BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pancasila adalah dasar negara atau dikenal sebagai ideologi bangsa, merupakan pedoman pokok dalam mengatur kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dalam segi politik, ekonomi dan sosial. Konstitusi di Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila sejak Negara Indonesia berdiri hingga sekarang telah banyak mengalami permasalahan. Tapi hingga kini tetap dapat berdiri dengan kokoh.
Pancasila sebagai dasar negara, dianggap sesuai dengan situasi kondisi manusia atau masyarakat yang memiliki latar belakang kehidupan yang beraneka ragam. Manusia sebagai makhluk ciptaanNya, terutama masyarakat Indonesia wajib bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menjalankan semua perintahNya, seperti pada sila pertama. Tapi dari masa ke masa semakin banyak manusia-manusia yang tidak memiliki jiwa Pancasila. Mereka membaca Pancasila hanya sebatas di bibir saja, tapi tidak mengamalkan atau mengaplikasikan dalam kehidupannya sehingga disana sini marak dengan perkelahian pelajar, penggunaan obat-obatan terlarang/ narkoba bahkan penyakit yang paling parah yang tidak dapat disembuhkan dikalangan pejabat yaitu korupsi. Semua ini adalah tanda-tanda dari kemerosotan akhlak bangsa yang sulit untuk diobati karena sila pertama untuk manusiamanusia seperti itu hanyalah tulisan belaka.
Setiap manusia memiliki jiwa, raga, dan akal yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, tapi seringkali akal itu dikalahkan oleh nafsu sehingga terciptalah kebobrokan dalam mental dan moral. Sebenarnya manusia diberikan dua pilihan, baik atau buruk. Karena pribadi-pribadi semacam ini tidak menjiwai Pancasila sehingga akal menjadi nomor yang kesekian. Sedangkan nafsulah yang menjadi nomor satu.
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga adalah sesuatu yang bulat, tidak dapat dipisahpisah. Oleh karena itu dalam pergaulan suatu harus saling menunjukkan rasa persatuan walaupun berbeda-beda agama, suku, adat dan latar belakang. Namun yang ada sekarang justru bukannya bersatu tapi perbedaan pandangan sedikit saja bisa memicu pertentangan atau perkelahian bahkan yang lebih mengenaskan lagi bisa terjadi pembunuhan.
1.2 Rumusan Masalah a.
Bagaimana potret Indosnesia sekarang?
b.
Apa saja penyebab terjadinya dekadensi moral bangsa ini?
c.
Dimanakah kedudukan pancasila?.
d.
Apa saja yang dapat dilakukan dalam perbaikan moral anak bangsa?
1.3 Tujuan a.
Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila.
b.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya dekadensi moral.
c.
Untuk mengetahui tentang masalah dan solusi dalam dekadansi moral berdasarkan Pancasila.
d.
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila.
1.4 Manfaat a.
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Pancasila.
b.
Mahasiswa dapat mengetahui tetang faktor-faktor penyebab terjadinya dekadensi moral.
c.
Mahasiswa dapat mengetahui masalah dan solusi dalam dekadansi moral berdasarkan Pancasila.
BAB II PEMBAHASAN 2.2 Pengertian Pancasila Dekadensi berasal dari kata dekaden (keadaan merosot dan mundur). Dengan demikian, dekadensi merupakan kemunduran dan kemorosatan yang terus menerus (sengaja atapun tidak sengaja) terjadi serta sulit untuk diangkat atau diarahkan menjadi seperti keadaan semula atau sebelumnnya.
Potret Indonesia Masa Kini Akhir-akhir ini banyak ditemukan kasus terkait dengan masalah moral bangsa Indonesia. Entah kasus tersebut yang menyangkut anak usia dini, remaja sampai pada para pembesar di Indonesia. Banyak kalangan terjerat masalah moral. Korupsi, prostitusi, judi dan tindakan kriminal kerap terjadi.Media massa pun hampir tak pernah absen dalam memberitakannya, tanpa ada tindak lanjut yang serius dalam perubahan. Yang ada justru saling membantah, menutup- menutupi dan hukum yang diperjual belikan. Tak ada lagi kebenaran dan kebaikan, yang berjaya adalah uang. Bahkan Prof. Dr. M.T. Zen, Guru Besar Emeritus Teknik Geofisika ITB pernah berkomentar tentang bangsa ini “Tak ada bangsa yang sekarang sangat sibuk merusak dirinya sendiri selain bangsa Indonesia”.[1] Kasus yang menimpa para politisi bangsa ini semakin memperjelas betapa bobroknya moral para pemimpin bangsa ini. Pada Desember 2006 lalu, Yahya Zaini terlibat kasus video mesum dengan penyanyi Maria Eva. Kemudian tahun 2008 muncul kasus Max Moein yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap sekretaris pribadinya, Desy Firdiyanti. Selang beberapa tahun kemudian Arifinto tertangkap basah sedang membuka situs porno saat sidang paripurna berlangsung. Baru-baru ini, Indonesia kembali digemparkan oleh kasus video mesum yang pemainnya mirip anggota DPR Komisi IX. Selain itu, kemarin-kemarin kita pernah digemparkan dengan video mesum yang dilakoni Aril, Luna Maya dan Cut Tari. Hal ini masih sekitar mereka-mereka yang punya nama di negeri ini dan ditemukan. Lain dari itu, jauh lebih banyak lagi. Dan fenomena kekerasan yang berbau SARA juga ikut meramaikan media massa.
Semua menjadi ancaman bagi keutuhan Indonesia dan kelestarian budaya juga lainnya. Semuanya tidak bisa dibiarkan begitu saja, kecuali kita akan menjadi penghianat dan berdosa kepada para pejuang bangsa ini. Ketika melihat berbagai fenomena di atas, sempat terbersit dalam benak bagaimana nasib kalangan bawah jika para pemimpinnya saja tidak becus dan tidak memberikan contoh yang tepat. Beberapa hal di atas masih sebatas menyangkut pornografi juga pornoaksi, lain lagi korupsi yang menjerat para politisi, prostitusi dan tindak kriminal yang terus bertambah dan lainnya. Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai Negara agamis dan warga negaranya yang religius dengan mayoritas beragama Islam, bahkan terbesar sedunia menjadi tercoreng oleh perilaku warga negaranya yang amoral. Di manakah letak kesalahan? Apakah konsep-konsep agama atau para pemeluknya yang jauh dari ketaatan? Hal ini menjadi auto-kritik bagi bangsa ini yang dikenal religius. Pada tahun 2011, dekadensi moral yang menggerogoti karakter bangsa Indonesia, khususnya karakter religius dan ideologi Negara ditanggapi DIKNAS dengan diharuskannya penyisipan 18 nilai-nilai dalam proses pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 18 nilai-nilai tersebut adalah nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, penuh rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, mengahargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan social juga tanggung jawab.[2] B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dekadensi Moral Banyak hal yang berperan besar dalam kemerosotan moral bangsa ini. Modernitas selain membawa efek positif, juga banyak negatifnya ketika disalah gunakan. Khususnya bagi mereka yang salah paham tentang modernitas dengan memasukkan westernisasi sebagai bagian darinya. Akibatnya, budaya kebarat-baratan pun banyak dijumpai dan mengikis kebudayaan khas negeri ini. Media massa, baik berupa surat kabar atau elektronik memiliki peran besar dalam pertukaran budaya dengan pengaruh yang sangat kuat. Karena manusia secara kodrati memang menyukai hal-hal yang baru. Sehingga apa saja yang masuk ke dalam benaknya mudah saja mempengaruhinya tanpa dikritisi. Di sini mereka sudah kehilangan jati dirinya dan lebih cenderung meng-imitasi idolanya. Kemudahan akses internet dengan berbagai jejaring sosial yang tersedia juga berada dalam garda depan yang menjadi penyebab kemerosotan moral. Tak jarang ditemukan para pelajar yang menyia-nyiakan waktunya di depan komputer dengan membuka situs-situs yang tidak bermanfat. Game online, facebookan, tweeteran dan lain-lain menjadi kebiasaan anak bangsa. Dan tak jarang ditemukan mereka yang hilang rasa optimisnya dengan melakukan plagiat dari tulisan-tulisan di internet dalam pengerjaan tugas.
Melihat berbagai fenomena di atas, di sini pendidikan usia dini sebagai dasar pendidikan anak bangsa perlu dipertanyakan. Apa sebenarnya yang telah ditanamkan kepada mereka sejak kecil? Atau jangan-jangan sebenarnya beberapa hal di atas memang ditanam sejak kecil? Karena tak jarang kita temukan mereka-mereka yang memanjakan anaknya dan melakukan belas kasih yang salah dan menjerumuskan. Berbagai fenomena ini tak lepas dari pengaruh globalisasi dan modernisasi yang disalah artikan dengan westernisasi yang tidak diimbangi dengan pembentengan diri. Sehingga mereka bukannya mengambil manfaat, tetapi justru merusak diri sendiri secara perlahan-lahan. Tak ada lagi pegangan kecuali ikut arus ke arah perubahan yang destruktif. Jati diri digadaikan dengan dalih gengsi-gengsi yang dilancarkan dalam penjajahan yang kasat mata. Sebenarnya kalau ditelusuri lagi, maraknya pelbagai problematika sosial yang berkaitan dengan masalah moralitas ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan pada setiap individu. Agama hanya dijadikan sebagai simbol tanpa makna. Orang hanya sekedar bangga kalau dirinya disebut beragama, meskipun ia tidak pernah menjalankan ajaran-ajaran agama. Status beragama seringkali hanya dijadikan pelengkap dalam kartu tanda penduduk, tanpa pernah dipikirkan tanggungjawab serta konsekuensi yang harus ditanggungnya. Sehingga pantas, jika berbagai persoalan seputar moralitas ini kemudian terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, karena ajaran-ajaran agama telah diabaikan dan diselewengkan. Dan ini sangat terkait dengan pendidikan dan pembekalan diri anak bangsa yang prosesnya begitu panjang. C. Pancasila sebagai Landasan Moral Indonesia adalah negara yang berasaskan pancasila. Di sini seluruh kebijakan atau apapun yang dilaksanakan oleh negara tidak boleh betentangan dengan pancasila, baik dalam hal politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan dan lainnya. Demokrasi pancasila, ekonomi kekeluargaan atau koperasi dalam kesejahteraan harus benarbenar dilaksanakan. Sedangkan monarki liberalisme dan monopoli dalam ekonomi harus dihindari. Pancaasila sebagai ideologi Negara dan landasan moral Negara, pola pelaksanaannya dipancarkan dalam empat poko pikiran yaitu, sebagai fundamen moral Negara yang dipancarkan dari sila pertama dan kedua, dan sebagai fundamen politik Negara yang dipancarkan dari sila ketiga, keempat dan kelima. Selanjutnya pokok pikiran tersebut dijelmakan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebagai strategi pelaksanaanya.[3] Pancasila sebagai landasan moral mengandung nilai-nilai universal yang mengikat seluruh warga negara Indonesia. Nilai-nilai pancasila harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Tanpa adanya realisasi, pancasila bukanlah apa-apa dan hanya tinggal nama sebagai ideologi dan landasan moral. Manusia-manusia pancasilais
sebagai bentuk kongkret dari pancasila lah yang dapat membangun Negara dan menciptakan kesejahteraan bersama. Pancasila merupakan cerminan kehidupan manusia yang harmonis. Oleh karena itu isi ajaran pancasila harus dibudayakan. Dalam membudayakannya, pertama harus dilakukan penghayatan tentang inti dari ajaran pancasila yang murni dan terlepas dari pengaruh pandangan golongan apapun.[4] Istilah Ketuhanan dalam sila pertama berarati keyakinan dan pengakuan yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan. Di sini ada tiga konsep dasar berupa keyakinan, pengakuan dan konkretisasi iman dengan perbuatan. Sebuah keyakinan tanpa diikuti pengakuan dan realisasi dalam bentuk perbuatan merupakan sebuah pengingkaran. Dan jika hanya ada pengakuan tanpa diikuti keyakinan dan perbuatan, maka hal ini hanyalah sebuah kemunafikan. Penggabungan ketiga konsep di atas melahirkan istilahIman yang merupakan inti dari sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Di sini bangsa Indonesia sudah memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam pembangunan karakter dan merekonstruksi moral bangsa yaitu pancasila. Tinggal bagaimana nantinya anak-anak Indonesia mengaktualisasikan potensi tersebut dalam ranah sosial kemasyarakatan. Bagaimana nantinya pancasila menjadi ruh warga negara dalam segala tindakannya, bukan sekedar catatan nilai atau ideologi dan landasan moral yang digembar-gemborkan tanpa arti, tanpa realisasi. D. Upaya Pembentukan Moral Bangsa Karakter yang baik merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral yang ditandai dengan sikap dan perilaku positif. Hal ini sangat terkait dengan hati, bukan dengan otak sebagai pusat intelektual. Jadi, di sini yang harus dibangun adalah hatinya dan itu terkait dengan kesadaran dan keyakinan. Hal inilah yang membuat pembangunan karakter atau pembentukan moral bukanlah hal yang simpel dan membutuhkan proses yang panjang. Tidak seperti mengingat atau mengetahui sesuatu yang dapat dicatat dan dihafalkan. Di atas sudah disebutkan kalau Indonesia memiliki potensi yaitu pancasila dalam pembangunan karakter bangsa. Di sini dibutuhkan penghayatan agar pancasila bisa menjadi ruh dalam tiap tindakan. Penghayatan yang akan melahirkan kesadaran dalam mengaplikasikannya tanpa paksaan. Sehingga pancasila menjadi benteng yang kokoh dan siap mengkritisi semua apa yang terjadi, menyikapi semua hal-hal baru agar tidak mudak terjerumus di dalamnya. Dalam proses pembangunan moral ini, ada beberapa agen sosialisasi yang sangat berperan di dalamnya, yaitu: Pertama, keluarga. Merupakan peletak pertama dalam penanaman moral anggota keluarganya. Mereka adalah orang pertama yang akan dicerminkan anak-anaknya dalam ranah sosial. Kuat tidaknya penanaman moral mereka akan berpengaruh pada perkembangan selanjutnya. Karena apa yang mereka
tanamkan merupakan benteng awal dan lebih mudah menjadi darah daging anggotanya. Kedua,lingkungan sosial. Memiliki peran yang sangat besar setelah keluarga. Mereka meliputi teman bermain, masyarakat sekitar dan semua yang berinteraksi dengannya. Baik tidaknya lingkungan seseorang akan mempengaruhi seseorang. Kecuali dasa-dasar yang ditanamkan keluarganya sudah begitu kuat, sehingga bisa menjadi ikan yang tidak ikut asin di tengah-tengah asinnya air laut. Ketiga, lembaga pendidikan. Khususnya pendidikan usia dini, memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter seseorang.Keempat, media massa. Menjadi bagian yang sangat berperan dalam penyebaran informasi dan pertukaran budaya yang banyak mempengaruhi masyarakat, khususnya modern. Secara tidak langsung sebenarnya media menjadi pendidik para penggunanya dengan mempengeruhinya lewat berbagai hal yang persuasif. Keempat agen sosialisasi di atas harus saling mendukung dalam pembentukan moral atau pembangunan karakter anak bangsa. Khususnya keluarga dan mereka yang berinteraksi dalam pendidikan dan penanaman moral pada usia dini. Karena pada usia dinilah hal tersebut lebih mudah dilakukan dan menjadi dasar dalam perkembangan selanjutnya. Sebagaiman pohon yang masih muda akan mudah diarahkan ke mana saja. Jika keempat agen tersebut tidak saling mendukung, maka akibatnya akan terjadi dilema pada anak didik. Mereka akan kebingungan dalam menentukan nasibnya sendiri, siapa yang akan diikuti dan yang benar dalam hal yang dijalani. Misalkan saja keluarganya mengajarkan bahwa pacaran itu tidak baik dan sebisa mungkin dihindari pada usia dini, sementara di telivisi banyak memeprtontonkan film-film cinta, pacaran dan pergaualan remaja yang vulgar. Melihat keadaan di Indonesia, pemerintah perlu memperketat pemantauan pada media massa. Hal-hal yang tidak mendidik atau bahkan mengarah pada hal-hal yang negatif perlu dihapus dari daftar pengeksposan. Budaya-budaya luar yang vulgar, kriminalitas, film-film yang tidak berbobot, gosip dan hal-hal lain yang tidak mendidik dan membawa efek negatif tersebut seharusnya tidak dibiarkan begitu saja dikonsumsi warga khususnya anak usia dini. Dari kalangan keluarga, mereka harus memantau pergaulan anak-anaknya dan mengajarkan hal-hal mulia sesuai ajaran agama. Bukan justru seperti para orang tua biasanya yang menanamkan hal-hal yang tidak baik pada usia dini walau secara tidak langsung. Misalnya menakut-nakutin, mengajari berbohong dengan mengatakan ada hantu ketika anaknya tidak mau tidur dan lainnya. Para orang tua bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan keluarga yang baik dan mendidik, tidak memanjakan anak, tidak memaksakan kehendak dan lainnya. Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua
aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.[5] Di sini Indonesia perlu memperbaiki system pendidikannya. Seharusnya dalam kriteria kelulusan misalnya tidak hanya memperhatikan nilai ujian nasional. Tetapi juga nilai-nilai keseharian terkait dengan perilaku anak didik. Dan apa yang ditekankan dalam pendidikan bukan hanya pengembangan intelektual belaka, tetapi pengembangan spiritual dan emosional juga perlu diperhatikan. Sehingga tidak hanya kemapanan intelektual yang dicapai, tetapi anak didik akan lebih bisa bersikap dan menyikapi apa yang dihadapinya Kemantapan emosional dan spiritual ini akan melahirkan penghayatan dan perilaku positif anak didik. Selain berbagai hal di atas, pergerakan moral oleh orang-orang tertentu khususnya akademisi juga akan sangat membantu dalam pembentukan karakter dan moral juga penyadaran anak bangsa. Di sini dibutuhkan orang yang menjadi pelopor dalam terwujudnya pergerakan tersebut.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Akhir-akhir ini banyak ditemukan kasus terkait dengan masalah moral bangsa Indonesia. Entah kasus tersebut yang menyangkut anak usia dini, remaja sampai pada para pembesar di Indonesia. Korupsi, prostitusi, judi dan tindakan kriminal kerap terjadi. Media massa pun hampir tak pernah absen dalam memberitakannya, tanpa ada tindak lanjut yang serius dalam perubahan. Yang ada justru saling membantah, menutup- menutupi dan hukum yang diperjual belikan. Bahkan Prof. Dr. M.T. Zen, Guru Besar Emeritus Teknik Geofisika ITB pernah berkomentar tentang bangsa ini “Tak ada bangsa yang sekarang sangat sibuk merusak dirinya sendiri selain bangsa Indonesia”. Banyak hal yang berperan besar dalam kemerosotan moral bangsa ini.Namun kalau ditelusuri lagi, maraknya pelbagai problematika sosial yang berkaitan dengan masalah moralitas ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan pada setiap individu. Agama hanya dijadikan sebagai simbol tanpa makna. Orang hanya sekedar bangga kalau dirinya disebut beragama, meskipun ia tidak pernah menjalankan ajaran-ajaran agama. Status beragama seringkali hanya dijadikan pelengkap dalam kartu tanda penduduk, tanpa pernah dipikirkan tanggungjawab serta konsekuensi yang harus ditanggungnya. Pancasila sebagai landasan moral mengandung nilai-nilai universal yang mengikat seluruh warga negara Indonesia. Nilai-nilai pancasila harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Tanpa adanya realisasi, pancasila bukanlah apa-apa dan hanya tinggal nama sebagai ideologi dan landasan moral. Manusia-manusia pancasilais sebagai bentuk kongkret dari pancasila lah yang dapat membangun Negara dan menciptakan kesejahteraan bersama. Istilah Ketuhanan dalam sila pertama berarati keyakinan dan pengakuan yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan. Di sini ada tiga konsep dasar berupa keyakinan, pengakuan dan konkretisasi iman dengan perbuatan. Sebuah keyakinan tanpa diikuti pengakuan dan realisasi dalam bentuk perbuatan merupakan sebuah pengingkaran. Dan jika hanya ada pengakuan tanpa diikuti keyakinan dan perbuatan, maka hal ini hanyalah sebuah kemunafikan. Penggabungan ketiga konsep di atas
melahirkan istilahIman yang merupakan inti dari sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Karakter yang baik merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral yang ditandai dengan sikap dan perilaku positif. Hal ini sangat terkait dengan hati, bukan dengan otak sebagai pusat intelektual. Jadi, di sini yang harus dibangun adalah hatinya dan itu terkait dengan kesadaran dan keyakinan. Hal inilah yang membuat pembangunan karakter atau pembentukan moral bukanlah hal yang simpel dan membutuhkan proses yang panjang. Tidak seperti mengingat atau mengetahui sesuatu yang dapat dicatat dan dihafalkan. Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. B. Saran Bagi kalangan akademisi sebagai harapan bangsa sebaiknya benar-benar mempersiapkan diri sebelum terjun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik pemerintahan. Benar-benar memantapkan diri dan tidak mudah terbawa arus dan opini yang tersebar di lingkungannya, kritis pada diri sendiri dan pemerintah juga sekalian yang ditemuinya dalam kebaikan bersama. Selain hal di atas, para akademisi sebaiknya benar-benar mengawal pemerintah sebagai wakil rakyat. Mewakili mereka yang tidak begitu tahu tentang Negara. Mereka sebagai moral force dan agen of change dengan berbagai citra baik yang disandangnya janganlah malah tersanjung dan melupakan dirinya dan lingkungan yang mengharapkannya.
DAFTAR PUSTAKA Harahap, Syahrin. 2005. Penegakan Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus. PT. Raja Grafindo. Jakarta: Persada 3.4 Pancasila Sebagai Solusi Problem Bangsa, Seperti Korupsi, Kerusakan Lingkungan, Dekadensi moral Dll Situasi negara Indonesia saat ini begitu memprihatinkan. Begitu banyak masalah menimpa bangsa ini dalam bentuk krisis yang multidimensional. Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam, pendidikan dan lain-lain, yang sebenarnya berhulu pada krisis moral. Tragisnya, sumber krisis justru berasal dari badanbadan yang ada di negara ini, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yangnotabene badan-badan inilah yang seharusnya mengemban amanat rakyat. Setiap hari kita disuguhi beritaberita mal-amanah yang dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya rakyat untuk menjalankan mesin pembangunan ini. Sebagaimana telah dikatakan bahwa moralitas memegang kunci sangat penting dalam mengatasi krisis. Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua masalah, maka melalui moralitas pula krisis dapat diatasi. Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur hanya dari kepandaian warganegaranya, tidak juga dari kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih mendasar adalah sejauh mana bangsa tersebut memegang teguh moralitas. Moralitas memberi dasar, warna sekaligus penentu arah tindakan suatu bangsa. Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu moralitas individu, moralitas sosial dan moralitas mondial. Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke dalam, tertanam dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Seorang yang memiliki moralitas individu yang baik akan muncul dalam sikap dan perilaku seperti sopan, rendah hati, tidak suka menyakiti orang lain, toleran, suka menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin ibadah dan lain-lain. Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari luar. Bahkan, dalam situasi amoral yang terjadi di luar dirinya, seseorang yang memiliki moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas individu ini terakumulasi menjadi moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara masyarakat yang bermoral tinggi dan rendah. Adapun moralitas mondial adalah moralitas yang bersifat universal yang berlaku di manapun dan kapanpun, moralitas yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan, dan sebagainya. Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam melihat kenyataan sosial. Bisa jadi seorang yang moral individunya baik tapi moral sosialnya kurang, hal ini terutama terlihat pada bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk. Sikap toleran, suka membantu seringkali hanya ditujukan kepada orang lain yang menjadi bagian kelompoknya, namun tidak toleran kepada orang di luar kelompoknya. Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai kumpulan dari moralitas individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat orang lain sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang sama. Moralitas individu dan sosial memiliki hubungan sangat erat bahkan saling tarik-menarik dan mempengaruhi. Moralitas individu dapat dipengaruhi moralitas social, demikian pula sebaliknya. Seseorang yang moralitas individunya baik ketika hidup di lingkungan masyarakat yang bermoral buruk dapat terpengaruh menjadi amoral. Kenyataan seperti ini
seringkali terjadi pada lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan berisi orang orang yang bermoral buruk, maka orang yang bermoral baik akan dikucilkan atau diperlakukan tidak adil. Seorang yang moralitas individunya lemah akan terpengaruh untuk menyesuaikan diri dan mengikuti. Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki moralitas individu baik akan tidak terpengaruh bahkan dapat mempengaruhi lingkungan yang bermoral buruk tersebut. Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai dan makna-makna yang dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara garis besar mengandung makna bahwa Negara melindungi setiap pemeluk agama (yang tentu saja agama diakui di Indonesia) untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya. Tanpa ada paksaan dari siapa pun untuk memeluk agama, bukan mendirikan suatu agama. Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama. Dan bertoleransi dalam beragama, yakni saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sila Kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mengandung makna bahwa setiap warga Negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum, karena Indonesia berdasarkan atas Negara hukum. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bertingkah laku sesuai dengan adab dan norma yang berlaku di masyarakat. Sila Ketiga : Persatuan Indonesia. Mengandung makna bahwa seluruh penduduk yang mendiami seluruh pulau yang ada di Indonesia ini merupakan saudara, tanpa pernah membedakan suku, agama ras bahkan adat istiadat atau kebudayaan. Penduduk Indonesia adalah satu yakni satu bangsa Indonesia. cinta terhadap bangsa dan tanah air. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Rela berkorban demi bangsa dan negara. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan. Sila Keempat : Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Mengandung maksud bahwa setiap pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, bukan hanya mementingkan segelintir golongan saja yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan anarkisme. tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Melakukan musyawarah, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Sila Kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Mengandung maksud bahwa setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam setiap lini kehidupan. mengandung arti bersikap adil terhadap sesama, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat. Seluruh kekayaan alam dan isinya dipergunakan bagi kepentingan bersama menurut potensi masing-masing. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. Penghidupan disini tidak hanya hak untuk hidup, akan tetapi juga kesetaraan dalam hal mengenyam pendidikan.
Apabila nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila di implikasikan di dalam kehidupan sehari-hari maka tidak akan ada lagi kita temukan di Negara kita namanya ketidak adilan, terorisme, koruptor serta kemiskinan. Karena di dalam Pancasila sudah tercemin semuanya norma-norma yang menjadi dasar dan ideologi bangsa dan Negara. Sehingga tercapailah cita-cita sang perumus Pancasila yaitu menjadikan Pancasila menjadi jalan keluar dalam menuntaskan permasalahan bangsa dan Negara.