Blok XIII - Uropoetika
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Laporan tinjauan pustaka parafimosis ini sebagai suatu laporan atas hasil belajar penulis terkait materi parafimosis yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan pada Blok XIII semester V ini. Pada laporan yang berjudul parafimosis ini, penulis membahas masalah yang berkaitan dengan parafimosis dimulai dari angka kejadian parafimosis sampai ke pengobatan parafimosis beserta komplikasi dan prognosisnya. Penulis mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan parafimosis ataupun pada pembahasan yang kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para pembaca.
Penulis
I.
Anatomi penis normal
Riri Kumala Sari H1A008026
1
Blok XIII - Uropoetika
Penis ( pe’nis) pe’nis) adalah salah satu bagian organ genitalia eksterna pada pria. Penis merupakan organ kopulasi yang diselimuti oleh kulit yang longgar dan memuat uretra pars spongiosa dan di dalamnya terdapat 3 jaringan erektil yang akan terisi darah apabila ada stimulasi seksual saat koitus (Van De Graaff, 2001).
Penis dibagi menjadi 3 bagian : (Van De Graaff, 2001)
Pangkal penis
Terdapat dibawah tulang pubis yang berfungsi untuk stabilitas penis pada saat ereksi. Pangkal penis meluas kearah posterior membentuk bulb of the penis penis dan crus of the penis. penis. Bulb terletak pada urogenital triangle triangle pada perineum dan melekat pada permukaan
bawah
diafragma
urogenital
dan
dibungkus
oleh
musculus
bulbocavernosus. Sedangkan crus, crus, menyambungkan pangkal penis ke ramus isopubicus dan ke membran perineal. Crus yang Crus yang terletak superior dari bulb, bulb, dibungkus oleh musculus ischiocavernosus.
Batang penis (body/ shaft)
Merupakan bagian mayor penis yang terdiri dari 2 korpora kavernosa (kor'por-a˘ (kor'por-a˘ kav''er-no'sa˘) kav''er-no'sa˘) dan korpus spongiosum. Jaringan fibrosa diantaraa dua korpora kavernosa membentuk septum penis. Korpus spongiosum (spon''je-o'sum) terletak ventral dari kedua korpora kavernosa dan mengelilingi uretra pars spongiosa. Penis dalam keadaan flaccid apabila jaringan seperti sponge sponge ini tidak terisi darah dan sebaliknya akan ereksi apabila terisi darah.
Glans penis
Adalah bagian distal dari korpus spongiosum yang berbentuk kerucut yang biasanya dilapisi oleh kulit longgar (prepusisium) pada individu yang tidak disirkumsisi. Jaringan melingkar dibelakang glans penis disebut sulkus koronarius. Pada ujung glans penis terdapat orifisium uretra eksterna, yaitu tempat keluarnya urin dan semen. Pada bagian bawah glans penis, terdapat lipatan jaringan vertikal yang disebut frenulum (fren'yu˘ (fren'yu˘ -lum) -lum) yang melekatkan kulit yang melapisi penis dengan glans penis. Kulit yang melapisi penis tidak ditumbuhi rambut, mengandung sedikit sel lemak dan biasanya terpigmentasi lebih gelap dari bagian kulit yang lain. Kulit ini
Riri Kumala Sari H1A008026
2
Blok XIII - Uropoetika
melapisi glans penis dengan longgar dan disebut prepusisium / prepuce (pre'pyoos) / foreskin.
Riri Kumala Sari H1A008026
3
Blok XIII - Uropoetika
Penis yang belum disirkumsisi
Penis yang telah disirkumsisi
Penis diinervasi oleh nervus dorsalis dextra dan sinistra (saraf sensori yang utama) yang merupakan cabang dari nervus pudendus (Van De Graaff, 2001 ; Schuenke & Faller, 2004). Penis merupakan organ yang kaya pembuluh darah dan disuplai oleh arteri pudenda interna yang berasal dari arteri iliaka interna yang bercabang menjadi deep penile artery, bulbar artery dan urethral artery. Deep penile artery menjadi arteri cavernosa, yang akan menyuplai seluruh korpus kavernosum. Urethral artery menyuplai glans penis dan korpus spongiosum. Bulbar artery menyuplai uretra pars bulbaris dan otot bulbospongiosus (Van De Graaff, 2001 ; Sc huenke & Faller, 2004).
(Schuenke & Faller, 2004)
Riri Kumala Sari H1A008026
4
Blok XIII - Uropoetika
Penis dan hubungannya dengan struktur lain (Schuenke & Faller, 2004)
I I . Peni le I nj ur y Injuri penis dapat dibagi menjadi 3, yaitu (American College of Emergency Physician, 1999) : a. Fraktur penis Fraktur penis terjadi dengan rupturnya corpora kavernosa akibat robeknya tunika albuginea yang mengakibatkan hematoma subcutaneous yang luas. Hal ini sering terjadi akibat penis yang ereksi yang dipaksa dan tertahan oleh benda solid, seperti pubis, pada saan berhubungan seksual. Pasien dapat mendengar cracking sound yang diikuti nyeri, pembengkakan dan deformitas penis. Konsultasi di bidang urologi dibutuhkan untuk penanganan terbaik.
b. Zipper injuries Riri Kumala Sari H1A008026
5
Blok XIII - Uropoetika
Injuri yang terjadi pada prepusisium ketika zipper / resleting celana ikut meresleting bagian prepusisium penis pada anak yang belum disirkumsisi. Injuri ini paling sering terjadi pada anak usia 3-6 tahun yang tergesa-gesa memakai celana setelah berkemih.
c. Torniquet injuries Biasanya disebabkan oleh balanitis, parafimosis atau selulitis pada penis. Injuri ini terjadi apabila terbentuk cincin jeratan yang mengelilingi sulkus koronarius. Injuri biasanya bersifat local, namun dapat juga menyebar ke uretra dan korpora. Pengobatan biasanya dilakukan melalui pelepasan cincin jeratan dan pengobatan terhadap infeksi yang dialami. Apabila dicurigai injuri pada bagian dalam penis, maka perlu dilakukan follow up.
III. Parafimosis Kelainan structural maupun inflamasi prepusisium dan glans penis merupakan keluhan yang sering dijumpai pada keadaan gawat darurat. Dokter harus dengan akurat mengidentifikasi dan mengatasi kondisi ini serta dapat mengenali kapan harus melakukan rujukan untuk penanganan pasien yang lebih maksimal (Huang, 2009).
A.
Definisi Paraphimosis
(say:
para-fim-oh-sus) /
Parafimosis
merupakan
kondisi
terperangkapnya prepusisium yang fimotik proximal dari korona penis (prepusisium yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula sehingga timbul jeratan pada penis dibelakang sulkus koronarius) yang menyebabkan edema dan pembengkakan glans dan prepusisium (Cranston & Reynard, Riri Kumala Sari H1A008026
6
Blok XIII - Uropoetika
2005 ; Choe, 2000). Parafimosis berbeda dengan fimosis yang merupakan suatu keadaan dimana prepusisium tidak bisa diretraksi ke belakang corona glandis. Parafimosis merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang urologi sedangkan fimosis bukan merupakan keadaan kegawatdaruratan (Donohoe, 2009). Gambaran skematis parafimosis :
(Donohoe, 2009)
B.
Epidemiologi Parafimosis relatif jarang ditemui dan lebih jarang ditemui daripada fimosis. Parafimosis paling sering terjadi pada laki-laki yang setelah melakukan hubungan seksual kemudian tertidur dan terbangun dengan gejala parafimosis atau pada kondisi dilakukannya tindakan medis, pada pasien yang prepusisiumnya diretraksi untuk membersihkan smegma pada pemasangan kateter, tidak dapat dikembalikan pada posisi semula (Cranston & Reynard, 2005). Parafimosis juga sering terjadi pada remaja (Huang, 2009). Berdasarkan survei yang dilakukan di National Hospital di United States, tren pada 30-40 tahun terakhir ini mengarah ke banyaknya orang yang tidak disirkumsisi. Persentase pasien yang disirkumsisi yang awalnya sebesar 78-80% pada tahun 1960an, menurun menjadi 55-60% pada tahun 2003. Dengan bertambahnya jumlah individu yang tidak disirkumsisi, parafimosis memiliki potensial untuk terjadi lebih sering (Donohoe, 2009).
C.
Faktor risiko
Riri Kumala Sari H1A008026
7
Blok XIII - Uropoetika
Parafimosis terjadi hanya pada pasien yang belum melakukan sirkumsisi atau telah melakukan sirkumsisi parsial (Donohoe, 2009).
D.
Etiologi Penyebab tersering dari parafimosis adalah fimosis (fibrosis dan konstriksi dari prepusisium yang terletak distal dari glans sehingga tidak memungkinkan retraksi prepusisium). Ini mengarah ke pembentukan skar sirkular yang nantinya dapat membentuk seperti tourniquet pada glans ketika prepusisium diretraksi, yang akan mengganggu aliran vena dan limfatik (Chad & Julie, 2009). Parafimosis sering terjadi setelah retraksi prepusisium setelah pemeriksaan penis, pembersihan penis, kateterisasi atau sistoskopi. Sebelum insersi kateter uretral, klinisi biasanya meretraksi prepusisium untuk membersihkan smegma untuk melakukan proses secara steril. Prepusisium yang teretraksi tersebut dapat tetap dalam posisi teretraksi selama beberapa jam atau beberapa hari. Kegagalan untuk mengembalikan prepusisium ke posisi semula kadang kala mengarah ke kejadian parafimosis. Parafimosis sekunder setelah ereksi juga dapat terjadi (Donohoe, 2009). Pada studi kasus yang dilakukan Ramdass et al pada sebuah festival perayaan di Trinidad & Tobago, telah terbukti bahwa akibat tradisi dansa yang kerap kali dilakukan, menimbulkan hasrat seksual pada laki-laki yang dapat bertahan selama beberapa jam. Hasrat seksual ini timbul akibat gerakan memutar pada bagian pinggul dan daerah pelvis pada laki-laki dan wanita yang bersentuhan pada saat dansa tradisional ini. Ereksi yang lama dan friksi dari penis ini ditambah faktor tight preputitium, dapat berkontribusi terhadap perkembangan menjadi parafimosis (Ramdass et al, 2000). Penyebab lain dari parafimosis adalah higienitas urogenital yang buruk, balanopostitis kronis dan tindikan pada daerah genital (Chad & Julie, 2009). Parafimosis dapat terjadi pada pasien yang belum disirkumsisi yang melakukan tindikan penis. Perhiasan yang dimasukkan ke dalam glans penis pada pasien yang melakukan tindikan pada penis juga akan mengganggu aliran urin (Meltzer, 2005).
Riri Kumala Sari H1A008026
8
Blok XIII - Uropoetika
E.
Patofisiologi Ketika prepusisium terperangkap dibelakang corona glandis dalam waktu yang lama, terbentuk berkas jaringan yang erat disekitar penis. Keadaan ini dapat menimbulkan konstriksi pada penis yang akan mengganggu aliran darah vena dan limfatik pada glans penis dan prepusisium sehingga dapat mengakibatkan edema glans. Seiring dengan bertambah parahnya edema, aliran darah arterial juga menjadi terganggu sehingga lama kelamaan dapat terjadi iskemia jaringan, pembengkakan dan nyeri pada glans dan prepusisium. Apabila keadaan ini tidak ditangani, maka akan mengarah ke gangrene atau autoamputasi penis bagian distal (Donohoe, 2009).
F.
Manifestasi Klinis Pasien
dewasa
dengan
parafimosis
yang
simptomatik
paling
sering
mengeluhkan rasa nyeri di daerah penis. Namun nyeri tidak selalu ada pada pasien parafimosis Pada pasien pediatri, parafimosis dapat bermanifestasi sebagai obstruksi saluran kemih akut dan dapat menimbulkan gejala saat berkemih, gejala obstruksi (bila parah), disuria dan hematuria (Donohoe, 2009 ; Huang, 2009 ; Choe, 2000). Selain itu gejala dapat pula berupa nyeri saat ereksi (Huang, 2009). Glans penis tampak membesar dan terkongesti, dengan cincin prepusisium yang edema disekeliling sulcus coronarius. Bagian lain dari penis tetap normal dan dalam keadaan flaccid.
(Choe, 2000)
G.
Penegakan diagnosis
Riri Kumala Sari H1A008026
9
Blok XIII - Uropoetika
Ketika mengevaluasi pasien yang suspek parafimosis, riwayat manipulasi penis harus digali, misalnya : instrumentasi, bedah endoskopik, pembedahan pada kandung kemih maupun uretra, self-retraction, sirkumsisi, perubahan dari tekstur dan warna kulit (Choe, 2000). Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus terfokus ke bagian penis, kateter uretra (apabila sedang dipasang kateter) dan skrotum. Inspeksi dilakukan untuk melihat adanya prepusisium, derajad konstriksi disekitar korona penis dan turgor prepusisium. Dengan tidak adanya prepusisium pada inspeksi, diagnosa parafimosis dapat disingkirkan. Warna merah muda pada glans menunjukkan adanya suplai darah yang baik pada glans. Apabila prepusisium atau glans berwarna hitam, menandakan autonekrosis telah terjadi (Choe, 2000). Palpasi pada glans dapat memberikan informasi tambahan mengenai viabilitas glans. Glans yang normal biasanya lembut dan kenyal. Apabila glans teraba keras dan tidak elastik disertai warna hitam, maka nekrosis penis harus dicurigai. Selain itu, perlu dilakukan inspeksi pada bagian skrotum untuk melihat warna, tekstur dan turgor, kemudian dilakukan palpasi untuk menilai adanya hidrokel maupun tumor (Choe, 2000). Pada pemeriksaan fisik, biasanya tampak glans penis membesar dan terdapat kongesti oleh prepusisium yang tidak dapat kembali ke tempatnya semula. Prepusisium yang terkontriksi ini terletak di belakang kepala penis (Donohoe, 2009).
Seringkali, pasien datang dengan edema dan nyeri glans dan ketidakmampuan untuk menarik kembali prepusisium yang teretraksi. Diagnosa biasanya langsung dapat ditegakkan dengan melihat striktur yang disebabkan oleh prepusisium yang tidak dapat diretraksi tersebut dan edema pada glans. Reaksi alergi, trauma dan hair tourniquets dapat mengakibatkan manifestasi klinis yang mirip dengan parafimosis. Harus dibedakan antara berbagai infeksi glans penis (balanitis yang merupakan infeksi
Riri Kumala Sari H1A008026
10
Blok XIII - Uropoetika
hanya pada daerah glans, balanopostitis yang merupakan infeksi glans dan prepusisium) dengan striktur penis (Chad & Julie, 2009).
H.
Penatalaksanaan Poin penting dalam penatalaksanaan parafimosis adalah prevensi dan intervensi (Choe, 2000). Apabila didiagnosa pada saat awal, parafimosis dapat disembuhkan dengan mudah. Prinsip terapi dari parafimosis adalah mengurangi nyeri dan mencegah iskemia glans (Chad & Julie, 2009). Terapi untuk parafimosis meliputi menenangkan pasien, mengurangi edema prepusisium dan mengembalikan prepusisium ke posisi dan kondisi yang mormal. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengurangi edema pada glans penis, meliputi : penggunaan ice packs, penile wraps dan kompresi manual yang secara mekanis
akan
mengurangi
edema,
agen
osmotic
seperti
granulated
sugar,
hyaluronidase yang meningkatkan difusi cairan yang akan mengurangi edema lokal dapat diberikan pada pasien pediatri (Donohoe, 2009). Pengobatan awal pada pasien biasanya diberikan analgesia dan anastesi local, kemudian penis ditekan selama 2-3 menit untuk mengurangi pembengkakan, sebelum mencoba untuk mengurangi edema pada kulup. Beberapa klinisi juga telah melakukan teknik pungsi menggunakan fine needle untuk mengurangi edema pada prepusisium. Apabila semua pengobatan ini gagal, maka perlu dilakukan sirkumsisi segera (Cranston & Reynard, 2005).
Terapi untuk parafimosis dapat dibagi menjadi (Little & White, 2005) :
1)
Compression method / metode kompresi manual Anastesi pasien dapat menggunakan anastesi lokal dengan lidokain 1% tanpa epinefrin, morfin / midazolan i.v pada kasus-kasus tertentu kemudian melakukan kompresi manual untuk mengurangi edema. Tentukan terlebih dahulu lokasi cincin sikatrik / jeratan yang membuat edema, kurangi edema dengan menurunka cincin sikatrik dengan satu tangan dan tangan yang lainnya mengompresi glans dan menekan edema. Setelah 2-3 kali kemudian dilakukan prosedur sirkumsisi metode dorsal slit (Donohoe, 2009).
Riri Kumala Sari H1A008026
11
Blok XIII - Uropoetika
(Donohoe, 2009) Teknik kompresi manual untuk mengurangi edema prepusisium Untuk mereposisi prepusisium, letakkan kedua jempol pada glans penis dan jari yang lain dibelakang prepusisium. Lakukan penekanan secara lembut pada prepusisium dengan penekanan dengan arah yang berbeda ke glans penis sehingga prepusisium tertarik ke bawah. Pada pasien yang tidak ingin dilakukan sirkumsisi, oleskan triamcinolone cream 0.1% untuk mengurangi risiko fibrosis. Setelah 6 minggu pemakaian cream ini, prepusisium dapat secara mudah diretraksi dan dikembalikan ke posisi semula, namun tetap ada risiko berulangnya fimosis dan parafimosis. Untuk mencegah berulangnya kondisi ini, sebaiknya dilakukan sirkumsisi (Donohoe, 2009). 2)
Osmotic method / metode osmotic Metode osmotic dan puncture digunakan untuk pasien yang tidak dapat ditangani dengan metode manual akibat besarnya edema prepusisial dan glandular yang ada akibat penanganan yang terlambat. Pada pasien anak-anak, sulit melakukan anastesi dengan penile block , biasanya dilakukan anastesi total. Bila melakukan anastesi total, prepusisium dapat dikembalikan tanpa menggunakan metode puncture/ pungsi maupun insisi. Pada metode osmotik, digunakan substansi yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang tinggi dan substansi ini diletakkan pada permukaan penis dan prepusisium yang edema. Substansi ini akan menarik air dari jaringan sesuai dengan gradien osmotiknya, hal ini akan mengurangi edema jaringan. Beberapa substansi yang digunakan antara lain : (1) glyserin magnesium sulfat ; (2) granulated sugar ; (3) larutan dextrose 50% sebanyak 50 ml biasanya digunakan pada UGD, menggunakan kain yang dibasahi dengan larutan tersebut, kemudian penis dibungkus dengan kain tersebut selama 1 jam. Kelemahan
dari
metode
osmotik
adalah
membutuhkan banyak waktu untuk mengurangi edema (Little & White, 2005).
Riri Kumala Sari H1A008026
12