LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG
MANAJEMEN PENGENDALIAN M I L K F E V ER E R PADA SAPI PERAH DI PUSKESWAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG
Oleh : DINA TRIASSANTI NIM.135130100111034
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
i
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG
MANAJEMEN PENGENDALIAN MILK FEVER PADA SAPI PERAH DI PUSKESWAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG Malang, Februari 2017
Oleh : DINA TRIASSANTI NIM. 135130100111034 135130100111034
Menyetujui, Komisi Pembimbing PKL
Pembimbing I
Pembimbing II
drh. Herlina Pratiwi, M. Si NIP. 19870518 19870518 201012 2 010 010
drh. Wawid Purwatiningsih, M. Vet NIK. 2014057802142001 2014057802142001
Mengetahui, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang berjudul “Manajemen “Manajemen Pengendalian Milk Fever Pada Sapi Perah Di Puskeswan Getasan Kabupaten Semarang” dengan baik dan lancar. Selama penyusunan laporan ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Aulanni’am, Aula nni’am, drh., DES selaku DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya 2. drh. Herlina Pratiwi, M.Si dan drh.Wawid drh.Wawid Purwatiningsih, Purwatiningsih, M.Vet selaku dosen pembimbing yang telah memberi
bimbingan, saran, kesabaran, kesabaran,
fasilitas serta waktunya 3. drh. M. Arfan Lesmana, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membangun. 4. Keluarga besar Soediro yang saya sayangi sa yangi untuk doa, kasih sayang, dukungan serta pengorbanan baik moril maupun materi selama ini. 5. Dinas Pertaian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Semarang yang telah memberi izin untuk tempat pelaksanaan Praktek Kerja Lapang 6. Puskeswan Getasan yang selalu membantu pelaksanaan kegiatan Praktek Kerja Lapang 7. drh. Harmanto selaku dosen pembibing lapangan yang telah memberikan bimbingan, saran, kesabaran, faslitas serta waktunya 8. Puskeswan Tegalwaton dan drh. Yatini yang telah memberikan bimbingan, saran, kesabaran, faslitas serta waktunya 9. Paramitha Afi S dan Dian Agustiar selaku teman seperjungan Praktek Kerja Lapang atas semangat dan kerjasamanya 6. Teman – Teman – teman teman Cavitas 2013 C atas inspirasi, motivasi dan kerjasamanya.
iii
Penulis menyadari penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan pada teknis penulisan. kritik, saran dan masukan dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penyusunan laporan PKL ini.
Malang, Februari 2017
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3
Tujuan................................................................................................... 3
1.4
Manfaat................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. .......................................................................... 4
2.1
Sapi Perah ............................................................................................. 4
2.2
Milk fever .............................................................................................. 6 2.2.1 Etiologi ........................................................................................ 7 2.2.2 Patogenesis .................................................................................. 8 2.2.3 Gejala Klinis .............................................................................. 10 2.2.4 Pencegahan ................................................................................ 12 2.2.5 Pengobatan ................................................................................ 13
BAB III METODE KEGIATAN ....................................................................... 15
3.1
Waktu dan Lokasi Kegiatan ............................................................... 15
3.2
Metode Praktek Kerja Lapang dan Pengambilan Data ...................... 15
3.3
Rencana Jadwal Kegiatan................................................................... 16
3.4
Biodata Peserta Praktek Kerja Lapang ............................................... 17
BAB IVPELAKSANAAN KEGIATAN ............................................................ 18
4.1
Tempat dan Waktu Pelaksanaan ........................................................ 18
4.2
Jadwal Kegiatan ................................................................................. 18
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 20
v
5.1
Lokasi dan Profil Puskeswan Getasan ............................................... 20
5.2
Kejadian Milk Fever di Puskeswan Getasan ...................................... 22
5.3
Penanganan Milk Fever di Puskeswan Getasan ................................. 23
5.4
Pencegahan Milk Fever di Puskeswan Getasan ................................. 25
BAB VI PENUTUP ............................................................................................. 27
6.1
Kesimpulan......................................................................................... 27
6.2
Saran ................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28 LAMPIRAN ......................................................................................................... 30
vi
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
2.1 Data biologis sapi perah….................................................................................5 3.1 Rencana Kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL)….........................................16 4.1 Kegiatan PKL di Puskeswan Getasan…..........................................................18 5.1 Data kejadian Milk fever di Puskeswan Getasan…..........................................22
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
2.1Sapi perah Friesian Holstein (Syaifudin, 2013)….............................................4 2.2 Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Hadziq,2011)…..............................6 5.1 Kantor Puskeswan Getasan…..........................................................................20 5.2 Denah wilayah Kerja puskeswan Getasan (Harmanto, 2015). ........................ 21 5.3 Pemberian infus kalsium gluconat .................................................................. 25
viii
DAFTAR SINGKATAN
APBN : Angaran Pendapatan dan Belanja Negara ATP
: Adenosine Triphosphate)
Ca
: Kalsium
dl
: desiliter
FH
: Friesian Holstein
G
: gauge
g
: gram
IB
: Inseminasi Buatan
K
: kalium
kal
: Kalori
Kg
: Kilogram
mg
: milligram
ml
: mililiter
Na
: Natrium
P
: Fosfor
PKB
: Pemeriksaan Kebuntingan
PKL
: Praktek Kerja Lapang
PPL
: Petugas Penyuluh Lapangan
THL
: Tenaga Harian Lepas
ULIB : Unit Lokasi Inseminasi Buatan UV
: Ulta Violet
%
: Persen
ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Kabupaten Semarang merupakan salah satu daerah penghasil susu sapi murni di Jawa Tengah. Menurut data Badan Pusat Stati stik tahun 2014 jumlah sapi perah di Kabupaten Semarang pada tahun 2014 adalah 27.609 ekor. Kecamatan Getasan mempunyai jumlah peternak sapi perah dan populasi sapi perah terbanyak di Kabupaten Semarang, pada tahun 2014 jumlah sapi perahdi Kecamatan Getasan adalah 16.913 ekor (Badan Pusat Statistik, 2014). Data Badan Pusat Statistik tahun (2014) menunjukkan bahwa kebutuhan susu secara nasional yang belum dapat dipenuhi dari dalam negeri ternyata dapat dimanfaatkan dengan cukup baik oleh peternak sapi perah di Kabupaten Se marang. Data produksi susu untuk Tahun 2013 adalah sebesar 27.530.077 liter, sedangkan kondisi Tahun 2012 sebesar 34.385.423 liter. Oleh karena itu sebagian besar penduduk di Kecamatan Getasan berternak sapi perah untuk memenuhi permintaan susu dan sebagai sumber perekonomian utama masyarakat setempat. Salah satu masalah utama bagi peternak sapi perah adalah banyaknya penyakit yang menyerang pada sapi perah. Penyakit metabolisme merupakan salah satu kasus yang sering terjadi pada sapi perah periode laktasi. Milk fever secara teknis disebut sebagai parturient hypocalcemia atau parturient paresisyang berarti penurunan kadar kalsium darah pada saat melahirkan. Penyakit ini biasanya disertai dengan penurunan suhu tubuh menjadi subnormal. Kejadian penyakit berlangsung secara akut yang diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah (hipokalsemia) secara cepat dari normal (9,5 mg/dl) menjadi ≤ 5 mg/dl.Gejala terjadi hipokalsemia adalah penurunan suhu tubuh,langkah yang kaku, tidak sanggupnya untuk berdiri, lipatan leher seperti huruf S, penghentian proses partus, dan kematian yang terjadi dalam waktu 6-12 jam apabila tidak diobati (Prihanto, 2009). Kerugian dari penyakit milk fever adalah sapi-sapi penderita milk fever akan mempunyai risiko 8,1 kali lebih tinggi mengalami mastitis dibanding sapi-sapi yang tidak menderita milk fever . Penderita milk fever akan mengalami kesulitan
1
mengalami kontraksi otot, termasuk juga otot-otot lubang putting. Jika terjadi hipokalsemia maka akan terjadi penurunan kekuatan dan laju kontraksi otot polos pada sphincter dan pada akhirnya akan menyebabkan gangguan penutupan lubang puting. Lubang puting akan membuka sangat lebar setelah proses pemerahan dan semakin lebar bila produksi susunya tinggi. Terbukanya lubang puting dan kecenderungan sapi rebah akan meningkatkan masuknya bakteri melalui lubang puting yang menjadi dasar proses kejadian mastitis. Kerugian yang lain akibat milk fever adalah menurunkan fertilitas sapi perah, hal ini akibat peran kalsium pada organ reproduksi, dimana pada penderita milk fever terjadi gangguan fungsi otot uterus, adanya perlambatan involutio uteri serta adanya perlambatan aliran darah uteri. Milk fever juga ada kaitanya dengan penyakit-penyakit gastrointestinal seperti rumen dan abomasum. Hal ini karena adanya penurunan motilitas muskulus rumen dan abomasum pada sapi penderita hipokalsemia subklinis maupun klinis (Triakoso, 2009). Berdasarkan latar belakang diatas, diperlukan manajemen pengendalian milk fever pada sapi perah diPuskeswan Getasan untuk menjadi bekal sebagai dokter hewan. Manfaat yang diperoleh dari hasil Praktek Kerja Lapang (PKL) ini, guna pendewasaan cara bepikir dalam menghadapi masalah pembangunan masyarakat dalam bidang kedokteran hewan dan peternakan. Sehingga Praktek Kerja Lapangdi Puskeswan Getasan merupakan kesempatan untuk menerapkan materi yang telah diperoleh di perkuliahan dengan kenyataan yang ada di Lapang. 1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah Praktek Kerja Lapang ini adalah: 1. Bagaimana penanganan milk fever pada sapi perah pada periode laktasi yang dilaksanakan di Puskeswan Getasan Kabupaten Semarang? 2. Bagaimana pencegahan milk fever pada sapi perah pada periode laktasi yang dilaksanakan di Puskeswan Getasan Kabupaten Semarang?
2
1.3
Tujuan
Tujuan Praktek Kerja Lapang ini adalah: 1. Mengetahui penanganan milk fever pada sapi perah pada periode laktasi yang dilaksanakan di Puskeswan Getasan Kabupaten Semarang. 2. Mengetahui pencegahan milk fever pada sapi perah pada periode laktasi yang dilaksanakan di Puskeswan Getasan Kabupaten Semarang. 1.4
Manfaat
Manfaat Praktek Kerja Lapang ini adalah: 1. Menambah pengetahuan dan pengalaman mengenai penanganan milk fever pada sapi perah periode laktasi di Puskeswan Getasan Kabupaten Semarang. 2. Memberikan wawasan dan pengetahuan pada kolega mahasiswa kedokteran hewan Universitas Brawijaya tentang penanganan milk fever pada sapi perah.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sapi Perah
Sapi perah Friesian Holstein (FH) berasal dari nenek moyang sapi liar Bos Taurus yang merupakan jenis sapi yang tidak berpunuk. Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang paling banyak dipelihara dan dikembangkan di Amerika Serikat. Jumlahnya berkisar antara 80% sampai 90% dari seluruh sapi perah yang ada. Ciri-ciri fisik sapi FH (Gambar 2.1) adalah warna rambutnya belang hitam putih dengan perbatasan tegas sehingga tidak terdapat warna bayangan. Pada dahi terdapat warna putih berbentuk segitiga. Bagian dada, perut bawah, kaki dari tracak sampai lutut, serta rambut ekor kipas berwarna putih, dan memiliki tanduk berukuran kecil yang menjurus ke depan. Sapi FH bersifat tenang sehingga mudah dikuasai, namun sapi ini tidak tahan terhadap panas (Syaifudin, 2013).
Gambar 2.1 Sapi perah Friesian Holstein (Syaifudin, 2013). Taksonomi Sapi Perah Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalian
Ordo
: Artiodactylia
Sub ordo
: Ruminansia
Family
: Boviadae
Genus
: Bos
Spesies Bos
: Bos taurus
(Syaifudin, 2013)
4
Sapi FH juga dapat dimanfaatkan sebagai sapi pedaging, karena sapi FH mempunyai karkas yang berkualitas baik dan tubuh yang cukup besar. Sapi FH betina secara umum memiliki bobot 1250 pound (567 kg) dan untuk pejantan bobotnya sebesar 1800 pound (816 kg). Diantara jenis sapi perah, FH memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan sebagian besar jenis sapi perah yang lainnya. Bobot lahir anak mencapai 43 kg. Bobot untuk sapi betina dewasa mencapai 682 kg dan jantan 1000 kg (Sudono dkk , 2003). Menurut Sudono dkk (2003) di Amerika Serikat sapi FH mampu menghasilkan susu rata-rata 7.245 liter/laktasi dengan kadar lemak 3.65%, sedangkan di Indonesia hanya 10 liter/ekor/hari yaitu sekitar 2500-3000 liter/laktasi. Sapi perah menghasilkan susu paling optimal pada suhu berkisar antara 10-15.56°C dengan kelembaban udara berkisar antara 50-79% dan produksi susu masih cukup tinggi pada suhu 21.11 °C. Tabel 2.1 Data biologis sapi perah Lama bunting
280 hari (275-283 hari)
Berat dewasa
300-680 Kg betina, 350-1000 Kg
jantan Berat lahir
22-50 Kg
Jumlah anak
1 – 2
Suhu (rektal)
38.0 – 39.0 ˚C ( rata-rata 38,6 ˚C)
Pernapasan
27-40/menit
Denyut jantung
40-58/menit
Tekanan darah
121-166 sistol; 18-120 diastol
Konsumsi energi
kira-kira 15 kal/Kg
(Syaifudin, 2013). Bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah jenis bangsa sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan salah satu sapi perah di Indonesia yang merupakan hasil persilangan dari sapi perah Friesian Holstein (FH) dengan sapi lokal. Sapi PFH mewarisi sifat bobot badan cukup tinggi dan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis dengan produksi susu yang relatif tinggi. Sapi PFH merupakan hasil
5
persilangan (grading-up) antara sapi perah FH dengan sapi lokal. Menurut Hadziq (2011), ciri-ciri sapi PFH (Gambar 2.2) adalah; warna bulunya belang hitam dan putih, mempunyai ukuran tubuh yang besar dan beratnya hampir sama dengan sapi FH, mempunyai kadar lemak susu yang juga rendah, produksi susu dapat mencapai 15-20 liter per hari per masa laktasi, mempunyai sifat tenang dan jinak sesuai dengan induknya, lebih tahan panas jika dibandingkan dengan sapi FH, sehingga lebih cocok di daerah tropis, mudah beradaptasi di lingkungan barunya.
Gambar 2.2 Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Hadziq,2011). 2.2
M il k fever
Milk fever secara teknis disebut sebagai parturient hypocalcemia atau parturient paresis yang berarti penurunan kadar kalsium darah pada saat melahirkan. Penyakit ini biasanya disertai dengan penurunan suhu tubuh menjadi subnormal.Kejadian penyakit berlangsung secara akut yang diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah (hipokalsemia) secara cepat dari normal (9,5 mg/dl) menjadi ≤ 5 mg/dl. Gejala paresis muncul seiring dengan penurunan kadar kalsium darah dan diikuti dengan comatose (pingsan). Umumnya, penyakit ini muncul dalam tiga hari setelah melahirkan (Martindah dkk, 2009). Milk Fever merupakan penyakit yang disebabkan gangguan metabolisme sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau setelah melahirkan (72 jam setelah beranak) yang ditandai dengan kekurangan kalsium dalam darah. Penyebabnya adalah kekurangan Ca (hipokalsemia) yang akut. Hal ini
6
menimbulkan gangguan metabolisme mineral yakni metabolisme Ca yang bisa berakibat kepada seluruh tubuh. Penyerapan yang berlebihan terhadap ion Ca oleh kelenjar susu dan dapat juga disebabkan kelenjar paratiroid pada leher yang mengatur tinggi rendahnya kadar ion Ca dalam darah sehingga fungsinya tidak normal. Dalam keadaan normal kadar Ca dalam darah 8-12 mg per 100 ml darah, dalamkeadaan hipokalsemia kadar Ca dalam darah menurun menjadi 3-7 mg per100 ml darah (Prihanto, 2009). Kasus milk fever sering dialami sapi yang sudah melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang ketujuh (Girindra, 2005), tetapi dibeberapa daerah ternyata penyakit ini ditemui juga pada sapi-sapi dara yang produksi tinggi dan terjadi di tengah masa laktasi. Hardjopranjoto (2004), mengatakan bahwa biasanya kasus ini terjadi pada sapi perah setelah beranak empat kali atau lebih tua, jarang terjadi pada induk yang lebih muda atau sebelum beranak yang ketiga. Beberapa kejadian disertai sindrom paresis yang terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan setelah melahirkan. Pada kasus yang ditemukan di Lapang terjadi pada sapi perah yang melahirkan ketiga (Subronto dan Tjahjati, 2001). 2.2.1
Etiologi
Milk fever disebabkan oleh kadar kalsium dalam darah yang rendah karena tingginya penyerapan ion Ca oleh kelenjar susu, kegagalan kelenjar parathyroid dalam mengatur tinggi rendahnya kadar ion Ca dalam darah serta kadar Mg, glukosa dan P yang tinggi, selain itu Mulligan dkk (2006) menyatakan bahwa produksi susu tinggi dan pemberian pakan yang kurang setelah melahirkan merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kasus ini. Kegagalan homeostasis kalsium pada awal laktasi merupakan penyebab utama milk fever . Kebutuhan yang mendadak terhadap kalsium untuk sintesis kolostrum di dalam kelenjar ambing yang berlaktasi merupakan faktor penyebab kegagalan homeostasis kalsium. Perubahan pola pemberian pakan dan proses pencernaan pada saat melahirkan akan mengganggu keseimbangan metabolisme mineral di dalam tubuh (Sani dkk, 2012).
7
Fetus menyerap kalsium dari plasenta sebesar 0,2 g/jam dan akan berhenti pada saat lahir, tetapi kebutuhan kalsium tersebut akan terus meningkat dengan berlangsungnya proses laktasi sebesar 1 g Ca/jam. Pada sapi dengan produksi susu yang tinggi dapat mencapai 2 g Ca/jam. Sapi umumnya akan beradaptasi dengan cara mengatur kecepatan aliran masuk (inflow) dan keluar (outflow) dari kalsium, tetapi proses adaptasi ini berlangsung tidak sempurna karena adanya hypokalsemia sementara (transient ) sebagai penyebab turunnya kalsium normal dari 9,5 mg/dl menjadi 7,0 mg/dl, terutama pada sapi yang lebih tua pada saat kelahiran ket iga dan berikutnya. Keparahan hipokalsemia hanya bergantung pada output (keluarnya) kalsium melalui susu pada hari pertarna laktasi. Akan tetapi, hal terpenting adalah beberapa sapi dapat menderita hipokalsemia yang lebih parah dibanding sapi lainnya bahkan dengan tingkat produksi susu yang sama. Tingkat kritis kalsium plasma adalah 6,5 mg/dl, karena kadar kalsium pada hipokalsemia ini terlihat tidak sabanding dengan motilitas saluran pencernaan. Kondisi stasis pada saluran pencernaan akan menghambat pasokan kalsium dari pakan dan sapi akan segera mengalami hipokalsemia yang parah, menurun sekitar 4,5 mg/dl, dimana gejala klinis mulai terlihat (Sani dkk, 2012). 2.2.2
Patogenesis
Induk sapi secara normal memiliki cadangan kalsium yang cukup dalam tulangnya (6.000 g) maupun dari asupan pakan melalui saluran pencernaan (100 g) serta hanya dalam jumlah kecil terdapat di dalam sirkulasi darah (8g). Cadangan kalsium tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pedet bila terjadi perubahan yang drastis (Martindah dkk, 2009). Pada akhir kebuntingan (5 g/hari) dan untuk menghasilkan susu pada masa awal laktasi (25 g/kg). Secara normal, setiap hariselalu terjadi kehilangan kalsium melalui ekskresi urin dan feses yang tidak dapat dihindari oleh induk sapi perah. Kondisi ini semakin parah karena kolostrum mengandung kalsium dua kali lebih banyak daripada susu (2 g/liter berbanding I g/liter) sehingga terjadi kehilangan kalsium yang drastis dalam cairan tubuh. Oleh karena itu, pada saat melahirkan, kebutuhan kalsium akan meningkat tinggi secara mendadak yang mengakibatkan
8
induk sapi mengalami penurunan kadar kalsiurn dalam darah (Martindah dkk, 2009). Secara fisiologis, pengaturan kadar kalsium darah dilakukan oleh beberapa organ tubuh yang saling berinteraksi, yaitu hati, kelenjar parathyroid , ginjal dan tulang. Sapi mendapatkan vitamin D 3 dari diet atau melalui sintesis vitamin D3 pada kulit dibawah pengaruh sinar ultra-violet yang berasal dari sinar matahari. Vitamin D3 pertama kali mengalami aktivasi untuk berubah menjadi 25 hidroksi D3 [= 25(OH)D3] di dalam jaringanhati. Menurunnya kadar kalsium darah akan merangsang pelepasan hormon parathyroid yang terdapat di dalam kelenjar parathyroid . Hormon ini memiliki kemampuan untuk merangsang pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang. Metabolit vitamin D3 [= 25(OH)D3 ] yang disinstesis di dalam hati menjadi bentuk yang sangat aktif hingga 1,25 dihidroksi vitamin D 3 [1,25 (OH)2D3 ] di dalam ginjal. Senyawa 1,25 (OH) 2D3 ini bertanggung jawab dalam penyerapan kalsium dari tulang dan khususnya saluran pencernaan, dimana usus halus merupakan sumber utama kalsium selama melahirkan, karena mobilisasi kalsium dari tulang memerlukan waktu yang lama, yaitu antara10-14 hari. Kondisi ini menjadi penting, karena otot usus halus sangat peka terhadap kadar kalsium rendah yang dapat menurunkan aktivitas usus halus sehingga menimbulkan gejala milk fever . Rendahnya kadar kalsium akan menurunkan motilitas rumen sehingga mengurangi asupan nutrisi dan selanjutnya penurunan aktivitas intestinal akan mengurangi absorpsi kalsium dari saluran pencernaan (Martindah dkk, 2009). Sapi pada umumnya akan mengalami peningkatan kadar hormon parathyroid dan 1,25 (OH) 2D3 pada saat melahirkan, namun beberapa di antaranya tidak mampu mencapai tingkatyang cukup untuk mencegah timbulnya milk fever . Aktivitas kedua hormon ini dirangsang oleh keberadaan magnesium di dalam ginjal. Oleh karena itu, bila terjadi penurunan asupan magnesium selama periode kering kandang dapat meningkatkan kejadian milk fever . Hormon estrogen dapat menghambat mobilisasi kalsium dan kadar estrogen biasanya meningkat padasaat melahirkan. Sapi perah dewasa (tua) lebih peka terhadap milk fever daripada sapi muda (dara) karena cadangan kalsiumnya lebih rendah. Oleh sebab itu, sapi dara (belum beranak) tidak pernah mengalami milk fever dan penyakit ini jarang
9
dijumpai pada induk sapi beranak kedua. Sapi yang pernah mengalami milk fever pada saat melahirkan akan lebih peka pada kelahiran berikutnya. Faktor lain yang dapat menimbulkan penyakit ini adalah bangsa sapi (s api Jersey lebih peka daripada bangsa lainnya), cekaman (stress) lingkungan danproduksi susu (semakin tinggi produksi susu maka semakin sering kejadian milk fever ) (Martindah dkk, 2009). Hardjopranjoto (2004) mengatakan bahwa ada beberapa teori, mengapa sapi perah yang baru melahirkan dan produksi susu tinggi sering terjadi hipokalsemia sehinggan mendorong terjadinya kasus milk fever / paressis puerpuralis yaitu; 1. Produksi susu yang tinggi, sapi perah yang mempunyai produksi susu yang tinggi membutuhkan kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi, dan akibatnya kadar kalsium dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah (hipokalsemia), diikuti gejala paresis purpuralis. 2. Umur sapi, produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat mulai laktasi keempat sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan kalsium yang meningkat pula, sedangkan kemampuan mukosa usus untuk menyerap kalsium makin tua umurnya makin menurun. 3. Nafsu makan, pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi akan menurun nafsu makannya sampai tidak mau makan sama sekali. Hal ini mengakibatkan persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi menurun, akibatnya kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium dalam darah menjadi turun dan diikuti oleh
hipokalsemia.
Penurunan
nafsu
makan
mungkin
juga
disebabkan
meningkatnya kadar esterogen dalam darah pada fase terakhir dari kebuntingan menjelang terjadinya kelahiran. Keadaan ini dapat mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh sehingga kadar kalsium dalam darah merosot dari keadaan normal yaitu 9-12 gram persen menjadi 4-5 gram persen. 4. Ransum makanan juga berperan penting, ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan P mempunyai perbandingan 2 : 1. ransum pakan semacam ini adalah ransum yang dianjurkan sapi untuk sapi perah menjelang partus. 2.2.3
Gejala Klinis
Gejala awal yang ditemui yaitu sapi masih berbaring, nafsu makan turun, kurang peka terhadap lingkungan, hidung kering, tremor pada otot, suhu tubuh rendah, kaki belakang lemah dan terjadi penimbunan gas didalam rumen. Jika 10
semakin parah, maka sapi hanya mampu bertahan 6-24 jam. Angka kesembuhannya cukup baik dan tingkat mortalitas kurang dari 2-3 % apabila segera diketahui dan diberi pertolongan (Champness dan Hamilton, 2007). Rendahnya kadar Ca darah dapat menimbulkan hipersensitivitas pada membran syaraf serta otot dan kemudian terjadi hipereksibilitas dan grass tetany. Namun, pada stadiumakhir milk fever akan terjadi paralisis otot bukan tetany. Hal ini disebabkan karena hipokalsemia akan meningkatkan permeabilitas sel terhadap kation sehingga potasium akan mengalir ke luar sel dan sodium masuk ke dalam sel sehinggaterjadi paralisis kontraksi otot. Peningkatan permeabilitas sel juga akan mengakibatkan fosfat mengalir keluar sel yang dapat mengakibatkan nekrosis serabut otot. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi untuk penyakit "downer cow" syndrome ketika sapi tidak mampu berdiri kembali sekalipun diobati dengan Ca boroglukonat . Milk fever umumnya terjadi secara akut dalam waktu yang singkat, yaitu tiga hari setelah parturisi (Martindah dkk, 2009). Menurut Martindah dkk (2009) Sapi perah yang menderita milk fever umumnya melalui tiga stadium, yaitu; 1. Stadium pertama mungkin tidak terlihat karena penyakit berlangsung dengan cepat. Pada stadium ini akan terlihat reaksi hiperaktif dan hipersensitif yang diikuti dengan tremor otot, peregangan otot, dan daun telinga terkulai. Kaki belakang kaku dan sulit digerakan, sapi menyendiri kemudian terjatuh dan berbaring dengan posisi yang tidak nyaman. 2. Stadium kedua ditandai dengan berbaring pada sternal (sternal recumbency). Sapi mengalami depresi dan hampir pingsan, tidak mampu mengangkat dan menggoyang-goyangkan mulut ke bagian perutnya. Kemudian terjadi hypothermia serta stasis ruminal dan konstipasi mulai terlihat. 3. Stadium ketiga melibatkan kolaps dan koma. Sistem kardiovaskuler mengalami kegagalan fungsi ditandai dengan denyut dan suara jantung yang lemah. Dalam beberapa jam kematian sapi dapat terjadi bila tidak diobati. Kematian sapi umumnya disebabkan karena kegagalan pernapasan akibat bloat, tetapi kolaps jantung umumnya merupakan akhir dari proses penyakit.
11
2.2.4
Pencegahan
Strategi pencegahan penyakit bergantung pada kondisi peternakan (tingkat kejadian penyakit), musim pada saat calving dan kondisi hijauan pakan ternak. Kasus penyakitmilk fever biasanya tinggi pada kelahiran musim hujan (basah) dan hijauan pakan ternak yang basah. Hal tersebut disebabkan karena rumput mengandung Ca yang tinggi, rumput mengandung magnesium yang rendah, dan selama kelahiran biasanya terjadi periode stasis lambung dan hal ini akan menurunkan kemampuan sapi mengabsorbsi Ca. Menurut Martindah dkk (2009), strategi pencegahan penyakit dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut: menghindari pemberian rumput yang basah selama musim hujan tiga minggu masa kebuntingan terakhir; memberikan asupan kalsium rendah selama periode kering kandang; menghindari pemberian pakan yang berlebihan sebelum melahirkan; memberikan diet magnesium dan fosfor yang cukup; memberikan suplemendengan hay, straw, atau silase; menyediakan diet mudah tercerna untuk menjaga rasa sebelum dan segera setelah parturisi; memberikan derivat vitamin D3 melalui injeksi; memberikan campuran vitamin D dengan100-500 g Ca khlorida, baik melalui pakan maupun melalui air minum selama 4 atau 5 hari sebelum melahirkan; bila terjadi wabah atau beberapa induk sapi pernah mengalami milk fever , berikan 400 ml 20% larutan Ca (sebaiknya dengan kandungan rendah magnesium dan fosfor) secara subkutan, segera setelah melahirkan. Strategi pencegahan milk fever menurut Prabowo (2005), ada beberapa macam, yaitu; 1. Kalsium dalam pakan, pemberian pakan dengan kandungan kalsium lebih besar 100 gram/hari selama masa dry pregnant berhubungan dengan meningkatkan resioko kejadian milk fever . Sapi dengan berat 500 kg membutuhkan 31 garam kalsium/hari untuk maintenance dan kebutuhan fetus pada kebuntingan kahir. Bila sapi selama dry pregnant diberi pakan dengan kandungankalsium yang tinggi (>100 g/hari), kebutuhan kalsium dapat dipenuhi semuanya hanya dengan transport pasif dari kalsium dalam pakan. Tranport aktif dan penyerapan kalsium dari tulang menjadi tertekan dan tidak berfungsi. Hasilnya pada saat melahirkan, saat sapi membtuhkan kalsium dalam jumlah tinggi tidak dapat menggunakan mekanisme penyerapan kalsium dari tulang maupun transport aktif kalsium dari
12
pakan. Akibatnya sapi akan mengalami hipoklasemia berat sampai mekanisme tersebut dapat dirangsang dan bekerja. Mekanisme ini biasanya berlangsung dalam beberapa hari setelah melahirkan. 2. Pemberian garam anionik, keseimbangan kation-kation dalam pakan sapi transisi sebelum melahirkan terbukti dapat mempengaruhi kejadian milk fever . Pakan dengan kandungan kation yang tinggi khususnya Na +, K +, dan Ca++ cenderung menyebabkan milk fever . Pakan dengan kandungan anion yang tinggi khususnya Cl - dan S - dapat mencegah terjadinya milk fever . Pakan sapi transisi yang cenderung banyak hijauan, banyak mengandung kation, khususnya K +. Hal ini akan mengakibatkan sapi akan berada pada kondisi metabolik alkatosis yang dapat dilihat dari tingginya pH urin. Penambahan anion akan mengakibatkan penurunan metabolik alkatosis bahkan dapat menyebabkan metabolik alkatosis.Hormon paratiroid dan 1,25 dihidroksi vitamin D menurun kemampuannya melakukan metabolisme kalsium bila konsidi darah adalah basa dan akan meningkat apabila kondisi darah asam. 3. Injeksi vitamin D, vitamin D berperan dalam metabolisme kalsium. Penambahan dalam tubuh dari sumber luar akan membantu penyerapan kalsium dari lumen usus halus. 4. Terapi pencegahan dengan Calsium chloride, Calsium chloride telah dipakai secara aktif sebagai kalsium untuk pencegahan milk fever . Senyawa ini merupakan bentuk kalsium yang ketersediaannya sangat bagus. Bentuk kalsium ini seperti limestone (CaCO3). CaCl2 juga merupakan senyawa yang bersifat asam. Kombinasi dari ketersediaan yang baik, sifat asam dalam rumen mampu meningkatkan kadar kalsium darah. Puncak kalsium darah dapat dicapai dalam 30 menit setelah pemberian oral dan akan menurun lagi stelah 24 jam. 2.2.5
Pengobatan
Pengobatan milk fever diarahkan untuk mengembalikan kadar Ca darah padakondisi normal tanpa penundaan serta mencegah terjadinya kerusakan otot dan syaraf akibat hewan berbaring terlalu lama. Keberhasilan pengobatan tergantung pada serveilan yangdilakukan secara terus-menerus khususnya terhadap stadium awal penyakit (Martindah dkk, 2009). Penyuntikan kalsium secaraintravena dapat menaikan kadar Ca darah sampai melebihi batas normalnya dan menimbulkan detak jantung tidak teratur
13
yang dapat dideteksi dengan cepat. Namun, toksisitas akut untuk kalsium boroglukonat adalah rendah karena kation Ca berikatan dengan anion boroglukonat sehingga tetap dalam bentuk inaktif (Martindah dkk, 2009). Kasus lapang milk fever biasanya merupakan penyakit yang kompleks, oleh karena itu larutan Ca boroglukonat dapat ditambahkan magnesium dan/atau dektrosa. Selanjutnya, suatu percobaan menunjukkan bahwa injeksi ganda dari Ca boroglukonat yangdiberikan secara intravena dan subkutan dapat membantu pengobatan milk fever. Pemberian kalsiumsecara intravena menghasilkan pengaruh langsung, sedangkan depot Ca di bawah kulit (penyuntikan subkutan) akan memberikan pengaruh yang lambat tetapi memberikan penyembuhan yang lama. Kebanyakan hewan akan sembuh dengan cepat setelah pengobatan. Dalam 510menit sapi mampu mengangkat kepalanya, feses akan keluar dan mulai berusaha untuk berdiri. Bila penyakit kambuh kembali, biasanya terjadi dalam 24 jam maka diperlukan pengobatan kedua. Lumpuh berulang dapat dihentikan dengan meniup udara ke dalam kelenjar ambingnya agarmenghambat sekresi kalsium kedalam susu dan kehilangan kalsium (Martindah dkk, 2009). Menurut Braun et al (2006). Pengobatan sapi yang menampakkan gejala adalah penyuntikan 1000 ml Calcium borogluconas 40 % secara intra vena pada vena jugularis, ini dilakukan pada sapi yang menunjukkan berbagai stadium sehingga kejadian paralisa tidak terjadi. Suntikan dapat diulangi kembali set elah 812 jam kemudian. Apabila belum menampakkan hasil, maka dapat diberikan preparat yang mengandung magnesium. Dosis pengobatan bergantung pada besar hewan, pemberian 600-800 ml calcium borogluconas, setengah dosis diberikan secara langsung melalui vena jugularis dan stengah dosis secara subkutan pada beberapa tempat sepanjang kulit leher. Dosis yang diberikan tidak boleh melebihi 50-100 ml, pada masing-masing tempat untuk menghindari terjadinya lesio-lesio lokal. Pengobatan secara subkutan saja bisa dipergunakan, meskipun efeknya lambat.
14
BAB III METODE KEGIATAN 3.1
Waktu dan Lokasi Kegiatan
Praktek Kerja Lapang ini dilaksanakan di Puskeswan Getasan Kabupaten Semarang. Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan selama 30 hari yaitu mulai 16 Januari - 16 Februari 2017. 3.2
Metode Praktek Kerja Lapang dan Pengambilan Data
Pengumpulan data sebagai bahan kajian di lakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer di ambil dengan beberapa metode, diantaranya : a. Wawancara Kegiatan ini dilakukan dengan cara diskusi dengan pihak-pihak terkait, baik itu paramedis, inseminator, dokter hewan, maupun peternak. Pertanyaan yang akan diajukan meliputi penanganan dan pencegahan yang dilakukan untuk mengatasi penyakit milk fever . b. Observasi Lapang Observasi dilakukan selama berlangsungnya kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) dengan cara bekerja, mengamati, dan mencatat secara langsung kondisi yang terjadi di Lapang. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data primer dan data sekunder yang selanjutnya diolah dalam laporan Praktek Kerja Lapang. Data primer diperoleh dari pihak – pihak terkait mengenai penanganan dan pencegahan penyakit Milk Fever di Puskeswan Getasan, adapun pihak-pihak yang dimaksud ialah: dokter hewan yang bertugas dan pemilik ternak. Data sekunder diperoleh dari pencatatan dan dokumentasi yang mendukung penyusunan laporan Praktek Kerja Lapang, adapun data ini berupa catatan kesehatan ternak, serta studi literatur dari jurnal, buku, serta penelusuran lain dengan memanfaatkan teknologi internet. Data yang diambil meliputi cara pencegahan dalam memberantas penyakit Milk Fever dan pengobatan yang dilakukan terhadap ternak yang terserang Milk Fever .
15
3.3
Rencana Jadwal Kegiatan
Rencana jadwal kegiatan PKL Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya yang akan di laksanakan seperti yang tertera pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 3.1 Rencana Kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL)
Kegiatan
September Minggu ke1 2 3 4
Bulan Oktober Januari Minggu ke- Minggu ke1 2 3 4 1 2 3 4
I. Persiapan
1.1 Pengajuan judul dan tempat PKL 1.2 Pengajuan proposal rencana pelaksanaan PKL kepada pihak FKH UB 1.3 Pengajuan proposal rencana pelaksanaan PKL II. Pelaksanaan 2.1 PelaksanaanPKL III. Pengumpulan Data dan Evaluasi Hasil 3.1 Evaluasi hasil 3.2 Pengumpulan data 3.3 Analisa dan pengolahan data 3.4 Penyusunan laporan kegiatan
16
Februari Minggu ke1 2 3 4
3.4
Biodata Peserta Praktek Kerja Lapang
Peserta yang melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Puskeswan Getasan Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Semarang Nama
: Dina Triassanti
NIM
: 135130100111034
Program Studi
: Pendidikan Dokter Hewan
Universitas
: Brawijaya
Alamat
: jl. Kumis Kucing No. 28 RT 05/02
No. Tlp
: 085728325955
Email
:
[email protected]
17
BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN 4.1
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan Praktek Kerja Lapang dilaksankan di Puskeswan Getasan kecamatan Getasan kabupaten Semarang. Puskeswan Getasan berada dibawah naunganbidang kesehatan hewan Dinas Pertanian, Perikanan dan Pangan Kabupatan Semarang. Praktek kerja Lapang ini dilaksanakan sejak tanggal 16 januari 2017- 16 Februari 2017. 4.2
Jadwal Kegiatan
Tabel 4.1 Kegiatan PKL di Puskeswan Getasan No Waktu 1 16 – 22 Januari 2017
-
2
23 – 29 Januari 2017
-
-
3
30 januari – 5 februari 2017
-
4
6 – 12 februari 2017
-
Kegiatan Perkenalan di Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang Pengamatan Ternak di Kelompok desa sukun Pengobatan silent heat, papiloma, mastitis,infeksi ektoparasit, foot rot, CLP, Pelayanan IB dan PKB Penanganan post partus Pengamtan ternak dan pengobatan kutu di UPTD Mulyorejo Pengobatan BEF, sekabies, CLP, diare pada pedet, hipofungsi, foot rot, milk fever , endoparasit, silent heat , mastitis Pelayanan kesehatan di pasar hewan Ambarawa Pengamtan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD Mulyorejo Pelayanan IB dan PKB Pengobatan retensi plasenta, mastitis, endometritis Pelayanan IB dan PKB Pengamtan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD Mulyorejo Pengobatan prolap vagina, skabies di UPTD Mulyorejo Pengobatan indigesti, retensi plasenta, skabies, diare pada pedet, mastitis
18
-
5
13 – 16 februari 2017
-
-
Pelayanan IB dan PKB Pengamtan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD Mulyorejo Izin KRS Pengobatan foot rot, hipofungsi, abses Perpisahan dengan Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang Perpisahan dengan Puskeswan Getasan
19
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Lokasi dan Profil Puskeswan Getasan
Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Getasan, Kecamatan Getasan terletak di Dusun Jampelan Desa Getasan Kecamatan Getasan. Didirikan pada tahun 2008 dengan danaAPBN tahun 2008/2009.Kecamatan Getasan terletak di kaki Gunung Merbabu wilayah administratif Kabupaten Semarang dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:sebelah utara Kecamatan Tuntang, Kecamatan Banyubiru; sebelah timur Kecamatan Getasan, Kabupaten Boyolali, Kota Salatiga;sebelah selatan Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali dan sebelah barat Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang, Kab Temanggung.
Gambar 5.1 Kantor Puskeswan Getasan Wilayah Kerja Puskeswan Getasan meliputi 13 desa, yaitu Desa Kopeng, Batur, Tajuk, Jetak, Samirono, Sumogawe, Polobogo, Manggihan, Getasan, Wates, Tolokan, Ngrawan, dan Nogosaren.
20
Gambar 5.2 Denah wilayah Kerja puskeswan Getasan (Harmanto, 2015). Petugas Puskeswan Getasan terdiri dari satu orang medik veteriner Tenaga Harian Lepas (THL) Kementan, 2 orang Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) peternakandan1 orang petugas Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) / inseminator. Sedangkan Petugas Peternakan lain yang mendukung kegiatan Puskeswan Getasan, antara lain : Unit Lokasi Inseminasi Buatan (ULIB) Desa Sumogawe 1 petugas, Inseminator desa Jetak 1 petugas dan Inseminator desa Batur 1 petugas. Terdapat 3 (tiga) jenis pelayanan kesehatan hewan di Puskeswan Getasan sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri No 630/Kpts/TN.510/10/93, yaitu: 1. Pelayanan Aktif, Pelayanan Puskeswan Getasan ke masyarakat yang sudah direncanakan sebagai program kerja puskeswan untuk memantau status/keadaan kesehatan ternak di masyarakat. 2. Pela yanan Semi Aktif, pada pelayanan semi aktif peternak melaporkan kepada puskeswan tentang kondisi ternaknya yang sakit dan memerlukan pengobatan serta tentang ternaknya yang sedang birahi (heat) dan memerlukan IB/ kawin suntik, termasuk dalam pelayanan semi aktif puskeswan adalah pemeriksaan kematian ternak yang dilaporkan. 3. Pelayanan Pasif, yaitu pelayanan yang diberikan petugas di lokasi puskeswan, dimana peternak/pemilik hewan membawa ternaknya ke puskeswan. Pelayanan pasif biasa dilakukan untuk hewan kesanyangan dan unggas.
21
5.2
Kejadian M il k
di Fever
Puskeswan Getasan
Pada saat melaksankan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada bulan januari februari 2017, kasus yang ditangani sebanyak 99 kasus dengan kejadian milk fever yang ditemukan sebanyak 1 ekor, sehingga di dapat persentase kejadian milk fever pada bulan januari – februari sebanyak 1,01%. Milk fever sering terjadi di puskeswan Getasan pada musim hujan dikarenakan kurangnya sinar matahari yang dibutuhkan untuk sintesis vitamin D. milk fever biasanya terjadi di peternak yang kurang memperhatikan asupan mineral pada ternaknya. Sapi yang terkena milk fever besar kemungkinanya akan mengalami milk fever kembali jika asupan mineral tidak dipenuhi oleh peternak. Kejadian milk fever di puskeswan Getasan dari bulan Agustus 2016 – januari 2017 adalah sebagai berikut: Tabel 5.1 Data kejadian Milk fever di Puskeswan Getasan dari bulan Agustus 2016 – januari 2017 Kasus Milk Fever (ekor)
Agustus
Total kasus yang ditangani (ekor) 91
September
78
-
-
Oktober
81
2
2,46 %
November
79
-
-
Desember
98
3
3,06 %
Januari
101
1
0,99 %
Februari
64
-
-
Total
592
7
7,6 %
Bulan
1
Persentase Kasus Milk Fever ( %) 1,09 %
Milk fever tejadi pada hari rabu tanggal 25 januari 2017 pukul 6.30 WIB di rumah bapak Wandi daerah batur kidul. Pak wandi melaporakan bahwa sapi tidak mau berdiri, sapi tidak mau makan, produksi susu 18 liter/ hari, sapi dilaporkan beranak pada senin pagi dan sapi telah beranak tiga kali. Menurut Hardjopranjoto
22
(2014) sapi perah yang produksi susu tinggi membutuhkan kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi, dan akibatnya kadar kals ium dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah (hipokalsemia) sehingga mendorong terjadinya kasus milk fever . Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh drh.Harmanto terlihat sapi dalam keadaan berbaring dan tidak mau berdiri, bola mata masih dalam keadaan cerah, dan anoreksia, hal tersebut mengindikasikan bahwa sapi mengalami milk fever stadium pertama. 5.3
Penanganan M il k F ever di Puskeswan Getasan
Dari Anamesa dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh drh Harmanto, sapi di diagnosa mengalami milk fever stadium pertama. Menurut Martindah (2009) Sapi perah yang menderita milk fever stadium pertama umumnya memiliki tandatanda terlihat reaksi hiperaktif dan hipersensitif yang diikuti dengan tremor otot, peregangan otot, dan daun telinga terkulai. Kaki belakang kaku dan sulit digerakan, sapi menyendiri kemudian terjatuh dan berbaring dengan posisi yang tidak nyaman. Sapi milk fever ngalami kesulitan untuk berdiri, hal ini desebkan karena kekurangan kalsium dalam darah akibat kebutuhan kalsium selama masa laktasi cukup tinggi. Menurut Prabowo (2005), kalsium berperan penting dalam fungsi system saraf. Jika kadar kalsium dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan system saraf akan terganggu, sehingga fungsi otak terganggu dan sapi akan mengalami kelumpuhan. Menurut Feryiawati (2005), timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam serabut – serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam serabut, dimana menyebabkan pelepasan ion – ion kalsium dari reticulum sarkoplasma. Selanjutnya ion – ion kalsium menimbulkan peristiwa kimia proses kontraksi otot. Sehingga jika kekurangan kalsium akan menyebabkan terganggunya kontraksi otot. Penangan milk fever dilakukan dengan terapi cairan menggunkan kalsium gluconat secara intravena melalui vena jugularis menggunakan jarum 18 G. Menurut Tjay (2002), pemberian obat dengan injeksi intravena memberikan reaksi
23
tercepat yaitu kurang lebih 18 detik karena obat yang dimasukkan melalui satu pembuluh darah langsung bereaksi menuju sel dan jaringan, sehingga efeknya lebih cepat dan kuat, oleh karena itu pemberian kasium gluconat dilakukan secara intravena. Sebelum dilakukan terapi cairan sebaiknya kalsium gluconat dan B12 direndam pada air hangat, hal ini bertujuan supa ya obat yang masuk kedalam aliran darah sesuai dengan suhu tubuh hewan tersebut. Terapi cairan menggunkan kalsium gluconat sebanyak 500 ml, dan ditambah 20 ml campuran ATP dan Vitamin B12 di masukkan kedalam botol kalsium gluconat setalah kasium gluconat tersisa ¼ botol. ATP dan B12 digunakan untuk menambah energi pada sapi tersebut. Menurut Roux dan Streinbrunner (2007), pemberian obat yang mengandung ATP ( Adenosine Triphosphate). Bertujuan agar sapi yang mengalmi paralisis bisa segera berdiri karena mendapat tambahan energi secara istan. ATP merupakn suatu nukleotida yang dalam bikimia dikenal sebagai “satuan molekuler” pertukaran energi intraseluler, artinya ATP dapat digunakan menyimpan dan mentranspor energi kimia dalam sel. ATP juga berperan penting dalam sintesis asam nukleat. Molekul ATP digunakan untuk menyimpan energi yang dihasilkan tumbuhan dalam respirasi seluler. ATP yang berada diluar sitoplasma atau diluar sel dapat berfungsi sebagai agent signaling yang mempengaruhi pertumbuhan dan respon terhadap perubahan lingkungan. Peran ATP yang banyak dikenal adalah sebagai pembawa energi, dalam bentuk yang tertukar sebagai ATP dan ADP. Fungsi ini berlangsung di berbagai kompartemen sel, tetapi kebanyakan terjadi di sitosol (ruang didalam sitoplasma yang berisi cairan kental). Sebagai pembawa energi, ATP juga dijumpai pada mitokondria. ATP dan nukleosida trifosfat lainnya dapat berada diluar sel, menempati matriks ekstraseluler dan mereka berperan sebagai agent signaling yang merespon perubahan lingkungn atau gangguan dari organisme lai n untuk kemudian ditangkap oleh respon pada membran sel. Fungsi utama dari Vitamin B12 adalah pembentukan sel-sel darah merah dan pemeliharaan kesehtan sistem saraf. Vitamin B12 penting untuk sintsis DNA dengan cepat selama pembentukan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
24
berlangsung cepat, turutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggung jawab untuk pembentukan sel darah merah.
Gambar 5.3 Pemberian infus kalsium gluconat Pada saat dilakukan infus tetap diperhatikan jarum pada vena jugularis supaya obat tetap masuk ke aliran darah tidak masuk kedalam subcutan. Setalah ditunggu selama 15 menit sapi sudah mulai mau makan namun belum mau berdiri sendiri, kemudian sapi di siram dengan air supaya ada reflek untuk melawan dan berdiri.Pasca dilakukan pengobatan terhadap sapi yang menderita milk fever, napsu makan dan minum sapi kembali normal, sapi terlihat sehat dan terlihat berdiri, sapi sudah mulai menyusui anaknya kembali. 5.4
Pencegahan M il k F ever di Puskeswan Getasan
Pencegahan milk fever di kecamatan getasan dilakukan dengan manajemen pakan dan kandang yang baik. Pakan pada sapi perah diberikan setalah proses pemerahan susu selesai yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pakan sapi perah terdiri dari 2 yaitu hijauan dan konsetrat. Hijaun yang digunakan oleh peternak adalah rumput gajah sedangkan konsetrat yang diberikan biasanya konsentrat dari pabrik selain itu peternak juga menambahkan mineral pada ransumnya. Mineral biasanya diberikan 2-3 sendok dan campur pada konsetrat. Mineral yang diberikan peternak mengandung kasium. Menurut Goff (2006), pemberian kalsium dalam pakan
25
bertujuan agar mekanisme absorbsi mobilitas kalsium relative inaktif. Hal ini akan merangsang pengeluaran hormone paratiroid dan 1,2 dehidroksi vitamin D, sehingga setelah melahirkan sapi akan menyerap kalsium dari pakan secara efisise n dan mobilitas dari tulang dapat segera terjadi jika kebutuhan kalsium meningkat. Pada saat melahirkan sapi harus bisa menyediakan 30g kalsium atau lebih untuk kebutuhan feses, sehingga usus halus dan tulang harus berusaha men yesuaikan diri dengan peningkatan kebutuhan kalsium yang mendadak pada awal laktasi. Selain manajemen pemberian pakan pada ternak yang harus diperhatikan adalah manajemen perkadangan. Kadang pada sapi sebaiknya diberi ventilasi supaya matahari dapat masuk kedalam kandang. Menurut Setiati (2008), kadang pada sapi sebaiknya diberi ventilasi supaya matahari dapat masuk kedalam kandang hal ini berfungsi untuk meningkatkan sintesis vitamin D karena sintesis vitamin D dapat dilakukan dengan memberikan pajanan sinar matahari atau dengan pajanan sinar ultraviolet B (UV B) buatan (artifisial). Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme di dalam tubuh. Dalam metabolisme kalsium dan tulang, fungsi utama 1,25(OH)2D3, metabolit aktif vitamin D, adalah mengontrol absorpsi kalsium dan fosfat usus agar dapat mempertahankan konsentrasi kalsium darah sehingga mineralisasi tulang tetap terpelihara. Defisiensi vitamin D akan berpengaruh pada homeostasis ini.
26
BAB VI PENUTUP 6.1
Kesimpulan
Kejadian milk fever di puskeswan getasan pada bulan januari - februari 2017 sebanyak 1 kasus, dengan penanganan dan pencegahan sebagai berikut: 1.
Penanganan milk fever di puskeswan getasan dilakakukan dengan cara terapi cairan melalui intravena menggunakan kalsium gluconat dengan penambahan ATP dan vitamin B12.
2.
Pencegahanya dilakukan dengan pemberian mineral yang mengandung kalsium diberikan 2-3 sendok dicampur kedalam konsentrat, selain itu memperhatikan ventilasi perkandanganya supaya matahari dapat mas uk kedalam kandang.
6.2
Saran
Sebaiknya dilakukan perhatian yang lebih pada sapi perah dengan produksi susu tingga dan laktasi lebih dari 3 kali sehingga gangguan metabolis kalsium (milk fever) dapat dicegah.
27
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2014. Badan Pusat Satistik Kabupaten Semarang tahun 2014. Semarang: Badan Pusat Satistik Braun U, W. Jehle, N. Siegwart, U. Bleul, M. Hassig. 2006. Terapy of Parturient Paresis with High-dose Calcium. Departemen fur Nutztiere, University Zurich 148(3): 121-9. Champness D., Hamilton. 2007. Milk fever (Hypocalcemia) in Cows. Agriculture Note. Departement of Primary Industries. State of Victoria. Feriyawati, L. 2006. Anatomi sistem saraf dan peranan dalam regulasi kontraksi otot rangka. Sumatra: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Girindra, A. 2005. Biokimia Patologi Hewan. PAU-IPB. Bogor. Goff JP. 2006. Macromineral Physiology and Application to The Feeding ofThe Dairy Cow for Prevention of Milk Fever and Other Periparturient Mineral Disorders. Animal Feed Science and Technology 126 (2006) 237-235. Hardjopranjoto. 2004. Ilmu Kemajiran pada Ternak . Airlangga University Press. Surabaya. Harmanto. 2015. Profil Dokter Hewan Puskeswan Getasan. Semarang: Dinas Peternakan Dan Perikanan Kabupaten Semrang Hadziq, A. 2011. Status Fisiologis Dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Prasapih Yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat Dengan Pakan Bersuplemen Kobalt . Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Martindah, E., Y. Sani dan M. Susan Noor. 2009. Penyakit Endemis Pada Sapi PerahDan Penanggulangannya. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner. Mulligan, F., F., L. O’Gr andy, D. Rice and M. Doherty. 2006. Production Diseasemof The Transtition Cow: Milk fever and Subclinical hypocalcemia. Irish Vet Journal. 59(12)697-702. Plumb, D.C. 2008. Veterinary Drug Handbook . Sixth Edition. PharamVet Inc. Stockholm. Prabowo, S.H . 2005. Milk fever Gangguan Keseimbangan Kalsium pada Sapi Perah. Dalam Training for Vet Assistent-Dairy Farm. 19-28 Juli 2005. PT. Greenfields Indonesia, Malang. Prihanto. 2009. Manajemen Pemeliharaan Induk Laktasi DiPeternakan Sapi Perah Cv. Mawar Mekar Farm Kabupaten Karanganyar . Surakarta: Program
28
Diploma III Agribisnis PeternakanFakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Roux SJ dan I. Steinbrunner. 2007. Extracelluler ATP: an unexpected role as a signaler in plants. Trend in Plant Science 12:522-528. Doi: 10.1016/j.plants.2007.09.003 Sani,Y., E. Martindah dan N. Bambang Utomo.2012. Kesehatan Sapi Perah Dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Persusuan Di Indonesia. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner. Setiati, S. 2008. Pengaruh Pajanan Sinar Ultraviolet B Bersumber dari Sinar Matahari terhadap Konsentrasi Vitamin D (25(OH)D) dan Hormon Paratiroit pada Perempuan Usia Lanjut Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2 (4). Subronto dan I.Tjahjati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II . Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sudono A, RF. Rosdiana, dan BS. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif .Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Syaifudin, A. 2013. Profil Body Condition Score (Bcs) Sapi Perah Di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (Kpsbu) Lembang (Studi Kasus) . Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Triakoso, N. 2009. Penyakit Metabolik Pada Sapi Perah - Dampaknya Terhadap Respon Kekebalan dan Penyakit-penyakit Lain. Surabaya: universitas airlangga Tjay, T. H. 2002. Obat-obat penting . (Edisi 4). Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.
29
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Kegiatan Praktek Kerja Lapang No
Tanggal
1
16 januari 2016
2
17 Januari 2016
3
18 Januari 2016
4
19 Januari 2016
5. 6
20 Januari 2016 21 Januari 2016
7
22 Januari 2016
8
23 Januari 2016
9
24 Januari 2016
10
25 Januari 2016
11
26 Januari 2016
12
27 Januari 2016
13
28 Januari 2016
14
29 Januari 2016
15
30 Januari 2016
16
31 Januari 2016
17
1 februari 2017
18 19
2 februari 2017 3 februari 2017
Kegiatan
Pendamping
Perkenalan di Dinas Pertanian, Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang Pengamatan ternak di kelompok desa Sukun Pengoban silent heat, papiloma dan IB Pengobatan mastitis, infeksi ektoparasit, foot rot, CLP, PKB dan IB Penangan post partus Pengobatan kutu pada sapi di UPTD mulyorejo Pengamatan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD mulyorejo Pengobatan BEF, secabies, CLP, diare pada pedet, hipofungsi, PKB dan IB Pengobatan foot rot, scabies dan IB Pengobatan milk fever, PKB dan IB Pengobatan Endoparasit, CLP, PKB dan IB Pengobatan silent heat, mastitis, scabies, endometritis dan IB Pelayanan Kesehatan di Pasar hewan ambawa Pengamatan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD mulyorejo Pengobatan retensi plasenta, PKB dan IB Pengobatan mastitis, PKB dan IB Pengobatan endometritis, PKB, indigesti dan IB Pelayanan IB Pelayanan IB
drh. Yohana Dyah Haruni
30
drh. Yatini drh. Harmanto drh. Harmanto
drh. Harmanto Widagdo, A.Md Dwi Retno Sari, S.Pt drh. Harmanto
drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto
drh. Harmanto Dwi Retno Sari, S.Pt drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto
20
4 februari 2017
21
5 februari 2017
22
6 februari 2017
23
7 februari 2017
24
8 februari 2017
25 26 27
9 februari 2017 10 februari 2017 11 februari 2017
28
12 februari 2017
29
13 februari 2017
30
14 februari 2017
31
16 februari 2017
Pengamatan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD mulyorejo Pengobatan prolap vagina, scabies, dan pemerahan susu di UPTD mulyorejo Pengobatan indigesti, PKB dan IB Pengobatan indigesti, retensi plasenta, CLP dan IB Pengobatan scabies, diare pada pedet, mastitis dan IB Izin KRS Izin KRS Pengamatan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD mulyorejo Pengamatan ternak sapi dan pemerahan susu di UPTD mulyorejo Pelayanan kesehatan foot rot dan hipofungsi Pelayanan kesehatan foot rot dan abses Perpisahan dengan Dinas Pertanian, Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang dan puskeswan Getasan
31
Dwi Retno Sari, S.Pt Widagdo, A.Md
drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto Widagdo, A.Md
Dwi Retno Sari, S.Pt drh. Harmanto drh. Harmanto drh. Harmanto dan drh. Sri Hartiyani
Lampiran 2 : Perhitungan dosis a. Kalsium gluconat Volume = dosis x Berat Badan = 250 mg/kg x 400 kg = 480, 07 ml Konsentrasi 208,3 mg/ml Volume kalsium borogluconat yang digunakan untuk penanganan milk fever adalah 500 ml Menurut Plum (2008), dosis kalsium gluconate adalah 150 – 250 mg/kg berat yang diberikan secara intravenaous. Konsentrasi di dapat dari Leaflet tiap ml mengandung 208, 3 % kalsium gluconat hal ini menunjukkan dalam 1ml terdapat 208,3 mg/ml kalsium gluconat. Dengan perhitungan sebagai berikut : 20,83% = 20,83 g dalam 100 ml = 20830 mg dalam 100ml = 208,3 mg/ml
b. B12 Volume = dosis x Berat Badan = 0,02mg x 400 kg = 16 ml Konsentrasi 0,5 mg/ml Volume B12 yang digunakan untuk penanganan milk fever adalah 20 ml Menurut petuntuk aturan pakai pada Leaflet B12 pemebrian injeksi diberikan dengan dosis 1 mg tiap 50 kg berat badan jadi 1 kg berat badan 0,02 mg Pada Leafle B12 tiap 100 ml mengandung 0,050 g B12, konsentrasi di dapat dari perhitungan berikut: 0,05 g dalam 100 ml 50 mg dalam 100 ml 0,5 mg dalam ml
32