Tugas Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik
Paper
Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Pilkada yang Demokratis (Analisis Visi, Misi dan Konsolidasi Partai Golkar)
Oleh: Hasbi Berliani Nomor Mahasiswa: 0701186022
Dosen: Dr Firdaus Syam
Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
Jakarta – 2008
I. PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Perkembangan demokrasi dari suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan dinamika dinamika partai politik. politik. Sejarah Sejarah perkemb perkembang angan an dan peran peran partai partai politik politik sangat sangat berkaita berkaitan n dengan dengan kualitas kualitas partisip partisipasi asi politik, politik, yang merupa merupakan kan aspek aspek penting penting yang yang menunju menunjukkan kkan hubung hubungan an yang erat antara antara keberad keberadaan aan warga warga masyara masyarakat kat dengan dengan proses-proses proses-proses politik. Keputusan-keputusan Keputusan-keputusan politik politik yang dibuat dan dilaksanakan dilaksanakan oleh pemerintah akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan setiap warga. Oleh karena itu warga masyarakat masyarakat berhak ikut serta dalam menentukan isi keputusan politik tersebut. Partisip Partisipasi asi politik politik dapat dapat diartika diartikan n sebaga sebagaii keikutse keikutsertaan rtaan warga warga negara negara biasa biasa dalam dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik 1.
Salah Salah satu bentuk bentuk partisip partisipasi asi politik politik adalah adalah keikuts keikutserta ertaan an warga warga masyara masyarakat kat dalam dalam memil memilih ih pemim pemimpin pin peme pemerin rintah tahan an mela melalui lui proses proses Pemil Pemilih ihan an Umum Umum (Pemil (Pemilu) u) dan dan Pemilihan Kepala Kepala Daerah (Pilkada). (Pilkada). Proses ini merupakan merupakan proses yang penting penting bagi warga dalam membuat keputusan tentang pemimpin mereka. Di Indonesia, semenjak proses reformasi tahun 1998 bergulir, sejumlah perubahan berkaitan dengan sistem demokrasi berlangsung dengan sangat cepat, salah satunya adalah proses pemilihan pemimp impin
negara
(pre (pres side iden
dan
wakil
pres reside iden)
dan
pemimpin
daerah rah
(Gubernur/Bupati) yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Walaupun proses ini memakan ongkos yang sangat mahal, namun tetap dijalankan sebagai konsekwensi terhadap aturan yang telah ditetapkan dan memberikan ruang yang luas bagi partisipasi politik warga masyarakat. 1
Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik,hlm 141
2
Perubahan proses Pilkada menjadi pemilihan langsung oleh rakyat dimulai sejak disyahkannya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti UU No 22/1999), dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 6 tahun 2005 yang mengatur proses pelaksanaan Pilkada langsung. Pilkada langsung oleh sebagian kalangan dianggap akan menjadi terapi bagi lahirnya suatu pemerintahan yang lebih baik, dibandingkan pemerintahan yang dihasilkan berdasarkan proses pemilihan sebelumnya (yang diatur UU No 22/1999), yang dinilai banyak menimbulkan kecurangan-kecurangan, karena dominasi DPRD, dari mulai proses penjaringan calon sampai praktek politik uang.
1.2 Identifikasi Masalah
Pilkada
langsung,
pada
dasarnya
ditujukan
untuk
mengembalikan
kesadaran
berdemokrasi ini pada hakikat yang sesungguhnya. Pilkada langsung memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan pemimpinnya, yang tentu diharapkan masyarakat yang baik.
dapat menjadi pengayom dan pelayan
Namun Pilkada langsung sebagaimana diatur dalam UU
32/2004 masih menimbulkan berbagai polemik. Salah satunya adalah ketentuan mengenai proses
pencalonan kepala daerah dan wakilnya yang didominasi Parpol.
Ketentuan ini dianggap sangat rawan untuk menghadirkan kembali skenario politik uang antara sang calon dengan partai yang mencalonkan 2
Persoalan lainnya bila calon yang dimunculkan Parpol adalah orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan karakter yang dibutuhkan masyarakat, bisa menimbulkan pemerintahan yang tidak kalah buruknya dengan masa lalu. Tidak sedikit figur-figur calon pemimpin daerah yang diusung partai politik bukanlah berasal dari kader partai itu 2
Karsayuda, Pilkada Langsung, Demokrasi dan Kemunculan Civil Society, website indomedia, 10 Maret 2005.
3
sendiri. Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi rakyat, apakah partai tidak memiliki kader yang memiliki kapasitas, atau partai tidak memiliki mekanisme untuk penyiapan kader mereka menjadi calon pemimpin, ataukah memang elit partai lebih tertarik dengan figur luar partai karena keunggulan mereka dari segi kapasitas, popularitas dan modal?
Banyak nada sumbang dan cibiran masyarakat yang muncul seiring dengan kiprah partai dalam proses Pilkada langsung sejak tahun 2005 lalu. Partai Politik dinilai tidak mampu menjalankan peran-peran utama dalam mewujudkan demokrasi khususnya dalam proses pemilihan kepala daerah, tetapi lebih cenderung memanfaatkan proses tersebut sebagai ajang praktek jual beli dukungan dengan kandidat Pilkada. Integritas dan loyalitas politisi dan pengurus partai terhadap kepentingan rakyat menjadi diragukan, karena ditengarai lebih sibuk
mengurus ’transaksi’ politik yang dapat
memberi keuntungan langsung bagi individu dan kelompok elit partai.
1.3 Pokok Masalah
Berkaitan dengan uraian di atas, permasalahan pokok yang perlu dikaji dan dijawab antara lain:
1. Apa saja peran Partai Politik dalam mewujudkan demokrasi? 2. Mengapa Partai Politik tidak mampu menjalankan perannya?
3. Apa upaya Partai Golkar dalam mendorong terwujudnya proses Pilkada yang demokratis?
4
II.KERANGKATEORI
Fungsi-fungsi
partai politik secara teoritis diuraikan secara mengesankan dari para
Ilmuwan politik, tanpa memberikan manfaat dalam membedakan faktor-faktor yang menyebabkan fungsi-fungsi tertentu dapat dilaksanakan secara efisien atau yang membuat konseptualisasi yang menghubungkan fungsi dan struktur secara memuaskan. Fungsi-fungsi tersebut biasanya yang paling umum dikemukakan adalah: representasi (perwakilan), konversi dan agregasi; integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), persuasi, represi, rekrutmen (pengangkatan tenaga-tenaga baru), dan pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijakan, serta kontrol terhadap pemerintah 3
Fungsi representasi adalah ekspresi dan artikulasi kepentingan di dalam dan melalui partai. Kadang-kadang fungsi representasi lebih sering ditampilkan daripada fungsi perantara (brokerage), yaitu partai merupakan ekspresi kepentingan tertentu, kelas tertentu, atau kelompok sosial tertentu. Fungsi perantara akan muncul apabila berbagai kepentingan dan pendapat mempunyai alasan yang sama untuk bergabung pada suatu partai. Kemudian partai berusaha mencapai kompromi atas kepentingan dan pendapat yang berbeda-beda dan mengajukan pendapat menyeluruh yang dapat diterima semua anggota dan dapat menarik publik secara keseluruhan. 4
Partisipasi, sosialisasi dan mobilisasi merupakan beberapa varian dari satu keseluruhan fungsi yang esensial, yaitu integrasi.Sosialisasi adalah proses dimana kumpulan normanorma sistem politik ditransmisikan kepada orang-orang yang lebih muda, sedangkan mobilisasi adalah fungsi partai untuk berusaha memasukkan secara cepat sejumlah besar orang yang sebelumnya berada di luar sistem tersebut, juga mereka yang apatis, 3 4
Roy C Macridis, dalam Ichlasul Amal, 1988,Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, hlm 27 Ibid, hlm 27-28
5
terasing, tidak tahu menahu, tidak tertarik atau takut, ke dalam sistem itu untuk menanamkan kepentingan dan menjamin dukungan massa. 5
Fungsi persuasi adalah kegiatan partai yang dikaitkan dengan pembangunan dan pengajuan usul-usul kebijaksanaan agar memperoleh dukungan seluas mungkin bagi kegiatan-kegiatan tersebut. Semua media komunikasi bebas digunakan untuk tujuan ini oleh semua partai atas dasar persamaan, dengan jaminan bahwa mereka
akan
mengajukan pendapat mereka dengan bebas pula. Sedangkan represi, yang merupakan kebalikannya, di mana partai, melalui pemerintah atau secara langsung mengenakan sanksi kepada anggota maupun bukan anggota, mengendalikan nasib semua asosiasi dan partai lain, serta berusaha menuntut ketaatan dan membentuk pikiran dan loyalitas anggota dengan cara yang tidak hanya mengijinkan oposisi, tetapi juga menghukum pihak oposisi dan pembangkang. Rekrutmen digunakan dalam pengertian yang seluas mungkin untuk latihan (training) dan persiapan untuk kepemimpinan: terbuka untuk masyarakat dan kompetisi dalam pemilihan pemimpin. Naiknya pemimpin karismatik yang berasal dari Angkatan bersenjata atau Birokrasi, ke posisi kekuasaan politik sering merupakan indikasi lemah atau macetnya sistem kepartaian yanga ada
6
III. GAMBARAN UMUM
3.1 Reformasi Politik, Desentralisasi ,dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Proses pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung telah dimulai sejak tahun 2005, didasarkan pada perubahan Undang-Undang Otonomi Daerah dari sebelumnya UU No 22/1999 menjadi UU No 32 /2004. Dalam konteks penguatan demokratisasi, pilkada
5 6
langsung
sebenarnya
berpeluang
untuk
melakukan
pematangan
dan
Ibid, hlm 28 Ibid, hlm 29-30
6
penyadaran berdemokrasi. Rakyat yang memiliki kesadaran berdemokrasi adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasi yang benar. Euforia Pilkada sangat kuat mempengaruhi ruang komunikasi publik baik melalui media cetak, elektronik sampai ke warung-warung, bukan hanya menjadi wacana elit tetapi juga masyarakat kebanyakan. Meskipun sebagian masyarakat masih skeptis dengan Pilkada langsung ini terutama ketidaksiapan materi dan infrastruktur, namun demikian momentum pilkada idealnya dijadikan sebagai proses penguatan demokratisasi. 7
Dalam upaya mewujudkan demokrasi, perluasan hak warga negara untuk bersuara dan berpendapat merupakan aspek mendasar yang perlu dibangun termasuk dalam proses desentralisasi/otonomi daerah. Hal sesungguhnya juga telah dimandatkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah (misalnya dalam UU No 22/1999) yang menekankan bahwa salah satu dari 4 (empat) prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah peran serta masyarakat.8
Proses-proses Pilkada yang berlangsung saat ini didasarkan pada terbukanya kebebasan berpolitik, namun tidak ditopang oleh rasionalitas, daya kritis, dan kemandirian berpikir dan bersikap. Padahal nilai utama yang diusung oleh demokrasi adalah terbukanya ruang-ruang politik rasional dalam diri setiap rakyat. Kebebasan yang tidak didasari oleh rasionalitas politik akhir-akhir ini sangat nampak dalam upaya penguatan kekuasaan pada aras politik lokal. Di tengah belum menguatnya kesadaran politik di level grass root, maka momentum Pilkada menjadi pertarungan politik yang selalu membuka ruang potensi konflik, manipulasi, money politics, dan intimidasi.
7
Yaya Mulyana, 2007, Legitimasi Rakyat Dalam Pilkada, Artikel Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2007 Riswanda Imawan, 2002, Desentalisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, dalam Syamsuddin Haris, 2002, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, hlm 44-45 8
7
Sejumlah persoalan krusial muncul berbarengan dengan proses Pilkada selama ini. Pertama, dengan terbangunnya ruang komunikasi politik masyarakat sebagai bentuk apresiasi politik dalam kerangka aspirasi dan partisipasi politik dengan menempatkan diri pada kondisi zero participation atau disebut golongan putih (golput). Kedua, kandidat dengan status masih dalam kapasitas jabatannya sebagai kepala daerah bersangkutan atau dalam UU. No. 32 Tahun 2004; disebut sebagai incumbent ; dalam proses pilkada dewasa ini status incumbent menjadi perdebatan yang cukup panjang, karena pada prakteknya incumbent sering memanfaatkan kapasitas jabatan untuk memenangkan kepentingannya. Ketiga, munculnya koalisi partai sebagai bagian dari bargaining politik dalam membangun kepentingan partai. Hal ini akan memiliki konsekuensi secara logis di dalam proses pengelolaan pemerintahan, denga memainkan regulasi dan alokasi proyek pembangunan di daerah. Keempat, terjadinya konflik interest , baik di dalam tubuh internal partai politik maupun antarpartai politik dalam konteks kepentingan yang memihak. Hal ini terutama dalam proses dan mekanisme pencalonan pilkada . Hal ini juga diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi, kinerja panwas yang lambat, kepentingan pusat yang tidak netral, pemilih tidak terdaftar, pemilih tidak mendapat kartu, ekses dari model kampanye, dan persoalan-persolan teknis, baik pada pemungutan suara maupun penghitungan suara. Tidak sedikit konflik berlanjut ke pertarungan di ruang hukum formal (pengadilan). 9
Satu fenomena yang muncul berkaitan dengan kelompok pemilih dalam pemilu atau pilkada adalah Golongan Putih (Golput), yang tidak ikut serta dalam proses pelaksanaan Pilkada atau Pemilu. Secara umum kondisi ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan masyarakat terhadap perilaku partai politik dalam tatanan regulasi pemerintahan dan ketatanegaraan. (Yaya Mulyana, Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2007). Di masa Orde Baru,
9
Yaya Mulyana, 2007, Legitimasi Rakyat Dalam Pilkada, Artikel Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2007
8
memilih adalah kewajiban dan pengingkaran atas kewajiban ini kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi. Menjadi golput pun merupakan patriotisme politik. Namun selepas Orde Baru, memilih tak lagi menjadi kewajiban, melainkan hak. Dalam konteks ini, menjadi golput pun menjadi hal biasa. Memilih atau tak memilih sama nilainya manakala dilakukan secara bertanggung jawab 10
Dari faktor kepercayaan terhadap pemerintah, salah satu aspek yang ditangarai menjadi pemicu rendahnya partisipasi politik adalah rendahnya legitimasi rakyat terhadap calon pemimpin. Disamping itu banyaknya kandidat yang tidak menarik/populer di mata rakyat serta tidak menjanjikan dan kurang memiliki kompetensi menjadi faktor pemicu munculnya ketidakpercayaan rakyat.
3.2 Efektifitas Fungsi Partai Politik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Mengacu dari sejumlah pengalaman proses pelaksanaan Pilkda,
proses dan
mekanisme pemilihan kepala daerah pada akhirnya menjadi sangat menjemukan dan melelahkan serta selalu berbiaya besar. Kecenderungan ini semakin memberikan penyadaran bagi rakyat sehingga timbul pertanyaan untuk apa mekanisme pilkada diselenggarakan jika asumsinya sebatas untuk kepentingan mengakomodasi partaipartai pengusung calon pimpinan di daerah dalam konteks perebutan kekuasaan semata
11
. Pada tahapan di mana perasaan ini muncul maka rakyat sesungguhnya lebih
banyak menjadi kelompok penggembira proses pilkada, karena kepentingan yang sesungguhnya sedang bertarung adalah kepentingan partai politik, elit politik dan calon pemimpin. Secara jujur harus diakui jika mekanisme pilkada dewasa ini pada akhirnya tidak sangat menarik untuk dapat diapresiasi dan diikuti oleh masyarakat.
10 11
Eep Saifullah Fattah, 2007, Artikel dalam website Lembaga Survei Indonesia (LSI), 24 Juli 2007. Yaya Mulyana, 2007, Legitimasi Rakyat Dalam Pilkada, Artikel Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2007
9
Pengaruh kepentingan elit politik berkaitan proses penjaringan pemimpin daerah dalam Pilkada sesuai bila dikaitkan dengan pemikiran Huntington dan Nelson dalam Miriam Budiarjo (1982) yang melihat sikap elit-elit politik di dalam masyarakat sangat mempengaruhi sifat dari partisipasi politik dari masyarakat bersangkutan. Partisipasi yang dikerahkan (mobilized participation) hanya terjadi bila elit-elit politik mengadakan ikhtiar untuk melibatkan massa rakyat ke dalam kegiatan politik. Partisipasi otonomis (autonomous participation) dapat terjadi dengan pengorbanan yang tidak terlalu tinggi , hanya jika elit politik itu menganjurkannya, memperkenankannya atau tak mampu atau tidak bersedia menindasnya. Dalam jangka panjang perubahan-perubahan dalam susunan sosial dan ekonomi dan demografi dari suatu masyarakat akan merubah sifat partisipasi politik dari masyarakat bersangkutan. Namun perubahan-perubahan yang timbul seringkali akan terjadi melalui perubahan susunan dan tujuan-tujuan dari elit politik. Perubahan-perubahan yang berlangsung salam kurun waktu lima tahun hanya terjadi karena elit politik mengubah sikapnya terhadap partisipasi politik, atau karena elit digantikan atau ditentang oleh suatu elit lain yang mempunyai sikap yang berlainan terhadap partisipasi politik 12
Kepercayaan masyarakat akan partai juga ditengarai melemah karena partai tidak atau sedikit sekali melakukan fungsi-fungsi utamanya secara konsisten dan konsekuen, tetapi hanya memfokuskan pada proses kandidasi saja munculnya pergulatan internal partai
13
. Hal ini terlihat secara jelas karena
dalam proses-proses penentuan dukungan
terhadap calon pemimpin dalam Pilkada. Keterlibatan sebuah partai dalam kontestasi Pilkada adalah merupakan hakekat dasar, namun demikian setiap kali keputusan untuk ikut terlibat sebagai pendukung pasangan calon, maka itu harusnya melalui kajian dan kalkulasi politik yang matang. Dari sudut teoritis, keterlibatan parpol dalam Pilkada 12 13
Miriam Budiarjo, 1982.Partisipasi dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai, hlm 41-42 Ibrahim Ambong dkk, Evaluasi Atas Fungsi dan Peran Partai Politik, website Akbar Tandjung Institute
10
merupakan pengejawantahan dari salah satu fungsi parpol sebagai Nominating Candidates, di mana Partai berfungsi untuk mengidentifikasi dan menentukan kandidat uang paling didominasikan sebagai pemimpin atau kandidat di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Partailah yang menjadi pihak yang paling bertangungjawab terhadap sukses-gagalnya pasangan calon. Ini cukup berbeda dengan fenomena yang muncul dalam Pilkada di indonesia, di mana peran partai justru lebih difungsikan sebagai ’kendaraan’ saja bagi figur tertentu yang berminat masuk menjadi kandidat dalam Pilkada. Proses-proses sosialisasi, kampanye dll dalam rangka pemenangan sang calon lebih banyak dilakukan team sukses yang dibentuk dari pada partai yang mengusung. Fenomena ini muncul karena ditengarai bahwa ada kecenderungan sosok figur/calon
lebih
menentukan
kemenangan
dari
pada
eksistensi
partai
yang
mengusungnya. Hal ini dalam jangka panjang akan mengancam keberadaan partai karena akan memunculkan penegasian eksistensi parpol dan bisa berdampak pada merontokkan bangunan sistem kepartaian yang ada
3.3 Partai Golkar : Perubahan Paradigma, Visi dan Misi
Partai Golkar merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia yang telah berkuasa dalam jangka waktu yang lama terutama pada masa kekuasaan Orde Baru. Walaupun partai ini telah mengalami banyak tantangan dan hambatan selama proses reformasi dan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, partai Golkar tetap menunjukkan eksistensinya dalam percaturan politik di Indonesia, melalui berbagai proses reformasi paradigma, visi dan misi partai.
Visi partai Golkar adalah terwujudnya Indonesia baru yang maju, modern, bersatu, damai, adil dan makmur dengan masyarakat yang beriman dan bertaqwa, berahlak baik, menjunjung tinggi hak asasi manusia, cinta tanah air, demokratis, dan adil dalam
11
tatanan masyarakat madani yang mandiri, terbuka, egaliter, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja dan semangat kekaryaan, serta disiplin yang tinggi .
Visi ini memperjelas posisi Partai Golkar untuk mewujudkan kehidupan politik nasional yang demokratis melalui pelaksanaan agenda-agenda reformasi politik yang diarahkan untuk melakukan serangkaian koreksi terencana, melembaga dan berkesinambungan terhadap seluruh bidang kehidupan. Reformasi diartikan sebagai upaya untuk menata kembali sistem kenegaraan disemua bidang agar kita dapat bangkit kembali dalam suasana yang lebih terbuka dan demokratis 14.
Beberapa prinsip yang dikemukakan dalam rangka perwujudan visi ini antara lain: pentingnya mendorong keterbukaan sebagai nilai kemanusiaan hakiki yang merupakan nafas dari gerakan reformasi, melakukan supremasi hukum, membangun perekonomian yang bertumpu pada usaha kecil, menengah dan koperasi, dan penguatan budaya bangsa yang mampu melahirkan bangsa yang kuat, dan menciptakan kerukunan sebagai basis integrasi bangsa
Misi yang telah dirumuskan dalam rangka mengaktualisasikan doktrin dan mewujudkan visi tersebut adalah: menegakkan, mengamalkan, dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa demi untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan mewujudkan cita-cita Proklamasi melalui pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, menegakkan supremasi hukum, mewujudkan kesejateraan rakyat, dan hakhak asasi manusia.
14
Situs partai golkar: http/pusat.golkar.or.id
12
Dalam rangka membawa misi mulia tersebut Partai Golkar melaksanakan fungsi-fungsi sebagai sebuah partai politik moderen, yaitu:
Pertama: mempertegas komitmen untuk menyerap, memadukan, mengartikulasikan,
dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan rakyat sehingga menjadi kebijakan politik yang bersifat publik.
Kedua, melakukan rekruitmen kader-kader yang berkualitas melalui sistem prestasi
(merit system) untuk dapat dipilih oleh rakyat menduduki posisi-posisi politik atau jabatan-jabatan publik. Dengan posisi atau jabatan politik ini maka para kader dapat mengontrol atau mempengaruhi jalannya pemerintahan untuk diabdikan sepenuhnya bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Ketiga, meningkatkan proses pendidikan dan komunikasi politik yang dialogis dan
partisipatif, yaitu membuka diri terhadap berbagai pikiran, aspirasi dan kritik dari masyarakat.
Platform Partai Golkar
Platform partai didefinisikan sebagai landasan tempat berpijak, yaitu wawasan-wawasan yang menjadi acuan dan arah dari mana dan ke mana perjuangan Partai Golkar hendak menuju. Platform merupakan sikap dasar yang merupakan kristalisasi dari pemahaman, pengalaman dan kesadaran historis Partai Golkar dalam menyertai bangsa membangun masa depan. Dasar pijak partai adalah tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan konsekuensi dari pijakan ini maka Partai Golkar berwawasan kebangsaan, yaitu suatu wawasan bahwa bangsa Indonesia adalah satu dan menyatu. Wawasan kebangsaan adalah cara pandang yang mengatasi golongan dan kelompok baik golongan atau
13
kelompok atas dasar agama, suku, etnis, maupun budaya. Kemajemukan atau pluralisme tidak dipandang sebagai kelemahan atau beban, melainkan justru sebagai potensi atau kekuatan yang harus dihimpun secara sinergis dan dikembangkan sehingga menjadi kekuatan nasional yang kuat dan besar 15.
Partai Golkar terbuka bagi semua golongan dan lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang etnis, suku, budaya, bahasa, agama, dan status sosial ekonomi, di mana hal ini diwujudkan dalam penerimaan anggota maupun dalam rekruitmen kader untuk kepengurusan
dan
penempatan
pada
posisi-posisi
politik.
Wawasan
yang
dikembangkan adalah wawasan kemajemukan yang inklusif yang mendorong dinamika dan persaingan yang sehat serta berorientasi pada kemajuan serta senantiasa siap berkompetensi secara sehat. Partai Golkar juga berpijak pada wawasan keterbukaan (inklusif) yang menampung kemajemukan (pluralis) karena hadirnya kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
Partai Golkar adalah partai yang demokratis yang memiliki komitmen pada demokrasi. Dalam rangka demokratisasi inilah, Partai Golkar mereformasi dirinya, sehingga melahirkan Partai yang demokratis yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan di tangan anggota. Ini semua tercermin dalam proses pengambilan keputusan di semua eselon kepemimpinan yang berlangsung secara demokratis dan dari bawah sebagai manifestasi ditegakkannya prinsip kedaulatan di tangan anggota.
Salah satu posisi yang ditonjolkan partai Golkar adalah sebagai Partai Moderat yang senantiasa mengambil posisi tengah dan menempuh garis moderasi. Partai Golkar tidak akan pernah bersikap ekstrim, baik dulu, kini, maupun mendatang. Sebagai Partai Moderat
15
akan
tetap
konsisten
mengembangkan
wawasan
tengahan
dan
Situs partai golkar: http/pusat.golkar.or.id
14
keseimbangan, dan tidak terjebak pada pilihan-pilihan yang bersifat pemutlakan nilai. Posisi ini mengandung arti bahwa partai Golkar senantiasa mewujudkan keseimbangan dari
tarik
menarik
berbagai
kepentingan,
dan
sebaliknya
berupaya
untuk
mengakomodasi dan mengharmonisasikannya 16.
Dari
sisi
peningkatan
kesejahteraan
Partai
Golkar
memandang
peningkatan
kesejahteraan rakyat sebagai salah satu tujuan nasonal yang utama, sehingga muara perjuangan terletak pada peningkatan kesejahteraan rakyat lahir dan batin. Politik merupakan instrumen dan manajemen untuk mewujudkan masyarakat madani yang sejahtera, adil dan makmur. Peningkatan kesejahteraan itu diwujudkan dalam bentuk antara lain peningkatan taraf hidup dan kecerdasan rakyat. 17
IV. ANALISIS
4.1 Membangun Peran Partai Politik dalam Mewujudkan Pilkada yang Demokratis
Perluasan partisipasi politik sesungguhnya jarang sekali menjadi tujuan utama dari elit politik terutama di negara berkembang. Umumnya pemimpin-pemimpin politik akan memperluas partisipasi politik jika mereka menganggap perluasan itu sebagai suatu upaya untuk membina dan mempertahankan kekuasaannya, atau untuk tujuan-tujuan lain
yang
menguntungkan
dirinya 18.
Dari
pemikiran
tersebut
perluasan
atau
pengembangan partisipasi politik semestinya dilakukan agar masyarakat bisa mencapai tujuan-tujuan lainnya dalam pembangunan, pemerataan sosial dan ekonomi. Hal ini tentu berkaitan dengan proses pemilihan siapa yang akan menjadi pemimpin politik.Oleh karena itu suatu hal mendasar yang perlu dilakukan sebagaimana disampaikan Murray
16
Situs partai golkar: http/pusat.golkar.or.id Situs partai golkar: http/pusat.golkar.or.id 18 Miriam Budiarjo, 1982.Partisipasi dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai, hlm 58 17
15
Print (1999), pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education). Aktualisasi dari civic education sebenarnya terletak kepada tingkat partipasi politik rakyat di setiap momentum politik seperti Pemilu dan Pilkada
19
. Peran partai tentu menjadi hal yang mutlak untuk mengambil bagian utama
dalam meningkatkan proses pendidikan kewarganegaraan ini.
Salah satu persoalan yang juga dihadapi pasca Pilkada adalah terjadinya kesenjangan politik antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan lokal, di mana aktor pelaksana kekuasaan lokal (baik unsur birokrasi maupun legislatif) sering melakukan langkah pengambilan dan pelaksanaan kebijakan politik yang tidak selaras dengan aspirasi kolektif masyarakat sipil. Lembaga kekuasaan politik lokal yang sebagian besar didominasi kalangan partai politik peraih suara Pemilu 2004 yang lalu sering kali tidak mampu menjalankan fungsi keterwakilan politik dan kurang optimal dalam peran sebagai pelayan aspirasi publik. Oleh karena itu agenda membangun kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi mutlak dilakukan untuk membangun partisipasi politik.
Secara internal, partai-partai masih banyak mengalami masalah yang rumit dan pelik, di mana banyak gagal mempraktekkan demokrasi internal mereka sendiri. Oleh karena itu, momentum Pilkada semestinya dijadikan sebagai
masukan bagi partai untuk
membenahi diri, mengoptimalkan fungsi dan perannya secara baik khususunya dalam konteks
pendidikan
politik,
dna
mereduksi
seoptimal
mungkin
kelemahan-
kelemahannya. Partai harus belajar lebih relaistis dalam merumuskan target dan harapan politiknya. Melalui peningkatan fungsi dan peran partai dalam Pilkada, serta
19
Yaya Mulyana, 2007, Legitimasi Rakyat Dalam Pilkada, Artikel Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2007
16
suksesnya suatu partai mengusung satu pasangan calon dalam Pilkada akan memberi nilai tambah pada partai itu sendiri, karena akan dapat menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat terhadap partai tersebut. Bila dilihat dari proses pencalonan figurfigur pemimpin yang diusung Partai Golkar, kualifikasi calon umumnya menjadi satu pertimbangan yang dilakukan. Calon-calon pemimpin yang didukung dalam sejumlah Pilkada adalah calon-calon yang relatif memiliki kualitas persoanal dan pengalaman yang lebih. Tidak mengherankan jika dalam sejumlah Pilkada, pasangan yang diusung Golkar atau koalisi Golkar dengan partai lainnya memperoleh kemenangan.
Fungsi partai dalam mengkritisi persoalan-persoalan kepentingan publik secara nyata dan
berkelanjutan
memanfaatkan
perlu
dilakukan.
persoalan-persoalan
Partai
tidak
kepentingan
akan publik
dipercaya hanya
bila
hanya
sebagai
’jualan
musiman’, seperti dalam kampanye Pilkada, tetapi kemudian tidak pernah menggarap persoalan tersebut di luar ”musim” Pilkada. Partai seharusnya tidak hanya sibuk di musim Pilkada, dan setelah itu ”tidur nyenyak”.
Partai perlu lebih memperlihatkan
bahwa mereka bertanggungjawab terhadap persoalan-persoalan kepentingan publik tersebut, dengan menjaring aspirasi dan
melakukan kontrol, kritik dan memberi
masukan terhadap pemerintah.
Salah satu fungsi partai yangsering dilupakan adalah sebagai wadah pengendali konflik. Fungsi ini penting untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap anggaran dasar dan anggara rumah tangga (AD/ART) perlu dirumuskan secara komprehensif agar mampu memberi kaidah penuntun bagi partai dalam menjalankan fungsi esensinya sebagai institusi yang terlibat dan menjadi bagian konflik, sekaligus bertanggungjawab terhadap penyelesaian konflik itu sendir i20
20
FS Swantoro, 2008, Harian Suara Merdeka,17/01/2008
17
Partai juga perlu mengembangkan paltform dan program partai yang berpihak pada rakyat, bukan mengandalkan pimpinan karismatik seperti era lalu, artinya partai yang memiliki prospek ke depan adalah partai yang mengandalkan visi dan platform yang realistis. Partai perlu mengarahkan visi dan programnya untuk menjawab permasalahan mendasar bangsa yaitu kemiskinan, pengangguran, kebidihan, kesehatan dan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) 21
4.2 Konsolidasi Partai Golkar: Optimisme Menuju Pilkada yang Demokratis
Jika dibandingkan dengan sejumlah partai lainnya dalam proses pilkada, Partai Golkar reltif lebih siap dibandingkan dengan partai lainnya.
Fenomena yang muncul dari
beberapa pesaing besar seperti PDI-P, PKB, dan PPP umumnya terjadi konflik internal atau perlawanan dalam tubuh internal partai. Di PDIP terdapat kelompok pembaruan, namun keberadaan kelompok pembaruan ini membuat soliditas partai tersebut diragukan. Target yang dipasang elite PDI-P, seperti diutarakan Sekjen Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Pramono Anung, yaitu sebesar 40 persen (30 persen pilkada provinsi dan 50 persen pilkada kabupaten/kota) lebih terlihat sebagai isapan jempol belaka. Begitu pula dengan ide "konvensi" yang katanya akan digulirkan PDI-P, sulit untuk dipercaya keseriusannya. Mekanisme kongres PDIP yang terakhir di Bali menunjukan kecenderungan bahwa PDIP bukanlah sebagai partai demokratis. Begitu pula dalam penentuan calon kontestan pilkada akan lebih ter- gantung restu dari atas daripada dukungan rakyat
22
.
PPP, PAN dan Partai Demokrat juga merupakan partai yang tidak terlepas dari kemelut internal. Partai-partai ini menyimpan beberapa persoalan internal yang dapat
21
FS Swantoro, 2008, Harian Suara Merdeka,17/01/2008
22
Toto Sugiarto, Kompas, 4 Mei 2005
18
menimbulkan kemelut dan perpecahan sewaktu-waktu. Bila kita melihat persoalan PKB, persoalan pascamuktamar menyeruak kekecewaan besar di kubu Alwi Shihab. Mereka merasa diperlakukan tidak adil sehingga tidak mau mengakui kepemimpinan hasil muktamar yang dijabat oleh Muhaimin Iskandar dan Gus Dur. Kondisi ini mengakibatkan tidak solidnya mesin partai.
23
Hal yang sama terlihat pada persoalan terakhir yang
melanda PKB di mana pemecatan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidz PKB oleh kelompok Gus Dur telah menyebabkan pecahnya PKB, dengan terbentuknya dua DPP PKB. Keruwetan bertambah setelah Pengadilan memenangkan gugatan Muhaimin Iskandar berkaitan pemecatan dirinya, di mana persoalan ini akan berdampak pada kesempatan PKB untuk mengkonsolidasikan seluruh elemen partai menuju Pemilu 2009 yang akan berlangsung dalam waktu dekat.
Dalam konteks ini partai Golkar terlihat paling siap menghadapi pilkada, terutama bila dilihat dari segi kesiapan mesin politik.
Sebagai contoh dalam tahun 2005, dari tujuh
pasang calon kepala daerah provinsi dan 148 kepala daerah kabupaten/kota yang diajukan Partai Golkar, mereka menargetkan pencapaian kekuasaan di 60 persen daerah yang diikutinya dengan kemungkinan bahwa mereka akan melampaui target tersebut. 24
V. PENUTUP
Reformasi politik pasca 1998, telah mengubah peta dan peran partai politik. Sistem yang memungkinkan muncul dan berkembangnya banyak partai (multi partai) saat ini 23 24
Toto Sugiarto, Kompas, 4 Mei 2005 Toto Sugiarto, Kompas, 4 Mei 2005
19
menempatkan
peran partai politik menjadi strategis dalam upaya membangun
partisipasi politik. Untuk itu peningkatan peran partai politik sangat diperlukan dalam mewujudkan demokrasi termasuk perwujudan demokrasi dalam proses-proses Pilkada. Momentum Pilkada dapat menjadi ajang bagi partai politik untuk memulai merintis dan mengoptimalkan fungís-fungsi esensialnya dalam membangun demokrasi.
Partai politik secara sistematis dan terus-menerus perlu memulai dan meningkatkan fungsi-fungsi utamanya yaitu fungsi representasi (perwakilan), integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), penyalur aspirasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik dan pengendali konflik) dan tidak terjebak pada kepentingan-kepentingan jangka pendek dan kepentingan kelompok/elit yang hanya berkaitan dengan proses-proses pemenangan pilkada.
Orientasi
partai
yang
hanya
mengutamakan
kepentingan-kepentingan
pemenangan pilkda dan kepentingan kekuasaan perlu diubah, untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap fungsi dan peran partai.
Bila dlihat dari sisi perubahan paradigma da rumusan visi dan misi partai Golkar, serta upaya-upaya konsolidasi yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa Partai Golkar merupakan satu partai yang memiliki fondasi kuat dalam mewujudkan peran partai politik dalam membangun proses pilkada yang demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Setiawan, 2006, Menyoal Partisipasi Politik dalam Pilkada , Artikel dalam website Litbang Kompas, 2007. Eep Saifullah Fattah, 2007, Artikel dalam website Lembaga Survei Indonesia (LSI), 24 Juli 2007.
20
FS Swantoro, 2008, Potret Parpol di Mata Rakyat, Harian Suara Merdeka,17/01/2008
Haris,
Syamsuddin,
2007,
Desentralisasi,
Demokratisasi
dan
Akuntabilitas
Pemerintahan Daerah, LIPI Press, Jakarta Ichlasul Amal, 1988, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Ibrahim Ambong, dkk, 2005, Evaluasi atas Peran dan Fungsi Partai Politik, Website Akbar Tandjung Institute,Jakarta. Karsayuda, Pilkada Langsung, Demokrasi dan Kemunculan Civil Society, website Indomedia, 10 Maret 2005. Maurice Duverger, diterjemahkan oleh Laila Hasyim, 1984. Partai Politik dan KelompokKelompok Penekan,PT Bina Aksara, Yogyakarta Ramlan
Surbakti,
1992
Memahami
Ilmu
Politik ,
Gramedia
Widiasarana
Indonesia.Jakarta Riswandha Imawan, 1997, Membedah Politik Orde Baru, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Yaya Mulyana, 2007, Legitimasi Rakyat Dalam Pilkada, Artikel Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2007
21