MODUL 1 PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HIV AIDS DAN IMS DI INDONESIA
I. DESKRIPSI SINGKAT Secara global diperkirakan ada 37 juta orang dengan HIV AIDS pada tahun 2014, dan di Indonesia diperkirakan ada sebanyak 638.329.Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan bulan Juni tahun 2015, kasus HIV AIDS di Indonesia mengalami peningkatan, walaupun telah dilakukan upaya pengendalian yang strategis dan progresif. Kasus tersebut tersebar di 381 (74%) dari 514kabupaten/kota di seluruh (34) provinsi di Indonesia.Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 1987 sampai dengan Juni 2014adalah sebanyak 177.463. Sementara itu, secara global, diperkirakan tiap tahun terdapat 357 juta infeksi baru IMS. Di Indonesia, dari laporan rutin diketahui masih tingginya IMS terutama sifilis dan gonorrhea pada populasi kunci yaitu Wanita Pekerja Seks (WPS), Lelaki seks Lelaki (LSL), dan Waria. Kedua infeksi tersebut saling berhubungan, Dalam rangka upaya pencegahan dan pengendalian program HIV AIDS dan IMS secara komprehensif dan terintegrasi perlu dukungan kebijakan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi guna mencapai tujuan “3 Zeros”, yaitu y aitu zero new infection (menurunnya jumlah kasus baru HIV, serendah mungkin), mungkin), zero AIDS related death (menurunnya angka kematian AIDS), AIDS), zero stigma and discrimination (Menurunnya tingkat diskriminasi serendah mungkin), mungkin), dan peningkatan kualitas hidup ODHA. Untuk itu, penting bagi petugas kesehatan untuk memahami secara benar tentang Kebijakan Program Pengendalian HIV AIDS dan IMS di Indonesia, serta informasi dasar terkait HIV AIDS dan IMS. Pembahasan modul mod ul ini akan memberikan wawasan wawas an dan pemahaman pemahama n tentang: tentan g: Epidemi HIV AIDS dan IMS nasional; Kebijakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS; Layanan Komprehensif Berkesinambungan, dan Peraturan/Perundang-undangan yang terkait dengan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan IMS dan Informasi Dasar HIV AIDS dan IMS. II. TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Pembelajaran Pembelajaran Umum Setelah mengikuti materi, peserta mampu pengendalian HIV AIDS dan IMS
memahami program pencegahan dan
B. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah mengikuti materi, peserta mampu: 1. Menjelaskan epidemi HIV AIDS dan IMS nasional 2. Menjelaskan kebijakan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan IMS 3. Menjelaskan tentang LKB 4. Menyebutkan tentang peraturan/perundang-undangan peraturan/perundang -undangan utama yang terkait dengan program Pencegahan dan pengendalian HIV dan IMS
1
5. Menjelaskan tentang informasi dasar HIV AIDS dan IMS III. POKOK 1. 2. 3. 4.
BAHASAN Epidemi HIV AIDS dan IMS nasional nasio nal Kebijakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS Layanan Komprehensif Berkesinambungan Peraturan/perundang-undangan Peraturan/peru ndang-undangan yang terkait dengan program pengendalian HIV AIDS dan IMS 5. Informasi dasar HIV AIDS dan IMS: a. Pengertian IMS,dan HIV AIDS, serta hubungan IMS dengan HIV b. Penularan, pencegahan dan cara mendeteksi IMS dan HIV c. Perjalanan infeksi HIV AIDS serta stadium klinisnya. d. Infeksi oportunistik (IO)
IV. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN (Waktu: 3 jpl= 135 menit) Langkah 1. Pengkondisian (waktu 5 menit) 1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila ini merupakan pertemuan pertama di kelas ini, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja/pengalaman bekerja terkait dengan materi yang akan disampaikan. 2. Menyampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan dibahas, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang. Langkah 2.
Pembahasan Pokok bahasan 1 (waktu 20 menit)
1. Fasilitator melakukan curah pendapat, bagaimanakah pemahaman peserta tentang epidemi HIV AIDS nasional. Bagaimana pengetahuan peserta tentang epidemi HIV AIDS dan IMS di wilayah masing-masing? masing-masing? Bagaimana kecenderungannya kecenderungannya setelah melakukan program pengendalian selama ini? 2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Epidemi HIV AIDS secara global, regional dan di Indonesia, menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan melibatkan peserta. Kaitkan dengan poin-poin penyampaian peserta agar merasa dihargai. 3. Fasilitator melanjutkan dengan menyampaikan paparan materi tentang Epidemi IMS menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan menanyakan bagaimana epidemi IMS di wilayah masing-masing. Bagaimana kecenderungannya pada masingmasing populasi kunci? 4. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi kesempatan peserta untuk tanya jawab . 5. Menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 1. Langkah 3.
Pembahasan Pokok bahasan 2 dan 3 ( 45 menit)
1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan beralih pada pembahasan tentang Kebijakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS dan LKB. Kemudian melakukan curah pendapat, menggali pengetahuan peserta tentang perkembangan program pengendalian
2
HIV AIDS dan IMS diwilayah masing-masing. Tanyakan juga mengapa terjadi seperti itu? Upaya apa yang dilakukan atau harus dilakukan? 2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Kebijakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS, menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif, dengan meminta peserta menyampaikan contoh yang dilaksanakan di wilayah masing-masing, atau hasil pencapaian program mereka. Apakah kendala dalam menjalankan kebijakan tersebut? 3. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang LKB, menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif, dengan meminta peserta menyampaikan contoh yang dilaksanakan di wilayah masing-masing, atau hasil pencapaian program mereka. Apakah Terdapat kendala dalam menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut. 4. Setelah presentasi selesai atau selama presentasi peserta diberi kesempatan untuk tanya jawab, agar ada kesamaan persepsi. 5. Fasilitator menyampaikan rangkuman dari pokok bahasan 2 dan 3 Langkah 4.
Pembahasan pokok bahasan 4 (waktu 10 menit)
1. Fasilitator melakukan curah pendapat, menggali pengetahuan peserta tentang peraturan dan perundang-undangan terkait program pengendalian HIV AIDS dan IMS yang diketahui peserta. Apakah peserta tahu bahwa penyelenggaraan program pengendalian HIV AIDS dan IMS didukung oleh peraturan dan perundang-undangan. 2. Fasilitator menyampaikan secara singkat tentang beberapa peraturan dan perundangundangan terkait program pengendalian HIV AIDS dan IMS, dengan menggunakan bahan tayang. 3. Setelah presentasi selesai atau selama presentasi peserta diberi kesem patan untuk tanya jawab 4. Fasilitator menyampaikan ulasan singkat tentang pokok bahasan 4 Langkah 5. Pembahasan pokok bahasan 5 (waktu 50 menit) 1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan beralih pada pembahasan tentang Informasi Dasar HIV AIDS dan IMS. Kemudian melakukan curah pendapat, menggali pengetahuan peserta tentang pengertian, pencegahan, penularan,deteksi dini, perjalanan infeksi HIV AIDS dan stadium klinis serta infeksi oportunistis. 2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Infromasi Dasar HIV AIDS dan IMS meliputi: pengertian, pencegahan, penularan,deteksi dini, perjalanan infeksi HIV AIDS dan stadium klinis serta infeksi oportunistis, menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif, dan klarifikasi hal-hal yang masih menimbulkan keraguan. 3. Setelah presentasi selesai atau selama presentasi peserta diberi kesempatan untuk tanya jawab, agar ada kesamaan persepsi. 4. Fasilitator menyampaikan rangkuman dari pokok bahasan 4 Langkah 6. Rangkuman dan Penutup (waktu 5 menit) 1. Fasilitator mengajak peserta merangkum apa yang telah dipelajari peserta dalam sesi ini. 2. Fasilitator menutup sesi dengan mengucapkan terimakasih dan salam penutup.
3
V. URAIAN MATERI POKOK BAHASAN 1. EPIDEMI HIV AIDS DAN IMS NASIONAL Secara umum ada 3 pola epidemik, yaitu tingkat rendah ( low level ), terkonsentrasi (concentrated ), dan meluas (generalized ).Secara rinci, ciri-ciri ketiga status epidemi dan kebutuhan surveilansnya dapat dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 1. Ringkasan Deskripsi Karakteristik Status Epidemi HIV
Tingkat rendah (low level)
Terkonsentrasi (concentrated)
Meluas ( generalized)
HIV belum masuk ke dalam jejaring populasi tertentu, seperti: WPS (Wanita Pekerja Seks), waria, penasun (pengguna napza suntik), LSL (Laki-Laki Seks dengan Laki-Laki), pelanggan WPS, dll, dengan perilaku risiko yang tinggi untuk terinfeksi HIV (populasi kunci). Umumnya prevalensi HIV di sub-populasi kunci ini masih di bawah 5%. Penyebaran HIV berjalan lambat Pada epidemi ini dibutuhkan aktivitas surveilans yang difokuskan pada populasi risiko tinggi terinfeksi HIV. Penularan HIV terus berlanjut pada satu atau beberapa populasi kunci. Prevalensi HIV di salah satu sub-populasi kunci secara konsisten selalu di atas 5%. Pada epidemi ini aktivitas surveilans masih difokuskan dan diperkuat pada populasi risiko tinggi, yaitu surveilans sentinel pada populasi kunci HIV. Disamping itu, surveilans pada populasi/masyarakat umum sudah harus di mulai, khususnya pada wilayah perkotaan. Penularan HIV di populasi umum. Frekuensi kontak seksual dengan mitra seks ganda di kalangan populasi umum cukup tinggi, sehingga laju epidemi ada di populasi umum. Indikasi penting penularan di populasi umum ini adalah prevalensi HIV di kalangan ibu-ibu pengunjung klinik KIA di wilayah perkotaan secara konsisten selalu berada di atas 1%. Pada epidemi ini, aktivitas surveilans pada populasi risiko tinggi masih dilanjutkan, namun lebih difokuskan pada surveilans rutin di populasi/masyarakat umum.
Berikut adalah peta epidemi HIV di Indonesia
4
Peta Epidemi HIV di Indonesia Estimas i jumlah ODHA Dewasa 2012 : 591.823
Gambar 1. Peta Epidemi HIV di Indonesia
Indonesia menghadapi epidemi HIV terkonsentrasi di sebagian besar provinsi, kecuali di dua provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat yangmenghadapi epidemi HIV pada populasi umum. Secara nasional, estimasi prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun pada daerah epidemi terkonsentrasi sebesar 0,4%, sedangkan di Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar 2,4% pada populasi kelompok umur yang sama (2013). Sementara itu, prevalensi pada populasi kunci berdasarkan Survei Terpadu Biologis dan perilaku pada tahun 2007, 2009, 2011 dan 2013 adalah seperti pada gambar di bawah ini.
Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 1987 sampai dengan Juni 2015 adalah sebanyak 177.463, dengan laki-laki, kelompok umur 25-49, serta penularan secara heteroseksualyang paling banyak dilaporkan.
5
Estimasi infeksi baru HIV yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah infeksi baru HIV pada orang dewasa mengalami peningkatan terutama pada kelompok LSL, dan perempuan dari populasi umum (Gambar 2).
(Sumber: Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia, Kemenkes 2012)
Gambar 2. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun 2000-2025 (Sumber: Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia, Kemenkes 2012)
Epidemi IMS Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu masalah penyakit menular di Indonesia yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat karena menimbulkan kecacatan dan kematian. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, karena IMS merupakan faktor risiko utama terjadinya HIV dan transmisi seksual merupakan cara penularan HIV terbanyak. Hasil Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) di dua kelompok daerah pada 2007 dan 2011 serta 2009 dan 2013 menunjukkan prevalensi HIV, sifilis, gonore, dan klamidia masih tinggi pada populasi kunci (LSL, waria dan WPS) di beberapa tempat.
6
Grafik prevalensi sifilis dan HIV pada WPS, Waria dan LSL hasil STBP 2007 dan 2011 serta STBP 2009 dan 2013
7
POKOK BAHASAN 2. KEBIJAKAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HIV AIDS DAN IMS DI INDONESIA
Kebijakan Pengendalian HIV AIDS Dasar kebijakan Pengendalian HIV dan AIDS sebagaimana tertuang dalam Permenkes no. 21 tahun 2013, sebagai berikut: a. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia; b. memprioritaskan komitmen nasional dan internasional; c. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas; d. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif; e. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan; f. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS; g. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS; h. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan i. meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna. Tujuan Pengendalian HIV AIDS Tujuan Umum Menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun 2030. Tujuan Khusus a. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru b. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS c. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA Strategi
8
Mengacu pada strategi pengendalian HIV AIDS dalam Permenkes no. 21 tahun 2013, maka dapat dirangkum 2 strategi pengendalian sebagai berikut: 1. Meningkatkan cakupan layanan HIV AIDS dan IMS melalui LKB: 2. Memperkuat sistem kesehatan nasional dalam pelaksanaan Layanan Komprehensif Berkesinambungan(LKB) HIV AIDS dan IMS
Program/Kegiatan Pengendalian HIV AIDS dan IMS Berbagai upaya untuk pengendalian HIV AIDS dan IMS yang telah dilakukan selama ini masih belum mencapai hasil yang optimal sehingga perlu dilakukan akselerasi. Kegiatan-kegiatan dikelompokkan berdasarkan isu spesifik sebanyak 16 akan dijalankan untuk mencapai tujuan pengendalian. 1.
Peningkatan Konseling dan Tes HIV Program ini mencakup pelaksanaan layanan konseling dan tes HIV pada populasi kunci, populasi khusus (pasien IMS, TB dan hepatitis, dan pasien dengan penyakitpenyakit yang mengindikasikan HIV AIDS); ibu hamil, WBP, dan pasangan ODHA).di wilayah dengan epidemi HIV terkonsentrasi serta konseling dan tes HIV donor darah reaktif sebagai tindak lanjut hasil skrining darah di UTD.
2.
Peningkatan Cakupan dan Retensi Pengobatan ARV Program ini mencakup penyediaan dan perluasan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) bagi ODHA, menyediakan ARV bagi yang memenuhi syarat dan obat-obat infeksi oportunistik dan profilaksis, upaya-upaya untuk meningkatkan retensi ODHA di dalam perawatan HIV (termasuk membina kelompok dukungan sebaya).
3.
Pengendalian Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) Program ini mencakup penyediaan layanan IMS sesuai standar di seluruh Puskesmas dan fasyankes lainnya (termasuk pemeriksaan rutin IMS dan penapisan sifilis untuk populasi kunci dan ibu hamil di Kab/ kota), penyediaan kondom sebagai alat pencegahan dan paket pengobatan IMS.
4.
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu dan Anak (PPIA) Program PPIA merupakan program pencegahan penularan vertikal dari seorang ibu kepada bayinya. Kerangka kerja program PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong) sebagai berikut: Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular HIV Kegiatan ini merupakan pencegahan primer untuk mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Kegiatannya meliputi: i) penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang pencegahan infeksi HIV; dan ii) tes HIV padaperempuan usia reproduksi, termasuk ibu hamil. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan pengidap HIV 9
Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada perempuandengan HIV perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hati-hati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada bayinya. Kegiatan yang dilakukan meliputi: i) Pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui konseling dan penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif; dan ii) Perencanaan dan persiapan kehamilan yang tepat, jika ibu ingin hamil.Termasuk di sini adalah merencanakan kapan saat yang tepat untuk hamil Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya dan yang disusuinya. Strategi pencegahan penularan HIVpada ibu hamil merupakan inti dari upaya PPIA. Semua ibu hamil denganHIV diupayakan mendapatkan pelayanan berikut ini. i) Layanan antenatalterpadu sesuai dengan standar. ii) Pemberian ARV dan kotrimoksasol profilaksis pada ibu hamil dengan HIV. iii) Perencanaan persalinan yang aman dan tatalaksana persalinan, nifas dan layanan neonatal. iv) Tatalaksana pemberian makanan terbaik bagi bayi. v) Pemberian ARV dan kotrimoksasol profilaksis pada bayi. Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan. Ibu akan tetap hidup dengan HIV di tubuhnya, sehingga membutuhkan dukungan medis, psikologis, sosial dan perawatan selama hidupnya. Perempuan dengan HIV lebih rentan terkena IMS, sehingga bila terinfeksi HPV (human papiloma virus) akan lebih rentan untuk terjadi perubahan ke arah kanker serviks, sehingga pemeriksaan IVA (inspeksi visual asam asetat) atau Pap smear harus lebih sering dilakukan, misalnya setiap 6-9 bulan. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya.Tujuannya untuk menjaga agar ibu dan bayi tetap sehat dengan pola hidup yang tepat, patuh berobat, mencegah penyakit oportunis dan mengamati status kesehatan. Kegiatannya meliputi: i) Dukungan lanjutan bagi ibumelalui: pemeriksaan kondisi kesehatan; pengobatan ARV jangka panjang dan pemantauan terapi; pemantauan kondisi kesehatan, termasuk pemantauan CD4 dan viral load ; pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik; konseling dan dukungan kontrasepsi, pengaturan kehamilan dan asupan gizi; kunjungan rumah.
ii) Dukungan untuk bayi, yaitu: pemberian ARV pencegahan dan diagnosis HIV pada bayi; informasi dan edukasi pemberian makanan bayi;
10
layanan imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang; pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 danviral load ); pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, termasuk pemberian kotrimoksasol (untuk mencegah infeksi Pneumocystis jiroveci ).
iii) Penyuluhan kepada suami/pasangan dan anggota keluarga lainnya tentang cara penularan HIV dan pencegahannya serta penggerakan dukungan masyarakat bagi keluarga dengan atau terdampak HIV. Dengan demikian diharapkan keluarga dapat mendukung penuh tata laksana pada ibu dan bayi secara menyeluruh. 5.
Kolaborasi TB-HIV Kolaborasi TB-HIV bertujuan untuk eliminasi kematian ODHA karena TB, dengan melakukan kegiatan-kegiatan kolaborasi TB-HIV, yaitu: 1) Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV AIDS; mencakup pembentukan forum TB-HIV, perencanaan bersama serta monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV. 2) Menurunkan beban TB pada ODHA; mencakup penapisan TB pada ODHA, pemberian INH untuk profilaksis TB pada ODHA; serta pengendalian infeksi TB di fasyankes. 3) Menurunkan beban HIV pada pasien TB; mencakup tes HIV pada pasien TB, pemberian obat Anti Retroviral (ARV) serta kotrimoksasol pada pasien dengan koinfeksi TB-HIV.
6.
Pengembangan Laboratorium HIV dan IMS Kegiatan ini mencakup upaya-upaya untuk meningkatkan jumlah dan mutu pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS di laboratorium pemeriksa, dan membentuk jejaring laboratorium HIV dan IMS untuk memastikan bahwa pelayanan laboratorium dilaksanakan dengan berkualitas sesuai standard.
7.
Program Pengurangan Dampak Buruk Napza (PDBN) Berdasarkan situasi dan dinamika epidemi HIV & AIDS pada populasi pengguna napza suntik (penasun), dikembangkan rekomendasi paket komprehensif program pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik yang terdiri atas 12 komponen. Paket komprehensif tersebut terdiri dari komponen-komponen program sebagai berikut: a. Layanan Alat Suntik Steril (LASS). b. Terapi Substitusi Opiat dan Perawatan Napza lainnya c. Tes dan Konseling HIV. d. Pencegahan Infeksi Menular Seksual. e. Promosi kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya. f. Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang diarahkan secara khusus kepada penasun dan pasangan seksualnya. g. Terapi Antiretroviral. h. Vaksinasi, Diagnosis dan Terapi untuk Hepatitis. i. Pencegahan, Diagnosis dan Terapi untuk TB. 11
8.
Kewaspadaan Standar Kewaspadaan Standar merupakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staf administrasi, staf pelaksana pelayanan termasuk staf penunjangnya dan juga para pengguna yaitu pasien dan pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan. Kegiatan utamanya mencakup penyusunan SOP tentang kewaspadaan standar, termasuk profilaksis pasca pajanan okupasional, dan menyediakan layanan dan memberikan profilaksis pasca pajanan bagi orang terpajan HIV di lingkungan fasyankes.
9.
Peningkatan Promosi Pencegahan HIV AIDS dan IMS Kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengendalian HIV AIDS dan IMS bertujuan memberikan pemahaman yang benar dan komprehensif tentang HIV AIDS dan IMS baik upaya pencegahan, menghindari penularan serta menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dengan melibatkan seluruh sektor dalam masyarakat. Kegiatan ini ditujukan kepada seluruh masyarakat umum sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan yang benar dan komprehensif tentang HIV AIDS dan IMS dan selanjutnya diharapkan dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Kegiatan yang dilakukan mencakup kampanye ABAT (Aku Bangga Aku Tahu) untuk remaja usia 15-24 tahun, mengintegrasikan materi HIV dan AIDS ke dalam kurikulum pendidikan SMP/sederajat dan SMA sederajat, mendorongnya terbentuknya WPA dan Pokja pencegahan HIV dan IMS masyarakat di daerah, dll.
10. Meningkatkan Pengamanan Darah Donor dan Produk Darah Lain Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan pengamanan darah donor dan produk darah lain termasuk peningkatan kapasitas petugas UTD dalam melakukan dan melaporkan hasil uji saring serta merujuk pendonor yang reaktif HIV dari UTD ke layanan HIV, dan pembentukan jejaring UTD dengan layanan rujukan di setiap Kota/Kabupaten. 11. Penguatan Sistem Pembiayaan Program Pembiayaan untuk pengendalian HIV AIDS dan IMS akan melalui 2 skema yaitu pembiayaan Program melalui APBN dan APBD dan yang kedua melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang Kesehatan (BPJS Kesehatan). Penguatan sistem pembiayaan untuk pengendalian HIV AIDS dan IMS untuk menghambat laju epidemi HIV akan dilakukan secara sistematis dan terstruktur, dengan kegiatan-kegaitan yang mencakup: kolaborasi denganBPJS, penyebaran informasi kepersertaan dan pemanfaatan JKN, dll. 12. Penguatan Manajemen Program Program nasional pengendalian HIV AIDS dan IMS memerlukan kapasitas pengelolaan program yang kuat dan terstruktur baik, yang bekerja secara sistematis dengan standar kemampuan yang memenuhi syarat. Penguatan manajemen program HIV AIDS dan IMS, dilakukan antara lain dengan menyusun perencanaan dan penganggaran jangka menengah (lima tahunan) program pengendalian HIV AIDS dan IMS, kajian paruh waktu pelaksanaan program 5 tahun dan melakukan penyesuaian
12
apabila dipandang perlu,kajian, pengembangan atau kebijakan dan tatalaksana terkait HIV AIDS dan IMS, dll.
pemutakhiran
pedoman,
13. Pengembangan Sumber Daya Manusia Kegiatan di dalam pengembangan sumber daya manusia termasuk: menyusun rancangan pengembangan SDM pengelola program dan layanan HIV AIDS dan IMS perbaikan sistem pengelolaan logistik program HIV AIDS dan IMS, membentuk sistem pelatihan dan melatih Pelatih, Mentor dan Supervisor untuk melaksanakan peningkatan kapasitas secara berjenjang, supervisi berjenjang dan bimbingan di lapangan serta kerja praktik/magang, dll. 14. Penguatan Sistem Informasi Strategis dan Monitoring dan Evaluasi Penguatan dan peningkatan sistem informasi strategis, monitoring dan evaluasi, sesuai dengan rencana pengembangan dan peningkatan program pengendalian HIV AIDS dan IMS dilakukan antara lain denganpengembangan pedoman nasional Surveilans HIV Generasi Kedua, pedoman dan modul pelatihan monitoring dan evaluasi sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, pemetaan populasi kunci, pelaksanaan surveilans sentinel HIV dan Sifilis, pelaksanaan surveilans terpadu biologis dan perilaku pada populasi kunci dan populasi umum di area terpilih, pelaksanaan surveilans resistensi obat ARV, pengembangan aplikasi SIHA (sistem informasi HIV DAN AIDS dan IMS). 15. Penguatan Tata Kelola Logistik program HIV AIDS dan IMS Kegiatannya mencakup penyusunan pedoman sistem pengelolaan logistik program HIV AIDS dan IMS, memperluas desentralisasi logistik ke seluruh provinsi, kabupaten/kota dan fasyankes, pengadaan dan pemeliharaan alat diagnostik seperti: alat hitung CD4 dan viral load, reagen diagnostik, dan obat. 16. Memperkuat Jejaring Kerja dan Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kegiatannya mencakup koordinasi melalui forum kemitraan lintas sektor di semua tingkat pemerintahan, mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam advokasi untuk memperoleh dukungan sumber daya lokal, dll
13
POKOK BAHASAN 3. LAYANAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) Layanan komprehensif adalah upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian faktor risiko, layanan Konseling dan Tes HIV (KTS dan KTIP), Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularandari Ibu ke Anak (PPIA), Pengurangan Dampak Buruk NAPZA (LASS, PTRM, PTRB), layanan IMS, Pencegahan penularan melalui darah donor dan produk darah lainnya, serta kegiatan monitoring dan evaluasi serta surveilan epidemiologi di Puskesmas Rujukan dan Non ‐Rujukan termasuk fasilitas kesehatan lainnya dan Rumah Sakit RujukanKabupaten/Kota. Yang dimaksud dengan layanan yang berkesinambungan adalah pemberian layanan HIV &IMS secara paripurna, yaitu sejak dari rumah atau komunitas, ke fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit dan kembali ke rumah atau komunitas; juga selama perjalanan infeksi HIV (semenjak belum terinfeksi sampai stadium terminal). Kegiatan ini harus melibatkan seluruh pihak terkait, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat). Desentralisasi Layanan Komprehensif HIV AIDS dan IMS yang Berkesinambungan (LKB) di tingkat Kabupaten Kota Pengembangan LKB perlu didahului dengan pemetaan dan analisis situasi setempat, yang mencakup pemetaan populasi kunci dan lokasi layanan terkait HIV yang tersebar serta analisis faktor ‐faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku pencarian layanan pengobatan (health seeking behavior ), yang sangat dipengaruhi tatanan non ‐fisik yang ada di lingkungan masyarakat. Analisis situasi ini perlu dilakukan agar populasi kunci/masyarakat mau memanfaatkan jejaring LKB yang dibangun ( feeding in) sehingga program ini berdampak bagi pengendalian epidemi secara luas. Konsep LKB juga menekankan pentingnya membangun jejaring internal dan eksternal, agar pelayanan yang diberikan kepada populasi kunci benar-benar pelayanan yang paripurna, memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Tabel berikut memaparkan jenis layanan komprehensif yang diperlukan di suatu wilayah kabupaten/kota untuk menjamin kelengkapan layanan yang dapat diakses oleh masyarakat meskipun tidak seluruh layanan tersebut tersedia dalam satu unit/fasilitas pelayanan kesehatan
Promosi daPencegahan Tatalaksa
14
Tabel 2. Jenis Layanan Komprehensif HIV
Promosi dan Pencegahan
Promosi Kesehatan (KIE) Ketersediaan dan akses alat pencegahan (kondom, alat suntik steril) PTRM, PTRB, PABM Penapisan darah donor Life skills education Dukungan kepatuhan ber obat ( Adherence) PPIA Layanan IMS, KIA, KB dan Kesehatan reproduksi rema ja Tatalaksana IMS Vaksinasi Hep‐B bagi bayi dan para penasun (bila terse dia) Pencegahan Pasca Pajanan
Tatalaksana klinis HIV
Tatalaksana medis dasar Terapi ARV Diagnosis IO dan komorbid terkait HIV serta pengobat annya, termasuk TB Profilaksis IO Tatalaksana Hepatitis B dan C Perawatan paliatif, termasuk tatalaksana nyeri, Dukungan gizi
Dukungan Psikososial, ekonomi, dan legal Dukungan psikososial Dukungan sebaya Dukungan spiritual Dukungan sosial Dukungan ekonomi: latihan kerja, kredit mikro, kegiatan peningkatan penda patan, dsb. Dukungan legal
Konsep LKB memiliki 6 pilar utama yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan LKB HIV dan IMS, sebagai berikut: Tabel 3. Pilar Utama bagi Layanan Komprehensif HIV dan IMS yang Berkesinambungan
Pilar Pilar 1: Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini Pilar 2: Keterlibatan komunitas dan ODHA beserta Keluarga
Pilar 3: Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat Pilar 4: Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan Pilar 5: Sistem rujukan dan jejaring kerja Pilar 6: Akses Layanan Terjamin
Tujuan Mendapatkan dukungan dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan
Meningkatnya kemitraan, dan akseptabilitas layanan, meningkatkan cakupan, dan retensi, serta mengurangi stigma dan diskriminasi. Tersedianya layanan terintegrasi sesuai dengan kondisi setempat. Tersedianya layanan berkualitas sesuai kebutuhan individu Adanya jaminan kesinambungan dan linkage antara komunitas dan layanan kesehatan. Terjangkaunya layanan baik dari sisi geografis, finansial dan sosial, termasuk bagi kebutuhan populasi kunci
15
POKOK BAHASAN 4. PERATURAN /PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV dan IMS
Peraturan dan perundang-undangan yang mendukung program pengendalian HIV AIDS dan IMS, yang perlu diketahui dan dipahami oleh petugas kesehatan, antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) 2. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 75 Tahun 2014, tentang Puskesmas. 3. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 45 Tahun 2014, tentang Penyelenggaraan surveilens 4. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 87 Tahun 2014, tentang Pedoman Pengobatan ARV 5. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 74 Tahun 2014, tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV 6. Peraturan Menteri Kesehatan Repunlik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013, tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. 7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran 8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan laboratorium Puskesmas 9. Kesepakatan Bersama 5 Menteri, Tahun 2013, tentang Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV AIDS pada penduduk usia 15 sampai dengan 24 tahun. 10. Surat Edaran Menkes No 129 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalia HIV AIDS dan Infeksi Menular seksual (IMS) 11. Surat Edaran Menkes nomor GK/Menkes/001/I/2013, tentang Layanan Pencegahan Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari Ibu ke Anak (PPIA). 12. Surat Edaran Dirjen PPPL No HK.02.03/D/III.2.823/2013 tentang Alokasi Biaya Logistik Program Pengendalian HIV AIDS dan IMS. Undang-undang dan Peraturan tersebut harus menjadi landasan dalam menyelenggarakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS di Indonesia, sesuai dengan kewenangandi setiaptingkatan administrasi. 16
POKOK BAHASAN 5. INFORMASI DASAR HIV AIDS DAN IMS
IMS dan HIV AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat global maupun lokal. Cara penularannya adalah melalui hubungan seksual berisiko, penggunaan jarum suntik bergantian, tranfusi darah dan penularan pada bayi dari ibu yang terinfeksi.
A. Pengertian IMS dan HIV AIDS serta Hubungan IMS dan HIV Pengertian IMS Penyakit infeksi menular seksual atau IMS adalah infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Penyebabnya bermacam-macam, bisa bakteri: Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum, Gardanella vaginalis, Haemophilus ducreyi, Donavania granulomatis, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealycum; Virus: Herpes simplex, Human papilloma, Hepatitis, Cytomegalovirus, HIV; Protozoa: Trichomonas vaginalis ; Jamur : Candida albicans dan Ektoparasit: Phtirus pubis, Sarcoptes scabei. Penularannya melalui hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi dan pada satu pasien dapat ditemukan lebih dari satu IMS. Banyak IMS tidak bergejala sehingga pasien terutama perempuan tidak mengetahui kalau ia memiliki IMS. Pengertian HIV dan AIDS Human Immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan penurunan sistem kekebalan sehingga tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi-infeksi yang pada orang normal tidak sampai menimbulkan gejala. Infeksi HIV adalah infeksi kronis yang menyerang sistem kekebalan tubuh, ditandai dengan penurunan CD4. AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu keadaan ketika pasien dengan HIV mengalami kumpulan gejala klinis karena penurunan sistem imun. Hubungan IMS dengan HIV IMS yang berbentuk ulkus (Sifilis, Herpes genitalis) ataupun tidak berbentuk ulkus samasama dapat menularkan atau mempercepat penularan HIV. Bagaimana hubungan penularan IMS dengan HIV?
IMS merupakan ko-faktor penularan HIV Pasien IMS lebih rentan terhadap HIV Pasien IMS serta HIV akan lebih mudah menularkan ke orang lain 17
Pasien HIV rentan terhadap berbagai penyakit termasuk IMS Pasien HIV yang juga IMS akan lebih cepat menjadi AIDS
Secara sederhana, skema berikut menggambarkan hubungan penularan IMS dengan HIV AIDS:
A I D S MELEMAHKAN TUBUH
IMS & HIV MEMPERCEPA T HIV
IMS
PERILAKU SEKSUAL B ERIS IKO
Gambar 3. Skema Hubungan Penularan IMS dengan HIV
B. Penularan, Pencegahan dan Cara Mendeteksi IMS dan HIV Penularan IMS dan HIV Penularan HIV: 1. Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi IMS atau HIV 2. Melalui pertukaran darah: transfusi, IDUs dan kegiatan medis dengan alat medis tercemar HIV. 3. Dari ibu ke janin/bayinya selama kehamilan, persalinan atau menyusui Penularan IMS: 1. Melalui hubungan seksual. 2. Melalui transfusi darah (sifilis) 3. Melalui kontak langsung (Herpes simpleks) 4. Dari ibu ke janin/bayinya selama kehamilan (sifilis), persalinan (konjungtivitis neonatorum gonore) Pencegahan IMS dan HIV 1. Hubungan seksual - Abstinensia (tidak melakukan hubungan seksual) - Bersikap saling setia - Melakukan hubungan seksual dengan cara yang aman (misalnya dengan penggunaan kondom) - Promosi kondom - Mengobati pasangan seksual 18
2. Pertukaran darah dan cairan - Penggunaan jarum suntik yang streil - Menghindari terkenanya darah dan cairan pasien HIV pada bagian tubuh yang ada luka (bagi petugas kesehatan) 3. Dari ibu kepada janin - Melalui program PMTCT/PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak) Cara mendeteksi IMS dan HIV IMS dapat dideteksi melalui anamnesis gejala dan pemeriksaan fisik serta laboratorium atau skrining rutin pada populasi kunci. Secara teknis tentang anamnesis, pemeriksaan fisik dan pengambilan sampel, diagnosis IMS akan dibahas pada modul tersendiri di pelatihan dokter dan perawat/bidan. Sementara itu, diagnosis HIV dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium pada orangorang yang dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sesuai dengan program nasional. Materi ini akan dibahas pada modul diagnosis. Karakteristik HIV 1. HIV termasuk family retrovirus, genus lentivirus 2. Ciri retrovirus: Dikelilingi membran lipid Mengandung 2 copy ssRNA Mempunyai variabel genetik yang banyak Menyerang semua vertebrata Mempunyai kemampuan replikasi yang unik 3. Ciri lentivirus: Menyebabkan infeksi kronik Kemampuan replikasi yang persisten Menyerang SSP Periode klinis laten yang panjang
Siklus replikasi HIV, terdapat 6 fase:
Binding dan entry (fusion) Transkripsi terbalik Integrasi DNA virus dengan DNA manusia Replikasi Budding Maturasi
C. Perjalanan Infeksi HIV AIDS dan Stadium Klinis 1.
Perjalanan Infeksi HIV Perjalanan alamiah infeksi HIV, terdiri atas 3 fase, yaitu:
19
a.
b.
c.
Fase I (masa jendela/window periode) Sel target HIV adalah sel yang mempunyai petanda permukaan CD4. Fase dimana tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan antibodi di dalam darah masih belum ditemukan anti-HIV. Masa jendela ini biasanya berlangsung 3 bulan sejak terinfeksi. Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut pada masa infeksius ini dengan gejala demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Fase II (masa tanpa gejala/asimtomatik) Fase dimana hasil tes darah terhadap HIV sudah positif tetapi individu belum menunjukkan gejala sakit. Individu ini dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala berlangsung rata-rata selama 2-3 tahun hingga lebih dari 10 tahun. Fase III (AIDS) Ini adalah fase terminal dari HIV yang kita sebut dengan AIDS. Pada fase ini kekebalan tubuh telah menurun dan timbul gejala penyakit terkait HIV, seperti: - Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh - Diare kronis - Batuk pilek tidak sembuh-sembuh - Berat badan terus menurun sebesar > 10% dari berat awal dalam waktu 1 bulan Ketiga fase tersebut terlihat pada gambar berikut:
Perjalanan Infeksi HIV
Sel T CD
D C l e s h a l m u J
Sindrom Infeksi Akut HIV
TB
Asimtomatik
HZV
Masa jendela
Ambang relatif Plasma HIV-RNA
OHL OC PPE
PCP CM CMV, MAC
Antibodi
Bulan…..
PenatalaksanaanInfeksi Layanan HIV-IMS Komprehensive Berkesinambungan
Tahun sesudah terinfeksi HIV
Menular Seksual 19
Gambar 2. Riwayat Perjalanan Alamiah/Patofisiologi Perjalanan Infeksi HIV
20
2. Stadium Klinis Stadium klinis dari WHO digunakan untuk pasien yang pada pemeriksaan diagnostik HIV hasilnya positif. Stadium klinis tersebut bisa digunakan sebagai panduan untuk memulai atau mengganti ART atau untuk memulai terapi profilaksis pada Infeksi Oportunistik. Stadium Klinis 1
Asimptomatik Limfadenopati Generalisata yang menetap
Stadium Klinis 2 ( Mild dis ease /Penyakit awal) Berat badan turun kurang dari 10% Infeksi saluran nafas rekuren (sinusitis, tonsillitis, otitis media dan pharingitis) Herpes zoster Kheilitis angularis Ulkus oral yang rekuren Pruritic Papular Eruptions Dermatitis seboroik Infeksi jamur pada kuku
Stadium Klinis 3 ( A dvanced Di s ease/ Penyakit lanjut)
Berat badan turun lebih dari 10% Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan Demam, baik intermiten maupun konstan yang berlangsung lebih dari 1 bulan Oral kandidiasis persisten Oral hairy leukoplakia TB paru Infeksi bakterial yang berat, seperti : pneumonia, empiema, piomiositis, meningitis, infeksi pada tulang atau sendi, bakterimia, dll. Nekrotizing stomatitis akut ulseratif, gingivitis dan periodontitis Anemia ( <8 g/dl ), neutropenia ( <0,5 x 10 9/L ) dan atau trombositopeni kronik (<50 x 109/L )
Stadium Klinis 4 ( S evere Dis ease/ Penyakit berat) HIV wasting syndrome Pneumonia Pneumocytis jiroveci Pneumonia Bakterial rekuren Herpes simplek kronik (orolabial, genital atau anorektal, lebih dari 1 bulan, adanya visceral di beberapa tempat) Esophagus kandidiasis ( kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru) TB ekstrapulmonar Sarkoma Kaposi Cytomegalovirus Toxoplasma pada Sistem Syaraf Puat Ensephalopathi HIV Kriptokokkus Ekstrapulmoner, termasuk meningitis
21
Leukoensefalopati Multifokal Progresif Peniciliosis Kriptosporidiosis kronik Isosporiasis kronik Mikosis diseminata (histoplasmosis ekstrapulmoner, kokkidiodomikosis) Septikemia rekuren (termasuk Non-thipoidal salmonella) Lymphoma (cerebral atau B-sel. Non-Hodgkin) Karsinoma Servikal Invasif Leishmaniasis Disseminata Atipikal HIV simtomatik – terkait neuropathi atau HIV terkait kardiomiophati
D. Infeksi Oportunistik (IO) Definisi IO: Infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan yang normal (sehat), tetapi dapat mengenai orang dengan sistem kekebalan yang menurun. Infeksi oportunistik mempunyai bentuk seperti penyakit infeksi yang dialami oleh pasien tanpa HIV, sehingga seringkali petugas kesehatan tidak menduga bahwa pasien didepannya mungkin terinfeksi HIV. Banyak pasien yang datang dengan tanda dan gejala AIDS tidak mengetahui status HIV mereka. Oleh karena itu petugas kesehatan harus menawarkan tes HIV untuk semua pasien yang datang ke sarana kesehatan di daerah dengan epidemi HIV meluas, sedangkan di daerah dengan epidemi rendah dan terkonsentrasi tes HIV dilakukan atas indikasi. Timbulnya infeksi oportunistik berkaitan dengan status imun pasien, semakin rendah CD4 seseorang semakin besar kemungkinan seseorang mendapat infeksi oportunistik. IO dapat menyerang semua organ yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, seperti kulit, mulut, paru dan saluran cerna. Jarang menyerang organ yang terlindungi seperti otak; gejala pada otak, terjadi pada stadium akhir penyakit. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya perlu dilakukan untuk mendiagnosis infeksi oportunistik, dan dibahas pada modul diagnosis HIV dan IMS. Infeksi Oportunistik yang sering ditemukan adalah: Candidiasis oral Tuberkulosis Toxoplasmosis Diare kronis
22
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
Kementerian Kesehatan RI, 2015, Pedoman Surveilans Generasi Kedua. Kementerian Kesehatan RI, 2013, Permenkes Nomor 21 tahun 2013, tentang Penanggulangan HIV AIDS. 3. Kementerian Kesehatan RI, 2013, Surat Edaran GK/MENKES/oo1/1/2013, tentang Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak(PPIA) 4. Kementerian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) 5. UNDP, Joint WHO /UNDP Informal Expert group Consultation, 2012, Developing a Regional Health Sector Training package for MSM and Transgender People 6. Kementerian Kesehatan RI, 2011, Pedoman Penatalaksanaan IMS 7. Kementerian Kesehatan RI, 2011, Laporan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). 8. Kementerian Kesehatan Rencana aksi Pengendalian IMS termasuk ISR 2008-20012 , 2007 9. Departemen Kesehatan RI, Strategi Nasional Penanggulangan HIV AIDS, 2007 – 2010 10. Kementerian Kesehatan RI, 2005, Pedoman Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
23