II.1. Definisi : Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran limfonodi leher dan malaise.(Vincent,2004) malaise.(Vincent,2004)
11.2. Anatomi : Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi servikal ke-6. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan esofagus.panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsurr faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. Unsur-unsu Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang
diisap. Palut ini mengandungenzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi. Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkuler) dan memenjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m.konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar, berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otototot
ini
dipersarafi
n.vagus
(n.X).otot-otot
yang
longitudinal
adalah
m.stilofaring dan m.palatofaring. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik rahang, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot ini penting pada waktu menelan. M.stiofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X (Rusmarjono,et.al., 2001)
II.3. Etiologi Faringitis disebabkan oleh bakteri 1. Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) 15% kasus faringitis. • Gambaran klinis berupa: demam lebih dari 101 .5°F, tonsillopharyngeal
eritem dan eksudasi, pembengkakan limfonodi leher, sakit kepala, muntah pada anak-anak, petechiae palatal, biasa terjadi pada cuaca dingin. • Suatu ruam scarlatiniform juga dihubungkan dengan infeksi GABHS ruam
kemerahan pada ekstremitas dan lidah memerah (strawberry tongue) 2. Group C, G, F Streptococci ( 10%), mungkin secara klinis tidak bisa dibedakan dari infeksi GABHS, namun Streptococcus jenis ini tidak menyebabkan sequelae immunologic. Streptococci grup C dan G telah dilaporkan sebagai penyebab radang selaput otak (meningitis), endocarditis, dan empyema subdural. • Arcanobacterium Chlamydia pneumoniae (5%), gejala mirip dengan M
pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului terjadinya peradangan pada
paru. • Corynebacterium diphtheriae • Bakteri yang jarang namun dapat dijumpai pada faringitis yaitu Borrelia
species, Francisella tularensis, Yersinia species, and Corynebacterium ulcerans. • ( Corynebacterium) haemolyticus ( 5%) banyak terjadi pada dewasa
muda,gejalanya mirip dengan infeksi GABHS, berupa ruam scarlatiniform. Pasien sering mengeluh batuk. • Mycoplasma pneumoniae, pada dewasa muda dengan headache, faringitis,
and nfeksi pernafasan bawah. Kira-kira 75% pasien disertai batuk. 3. Viral pharyngitis o Adenovirus (5%):. o Herpes simplex (< 5%): o Coxsackieviruses A and B (< 5%): o Epstein-Barr virus (EBV): o CMV. o HIV-1: 4. Penyebab lain o Candida sp. Pada pasien-pasien dengan riwayat pengbatan penekan sistem imun. Banyak terjadi pada anak dengan gambaran plak putih pada orofaring. o Udara kering, alergi (postnasal tetes), trauma kimia, merokok, neoplasia (Kazzi, et.al.,2006). II.4. Patofisiologi Pada infeksi faringitis, virus atau bakteri secara langsung menginvasi mucosa pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal. berbeda halnya dengan virus, seperti rhinovirus,dapat mengiritasi mukosa rongga tenggorokan. Streptococcal infeksi/peradangan ditandai oleh pelepasan dan invasi toksin ekstra seluler lokal dan proteases (Kazzi, et.al.,2006) .
II.5. Tanda dan Gejala Gejala dan tanda faringitis akut adalah nyeri tenggorok, sulit menelan,
demam, mual dan kelenjar limfe leher membengkak. Pada pemeriksaan tampak
hiperemis,
udem
dan
dinding
posterior
faring
bergranular.(Rusmarjono,et.al.,2001).
Streptococcus group A merupakan bakteri penyebab faringitis akut yang paling sering, kira-kira 15 sampai 30 % kasus pada anak-anak, dan 5 sampai 10 % pada oang dewasa. Biasanya terdapat riwayat infeksi tenggorokan oleh bakteri Streptococcus sebelumnya. Insidensi faringitis yang disebabkan oleh streptococcus meningkat pada musim dingin. Gejala dapat berupa rasa sakit pada tenggorokan, nyeri saat menelan, demam, pusing, nyeri perut, mual dan muntah. Sedangkan tanda-tanda yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada faring dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula, limfadenopati servikalis anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak dibawah tiga tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini. (Alan, et.al.,2001).
Pada infeksi virus, gejala disertai dengan konjungtivitis, coryza, malaise, fatigue, serak, dan demam yang tidak tidak terlalu tinggi (low-grade fever). Faringitis pada anak dapat disertai dengan diare, nyeri perut, dan muntah (Vincent, et.al., 2006)
II.6. Diagnosis Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam menentukan organisme penyebab faringitis, dan untuk membedakan faringitis karena bakteri atau virus.(Hilger,1994)) Sangatlah penting untuk mengetahui onset, durasi, progresifitas dan tingkat
keparahan dari gejala yang menyertai seperti demam, batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi; paparan infeksi, dan adanya penyakit sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus diperiksa apakah terdapat tanda-tanda eritem, hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa, petechie dan adenopati. Juga penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam, timbulnya ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai faringitis yang disebabkan oleh Sterptococcus, seorang dokter
harus
mendengar
adanya
suara
murmur
pada
jantung
dan
mengevaliasi apakah pada pasien terdapat pembesaran lien dan hepar.
Apabila terdapat tonsil eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat sampai 380 C maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS (Alan, et.al.,2001).
Pemeriksaan Laboratorium Kultur tenggorok : merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari.
GABHS rapid antigen detection test • merupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi
GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika pasien memiliki resiko sedang, atau jika seorang dokter tidak nyaman memberikan terapi antibiotik dengan resiko tinggi untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh adalah positif maka pengobatan antibiotik yang tepat, namun jika hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian dilakukan follow-up • Hasil kultur tenggorok negatif
• Rapid antigen detection tidak sensitive untuk Streptococcus Group C dan G
atau jenis bakteri patogen lainnya (Kazzi, et.al.,2006). II.7. Penatalaksanaan Apabila penyebabnya diduga infeksi firus, pasien cukup diberikan analgetik dan tablet isap saja. Antibiotika diberikan untuk faringitis yang disebabkan oleh bakteri Gram positif disamping analgetika dan kumur dengan air hangat. Penisilin dapat diberikan untuk penyebab bakteri GABHS, karena penisilin lebih kemanjurannya telah terbukti, spektrum sempit,aman dan murah harganya. Dapat diberikan secara sistemik dengan dosis 250 mg, 2 atau 3 kali sehari untuk anak-anak, dan 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari selama 10 hari. Apabila pasien alergi dengan penisilin, dapat diganti dengan eritromisin. (Alan,at.al.,2001).
II.8. Komplikasi Komplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik, dan abses peritonsiler. Abses peritonsiler terjadi • Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakter i
yaitu : sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia. Kekambuhan biasanya terjadi pada pasaien dengan pengobatan yang tidak tuntas pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru. • Demam rheumatic akut(3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal
glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, peritonsiler abses, • Komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, Guillain
Barré
syndrome,
encephalitis,
anemia
hemolitik,
myocarditis,
B-cell
lymphoma, dan karsinoma nasofaring (Kazzi,at.al.,2006)
II.9. Prognosis • Sebagian besar faringitis dapat sembuh spontan dalam 10 hari, tnamun
sangat penting untuk mewaspadai terjadinya komplikasi pada faringitis (Kazzi,at.al.,2006).
DAFTAR PUSTAKA 1. Alan,L.,Bisno. Acute Pharyngitis. http://www.nejm.org.vol 344;3;205-210 2.
Kazzi,A.,Antoine,
Wills,J.
Pharyngitis.
http://www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006. 3.
Vincent,
T.,
Mirian,
Celestin,N.,Hussain,N.,Aneela.
Pharyngitis.
http://www.a.f.p.org.2004;69:1469-70www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006. 4. www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006. 5. Hilger PA. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT ed.6. Jakarta: EGC.1994. 6. Rusmarjono, Soepardi, E.A. Dalam: Supardi, E.A., Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Ed ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indinesia. 2001.
Definisi Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring 1.
Epidemiologi Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin2, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak3. Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa4. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini3. Faringitis akut baik disertai demam atau tidak, pada umumnya disebabkan oleh
virus4,5,6,
seperti
Rhinovirus,
Adenovirus,
Parainfluenzavirus,
Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan Cytomegalovirus2,5. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan4,6, sedangkan jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium diphtheriae, Chlamydia pneumonia, grup C dan G streptokokus2,3. Penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering didapatkan pada bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau terimunosupresi3,7. Hal-hal seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi endotrakeal, alergi, dan luka akibat zat kimia dapat juga menyebabkan faringitis2,3.
Patofisiologi Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear6. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.
Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak5.
Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah streptokokus atau virus yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang tindih dalam tanda-tanda
serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis
seringkali sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk lainnya4. Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring. Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau tidak. Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini tetapi trakea, bronkusbronkus dan paru-paru jarang terkena. Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini penyakit tersebut. Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri.
Seluruh masa sakit dapat berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit lainnya jarang ditemukan4. Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun, seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhankeluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar sepertiga penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4 hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga 2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjarkelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang disebabkan oleh virus4. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi virus4. Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur
dengan
media
yang
khusus
seperti
pada
Epstein-Bar
virus
menggunakan monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis2.
Terapi Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus. Antibiotika dicadangkan untuk komplikasi ini7. Faringitis streptokokus paling baik diobati dengan pemberian penisilin oral (200.000-250.000 unit penisilin G,3-4 kali sehari, selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan terjadinya suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromisin atau klindamisin merupakan obat lain dengan hasil memuaskan, jika penderita alergi terhadap penisilin4,6. Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti ibuprofen atau asetaminofen2. Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri tenggorokan, dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama4. Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan antibiotik. Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat menularkan selama beberapa hari4. SIMULASI KASUS
Kasus Seorang anak Tira (8 tahun, berat badan 25 kg) pelajar SD kelas 2, alamat Jl. Kamboja No. 19 Banjarmasin, datang diantar ibunya ke poliklinik jam 10.00 pagi dengan keluhan batuk. Pasien sudah 5 hari batuk, sebelumnya tidak berdahak, sekarang menjadi berdahak kental berwarna kekuningan. Hidung tersumbat bila malam ketika berbaring, sehinggga susah tidur, dan bila bangun pagi tenggorokan terasa nyeri. Tadinya nyeri hilang bila diberi minum air hangat di pagi hari, sekarang nyerinya menetap, terutama bila menelan makanan/minuman. Kalau pagi, nyeri tenggorokannya terasa sekali. Badan mulai panas sejak kemaren, dan tadi malam demamnya tinggi, sampai 390C diukur dengan termometer di rumah. Sudah diberi kompres alkohol, minum banyak dan syrup Novalgin, tapi panasnya hanya turun sebentar. Tanda vital TD = 100/70 mmHg, nadi = 90 kali/menit, respirasi = 28 kali dan suhu 39OC. Pada pemeriksaan fisik ditemukan, hiperemi dan edem konka. Pada faring hiperemi mukosa, ada sputum kental kuning, tidak ada membran putih. Pembesaran kelenjar limfe submandibularis dengan nyeri tekan ringan. Thoraks, abdomen dan akstremitas dalam batas normal. Diagnosis : Faringitis dengan infeksi sekunder
Tujuan Pengobatan Tujuan pengobatan untuk mengeliminasi infeksi serta mengurangi atau menghilangkan gejala demam dan nyeri menelan. Meningkatkan daya tahan tubuh anak dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Daftar Kelompok Obat Beserta Jenisnya yang Berkhasiat N0.
Kelompok Obat
1
Antibiotik
2
Analgetik, antipiretik
Nama Obat
Amoksisillin, Eritromisin Asetaminofen, Ibuprofen
Farmakokinetik, Farmakodinamik, serta Interaksi Obat Antibiotik 1. Amoksisillin
2. Eritromisin Farmakokinetik Basa eritomisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas; aktivitasnya hilang oleh cairan lambung dan absorbsi diperlambat oleh makanan di lambung. Untuk mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi selaput yang tahan atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat. Dengan dosis oral 500 mg eritromisin basa dapat dicapai kadar puncak 0,3-1,9 ug/ml dalam waktu 4 jam9. Hanya 2,5% eritromisin yang diekskresi dalam bentuk aktif di urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktif dalam cairan empedu dapat melebihi 100 kali dari kdar didalam darah. Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi dosis. Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Kadarnya dalam jaringan prostat hanya sekitar 40% dari kadar yang tercapai. Pada ibu hamil, kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus adalah 5-20% dari kadar obat dalam sirkulasi darah ibu dan obat ini diekskresi terutama melalui hati 9. Farmakodinamik Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin yaitu bersifat bakterisid dan menghambat sintesis dinding sel10, melalui mekanisme penghambatan pelepasan rantai peptida-tRNA yang berasal dari ribosom sehingga proses sintesis dari RNA tergantung protein berhenti2. Reaksi terhadap tubuh yang muncul seperti alergi yang mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksamtem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah reaksi kepekaan yang terutama timbul oleh eritromisin eskolat, gejalanya seperti nyeri perut, mual dan muntah. Kemudian timbul ikterus, demam, dan leukositos9. Interaksi Obat Eritromisin dapat meningkatkan toksisitas apabila digunakan bersama dengan salah satu obat seperti teofilin, digoksin, karbamazepin dan siklosporin. Selain itu dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin, meningkatkan resiko
rabdomiolisis bila digunakan bersama dengan lovastatin dan simvastatin2. 1. Asetaminofen Farmakokinetik Asetaminofen diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh tubuh. Dalam plasma, 25% asetaminofen terikat protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil oleh asam sulfat. Metabolit hasil dari hidroksilasi obat ini dapat menimbulkan
methemoglobinemia
dan
hemolisis
eritrosit.
Asetaminofen
diekskresi melalui ginjal, sebaian besar dalam dalam bentuk konjugasi dan sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%)12. Farmakodinamik Efek analgetik asetaminofen yaitu mengurangi nyeri dari nyeri ringan sampai sedang9. Efek antipiretik dengan mekanisme langsung melalui pusat pengatur panas di hipotalamus melalui pengeluaran panas tubuh dengan cara vasodilatasi dan berkeringat1. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu asetaminofen tidak digunakan
sebagai
antireumatik.
Asetaminofen
merupakan
pnghambat
prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa12. Efek terhadap hati yaitu dapat mengakibatkan hepatotoksik yang biasanya terjadi pada hari kedua dan ditandai dengan peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, serta pemanjangan masa protrombin. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensepalofati, koma dan kematian. Kerusakan hati yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu12. Interaksi Obat Apabila digunakan bersama rifampin dapat mengurangi egek analgetik asetaminofen, sedangkan apabila digunakan bersama-sama dengan salah satu obat
seperti
barbiturat,
karbamazepin,
hidantoin,
dan
isoniazid
dapat
meningkatkan hepatotoksik asetaminofen1. 2. Ibuprofen Farmakokinetik Ibuprofen diabsorbsi cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai sekitar 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam dan 90% ibuprofen terikat pada protein plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap, kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya12.
Farmakodinamik Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik11. Efek antiinflamasi dan analgetiknya melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin1. Efek ibuprofen terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin atau naproksen. Efek lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia, dan ambliopia toksik yang reversibel12. Interaksi Obat Penggunaan ibuprofen bersama-sama dengan salah satu obat seperti hidralazin, kaptopril, atau beta-blocker dapat mengurangi khasiat dari obat-obat tersebut. Sedangkan penggunaan bersama dengan obat furosemid atau tiazid dapat meningkatkan efek diuresis dari kedua obat tersebut1.
Pengendalian Obat
Diagnosa kasus ini adalah faringitis akut. Berdasarkan hasil anamnesis di asumsikan penderita menderita faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri. Karena menurut Harold, faringitis virus biasanya ditandai oleh gejala batuk, hidung berair, dan bersin-bersin. Pernyataan ini diperkuat oleh Berhman dan teman-teman yang menyatakan bahwa konjungtivitis, rinitis, batuk dan suara serak, telah dibuktikan lebih sering ditemui pada faringitis yang diakibatkan oleh virus. Dengan demikian penderita memerlukan terapi antibiotik dan analgetik.
Pilihan antibiotik pada kasus ini adalah antibiotik golongan makrolid yaitu eritromisin. Pertimbangannya yaitu penderita sensintif terhadap penisilin dan eritromisin juga memiliki khasiat bakteriostatik dan/atau bakterisid sehingga dapat digunakan untuk menggantikan penisilin. Analgetik yang digunakan yaitu golongan para amino fenol yaitu asetaminofen karena memiliki kerja analgetik dan antipiretik. Resep yang diberikan terdiri dari antibiotik oral dan analgetik oral dalam bentuk suspensi karena penderita mengeluh nyeri tenggorokan. Antibiotik diberikan selama 10 hari dimaksudkan untuk mencegah rekurensi dan mencegah komplikasi seperti demam rheumatik dan glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus3. Analgetik diberikan hanya dalam waktu 3 hari karena hanya digunakan untuk mengurangi apabila terdapat gejala demam dan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Aung,
K.
Pharyngitis,
Viral.
eMedicine.Com
2005;
(online),
(http://www.emedicine.Com/med/topic.1812.htm. diakses 2 Mei 2005). 2.
Simon, HK. Pediatrics,
Pharyngitis.
eMedicine.Com
2005; (online),
(http://www.emedicine.Com/emerg/topic.395.htm. diakses 30 april 2005). 3.
Kazzi,
AA.
Pharyngitis.
eMedicine.Com
2005;
(online),
(http://www.emedicine.Com/emerg/topic.419.htm. diakses 30 april 2005). 4.
Berhman, E. Richard dan Victor C.V.1992. Sistem pernafasan: Infeksi-infeksi
Saluran Nafas Bagian Atas dalam: Nelson Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. EGC. Jakarta; 297-98. 5.
Adam, Goerge L.1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam:
Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta; 328-29. 6.
Mansjoer, A (ed). 1999. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok:
Tenggorok dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK UI. Jakarta; 118. 7.
Eugen B.K, D. Thaher R.C, dan Bruce W.P. 1993. Sakit Tenggorokan.
Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok. EGC, Jakarta;297-98 8.
Katzung BG. 1995. Obat dengan Indikasi Khusus dalam: Farmakologi Dasar
dan Klinik Edisi 3. EGC. Jakarta; 675-78.
9.
Setiabudy, R.1995. Antimikroba Lain dalam Ganiswarna, S (ed). 1995.
Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78. 10.
Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan
untuk Pengobatan Infeksi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan;199-230. 11.
Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan
untuk Pengobatan Penyakit Otot Skelet dan Sendi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan; 354-76. 12.
Wilmana
P.F.
1995.
Analgesik-Antipiretik,
Analgesik
Anti-inflamasi
Nonsteroid dan Obat Pirai dalam Ganiswarna, S (ed). 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.