GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG HALAU-HALAU KALIMANTAN SELATAN
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kegiatan di alam bebas mempunyai banyak resiko oleh sebab itu kegiatan mendaki gunung memerlukan kondisi kesegaran jasmani yang baik dan prima. Tingkat kesegaran jasmani seseorang akan sangat berpengaruh terhadap kesiapan fisik maupun pikiran untuk sanggup menerima beban kerja, Untuk mendapatkan kondisi jasmani yang baik dan prima, kualitas dan kuantitas makanan sangat mempengaruhi hal ini. Maka dari itu pemilihan jenis dan jumlah makanan yang di konsumsi harus sesuai dengan asupan gizi tubuh masing masing pendaki yang di pengaruhi juga oleh tingkat pengetahuan para pendaki (Denny, Santoso. 2008). Manajemen logistik pendakian adalah sebuah upaya bagi para pendaki untuk mencari bahan – bahan bahan makanan dengan beberapa pertimbangan dari segi nutrisi, kalori dan ukuran agar efisien, ekonomis dan tidak terlalu berat dan tidak menghabiskan banyak tempat pada tas carriel pendaki (Setiyadi, Fajar. 2016). Barang bawaan yang berat sehingga banyak menghabiskan energi saat melakukan pendakian, apalagi di tambah dengan cuaca yang buruk, medan yang berat. Hal tersebut akan membuat nyali seorang pendaki menjadi kecil untuk meneruskan perjalanan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak kejadian yang dialami yang menyebabkan kematian baik yang terjadi karena kesalahan manusianya maupun karena alam yang tidak bersahabat saat pendakian. Hal-hal yang seperti itu yang dapat di alami seorang pendaki gunung jika kurang memahami kesinambungan antara kandungan kalori dalam makanan dengan aktifitas yang di lakukan pendaki. Kurangnya tenaga dan lemasnya tubuh menjadi salah satu dampaknya. Sebab apa yang kita makan tidak cukup untuk memenuhi energi yang di perlukan untuk mengimbangi aktifitas (Setiyadi, Fajar. 2016).
Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi asupan seseorang. Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam mengatur pola makan dan pembentukan kebiasaan makan seseorang. Oleh karena itu, sikap dan perilaku seseorang dalam memilih suatu makanan secara tidak langsung telah dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan gizi seseorang. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal seperti pendidikan di sekolah sedangkan pendidikan non formal seperti membaca koran atau majalah, mendengarkan radio, menonton televisi yang memuat berita mengenai gizi dan media penyuluhan (leaflet dan poster) ataupun internet (Notoatmodjo, 2003 dalam Wiqoyatussakinah, 2016). Tingkat pendidikan erat berhubungan dengan pengetahuan dan informasi yang dimiliki. Sedangkan pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi merupakan faktor penting dalam mempengaruhi pola konsumsi (Wiwied Dwi Oktaviani, Lintang Dian Saraswato, Sarasw ato, M. Zen Rahfiludin. 2012)
Tujuan umum dari penelitan ini adalah untuk melihat gambaran umum pola konsumsi dan tingkat kecukupan kecukupan gizi pendaki gunung di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tujuan khusus dari penelitian ini adala h (1) Mengidentifikasi karakteristik pendaki gunung dari segi umur, pekerjaan, pengalaman pendakian, dan tingkat tingkat pendidikan, (2) Mengetahui tingkat pengetahuan gizi para pendaki gunung gunung tentang pola konsumsi, (3) Mengetahui pola konsumsi pangan seperti karbohidrat, protein, dan lemak, (4) Menilai konsumsi karbohidrat, protein, dan lemak sebagai sumber energi, (5) Mengetahui tingkat kecukupan energi, protein, dan lemak para pendaki gunung yang diteliti, dan (6) Mengetahui status gizi para pendaki
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Mountaineering
Mountaineering memiliki makna kegiatan alam bebas yang berlokasi di sekitar pegunungan. Berpetualang mendaki gunung (Ekspedisi) merupakan olahraga penuh tantangan yang membutuhkan berbagai keterampilan antara lain kemamppuan menguasai ilmu medan peta dan kompas, panjat tebing, olahraga arus deras, survival serta pertolonga pertama pada kecelakaan (Parfet, B. & Buskin, R. 2009). Mountaineering
adalah
suatu
teknik
gabungan
pendakian
yang
memerlukan teknik dan alat-alat khusu. Kegiatan mountaineering merupakan petualangan yang menantang, kadang pula merupakan kegiatan yang sangat ekstrim untuk seseorang. Dalam mountaineering banyak hal-hal yang harus diketahui berupa aturan-aturan pendakian, perlengkapan pendakian, persiapan, cara-cara yang baik untuk mountaineering dan lain-lain. Sebutan untuk orang yang melakukan mountaineering adalah mountaineer (Parfet, B. & Buskin, R. 2009). Menurut Erone (2010), didalam pendakian suatu gunung banyak hal-hal yang harus kita ketahui (sebagai seorang pencinta alam) yang berupa: aturanaturan pendakian, perlengkapan pendakian, persiapan, cara-cara yang baik untuk mendaki gunung dan lain-lain. Segalanya inilah yang tercakup dalam bidang Mountaineering. Mendaki gunung dalam pengertian Mountaineering terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu: 1. Berjalan (Hill Walking)
Secara khusus kegiatan ini disebut mendaki gunug. Hill Walking adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Kebanyakan gunung di Indonesia memang hanya memungkinkan berkembangnya tahap ini. Disini aspek yang lebih menonjol adalah daya tarik dari alam yang dijelajahi (nature interested).
2. Memanjat (Rock Climbing)
Walaupun kegiatan ini terpaksa harus memisahkan diri dari Mountaineering,
namun
ia
tetap
merupakan
cabang
darinya.
Perkembangan yang pesat telah melahirkan banyak metode-metode pemanjatan tebing yang ternyata perlu untuk diperdalam secara khusus. Namun prinsipnya dengan tiga titik dan berat dan kaki yang berhenti, tangan hanya memberi pertolongan. 3. Mendaki Gunung Es (Ice & Snow Climbing)
Kedua jenis kegiatan ini dapat dipisahkan satu sama lain. Ice Climbing adalah cara-cara pendakian tebing/gunung es, sedangkan Snow Climbing adalah teknik-teknik pendakian tebing gunung salju. Dalam kegiatan macam kegiatan di atas tentu didalamnya telah mencakup: Mountcamping, Mount Resque, Navigasi medan dan peta, PPPK pegunungan, teknik-teknik Rock Climbing dan lain-lain.
B. Fisiologi Tubuh di Daerah Pegunungan
Mendaki gunung adalah perjuangan, perjuangan manusia melawan ketinggian dan segala konsekuensinya. Dengan berubahnya ketinggian tempat, maka kondisi lingkungan pun jelas akan berubah. Anasir lingkungan yang perubahannya tampak jelas bila dikaitkan dengan ketinggian adalah suhu dan kandungan oksigen udara. Semakin bertambah ketinggian maka suhu akan semakin turun dan kandungan oksigen udara juga semakin berkurang. Fenomena alam seperti ini beserta konsekuensinya terhadap keselamatan jiwa kita, itulah yang teramat penting kita ketahui dalam mempelajari proses fisiologi tubuh di daerah ketinggian. Banyak kecelakaan te rjadi di pegunungan akibat kurang pengetahuan, hampa pengalaman dan kurang lengkapnya sarana penyelamat (Erone. 2010). 1. Konsekuensi Penurunan Suhu
Manusia termasuk organisme berdarah panas (poikiloterm), dengan demikian manusia memiliki suatu mekanisme thermoreguler untuk mempertahankan kondisi suhu tubuh terhadap perubahan suhu
lingkungannya. Namun suhu yang terlalu ekstrim dapat membahayakan (Erone. 2010). Jika tubuh berada dalam kondisi suhu yang rendah, maka tubuh akan
terangsang
untuk
meningkatkan
metabolisme
untuk
mempertahankan suhu tubuh internal (mis : dengan menggigil). Untuk mengimbangi peningkatan metabolisme kita perlu banyak makan, karena makanan yang kita makan itulah yang menjadi sumber energi dan tenaga yang dihasilkan lewat oksidasi (Erone. 2010). 2. Konsekuensi Penurunan Jumlah Oksigen
Oksigen bagi tubuh organisme aerob adalah menjadi suatu konsumsi vital untuk menjamin kelangsungan proses-proses biokimia dalam tubuh, konsumsi dalam tubuh biasanya sangat erat hubungannya dengan jumlah sel darah merah dari konsentrasi haemoglobin dalam darah.
Semakin
tinggi
jumlah
darah
merah
dan
konsentrasi
Haemoglobin, maka kapasitas oksigen respirasi akan meningkat. Oleh karena itu untuk mengatasi kekurangan oksigen di ketinggian, kita perlu mengadakan latihan aerobic, karena disamping memperlancar peredaran darah, latihan ini juga merangsang memacu sintesis sel-sel darah merah (Erone. 2010). 3. Kesegaran Jasmani
Kesegaran jasmani adalah syarat utama dalam pendakian. Komponen terpenting yang ditinjau dari sudut faal olahraga adalah system kardiovaskulare dan neuromusculare. Seorang pendaki gunung pada ketinggian tertentu akan mengalami hal-hal yang kurang enak, yang disebabkan oleh hipoksea (kekurangan oksigen), ini disebut penyakit gunung (mountain sickness). Kapasitas kerja fisik akan menurun secara menyolok pada ketinggian 2000 meter, sementara kapasitas kerja aerobic akan menurun (dengan membawa beban 15 Kg) dan juga derajat aklimasi tubuh akan lambat. Mountain sickness ditandai dengan timbulnya gejala-gejala :
Merasakan sakit kepala atau pusing-pusing
Sukar atau tidak dapat tidur
Kehilangan control emosi atau lekas marah
Bernafas agak berat/susah
Sering terjadi penyimpangan interpretasi/keinginannya aneh-aneh, bersikap semaunya dan bisa mengarah kepenyimpangan mental
Biasanya terasa mual bahkan kadang-kadang sampai muntah, bila ini terjadi maka orang ini harus segera ditolong dengan memberi makanan/minuman untuk mencegah kekosongan perut.
Gejala-gejala ini biasanya akan lebih parah di pagi hari, dan akan mencapai puncaknya pada hari kedua. Apabila diantara peserta pendakian mengalami
gejala
ini,
maka perlu
secara
dini
ditangani/diberi obat penenang atau dicegah untuk naik lebih tinggi. Bilamana sudah terlanjur parah dengan emosi dan kelakuan yang aneh-aneh serta tidak peduli lagi nasehat (keras kepala), maka jalan terbaik adalah membuatnya pingsan. Pada ketinggian lebih dari
3000
m.dpl,
hipoksea
cerebral
dapat
menyebabkan
kemampuan untuk mengambil keputusan dan penalarannya menurun. Dapat pula timbul rasa percaya diri yang keliru, pengurangan ketajaman penglihtan dan gangguan pada koordinasi gerak lengan dan kaki. Pada ketinggian 5000 m, hipoksea semakin nyata dan pada ketinggian 6000 m kesadarannya dapat hilang sama sekali (Erone. 2010). 4. Program Aerobik
Program/latihan ini merupakan dasar yang perlu mendapatkan kapasitas fisik yang maksimum pada daerah ketinggian. Kapasitas kerja fisik seseorang berkaitan dengan kelancaran transportasi oksigen dalam
tubuh selai respirasi.Kebiasaan melakukan latihan aerobic secara teratur, dapat
menambah
kelancaran
peredaran
darah
dalam
tubuh,
memperbanyak jumlah pembuluh darah yang memasuki jaringan, memperbanyak sintesis darah merah, menambah kandungan jumlah haemoglobin darah dan juga menjaga optimalisasi kerja jantung. Dengan terpenuhinya hal-hal tersebut di atas, maka mekanisme pengiriman oksigen melalui pembuluh darah ke sel- sel yang membutuhkan lebih terjamin.Untuk persiapan/latihan aerobic ini biasanya harus diintensifkan selama dua bulan sebelumnya. Latihan yang teratur ternyata juga dapat meningkatkan kekuatan (endurance) dan kelenturan (fleksibility) otot, peningkatan kepercayaan diri (mental), keteguhan hati serta kemauan yang keras. Didalam latihan diusahakan denyut nadi mencapai 80% dari denyut nadi maksimal, biasanya baru tercapai setelah lari selama 20 menit. Seorang yang dapat dikatakan tinggi kesegaran aerobiknya apabila ia dapat menggunakan minimal oksigen per menit per Kg berat badan. Yang tentunya disesuaikan dengan usia latihan kekuatan juga digunakan untuk menjaga daya tahan yang maksimal, dan gerakan yang luwes. Ini biasanya dengan latihan beban, Untuk baiknya dilakukan aerobic 25-50 menit setiap harinya (Erone. 2010).
C. Klasifikasi Olahraga
Setiap cabang olahraga mempunyai macam-macam aktivitas serta lama aktivitas yang berbeda-beda. Oleh sebab itu masing-masing cabang olahraga tersebut digolongkan menurut tingkat intensitasnya serta kebutuhan energi yang diperlukannya seperti yang tercantum di bawah ini. Tabel 2. Pengelompokan Olahraga Berdasarkan Intensitas Klasifikasi Olahraga Olahraga Ringan
Contoh Menembak Golf Bowling Panahan
Olahraga Sedang
Bulutangkis Bola Basket Hockey Soft Ball
Olahraga Berat
Renang Tinju Gulat Kempo Judo Wall Climbing
Olahraga Berat Sekali
Balap Sepeda Angkat Besi Marathon Rowling Hiking (Mountaineering)
Sumber: Soerdjodibroto 1984
D. Kecukupan Zat Gizi Olahragawan
Pengetahuan tentang pemilihan makanan yang tepat dan adekuat sangat menunjang kenaikan prestasi olahraga. Zat-zat gizi di dalam makanan dapat dikelompokan menjadi zat gizi sumber energi (karbohidrat dan lemak), zat gizi pembangun tubuh (protein), dan zat gizi pengatur tubuh (vitamin dan mineral). Ketiga zat gizi tadi diutilisasi di dalam tubuh guna menghasilkan energi dalam proses proses aerob dan anaerob. Apabila proporsi aerob lebih menonjol, maka
olahraga
tersebut
digolongkan
sebagai
olahraga
aerob,
sedangkan apabila proporsi anaerob lebih menonjol, maka olahraga tersebut
digolongkan
sebagai
olahraga
anaerob.
Olahraga
dikelompokan menjadi empat, yaitu olahraga ringan, olahraga sedang, olahraga berat, dan olahraga berat sekali. Masing-masing kelompok mempunyai kebutuhan kalori yang berbeda (Soerjodibroto 1984).
Kecukupan zat gizi (recomemded diatery allowance/RDA) adalah jumlah masing-masing zat gizi yang dianjurkan dipenuhi oleh seseorang agar hampir semua orang (sekirat 97,5 % populasi) hidup sehat. Kebutuhan dan kecukupan zat gizi disusun untuk kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis kelamin (Hardiansyah & Martianto 1992). Menurut Karyadi dan Muhillal (1990), kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk mencakup semua orang sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika serta keadaan hamil dan menyusui. Lie
(1969)
mengungkapkan
pada
dasarnya
prinsip
yang
menentukan keperluan gizi para olahragawan dalam latihan sama dengan kebutuhan orang non-atlet. Kebutuhan gizi olahragawan harus
sesuai dengan prinsip “Gizi Seimbang” yang mengandung cukup karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, air, dan serat. Namun, kebutuhan zat gizi untuk olahragawan berbeda dengan rata-rata kecukupan masyarakat pada umumnya. Hal ini dikarenakan aktivitas olahragawan tidak sama dengan aktivitas masyarakat pada umumnya serta kondisi-kondisi tertentu pada olahragawan harus ditunjang asupan gizi yang tepat. Miharjda (2000) mengatakan kebutuhan gizi harian
olahragawan
berubah-ubah,
tergantung
pada
intensitas
latihannya. Menu makanan harus mengandung karbohidrat sebanyak 60-70%, lemak sebanyak 20-25%, serta protein sebanyak 10-15% dari total kebutuhan energi seorang olahragawan (Antonio et al. 2008). Tujuan pengaturan makanan bagi olahragawan adalah untuk mengisi cadangan glikogen otot dan hati serta menjaga karbohidrat maupun lemak agar tetap tersedia dalam darah untuk digunakan oleh otot. Penggunaan karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi selama olahraga tergantung pada intensitas dan lamanya aktivitas tersebut. Secara
umum,
penggunaan
karbohidrat
meningkat
dengan
meningkatnya intensitas fisik. Sebaliknya, penggunaan karbohidrat
menurun dengan makin lamanya aktivitas fisik berlangsung. Namun, jumlah karbohidrat dan lemak yang digunakan oleh otot dapat dinaikkan, tergantung pada ketersediaannya. Meskipun tubuh dapat menggunakan lemak pada intensitas kegiatan yang lebih rendah, lemak tidak dapat menyediakan energi secepat kerbohidrat pada kegiatan fisik yang berat (Rimbawan 2004).
Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi orang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan energi yang dapat dimetabolisasi dari makanan yang akan menyeimbangkan keluaran energi, ditambah dengan kebutuhan energi tambahan untuk pertumbuhan, kehamilan, dan penyusuan (Arisman 2002). Terkait dengan kesehatan dan performa secara umum diketahui bahwa prioritas utama dalam pemantauan status gizi pada olahragawan adalah menjaga keseimbangan energi. Tabel di bawah ini memperlihatkan secara langsung kebutuhan gizi yang dibutuhkan dalam latihan seorang olahragawan (Moffat 2002) Tabel 2 Keperluan energi yang diperlukan dalam aktivitas Aktivitas
METs
E xpenditure ur Be er a antor Ber ar 7.5 mp Berenang 2 mp Bersepe a
Durasi (Jam)
. 1.5 13.5 8.0 12.0
. 8.0 0.8 0.5 1.7
A t v tas ruma 2.5 t v tas r ngan . Sumber : Moffatt dan Cheunront 2002
3.0 .
Energi (Kal)
900 810 318 153 0 563
Energi untuk otot berkontraksi diperoleh dari pengubahan energi kimia menjadi tenaga mekanis. Mula-mula dari bentuk ATP, yang kemudian disusul oleh hasil metabolisme karbohidrat dan lemak. Bergantung pada jenis olahraga, kebutuhan energi dapat
berkisar
antara
2500-4500
kkal
dengan
proporsi
karbohidrat 55-67%, lemak 20-30%, dan protein 13-15%. Protein tidak dipakai sebagai sumber energi dalam kegiatan olahraga. Zat ini lebih berfungsi sebagai pengatur cairan tubuh dan untuk mempertahankan kondisi jaringan yang dipakai (Ranggasudira 1984).
Pada atlet, jika melihat dampak dari latihan yang dilakukannya berupa pengeluaran energi, maka terlihat jelas bahwa keadaan ini bervariasi tergantung tingkat kesulitannya. Tingkat kesulitan terhadap olahraga yang dimainkan ini secara teoritis juga mempengaruhi tingkat pengeluaran energi. Selain beberapa faktor latihan lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengeluaran energi yaitu durasi, frekuensi, dan intensitas dari latihan yang dilakukan (Paish 1991 diacu dalam Helinda 2000). Kebutuhan Karbohidrat
Karbohidrat memiliki manfaat luas, meliputi sumber energi utama pada kebanyakan mahluk hidup, cadangan energi tubuh, dan komponen membran sel yang berperan sebagai perantara berbagai komunikasi antar sel. Berdasarkan jumlah molekul gula sederhana pembentuknya, karbohidrat digolongkan menjadi
monosakarida,
disakarida,
oligosakarida,
dan
polisakarida. Pati adalah contoh karbohidrat yang banyak terdapat pada umbi-umbian dan biji-bijian. Pati adalah polimer glukosa. Karbohidrat adalah zat gizi penting dalam kehidupan manusia. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang memungkinkan manusia beraktivitas sehari-hari. Karbohidrat dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan sumber. Sebanyak 6070% kebutuhan energi tubuh manusia diperoleh dari karbohidrat (Rimbawan
2004).
Sumber
karbohidrat
yang
dominan
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia antara lain beras, jagung, sagu, dan umbi-umbian.
Karbohidrat
merupakan
sumber
energi
utama
dan
memegang peranan sangat penting untuk seorang olahragawan dalam melakukan olahraga. Ketika berolahraga, energi berupa ATP dapat diambil dari karbohidrat yang terdapat dalam tubuh berupa glukosa dan glikogen yang disimpan dalam otot dan hati. Selama beberapa menit permulaan kerja glukosa darah merupakan sumber energi utama, selanjutnya tubuh menggunakan glikogen otot dan hati. Glikogen otot dipergunakan langsung oleh otot untuk pembentukan energi, sedangkan glikogen hati mengalami perubahan untuk menjadi glukosa yang akan masuk ke peredaran darah untuk selanjutnya dipergunakan oleh otot (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1997). Menurut Damayanti (2000), masalah utama yang sering ditemui olahragawan yang sedang berlatih dengan keras adalah kelelahan atau ketidakmampuan untuk memulihkan rasa lelah, dari satu latihan ke latihan berikutnya. Oleh karena itu pemenuhan energi dan karbohidrat harus menjadi prioritas bagi olahragawan
yang
menjalani
latihan
intensif.
Pemberian
karbohidrat bagi olahragawan bertujuan untuk membentuk glikogen otot dan hati.
Kebutuhan Lemak
Istilah
lipida
meliputi
senyawa-senyawa
heterogen,
termasuk lemak dan minyak yang umum dikenal di dalam makanan, fosfolipida, sterol, dan ikatan lain sejenis yang terdapat di dalam makanan dan tubuh manusia. Asam lemak yang diperlukan tubuh serta tubuh tidak dapat mensintesisnya disebut asam lemak esensial, yaitu asam linoleat dan asam linolenat. Kekurangan asam lemak tersebut dapat menyebabkan gangguan syaraf dan penglihatan. Lemak berfungsi sebagai sumber energi yang menghasilkan energi paling besar, yaitu 9 kkal per gram.
Selain itu, lemak juga berfungsi sebagai alat angkut vitamin larut lemak, menghemat protein, memberikan rasa kenyang dan lezat, serta memelihara status tubuh. Lemak dalam tubuh berperan sebagai sumber energi terutama pada olahraga dengan intensitas sedang dalam waktu lama, misalnya olahraga yang bersifat endurance. Pada olahraga yang bersifat endurance, lemak dapat dipergunakan, tetapi pertama-tama harus dipecah dahulu menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas diangkut ke jaringan lain khususnya ke otot dan dipergunakan sebagai sumber energi. Pembentukan energi dari asam lemak membutuhkan oksigen lebih banyak dibanding karbohidrat, oleh karena itu tidak dapat diharapkan pada olahraga berat dalam waktu singkat (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1997). Menurut
Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Kesehatan
Masyarakat (1993), konsumsi energi dari lemak dianjurkan tidak lebih dari 30% total energi per hari. Bagi mereka yang membutuhkan lebih banyak karbohidrat perlu menurunkan konsumsi lemak untuk mengimbanginya. Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, mentega, mergarin, dan lemak hewan. Selain itu, lemak juga berasal dari kacang-kacangan, biji bijian, daging, dan ayam, susu, keju, telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak. Buah dan sayuran mengandung sedikit lemak, kecuali alpukat (Almatsier 2003) Kebutuhan protein Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan
bagian terbesar tubuh. Seperlima bagian tubuh adalah protein. Semua enzim, hormon, pengangkut zat gizi dan darah, serta matriks intraseluler adalah protein. Selain itu, asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk kehidupan. Protein mempunyai fungsi khas yang
tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2003). Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan, pembentukan otot, pembentukan sel-sel darah merah, pertahanan tubuh terhadap penyakit, enzim dan hormon, dan sintesa jaringan-jaringan tubuh lainnya. Protein dicerna menjadi asamasam amino, yang kemudian dibentuk protein tubuh di dalam otot dan jaringan lain. Protein dapat berfungsi sebagai sumber energi apabila karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi seperti pada waktu berdiet ketat atau pada waktu latihan fisik intensif. Sebaiknya, kurang lebih 15% dari total kalori yang dikonsumsi berasal dari protein (Husaini 2000). Menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat (1997), protein dalam makanan dibutuhkan sebanyak 10-15% dari total energi, dengan perbandingan protein hewani dan protein nabati 1:1. Campbell et al. (2007) menyatakan bahwa kebutuhan protein olahragawan lebih banyak diatas rata-rata orang pada umumnya. Asupan protein sebanyak 1,4 -2 g/kg berat badan tidak hanya aman untuk menunjang aktivitas atlet, tetapi juga meningkatkan waktu adaptasi dalam latihan. Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2003). Kebutuhan Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral di dalam tubuh tidak mengandung energi. Namun, vitamin sangat penting terutama untuk mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi dan sebagai koenzim. Mineral dibutuhkan terutama untuk mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi dan sebagai kofaktor (DBGM 1997). Vitamin dan mineral memainkan
peranan penting dalam mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi, sebagai koenzim dan kofaktor. Moeloek (1995) menyatakan bahwa olahraga tidak meningkatkan
kebutuhan
vitamin
karena
olahraga
tidak
membakar vitamin. Apabila menu yang dikonsumsi seimbang, maka tidak diperlukan suplementasi. Diet yang sesuai akan didapatkan asupan vitamin yang memadai. Hasil penelitian Prof. Ludwig
Prokop
dari
Austria
yang
melakukan
penelitian
mengenai manfaat pemberian vitamin bagi olahragawan, dosis saat latihan, serta dosis untuk suatu pertandingan. Hasilnya adalah ada hal yang harus diperhatikan mengenai penggunaan vitamin yaitu hubungan antara jumlah vitamin dengan kapasitas penampilan fisik pemakainya. Jika seseorang mengalami kekurangan vitamin, maka kapasitas penampilan
fisiknya
akan
terganggu.
Maka
itulah
perlu
ditambahkan asupan vitamin (Sumosardjono 1986). E. Konsumsi Makanan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Pengaturan makanan yang tepat bagi seorang olahragawan sesuai dengan cabang olahraganya akan dapat menunjang performa. Makanan yang baik harus seimbang dan sesuai, yaitu tidak hanya disesuaikan dengan kebutuhan energi dalam bentuk kalori saja, tetapi juga harus diperhatikan komposisi makanannya. Komposisi makanan yang baik bagi
seorang olahragawan terdiri dari 50-55% karbohidrat, 10-20% protein, serta 30-35% lemak (Sumosardjuno 1990 diacu dalam Helinda 2000) Sanjur (1982) menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Ketersediaan pangan tidak selalu mencerminkan konsumsi makanan yang sebenarnya, karena konsumsi pangan yang sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, tetapi juga oleh harga makanan dan faktor sosial budaya. Secara umum ada dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu kalori dan konsumsi protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan protein dipenuhi dari konsumsi sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur,
dan
susu
(Hardinsyah
&
Martianto
1988).
Riyadi
(1996)
mengungkapkan bahwa pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang terpenting adalah ketersediaaan pangan dan pola sosial budaya. Ketersediaan pangan tekait jenis dan jumlah pangan di dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut selama jangka waktu lama. Bila pangan tersedia secara berkelanjutan, maka dapat membentuk kebiasaan makan. Pola kebudayaan juga mempengaruhi orang dalam memilih pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara pengolahannya, penyalurannya, penyiapannya dan penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang. Pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, faktor sosial serta alasan kesehatan. Faktor- faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar atau kenyang,
selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, agama, status sosial ekonomi dan pendidikan (Riyadi 1996). Suharjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberikan gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi. Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umunya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intake konsumsi zat gizi (Gibson 1990). Namun, metode frekuensi pangan juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif. Hal ini tergantung dari tujuan penelitian, apakan hanya ingin menggali frekuensi penggunaan pangan saja atau juga dengan konsumsi zat gizinya. Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu selama kurun waktu spesifik dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuisioner yang digunakan mempunyai dua komponen utama, yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan. Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan
Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah- Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Terdapat empat metode dalam survei konsumsi pangan secara kuantitatif yaitu metode inventaris (inventory method ), metode pendaftaran ( food list method ), metode mengingat kembali (recall 24 jam), metode penimbangan (weighing method ), perkiraan makanan (estimated food records), metode food account dan pencatatan (household food records) (Supariasa et al . 2001). Untuk menghitung kecukupan gizi seseorang dapat mengacu pada Daftar Kecukupan Gizi (DKG), yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan zat gizi rata-rata per orang perhari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan ratarata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi seseorang (Hardinsyah & Briawan 1994). Tingkat konsumsi adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (1) defisit tingkat berat (<70% AKG); (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (4) normal (90-119% AKG); dan (5) kelebihan
(Š120% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77% AKG) dan (2) cu kup (Š77% AKG).
F. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2003). Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan makanan. Menurut Riyadi (1995), status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi. Selain itu, status gizi juga merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Metode yang digunakan untuk menilai status gizi antara lain konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Ukuran fisik seseorang sangat berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu, antropometri digunakan sebagai indeks yang baik dan dapat digunakan sebagai penentuan status gizi untuk negara berkembang. Hal ini dikarenakan
cara
perhitungan
secara
antropometri
lebih
murah
dibandingkan cara lain. Secara umum, antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Apabila ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pada orang dewasa status gizi ditentukan dengan menggunakan indeks massa tubuh atau body mass index (Riyadi 1995). Namun, menurut Damayanti (2000), indeks massa tubuh (IMT) yang dibuat untuk populasi umum tidak cocok digunakan pada atlet. Olahragawan dengan lean body mass yang menigkat mungkin mempunyai kadar lemak yang rendah, namun IMTnya melebihi batas yang dianjurkan. Status gizi sangat mempengaruhi
prestasi
olahraga.
Menurut
Moeloek
(1995)
untuk
mencapai prestasi olahraga yang baik, banyak faktor yang berperan, anrata lain ukuran dan tipe tubuh, kapasitas fungsional, status gizi, psikologi, latihan, taktik, serta strategi. Status gizi yang baik sangat diperlukan untuk memperoleh kondisi fisik yang prima.
G. Pengetahuan Gizi 1. Pengertian Pengetahuan Gizi
Menurut Notoatmodjo (2003) Pengetahuan adalah hasil dari tau, hal itu terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Namun sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: a. Tahu Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bukan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu adalah tingkatan pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami Memahami diartikan sebagai suatu kemajuan menjelaskan secara benar tentang objek yang telah diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. c. Aplikasi Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pasa situasi atau konsidi riil. d. Analisis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen. Tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f.
Evaluasi Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk meletakkan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Menurut Notoatmodjo (2007),
belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menghubungkan tanggapan-tanggapan dengan mengulang-ulang. Tanggapan-tanggapan tersebut diperoleh melalui pemberian stimulus atau rangsanganrangsangan. Makin banyak dan sering diberikan stimulus maka memperkaya tanggapan pada subjek belajar. Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, seperti sumber zat gizi yang terdapat pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi dan cara mengolah makanan yang baik. Pengetahuan gizi juga bisa diartikan sebagai pemahaman seseorang tentang gizi seimbang yang diperlukan oleh tubuh sehingga dapat menjaga kesehatan secara optimal. Seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik diharapkan memiliki asupan gizi yang baik pula (Notoatmodjo, 2005 dalam Wiqoyatussakinah, 2016). 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Soekidho Notoadmodjo (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah: a. Umur Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. b. Pendidikan Pendidikan
merupakan
suatu
usaha
untuk
mengembangkan
keprobadian dan kemampuan didalam maupun diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun media
massa.
Pengetahuan
sangat
erat
hubungannya
dengan
pendidikan dimana diharapkan seseorang pendidikan tinggi maka orang tersebut semakin luas pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa
sesorang
berpendidikan
rendah
tidak
berarti
mutlak
berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal akan tetapi dapat diperoleh dari pendidilan nonformal. c. Sumber Informasi Sumber informasi adalah penyedia sekumpulan informasi yang telag dikelompokkan
berdasarkan
masing-masing
kategori.
Sumber
informasi bisa berupa perpustakaan, majalah, surat kabar dan internet. Menurut Riyadi (1996) Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang diperoleh seseorang mengenai kebutuhan zat gizi pada tubuh, kemampuan seseoranga dalam memilih bahan makanan. Oleh karena itu, pengetahuan gizi sangat erat hubungannya denga baik buruknya kualitas gizi dari makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi dapay diperoleh dari pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal seperti pendidikan di sekolah sedangkan pendidikan non formal seperti membaca koran atau majalah, mendengarkan radio maupun menonton televisi yang memuat berita mengenai gizi. Menurut Notoatmodjo (2008) bahwa semakin banyak informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan, menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Cara pengukuran sumber informasi gizi dapat dilakukan dengan cara wawancara langsung atau dengan kuesioner yang menanyakan dari mana sumber materi atau sumber pengetahuan yang telah diperoleh responden. d. Pemahaman Menurut Benjamin S. Bloom (Anas Sudijono, 2009:50) mengatakan bahwa pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu telah diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengerti tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
seseorang dapat dikatakan memahami sesuatu apabila seseorang itu dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal yang telah dipelajari dengan menggunakan bahasanya sendiri. 3. Cara Pengukuran
Pengetahuan tingkat pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan wawancara langsung atau dengan angket yang menanyakan materi tentang gizi yang ingin diukur dari responden atau subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan responden
yang ingin
diukur
atau
diketahui,
dapat
disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dari responden. Kategori pengetahuan gizi menurut Ali Khomsan (2000) dapat dibagi menjadi tiga kelompok, sebagai berikut:
Tabel 1. Kategori Pengetahuan Gizi Kategori pengetahuan gizi
Skor
Baik
> 80%
Sedang
60 – 80%
Rendah
< 60%
Sumber: Ali Khomsan (2000)
Tingkat pengetahuan gizi yang tinggi dapat membentuk sikap positif terhadap masalah gizi. Pada akhirnya pengetahuan akan mendorong untuk menyediakan makanan sehari-hari dalam jumlah dan kualitas gizi yang sesuai dengan kebutuhan.
H. Estimated Food Records
I. Aktivitas Fisik
Kegiatan
fisik
membutuhkan
energi
lebih
banyak
dari
pada
beristirahat. Oleh karena itu, penting sekali untuk memikirkan derajat kegiatan fisik pada saat penentuan akan besaran energi. Banyak penelitian mengenai nilai energi dari kegiatan fisik tengah dilakukan menggunakan kalorimeter tak langsung dan nilai rata-rata hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan. Metode penentuan derajat kegiatan fisik dihitung menggunakan metode faktorial. Dengan menggunakan cara ini, orang merinci jenis serta lamanya kegiatan yang telah dilakukan selama 24 jam untuk kemudian diisikan kedalam tabel, kemudian dikalikan dengan koefisien tiap jenis kegiatan. Metode yang lainnya adalah dengan menggunakan metode yang diajukan oleh WHO/FAO/UNU dan hasil penelitian kantor menteri KLH dan Puslitbang Gizi Bogor tahun 1986. Metode WHO/FAO/UNU membagi kegiatan menjadi 4 derajat, yaitu: kerja ringan (20% BMR), sedang (30% BMR), berat (40% BMR), dan sangat berat (50% BMR). Sementara hasil penelitian KLH dan Puslitbang Gizi, berdasarkan penelitian badan tersebut pada pekerja diberbagai perusahaan, juga membagi kegiatan fisik menjadi 4, yaitu kerja staf, kerja ringan, kerja sedang, dan kerja berat (Arisman 2002).
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah obsevasional deskriptif yaitu penelitian yang mencoba menggali dan menggambarkan bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo, 2010). Variabel pada penelitian ini berupa tingkat pengetahuan gizi, pola konsumsi dan tingkat kecukupan energi. B.
Desain/Rancangan Penelitian
Desain/rancangan penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional study dengan metode wawancara terstruktur serta dibantu dengan sejumlah kuesioner. C.
Tempat dan Waktu Penelitian 1.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sekitaran lokasi Gunung Halau-Halau, Pegunungan Meratus, Kampung Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. 2.
Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada Februari 2019 – Maret 2019. D.
Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi
Populasi pada penelitian inia adalah para pendaki Gunung Halau-Halau, Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. 2. Sampel
Sampel penelitian ini diambil secara purposive dengan persyaratan sebagai berikut: usia antara 15-35 tahun, mendaki Gunung Halau-Halau, perjalanan pendakian melalui jalur Desa Batu Kambar menuju Kampung Kiyu lalu melewati camp Sungai Karuh (shalter 1) dan Penyaungan (shalter 2), berjenis kelamin laki-laki, serta bersedia diwawancarai.
E. Variabel penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian
2. Definisi Operasional
F. Metode Pengumpulan Data 1. Sumber Data
Data primer meliputi karakteristik responden (tingkat pendidikan, usia, pekerjaan, pengalaman mendaki), antropometri, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi selama pendakian, serta pengetahuan pendaki tentang zat gizi. Data sekunder berupa profil mengenai Gunung Halau-Halau yang didapatkan dari internet dan Pemda setempat. Data primer yang telah didapatkan kemudian di analisis secara statistik. 2. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner serta alat antropometri. 3. Cara Pengumpulan Data
a. Data Primer 1. Data mengenai karakteristik responden (tingkat pendidikan, usia, pekerjaan, pengalaman mendaki) yang diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. 2. Data mengenai antropometri diperoleh dengan cara pengukuran langsung BB dan TB responden menggunakan timbangan berat badan dan microtoise. 3. Data jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi selama pendakian diperoleh dengan cara wawancara kepada responden dengan teknik estimated food records (dengan bantuan formulir). Sebelum responden memulai aktifitas pendakian gunung, bahan makanan yang dibawa oleh responden sebaiknya didata terlebih
dahulu untuk meningkatkan ketelitian dalam estimasi food records yang akan dilakukan oleh peneliti setelah responden selesai melakukan aktifitas pendakian. 4. Data pengetahuan pendaki tentang zat gizi diperoleh dengan cara wawancara kepada responden. b. Data Sekunder Cara pengumpulan data sekundet adalah meminta data profil mengenai Gunung Halau-Halau yang didapatkan dari internet serta melihat data yang ada pada Pemda setempat.
G. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data dimulai dari pengkodean, pemasukan data yang diperoleh melalui kuesioner, pengecekan ulang data dan selanjutnya dilakukan analisis. 2. Analisis Data
Tahapan analisis data diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell dan Statistical Program for Social Sciences (SPSS) versi 13.0.
H. Jadwal Penelitian Rencana Anggaran 1. Jadwal Penelitian Mei No 1
Kegiatan
M5
M1
X
X
M2
M3
M4
X
X
X
M1
M2
X
X
M3
M4
X
X
X
Persetujuan Judul
X
Penyusunan Proposal
X
Perbaikan Proposal
X
Pelaksanaan Pengumpulan Data Analisa Data
3
M4
Juli
Persiapan Pengajuan Judul
2
M3
Juni
Penyusunan Lap. Akhir
X
X