LAPORAN KASUS
Identitas pasien :
•
Ruang perawatan
: Anggreak
• Nama
: An. Nindhi Widya Astuti
•
Jenis Kelamin
: Perempuan
•
Umur
: 7 Tahun
•
Alamat
: Susukan Giritirto Purwosari
•
Anak Ke
: 1 Dari 2 Bersaudara
Anamnesis
Anamnesis didapatkan dari auto dan alloanamnesis. Alloanamnesis dilakukan terhadap ibu pasien pada tanggal 2 Maret 2014 pukul 20.00. Keluhan Utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Dua hari SMRS, Ibu OS mengeluhkan anaknya batuk berdahak berwarna putih kental, tidak bercampur darah, dan sulit untuk dikeluarkan, sehingga saat tidur berbunyi banyak lendir. Batuk ini muncul tiba-tiba , setelah aktivitas/berlari, batuk dirasakan lebih sering pada malam hari, hingga menyebabkan nyeri seperti kram,sesak disertai dengan bunyi mengi , sesak baru pertama kali muncul , pasien tidak berobatsebelumnya .
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):
TB paru (-) Asma (-) Dermatitis atopik (-) Rhinitis (-) Konjungtivitis (-)
Riwayat Pengobatan :
Belum pernah dirawat inap di RS sebelumnya
Belum pernah pengobatan jangka panjang.
Riwayat Penyakit Keluarga
ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa kakek pasien Riwayat Kehamilan
Pemeliharaan Prenatal •
Periksa di
: praktek bidan
•
Penyakit kehamilan
:-
•
Obat-obatan yang sering diminum
: vitamin
Riwayat Kelahiran :
•
Lahir di
: rumah sakit bersalin
•
di tolong oleh
: bidan
•
Berapa bulan dalam kandungan
: 9 bulan
•
Jenis partus
: spontan
Pemeliharaan postnatal •
Periksa di
: bidan
•
Keluarga berencana
: ya
Riwayat Alergi :
Alergi obat (-), alergi cuaca (-), alergi seafood (-), alergi coklat, kacang, susu sapi (-), alegi debu (+), alergi bulu (-)
Riwayat Psikososial :
Ayah perokok (+) Rumah jendela (-) Kamar banyak boneka (-)
Pertumbuhan dan perkembangan anak :
•
Berat badan lahir
: 2800 gram
•
Panjang badan lahir
: ibu lupa
•
Miring
: ibu lupa
•
Tengkurap
: ibu lupa
•
Tersenyum
: ibu lupa
•
Duduk
: ibu lupa
•
Gigi keluar
: ibu lupa
•
Merangkak
: ibu lupa
•
Berdiri
: 1 tahun
•
Berjalan
: 1 tahun
•
Berbicara dua suku kata
: 1,5 tahun
•
Masuk TK
: 5,5 tahun
•
Masuk SD
: 6,5 tahun
Riwayat Makan Minum anak : •
ASI
: 0 hari
•
Dihentikan
: 1,5 tahun
•
Susu sapi/buatan
: iya
•
Jenis susu buatan
:-
•
Tim saring
: 6 bulan
•
Makanan padat dan lauknya
: ibu lupa
Riwayat Imunisasi : Usia Saat Imunisasi Imunisasi I
II
III
IV
BCG
1 bulan
////////
///////
///////
Polio
1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
Campak
9 bulan
/////////
////////
///////
DPT
2 bulan
3 bulan
4 bulan
///////
Hepatitis B
2 bulan
3 bulan
4 bulan
///////
Pasien imunisasi lengkap Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal : 2 maret 2014 (pukul 20.00 wib) Antropometri •
Berat badan
:
16 kg
•
Panjang Badan
:
130 cm
Tanda Vital • Nadi
: 104
x/menit (reguler, isi cukup, kuat angkat)
•
Frekuensi napas
: 56
x/menit
•
Suhu aksiler
: 36,4
⁰
C
Keadaan Umum •
Kesan sakit
: sakit sedang
•
Kesadaran
: compos mentis
•
Status Gizi
: gizi kurang
Rumus Behrman
BB ideal
= (umur dalam tahun x 7)-5 : 2 = 29
Status gizi
= BB sekarang/BB ideal x 100% = = 14/29 x 100% = 48,2%
STATUS GENERALIS
Kepala
Bentuk
: Normocephal
Rambut
: Hitam dan tidak rontok
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-)
Hidung
: Konka hiperemis (-/-), keluar sekret (-/-), nafas cuping hidung (+/+)
Telinga
: Keluar sekret (-/-)
Mulut
: Pharynk hiperemis (-), bibir anemis (-/-), bibir sianosis (+/+)
Leher
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax
Inspeksi
: Dinding dada simetris, retraksi sela iga (+)
Palpasi
: Vocal fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi
: Sonor dikedua lapang paru, batas paru-hepar ICS 5
Auskultasi
: Bunyi napas, wheezing (+/+) , ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba di linea midsternal sinistra intercostal 5 midclavicularis sinistra
Perkusi
: Jantung dalam batas normal
Aukultasi
: Bunyi jantung 1&2 murni, tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: Dinding perut simetris, distensi (-), massa (-), bekas operasi (-),
Auskultasi
: Bising usus (+), 8 x/menit
Palpasi
:
Epigastrium
: Nyeri tekan (-)
Hati
: Tidak teraba pembesaran
Limpa
: Tidak teraba pembesaran
Ginjal
: Balotement (-), nyeri ketok (-)
Perkusi
: Timpani pada keempat kuadran abdomen
Extremitas
Superior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan motorik : 5 / 5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis : negatif
Inferior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan motorik : 5 / 5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis : negatif
pemeriksaan
Hasil
Rujukan
Satuan
Hemoglobin
12,8
10.0-15.5
g/dl
Leukosit
12.75
4.00-10.00
10^3/uL
Eritrosit
4.71
4.00-5.00
10^6/uL
Trombosit
358
150-46.0
10^3/uL
Hematokrit
37.3
36.0-46.0
Vol%
Eosinofil
0
2-4
%
Basofil
0
0-1
%
Batang
1
2-5
%
Segmen
90
51-67
%
Limposit
7
20-35
%
Monosit
2
4-8
%
HITUNG JENIS
Hasil rdiologi: Cor dan pulmo dalam batas normal Diagnosis Kerja
: Asma Bronkial Rhinofarimgitis akut
Terapi
: IVFD D5 5 tpm Injeksi Ampicilin 3x500 mg Injeksi metilprednisolon 3x16 mg Nebulizer ventolin1 amp / 8 jam Drip D 5% + aminophyllin 192 mg/24jam- 8cc
Prognosis
: Bonam
Lembar Follow-Up Tanggal
Perjalanan Penyakit
2-3-2014
IVFD D5 5 tpm S : sesak (+), demam (-), batuk ngikil (+). Pilek (-), Injeksi Ampicilin 3x500 mg mual (-), muntah(-), nafsu Injeksi metilprednisolon 3x16 mg makan baik. Bak dan bab tidak ada keluhan Nebulizer ventolin1 amp / 8 jam O : CM, T: 36.4°C, nadi 100 Drip D 5% + aminophyllin 192 kali/menit, RR 56 kali/menit, Mata: konjungtiva anemis (-/-), mg/24jam- 8cc sclera ikterik (-/-), Mulut : sianosis (-/-), lidah kotor (-/-) Hidung: nafas cuping hidung (+/+), secret (-/-) Leher: pembesaran limfonodi () Thorak: vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (+/+), retraksi dada (+/+) Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-) Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+) S : sesak (+), demam (-), Terapi lanjut batuk ngikil (+). Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik. Bak dan bab tidak ada keluhan O : CM, T: 36.4°C, nadi 100 kali/menit, RR 56 kali/menit, Mata: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), Mulut : sianosis (-/-), lidah kotor (-/-) Hidung: nafas cuping hidung (+/+), secret (-/-) Leher: pembesaran limfonodi () Thorak: vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (+/+), retraksi dada
BB: 16 kg
3-4-2014 BB: 16kg
Pengobatan
(+/+) Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-) Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+) 4-4-2014 BB : 16 kg
S : sesak (-), demam (-), Pengobatan batuk ngikil (+). Pilek (-), IVFD D5 5 tpm mual (-), muntah(-), nafsu makan baik. Bak dan bab tidak Injeksi Ampicilin 3x500 mg ada keluhan Injeksi metilprednisolon 3x16 mg O : CM, T: 36.8°C, nadi 104 Nebulizer ventolin1 amp / 8 jam kali/menit, RR 24 kali/menit, Mata: konjungtiva anemis (-/-), Drip D 5% + aminophyllin sclera ikterik (-/-), 96mg/24jam- 4cc Mulut : sianosis (-/-), lidah kotor (-/-) Hidung: nafas cuping hidung (/-), secret (-/-) Leher: pembesaran limfonodi () Thorak: vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (-/-), retraksi dada (-/) Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-) Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+)
5-04-2014 BB : 16 kg
S : sesak (-), demam (-), batuk ngikil (+) membaik. Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik. Bak dan bab tidak ada keluhan O : CM, T: 36.6°C, nadi 96 kali/menit, RR 28 kali/menit, Mata: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), Mulut : sianosis (-/-), lidah kotor (-/-) Hidung: nafas cuping hidung (/-), secret (-/-) Leher: pembesaran limfonodi (-
) Thorak: vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (-/-), retraksi dada (-/) Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-) Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (-) 6-04-2014
S : sesak (-), demam (-), batuk ngikil (-). Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik. Bak dan bab tidak ada keluhan O : CM, T: 36.7°C, nadi 88 kali/menit, RR 24 kali/menit, Mata: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), Mulut : sianosis (-/-), lidah kotor (-/-) Hidung: nafas cuping hidung (/-), secret (-/-) Leher: pembesaran limfonodi () Thorak: vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (-/-), retraksi dada (-/) Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-) Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+) Terapi lanjut
Terapi lanjut
TINJAUAN PUSTAKA Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, 2004). Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan
atau dini hari yang
umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008). Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau bermingguminggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian. Etiologi
Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma dibuat berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan episode akut. Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat dipisahkan : 1. Asma ekstrinsik imunologik
Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak, umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan mungkin asma bronkial. Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. 2. Asma intrinsik imunologik Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti aspirin dan obat-obat sejenisnya, latihan jasmani, emosi, cuaca/ udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk lebih sering kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status asmatikus. Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk ditekankan bahwa perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap subklasifikasi yang diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis rangsangan. Dengan mengingat hal ini, dapat diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi dan idiosinkrasi. Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga mengenai penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and flare yang positif terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa udara, peningkatan kadar IgE dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen spesifik Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan memperlihatkan riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif, dan kadar IgE serum normal. Oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologik yang sudah jelas. Banyak pasien kelompok ini akan menderita kompleks gejala yang khusus berdasarkan gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya berupa gejala flu biasa, tetapi setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi paroksismal dan dispnea yang dapat berlangsung selama berhari-hari samapai berbulan-bulan.
Faktor risiko
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor lingkungan. 1. Faktor genetik
Hipereaktivitas
Atopi/alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis kelamin
Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur)
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain -lain)
Ekpresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas tertentu
Perubahan cuaca
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
Pajanan limgkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma
Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing meningkatkan risiko asma
Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Fenotip yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala. Epidemiologi
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4 – 5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun. Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk . Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru
adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuisioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala klasik. Bagian anak FKUI-RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada 1995 – 1996 dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 13 – 14 tahun melalui kuisioner ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%. Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek pneumobile Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 – 70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. 1. Inflamasi akut Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10 – 15 menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.
Reaksi fase lambat dan lama Reaksi ini timbul antara 6 – 9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4 – 8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
2. Inflamasi kronik Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.
Airway remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi : 1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas. 2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus 3. Penebalan membran retikular basal 4. Pembuluh darah meningkat 5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat 6. Perubahan struktur parenkim 7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. Patologi Anatomi
Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus penyumbat dalam bronki, (2) Inflamasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan (3) Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai. Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan
jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang edema. Sumbatan di dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel yang lepas dan sekret protein yang membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri dapat membentuk perubahan anatomi kearah bronkitis. Patofisiologi
Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang disebabkan oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan ekspirasi paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja bernapas, perubahan fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik (elastic recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai penyakit saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai normal. Volume ekspirasi 1 detik ratarata 30% atau kurang dari yang diperkirakan, sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan minimum berkurang sampai 20% atau kurang dari yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap (air trapping) ditemukan dalam jumlah besar. Gambaran klinik
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus nonalergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostic
Riwayat penyakit atau gejala : 1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada. 3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari. 4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu. 5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi). 2. Riwayat alergi/atopi. 3. Penyakit lain yang memberatkan. 4. Perkembangan penyakit dan pengobatan. Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma. Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk asma.
Pemeriksaan fisik o
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
o
Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah.
o
Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
o
Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.
o
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat tidak terdengar ( silent chest ) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.
o
Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.
Uji faal paru Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai : 1. Derajat obstruksi bronkus 2. Menilai hasil provokasi bronkus 3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. “peak flow meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan : 1. Histamin 2. Metakolin 3. Beban lari 4. Udara dingin 5. Uap air 6. Alergen Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai
normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan.
Foto rontgen toraks Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol.
Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear.
Uji kulit alergi dan imunologi 1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. 2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin 3. Pemeriksaan
IgE
spesifik
dapat
memperkuat
diagnosis
dan
menentukan
penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji k ulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.
Diagnosis banding asma :
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.
Tuberkulosis paru ditandai dengan batuk berdahak selama kurang lebih 2 minggu disertai dengan keringat malam, demam dan penurunan BB.
Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkarkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama-kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak h erediter.
Asma kardial. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan tandatanda kelainan jantung.
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis Derajat
Gejala
asma Intermitten
Gejala
Faal paru
malam ≤ 2x/bulan
Bulanan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala diluar
prediksi APE ≥ 80%
serangan
nilai terbaik
Serangan singkat
APE ≥ 80%
VEP1
≥
Variabilitas 20%
Persisten
Mingguan
> 2x/bulan
APE > 80%
80%
nilai
APE
<
ringan
Gejala > 1x/minggu tetapi <
VEP1
≥
80%
nilai
1x/hari
prediksi APE ≥ 80%
Serangan dpt mengganggu
nilai terbaik
aktivitas dan tidur
Variabilitas APE 2030%
Persisten
Harian
> 1x/minggu
sedang
Gejala setiap hari
Serangan
APE 60-80%
VEP1
nilai
prediksi APE 60-80%
mengganggu
nilai terbaik
aktivitas dan tidur
60-80%
membutuhkan
Variabilitas
APE
>
30%
bronkodilator setiap hari Persisten
Kontinua
Sering
berat
Gejala terus menerus
Sering kambuh
prediksi ≤ 60% nilai
Aktivitas fisik terbatas
terbaik
APE ≤ 60%
VEp1
≤
Variabilitas
60%
nilai
APE
>
30%
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian Gejala dan faal paru dalam pengobatan
Tahap I
Tahap 2
Tahap 3
intermiten
persisten
persisten
sedang
sedang
Tahap I : intermitten
Gejala < 1x/minggu
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/bulan
Faal paru normal di luar serangan
Tahap II : persisten ringan
Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari,
Intermiten
Persisten
Persisten
ringan
sedang
Persisten
Persisten
Persisten
ringan
sedang
berat
Persisten
Persisten
Persisten
sedang
berat
berat
Persisten
Persisten
Persisten
berat
berat
berat
gejala malam > 2x/bulan, tetapi < 1x/minggu
Faal paru normal diluar serangan
Tahap III : persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan mempengaruhi aktivitas dan tidur
Gejala malam > 1x/minggu
60% < VEP1 < 80% nilai prediksi
60% < APE < 80% nilai terbaik
Tahap IV : persisten berat
Gejala terus menerus, serangan sering, gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau
APE ≤ 60% nilai terbaik
Pengobatan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma
dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan terjangkau. Tatalaksana Pasien Asma Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu: −
KIE dan hubungan dokter-pasien
−
Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
−
Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
−
Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
−
Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan) Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya
dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak ada
perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan
disesuaikan
dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat. Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah : • bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) • kortikosteroid sistemik Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya
β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya
diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau
14 drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun
aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV,
β2 agonis kerja cepat ipratropium
bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan
dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).
Serangan asma dan penanggulangannya o
Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan pengobatan.
o
Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.
o
Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1 – 2 liter/menit.
o
Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal, keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam keadaan status asmatikus.
2. Penatalaksanaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan Menjaga kebugaran. Edukasi Edukasi yang diberikan mencakup : −
Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
−
Mengenali gejala serangan asma secara dini
−
Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya
−
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
−
Kontrol teratur
Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma, sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.
Obat asma Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain : o
Inhalasi kortikosteroid
o
β2 agonis kerja panjang
o
antileukotrien
o
teofilin lepas lambat
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri dari pengontrol dan pelega. 1. Pengontrol (controller) Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifier
Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1)
2. Pelega (reliever) Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas. Termasuk pelega adalah :
Agonis beta-2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofilin
Adrenalin
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas adalah : 1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas 2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan 3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat bila diberikan secara inhalasi daripada oral. Pengobatan Sesuai Berat Asma Berat asma
Medikasi pengontrol harian
Asma intermiten
Tidak perlu
Asma persisten ringan
Steroid inhalasi
(200-400_g BD/hari atau ekivalennya) Asma persisten sedang
Asma persisten berat
Alternatif / pilihan lain
Teofilin lepas lambat kromolin
Leukotriene modifiers
Kombinasi inhalasi steroid (400-800_g BD/hari atau ekivalennya & LABA
Steroid inhalasi
Kombinasi Inhalasi steroid (>800_g BD atau ekivalennya) dan LABA ditambah ≥ ditambah dibawah ini :
Prednisolon / metil prednisolon selang sehari 10 mg ditambah LABA oral, ditambah teofilin lepas lambat
Teofilin lepas lambat
Leukotriene modifiers Steroid oral
Alternatif lain
(400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah teofilin lepas lambat atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah LABA oral atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah LABA oral atau ditambah teofilin lepas lambat
Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai untuk mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma. Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering dikombinasikan dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih sedikit. Pada penggunaan jangka panjang, misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat tunggal atau kombinasi dengan simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum ditambah dengan obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan asma. Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison 1 – 2 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid jangka pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan perawatan di rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid lama dengan dosis rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu ditinggikan. Pada asma yang persisten atau kronik, pemberian kortikosteroid mungkin diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid jangka panjang harus diberikan secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada bronkospasme. Pemberian kortikosteroid mungkin sangat berguna. Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah degranulasi sel mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan secara teratur (Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah asma yang diinduksi aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya sama dengan teofilin, efek samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984). Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 1 – 2 kali/hari. Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat diberikan 2 kali/hari.
Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan hasil.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila : 1. Gejala minimal (sebaiknya ridak ada), termasuk gejala malam. 2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik 3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan). 4. Variasi harian APE < 20% 5. Nilai APE normal atau mendekati normal 6. Efek samping obat minimal (tidak ada) 7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu : 1. Edukasi 2. Menilai dan memonitor berat asma secara berkala 3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus 4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang 5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut 6. Kontrol secara teratur 7. Pola hidup sehat
Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah dan dikenal (dalam istilah) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu : 1. Mengenal seluk beluk asma 2. Menentukan klasifikasi 3. Mengenali dan meghindari pencetus 4. Merencanakan pengobatan jangka panjang 5. Mengatasi serangan asma dengan tepat 6. Memeriksakan diri secara teratur 7. Menjaga kebugaran dan berolahraga
Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh supaya dapat tetap beraktivitas adalah : 1. Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang mendadak, Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda, berenang. 2. Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila batuk batuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali. 3. Ada beberapa orang yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol dahulu beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma: 1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan
lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya. 2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus. 3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi) Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan seba gai berikut:
Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: 1. Pencegahan primer 2. Pencegahan sekunder 3. Pencegahan tersier Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orangtua asma), dengan cara : Penghindaran asap rokok dan polutan
lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan
nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa
pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).
Penanggulangan serangan asma lebih penting ditujukan untuk mencegah serangan asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma terdiri atas :
Menghindari faktor-faktor pencetus
Obat-obatan dan terapi imunologi Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-reaksi yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.
Macam-macam pencetus asma : 1. Alergen Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan asma (William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil. 2. Infeksi Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit. 3. Cuaca Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez dan Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma. 4. Iritan Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978, Zebailos dkk 1978).
5. Kegiatan jasmani Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma (Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani. 6. Infeksi saluran napas bagian atas Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat mempermudah terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks. 7. Refluks gastroesofagitis Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang dewasa (Dess 1974). 8. Psikis Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik, karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan keluarganya. Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan diajarkan pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di poliklinik Subbagian Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta, debu rumah diduga sebagai pencetusnya. Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak lama setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya.
Komplikasi