinitis, rinosinusitis Chronic upper airway cough syndrome Infeksi respiratori berulang Bronkiolitis Aspirasi berulang Defisiensi imun Tuberkulosis •
•
•
•
•
•
•
Obstruksimekanis Laringomalasia, trakeomalasia Hipertrofi timus Pembesaran kelenjar getah bening Aspirasi benda asing Vascularring, laryngeal web Disfungsi pita suara Malformasi kongenital saluran respiratori •
•
•
•
•
•
•
Patologibronkus Displasia bronkopulmonal Bronkiektasis Diskinesia silia primer Fibrosis kistik •
•
•
•
Kelainansistemorganlain Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD) Penyakit jantung bawaan Gangguan neuromuskular Batuk psikogen •
•
•
•
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
29
4.4. Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma. Berdasarkanumur Asma bayi – baduta (bawah dua tahun) Asma balita (bawah lima tahun) Asma usia sekolah (5-11 tahun) Asma remaja (12-17 tahun) •
•
•
•
Berdasarkanfenotip Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis. Asma tercetus infeksi virus Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma) Asma tercetus alergen Asma terkait obesitas Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma) •
•
•
•
•
Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala Asma intermiten Asma persisten ringan Asma persisten sedang Asma persisten berat •
•
•
•
Berdasarkan derajat beratnya serangan Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Asma serangan ringan-sedang Asma serangan berat Serangan asma dengan ancaman henti napas Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata laksana. •
•
•
30
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Berdasarkanderajatkendali Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik. Asma terkendali penuh (well controlled ) o Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten o Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/ sedang/berat) Asma terkendali sebagian ( partly controlled ) Asma tidak terkendali (uncontrolled ) Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step-up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step-down) tata laksana yang akan diberikan. •
•
•
Berdasarkankeadaansaatini: Tanpa gejala Ada gejala Seranganringan-sedang Serangan berat Ancaman gagal napas Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut. •
•
•
•
•
Dalam pedoman ini, klasifikasi berdasarkan umur dibedakan menjadi asma anak dan asma balita, sementara klasifikasi berdasarkan fenotip tidak digunakan untuk kepentingan tata kelola. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian awal pasien. Klasifikasi ini sesuai dengan mayoritas pedoman internasional asma yang ada saat ini. Ini berubah dari PNAA sebelumnya yang membagi asma menjadi asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
31
Tabel 4.2. Kriteria penentuan derajat asma Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan dibuat berdasarkan anamnesis:
Keterangan : 1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana umum (pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus ) selama 6 minggu. 2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tata laksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi. 3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang. 4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke dalam klasifikasi lebih berat. Tabel 4.3. Kesetaraan klasifikasi PNAA 2004 dengan PNAA 2015
4.5. Tahapan penegakan diagnosis asma 1.
32
Diagnosis kerja : Asma Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tata laksana penyakit penyulit.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
2.
3.
4.6.
Diagnosis klasifikasi kekerapan Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis sudah kuat. Diagnosis derajat kendali Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan
Labelisasi pasien asma
Daftar Bacaan 1. Papadopoulus NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy.2012;67:976-97. 2. Global Initiative for Asthma; 2014. 3. ERS Task Force. Definition, assessment, and treatment of wheezing disorders in preschool children: an evidence based approach. Eur Respir J. 2008;32:1096-110. 4. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Int. 2014;63:335-56.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
33
BAB V TATA LAKSANA JANGKA PANJANG 5.1. Tujuan tata laksana
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga. 2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari. 3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan. 4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasikembali. 5.2. Garis besar tata laksana
Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata laksana nonmedikamentosa dan tata laksana medikamentosa. Tata laksana nonmedikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan penghindaran pencetus akan dijelaskan secara lebih lanjut dalam Bab VII, sedangkan tata laksana medikamentosa akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini. 5.3. Tata laksana medikamentosa
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever ) dan obat pengendali (controller ). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
35
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E. 5.3.1. Cara pemberian obat
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik inhalasi sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Tabel 5.1 memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi sesuai usia, namun pemilihannya sesuai dengan kemampuan. Tabel 5.1. Jenis alat inhalasi sesuai usia
36
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring). Hal ini menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi obat dalam paru lebih baik sehingga didapatkan efek terapeutik yang baik. Selain itu pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering/Dry Powder Inhaler (DPI) seperti diskhaler, swinghaler, turbuhaler, dan easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber, babyhaler, autohaler tidak dapat atau sulit diperoleh, spacer dapat dibuat dari gelas plastik atau botol plastik dengan volume 500 mL yang menurut penelitian sama efektifnya dengan MDI yang disertai spacer konvensional. Spacer seperti ini terutama ditujukan untuk digunakan di negara berkembang karena dapat dibuat sendiri. 5.3.2. Obat pengendali asma a.
Steroid inhalasi Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori
dan berperan penting dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
37
Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air bekas berkumur tersebut. Pada anak asma yang mendapatkan steroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Tabel 5.2. Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma
Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
38
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
b.
Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2-agonist, LABA) Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak
digunakan tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid- agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroidagonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak balita masih terbatas. Kombinasi agonis β2 kerja panjang-steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda. Antileukotrien Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinylleukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi. Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga (exercise induced asthma, EIA) dan c.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
39
Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian steroid inhalasi. d.
Teofilin lepas lambat Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat
diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10mg/kgBB/hari. e.
Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE) Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang
mampu mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di bawah pengawasan dokter spesialis.
40
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian anti-IgE membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE. 5.4. Penentuan derajat kendali
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik jenjang dalam tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma dapat menggunakan penilaian seperti pada Tabel 4.3.1. Tabel 5.3. Derajat kendali penyakit asma A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu)
Manifestasi Klinis
Terkendali dengan/tanpa obat pengendali (Bila semua kriteria terpenuhi)
Terkendali sebagian (Minimal satu kriteria terpenuhi)
Gejala Siang Hari
Tidak pernah (<2 kali/minggu)
>2 kali/minggu
Aktivitas Terbatas
Tidak ada
Ada
Gejala Malam Hari
Tidak ada
Ada
Pemakaian Pereda
Tidak ada (<2 kali/minggu)
>2 kali/minggu
Tidak terkendali
Tiga atau lebih kriteria terkendali sebagian*†
B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan penurunan fungsi paru, efek samping) ,
Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV yang 1
rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
41
5.5. Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan. Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang harus dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir, penggunaan obat pereda asma ≥3 kali dalam satu minggu, terbangun karena serangan asma 1 kali dalam satu minggu.
Keterangan gambar: ICS ( inhaled corticosteroids, steroid inhalasi); LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist ); SABA (short acting beta agonist , agonis β2 kerja pendek); LABA (long acting beta agonist , agonis β2 kerja panjang) Gambar 5.1. Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia >5 tahun
Keterangan : 1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakanklasifikasikekerapan. 2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 68 minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up). 42
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 812 minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya (step down). 4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspekaspek penghindaran, penyakit penyerta. 5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan omalizumab. Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali asma. Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu dicermati apakah dosis, cara pemberian obat yang diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor pencetus telah dilaksanakan dengan benar. Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi serangan/eksaserbasi asma, pasien harus mendapatkan obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis β2 kerja pendek. Jenjang 1 Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya mengalami gejala ringan ≤2 kali/minggu dan di antara serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya, menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata laksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis rendah.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
43
Jenjang 2 Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping. Jenjang 3 Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah kombinasi steroid dosis rendah-agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di orofaring dan mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-teofilin lepas lambat. Jenjang 4 Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult –to-treat asthma). Pilihan pertama pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengah-agonis β2 kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis sedang-agonis β2 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-antileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan penambahan antiimunoglobulin E (omalizumab) yang dapat memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan karena alergi.
44
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Jenjang 5 Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan. Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi pasien, derajat asma, dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada umumnya pasien dimonitor setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara pemberian obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau bagaimana upaya penghindaran faktor pencetus dan adanya penyakit penyerta asma. Penurunan dosis steroid dipertimbangkan setiap 8-12 minggu dengan penurunan dosis sebesar 25-50%.
Daftar Bacaan 1. The Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention 2014 . Diunduh dari: www.ginasthma.org. 2. FitzFerald M. Global strategy for asthma management and prevention update; 2012. 3. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O'Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev. 2000;10:527- 35. 4. Zar HJ, Asmus MJ, Weinberg EG. A 500-ml plastic bottle: An effective spacer for children with asthma. Pediatr Aleergy Immunol. 2002;13:217-22. 5. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG, and Swingler GH. Randomised controlled trial of the efficacy of a metered dose inhaler with bottle spacer for bronchodilator treatment in acute lower airway obstruction. Arch Dis Child. 2007;92:142-6.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
45
6. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Inter. 2014;63:335-56. 7. Sharek PJ, Bergman DA. The effect of inhaled steroids on the linear growth of children with asthma: a meta-analysis. Pediatric. 2000;106;e8. 8. Doull IJM, Campbell MJ, Holgate ST. Duration of growth suppresive effects of regular inhaled corticosteroids. Arch Dis Child. 1998;78:172-3. 9. Society B. T.. British guideline on the management of asthma : a national clinical guideline. London: BMJ Publishing; 2011.
46
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB VI TATA LAKSANA SERANGAN ASMA 6.1. Definisi
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma bermacam-macam, mulai dari serangan ringan sedang hingga serangan yang disertai ancaman henti napas. 6.2. Tujuan tata laksana serangan asma
Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di unit gawat darurat (UGD). Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah, setidaknya dapat dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif. Tujuan tata laksana serangan asma antara lain sebagai berikut: •
Mengatasi penyempitan saluran respiratori secepat mungkin
•
Mengurangi hipoksemia
•
Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
•
Mengevaluasi dan memperbarui tata laksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan
6.3. Patofisiologi serangan asma
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratori secara luas, yang disebabkan oleh kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa karena inflamasi saluran respiratori, dan sumbatan mukus. Sumbatan tidak terjadi secara merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Perubahan tahanan saluran respiratori yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Pedoman Nasional Asma Anak 2015
47
Ventilasi (V) sangat berkurang, sedangkan perfusi (Q) tetap berlangsung yang mengakibatkan rasio V/Q sangat rendah, biasanya kurang dari 0,1. Penyempitan saluran respiratori menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratori, terperangkapnya udara (air trapping), dan distensi paru yang berlebihan (hiperinflasi). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga terjadi peningkatan kerja napas. Tekanan intrapulmonal meningkat karena ekspirasi melalui saluran respiratori yang menyempit dan hal ini dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran respiratori, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin memengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung, yang kemudian bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus. Ventilasi-perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan pada gas darah. Pada awal serangan, untuk mengompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO 2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratori. Selanjutnya pada obstruksi saluran respiratori yang berat, akan terjadi kelelahan otot respiratori dan hipoventilasi alveolar sehingga terjadi hiperkapnia dan asidosis respiratori. Karena itu, jika dijumpai kadar PaCO 2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal napas (respiratory failure). Selain itu, dapat terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi asam laktat oleh otot respiratori. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi corpulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. Patofisiologi serangan asma dapat dilihat pada Gambar 6.1.
48
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Gambar 6.1. Patofisiologi serangan asma (Sumber: Nelson Textbook of Pediatric, Edisi ke-15) 6.4. Penilaian derajat serangan asma
Selain berdasarkan kekerapan serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, klasifikasi asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan, yang terbagi menjadi serangan ringan sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang pasien asma persisten dapat hanya mengalami serangan asma ringan sedang. Sebaliknya, mungkin saja seorang pasien asma intermiten mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian. Kriteria untuk menentukan derajat keparahan serangan asma pada anak dapat ditentukan bila memenuhi gejala yang tercantum pada tabel berikut ini.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
49
Tabel 6.1. Derajat keparahan serangan asma Asma serangan ringan sedang -
-
-
Serangan asma dengan ancaman henti napas
Asma serangan berat
Bicara dalam kalimat Lebih senang duduk daripada berbaring
-
Tidak gelisah Frekuensi napas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi minimal SpO2 (udara kamar): 90 – 95%
-
-
-
Bicara dalam kata Duduk bertopang lengan Gelisah Frekuensi napas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi jelas
-
Mengantuk Letargi Suara napas tak terdengar
SpO2 (udara kamar) < 90% PEF < 50% prediksi atau terbaik
PEF > 50% prediksi atau terbaik
Kotak 6.1. Pasien risiko tinggi Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang dapat mengancam nyawa. Keadaan tersebut harus segera diidentifikasi dan bila didapatkan, dicatat di rekam medis, di antaranya adalah pasien dengan riwayat: Serangan asma yang mengancam nyawa Intubasi karena serangan asma Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti) Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam setahun terakhir Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi Berkurangnya persepsi tentang sesak napas Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial. Alergi makanan Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian awal serangannya masih ringan sedang. • • • • • •
• • • •
50
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
6.5. Tahapan tata laksana serangan asma
The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tata laksana serangan asma menjadi dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes)/RS. Tata laksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang memunyai pendidikan yang cukup dan sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur. Pada panduan pengobatan di rumah, terapi awal berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian, pasien atau keluarganya diminta untuk melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan, yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Akan tetapi, untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah cukup riskan dan kemampuan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian maka apabila setelah dilakukan inhalasi dua kali tidak memunyai respons yang baik, maka dianjurkan untuk mencari pertolongan medis di klinik atau rumah sakit. Tata laksana di rumah Semua pasien/orangtua pasien asma seharusnya diberikan edukasi tentang bagaimana memantau gejala asma, gejala-gejala a.
serangan asma dan rencana tata laksana asma yang diberikan tertulis (asthma action plan, AAP). Dalam edukasi dan “rencana aksi asma” (RAA) tertulis harus disampaikan dengan jelas tentang jenis obat dan dosisnya serta kapan orangtua harus segera membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan. Orangtua perlu diberikan edukasi untuk memberikan pertologan pertama serangan asma di rumah. Tata laksana serangan asma di rumah ini penting agar pasien dapat segera mendapatkan pertolongan dan mencegah terjadinya serangan yang lebih berat. Namun demikian, perlu ditekankan kepada pasien/orang tua, seberapa jauh kewenangan pasien/orang tua dalam tata laksana serangan asma di rumah ini. Tenaga medis/dokter juga harus menilai seberapa baik pemahaman dan ketaatan pasien/orang tua tentang tata laksana
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
51
serangan asma di rumah untuk memastikan pasien mendapatkan tata laksana yang adekuat di rumah. Pada beberapa keadaan (Kotak 6.2), pasien harus segera dibawa ke fasyankes terdekat, tidak menunggu respons terapi yang diberikan di rumah. Kotak 6.2. Kondisi Keadaan pasien yang harus segera dibawa ke fasyankes Pasien harus segera dibawa ke fasyankes terdekat jika: Pasien memunyai satu atau lebih faktor risiko seperti pada poin Kotak 6.1 di atas Pasien tiba-tiba dalam kondisi keadaan distres respirasi (sesak berat)
Tata laksana yang dapat dilakukan pasien/orang tua di rumah: Jika tidak ada keadaan seperti pada Kotak 6.1, berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek, via nebulizer atau dengan MDI + spacer (Kotak 6.2), sebagai berikut: A. Jika diberikan via nebulizer 1. Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas dan wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali. 2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi 3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via B.
nebulizer belum membaik, segera bawa ke fasyankes. Jika diberikan via MDI + spacer 1. Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot. Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui antar muka (interface) spacer berupa masker atau mouthpiece. Bile belum ada respons berikan semprot berikutnya dengan siklus yang sama. 2. Jika membaik dengan dosis ≤ 4 semprot, inhalasi dihentikan. 3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke fasyankes.
52
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Kotak 6.3. Efektivitas pemberian agonis β2 kerja pendek via MDI + spacer
Pemberian agonis 2 kerja pendek via MDI dan spacer memunyai efektivitas yang sama dengan pemberian via nebulizer, dengan catatan: Pasien tidak dalam serangan asma berat atau ancaman henti napas Pasien dapat menggunakan MDI dengan spacer Sebaiknya menggunakan spacer yang baru atau sebelumnya dicuci dengan air deterjen dan dikeringkan di udara kamar Bila tidak tersedia spacer , dapat digunakan botol atau gelas plastik 500 ml sebagai pengganti spacer . Tata laksana di fasilitas pelayanan kesehatan primer Alur tata laksana serangan asma di fasyankes primer ditunjukkan di Gambar 6.2. Lakukan anamnesis yang singkat dan terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan bersamaan dengan pemberian terapi awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis harus dicatat di rekam medis. Jika pasien menunjukkan tanda serangan berat atau mengancam nyawa, segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. b.
Anamnesis Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi berikut: Waktu mulainya dan pemicu serangan saat ini (jika diketahui) Gejala-gejala untuk menilai keparahan serangan, termasuk ketebatasan aktifitas fisis, adanya gejala anafilaksis Faktor-faktor yang meningkatkan risiko kematian (Kotak 6.1) Pengobatan yang telah diberikan untuk serangan saat ini Pengobatan yang dipakai saat ini (obat pereda dan pengendali), termasuk dosis dan alat inhalasi yang dipakai, ketaatan, peningkatan dosis dan respons terhadap pengobatan yang dipakai saat ini. •
•
•
•
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
53
Pemeriksaanfisis Tanda vital dan derajat serangan (Gambar 6.2), meliputi: derajat kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu kalimat, retraksi dinding dada dan wheezing Tanda komplikasi atau penyakit penyerta (anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks) Tanda dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab distres respirasi (misalnya tanda gagal jantung, inhalasi benda asing, obstruksi saluran napas atas) •
•
•
Pemeriksaanpenunjang Jika tersedia, periksa saturasi oksiden dengan pulse oximetry . Saturasi oksigen <92% merupakan tanda serangan berat yang memerlukan tindakan yang agresif.
54
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Gambar 6.2. Alur tata laksana serangan asma pada anak di fasyankes dan rumah sakit
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
55
56
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
**Tabel 6.2. Pilihan dan dosis steroid untuk serangan asma Nama Generik metilprednisolon prednison metilprednisolon suksinat injeksi hidrokortison-
suksinat injeksi deksametason injeksi betametason injeksi
Sediaan tablet 4 mg, 8 mg tablet 5 mg vial 125 mg, vial 500 mg
Dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari – tiap 6 jam 0,5-1 mg/kgBB/ hari – tiap 6 jam 30 mg dalam 30 mnt (dosis tinggi) tiap 6 jam
vial 100 mg
4 mg/kgBB/kali – tiap 6 jam 0,5-1 mg/kgBB – bolus, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari diberikan tiap 6- 8 jam
ampul ampul
0,05-0,1 mg/kg BB – tiap 6 jam
Keterangan tata laksana asma di fasilitas pelayanan kesehatan * Bila pulse oximetry tidak tersedia, oksigen tetap diberikan dengan monitor gejala dan tanda distres respirasi, termasuk derajat kesadarannya. Tindak lanjut Bila pasien memenuhi kriteria untuk dipulangkan, obat yang dibawakan pulang adalah agonis β2kerja pendek (bila tersedia sangat dianjurkan pemberian inhalasi daripada pemberian preparat oral) dan steroid oral. Pemberian steroid oral bisa dilanjutkan sampai 3-5 hari lalu dapat dihentikan langsung tanpa tappering-off . Jika pasien dengan asma persisten, berikan obat pengendali. Apabila pasien sebelumnya sudah diberi obat pengendali, lalu evaluasi dan sesuaikan ulang dosisnya. Informasi lebih lengkap lihat di tata laksana jangka panjang (lihat Bab V). Jika obat diberikan dalam bentuk inhaler, sebelum pasien dipulangkan, pastikan teknik pemakaian inhaler sudah tepat. Kontrol ulang ke fasyankes 3-5 hari kemudian. •
•
•
•
Tata laksana di rumah sakit (UGD) Alur yang ditunjukkan dalam bagian lanjutan Gambar 6.2 ini menunjukkan tata laksana pasien dengan serangan asma berat atau serangan asma dengan ancaman henti napas yang dirujuk dari fasyankes primer. Sebagai langkah awal, nilai airway, breathing, circulation,serta derajat kesadaran pasien. c.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
57
Jika terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala distres respirasi berat, dengan penurunan kesadaran (tampak mengantuk atau gelisah), dan suara paru tak terdengar, segera siapkan untuk perawatan PICU. Sambil menunggu persiapan tersebut, beri inhalasi agonis β2 kerja pendek via nebulizer, oksigen dan siapkan intubasi jika perlu. Untuk serangan asma berat: 1. Berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida via nebulizer 2. Pasang jalur parenteral 3. Berikan steroid sistemik (prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB/hari, maksimum 40 mg/hari) 4. Berikan oksigen 5. Rontgen toraks 6. Rawat inap Sambil menunggu persiapan rawat inap, pemberian inhalasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida dapat diberikan ulang, sesuai dengan kondisi pasien. Anamnesis yang singkat dan terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan harus dilakukan bersamaan dengan pemberian terapi awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis harus dicatat di rekam medis. Anamnesis Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi berikut: Waktu mulainya dan pemicu serangan saat ini (jika diketahui) Gejala-gejala untuk menilai keparahan serangan, termasuk ketebatasan aktifitas fisis, adanya gejala anafilaksis Faktor-faktor yang meningkatkan risiko kematian (Kotak 6.1) Pengobatan yang telah diberikan untuk serangan saat ini Pengobatan yang dipakai saat ini (obat pereda dan pengendali), termasuk dosis dan alat inhalasi yang dipakai, ketaatan, peningkatan dosis dan respons terhadap pengobatan yang dipakai saat ini •
•
•
•
•
58
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pemeriksaanfisis •
Tanda vital dan derajat serangan (Gambar 6.2), meliputi: derajat kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuansi napas, tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu kalimat, retraksi dinding dada, dan wheezing
•
Tanda komplikasi atau penyakit penyerta (anafilaksis, pneumonia, atelektasis, pneumotoraks)
•
Tanda dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab distres respirasi (misalnya tanda gagal jantung, inhalasi benda asing, obstruksi saluran napas atas)
Pemeriksaanpenunjang •
Saturasi oksigen Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry sebelum diberikan terapi oksigen atau 5 menit setelah terapi oksigen dihentikan. Pasien dengan serangan asma harus dimonitor ketat saturasi oksigennya, terutama pada anak yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan PEF. Saturasi oksigen normal pada anak adalah >95%. Saturasi oksigen <92% merupakan prediktor diperlukannya rawat inap, sedangkan saturasi oksigen <90% merupakan tanda segera diperlukannya terapi yang agresif.
•
Spirometri Pemeriksaan uji fungsi paru merupakan salah satu pemeriksaan yang direkomendasikan pada serangan asma, sayangnya belum semua RS di Indonesia memunyai alat spirometri untuk anak, dan jika tersedia, pemeriksaan ini belum rutin dikerjakan. Jika alat tersedia dan kondisi pasien memungkinkan, PEF atau FEV1 dinilai sebelum diberikan terapi. Selanjutnya spirometri dilakukan satu jam setelah pemberian terapi awal dan diperiksa berkala sampai respons terhadap terapi komplit.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
59
•
•
Analisis gas darah Pemeriksaan ini tidak rutin diperlukan dan hanya dipertimbangkan jika FEV 1 <50% prediksi, atau pada pasien dengan serangan asma berat, atau pasien yang menetap atau memburuk dengan terapi awal. Hasil PaO 2 <60 mmHg (8 kPa) dan PaCO2 normal atau meningkat (khususnya >45 mmHg, 6 kPa) merupakan petanda gagal napas. Rontgen toraks Pemeriksaan rontgen toraks tidak rutin dilakukan pada pasien dengan serangan asma. Pemeriksaan ini dipertimbangkan pada serangan berat atau jika dicurigai terjadi komplikasi (misalnya pneumotoraks) atau ada kondisi lain (misalnya pneumonia atau inhalasi benda asing) yang menyertai dan/atau ada ancaman henti napas yang tidak membaik dengan terapi. Kecurigaan ini perlu diperhatikan pada anak yang disertai demam, tidak ada riwayat keluarga dengan asma, dan wheezingunilateral.
6.5.1. Tata laksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di UGD, langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter ) merupakan bagian integral dalam penilaian tata laksana serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Akan tetapi, penggunaan alat tersebut belum memasyarakat di Indonesia. Tata laksana awal pada pasien adalah pemberian agonis β2 secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, ipratropium bromida ditambahkan ke dalam nebulisasi. Tata laksana awal ini dapat juga berfungsi sebagai penapis, yaitu untuk menentukan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
60
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Jika menurut penilaian awal pasien datang dalam serangan berat yang jelas, langsung berikan nebulisasi agonis β2 dikombinasikan dengan ipratropium bromida. Pasien dengan serangan berat yang disertai dengan dehidrasi dan asidosis metabolik mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi agonis β2. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali, kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena dan diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya. Saat ini pelaksanaan terapi inhalasi yang dianjurkan untuk asma adalah MDI dibantu spacer. Inhaler dosis terukur (metered dose inhaler , MDI) merupakan alat inhalasi yang paling sulit penggunaannya dibandingkan dengan inhaler bubuk kering (dry powder inhaler , DPI) apalagi dibandingkan dengan nebulizer. Kesulitan pemakaian MDI utamanya karena 2 faktor, pertama derasnya arus semprotan akan menyebabkan impaksi dan sebagian besar obat terdeposisi di orofaring. Kesulitan kedua adalah jurus (manuever ) pemakaiannya kompleks terutama untuk anak kecil yang belum mampu mengkoordinasikan hirup-tekan-hirup panjang. Kesulitan ini dapat diatasi dengan relatif mudah yaitu menggunakan spacer , suatu tabung yang memberi jarak atau ruang (space) antara alat dan mulut pasien. Ada 2 macam spacer yaitu holding chamber yang mempunyai 2 katup di ujung hirupan, dan extension device yang tanpa katup. Jika tersedia, alat holding chamber lebih dianjurkan dibanding extension device, karena dapat mengatasi kesulitan pemakaian MDI dengan lebih baik. Antar-muka (interface) spacer seperti halnya alat nebulizer, ada dua macam yaitu mouth piece atau masker. Jika anaknya sudah mampu bernapas lewat mulut, mouth piece lebih dianjurkan karena obat yang terhirup akan lebih banyak dibanding memakai masker. Jika spacer tidak dapat atau sulit diperoleh, dapat dibuat pengganti sederhana menggunakan botol atau gelas plastik dengan volume sekitar 400 mL yang bagian dasarnya dilubangi sesuai bentuk dan ukuran mouthpiece alat MDI. Cara pemakaian MDI dengan spacersebagai berikut: MDI dikocok, lepas tutupnya PasangkanmouthpieceMDI pada lubang spacer •
•
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
61
•
•
•
•
Pasang mouthpiece spacer (atau mulut botol plastik) di mulut pasien, atau letakkan masker spacer (atau mulut gelas plastik) menutupi hidung dan mulut pasien Tekan kanister MDI, untuk memberi 1 semprotan ke dalam spacer Minta anak untuk bernapas dalam melalui antar-muka (mouthpiece atau masker) hingga 6-10 kali, tergantung kemampuan kedalaman napas anak. Jika bisa bernapas dalam cukup 6 kali. Tunggu responsnya dalam 5-10 menit. Jika keluhan sesak/wheezing masih ada, lakukan tindakan serupa hingga 24 kali dengan selang waktu 20 menit selama 1 jam sesuai respons yang ada.
Serangan asma ringan sedang Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk serangan asma ringan sedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis β2 kerja pendek lewat nebulisasi atau MDI dengan spacer , yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan pertimbangan untuk menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi, jika tetap baik pasien dapat dipulangkan. Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan darurat, sejak di UGD pasien yang diobservasi sebaiknya langsung dipasangkan jalur parenteral. Pasien dibekali dengan obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi yang sama keefektifannya. Penambahan ipratropium bromida selain agonis β2 dapat diberikan apabila pasien dapat diedukasi untuk menggunakan kombinasi tersebut pada serangan yang lebih berat. Pada serangan asma ringan sedang diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering off, maksimal pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep 6.5.1.1.
62
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
tambahkan keterangan 'do not iter' . Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 3-5 hari untuk direevaluasi tata laksananya. Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan. Serangan asma berat Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan asma berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah agonis β2 dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter per menit diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi.Pasang jalur parenteral pada pasien dan lakukan pemeriksaan rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan secaraparenteral. Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. 6.5.1.2.
6.5.2. Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)
Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan. Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respons parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi agonis β2 dan ipratropium bromida setiap 2 jam. Kemudian, berikan steroid sistemik oral berupa prednison atau prednisolon. Pemberian steroid ini dilanjutkan hingga 3-5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan sedang yang dipulangkan dari klinik/UGD. 6.5.3. Tata laksana di Ruang Rawat Inap
Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawatinap: Pemberian oksigen diteruskan. Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi asidosisnya. •
•
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
63
•
•
•
•
•
Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari. Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida dengan oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet. Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam. Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam). Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti dengan pemberian peroral. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tata laksana.
6.6. Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif
Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman henti napas (sesuai Tabel 6.1), langsung dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit , ICU). 64
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah: Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD dan/atau perburukan asma yang cepat. Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya kesadaran. Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap. Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, meskipun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO 2 yang lebih tinggi atau lebih rendah). Penggunaan ventilator tidak dibahas dalam pedoman ini. •
•
•
•
6.7. Obat-obatan untuk serangan asma 6.7.1. Agonis β2 kerja pendek
Gejala asma ringan sedang memberikan respons yang cepat terhadap inhalasi agonis β2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama bagi serangan asma ringan sedang yang terjadi di rumah maupun di fasilitas layanan kesehatan. Pemberiannya dapat diulang hingga 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat, sedangkan bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi dengan ipratropium bromida. Obat ini juga diberikan sebagai premedikasi untuk serangan asma yang dipicu latihan (exercise induced asthma). Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol. Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien. agonis β2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan, penggunaan berlebihan atau seringnya pemakaian menandakan kendali asma yang buruk. Tremor dan takikardia sering dialami pasien yang menggunakan agonis β2 kerja pendek pertama kali, namun biasanya kemudian efek tersebut cepat ditoleransi. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
65
6.7.2. Ipratropium bromida
Kombinasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida (antikolinergik) pada serangan asma ringan-sedang menurunkan risiko rawat inap dan memperbaiki PEF dan FEV 1 dibandingkan dengan 2-agonis saja. Kombinasi tersebut dapat diberikan sebagai obat pulang yang dipakai di rumah jika pasien dapat diedukasi dengan baik dan dapat menilai bahwa serangan yang terjadi dinilai berat. Ipratropium bromida terbukti memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas. 6.7.3. Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap. Perlu diingat bahwa rentang keamaan aminofilin sempit dan efek samping yang sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat. Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1 mg/kg/jam. Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL. Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan. 6.7.4. Steroidsistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama. 66
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian secara intravena. Keuntungan pemberian per oral adalah lebih murah dan tidak invasif. Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis. Pemberian secara intravena direkomendasikan bila pasien tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien memerlukan intubasi). Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 35 hari tanpatapperingoff . 6.7.5. Adrenalin
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Epinefrin (adrenalin) intamuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml). Obat ini tidak diindikasikan untuk serangan asma lainnya. Namun demikian, di fasyankes yang tidak tersedia alat inhalasi, dapat diberikan injeksi adrenalin untuk serangan asma. 6.7.6. Magnesium sulfat
Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma, tapi boleh sebagai alternatif, apabila pengobatan standar tidak ada perbaikan. Pada penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa pemberian magnesium sulfat (MgSO4) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam memunyai efektifitas yang sama dengan pemberian agonis β2. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka perawatan di RS. MgSO4 yang tersedia dalam sediaan 20% dan 40% dapat diberikan dengan bolus, bolus diulang, drip kontinu, dan inhalasi. Cara bolus berulang serta inhalasi jarang digunakan. Pemberian lewat drip kontinu melalui pompa intravena dilakukan dengan melarutkan
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
67
sediaan dalam larutan dekstrose 5% atau larutan salin dengan pengenceran 60 mg/ml lalu diberikan dengan kecepatan 10-20 mg/kgBB/jam dan target kadar magnesium 4 mg/dL. Untuk pemberian dengan cara bolus, dosis yang dianjurkan adalah 20-100 mg/kgBB (maksimum 2 gram) diberikan selama 20 menit, sedangkan untuk pemberian dengan cara bolus berulang dosis MgSO 4 dianjurkan 20-50 mg/kgBB/dosis setiap 4 jam.
yang
Pertimbangkan pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan serangan asma berat yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setelah satu jam pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis β2 kerja pendek dan steroid sistemik). 6.7.7. Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma. Harap diperhatikan pula bahwa penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasien-pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik. 6.7.8. Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat diberikan, tetapi harus berhati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati-hati pemberian mukolitik pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun. Pemberian mukolitik secara inhalasi tidak memunyai efek yang signifikan dan tidak boleh diberikan pada serangan asma berat. 6.7.9. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu antibiotik dapat diberikan, yaitu pada infeksi respiratori yang dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya sinusitis yang menyertai asma. Pada serangan yang berat 68
perlu
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
dipikirkan adanya suatu penyulit antara lain pneumonia atipik. Apabila ada kecurigaan pneumonia atipik maka diberikan antibiotik, yang dianjurkan adalah golongan makrolid. 6.7.10. Obat sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. 6.7.11. Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak memunyai efek yang bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan. Daftar Bacaan 1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report; 2002. 2. Sly M. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia: Saunders; 1996. h. 628- 40. 3. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman nasional asma anak. Indonesian Pediatric Respiratory Meeting I:Focus on asthma. Jakarta:IDAI;2003. 4. Georgopoulos D, Burchardi H. Ventilatory strategies in adult patient with status asthmaticus. EurRespir Mon. 1998;8:45- 83. 5. Warner JO, Naspitz CK. Third international pediatric consensus statement on the management of childhood asthma. Ped Pulmonol. 1998; 25:1- 17. 6. Pocket guide for asthma management and prevention (for children 5 years and younger). A Guide for Health Care Professionals. Global Initiative for Asthma (GINA); 2014. 7. Newman KB, Milne S, Hamilton C, Hall K. A comparison of albuterol administered by metered-dose inhaler and spacer with albuterol by nebulizer in adults presenting to an urban emergency department with acute asthma. Chest. 2002;121:1036-41. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
69
8. Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH. Holding chambers (spacers) versus nebulisers for beta-agonist treatment of acute asthma. The Cochrane database of systematic reviews. 2013;9:Cd000052. 9. Zar HJ, Asmus MJ, Weinberg EG. A 500-ml plastic bottle: An effective spacer for
children with asthma. Ped Allerg Immunol.
2002;13:217-22. 10. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG, Swingler GH. Randomised controlled trial of the efficacy of a metered dose inhaler with bottle spacer for bronchodilator treatment in acute lower airway obstruction. Arch Dis Child. 2007;92:142-6. 11. Hasegawa T, Ishihara K, Takakura S, Fujii H, Nishimura T, Okazaki M, dkk. Duration of systemic corticosteroids in the treatment of asthma exacerbation; a randomized study. Int Med. 2000;39:794-7. 12. Jones AM, Munavvar M, Vail A, Aldridge RE, Hopkinson L, Rayner C, dkk. Prospective, placebo-controlled trial of 5 vs 10 days of oral prednisolone in acute adult asthma. Respir Med. 2002;96:950-4. 13. Geelhoed GC, Landau LI, Le Souëf PN. Evaluation of sao 2 as a predictor of outcome in 280 children presenting with acute asthma. Ann Emerg Med. 1994;23:1236-41. 14. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for Asthma ( GINA) 2014 . Diunduh dari: http://www.ginasthma.org/ 15. Nowak RM, Tomlanovich MC, Sarkar DD, Kvale PA, Anderson JA. Arterial blood gases and pulmonary function testing in acute bronchial asthma. Predicting patient outcomes. JAMA. 1983;249:2043-6. 16. Roback MG, Dreitlein DA. Chest radiograph in the evaluation of first time wheezing episodes: review of current clinical practice and efficacy. Ped Emerg Care. 1998;14:181-4. 17. Schuh S, Johnson DW, Callahan S, CannyG, Levison H. Efficacy of frequent nebulized ipratropium bromide added to frequent highdose albuterol therapy in severe childhood asthma. J Pediatr. 1995;126:639- 45.
70
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
18. Griffiths B, Ducharme FM. Combined inhaled anticholinergics and short-acting beta2-agonists for initial treatment of acute asthma in children. The Cochrane database of systematic reviews. 2013;8:Cd000060. 19. Mitra A, Bassler D, Goodman K, Lasserson TJ, Ducharme FM. Intravenous aminophylline for acute severe asthma in children over two years receiving inhaled bronchodilators. The Cochrane database of systematic reviews. 2005(2):Cd001276. 20. Yung M, South M. Randomised controlled trial of aminophylline for severe acute asthma. Arch Dis Child. 1998;79:405-10. 21. Saharan S, Lodha R, Kabra SK. Management of status asthmaticus in children. Indian J Ped. 2010;77:1417-23. 22. Barnett PL, Caputo GL, Baskin M, Kuppermann N. Intravenous versus oral corticosteroids in the management of acute asthma in children. Ann Emerg Med. 1997;29:212-7. 23. Becker JM, Arora A, Scarfone RJ, Spector ND, Fontana-Penn ME, Gracely E, dkk. Oral versus intravenous corticosteroids in children hospitalized with asthma. J Allerg Clin Immunol. 1999;103:586-90. 24. Kayani S, Shannon DC. Adverse behavioral effects of treatment for acute exacerbation of asthma in children: a comparison of two doses of oral steroids. Chest. 2002;122:624-8. 25. Pocket guide for asthma management and prevention (for adults and children older than 5 years). Global Initiative for Asthma (GINA); 2011. 26. McLean RM. Magnesium and its therapeutic uses: A review. Am J Med. 1994;96:63- 76. 27. Bittar TM, Guerra SD. Use of intravenous magnesium sulfate for the treatment of severe acute asthma in children in emergency department. Rev Brasil Ter Intens. 2012;24:86-90. 28. Rodrigo S, Rodrigo C. Inhaled flunisolide for acute severe asthma. Am J Respir Crit Care Med. 1998;157:698- 703. 29. Gibbs MA, Camargo CA, Rowe BH, Silverman RA. State of the art: therapeutic controversies in severe acute asthma. Acad Emerg Med. 2000;7:800- 15.1
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
71
BAB VII TATA LAKSANA NON-MEDIKAMENTOSA 7.1. Program KIE
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang sangat penting tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan program KIE adalah memberi informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap pasien dan keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan asma, mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam menghindari faktor-faktor pencetus, sehingga meningkatkan keteraturan terhadap rencana pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya mampu meningkatkan kemandirian kemandirian dalam tata laksana asma yang lebih baik . Dalam mencapai tujuan tersebut, ada beberapa komponen penting yang harus diperhatikan oleh seorang dokter/petugas kesehatan yang memberi pelayanan, antara lain: •
Mengutamakan terjalinnya hubungan baik dengan pasien
•
Penjelasan bahwa ini adalah proses yang berkesinambungan, sehingga KIE selalu diberikan di setiap kesempatan bertemu dengan pasien
•
Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma dan penatalaksanaannya penatalaksanaannya
•
Penilaian kendali asma, derajat dan pemakaian obat-obatan
•
Harapan akan tercapai kendali asma
•
Meredam ketakutan dan kekhawatiran kekhawatiran Penerapan program KIE sudah dimulai saat pertama kali
diagnosis ditegakkan dan berlangsung terus menerus dan terintegrasi ke dalam setiap langkah tata laksana asma. Program ini juga dilakukan di semua tempat pelayanan, seperti klinik, rumah sakit, unit gawat darurat, sekolah, rumah, dan pusat-pusat keramaian. keramaian. Selain anak dan orangtua, KIE juga melibatkan dokter, perawat, apoteker, guru, Pedoman Nasional Asma Anak 2015
73
kelompok bermain, keluarga dan masyarakat. Pelaksanaan KIE dilakukan melalui ceramah, komunikasi/nasehat saat berobat , , supervisi, diskusi, serta video presentasi, brosur, chart , dan mendemonstrasikan penggunaan PFM ( peak flow meter ), ), spirometer, alat terapi inhalasi, dan spacer . Dalam melakukan KIE hendaklah selalu menggunakan kata-kata atau kalimat yang bersifat komunikatif. Tabel 7.1. Program KIE pada anak, keluarga, dan sekolah
74
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
7.2. Rencana Aksi Asma (RAA)/ Asthma Action Plan ( AAP )
Dalam mencapai kemandirian, program KIE dituangkan dalam bentuk Rencana Aksi Asma (RAA)/ Asthma (RAA)/ Asthma Action Plan ( AAP ) yang dibuat secara tertulis dan diisi oleh anak atau orangtua. Rencana ini berisi tentang instruksi kapan meningkatkan dosis pengobatan, bagaimana caranya, lamanya pengobatan dinaikkan, serta penentuan kapan harus mencari pertolongan pertolo ngan medis sehingga memberi keleluasaan pada anak dalam menentukan sendiri perubahan paduan pengobatan berdasarkan gejala dan penilaian PFM. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
75
Dalam pelaksanaannya, RAA berisi catatan harian asma yang diisi setiap hari untuk memonitor keadaaan tidur malam, gejala asma, aktivitas, dahak, peak flow rate (PFR), pemakaian obat harian, dan penggunaan inhaler . Pemantauan harian ini mempergunakan tiga zona warna: –
Zona hijau menunjukkan 80-100% dari nilai terbaik anak, biasanya tanpa gejala dan mengisyaratkan tetap menggunakan obat pengendali asma.
–
Zona kuning menunjukkan Asthma of Physical Effort (APE) 5080%, gejala sudah tampak seperti batuk, wheezing, pilek/selesma, napas berat dan cepat, gelisah, serta mengurangi aktivitas bermain. Ini mengisyaratkan penggunaan obat pereda sebagai tambahan obat.
–
Zona merah yang menunjukkan APE <50%, gejala asmanya semakin berat meskipun sudah diberi pengobatan 'zona kuning', kesulitan makan, berbicara, berjalan dan bermain, serta gelisah sampai penurunan kesadaran merupakan keadaan gawat darurat dan harus segera menghubungi dokter atau rumahsakit.
Penerapan RAA ini terutama ditujukan pada pasien asma persisten, anak dengan kendali asma yang buruk, serta adanya riwayat 7
eksaserbasi asma . 7.3. Kartu Aksi Asma (KAA)
Program KIE di sekolah diterapkan dalam bentuk Kartu Aksi Asma (KAA) berisi identitas anak dan nomor telepon untuk dapat dihubungi bila terjadi kekambuhan, rencana tata kelola asma harian dan rencana saat darurat. Rencana tata kelola harian berisi: 1. Identifikasi faktor pencetus asma seperti aktivitas, infeksi, makanan, debu dan lainya 2. Pengendalian lingkungan sekolah 3. Monitor PFR 4. Rencana pengobatan harian. 76
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Rencana darurat diperlukan apabila timbul gejala atau nilai peak flow rate menurun. Langkah-langkah tindakan pada episode serangan asma: 1. Berikan pengobatan mengikuti petunjuk yang tercatat di kartu 2. Siswa tetap sekolah jika keadaan anak dapat dikendalikan 3. Hubungi orang tua jika anak tidak dapat mengikuti pelajaran 4. Meminta perawatan medis darurat jika tidak ada perbaikan klinis selama 15-20 menit setelah pengobatan, nilai PFR rendah, sulit bernapas, gangguan berjalan atau bicara dan tidak dapat beraktivitas kembali, serta bibir atau kuku terlihat biru Dengan pelaksanaan program KIE yang benar diharapkan angka kesakitan dan kematian akibat asma akan menurun, semakin sedikit anak yang dibatasi aktivitas fisisnya, dan semakin banyak anak yang meningkat kualitas hidupnya. Kita tidak dapat mengharapkan perubahan perilaku pasien dan keluarga, kecuali mereka dapat diyakinkan sepenuhnya. Mengkomunikasikan edukasi asma yang layak merupakan kerjasama yang
berlangsung terus menerus,
membutuhkan tenaga medis, peralatan dan material edukasi. Peralatan seperti booklet , diagram, kaset audio, spirometri, peralatan inhalasi, spacer dan material lain sangat diperlukan pada klinik asma. 7.4. Penghindaran pencetus
Penghindaran pencetus asma merupakan bagian dari tata laksana non-medikamentosa pada asma anak selain tata laksana KIE, baik pada pasien maupun keluarganya. Serangan asma bisa terjadi akibat dua faktor, yaitu kegagalan dalam farmakoterapi jangka panjang dan kegagalan menghindari faktor pencetus, ketika faktor pencetus ini bisa menyebabkan keadaan yang tidak ada gejala menjadi bergejala atau yang gejalanya ringan menjadi berat. Telah diketahui banyak faktor risiko terhadap kejadian asma pada anak, tetapi ada dua faktor besar yang dipercaya sangat berperan pada kejadian asma, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Faktor 77
genetik hampir tak dapat dimodifikasi lagi dalam tata laksana penghindaran pencetus. Sedangkan faktor lingkungan dalam hal ini diklasifikasikan dalam beberapa kategori, antara lain alergen hirupan (indoordan outdoor ), iritan, kondisi komorbid, dan faktor lain. Anggapan bahwa asma dapat disembuhkan atau dikendalikan hanya dengan obat-obatan akan membuat penyakit asma semakin parah karena penghindaran faktor pencetus ini merupakan upaya utama dalam tata laksana asma. Dengan penghindaran pencetus yang adekuat, kebanyakan asma dapat dikendalikan walau terkadang tanpa obat asma. Sedemikian pentingnya penghindaran pencetus hingga Dolovich J. dkk. (1983) mengemukakan: “Thus, strategies to avoid offending substances are potentially 'curative' and require the dedicated attention of thetherapist.” Peranan pajanan alergen dalam perjalanan perkembangan asma melalui dua proses bertingkat, yaitu pajanan yang menyebabkan terjadinya sensitisasi dan pajanan pada individu yang telah tersensitisasi akan menyebabkan berkembangnya asma. Gambaran patologi asma terutama oleh karena sensitisasi alergen dan inflamasi atopi di antaranya perubahan fibrotik jaringan di sekitar lumen jalan napas, hipertrofi dan hiperplasia otot polos, hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, dan kerusakan epitel jalan napas. Paparan ini juga mampu menyebabkan terjadinya sensitisasi alergen, hiperresponsif jalan napas, dan gambaran remodeling (hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membrana basalis, dan kerusakan epitel). Walaupun pada beberapa hasil penelitian terakhir yang dilakukan bahkan dengan meta-analisis menilai penghindaran alergen termasuk di antaranya tungau debu rumah dan binatang peliharaan tidak memberi manfaat dalam pengendalian asma, namun beberapa penelitian lain justru menyimpulkan bahwa penghindaran alergen masih merupakan tindakan yang sangat bermanfaat.
78
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Tabel 7.2. Faktor pencetus asma dan cara penghindaran
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
79
80
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Gambar 7.1. Rencana Aksi Asma (RAA) P
e d o m a n N a si o n a l A sm a A n a k 2 0 1
1
5
82
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Daftar Bacaan 1. Jones MA. Asthma self-management patient education. Respir Care. 2008; 53:778 –84. 2. FitzGerald M, Batemen ED, Boulet LP, Cruz AA, Haahtela T, Levy ML, dkk. Global initiative for asthma: global strategy for asthma management and prevention updated 2012. 2012 [diakses 3 Mei 2013]. Diunduh dari:www.ginasthma.org. 3. George M, Stoloff S. Teaching patients the critical components of asthma self-management. Journal of Asthma & Allergy Educators. 2012;3:10-9. 4. Hillemeier MM, Gusic, M., Bai Y. Communication and education about asthma in rural and urban schools. Ambul Pediatr. 2006;6:198-203. 5. Bedi RS. Patient education programme for asthmatics: indian perspective. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2007; 49:93-8. 6. Yeatts K, Washington D, Sleath B, Ayala GX, Gilette C, Williams D, dkk. Communication and
education about triggers and
environmental control strategies during pediatric asthma visits. Patient Educ Couns. 2012;86:63-9. 7. National Heart, Lung, and Blood Institute. National asthma education and prevention program expert panel report 3: guidelines for the diagnosis and management of asthma full report 2007. 2007 [diakses 3 Mei 2013]. Diunduh dari: . 8. Asthma self-management goals for children 9 years and younger. [Diakses 3 Mei 2013]. Diunduh dari: http://www.chcs.org/ usr_doc/Self_Management_Goals_for_Children.pdf. 9. Wheeler LS, Bartholomew LK, Boehm R, Brasler M, Constante C, Goldberg E, dkk. Managing asthma a guide for schools. 2003 [diakses 3 Mei 2013]. Diunduh dari: http://www.nhlbi.nih.gov/ health/prof/lung/asthma/asth_sch.pdf.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
83
10. Maryland State Department of Education Student Services and Alternative Programs Branch. Management of student with asthma in school maryland state school health services guideline. 2006 [ d i a k s e s 3 M e i 2 0 1 3 ] . D i u n d u h d a r i : http://www.marylandpublicschools.org/NR/rdonlyres/6561B95 5-9B4A-4924-90AE-F95662804D90/35018/Asthma_Guidelines_ 02272013_.pdf. 11. Murphy S, Bleecker ER, Boushey H, Buist AS, Busse W, Clark NM, dkk. Practical guide for the diagnosis and management of asthma based on the expert panel report 2: guidelines for the diganosis and management of asthma. 1997[diakses 3 Mei 2013]. Diunduh dari: http://www.niehs.nih.gov/health/assets/docs_a_e/asthma_actio n_plan_.pdf. 12. Matondang MA, Lubis HM, Daulay RM, Panggabean G, Dalimunthe W. Peran komunikasi, informasi, dan edukasi pada asma anak. Sari Pediatri.2009;10:314-9. 13. Stevens CA, Wesseldine LJ, Couriel JM, Dyer AJ, Osman LM, Silverman M. Parental education and guided self-management of asthma and wheezing in the pre-school child: a randomised controlled trial. Thorax. 2002;57:39–44. 14. Myers TR. Guidelines for asthma management: a review and comparison
of 5 current guidelines.
Respir Care. 2008;
53(6):751–69. 15. Vichyanond P, Pensrichon R, Kurasirikul S. Progress in the management of childhood asthma. Asia Pac Allergy. 2012;2:15-25. 16. Rahajoe N. Pengobatan pencegahan
asma. Cermin Dunia
Kedokteran. 1991; 69:45-9 17. Castro-Rodríguez JA. Assessing the risk of asthma in infants and pre-scholl children. Arch Bronconeumol. 2006; 42:453-6. 18. Gøtzsche PC, Hammarquist C, Burr M. House dust mite control measures in the management of asthma: meta-analysis. BMJ.1998; 317:1105-10.
84
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
19. Gøtzsche PC, Johansen HK. House dust mite control measures for asthma (review). Cochrane Database Syst Rev. 2008. h.4-5. 20. Platts-Mills T, Leung DYM, Schatz M. The role of allergens in asthma. Am Fam Physician. 2007;76:675-80. 21. Woodfine L, Neal RD, Edwards RT, Linck P, Mullock L, Nethans N, dkk. Enhancing ventilation in homes of children with asthma: pragmatic randomised controlled trial. Br J Gen Prac. 2011; DOI: 10.3399/bjgp11X606636. 22. Burns L, Cifaloglio C, Elwood L, Enoch JP, Geldmaker B, Hughes T, dkk. Guidelines for Managing in Virginia Schools: A Team Approach. Virginia Department of Health in collaboration with Virginia Department of Education and the Virginia Asthma Coalition. 2003 [diakses 3 Mei 2013]. Diunduh dari : http://www.doe.virginia.gov/support/health_medical/asthma/g uidelines_managing_asthma.pdf. 23. Baxi SN, Phipatanakul W. The role of allergen exposure and avoidance in asthma. Adolesc Med State Art Rev. 2010;21:57–71. 24. Liccardi G, Custovic A, Cazzola M, Russo M, D'Amato M,D'Amato G. Avoidance of allergens and air pollutants in respiratory allergy. Allergy. 2001:56:705-22. 25. Kilburn SA, Lasserson TJ, McKean MC. Pet allergen control measures for allergic asthma in children and adults. Cochrane Database Syst Rev. 2001. Issue 1. DOI: 10.1002/14651858. CD002989 . 26. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood. The global asthma report 2011. International
Union Against
Tuberculosis and Lung Disease. 2011 [diakses 3 Mei 2013]. Diunduh dari: http://www.globalasthmareport.org/. 27. Agarkhedkar SR, Bapat HB, Bapat BN. Avoidance of food allergens in childhood asthma. Indian Pediatrics. 2005; 42:362-6. 28. Gupta KB, Verma M. Nutrition and asthma. Lung India . 2007; 24:105-14.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
85
29. Dykewicz MS. Rhinitis and sinusitis. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:S520-9. 30. Bachrier LB, Boner A, Carlsen KH, Eigenmann PA, Frischer T, Götz M, dkk. Diagnosis and treatment of asthma in childhood: a PRACTALL consensus report. Allergy. 2008;63:5-34. 31. Sin DD, Sutherland ER. Obesity and the lung : 4. Obesity and asthma. Thorax. 2008; 63:1018–23. 32. Risnes KR, Belanger K, Murk W, Bracken MB. Antibiotic exposure by 6 months and asthma and allergy at 6 years: findings ina cohort of 1,401 us children. Am J Epidemiol. 2011;173:310-8.
86
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB VIII ASMA DENGAN PENYAKIT PENYERTA Penyakit penyerta atau komorbid yang sering ditemukan pada pasien asma di antaranya rinitis alergi, rinosinusitis, penyakit refluks gastroesofagus ( gastroesophageal reflux disease = GERD), obesitas, dan infeksi respiratori. Dalam menghadapi pasien asma yang tidak dapat mencapai derajat kendali, salah satu yang harus dipikirkan adanya kondisi komorbid ini karena gejala respiratori yang berkelanjutan kadang hanya dipikirkan disebabkan asma semata. Sebagian besar pasien asma dapat mencapai derajat kendali yang baik tetapi beberapa pasien asma ada yang tidak dapat mencapai derajat kendali meskipun sudah dengan terapi yang optimal. Pasien yang tidak dapat mencapai derajat kendali pada tahap 4 tata laksana asma jangka panjang (obat pereda dan dua atau lebih obat pengendali) dikategorikan sebagai difficult-to-treat asthma. Pasien difficult-to-treat asthma merupakan pasien asma yang memiliki respons jelek atau parsial terhadap pengobatan, baik karena pengaruh asma itu sendiri maupun karena adanya pengaruh faktor-faktor lain. Selain penyakit penyerta, hal lain yang dapat menjadi penyebab difficult-to-treat asthma adalah ketepatan diagnosis, akses yang kurang terhadap pengobatan medis, kepatuhan yang jelek terhadap pengobatan, metode inhalasi yang salah, pajanan lingkungan seperti perokok pasif atau pajanan terhadap alergen, dan faktor psikososial. 8.1. Rinitis alergi dan rinosinusitis
Rinosinusitis dan asma menunjukkan terdapat hubungan antara saluran respiratori atas dan bawah yang dikenal sebagai konsep united airway disease. Dasar pemikiran konsep ini antara lain teori tentang epitel, inervasi (sinu-nasal-bronchial reflex ), dan inflamasi (bone marrow derived systemic inflammation syndrome). Di antara ketiga teori tersebut, teori inflamasi dikatakan yang paling banyak berperan. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
87
Sebagian besar pasien asma terkena rinitis dan sekitar 20-40% pasien dengan rinitis persisten akan berkembang menjadi asma. Rinitis selain sebagai faktor risiko terjadinya asma, juga merupakan salah satu faktor yang akan meningkatkan derajat keparahan asma dan penggunaan obat-obatan asma. Alergen yang ditengarai berpotensi menimbulkan rinitis dan asma adalah alergen indoor dan outdoor seperti tungau debu rumah (housedustmite), bulu binatang, dan pollen. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) merekomendasikan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya asma pada semua pasien dengan rinitis. Rinitis alergi sering luput tidak terdiagnosis pada pasien asma dan sering pula tidak diobati dengan semestinya. Terbukti bahwa penelantaran pengobatan rinitis meningkatkan morbiditas asma. Tata laksana rinitis yang tepat akan memperbaiki gejala asma. Obat anti inflamasi termasuk steroid topikal, antileukotrin, dan antikolinergik dapat berperan efektif baik pada rinitis maupun asma. Tetapi, ada obat yang hanya efektif terhadap rinitis (misalnya antagonis H1) dan efektif terhadap asma (misalnya agonis β2). Penelitian tentang penggunaan steroid intranasal untuk rinitis alergi menunjukkan perbaikan gejala nasal (bersin, rinorea, hidung buntu dan gatal), serta gejala okular jangka pendek. Oleh karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa pengobatan rinitis alergi yang menyertai asma akan mengurangi gejala rinitis. Pertanyaannya adalah apakah pengobatan rinitis alergi akan memperbaiki kendali asma? Pada pasien dewasa, penggunaan steroid intranasal berhubungan dengan penurunan bermakna risiko perawatan darurat dan rawat inap terkait asma (adjusted OR:0,75; KI95%: 0,62 – 0,91 dan 0,56; 0,42 – 0,76, berurutan). Kelompok ARIA merekomendasikan pemakaian steroid intranasal baik pada pasien dewasa maupun anak, walaupun bukti pada anak masih lebih rendah dibanding dengan pada dewasa.
88
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Sinusitis merupakan komplikasi dari infeksi saluran respiratori atas, rinitis alergi, atau bentuk lain dari obstruksi nasal. Sinusitis akut maupun kronik dapat memperburuk gejala asma. Diagnosis sinusitis, selain berdasarkan gambaran klinis, direkomendasikan pula untuk berdasarkan pemeriksaan penunjang seperti CT scan. Dokter perlu membedakan sinusitis viral dan sinusitis bakteri. Bila dicurigai infeksi bakteri dengan gejala menetap lebih dari 10 hari dan tidak membaik; panas tinggi yang didahului purulent nasal discharge sedikitnya 3-4 hari, atau perburukan gejala infeksi saluran respiratori atas setelah sebelumnya menunjukkan gejala perbaikan (doublesickening), direkomendasikan diberikan antibiotika. 8.2. Refluks gastroesofageal
Refluks gastroesofageal merupakan faktor yang sering terlupakan dalam etiopatogenesis asma. Asma dan
refluks
gastroesofageal dapat terjadi bersamaan pada seorang pasien tanpa saling berhubungan atau keduanya saling memberatkan, karena efek fisiologis obstruksi saluran respiratori pada asma memperburuk refluks gastroesofageal atau refluks gstroesofageal memicu terjadinya bronkokonstriksi pada asma. Kecurigaan terdapatnya refluks gastroesofageal sebagai penyakit penyerta asma, khususnya pada pasien difficult-to-treat asthma, dipikirkan jika terdapat gejala asma yang memberat terutama malam hari atau saat berbaring, atau memburuk setelah makanan. Telaah pustaka tentang pengobatan refluks gastroesofageal dengan berbagai macam modalitas seperti proton pumps inhibitor , antagonis H2, dan pembedahan gagal menunjukkan keuntungannya. Penelitian pada pasien asma dewasa tanpa gejala refluks gastroesofageal menunjukkan pengobatan dengan proton pumps inhibitors (PPI) tidak memperbaiki gejala ataupun eksaserbasi asma. Hasil penelitian pengobatan anti refluks tidak terbukti bermanfaat, terutama pada anak yang lebih besar, tetapi pengobatan secara empiris cukup beralasan pada anak yang lebih kecil jika riwayatnya mendukung adanya refluks gastroesofageal. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
89
8.3. Obesitas
Asma akan lebih sulit dikendali pada pasien dengan obesitas. Hubungan antara obesitas dengan asma cukup kompleks. Faktor yang memengaruhi di antaranya adalah pengaruh refluks gastroesofageal, efek dari obstructive sleep apnea, faktor mekanik, dan faktor lain yang belum bisa ditentukan. Literatur juga menunjukkan terdapat perbedaan jenis kelamin, perkembangan paru, dan pubertas yang memengaruhi interaksi antara obesitas dengan jalan napas. Diagnosis asma pada pasien obesitas seyogyanya disertai dengan pengukuran parameter hiperreaktivitas bronkus karena gejala respiratori pada pasien obesitas seringkali menyerupai asma. Tidak cukup bukti yang menyatakan adanya perbedaan tata laksana asma dengan obesitas atau tanpa obesitas. Penurunan berat badan pada pasien obesitas akan memperbaiki derajat kendali asma, fungsi paru, dan mengurangi kebutuhan penggunaan obat-obatan. 8.4. Infeksi saluran respiratori
Infeksi saluran respiratori berperan penting pada asma karena dapat memperburuk timbulnya gejala asma dan umum ditemukan pada anak yang mengalami serangan asma. Mikroorganisme yang sering dikaitkan dengan peningkatan gejala asma adalah virus, sedangkan bakteri lebih jarang. Virus yang sering menjadi penyebab wheezingpada bayi adalah respiratory syncytial virus, sementara rhinovirus merupakan trigger utama wheezing dan memperparah gejala asma pada anak yang lebih besar dan dewasa. Virus respiratori lain seperti virus influenzae, parainfluenzae, adenovirus, dan coronavirus juga dikaitkan dengan timbulnya wheezing dan gejala asma.
Sejumlah mekanisme yang menerangkan virus respiratori ini dapat menjadi trigger wheezing dan meningkatkan hipereaktivitas saluran napas, termasuk kerusakan epitel saluran napas, stimulasi antibodi IgE spesifik, pengeluaran mediator dan late asthmatic response terhadap alergen inhalasi. Selain itu infeksi virus ikut berperan dalam respons inflamasi. 90
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Tata laksana saat terjadi serangan asma yang dipicu infeksi virus sama seperti tata laksana serangan asma karena sebab lain dengan inhalasi agonis β2 kerja pendek dan steroid oral. Peran infeksi Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae dalam patogenesis atau perburukan gejala asma belum jelas, termasuk penggunaan makrolid.
Daftar Bacaan 1. Global Initiative for Asthma ( GINA). Diunduh dari http://www.ginasthma.org/.Diakses pada tanggal 21 Maret 2012 . 2. Bousquet J, Mantzouranis E, Cruz AA, Aý¨t-Khaled N, Baena-Cagnani CE, Bleecker ER, dkk. Uniform definition of asthma severity, control, and exacerbations: Document presented for the World Health Organization Consultation on Severe Asthma. J Allergy Clin Immunol. 2010;126:926-38. 3. Passalacqua G, Ciprandi G, Canonica GW. United airways disease: therapeutic aspects. Thorax. 2000;55:S26-S27 4. Ciprandi G, Caimmi D, del Guidice MM, La Rosa M, Salpietro C, Marseglia GL. Recent developments in united airways disease. Allergy Asthma Immunol Res. 2012;4:171-7. 5. Bousquet J, Van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma. J Allergy Clin Immunol. 2001;108:S147-334. 6. Dahl R, Nielsen LP, Kips J, Foresi A, van Cauwenberge, Tudoric N, dkk. Intranasal and inhaled fluticasone propionate for pollen induced rhinitis and asthma. Allergy. 2005;60:875-81. 7. Price D, Zhang Q, Kocevar VS, Yin DD, Thomas M. Effect of a concomitant diagnosis of allegic rhinitis on asthma related health care use by adults. Clin Exp Allergy. 2005;35:282-7. 8. Adams RJ, Fuhlbrigge AL, Finkelstein JA, Weiss ST. Intranasal steroids and the risk of emergency department visits for asthma. J Allergy Clin Immunol. 2002;109:636-42. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
91
9. Corren J, Manning BE, Thompson SF, Hennessy S, Strom BL. Rhinitis therapy and the prevention of hospital care for asthma: a casecontrol study. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:415-19. 10. Brozek JL, Bousquet J, Baena-Cagnani CE, Bonini S, Canonica GW, Casale TB, dkk. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines: 2010 revision. J Allergy Clin Immunol. 2010;126:46676. 11. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, dkk. IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Diunduh dari http://cid.oxfordjournals.org/atIDSA. Diakses pada tanggal 21 Maret 2012. 12. Mathew JL, Sign M, Mittal SK. Gastroesophageal reflux and bronchial asthma: current status and future directions. Post Grad Med J. 2004;80:701-5. 13. Thakkar K, Boatright RO, Gilger MA, El Serag HB. Gastroesophageal reflux and asthma in children: a systematic review. Pediatrics. 2010;125:e925-30. 14. Bowrey DJ, Peters JH, DeMeestervTR. Gastroesophageal reflux disease in asthma: effects of medical and surgical antireflux therapy on asthma control. Ann Surg. 2000;231:161-72. 15. Chan WW, Chiou E, Obstein KL, Tignor AS, Whitlock TL. The efficacy of proton pump inhibitors for the treatment of asthma in adults: a meta analysis. Arch Intern Med. 2011;171; 620-9. 16. Matronarde JG, Anthonisen NR, Castro M, Holbrook JT, Leone FT, Teague WG, Wise RA. Efficacy of esomeprazole for treatment of poorly controlled asthma. N Engl J Med. 2009;360:1487-99. 17. Stardal K, Johannesdoltir GB, Bentsen BS, Knudsen PK, Carlsen KCL, Closs O, dkk. Acid Supression does not change respiratory symptoms in children with asthma and gastroesophageal reflux disease. Arch Dis Child. 2005;90:956-60.
92
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
18. Saint-Pierre P, Bourdin A, Chanez P, Daures JP, Godard P. Are overweight asrhmatics more difficult to control? Allergy 2006;61:97-84. 19. Enell IU, Skybo T, Camargo CA Jr. Weight loss and asthma: a systematic review. Thorax. 2008;63:671-6. 20. Busse
WW. Respiratory
infections: their
role in airway
responsiveness and the pathogenesis of asthma. J Allergy Clin Immunol. 1990;85:671-83.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
93
BAB IX ASMA PADA ANAK BALITA Diagnosis asma pada anak usia
≤5
tahun (balita), merupakan
suatu tantangan tersendiri karena manifestasi klinis tidak spesifik dan beragam. Wheezing berulang merupakan gejala paling sering terjadi, tetapi kita tidak dapat menegakkan diagnosis asma secara langsung, karena wheezing pada anak balita dapat disebabkan oleh infeksi virus saluran respiratori dengan akibat terjadi obstruksi parsial. Frekuensi dan lamanya wheezing selama infeksi respiratori akut, menjadi indikator utama untuk memulai dugaan ke arah asma, ditambah dengan riwayat alergi pada keluarga. 9.1. Patogenesis dan patofisiologi asma anak balita
Perbedaan utama dalam patogenesis pada anak balita adalah respons Th-2 dominan (IL-4 tinggi dan IFN-ã rendah) ditemukan pada asma alergi, sedangkan respons inflamasi Th1 (IL4 rendah dan IFN-ã tinggi) lebih sering diidentifikasi pada asma non-alergi. Atas dasar keadaan ini maka diduga terdapat perbedaan mekanisme imun dan inflamasi untuk virus respiratory infection–induced asthma dan asma alergi. Beberapa istilah dan klasifikasi wheezing terdahulu yang yang sering digunakan pada penjelasan tentang asma pada balita, ternyata merupakan fenotip wheezing yang bersifat sementara dan tidak jelas apabila diterapkan di dalam klinis. Klasifikasi wheezing seperti viral induced wheezing, episodic wheezing, transient wheez ing, persistent wheezing, late–onset wheezing, tidak praktis pada pemakaian sehari hari, sehingga cenderung over – dan underdiagnosis asma. 9.2. Diagnosis asma anak balita
Perbedaan utama asma pada anak balita dengan di atas 5 tahun, adalah peran infeksi virus terhadap timbulnya wheezing. Frekuensi dan Pedoman Nasional Asma Anak 2015
95
durasi gejala, pemicunya terhadap gejala, serta riwayat alergi keluarga dipakai sebagai petunjuk awal untuk menduga asma, ditambah dengan faktor alergi. Diagnosis asma anak balita dapat ditegakkan berdasarkan : •
Pola gejala (wheezing, batuk, sesak napas, gejala malam hari sampai terbangun)
•
Adanya faktor risiko untuk berkembang asma
•
Respons terhadap terapi pengendali
Gambar 9.1. Skema kemungkinan asma pada anak balita (Modifikasi GINA 2015)
96
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Tabel 9.1. Gambaran klinis yang mendukung diagnosis asma pada anak balita (Modifikasi GINA 2015)
9.2.1. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk diagnosis asma pada anak balita, tetapi beberapa uji berikut mungkin membantu. a.
Uji terapi Uji terapi dengan menggunakan bronkodilator inhalasi
(short –acting beta agonist , agonis β2 kerja pendek) bila diperlukan dan dosis rendah inhaled corticosteroid (ICS) dengan menggunakan spacer yang diberikan selama 2 bulan dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Apabila gejala berkurang selama pengobatan dan memberat pada saat pengobatan dihentikan, maka diagnosis asma menjadi lebih kuat. Apabila steroid inhalasi tidak tersedia sebagai uji terapi, diagnosis asma tetap dapat ditegakkan. b.
Uji untuk atopi Sensitisasi terhadap alergen untuk diagnosis asma dapat
diperiksa dengan uji alergi kulit, eosinofil darah >4%, atau IgE alergen
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
97
spesifik, tetapi kurang bermakna pada anak usia balita. Gejala alergi sering ditemukan pada mayoritas anak asma ketika mereka berusia lebih dari 3 tahun, akan tetapi jika tidak ada alaergi belum tentu anak tidak asma. c.
Foto toraks Jika terdapat keraguan, maka dapat dilakukan foto toraks untuk
melihat adanya kelainan struktur, benda asing, atau gambaran tuberkulosis. Foto toraks lebih berperan untuk menyingkirkan diagnosis banding. 9.3. Diagnosis banding
Tabel 9.2. Diagnosis banding asma anak balita
98
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
9.4. Indikasi untuk rujukan
Jika ditemukan hal berikut, maka perlu dirujuk untuk penelusuran lebih lanjut : •
Gagal tumbuh
•
Neonatus atau awitan gejala yang sangat dini (khususnya jika terjadi gagal tumbuh)
•
Muntah yang disertai gejala respirasi
•
Wheezingyang terus–menerus
•
Gagal terhadap pemberian obat pengendali asma
•
Tidak ada gejala dengan pemicu tertentu, seperti IRA
•
Tanda–tanda kelainan paru atau kardiovaskuler atau jari tabuh (clubbingoffingers)
•
Hipoksemia saat tidak infeksi virus
9.5. Tata laksana jangka panjang asma anak balita
Secara umum, evaluasi gejala pada asma anak balita sama dengan asma pada usia di atas 5 tahun. Komponen kunci adalah edukasi, pelatihan pemakaian alat inhalasi yang benar dan keteraturannya, strategi nonfarmakologi termasuk kontrol lingkungan yang baik, monitoring berkala, dan evaluasi klinis. Seperti pada asma anak > 5 tahun, obat asma diberikan secara bertahap sesuai dugaan awal yang akan menentukan di jenjang mana terapi dimulai.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
99
0
P
Keterangan: Inhaled Corticosteroid, steroid inhalasi (ICS); Leukotrien Receptor Antagonist (LTRA) o
d
e m a n a
N
Gambar 9.2. Tahapan terapi pengendali asma anak balita
5
1
0
2
k
a
n
A
a
sm
A
l
a
n
o
si
JENJANG 1 : Tidak perlu pemberian obat pengendali asma JENJANG 2 : Agonis β2 kerja pendek inhalasi bila perlu Semua anak yang mengalami episode wheezing harus diberikan agonis β2 kerja pendek inhalasi untuk mengurangi gejala (Evidence D). Terapi bronkodilator oral tidak direkomendasikan karena awitan aksi yang lambat dan tingkat efek samping yang tinggi dibandingkan dengan agonis β2 kerja pendek inhalasi (Evidence D). JENJANG 3: Terapi awal dengan obat pengendali, dengan agonis β2 kerja pendek inhalasi bila perlu Inhaled Corticosteroid (ICS) atau steroid inhalasi dosis rendah tiap hari ditambah agonis β2 kerja pendek bila perlu. Steroid inhalasi dosis rendah merupakan pilihan terbaik untuk terapi inisial agar
tercapai
kendali asma pada anak ≤5 tahun (Evidence A). Terapi awal ini harus diberikan setidaknya selama 3 bulan untuk memastikan efektifitasnya dalam mencapai kendali asma yang baik. Bila belum terkendali, dapat ditambahkanLeukotriene Receptor Antagonist(LTRA). JENJANG 4 : Obat pengendali tambahan dengan agonis β2 kerja pendek inhalasi bila perlu Jika terapi awal 3 bulan dengan ICS dosis rendah gagal untuk mengendalikan gejala, atau jika eksaserbasi menetap, lihat hal berikut ini sebelum mempertimbangkan untuk menaikkan terapi. •
Pastikan bahwa gejala–gejala disebabkan asma bukan karena penyakit yang lain
•
Tilik dan koreksi penggunaan inhaler
•
Pastikan kepatuhan pemakaian obat sesuai dosis yang ditentukan
•
Selidiki tentang faktor risiko seperti alergen atau pajanan asap rokok
Pilihan utama : ICS dosis menengah. Pilihan lain : kombinasi LTRA dengan ICS dosis rendah dapat diberikan. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
101
JENJANG 5 : Lanjutkan obat pengendali dan rujuk ke konsultan respiurologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut Pilihan terbaik : rujuk anak ke konsultan respirologi anak untuk investigasi lebih lanjut (Evidence D). Jika penggandaan dosis ICS inisial gagal untuk mendapatkan dan menjaga kendali asma yang baik, dan jika kendali gejala tetap jelek dan/atau eksaserbasi yang menetap, atau jika dicurigai adanya efek samping terapi, anak harus dirujuk ke konsultan respirologi anak. Tabel 9.3. Inhaled Corticosteroid (ICS) / steroid inhalasi harian dosis rendah untuk anak balita
9.5.1 Penentuan tingkat kendali asma Menentukan tingkat kendali gejala asma pada anak balita tidak mudah. Dokter bergantung pada laporan anggota keluarga atau pengasuh, sehingga anamnesis harus dilakukan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
102
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Tabel 9.4. Klasifikasi asma anak balita berdasarkan derajat kendali
9.5.2. Menilai respons dan penyesuaian terapi •
Kunjungan rutin tiap 3-6 bulan, untuk evaluasi kendali asma, faktor risiko dan efek samping.
•
Tinggi anak harus diukur minimal tiap 3 bulan, atau lebih sering.
•
Jika terapi dihentikan, jadwalkan kunjungan kontrol 3-6 minggu setelahnya untuk memeriksa apakah gejala muncul lagi.
•
Orang tua/pengasuh harus diberikan rencana aksi asma (RAA) dengan gejala spesifik yang rinci tentang perburukan asma, pengobatan yang harus diberikan di awal, dan kapan dan bagaimana mengontak petugas kesehatan.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
103
9.6. Tata laksana serangan asma anak balita
Pada prinsipnya gejala serangan asma pada anak balita hampir sama dengan anak di atas 5 tahun, kecuali pada beberapa indikator tertentu terdapat perbedaan. Kemungkinan perburukan klinis lebih cepat terjadi, sehingga klasifikasi serangan asma pada anak balita lebih agresif, dan cenderung untuk segera dilakukan rujukan ke rumah sakit. Tata laksana awal oleh orang tua di rumah, hanya boleh dilakukan satudua kali, dan harus segera dibawa ke IGD jika tidak terdapat perbaikan. Gejala awal serangan asma termasuk berikut: •
Wheezingatau sesak napas yang akut atau subakut
•
Batuk terutama saat anak tidur
•
Letargis atau aktivitas berkurang
•
Gangguan aktivitas sehari-hari, termasuk makan
•
Respons buruk terhadap pengobatan
•
Gejala infeksi saluran respiratori atas (selesma, common cold, rinofaringitis) seringkali mendahului eksaserbasi asma.
9.6.1. Penilaian tingkat keparahan serangan asma
Tabel 9.5. Penilaian awal serangan asma pada anak balita
104
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Tabel 9.6. Indikasi rujukan ke rumah sakit segera untuk anak balita
9.6.2.
Kriteria pulang dari RS dan pemantauan setelah eksaserbasi Sebelum dipulangkan keadaan anak harus stabil (misal anak
harus sudah dapat berjalan dan bisa makan dan minum tanpa masalah). Anak yang baru selesai mengalami eksaserbasi memunyai risiko untuk mengalami episode serangan ulang dan membutuhkan pemantauan. Tujuannya untuk memastikan perbaikan komplit, menentukan penyebab eksaserbasi, dan kapan sebaiknya menetapkan terapi lanjutan yang cocok dan kepatuhan anak (Evidence (EvidenceD). D).
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
105
Tata laksana serangaan asma pada anak balita di tempat pelayanan Gambar 9.3. Tata primer (Modifikasi GINA 2015)
106
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Daftar Bacaan 1. Masoli M, Fabian D, Holt S, Beasley R. The global burden of asthma: Executive summary of the t he GINA Dissemination Committee report. Allergy 2004;59:469– 2004;59:469–478. –like symptoms in 2. Bisgaard H, Szefler S. Prevalence of asthma asthma– young children. Pediatr Pulmonol. 2007;42:723– 2007;42:723–728. 3. Kuehni CE, Strippoli MP, Low N, Brooke AM, Silverman M. Wheeze and asthma prevalence and related health– health–service use in white and south Asian pre– pre–school children in the United Kingdom. Clin Exp –1746. Allergy. 2007;37:1738 2007;37:1 738– 4. Martinez FG, Wright AL, Taussig LM, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ. Asthma and Wheezing in the first six years of life. The Group Health Medical Associates. N Engl J Med. 1995;332:133– 1995;332:133–138. 5. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Diagnosis and Prevention. Global Initiative for Asthma (updated 2009). Tersedia dari: dari: http://www.ginasthma.org. http://www.ginasthma.org. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
107
6. Brand PL, Baraldi E, Bisgaard H, Boner AL, Castro–Rodriguez JA, Custovic A, dkk. Definition, assessment and treatment of Wheezing disorders in preschool children: An evidence–based approach. Eur Repir J. 2008;32:1096–1110. 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS). Jakarta; 2007. 8. Bufford JD, Gern JE, Early exposure to pets: Good or bad? Curr Allergy Asthma Rep. 2007;7:375–382. 9. Moraitaki P. Severe Asthma : Definitions, risk factors and phenotype characterization. Pneumon. 2010;23(3):276–92. 10. Bacharier L. Diagnosis and treatment of asthma in childhood: A PRACTALL consensus report. Allergy. 2008;63(1):5–34. 11. Bush A. Phenotypic differences between pediatric and adult asthma. Proc Am Thorac Soc. 2009;6(8):712–9. 12. Carlsen K. Identification of asthma phenotypes in children. Breathe. 2011;8(1):39–43. 13. Spycher B. Phenotypes of childhood asthma: are they real ? Clin Exp Allergy. 2010;40(8):1130–41. 14. Spycher B. Distinguishing phenotypes of childhood wheeze and cough using latent class analysis. Eur Respir J. 2008;31(5):974–81. 15. Stein R. Peak flow variability, methacoline responsiveness and atopy as markers for detecting different Wheezing phenotypes in childhood. Thorax. 1997;52:946–52. 16. Morgan WJ, Stm DA, Sherril DL, Guerra S, Holberg CJ, Guilbert TW, dkk. Outcome of asthma and Wheezing in the first 6 years f life follow–up through adolescence. Am J Respir Crit Care Med.2005;172:1253–58. 17. Boehmer ALM, Merkus PJFM. Asthma therapy for children under 5 years of age. Lippincott Williams & Wilkins.2006;12:34–41. 18. Stein RT, Martinez FD. Asthma phenotypes in childhood:lessons f r om a n e p id e mi o lo g ic a l a pp ro ac h . Pa e d R es p ir Rev.2004;5:155–161.
108
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
19. Roorda RJ, Mezei G, Bisgaard H, Maden C. Respons of preschool children with asthma symptopms to fluticasone propionate. J Allergy Clin Immunol.2001; 108(4): 540–6. 20. Henderson J. Association of Wheezing phenotypes in the first 6 years of life with atopy, lung function, and airway responsiveness in mild–childhood. Thorax. 2008;63: 974–80. 21. Global Initiative for Asthma. A Pocket Guide for Physicians and Nurses 2009. 22. Potter PC. Current guidelines for the management of asthma in young children. Allergy Asthma Immunol Res.2010;2(1):1–13. 23. NIH. National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel Report III: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. Bethesda, MD: National Institutes of Health; National Heart, Lung, and Blood Institute; 2007. NIH Publication No. 07– 4051. 24. Pontes MJF, Fonseca MTM, Camargos PAM, Affonso AGA, Calazans GMC. Asthma in children under five uears of age: problems in diagnosis and in inhaled corticosteroid treatmen. J Bros Pneumol.2005;31(3):244–53. 25. Szefler S, Weiss S, Tonascia J. Long–term effects of budesonide or nedocromil in children with asthma; The Childhood Asthma M a n a g e m e n t P r o g ra m Re s e a r c h G r o u p . N E n g l J Med.2000;343(15):1054–63. 26. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Management and Prevention. Global Initiative for Asthma (updated 2015). Tersedia dari: http://www.ginasthma.org. 27. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Management and Prevention. Global Initiative for Asthma (Revised 2014). Tersedia dari: http://www.ginasthma.org.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
109
BAB X KEKELIRUAN DALAM TATA KELOLA ASMA Asma merupakan penyakit paru kronik yang sering dijumpai pada anak. Diagnosis asma sering sulit ditegakkan karena beberapa penyakit dapat menyerupai asma. Di sisi lain asma kadang-kadang tidak terdiagnosis karena dianggap asma tidak mungkin terjadi pada anak di bawah 3 tahun. Demikian pula tata laksana asma masih banyak yang kurang tepat. Dalam bab ini dibahas tentang kekeliruan yang sering terjadi pada asma baik dalam hal diagnosis maupun tata laksana. 10.1. Kekeliruan pada diagnosis 1.
Bila dijumpai wheezing pasti asma Wheezing merupakan gejala yang sering dijumpai pada asma
selain batuk dan sesak. Wheezing merupakan manifestasi sumbatan saluran respiratori bagian bawah sehingga identik dengan sumbatan bronkus dengan diameter yang kecil. Namun demikianwheezing bukan hanya terjadi pada asma karena beberapa keadaan medis dapat memperlihatkan gejala wheezing seperti bronkiolitis, benda asing, bahkan pada bayi normal (chesty child ). Pada bronkiolitis, wheezing dapat terjadi karena inflamasi pada bronkiolus akibat infeksi virus terutama RSV (respiratory syncitial virus) dan umumnya wheezing timbul pertama kali. Perbedaan asma dan bronkiolitis adalah pada bronkiolitis, wheezing terjadi pertama kali dan pada usia di bawah 2 tahun, sedangkan pada asma, wheezing terjadi berulang yang bersifat episodik, terutama malam hari, dan perbaikan yang nyata dengan bronkodilator dan umumnya pada anak di atas 2 tahun. Perbedaan wheezing akibat benda asing dan asma adalah pada benda asing wheezing terdengar pada satu sisi saja disamping adanya riwayat masuknya benda asing ke saluran respiratori sedangkan pada asma wheezingbersifat menyeluruh (dua sisi).
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
111
Perbedaan wheezing pada chesty child dan asma adalah pada chesty child biasanya terjadi pada bayi dengan berat badan lebih (obesitas) dengan riwayat atopi dan bayi tampak tetap ceria (tanpa gejala lainnya) sedangkan pada asma biasanya disertai gejala lain seperti batuk dan sesak. 2.
Batuk lama dan berulang pasti asma Batuk lama dan berulang merupakan gejala utama asma di
samping wheezing dan sesak napas. Namun batuk lama dapat ditemukan pada beberapa keadaan di luar asma misalnya GERD ( gastroesophageal reflux disease), pertusis, dan rinosinusitis. Perbedaan batuk lama dan berulang pada GERD dan asma adalah pada GERD selain batuk lama dapat disertai gejala lain seperti sering muntah, demam yang tidak tinggi, dan berat badan yang sulit naik serta umumnya pada anak di bawah 3 tahun. Pada asma, batuk lama biasanya diserta gejala lain seperti wheezing dan sesak sedangkan berat badan umumnya normal tidak terdapat failure to thrive(FTT). Perbedaan batuk lama pada pertusis dan asma adalah pada pertusis batuknya disertai whooping dan sulit inspirasi bahkan disertai muntah sedangkan pada asma batuk bersifat episodik, terutama malam hari dan dapat sembuh dengan atau tanpa bronkodilator. Perbedaan batuk lama pada rinosinusitis dan asma adalah pada rinosinusitis disertai post nasal drip dan nyeri tekan pada daerah sinus paranasal. Di satu sisi rinosinusitis disertai gejala lain seperti hidung yang tersumbat dan gangguan suara sengau. 3.
Diagnosis asma harus dengan uji fungsi paru Pada asma terjadi sumbatan pada saluran respiratori yang
dapat diketahui dengan pemeriksaan uji fungsi paru yaitu menurunnya FEV1 di bawah 80% dari prediksi uji fungsi paru sesuai umur, jenis kelamin, dan tinggi badan. Bahkan untuk menentukan diagnosis pasti asma adalah dengan uji provokasi bronkus dengan histamin atau
112
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
metakolin. Terjadinya penurunan FEV1 sebesar 20% pada uji provokasi bronkus menunjukkan diagnosis pasti asma. Namun demikian bukan berarti tanpa pemeriksaan uji fungsi paru dengan atau tanpa provokasi bronkus, tidak dapat ditentukan asma. Asma dapat ditegakkan secara klinis dengan memperhatikan gejalanya yaitu batuk dan atau wheezing yang bersifat episodik (berulang) timbul terutama pada malam hari, dapat hilang dengan atau tanpa obat bronkodilator serta adanya atopi pada keluarga atau dirinya sendiri. Dengan kriteria tersebut sudah dapat didiagnosis asma dan ditatalaksana sebagai asma. 4.
Diagnosis asma hanya pada anak di atas 5 tahun Diagnosis asma pada anak di atas 5 tahun lebih mudah yaitu
ditandai dengan batuk lama dan atau wheezing. Pada anak yang lebih besar pemeriksaan uji fungsi paru dapat dilakukan tetapi pada anak yang di bawah 5 tahun (balita) uji fungsi paru tidak dapat dilakukan. Namun demikian bukan berarti diagnosis asma tidak dapat dilakukan pada anak balita. Pada pedoman ini dibahas secara khusus asma pada balita pada Bab IX: Asma pada anak usia di bawah 5 tahun. 5.
Skin prick test Tidak semua anak untuk menentukan diagnosis asma
memerlukan pemeriksaan penunjang skin prick test . Skin prick test hanya untuk menentukan anak atopi saja dan tidak spesifik untuk mendapatkan alergen yang utama. Meskipun skin prick test positif belum tentu menjadi alergen yang utama karena harus dikonfirmasikan dengan kesesuaian/relevansi gejala yang timbul. 6.
Foto toraks perlu dilakukan untuk diagnosis asma Patofisiologi asma adalah inflamasi saluran respiratori dan
remodelling sehingga terjadi obstruksi aliran udara, yang dapat kembali spontan maupun dengan pengobatan. Kelainan asma pada foto toraks tidak patognomonik. Salah satu gambaran yang dapat
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
dilihat
113
pada asma adalah emfisematus akibat gangguan aliran keluar udara dari paru. Namun, gambaran tersebut tidak selalu ditemukan dan dapat pula merupakan bagian dari penyakit paru dan saluran respiratori lain. Dengan demikian, foto toraks bukan merupakan pemeriksaan diagnostik untuk menegakkan asma. Foto toraks baru dilakukan jika dipikirkan diagnosis lain selain asma. 10.2. Kekeliruan pada tata laksana 10.2.1. Pada saat serangan 1.
Antihistamin Asma merupakan penyakit respiratori yang sebagian besar
didasari alergi sehingga sering diberikan antihistamin pada saat serangan. Teori bahwa asma merupakan penyakit yang didasari alergi adalah benar tetapi pada saat serangan asma yang dominan adalah bronkokonstriksi sehingga terapi pilihan adalah bronkodilator. Pada serangan asma terjadi keadaan bronkokonstriksi, inflamasi dan hipersekresi yang dengan pemberian antihistamin terutama generasi pertama akan membuat sputum menjadi lebih kental yang dapat berakibat obstruksi saluran napas. Jika pada pasien asma terdapat rinitis alergi dapat digunakan antihistamin generasi baru untuk mengatasi gejala rinitisnya. 2.
Steroid inhalasi dosis rendah (sebagai obat pereda) Steroid sistemik diberikan pada asma serangan sedang dan
berat disamping bronkodilator. Namun beberapa penelitian menggantikan steroid sistemik dengan steroid inhalasi dosis tinggi. Pemberian steroid dosis tinggi (2400 mikrogram sehari dibagi 4 dosis) dilaporkan memunyai efektivitas yang sama dengan steroid sistemik. Dengan demikian penggunaan steroid dosis rendah untuk mengatasi serangana asma tidak dianjurkan karena data yang ada hanya dengan dosis tinggi.
114
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
3.
Kombinasi steroid dan LABA sebagai pereda serangan Penggunaan kombinasi LABA, yang memiliki waktu kerja
hingga 12 jam, dan steroid ditujukan sebagai obat pengendali. Penggunaan kombinasi obat tersebut sebagai pereda tidak tepat karena waktu kerja LABA yang panjang serta dosis steroid yang digunakan sebagai kombinasi adalah dosis rendah. Maka dari itu, perlu diingat bahwa terapi inhalasi LABA dengan steroid tidak bermanfaat sebagai pereda serangan asma, namun berguna bila digunakan sebagai pengendali, yang diberikan tiap 2 kali perhari. 4.
Kekeliruan dalam pemberian obat nebulisasi a.
Pemberian obat nebulisasi harus sampai habis Pemberian bronkodilator pada serangan asma yang terbaik adalah secara inhalasi dibandingkan oral. Dosis bronkodilator yang diberikan secara inhalasi pada serangan asma tidak tergantung pada usia dan berat badan, dan bila pada saat diberikan gejala menghilang maka dapat dihentikan tanpa harus menunggu sampai obat habis. Dengan demikian pemberian obat inhalasi tidak harus sampai habis meskipun dapat diberikan sampai habis.
b.
Nebulisasi dengan campuran berbagai obat (SABA, steroid, mukolitik) untuk mengatasi serangan asma Karakterisasi dari serangan asma adalah bronkospasme sehingga tata laksana awal serangan asma adalah menggunakan bronkodilator awitan cepat, kerja pendek untuk mengatasi serangan asma tersebut. Dengan demikian, SABA merupakan pilihan obat pereda yang tepat untuk mengatasi serangan asma. Campuran berbagai obat, yaitu SABA, steroid (yang biasanya diberikan dalam dosis rendah), serta mukolitik tidak efektif untuk mengatasi serangan asma. Penggunaan mukolitik bahkan dapat memperuruk keluhan batuk pada serangan asma.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
115
c.
Nebulisasi dengan sistem paket Praktik yang sering dilakukan saat ini adalah pemberian nebulisasi dengan sistem paket, yaitu telah ditentukan sebelumnya jumlah pemberian nebulisasi tanpa melihat gejala klinis. Obat yang sering digunakan adalah SABA, maupun campuran SABA dengan steroid, juga mukolitik. Praktik ini tentu tidak bermanfaat dan dapat berbahaya pada pasien. Nebulisasi merupakan salah modalitas pemberian obat langsung ke organ target yaitu saluran respiratori, sesuai dengan indikasi klinis. Tanpa indikasi yang jelas, misalnya absennya gejala saluran respiratori, nebulisasi tidak perlu diberikan. Pemberian obat yang tidak tepat dapat merugikan pasien dengan munculnya efek samping, misalnya takikardi pada pemberian agonis β, atau tumbuh jamur pada rongga oral pada pemberian nebulisasi steroid sistem paket.
10.2.2. Tata laksana jangka panjang 1.
Penggunaan bronkodilator kerja pendek (SABA) sebagai pengendali Pada serangan asma terjadi bronkokonstriksi sehingga obat
pilihan adalah bronkodilator. Pada asma persisten serangan asma dapat terjadi hampir setiap bulan sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Untuk mengatasi hal tersebut maka setiap hari selalu diberikan bronkodilator. Hal ini tidak dianjurkan karena penggunaan bronkodilator kerja pendek dalam waktu lama akan menyebabkan takifilaksis dan pengurangan reseptor β2 agonis yang berdampak kurang efektif terhadap bronkodilator. Pada asma yang sering menggunakan bronkodilator dalam waktu lama harus dipertimbangkan bahwa asmanya sudah termasuk asma persisten yang membutuhkan obat pengendali misalnya steroid inhalasi.
116
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
2.
Obat asma dalam bentuk inhalasi berbahaya Prinsip dasar terapi inhalasi adalah pemberian obat dalam
bentuk aerosol melalui hirupan langsung ke saluran respiratori. Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah dengan pemberian obat langsung ke organ target, yaitu saluran respiratori, dosis obat dapat diminimalisir sehingga efek sistemik kecil, efek maksimal di organ target, serta awitan kerja obat lebih cepat. 3.
Pemakaian obat asma jangka panjang berbahaya Dasar penyakit asma adalah proses inflamasi kronik sehingga
diperlukan tata laksana jangka panjang. Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Pemberian tata laksana jangka panjang memiliki jenjang yang akan dievaluasi 6-8 minggu kemudian untuk ditentukan apakah kendali asma tercapai sehingga menentukan tata laksana selanjutnya, naik jenjang atau turun jenjang (lihat Bab V: Tata laksana jangka panjang). Pemberian obat jangka panjang tidak berbahaya, justru dengan mengendalikan inflamasi kronik dan mengontrol gejala asma, anak dapat beraktivitas normal dan memiliki tumbuh kembang yang baik. 4.
Obatasma menyebabkanketergantungan Beberapa persepsi yang salah mengenai penggunaan obat
pengendali adalah obat akan dipakai selama hidupnya. Hal ini dapat benar tetapi juga dapat salah karena pada anak penggunaan obat pengendali dapat dihentikan apabila selama pengobatan dan proses penurunan obat pengendali anak dapat normal tanpa obat. Dikenal istilah step-up dan step down yaitu pada asma yang membutuhkan obat pengendali dapat diberikan dengan dosis tinggi lalu diturunkan bertahap sampai tidak memakai obat bila mungkin ( step down). Disebut step up apabila dimulai dengan dosis kecil dan tidak ada respons maka dinaikkan sampai dosis yang optimal dan dipertahankan sampai akhirnya diturunkan secara bertahap. Pedoman Nasional Asma Anak 2015
117
5.
Steroid oral sebagai pengendali Pemberian pengendali adalah dalam bentuk steroid inhalasi
karena diberikan dalam waktu yang lama. Namun pemberian secara inhalasi membutuhkan teknik yang khusus dan kadang-kadang sulit bagi anak sehingga diberikan dalam bentuk sistemik (oral). Hal ini tidak dianjurkan karena pemberian steroid sistemik dalam jangka panjang memunyai efek samping yang berbahaya seperti hipertensi, gangguan pertumbuhan, dan osteoporosis. Dengan demikian penggunaan steroid sistemik jangka panjang sangat tidak dianjurkan karena efek sampingnya dan pemberian jangka panjang harus dalam bentuk inhalasi. 6.
Udara pantai menyembuhkan asma Ada tata laksana suportif yang menyatakan bahwa udara pantai
dapat mengurangi kejadian serangan asma karena tungau debu rumah akan berkurang jumlahnya pada lingkungan pantai. Hal ini tidak terbukti karena prevalens asma di daerah pantai tetap tinggi dibanding daerah non pantai. Benar bahwa tungau debu rumah kurang dapat hidup dan berkembang biak pada udara pantai tetapi faktor risiko asma adalah multifaktorial sehingga tidak ada perbedaan antara daerah pantai dan non pantai. 7.
Bagian tubuh binatang tertentu dapat digunakan sebagai obat asma Di berbagai daerah tertentu, konsumsi daging hewan tertentu,
misalnya kalong dan kelinci, serta rambut binatang dipercaya dapat menyembuhkan asma. Pandangan ini tentu tidak didukung dengan bukti ilmiah, bahkan dapat mengurangi kepatuhan pasien dalam mengikuti tata laksana asma yang benar. Prinsip utama tata laksana asma adalah penghindaran pencetus serangan asma, pemberian pereda saat serangan, dan pemberian tata laksana jangka panjang. Perlu diingat bahwa bagian tubuh hewan tersebut dapat berperan sebagai pencetus asma pada anak tertentu. 118
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
10.3. Kekeliruan pada terapi inhalasi
Dalam rangka menghasilkan efek yang optimal dan efektif maka beberapa kesalahan dalam penggunaan terapi inhalasi dapat diminimalkan. •
Cara atau teknik pemberian terapi inhalasi perlu diperhatikan, seperti pada anak yang lebih kecil penggunaan MDI harus menggunakan spacer . Tanpa penggunaan spacer, hasil yang didapat tidak akan maksimal. Langkah-langkah penggunaan terapi inhalasi baik MDI, DPI maupun nebuliser harus dipahami sesuai dengan prosedur baku.
•
Cara pembersihan spacer pelu diketahui. Apabila pembersihan spacer menggunakan “lap pembersih”, spacer jangan langsung digunakan sesaat setelah menggosoknya karena partikel dapat menempel pada spacer sehingga tidak dapat mencapai saluran napas yang kecil. Pembersihan spacer dapat menggunakan air mengalir dan dilakukan pembersihan dengan “lap pembersih” tanpa digosok-gosok keras.
•
Pemilihan alat inhalasi sangat penting karena tidak semua anak dapat menggunakan berbagai jenis alat. Anak yang kecil harus menggunakan MDI dengan spacer atau nebuliser sedangkan anak yang lebih besar dapat menggunakan DPI. Pada anak sangat dianjurkan menggunakan spacer apabila alat inhalasi yang dipilih adalah MDI. Sementara, nebuliser dapat digunakan pada semua umur.
•
Pada pemberian inhalasi dengan nebuliser masih terdapat beberapa pengertian yang salah yaitu penggunaan masker lebih baik dibandingkan mouth piece. Yang benar adalah penggunaan mouth piece lebih baik dibandingkan masker pada penggunaan nebulisasi kecuali pada bayi yang kurang kooperatif. Pada bayi penggunaan masker lebih baik dibandingkan mouth piece karena kesulitan teknik pada bayi yang harus berkoordinasi.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
119
•
Pada penggunaan MDI kesalahan yang sering adalah lupa untuk mengocok kanisternya sehingga dikhawatirkan homogenisasi antara zat aktif dan propelan kurang merata. Tindakan mengocok kanister dilakukan sesaat sebelum digunakan. Tujuan pengocokan adalah agar obat yang ada menjadi merata karena proses penyimpanan akan mengakibatkan adanya perubahan kelarutan cairan.
•
Selain teknik, jenis obat yang diberikan pun memunyai peranan pada terapi inhalasi. Inhalasi dengan agonis β2 sering diberikan pada kasus rinitis padahal pemberian agonis β2 bermanfaat pada saluran napas intratorakal karena partikel yang dihasilkan lebih mencapai saluran napas kecil.
Untuk lebih jelas, dapat dipelajari dalam Terapi Inhalasi. Bahan Bacaan 1. Barthwal MS. Pitfalls in the management of bronchial asthma. Medicine Update. 2008;18:283-9. 2. Corrigan C. Asthma: Tips and pitfalls in diagnosis and treatment. Prescriber. 2010;21:17-26. 3. Khilnani GC, Banga A. Aerosol therapy. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008;50:209-19. 4. Papadopoulus NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy.2012;67:976-97.
120
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
121
122
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
123
124
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
125
126
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
127
128
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
129
130
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Lampiran 19. Macam-macam DPI Dosis
tunggal
Dosis multipel
Lampiran 20. Petunjuk pemakaian DPI Turbuhaler
Langkah-langkah penggunaan DPI yang ideal: Memastikan alat dan mouthpiece bersih dan bebas dari sumbatan Memasukkan sejumlah dosis yang diperlukan (untuk alat dosis tunggal) Memegang inhaler sejajar dengan mouthpiece dan menghadap ke bawah Mengangkat kepala sedikit ke belakang, ekspirasi perlahan tanpa bernapas ke dalam alat 5. Menempatkan gigi di mouthpiece dan menutup sekitar tabung dengan bibir, serta memastikan lidah tidak menutup jalan alat 6. Bernapas dengan kuat dan dalam (2-3 detik) lewat mulut untuk mengaktivasi aliran obat. 7. Pindahkan alat dari mulut. Menahan napas, lalu melepas napas perlahan melawan bibir. langkah ini penting agar obat menempel pada di saluran respiratori. 1. 2. 3. 4.
130
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Lampiran 21. Teknik penggunaan MDI
1. Kocok obat secara perlahan. 2. Posisikan MDI sehingga mulut canister berada di bawah. Buka mulut anda tahan 1 ½ sampai 2 inci (± 2-3 jam) di depan mulut anda. Ekspirasi secara normal.
Tekan MDI ke bawah sekali sehingga mengeluarkan semprotan obat ke dalam mulut anda, sementara anda inspirasi secara perlahan. Lanjutkan inspirasi perlahan dan dalam secepatnya. 4. Tahan napas anda selama 10 detik atau sekuatnya. Kemudian ekspirasi perlahan. 3.
Langkah-langkah penggunaan MDI yang ideal adalah sebagai berikut: 1.
Kocok tabung
2.
Pegang tabung lurus menghadap keatas
3.
Dengan lembut berekspirasi hingga kapasitas residu fungsional
4.
Menempatkan mouthpiece di mulut, antara gigi, dan menutup bibir
5.
Dengan inisiasi inspirasi, tekan tabung
6.
Dengan perlahan menghirup udara hingga kapasitas maksimal paru
7.
Tahan napas, lamanya menahan napas ini bervariasi antar 4-10 detik
8.
Tunggu setidaknya 60 detik sebelum hirupan selanjutnya.
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
131