Ulumul Quran
Kata Pengantar
Syukur kehadirat Allah SWT senantiasa penyusun panjatkan, karena berkat rahmat dan hidayahNya jualah penyusunan buku ini dapat selesai dengan baik. Dan semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Penyusunan buku ini didasarkan pada kebutuhan mahasiswa untuk memperkaya wawasan terhadap masalah ilmu-ilmu Al Qur’ Qur’an. Secara substansial, penyusunan buku ini merupakan kumpulan kertas kerja yang disusun disusun berdasar hasil pemikiran dan pengalaman pengalaman sebagai pengampu pengampu mata kuliah Ulumul Qur’ Qur’an 1 dan 2. Setelah mengalami beberapa evaluasi dan penyempurnaan, penyusun merasa perlu menerbitkan buku ini sebagai bentuk rasa tanggung jawab moral dan intelektual sebagai akademisi yang terlibat langsung dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi Agama Islam, dan turut memperkaya khazanah keilmuan yang berkembang dewasa ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penyusun sampaikan kepada semua pihak yang turut andil dalam proses penyusunan Buku ini, terutama pihak penerbit yang bersedia mempublikasikan. Bagi mereka semua, penyusun mohonkan doa kepada Ilahi Robbi agar mendapat kebaikan sebanyak yang mereka berikan kepada penyusun. Akhirnya, semoga buku ini memberikan manfaat bagi kita semua, dan kepada seluruh pembaca diucapkan jazakukmullahu khairon katsira kats ira. amin.
Penyusun
1
Ulumul Quran
Daftar Isi
Halaman judul
i
Kata pengantar
ii
Daftar isi
iii
Bab 1. Ululmul Qur’an Dan Sejarahnya
3
Bab 2. Al-Qur’an Al-Qur’an Dan Aspek-Aspeknya Aspek -Aspeknya
8
Bab 3. Wahyu: Cara Diturunkan Dan Penyampaiannya
41
Bab 4. Sejarah Nuzulul Qur’an
45
Bab 5. Ilmu Asababun Nuzul
54
Bab 6. Ilmu Nasikh Dan Mansukh
59
Bab 7. Ilmu Makki Dan Madani
65
Bab 8. Ilmu Fawatihus Suwar
74
Bab 9. Ilmu Muhkam Dan Mutasyabih
80
Bab 10. Ilmu Munasabah
88
Bab 11. Ilmu I’jazil Qur’an
95
Bab 12. Ilmu Amtsalil Qur’an Qur’an
104
Bab 13. Ilmu Qashashul Quran
113
Bab 14. Ilmu Aqsamul Qur’an Qur’an
121
Bab 15. Ilmu Qira’ah
127
Bab 16. Ilmu Tafsiril Qur’an
135
Daftar pustaka
157
2
Ulumul Quran
BAB 1 ULULMUL QUR’AN DAN QUR’AN DAN SEJARAHNYA A. Pengertian Ulumul Qur’an dan Qur’an dan Cakupan Bahasannya Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari kata “ulum” dan “al Qur’an”. Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ‘ilm adalah ‘ilm adalah bentuk masdar dari dari kata ‘alima, ya’lamu, ya’lamu, yang maknanya sama dengan kata al fahmu, al ma’rifah dan ma’rifah dan al 1
yaqin.
Kata Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan merupakan bentuk mashdar dari fi’il madli qa-ra-a yang bermakna tala (membaca) diambil orang-orang Arab dari bahasa Aramia dan digunakannya dalam percakapan sehari-hari. Kata 2
Qur’an bersinonim dengan kata qira’ah yang qira’ah yang berarti al-maqru’ (bacaan).
Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an memberikan pengertian bahwa Ulumul Qur’an adalah sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al- Qur’an,, baik dari segi keberadaanya sebagai AlQur’an maupun Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung didalamnya.
3
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
1. Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Itmamu al-Dirayah
. Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya maknamaknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukumhukumnya, dan sebagainya. 4 2. Imam Al-Zarqany dalam kitab al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an Al-Qur’an
. Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al- Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya , penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya. 5 3. Muhammad ‘Ali al-Shabuni al -Shabuni dalam kitab At Tibyan fi Ulumil Qur’an
. Ulumul Qur’an’ ialah rangkaian pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang agung lagi kekal, baik dari segi (proses) penurunan dan pengumpulan serta tertib urutan-urutan dan pembukuannya, dari sisi pengetahuan tentang asbabun nuzul, makiyyah-madaniyyah, nasikh-
1
Azra, Azyumardi, Ed. 2008. Sejarah dan ‘Ulum al -Qur’an, Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus : 39 Ash-Shalih. Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al- Qur’an, Qur’an , terjemah Nur Rakhim, dkk: 6 3 Kemunculan istilah ulum al-Qur’an al-Qur’an ini pertama kali ada pada Abad V Hijriyah oleh al-Hufi al-Hufi yang wafat 430 Hijriyah. Sedangkan menurut Subhi Shalih istilah ulum al-Qur’an al- Qur’an sudah ada semenjak abad III H ketika Ibnu al-Marzuban al-Marzuban menulis kitab yang berjudul al-Hawi fî ‘Ulûm al -Qur’ân. Qur’ân. Abu Syahbah yang mengatakan bahwa istilah Ulum al-Qur’an al- Qur’an muncul pada tahun 425 pada tulisan kitab al-Mabâni fî yang hasil cetakannya mencapai 250 halaman yang menyajikan pembahasan tentang makki-madani, nuzul al- Qur’an, Qur’an, Nazhm al-Ma’âni yang kodifikasi al-Qur’an, al-Qur’an, penulisan dan mushaf, jumlah surat dan ayat, tafsir, ta’wil, muhkam mutasyabih, turunnya alal-Qur’an dengan tujuh huruf dan pembahasan-pembahasan lainnya. Ia juga mengkritik Kitab al-Burhân fî ‘Ulûm al -Qur’ân yang Qur’ân yang dinyatakan al-Zarqani sebagai kitab Ulum al-Qur’an al-Qur’an pertama merupakan embel-embel embel-embel penambahan kata Ulum al-Qur’an al-Qur’an pada kitab al-Burhân fî ‘Ulûm al -Qur’ân , yang aslinya bernama al-fî Tafsîr al-Qur’ân. Lihat Rosihan Anwar, Ulum al-Qur’an, Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2008, cet-1 : 13. 4 As-Sayuti, Itmam Al-Diraya. Mesir: Isa Al-Bab Al-Halabi : 47 5 Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan. jilid I, Beirut: dar Al-fikr: Al-fikr: 79. 2
3
Ulumul Quran
mansukhnya, muhkam mutasyabihnya, dan berbagai pembahasan lain yang berkenaan dengan Al 6 Qur’an. 4. Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an
Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan Al- Qur’an , dari sisi informasi tentang asbab an-nuzulnya, kodifikasi dan tertib penulisan Al- Qur’an , ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan hal-hal yang berkaitan dengan Al- Qur’an. 7 Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas Al-Qur’an seperti ‘Ilmu Tafsir Al-Qur’an, Ilmu Qiraat, Ilmu Rasm Al-Qur’an, ilmu I’jâz Al-Qur’an, ilmu Asbâb an-Nuzûl, ilmu Nâsikh wa al-Mansûkh, ilmu I’râb Al-Qur’an, ilmu Ghârib Al-Qur’an, Ulûm ad-Din, ilmu Lughah dan lainlain. Ilmu-ilmu tersebut merupakan sarana dan cara untuk memahami Al-Qur’an. Ulum Al-Qur’an ini sering juga disebut ushul al-Tafsir (dasar-dasar tafsir ), karena membahas beberapa masalah yang harus 8
dikuasai seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Al-Qur’an. Secara garis besar Ilmu Al-Qur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu : 1. Ilmu Riwayah
Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macammacam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya. 2. Ilmu Dirayah Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
9
Diantara cabang-cabang Ulum Al-Qur’an, para ulama sepakat menyatakan terdapat cabang-cabang terpenting sebagai berikut: 1. Ilmu asbâb al-Nuzûl ( ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an) 2. Ilmu I’jâz al-Qur’ân ( ilmu tentang kemukjizatan Al-Qur’an) 3. Ilmu nâsikh wa al-Mansûkh ( Ilmu tentang ayat yang menghapus hukum ayat lain dan ayat yang dihapuskan hukumnya oleh ayat lain). 4. Ilmu ahkâm al-Qur’ân ( ilmu tentang hukum-hukum Al-Qur’an). 5. Ilmu Fadhâil Al-Qur’an ( Ilmu tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur’an). 6. Ilmu Ta’wil Al-Qur’an ( ilmu tentang takwil Al-Qur’an ) 7. Ilmu Muhkâm wa al-Mutasyâbih ( Ilmu tentang ayat-ayat yang jelas dan yang samar). 8. Târikh Al-Qur’an wa al-Tadwînih wa naskhih wa kuttâbih wa rasih (sejarah Al-Qur’an, pembukuannya, salinannya, penulis-penulisnya dan bentuk tulisannya). 9. Ilmu I`râbal-Qur’ân (ilmu tentang tatabahasa Al-Q ur’an). 10. Ilmu al-Qirâ’at ( ilmu tentang bacaan-bacaan Al-Qur’an). 10
11. Ilmu Munâsabah ( ilmu tentang sistematika Al-Qur’an).
Menurut Syeikh Manna'ul Qatthan dalam Mabahits fii Ulumul Qur’an , objek pembahasan Ulumul Qur’an dibagi menjadi tiga bagian besar :
As-Shobuny, Muhammad Aly. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Al-Mazro’atu Binayatul Yaman: 8 Al-Qattan, Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulum Al- Qur’an , Beirut: Al-Syarikah Al-Muttahidah Li Al-Tauzi,: 15-16. 8 Ibid :16. 9 As-Shiddieqy, TM Hasbi. 2010. Ilmu-Ilmu Al- Qur’an, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra: 102 10 Azra, Azyumardi. Op Cit : 40-41 6 7
4
Ulumul Quran 1. Sejarah
dan perkembangan Ulumul Qur’an, meliputi: sejarah rintisan ulumul quran di masa
Rasulullah SAW, Sahabat, Tabi'in, dan perkembangan selanjutnya lengkap dengan nama-nama ulama dan karangannya di bidang ulumul quran di setiap zaman dan tempat. 2. Pengetahuan tentang Al-Quran, meliputi : Makna Quran, Karakteristik al-Quran, "nama-nama al-
Quran, Wahyu, Turunnya Al-Quran, ayat Mekkah dan Madinah, asbabun nuzul, dan sebagainya. 3. Metodologi Penafsiran Al-Quran, meliputi : pengertian tafsir dan takwil, syarat-syarat mufassir dan
adab-adabnya, sejarah dan perkembangan ilmu tafsir, kaidah-kaidah dalam penafsiran al-Quran, muhkam dan mutasyabih, Aam dan Khas, nasikh wa Mansukh, dan sebagainya.
11
B. Sejarah Perkembangan dan penulisan Ulumul Qur’an Pertumbuhan Ulumul Qur’an sendiri dimulai sejak masa Rasulullah. Ketika itu Rasulullah berperan sebagai figur sentral dalam rujukan setiap permasalahan. Hanya saja Ulumul Qur’an pada saat itu belum ditampilkan secara definitif. Jika para sahabat menemukan kesukaran dalam memahami Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah. Maka pada zaman Rasulullah dan Sahabat, tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis buku tentang ilmu Al-Qur’an. Terlebih mayoritas sahabat Nabi terdiri dari orang-orang yang buta huruf, alat-alat tulis pun tak mereka peroleh dengan mudah. Selain itu Rasulullah sendiri melarang para sahabat menulis sesuatu yang bukan Al-Qur’an. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudri, bahwa rasulullah S.A.W bersabda : “Janganlah kamu tulis dari
aku; barang siapa yang menuliskan dari aku selain Qur’an , hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka.” 12. Pada masa Rasulullah sampai kepada masa kekhalifahan Abu Bakar ra dan ‘Umar ra, ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan dari mulut ke 13
mulut (talqin dan musyafahah).
Ketika wilayah islam bertambah luas terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Pada masa pemerintahan Usman terjadi perselisihan di kalangan umat Islam mengenai bacaan Al-Qur’an, maka khalifah Usman mengambil tindakan penyeragaman tulisan AlQur’an demi untuk menjaga keseragaman Al-Qur’an disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah AlQur’an yang disebut mushaf imam. Dan tindakan Khalifah Usman tersebut merupakan perintisan bagi lahirnya suatu ilmu yang kemudian dinamai “Ilmu Rasmil Qur’an” atau “Ilmu Rasmi Usman”.
14
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib makin bertambah banyak bangsa-bangsa non Arab yang masuk Islam dan mereka salah membaca Al-Qur’an, sebab mereka tidak mengerti i’rabnya (kedudukan kata-kata dalam suatu kalimat), padahal pada waktu itu tulisan Al-Qur’an belum ada harakat-harakatnya, huruf-hurufnya belum ada titik-titiknya dan tanda-tanda lainnya yang memudahkan, maka Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Abul Aswad Al-Duali (w. 691 H) untuk menyusun kaidahkaidah bahasa Arab, demi untuk menjaga keselamatan bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an. Maka tindakan khalifah Ali bin Abi Thalib yang bijaksana ini dipandang sebagai perintis bagi lahirnya Ilmu Nahwu dan I’rabil Qur’an. Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in. Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang
Syamsuddin, Hatta. 2008. Modul Ulum al- Qur’an, Surakarta, Pesantren Ar Royan: 6. Larangan penulisan al-Hadits ini berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Qur’an dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Qur’an dengan argumen bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang 13 As-Shiddieqy, TM Hasbi. Op Cit : 4 14 Ilmu yang mempelajari tentang penulisan Al-Qur’an 11 12
5
Ulumul Quran khalifah, kemudian Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al- Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’b. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samara dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguhsungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa’id bin jubair, Mujahid, ‘Ikrimah bekas sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ataa’ bin Abi Rabaah. Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Ka’b di medinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi. Dari murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi. Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan abad II H, maka para Ulama memberikan prioritas atas penyusunan Tafsir, sebab Tafsir adalah Ummul ‘Ulum Al-Qur’aniyah (induk ilmu-ilmu Al-Qur’an). Kajian Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum al Qur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). Ibnu Jarir Al-Thabari
15
(wafat tahun 310 H), menyusun Tafsir Al-
Thabari dan diakui sebagai kitab tafsir yang paling besar dan paling tinggi nilainya, karena Ibnu Jarir AlThabari adalah Mufasir yang pertama-tama mengemukakan pendapat-pendapat yang berbeda-beda dan menunjukkan salah satu pendapat yang dipilihnya, disertai keterangan riwayat-riwayat (sumber-sumber) yang benar dan tersusun rapi, dilengkapi penjelasan-penjelasan tentang ‘irabnya dan hukum-hukum AlQur’an yang dapat diistimbatkan. Para ulama secara mandiri menyusun pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Al-Qur’an diantaranya; pada abad ke-3 Hijri ulama yang tersohor adalah Ali bin al-Madani (w. 234 H), guru Imam Bukhari, menyusun karya mengenai asbaabun nuzuul , Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H), menulis tentang Nasikh-Mansukh dan Qira’aat , dan Ibn Qutaibah (w. 276 H), menyusun tentang problematika Qur’an / Musykilatul Qur’an. Pada abad ke-4 hijri ulama yang tersohor adalah Muhammad bin khalaf bin Marzaban (w.309 H), menyusun al-Haawii faa ‘Ulumil Qur’an, Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 351H), juga menulis tentang ilmu-ilmu Qur’an, Abu Bakar as-Sijistani (w. 330 H), menyusun Ghariibil Qur’an, dan Muhammad bin Ali al-Adfawi (w. 388 H), menyusun al-Istignaa’fi ‘Uluumil Qur’an. Selanjutnya kegiatan penyusunan ilmu ilmu Qur’an terus berlangsung diantara ulama yang tersohor adalah Abu Bakar al-Baqalani (w. 403 H), menyusun I’jazul Qur’an, Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Hufi (wafat 430 H), menulis mengenai I’raabul Qur’an, Al-Mawardi (w. 450 H), menyusun tentang tamsil-tamsil dalam Qur’an ( Amsaalul Qur’an), Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam (w. 660 H), menyusun tentang majaz dalam Qur’an, Alamuddin As-Sakhawi (wafat 634H), menulis mengenai ilmu Qira’at dan Aqsamul Qur’an. Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Qur’an pertama kali menurut Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Aziim az-Zarqaani adalah Ali bin Ibrahim bin Sa’id (w. 330 H) dalam karya al-Burhaan fi ‘uluumil Qur’an yang terdiri atas 30 jilid.
16
Dalam perkembangan
berikutnya penyusunan karya tentang ilmu-ilmu Qur’an dilanjutkan Ibnul jauzi (w. 597 H), dengan karya Funuunul Afnaan fi ‘Aja’ibi ‘Uluumil Qur’an, Badruddin az-Zarkasyi (w.t 794 H), menulis kitab al-Burhaan fi ‘Uluumil Qur’an, Jalaluddin al-Balqini (w. 824 H), memberikan tambahan atas kitab al-Burhan didalam
15 Ibnu Jarir al-Thobari, merupakan ahli tafsir yang mengarang Kitab Jâmi’ al -Bayân fî Tafsîr al- Qur’ân, yang dipandang sebagai kitab tafsir terbaik pada saat itu karena pertama kali menyajikan tafsir dengan mengemukakan berbagai pendapat yanfg disertai proses tarjih yang mencampuradukan antara tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi al-ra’yi 16 Kitab al-Burhan fi ‘Ulum al -Qur’an ini telah diterbitkan oleh Ustaz Muhammad Abu Fadhil Ibrahim sebanyak 4 Jilid yang memuat 47 macam persoalan ulum al-Qur’an. Manna Al-Qaththan, Op.cit : 14.
6
Ulumul Quran kitabnya Mawaqi’ul ‘Uluum min Mawaaqi’in Nujuum.
17
Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H), menyusun kitab
18
al-Itqaan fi Uluumil Qur’an.
Kepustakaan ilmu-ilmu Qur’an pada masa kebangkitan modern ulama yang membahas kandungan Qur’an dengan metode baru diantaranya kitab I’jaazul Qur’an karya Mustafa Sadiq ar-Rafi’i, Kitab at-
Taswiirul Fanni fil Qur’an dan Masyaahidul Qiyaamah fil Qur’an karya Sayid Qutb, kitab Tarjamatul Qur’an karya Muhammad Mustafa al-Maragi, kitab Mas’alatu Tarjamatil Qur’an, karya Mustafa Sabri. 19
kitab an-Naba’ul ‘Aziim karya Dr. Muhammad ‘Abdullah Daraz, kitab Mukaddimah tafsir Mahaasinut Ta’wil karya Jamaluddin al-Qasimi, kitab at-Tibyaan fi ‘uluumil Qur’an karya Syaikh Tahir al-Jaza’iri, kitab Manhajul Furqaan fi ‘Uluumil Qur’an, karya Syaikh Muhammad ‘Ali Salamah, kitab Manaahilul ‘irfan fi ‘Uluumil Qur’an karya Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani, kitab Muzakkiraat Uluumil Qur’an karya Syaikh Ahmad ‘Ali, dan kitab Mabaahisu fi ‘Uluumil Qur’an karya Dr. Subhi as-Salih.
C. Tujuan dan Fungsi Mempelajari Ulumul Qur’an 1. Tujuan mempelajari Ulumul Qur’an a. Dapat memahami wahyu Allah sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an b. Dapat mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya. c. Dapat mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an d. Dapat mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an
2. Fungsi mempelajari Ulumul Qur’an a. Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayatayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. b. Dengan menguasai Ulumul Qur’an seseorang dapat memahami kandungan Al-Qur’an c. Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an. d. Semakin tinggi dan mendalam Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran. e. Dapat mencegah adanya kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Wallahu a’lam
Ash-Shalih. Subhi, Op Cit : 158-160 Kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an terdiri dari 2 Juz berisi 80 macam ilmu-ilmu al-Qur’an secara sistematis dan padat isinya dan belum ada yang menandingi mutunya yang dianggap sebagai kitab standar dalam mata pelajaran Ulum al-Qur’an dan al-Suyuthi ini dianggap sebagi puncaknya, karena setelahnya berhenti kegiatan ulama dalan pengembangan ilmu-ilmu al-Qur’an sampai akhir abad XIII Hijriyah. Lihat Rosihon Anwar. Op.Cit : 23 19 Ash-Shalih, Subhi. seorang guru besar Islamic Studies dan Fiqhu Lughah pada Fakultas Adab Universitas Libanon yang menyusun kitab Mabˆahis fî ‘Ulûm al -Qurân. Kitab ini selain membahas ulum al-Quran juga menanggapi secara ilmiah pendapat-pendapat orientalis yang dipandang salah mengenai berbagai masalah yang berhubungan dengan al-Quran. 17 18
7
Ulumul Quran
BAB 2 AL-QUR’AN DAN ASPEK-ASPEKNYA A. Pengertian Al-Qur’an 1. Pengertian Al-Qur’an Secara Etimologi Menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam kitabnya Al-Madkhal li Dirasah Al20
Qur’an Al Karim, kata Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata kerja qara’a (
) yang berarti
21
bacaan. Pendapat ini diperkuat oleh Ibn Atsir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Mandzhur 22 dalam Lisanu Al Arab bahwa lafadz Qur’an adalah bentuk mashdar yang berarti bacaan. Penambahan huruf alif dan lam atau al, pada awal kata menunjuk pada kekhusususan tentang sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan yang diyakini sebagai wahyu Allah SWT. Sedang penambahan huruf alif dan nun pada akhir kata menunjuk pada makna suatu bacaan yang paling sempurna. Menurut Imam Syafi’i (204 H) kata Al-Qur’an adalah ism alam/ bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan untuk kitab suci umat Islam.
23
Menurut al Zujaj (311 H) kata Qur’an adalah kata sifat dari al qar’u yang bermakna al jam’u (kumpulan). Dinamakan demikian karena dalam Al-Qur’an terkumpul di dalamnya ayat dan surat-surat.
Sebagimana firman Allah apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya’ artinya pengumpulannya dan bacaannya . Sebagaimana firman Allah QS Al Qiyamah [75] : 17-18
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. 2. Pengertian Al-Qur’an secara Terminologi Menurut Muhammad Ali Al Shabuni dalam kitabnya Al Tibyan Fi ‘Ulum Al Qur’an, menyatakan; , ,
,
, ,
, .
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang dimu’jizatkan, diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, melalui perantara yang terpercaya Malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf, disampaikan kepada kita dengan jalur mutawatir, bernilai ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah Al Naas. 24 Menurut Subhi As Shalih dalam kitabnya Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an bahwa pengertian AlQur’an adalah kalam Allah yang dimu’jizatkan, diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, melalui perantara yang terpercaya Malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf, disampaikan kepada kita dengan jalur mutawatir , bernilai ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah Al Naas.
25
Al Madkhal li Dirasah al Qur’an al Karim adalah sebuah buku yang ditulis oleh Muhammad bin Muhammad bin Abu syahbah pada tahun 1992/1412 H di Beirut. Lihat: Al Munawar, Said Agil Husin. 2002. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press: 4-5 . 21 Pendapat seperti ini didukung dan dianut al Lihyan (215 H) dan diperkuat oleh Subhi Al Salih. Lihat Izzan Ahmad. 2009. Ulumul Qur’an Telaah Tektstualitas dan Kontekstualitas Al Qur’an, Bandung: Tafakur : 27 22 Manzhur, Ibnu. 1994. Lisanu al Arabi, jilid I, Beirut: Darul Fikr: 129 23 Bagi Imam Al Syafi’i, bahwa nama al Qur’an sama dengan nama al Injil dan al Taurah yang terambil isim alam. Lihat: Sholih, As Shubhi. 1988. Mabahits Fi Ulumi Al Qur’an , Beirut: Darul Ilmi Lilmalayin : 18. Lihat juga: Al Shabuni, Muhammad Ali. 2003. Al Tibyan Fi Ulum AL Qur’an, Mekah: Dar Al Kutub Al Islamiyah : 12. Lihat juga: Nata, Abuddin. 1995. Al Qur’an dan Hadits Dirasah Islamiyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada : 51-59. 24 Al Shabuni, Muhammad Ali. Op Cit : 8. Lihat juga: al Qattan, Manna’ Khalil. 1996. Studi Ilmu- Ilmu Qur’an, Bogor: Litera Antar Nusa: 17 25 Ash Shalih, Shubhi. Op Cit: 21. Lihat: Anwar, Rosihon. 2009. Op Cit : 31-34 20
8
Ulumul Quran Menurut Umar Shihab Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.
26
Menurut Said Agil Al Munawwar, Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan 27
surat an-Naas.
Dari keragaman definisi di atas, pengertian Al-Qur’an mengandung beberapa aspek: a. Kalam Allah Kata “kalam” adalah kata umum yang biasa digunakan oleh setiap orang, dan penyandaran kata kalam kepada Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang murni berisi kalam-kalam Allah bukan kalam (ucapan) manusia, nabi, jin, maupun malaikat. Firman Allah QS. An Najm [53]: 3-4
3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an dengan lafalnya adalah firman Allah SWT. Allah menyampaikan firman-firmanNya melalui malaikat Jibril yang datang membawa kalamullah kepada Rasulullah dalam waktu-waktu yang berbeda, kemudian Rasul membacakannya kepada umatnya dan memberitahukan makna-maknanya kepada mereka, serta mengajak mereka untuk menerima aqidah, sosial, hukum-hukum dan tugas-tugas perorangan yang terungkap dalam Al Qur’an. b. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW Dalam surat Asy-syu’ara ayat 192-195 dijelaskan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan diturunkan kepada nabi Muhammad baik melalui perantara malaikat jibril atau tanpa perantara yaitu mimpi yang benar atau disampaikan langsung dari balik hijab. Allah menurunkan beberapa kitabNya kepada beberapa NabiNya untuk dijadikan pedoman dan petunjuk jalan. Allah SWT. Menurunkan kitab kepada Muhammad berupa Al-Qur’an yang isinya menghimpun seluruh isi kitab-kitab yang telah Dia turunkan sebelumnya.
192. dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, 193. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), 194. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, 195. dengan bahasa Arab yang jelas. c. Berfungsi sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi SAW
28
yang akan terus berlaku hingga akhir zaman.
Mu’jizat adalah kelebihan yang Allah berikan kepada para Nabi untuk menghadapi para musuh Allah, dan mereka tidak dapat melakukan hal-yang sama seperti yang dilakukan para Nabi tersebut. Karenanya mu’jizat dapat juga berarti sesuatu yang melemahkan orang lain hingga ia tidak dapat membuat yang sama dengannya. Sebagai salah satu bukti kemu’jizatan Al-Qur’an adalah seperti saat Allah SWT menantang kaum musyrikin sekalipun dibantu oleh iblis dan tentaranya untuk membuat satu surat saja seperti Al-
26 Defenisi Umar Shihab secara istilah lebih menekankan bahwa al Qur’an diturunkan kepada seluruh manusia melalui perantara Nabi Muhammad, bukan kepada Nabi Muhammad secara Khusus. Lihat: Shihab, Umar. 2003. Kontekstualitas Al- qur’an, Jakarta: Penamadani: xix 27 Al-Munawar, Said Agil Husin. 2002. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki , Jakarta: Ciputat Press, Cet ke 2: 5 28 Secara bahasa, berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu (I'jaz ). Secara istilah : Peristiwa luar biasa yang dialami oleh Nabi SAW sebagai bukti kenabian yang ditantangkan kepada siapa saja yang ragu hingga orang tersebut tidak berdaya untuk melayani tantangan tersebut
9
Ulumul Quran Qur’an mereka tak sanggup melakukannya, karena mereka lemah untuk membuat yang seumpama dengan Al-Qur’an seperti pada firman Allah QS. Al Baqarah [2]: 23. Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW.
23. dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlahsatu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar .
d. Disampaikan secara Mutawatir Setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacakannya di depan para sahabat, kemudian para sahabat menghafalkan ayat-ayat tersebut. Beliau juga menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterimanya itu. Mereka yang terkenal adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Muwaiyah bin Abu Sufyan, Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Al-Arqam bin Maslamah, Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Tsabit bin Qais, Hanzalah bin Rabi, Khalid bin Walid, Abdullah bin Al-Arqam, A’la bin Utbah, dan Syurahbil bin Hasanah. Al-Qur’an di riwayatkan oleh banyak orang, hingga mustahil mereka melakukan kesalahan dan kebohongan. Mutawatir artinya riwayat itu di dengar dan disampaikan oleh minimal 10 orang dalam setiap tingkatan sanadnya. Karena itulah Al-Qur’an tetap terjaga keasliannya hingga hari ini. Di samping itu Allah sendiri menjamin keaslian Al-Qur’an itu. Allah berfirman dalam QS. Al Insan [76]: 23 dan QS. Al Hijr [15]: 9
23.Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur .
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. e. Ditulis dalam bahasa Arab Beberapa alasan yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al Quran adalah: 1) Bahasa Arab merupakan faktor penting dalam rangka diterimanya Al-Quran oleh bangsa Arab saat itu. Allah berfirman:
198. dan kalau Al Quran itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, 199. lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir); niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya. (QS. Asy Syu’ara’ [26]: 198-199).
2.Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. 29
2) Bahasa Arab lebih berpengaruh dari pada bahasa lain. Allah berfirman:
29 Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik (Arame), Suryani, Kaldea dan Babylonia. Kata-kata bahasa Arab pada umumnya mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk. kata "qaa-la"
10
Ulumul Quran
4. Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. ”(QS. Ibrahim: 4) 3) Tantangan Al-Quran yang ditujukan kepada para pengingkarnya menuntut risalah ini dituang
dalam sebuah bahasa yang dapat dipahami dan dimengerti oleh para mukhatab pertamanya. Allah berfirman:
38. Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kalian katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.( QS. Yunus [10]: 38) f. Tersusun dalam sistem Mushaf Susunan Al Qur’an berbeda dengan susunan buku-buku ilmiah yang menggunakan metodemetode tertentu. Dalam Al Qur’an berbagai persoalan datang silih berganti, tujuannya agar memberikan kesan bahwa ajaran Al Qur’an merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya tanpa ada pemisahan antara satu dengan lainnya. Keseluruhan sistematika yang digunakan Al Qur’an adalah ditentukan oleh Allah swt, baik kosa Kata yang digunakan, redaksi ayat-ayatnya, masing surat memiliki satu nama atau lebih yang juga penamaan Nya dan pengelompokan besar dari sejumlah ayat dan surat ( juz). Demikian itu disebut dengan cara tauqifi. 1) Kosa Kata Al Qur’an Dalam upaya memberi tanda yang sama pada tiap kosa kata Al Qur’an, diusahakan dengan jalan menyempurnakan segala yang ber kaitan dengan pemberian simbol dan tanda baca tertentu. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor perluasan wilayah islam dan pola penafsiran setiap kosa kata yang digunakan Al Qur’an. Langkah aktual penyempurnaannya seperti penciptaan tanda vokal, tanda pembeda konsonan yang bersimbol sama, seperti hamzah (tanda jeda), sukun (tanda konsonan mati), tanwin (tanda vokal rangkap), tasydid (tanda konsonan rangkap), dan maddah (tanda vokal pendek atau panjang) dikabarkan telah dilakukan sejumlah pakar bahasa, seperti Abu Aswad Ad Du'ali
misalnya, yang berarti "berkata" terambil dari huruf "qaaf", " wawu" dan "lam", sedangkan kata"kalam" yang berarti " pembicaraan" walaupun terdiri dari empat huruf yaitu " kaf ", " lam ", " alif " dan "mim" namun sebenarnya asal katanya hanya tiga huruf, yakni kecuali " Alif " pada rangkaian huruf-huruf diatas. Tata bahasa Arab pun sangat rasional, teliti dan sekama tetapi cukup rumit (misalnya kita bandingkan dengan bahasa indonesia). Pakar bahasa Arab berkata bahwa, kata yang menunjuk pada pelaku selalu marfu' (dibunyikan) u/un , sementara obyek penderitanya selalu manshub (dibunyikan) a. Bunyi suatu kata dapat mengakibatkan perbedaan arti yang sangat jauh. Contoh, kalimat "maa ahsanu al samaai", berbeda dengan kalimat "maa ahsana al samaai" .Yang pertama adalah pertanyaan tentang apa yang terindah di langit , sedang yang kedua adalah ungkapan kekaguman tentang indahnya langit. Bahasa Arab juga dikenal sebagai bahasa terkaya. Kekayaan tersebut bukan saja terlihat pada status jenis kelamin kata atau pada bilanganya yaitu tunggal "mufrad" ,dual "mutsanna" dan jamak "prural" , tetapi juga pada kekayaan kosa kata dan sinonimya. Contoh, kata "jalasa" dan "qa'ada", sama-sama diterjemahkan duduk , tetapi penggunaanya berbeda. Jika lawan bicara anda berdiri dan anda mengharapkanya untuk duduk, maka anda keliru jika menggunakan bentuk perintah dari kata "jalasa" yakni "ijlis". Hal ini karena kata tersebut digunakan untuk memerintahkan seseorang yang sedang berbaring agar ia duduk. Agar tepat, gunakanlah kata " uq - 'ud ". Menyangkut huruf Hijaiyah yang digunakan Al Qur’an, Abu Bakar Atjeh, dalam buku Sejarah al Qur-an, menyebutkan hasil penelitihan para pakar bahwa rangkaian wahyu Ilahi tersusun dari 325.345 huruf hijaiyah , yang terbanyak digunakan adalah huruf alif, sebanyak 48.772 dan paling sedikit huruf za' , sebanyak 842. Al Syuyuthi, dalam kitab Itqan menyebutkan bahwa susunan kalimatnya sebanyak 77.943 dan 6236 ayat. Kesemuanya, mulai awal ditulis oleh Zaid bin Tsabit sampai sekarang (baik dalam bentuk cetakan maupun bentuk CD-DVD maupun Al Qur’anDigital) jumlahnya masih terjaga keutuhanya tanpa ada pengurangan dan penambahan.
11
Ulumul Quran 30
(w. 688), Nasr bin Ashim (w. 708),
31
Yahya bin Ya'mur (w. 747), dan Al Khalil bin Ahmad (w.
32
786).
Walaupun al Qur’an menggunakan kosa kata yang digunakan oleh orang Arab, namun tidak dengan serta merta kosa kata al Qur’an mengikuti arti dan maknanya. Contoh, kata "Allah" pada deretan awal wahyu yang diturunkan kepada nabi SAW tidak digunakan, tetapi digunakan kata "rabbuka" yang berarti "Tuhanmu, wahai Muhammad". Ini dilakukan dalam rangka mengubah pengertian kata "Allah", karena kaum musyrikin walaupun menggunakan kata yang sama namun keyakinan mereka berbeda dengan keyakinan yang diajarkan islam. Contoh lain, kata "Karam", digunakan oleh masyarakat Arab pra islam dalam arti "seseorang
yang memiliki garis keturunan bangsawan" . Makna ini dirubah oleh Al Qur’ansehingga ia tidak hanya digunakan sebagai sifat manusia, tapi juga berarti rezeki, pasangan, surat, naungan, ucapan dan lain-lain, sehingga pada akhirnya diartrikan sebagai "segala sesuatu yang baik sesuai obyek yang disifatinya". Demikian pula kata "shalat", pada mulanya berarti "doa" dan kemudian Al Qur’an menggunakanya untuk "suatu jenis ibadah yang diawali takbir dan diakhiri salam", makna ini lebih luas ketimbang sekedar doa. Selanjutnya ada baiknya bila kita simak komentar para Pakar bahasa menyangkut penilaian mereka tentang bahasa Arab. Diantaranya, 'Utsman bin Jinni ( 932 – 1002 M ) berkata :
"Pemilihan huruf-huruf kosa kata oleh bahasa Arab bukan suatu kebetulan, tetapi mengandung falsafah bahasa yang unik. Dan ungkapan Edward Montet, yang dikutip Muhammad Fazlurrahman Anshari, sebagai berikut : "Keagungan serta kemuliaan bentuk Al Qur’an begitu padat sehingga tidak ada terjemahan kedalam suatu bahasa Eropa pun yang bisa menggantikanya". Bahkan seorang pendeta Kristen pun mengakui bahwa : "Al Qur’andengan bahasa Arabnya mempunyai keindahan yang menawan serta daya pesona tersendiri. Ungkapan katanya yang ringkas, gayanya yang mulia, kalimat-kalimatnya yang benar dan penuh dengan irama. Al Qur’an memiliki suatu kekuatan yang besar serta tenaga yang meledak-ledak yang sangat sulit diterjemahkan seni sastranya ". 2) Ayat Ayat Al Qur’an merupakan kumpulan kata yang tersusun sedemikian rupa sehingga 33 mempunyai lafal, arti dan makna tertentu. Beberapa variasi ayat yang dikemukakan al
30
Namanya Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu’mar bin Du’ali, panggilannya Abul Aswad. Seorang tabi’in terpenting, pakar nahwu dan peletak dasar ilmu nahwu (tatabahasa Arab). Nama Du’ali dinisbatkan kepada kabilah Du’al dari Bani Kinanah. Ia masuk Islam ketika Nabi masih hidup, tetapi ia tidak melihatnya. Tinggal di Bashrah pada masa pemerintahan Umar bin Khathab. Ia menjadi murid Ali bin Abi Thalib, dan nahwu ia pelajari sendiri darinya ( Ali ibn Abi Thalib), yang merupakan pakar nahwu kala itu. Dia termasuk orang yang pertama mengumpulkan mushaf dan mengarang ilmu nahwu dan peletak dasar kaidah-kaidah nahwu, atas rekomendasi dari Ali bin Abi Thalib. Zaid Bin Tsabit juga mendapat intruksi dari Ali Bin Abi Thalib, ketika menjadi khalifah, untuk merumuskan tanda-tanda baca pada tulisan. Sasaran pertamanya adalah mushaf-mushaf Al Qur’an, karena disinilah letak kekhawatiran salah baca seperti yang kerap terjadi waktu itu. Disamping nahwu, Abul Aswad berjasa dalam membuat harakat Al Qur’an. Ia berhasil mewariskan system penempatan “titik-titik ” tinta berwarna merah yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukkan unsur-unsur kata Arab yang tidak terwakili oleh huruf-huruf. Penempatan titik-titik tersebut, adalah tanda fathah dengan satu titik diatas huruf (a), tanda kashrah dengan satu titik dibawah huruf (i), Tanda Dhamah dengan satu titik disebelah kiri huruf (u), tanda tanwin dengan dua titik (an-in-un). Untuk membedakan titik-titik tadi dari tulisan pokoknya (biasanya berwarna hitam), maka titik-titik itu diberi warna (biasanya merah. Tetapi system ini tidak dapat begitu saja menyelesaikan masalah, sebab ada huruf-huruf yang sama bentuknya namun harus dibaca berlainan tanpa dibubuhi tanda-tanda pembeda, huruf-huruf itu menyukarkan banyak pembaca. Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun alim" dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti "ghafurrur rahim". 31 Nasr bin Ashim adalah ulama yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu hart) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Karena tanda-tanda baca itu belum banyak menolong orang awam, maka ditambahkan tanda titik untuk menandakan huruf tertentu oleh Yahya bin Ya`mur dan Nasir bin Asim pada masa Kholifah Abdul Malik bin Marwan. Dengan begitu mudah dibedakan antara huruf ba, ta, tsa, dan ya. Tanda-tanda baca tersebut tetap dipakai sampai abad ke-4, permulaan Dinasti Abbasiyah. 32 Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy adalah ulama yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah (W.170 H) pada abad ke II H. 33 ). Menurut pengertian etimologi, kata itu dapat diartikan sebagai mu‘jizah Kata âyah adalah bentuk tunggal dari kata âyât ( (mukjizat), ‘alâmah (tanda), atau ‘ibrah (pelajaran). Dalam kaitkanya dengan istilah Alquran, âyah ( ) berarti huruf-huruf hijaiyah atau
12
Ulumul Quran Qur’an antara lain; jika kata tersebut dikaitkan dengan kata-kata nazala ( = turun) dan katakata lain yang seasal dengan itu atau adanya tantangan yang ditujukan kepada orang-orang untuk membuat sesuatu yang sama dengan ayat-ayat Al Qur’an. QS. Yunus (10): 20
Dan mereka berkata: "Mepada tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu keterangan (mukjizat) dari Tuhannya?" Apabila kata ayat dikaitkan dengan kata Allâh ( ) dan segala kata ganti yang berkaitan dengan-Nya, maka kata itu dapat diartikan dengan dua pengertian, yaitu pertama dengan “ayat-ayat al Qur’an” dan dapat pula dengan “sesuatu yang menunjuk kepada kebesaran dan kekuasaan Allah”.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Apabila kata âyah yang dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan li qaumin yatafakkarûn, ya‘qilûn, yasma‘ûn, yadzdzakkarûn atau yang semakna dengan itu, maka kata itu diartikan sebagai “tanda-tanda kebesaran Allah”. Ayat dalam pengertian ini cukup banyak diungkapkan di dalam Al Qur’an, antara lain dalam QS. An Nahl (16):11
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. a) Ayat yang awal diturunkan Mayoritas ulama menyebutkan bahwa awal surat yang diturunkan adalah QS. Al Alaq (96): 1-5 sebagai permulaan kenabian atau pelantikan sebagai nabi tapi belum dilantik menjadi rasul. Fase ini merupakan fase persiapan psikologis nabi untuk menjadi rasul.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. b) Ayat yang akhir diturunkan Mengenai ayat yang terakhir turun, terdapat perbedaan pendapat para ulama. Menurut Az Zarqani, terdapat 10 pendapat ulama, yaitu: 1) Ayat 281 dari QS. Al Baqarah (2), berdasarkan hadis riwayat An Nasa’i melalui Ikrimah
dari Ibnu Abbas dan riwayat Ibnu Abi Hatim. 2) Ayat 278 dari QS. Al Baqarah (2), berdasarkan hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas
dan riwayat Baihaqi dari Ibnu Umar. sekelompok kata yang terdapat di dalam surah Al Qur'an yang mempunyai awal dan akhir yang ditandai dengan nomor ayat. Kata âyah ( ) dapat diartikan dengan “ayat-ayat yang berkaitan dengan kitab suci dan Al Qur'an”
13
Ulumul Quran 3) Ayat 282 dari QS. Al Baqarah (2), berdasarkan hadis riwayat Ibnu Jarir dari Sa‘id bin Al
Musayyib dan riwayat Abu Ubaid dari Ibnu Syihab. 4) Ayat 195 dari Q S. Ali ‘Imran (3). 5) Ayat 94 dari Q S. An Nisa’ (4). 6) Ayat 176 dari Q S. An Nisa’ (4). 7) Ayat 3 dari Q S. Al Ma’idah (5). 8) Ayat 128 dari QS. At Taubah (9). 9) Ayat 110 QS. Al Kahf (18). 10) Ayat-ayat QS. An Nashr (110).
Perbedaan pendapat ini timbul karena perbedaan masa para sahabat mendengarkan ayat yang disampaikan Nabi. Menurut Az Zarqani dan Subhi As Salih, ayat-ayat yang terakhir turun adalah Ayat 281 dari QS. Al-Baqarah [2]. Bagi masyarakat muslim Indonesia yang paling umum diterima dan disosialisasikan oleh para Ulama tentang ayat yang terahir diturunkan adalah QS. Al Maidah (5) : 3.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. c) Jumlah Ayat Ada beberapa perbedaan di kalangan sarjana muslim dalam menentukan panjang
pendeknya suatu ayat. Hal itu lebih disebabkan oleh perbedaan apakah basmalah hanya sebagai
kepala
surat/pembatas
surat
atau
bagian
ayat
dan
perbedaan
dalam
mengintrepretasikan ketentuan waqaf (tanda berhenti atau diteruskan). Orang Madinah yang awal menghitung 6.000 ayat di dalam Al-Qur’an, sedangkan orang Madinah yang belakangan menghitung 6.124 ayat; orang Mekah menghitung 6.219 ayat, orang Kufah 6.263 ayat, orang Basra 6.204 ayat, dan orang Suriah 6.225 ayat. Dalam mushaf Usmani edisi standar Mesir, yang menjadi panutan sebagian besar dunia Islam kini, seluruh ayat AlQur’an berjumlah 6.236 ayat. d) Pembagian Ayat 1) Ayat Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun sebelum nabi SAW Hijrah. Dengan ciri-ciri
diantaranya : a) Ayatnya pendek-pendek b) Konteks pembicaraanya adalah masalah keimanan terhadap pokok ajaran islam, khususnya tentang aqidah ketauhidan c) Menggunakan redaksi yaa ayyuhalladzina aamanuu . 2) Ayat Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun setelah nabi SAW Hijrah. Dengan ciri-ciri
diantaranya : a) Ayatnya panjang-panjang b) Konteks pembicaraanya adalah masalah sosial kemasyarakatan c) Menggunakan redaksi yaa ayyuhannaasu (kecuali pada awal QS An Nisa’) e) Ayat Sajdah Ayat Sajdah adalah ayat yang apabila dibaca atau dengar disunnahkan melakukan sujud tilawah. Hal ini didasarkan pada hadis nabi SAW :
:
: .
14
Ulumul Quran
Dari Ibn Umar r.a, "Sesungguhnya nabi SAW membaca al Qur’an , ketika bacaan beliau sampai pada surat sajadah, beliau sujud dan kamipun sujud pula, sampai-sampai sebagian dari kami yang jidadnya tidak mendapatkan tempat untuk melaksanakan sujud". Adapun bacaan sujud tilawah berdasar Hadis Riwayat al Turmudzi ;
" Aku Sujud kepada Allah yang telah menjadikan diriku, yang telah membukakan pendengaran dan penglihatan ku dengan segala kekuasaan Nya. Maka Allah adalah Dzat Maha Pemberi Berkah dan Dia adalah Pencipta yang Sempurna ". Ayat-ayat Sajadah tersebut adalah QS Al A'raaf (7) : 206, QS Ar Ra'du (13) : 15, QS An Nahl (16) : 50, QS Al Isra' (17) : 109, QS Maryam (19): 58, QS Al Hajj (22) : 18, QS Al Hajj (22) : 77, QS Al Furqan (25): 60, QS An Naml (27): 26, QS As Sajadah (32): 15, QS Shood (38) : 24, QS Fushshilat (41): 38, QS An Najm (53): 62, QS Al Insiqoq (84): 21, QS Al Alaq (96): 19 f) Jenis ayat 1) Ayat Muhkamat
Ayat muhkamat, yakni yang kandungannya sangat jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkamat, dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan. Yang ini tentu saja harus jelas, karena tanpa kejelasan, bagaimana dapat dikerjakan. Diantara contoh ayat Muhkamat :
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. 2) Ayat Mutasabihat
Ayat Mutasabihat adalah ayat-ayat yang mengandung kesamaran dalam maknanya Sementara ulama berpendapat, bahwa kesamaran tersebut dapat muncul karena: a) Salah satu kata yang digunakan ayat tidak populer dikalangan pendengarnya. Seperti huruf-huruf yang terdapat pada awal surah-surah tertentu, seperti Alif Lam
Mim. b) Kata yang digunakan mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti kata quru' yang dapat berarti suci dan dapat juga berarti haid. yang manakah yang dimaksud oleh surah Al Baqarah (2): 228, yang memerintahkan wanita yang dicerai agar menanti tiga quru’ Ulama berbeda pendapat akibat kesamaran tersebut. c) Makna yang dikandungnya tidak jelas. Seperti ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan metafisika, nama atau sifat-sifat Allah, dan Iain-lain. Apa makna "tangan Allah" atau "wajah-Nya" dan Iain-lain? Sekali lagi di sini pun terdapat perbedaan. Ada ulama yang membagi mutasyabih dalam tiga kelompok ayat: d) Ayat-ayat yang kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, waktu kedatangan hari Kiamat, dan semacamnya. e) Ayat-ayat yang dapat diketahui melalui penelitian yang seksama, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, atau yang kesamarannya lahir dari singkatnya redaksi dan atau susunan kata-katanya. f) Ayat-ayat
yang
hanya
diketahui
oleh
para
ulama
yang
sangat
mantap
pengetahuannya dengan melakukan penyucian jiwa. Ayat-ayat semacam ini tidak dapat terungkap maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata.
15
Ulumul Quran 3) Surah a) Nama Surah Keseluruhan jumlah Surah dalam Al Qur’an seperti terdapat pada mushaf Usmani berjumlah 114 Surah. Dimulai dari QS. Al Fatihah dengan nomor surah (1) sampai QS. An Nas yang bernomor (114).
34
Menurut Al Hajjaj, nama surah Al Qur’an dirujuk berdasar
mekanisme dan kaidah yang baku tentang penamaannya diantaranya : 1) Menurut ungkapan yang ada di bagian awalnya, seperti penyebutan surah An Naba'
(QS.78) sebagai 'amma yatasa'alun (tentang apakah mereka saling bertanya-tanya) atau sekadar 'amma. 2) Penamaan diambil dari kata pengenal atau kata kunci yang muncul pada permulaan
surah, misalnya surah Ar Rum (Bangsa Romawi. QS.30) dan surah Fatir (Pencipta, QS.35); atau di pertengahan surah, misalnya surah Al Baqarah (Sapi , QS.2:67-73) dan surah An Nahl (Lebah, QS.16:68-69); 3) Penamaan diambil dari kata pengenal atau kata kunci yang muncul pada akhir surah
atau di penghujung surah, misalnya surah Asy Syu 'ara' (Para Penyair, QS.26:224-226). 4) Penamaan diambil dari nama diri ( person identification) yang muncul di dalamnya,
seperti surah Yunus, surah Yusuf, surah Muhammad, surah Nuh dan lain-lain. 5) Perujukan nama surah berdasarkan kandungannya juga terkadang muncul, misalnya
surah al-Fatihah (Pembukaan), surah al-Anbiya' (Nabi-Nabi), dan surah al-Ikhlas (Memurnikan Keesaan Tuhan). b) Pembuka Surah Dalam Al Qur’an terdapat suatu atau sekelompok huruf hija 'iyah yang biasanya dibaca sebagai huruf terpisah atau berdiri sendiri. Sejumlah nama lazim digunakan para sarjana muslim untuk merujuk huruf itu adalah fawatih as suwar (pembuka surah) diantaranya :
Alif-Lam-Mim, Alif-Lam-Ra , Alif-Lam-Mim-Ra, Alif-Lam-Mim-Shaad , Tho-Ha, Tho-Sin-Mim, Kha-mim, Kaf-Ha-Ya-‘Ain-Shaad , Ya-Sin c) Pembagian Surah Dalam masalah pembagian surah Al Qur’an para Ulama melakukan ijtihad untuk memberi kemudahan baik yang berkaitan dengan tata cara baca dan penandaan tertentu Untuk tujuan pembacaan kaum muslim membaginya ke dalam 30 bagian atau juz yang hampir sama. Pembagian ini berkaitan dengan jumlah hari di bulan Ramadan, yakni tiap juz Al Qur’an dibaca setiap harinya. Tanda pembagian 30 juz ini biasanya terdapat di pinggiran salinan kitab suci tersebut. Bagian yang lebih kecil lagi adalah hizb yang membagi juz menjadi dua, menyusul perempat
hizb (rub' al-hizb), yang juga sering ditandai di pinggiran salinan Al Qur’an. Pembagian lain adalah ruku', sejumlah 554 satuan (unit) untuk keseluruhan Al Qur’an. Akan tetapi panjangpendeknya ruku' tidak seragam: surah panjang biasanya terdiri dari beberapa ruku' dan surah pendek berisi satu ruku'. Surah Merupakan bagian-bagian dari Al-Qur’an, kata surah kadang diterjemahkan ”chapter” atau “bab” namun ia bukan padanan kata yang tepat. Dalam pandangan yang paling umum kata sura berasal dari bahasa Ibrani, Shurah “suatu deretan. Menurut Al-Zarqani kata surah secara etimologimengandung makna “al -manzilah” yaitu posisi, meskipun ia berpendapat bahwa surah memiliki banyk arti. Pengertian surah juga mengnduk makna “al -manzilah” yaitu tempat/kedudukan, karena surah -surah dalam Al-Qura’an mempunyai kedudukan atau tempat masing-masing. Kata “surah” jamaknya ialah “suwar” yang berarti kedudukan atau tempat yang tinggi karena Al-Qur’an itu diturunkan dari tempat yang tinggi, maka dinamailah surah-surahnya dengan surah. Adapun pengertian surah menurut beberapa ulama tafsir seperti Al-Zarkasyi, bahwa surah adalah Al-Quran yang mencakup sejumlah ayat yang mempunyai permulaan dan penutup dan sedikitnya yang terkandung dalam sebuah surah adalah tiga ayat. Sedangkan menurut Al-Zarqani dalam kitab Manahilul Irfan fii Ulumil Quran surah adalah kelompok ayat-ayat yang berdiri mandiri yang mempunyai permulaan dan penutup. Menurut Al-Zarqani pengertian tersebut diambil dari makna “sebagai tembok yang membatasi suatu kota’ yang tersusun dari batu bata setiap barisnya. Karena dalam Al-Qur’am posisi peletakan suatu kata disamping kata lain, suatu ayat disamping ayat lain. Lihat Watt, W. Montgomery. 1995. Pengantar Studi Al- Qur’an; Penyempurnaan atas Karya Richad Bell , Jakarta: Rajawali Press : 90. Umar, Nasaruddin. 2008. Ulumul Qur’an: Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi All- Qur’an, Jakarta: AlGahzali Center, Cet 1 : 143. Lihat juga Amanah. St. 1993. Pengantar Ilmu Al’Quran dan Tafsir , Semarang: CV. Asy-Syifa : 227 34
16
Ulumul Quran Keseluruhan pembagian Al Qur’an ini, yang diberi tanda tertentu di pinggiran teks kitab suci,
tanda yang menunjukkan kepada bilangan ayat dan tanda waqaf
atau tanda
"berhenti", tanda boleh tidaknya menghentikan bacaan pada akhir kalimat atau ayat dituliskan di dalam teks. Ke114 surah, kecuali surah ke 9 yakni At Taubah dalam salinan Al Qur’an biasanya diawali dengan redaksi Bismi Allah Ar Rahman Ar Rahim, " atau lebih dikenal dengan istilah
basmalah atau tasmiyah. Pada permulaan Islam, para qurra' Mekah dan Kufah menghitung basmalah sebagai ayat tersendiri, sementara para qurra' Basra, Madinah, dan Suriah hanya memandangnya sebagai marka pemisah (fawasil) antara surah. Akan tetapi merupakan suatu kenyataan bahwa redaksi basmalah sebagai awal penandaan surah ini telah dikenal Nabi SAW, bahkan diajarkan Al Qur’an. Dalam surah An Naml (27) ayat 30 disebutkan bahwa Nabi Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Bilqis, dan ungkapan Bismi Allah ar-Rahman
ar-Rahim mengawali suratnya. d) Pengelompokan Surah Pengelompokan surah dalam Al Qur’an pada masa awal oleh Al Hajjaj: 1) At Tiwal, tujuh surah terpanjang, mulai Surat Al Baqarah (2) sampai Surat At Taubah (9) 2) Al Mi'un, surah-surah yang terdiri dari seratus ayat atau lebih, mulai dari Surat Yunus
(10) sampai Surat Al Fathir (35). 3) Al Matsani, surah-surah yang kurang dari seratus ayat, mulai Surat Ya sin (36) sampai Surat Al Hujurat (49). 4) Al Mufassal, surah-surah pendek, mulai dari Surat Qaf (50) sampai Surat An Nas (114). g. Membacanya dinilai Ibadah Membaca
Al-Qur’an merupakan
kewajiban,
begitu
banyak
ayat-ayat
Al-Qur’an yang
mengisyaratkan untuk membacanya, dan semua “shigah” yang digunakan adalah fi’il amr , seperti dalam QS. Al Muzzammil : 4 dan ayat 20, QS. Al ‘Alaq 1 dan 3, QS. Al Isra ayat 14, QS. Al Kahfi ayat 27, QS. Al ‘Ankabut ayat 45 dan sebagainya. Perbedaan antara membaca Al-Qur’an dengan membaca bacaan lainya, misalnya dengan hadis quds, Al-Qur’an mengapresiaasi pembacanya dengan diberikan pahala sesuai jumlah huruf yang ia baca dikalikan 10 bahkan Allah Maha Kuasa untuk melipat gandakan pahala orang yang membaca Al-Qur’an . Sedangkan membaca Hadis Qudsi mendapat pahala yang dihitung secara 35
umum. Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin mengutif sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzy yang beliau komentari sebagai hadis hasan shahih, yaitu: :
: ,
,
Dari Ibnu Mas’ud Ra, Rasulullah SAW. bersabda “ Siapa orang yang membaca satu huruf dari
kitabullah maka ia mendapatkan 10 kebaikan, dan satu kebaikan dibalas dengan 10 yang semisalnya, aku tidak mengatakan bahwa itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf mim satu huruf ”.
Ali Bin Abi Thalib, berkata “ Siapa orang yang membaca al-Qur’an dengan berdiri dalam shalatnya ia mendapatkan 100 kebaikan, jika membacanya dalam duduk ketika shalat ia mendapat 50 kebaikan, jika ia membacanya dalam keadaan thaharah diluar shalat ia mendapat 25 kebaikan, dan jika ia membacanya tanpa bersuci setiap huruf akan dibalas dengan 10 kebaikan. Selain itu begitu indah perumpamaan yang diberikan untuk mereka yang gemar membaca al-Qur’an, mereka diumpamakan sepertu buah Utrujah , buah yang 35
berbau harum dan manis rasanya. Dan anugerah terindah yang Allah janjikan untuk orang-orang yang gemar membaca al-Qur’an adalah dirindukan oleh syurga.
17
Ulumul Quran B. Nama-nama Al-Qur’an Al-Qur’an Dalam Al-Qur’an Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur’an Al-Qur’an itu itu sendiri dintaranya: 1. Al-Kitab QS Al Baqarah [2]: 2
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. 2. Al-Furqan (pembeda benar salah): QS. Al Furqan [25]: 1
1. Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. 3. Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS. Al Hijr [15]: 9
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya 4. Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS. Yunus [10]: 57
57. Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. QS. Ar Ra’d *13+: 37 5. Al-Hukm (peraturan/hukum): QS.
37. dan Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab . QS. Al Isra’ *17+: 39 6. Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS.
39. Itulah sebagian Hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. 7. Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS. Al Isra’ [17]: 82
82. dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman 8. Al-Huda (petunjuk): QS. At Taubah [9]:33
33. Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar 9. At-Tanzil (yang diturunkan): QS. Asy Syuara [26]:192
192. dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, 10. Ar-Rahmat (karunia): QS. An Naml [27]: 77
77. dan Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
18
Ulumul Quran
11. Ar-Ruh Ar-Ruh (ruh): QS. Asy Syura [42]: 52
52. dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. 12. Al-Bayan (penerang): QS. Ali Imran [3]:138
138. (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa . 13. Al-Kalam (ucapan/firman): QS. At Taubah [9]: 6
6. … Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia
ketempat yang aman baginya. 14. Al-Busyra (kabar gembira): QS.Al Hijr [16]:102
102. …dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang -orang yang berserah diri (kepada
Allah)". QS. An Nisa’ *4]:174) *4]:174) 15. An-Nur (cahaya): QS.
174. …dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran). 16. Al-Basha'ir (pedoman): QS. Al Jastiyah [45] :20
20. Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. 17. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS. Ibrahim [14] :52
52. (Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya , C. Perbedaan antara Al-Qur’an Al- Qur’an,, Hadis Qudsi, dan Hadis Hadis Nabawi 1. Perbedaan antara al-Quran dengan hadis Qudsi a. Al-Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. dengan lafal-Nya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Al-Qur’an Al- Qur’an itu, itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Al-Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Adapun hadis qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat. b. Al-Quran hanya dinisbatkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah berfirman. Adapun hadis Qudsi, seperti telah dijelaskan di atas, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah, sehingga nisbah Hadis qudsi itu kepada Allah adalah nisbah dibuatkan. Maka dikatakan, Allah telah berfirman atau Allah berfirman. Dan, terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah saw. Tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi menyampaikan hadis itu dari Allah. Maka, dikatakan Rasulullah saw. mengatakan apa yang diriwayatkan dariTuhannya. c. Seluruh isi al-Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya mutlak. Adapun hadis-hadis Qudsi kebanyakan adalah kabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalanya Hadis itu sahih, hasan, dan kadang-kadang daif.
19
Ulumul Quran d. Al-Quran dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah dan lafalnya dari Rasulullah saw. Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna, tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis, diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja. e. Membaca al-Quran merupakan ibadah, karena itu ia dibaca dalam salat. "Maka, bacalah apa yang mudah bagimu dalam Al-Qur’an Al-Qur’an itu." (Al-Muzamil: 20). Nilai ibadah membaca Al-Qur’an Al-Qur’an juga terdapat dalam hadis, "Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an Al-Qur’an,, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan, kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (HR Tirmizi dan Ibnu Mas'ud). Adapun Hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca membaca Hadis
qudsi secara umum saja. Maka, membaca membaca Hadis
qudsi tidak akan
memperoleh pahala seperti yang disebutkan disebutkan dalam Hadis mengenai membaca membaca Al-Quran bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan. 36
2. Perbedaan antara Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi
37
a. Hadis Nabawi 1) Tauqifi, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah saw. dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain. 2) Taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw. menurut pemahamannya terhadap alQuran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan al-Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika
ia benar. Dan, bila
membetulkannya.
terdapat kesalahan di
dalamnya,
turunlah
wahyu yang
38
b. Hadis Qudsi Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw. Hadis Qudsi dan hadist nabawi sama-sama sama-sama merupakan perkataan Rasulullah SAW. Sumbernya juga sama yaitu dari Allah SWT. Yang membedakannya adalah bahwa dalam Hadis
Qudsi
disebutkan bahwa Allah SWT berfirman, atau Rasulullah SAW meriwayatkan dari Tuhan-Nya dan keterangan sejenis. Sedangkan dalam Hadis nabawi, tidak disebutkan bahwa Allah SWT berfirman begini dan bagini. Namun seolah-olah hanya perkataan Rasulullah SAW saja. Meski pada hakikatnya bersumber dari Allah SWT juga.
39
Pengertian hadis secara etimologi adalah al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit. Hadis secara istilah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. beliau. Contoh hadis tentang ucapan nabi SAW 36
.
..........
37 Hadits Qudsi secara etimologi berarti Hadits yang di nisbatkan kepada Dzat yang Maha Suci yaitu Allah Subhanahu wa Ta`ala. Secara istilah, Hadits Qudsi dipahami sebagai Hadits yang yang di sabdakan Rasulullah, berdasarkan firman Allah SWT. Dengan k ata lain, matan Hadits tersebut adalah mengandung firman Allah SWT . Hadits Qudsi juga bisa disebut sebagai Hadits Ilahi, atau Hadits Rabbani. Jumlah total Hadits Qudsi menurut kitab Al Ittihafatus Sunniyah berjumlah 833 buah, termasuk yang shahih, hasan dan dlaif. Contoh Hadits Qudsi yang sahih:
.
:
.
Artinya: Dari Rasulullah SAW: telah berfirman Allah Azza wa Jalla. “berderma lah kalian, niscaya aku akan membalas derma atasmu” (Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim 38 Al-Qattan, Manna Khalil. op. cit: 28-29 39 Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi. 1989. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, Bintang, Cet. IX: 40-41
20
Ulumul Quran D. Kandungan Al-Qur’an Surat yang paling banyak dibaca dan dihafal oleh pemeluk agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah Surat Al Fatihah. Ayat-ayat surah Al Fatihah merupakan rincian dari ayat-ayat yang lain, Abu Hasan Al Harrali seorang sufi dan ulama, pakar bahasa, teologi dan logika (w. 698 H) dalam bukunya Miftahul bab al Muqaffal li Fahmil Qur'dn al Munazzal antara lain mengatakan: " Al Fatihah adalah induk Al Qur’an, karena ayat-ayat Al Qur’an seluruhnya terinci melalui kesimpulan yang ditemukan pada ayat-ayat Al Fatihah. Tiga ayat pertama surah Al Fatihah mencakup makna-makna yang dikandung oleh Asmaul Husna (nama-nama Allah yang indah). Semua rincian yang terdapat dalam Al Qur’an menyangkut Allah bersumber dari ketiga ayat pertama itu. Ketiga ayat terakhir dari firman-Nya: Ihdina as-shirdth al-Mustaqim mencakup segala yang meliputi urusan makluk dalam mencapai Allah dan menoleh untuk meraih rahmat-Nya, serta mengesampingkan selain-Nya. Semua rincian yang terdapat dalam Al Qur’an bermuara pada ketiga ayat itu. Sedang segala sesuatu yang menjadi penghubung antara makhluk dengan khaliq terinci dalam firman-Nya: Iyyaka na'budu waiyyaka
nasta'in." Menurut Muhammad Abduh Al Qur’an turun menguraikan persoalan-persoalan 1) Tauhid, 2) Janji dan ancaman, 3) Ibadah yang menghidupkan tauhid, 4) Penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara mencapainya serta 5) Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu. Sedangkan menurut Fazlur Rahman mengemukakan bahwa tema-tema atau isi pokok dalam Al Qur’an adalah: tentang
Tuhan,
manusia
(individu/masyarakat),
alam
semesta,
kenabian,
wahyu,
eskatologi,
setan/kejahatan dan masyarakat muslim. Dari uraian diatas, isi pokok kandungan Al Qur’an dapat dirinci sebagai berikut : 1. Akidah Akidah adalah simpul-simpul keyakinan yang mempunyai nilai kebenaran yang absolute, haq (mantap, tetap, tidak berubah). Dalam sistem ajaran islam keyakinan yang benar adakah keyakinan yang bersumber dari kitab suci, yakni Al Qur’an dan beberapa informasi yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam periwayatan hadis/sunnah .
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. 4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al Baqarah (2) : 3-4 Dalam kaitan dengan isi pokok ajaran Al Qur’an ini, tema terpenting adalah ajaran tentang
tauhid , ke-Esa-an Allah SWT atau ajaran monotheism, dimana inti ajaran tersebut adalah pengakuan terhadap adanya Tuhan yang paling berhak disembah, yaitu Allah, Tuhan yang mencipta, memelihara dan memberi penghidupan dengan mencukupi segala kebutuhan mahluk baik melalui proses permintaan(do’a) atau tidak. Logika terhadap kepercayaan terhadap Tuhan yang Esa, ahad
tersebut adalah karena
ketidakmungkinan pengelolaan alam raya dengan segala isi dan dimensinya ini diatur oleh tuhan
ganda yang masing-masing punya hasrat dan kemauan untuk menentukan sesuatu. Tentu, jika ini terjadi akan terjadi ketidakteraturan siklus seluruh alam yang berakibat pada kehancuran seluruh mahluk.
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS. Al Anbiya’ (21) : 25)
21
Ulumul Quran Menyangkut identitas Tuhan yang dikenalkan dan disembah oleh Nabi SAW., dan diajarkan kepada seluruh umat manusia ini, setelah menerima pertanyaan orang-orang Yahudi Madinah atau dalam riwayat lain berkenaan dengan datangnya 'Amir Ibn Thufail dan Arbad Ibn Rabi'ah yang bertanya kepada Nabi saw. tentang ajakan beliau. Ketika itu Nabi saw. menjawab: "Aku mengajak kepada Allah." Kalau mereka rneminta agar dilukiskan apakah Allah terbuat dari emas atau perak, atau kayu. 40
Kemudian turun surat berikut ini,
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Keyakinan yang benar terhadap sistem ketauhidan akan membawa efek terbebas dari syirk yaitu tindakan menyekutukan dengan beranggapan bahwa Allah mempunyai padanan dan membutuhkan kepada sesuatu. Semangat ini membawa kepada sikap hidup penuh kebaikan ( al birr ) sebagi wujud keimananya yang harus dipancarkan dalam kehidupan, dalam keadaan lapang maupun
sempit.
Keadaan tersebut oleh Al Qur’an dinilai sebagai wujud keimanan yang benar serta dinilai sebagai pelaku takwa. Demikian firman Allah dalam QS. Al Baqarah (2) : 177;
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang memintaminta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang- orang yang bertakwa.” 2. Ibadah Ibadahadalah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan mentaati segala perintahperintahNya, menjauhi larangan-laranganNya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya sebagai 41
tanda mengabdikan/ memperhambakan diri kepada Allah SWT. Pengabdian, ibadah kepada Allah SWT., merupakan konsekwensi logis atas kenyataan tujuan Allah menciptakan manusia (insan) dan jin, seperti dalam QS Adz Dzariyaat (51) : 56,
Nama yang paling populer dari Surat tersebut adalah Al Ikhlash. Kata Ikhlash terambil dari kata khalish yang berarti suci atau murni set el ah sebelumnya memiliki kekeruhan. Ikhlash adalah keberhasilan mengikis dan menghilangkan kekeruhan itu sehingga 40
sesuatu yang tadinya keruh menjadi murni. Dengan nama itu tecermin bahwa kandungan ayat-ayat ini bila dipahami dan dihayati oleh seseorang maka itu akan menyingkkkan segala kepercayaan, dugaan dan prasangka kekurangan atau sekutu bagi Allah swt. yang boleh jadi selama ini hinggap dibenak dan hatinya, sehingga pada akhknya keyakinannya tentang keesaan Allah benar-benar suci murni tidak lagi dihinggapi oleh kemusyrikan baik yang jelas (mempersekutukan Allah) maupun yang tersembunyi (riya dan pamrih). 41 Secara bahasa ibadah ialah taat, menurut, mengikut, tunduk. Dan mereka mengartikan juga dengan: tunduk yang setinggitingginya, dan dengan do'a. Dalam konteksnya yang lebih luas ibadah atau pengabdian tidak terbatas pada hal-hal yang diungkapkan oleh ahli hukum Islam (fiqh) yakni shalat, puasa, zakat dan haji, tetapi mencakup segala macam aktivitas manusia, baik pasif maupun aktif, sepanjang tujuan dari setiap gerak dan langkah itu adalah Allah
22
Ulumul Quran “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku.”
"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan maliku (kesemuanya), demi karena Allah Pemelihara selttruh alam" (QS. Al An'am [6]: 162). Tujuan ibadah untuk memperoleh Ridla Allah, dapat menumbuhkan kesadaran tanggung jawab.dan perwujudan pemeliharaan iman, meningkatkan harkat dan martabat dan untuk meningkatkan ketaatan pada Allah. Alasan beribadah karena ibadah merupakan kebutuhan rohaniah, jalan menuju kebebasan, dan ujian terhadap kehidupan, untuk mencapai tujuan akhir di akhirat, ibadah juga merupakan hak Allah atas hambaNya.
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang -orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” Ibadah berpengaruh untuk membentuk seorang muslim dan ketakwaannya karena manyadari bahwa Allah selalu hadir dalam setiap aktifitasnya. Dalam konteks ibadah murni dalam bentuk ritual , yaitu ibadah yang telah ditentukan syarat, rukun, waktu dan tempatnya, Al Qur’an menjelaskan dengan beberapa penegasan seperti ; QS. Al Baqarah (2) : 183 tentang puasa Ramadhan, QS. Ali Imran (3) : 97 tentang Haji dan lain-lain.
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah (2) : 183)
“… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah …“ (QS. Ali Imran (3) : 97) 3. Muamalah 42
Muamalah merupakan mata rantai yang tidak dapat lepas dari makna ibadah. Karena setiap ibadah yang dilakukan dengan baik dan benar akan membawa dampak kemaslahatan bagi pelakunya. Hal itu dapat kita rujuk misalnya dalam QS. Al Baqarah (2) : 43 tentang perintah sholat dan menunaikan zakat. Dimensi ritual sholat yang diahiri dengan simbolik salam, dengan sendirinya menumbuhkan semangat berbagi kebaikan yang bersifat sosial dalam bentuk pemberian zakat , atau perbuatan baik dalam kapasitas turut memberi andil dalam kesejahteraan (infaq dan sedekah) kepada siapa yang membutuhkan.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” Dalam konteks berbangsa dan bernegara tentu sangat tidak dibenarkan seorang muslim melakukan aktifitas yang membawa dampak keburukan, apalagi dengan mengatasnamakan islam. Misalnya melakukan kegiatan terror atas nama jihad yang mengancam keamanan seluruh warga negara dimana dan kapanpun, apalagi sampai dilakukan dengan cara menjadi martir
yaitu dengan
melakukan bom bunuh diri. Disamping secara konsep jihad dinilai tidak tepat (dalam konteks Indonesia), tentu perbuatan bunuh diri tidak dibenarkan oleh ajaran islam dan dinilai sebagai kekejian (al fahisyah) karena dapat berdampak buruk bagi diri dan orang lain.
Ciri khas ajaran Islam adalah kebersamaan. Seorang muslim harus selalu merasa bersama orang lain, tidak sendirian, atau dengan kata lain setiap muslim harus memiliki kesadaran sosial. Nabi saw. bersabda: " Hendaklah kamu selalu bersama-sama (jamaah) karena serigala hanya menerkam domba yang sendirian." Keakuan seorang muslim harus lebur secara konseptual bersama aku-aku lainnya, sehingga setiap muslim menjadi seperti yang digambarkan oleh Nabi saw.: " Bagaikan satu jasad yang merasakan keluhan, bila 42
satu organ merasakan penderitaan."
23
Ulumul Quran Semangat toleransi (tasammuh), kesederajatan (egaliter ), persamaan Hak Asasi dan Kewajiban Asasi dalam negara yang beragam ( prural ) baik suku bangsa, ras dan agama harus dijunjung tinggi apabila para pemimpin bangsa dan negara tidak melakukan tindakan kesewenangan ( otoriter, tiranik ) sehingga mengancam atau bahkan melarang kebebasan warganya untuk melakukan ibadah. Oleh karena itu, seorang muslim harus menaati aturan hukum, undang-undang dan peraturan kemasyarakatan yang telah disepakati dan disahkan oleh para pemimpin. Demikian penegasan QS. AlNisa' (4) : 58-59 tentang dasar pemerintahan;
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. 59. Hai orangorang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam kaitanya dengan masalah ekonomi global, secara universal islam melarang kegiatan monopoli dan melakukan praktek rente (riba) QS. Al Baqarah (2) : 275, karena dalam jangka panjangnya akan membawa manusia dalam keadaan tidak berdaya dan teraniaya (mustadz’afin, fakir ). Kemudian ajaran islam memberi solusi yaitu dengan memberi tangguh kepada mereka yang berhutang ( debitur ) atau bahkan menyedekahkan kepadanya. QS. Al Baqarah (2) : 280.
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah (2) : 275)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2) : 280) 4. Hukum Hukum yang diperkenalkan Al Qur’an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta). Hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai titik temu dalam hukum sebabakibat. Pesan dan petunjuk yang diberikan Al Qur’an pada manusia, demikian pula sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan Al Qur’an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi terjadinya. Sebagai contoh dalam pengaturan harta peninggalan atau harta warisan, dengan sangat rinci dan cermat Allah SWT., memberi rumus perhitungan dengan mempertimbangkan aspek sebab akibatnya. Mungkin hanya Al Qur’an kitab suci yang menyebut angka sampai pada angka pecahan, seperti ditegaskan dalam QS. An Nisa' (4) : 11-13;
24
Ulumul Quran
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. 13. (Hukumhukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.“ (QS. An Nisa' (4) : 11-13) Dalam upaya melestarikan generasi manusia dipentas bumi ini Allah memberi petunjuk tentang hukum-hukum pernikahan sebagai penyempurna dari tradisi masyarakat lampau ( arab jahiliyah) yaitu
25
Ulumul Quran dengan melarang ibu tiri (QS. An Nisa’ (4) :22), sebagai salah satu komoditas harta yang dapat diwariskan kepada anak untuk kemudian disempurnakan dalam bentuk ketentuan tentang siapa yang boleh dihikahi dan siapa yang tidak boleh dinikai (QS. An Nisa’ (4) :23), serta syarat, rukun (QS. Al Baqarah (24) :232, QS. An Nisa’ (4) :4), dan segala konsekwensi yang harus diterima oleh suami isteri baik hak dan kewajibanya (QS. An Nisa’ (4) :19, QS. An Nisa’ (4) :34).
“ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada
masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburukburuk jalan (yang ditempuh).“ (QS. An Nisa’ (4) :22)
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. An Nisa’ (4) :23) Dengan penyempurnaan terhadap tata cara pernikahan seperti tersebut diatas, maka dengan sendirinya sangat terlarang (haram) hukumnya melakukan hubungan badan ( sexual ) dengan dengan tanpa didahului akad nikah yang sah menurut agama dan pelakunya dinilai sebagai pe zina. Adapun ketentuan hukumnya adalah seperti ditegaskan QS. An Nur (24) : 2. Demikian juga sangat terlarang melakukan hubungan badan dengan sesama jenis kelamin, karena dinilai melawan fitrah penciptaanya.
“Perempuan yang berzina dan laki -laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.“ (QS. An Nur (24) : 2)
"Allah melaknat orang yang menyetubuhi binatang. Allah melaknat orang yang mempraktekkan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat orangyang mempraktekkan perbuatan kaum Luth. " Beliau menyabdakannya sebanyak tiga kali (HR, Ahmad dari Ikrimah)
26
Ulumul Quran 5. Akhlaq Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai , kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam QS. Al Qalam (68) : 4. Ayat tersebut berkaitan dengan masalah pengangkatan Nabi Muhammad SAW., sebagai Rasul
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma'ruf dalam bahasa Al Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Demikian juga tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma'ruf) Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Karena Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji QS. Thaha (20): 8 menegaskan:
“Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik).” Rasulullah SAW juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat Nya, dengan sabdanya “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.” Dan ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab, “Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al Qur’an (HR. Imam Ahmad). Dalam ajaran islam sasaran ahlak meliputi : a. Ahlak kepada Allah QS. An Naml (27) : 93
“ Dan Katakanlah: "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda
kebesaran-Nya, Maka kamu akan mengetahuinya. dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan". QS. Asy Syura (42) : 5
“… dan malaikat -malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya …” QS. Ar Ra’d (13) : 13
“ Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, …” b. Ahlak terhadap sesama manusia QS. An Nahl (16) : 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia 27
Ulumul Quran memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.“ (QS. An Nahl (16) : 90) QS. Al Baqarah (2) : 263
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). …“ QS. Al Baqarah (2) : 83
“... janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, ...“ QS. Ali Imran (3) : 134
“ (yaitu) orang -orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran (3) : 133-134) c. Ahlak terhadap lingkungan Istilah lingkungan sebagai ungkapan singkat dari lingkungan hidup yang juga sering digunakan istilah lain yang semakna seperti dunia, alam semesta, planet bumi, environment dan lainnya. Kemudian ilmu yang mengkaji tentang lingkungan hidup disebut ekologi.
43
Dalam perspektif lingkungan, Al Qur’an menggunakan kata yang mempunyai makna lingkungan adalah : 1) Al ‘Alamin. Bila dikaitkan dengan Allah menunjuk kepada Tuhan semesta alam (QS. Al Fatihah (1) : 2)
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang memiliki, mendidik dan memelihara. Lafal
Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuhtumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta alam raya. 2) Al sama’ yang menunjuk pada makna jagad raya.
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buahbuahan sebagai rezki untukmu…” (QS. Al Baqarah(2) : 22)
Kata ekologi (ecology ) berasal dari bahasa Yunani, oikos yang berarti rumah tangga dan kata logos yang berarti ilmu. Oleh karena itu, secara etimologis ekologi artinya ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk hidup di rumah termasuk proses dan pelaksanaan fungsi dan hubungan antar komponen secara keseluruhan. Dari segi istilah, lingkungan, environment, adalah keseluruhan perikehidupan di luar suatu organisme baik benjpa benda mati maupun benda hidup. Oleh karena itu, ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan sesamanya atau dengan makhluk mati di sekitamya disebut ekologi. 43
28
Ulumul Quran “Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS. Al Furqan (25): 61) 3) Al Ardl yang menunjuk kepada makna lingkungan hidup manusia atau ekosistem
“…dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj (22): 5)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah(2) : 164) 4) Al Bi’ah yang menunjuk pada makna tempat berlangsungnya kehidupan.
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istanaistana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al A’raf (7) : 74) Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi rnanusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara rnanusia dengan sesamanya dan rnanusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak mernberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan rnanusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan
terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri rnanusia sendiri .” Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al Qur’an yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar. Sampai-sampai dalam masalah pelaksanaan ritual ibadah haji pun manusia terlarang melakukan perusakan lingkungan dalam bentuk berburu binatang
29
Ulumul Quran
“…dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram…” (QS. Al Maidah (5) : 96) Bencana (mushibah) yang menimpa umat manusia boleh jadi disebabkan oleh ulah segelintir manusia, tetapi karena ketiadaan pencegahan terhadap perbuatan buruk terhadap perusakan lingkungan (atau bahkan mendukungnya), maka akibatnya pun diterima oleh seluruh manusia. Karena seluruh manusia dianggap telah ikut menyetujui terhadap perusakan lingkungan .
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi,
supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Rum (30) : 41) 6. Janji dan ancaman Allah SWT Dalam agama-agama, gambaran tentang wujud kebahagiaan dan kesengsaraan itu dinyatakan dalam konsep-konsep tentang kehidupan di surga dan di neraka. Meskipun ilustrasi tentang surga dan neraka itu berbeda-beda namun semuanya menunjukkan adanya keyakinan yang pasti tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan dalam hidup.
44
Deretan ayat yang menunjukkan hasil akhir sebagai wujud hukum sebab akibat terhadap perilaku manusia selama hidupnya dapat kita jumpai diantaranya dalam QS. Yunus (10) : 25-30. Dengan kesimpulan, perbuatan manusia yang dinilai baik oleh Allah akan berakibat pada kehidupan bahagia di akhirat dalam surga ( jannah, nirwana, firdaws). Demikian sebaliknya, perbuatan manusia yang dinilai buruk oleh Allah akan berakibat pada kehidupan sengsara (samsara) di akhirat dalam neraka. Keadaan di surga dan di neraka merupakan balasan setimpal sebagai wujud keadilan Allah.
25. Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam). 26. Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) Masalah janji dan ancaman terkai dengan konsep kebahagiaan (sa'adah) dan kesengsaraan (syaqawah) adalah masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan hidup manusia tak lain ialah memperoleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Semua ajaran, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata akan menjanjikan kebahagiaan bagi para pengikutnya dan mengancam para penentangnya dengan kesengsaraan. Gambaran tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu sangat beranekaragam. Namun semua ajaran dan ideologi selalu menegaskan bahwa kebahagiaan yang dijanjikannya atau kesengsaraan yang diancamkannya adalah jenis yang paling sejati dan abadi. 44
30
Ulumul Quran
kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. 27. Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) Balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gelita. mereka Itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 28. (ingatlah) suatu hari (ketika itu). Kami mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan): "Tetaplah kamu dan sekutu-sekutumu di tempatmu itu". lalu Kami pisahkan mereka dan berkatalah sekutu-sekutu mereka: "Kamu sekali-kali tidak pernah menyembah kami. 29. Dan cukuplah Allah menjadi saksi antara Kami dengan kamu, bahwa Kami tidak tahu-menahu tentang penyembahan kamu (kepada kami). 30. Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan. 7. Ilmu Pengetahuan Pesan untuk mengamati, meneliti, memikirkan dan mempelajari alam semesta, sangatlah jelas dan 45
berulang-ulang kali disampaikan dalam sekian banyaknya ayat-ayat Al Qur’an. Salah satunya adalah QS, Ali Imran (3) : 190-191
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Diantara ayat Al Qur’an yang membicarakan dasar-dasar Ilmu Pengetahuan adalah : a. Ilmu Biologi 1) Siklus kehidupan di bumi, QS. Qaaf (50) : 9-11
8.Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam. 10. Dan pohon kurma yang tinggitinggi yang mempunyai mayang yang bersusun- susun, 11. Untuk menjadi rezki bagi hambahamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan. 46 2) DNA (Deoxyribonucleic Acid ), QS. Al Insan (76) : 2 45 Melalui suatu pengamatan yang cermat atas segala alam sekitar kita, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya ini. Betapa teraturnya gerakan bintang-bintang pada garis edarnya masing-masing. Bumi tempat kita hidup yang berputar pada sumbunya dan beredar pada orbitnya di sekeliling matahari dalam jangka waktu tertentu dan pasti menyebabkan silih bergantinya siang dan malam dan bertukarnya musim secara teratur. Lewat ilmu pengetahuan alam kita diperkenalkan dengan hukum-hukum fisika dan kimia serta biologi, seperti hukum proporsi, hukum konservasi, hukum gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum paskal, kode genetik, hukum reproduksi dan embriologi. Penemuan hukum-hukum alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas, memberikan informasi yang jelas pada kita betapa alam raya ini mulai dari bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam inti atom yang sukar dibayangkan kecilnya, sampai kepada galaksi-galaksi yang tak terbayangkan besar dan luasnya, semuanya bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang mengaturnya. Dan yang lebih dekat kita renungkan ialah keadaan tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan, tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah panjang jaringan pembuluh darahnya sampai 100 ribu kilometer dan lebih dari 500 macam proses kimiawi terjadi di dalam hati. Tubuh manusia jauh lebih rumit dan menakjubkan daripada pesawat komputer. Prestasi atletik seringkali memperlihatkan tenaga tubuh yang bersifat melar. Sedangkan ketangguhannya menunjukkan staminanya. Meskipun demikian fungsi-fungsi tubuh yang tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari, tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya. Pusat pengatur tubuh, yakni otak memiliki kemampuan merekam dan menyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat apapun.
31
Ulumul Quran
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang
Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat.” Dalam hal nuthfah (setetes mani), maka sifat amsyaj (bercampur ) bukan sekadar bercampurnya dua hal sehingga menyatu atau terlihat menyatu, tetapi percampuran itu demikian mantap sehingga mencakup seluruh bagian-bagian dari nuthfah. Nuthfah/ amsyaj itu sendiri adalah hasil percampuran sperma dan ovum yang masing-masing memiliki empat puluh enam kromosom. Dalam kromosom itu didapati gen sebagai pusat data keturunan seseorang. 3) Aneka Flora dan Fauna, QS. Al Fathir (35) : 27 dan QS. An Nur (24) : 45
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. (QS. Al Fathir (35) : 27)
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari hewan itu ada
yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. (QS. An Nur (24) : 45) b. Ilmu Fisika Terhadap penciptaan alam semesta, pada tahun 1952, fisikawan Gamow, berkesimpulan bahwa galaksi-galaksi diseluruh alam raya yang jumlahnya tidak kurang dari 100 milyar dan masingmasing rata-rata berisi 100 milyar bintang itu pada mulanya berada disatu tempat bersama dengan bumi, sekitar 15 milyar tahun yang lalu. Materi yang sekian banyak itu terkumpul sebagai suatu gumpalan yang terdiri dari neutron, hingga pada saat tertentu yang tidak diketahui penyebabnya meledak dengan amat dahsyat yang melemparkan seluruh materinya hingga berhamburan untuk kemudian membentuk galaksi dan bintang-bintang. Peristiwa inilah yang kemudian dinamakan Dentuman Besar atau Big Bang.
47
Terhadap teori diatas tentu Al Qur’an telah menginformasikanya lebih dari 14 abad yang dengan menyatakan seperti tersurat dalam QS. Al Anbiya’ (21) : 30.
“Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
46 Penemuan mutakhir membuktikan bahwa faktor pewarisan sifat-sifat itu bukan kromosom yang demikian kecil, tetapi gen yang terdapat di dalamnya. Bahkan, lebih tepat dikatakan yang menyampaikan informasi genetik adalah senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. DNA ( Deoxyribonucleic Acid ) atau Asam Deoksiribosanukleat merupakan tempat penyimpanan informasi genetik itu. Sebuah molekul DNA manusia menyimpan informasi yang demikian banyak dan rumit. la mengendalikan ribuan kejadian yang berlangsung di dalam sel tubuh dan dalam pemungsian sistem-sistemnya, termasuk sifat-sifat fisik, seperti ketinggian badan, warna rambut dan mata, bahkan tekanan darah. Informasi yang tersimpan dalam DNA Hasil penelitian menunjukkan bahwa ia mengandung lima milyar potongan informasi yangberbeda. Jika satu potong informasi yang ada dalam gen manusia dibaca setiap detik tanpa henti maka dibutuhkan seratus tahun sebelum proses pembacaan itu selesai. 47 Dentuman Besar yang kejadianya digambarkan oleh Ilmuan sebagai peristiwa luar biasa terjadi akibat ketidak mungkinan materi alam secara keseluruhan berkumpul disuatu tempat dalam ruang semesta tanpa meremas diri dengan gaya gravitasi yang sangat kuat, hingga volumenya mengecil menjadi titik. Kemudian disimpulkan bahwa dentuman besar itu terjadi ketika seluruh materi semesta keluar dengan kerapatan yang sangat besar dan suhu yang sangat tinggi dari volume yang sangat kecil. Teori ini menyadarkan akan kesalahan hitung sehingga memaksa Albert Einstain harus merubah rumus relatifitas yang tadinya menyertakan kode constanta untuk kemudian dihilangkan sehingga sesuai dengan temuan yang lebih rasional. Kesalahan rumusnya ini, oleh Einstain dianggap sebagai
kesalahan besar dalam karirnya."
32
Ulumul Quran c. Ilmu Kimia Salah satu yang patut dibahas dan direnung-renungkan adalah air Keberadaanya sangat dibutuhkan oleh sekian banyak mahluk, karena ia adalah cikal bakal kehidupan, demikian QS. Al Anbiya’ (21) : 30. Air juga menjadi bagian terpenting dalam sistem thaharoh, bersuci yaitu wudhu dan mandi ( junub).
“…dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup…” Peranan air dalam kehidupan sungguh besar. Mekanisme kompleks kehidupan tidak mungkin dapat berfungsi dalam satu lingkungan selain dalam lingkungan cair, dan satu-satunya cairan untuk itu adalah air. Sebagian besar bagian bumi kita adalah air, bahkan sebagian besar dari diri kita sebagai manusia juga adalah air. Menarik diketahui bahwa air merupakan tiga perempat bagian bumi, dan diri kita pun manusia memiliki jumlah prosentase air yang serupa dalam tubuh 48
kita.
d. Ilmu Astronomi 1) Isyarat bahwa bumi adalah bulat adanya, QS. Al Hijr (15) : 19
“Dan Kami telah menghamparkan bumi …“ Maksud perkataan terhampar ialah di mana saja kita berada diatas muka bumi ini kita akan mendapatinya terbentang dihadapan kita. Jika kita pergi ke kutub Utara ( Artik ) dan Kutub Selatan ( Antartik ) kita akan menyaksikan bahwa planet bumi ini senantiasa terbentang. Fenomena ini tidak dapat terjadi sedemikian melainkan jika bumi berbentuk bulat. Hal ini didukung oleh pernyataan QS. Yasin (36) : 40 tentang malam dan siang yang tidak saling mendahului, ini merupakan isyarat bahwa planet bumi ini bulat karena siang dan malam itu merupakan suatu lingkaran yang tiada permulaan dan tiada akhirnya. Hanya dalam bentuk sedemikian malam dan siang berada serentak di atas permukaan planet bumi. Sebagian dari planet bumi yang mengarah kepada sinar matahari terjadi siang, sedangkan sebagian lagi yang membelakangi matahari terjadi malam. Kemudian planet bumi ini senannasa berputar pada porosnya supaya bagian-bagian bumi yang siang itu bertukar menjadi waktu malam sedangkan waktu malam bertukar menjadi waktu siang.
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.“ 2) Isyarat tentang Matahari sebagai pusat orbit QS. An naml (27) : 88
“ Dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya, Padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ Menurut fakta sains, planet bumi ini berputar pada sumbunya satu putaran dalam masa 24 jam dan pada masa yang sama planet bumi bergerak menurut orbitnya berputar mengelilingi planet matahari. Tiap-tiap satu putaran orbitnya, planet bumi memakan waktu kurang lebih 365 hari
Air adalah benda cair yang terdiri dari oksigen dan hidrogen (H2O). dalam kadar-kadar tertentu. Setetes air terdiri dari jutaan atom yang berbeda-beda jenis. Molekul-molekul pada zat cair saling berpegangan, tetapi tidak terlalu erat, sehingga dengan mudah dapat lepas danberpindah ikatan. Allah membuatnya sedemikian rupa, sehingga kita tidak perlu mengunyah air; cukup meneguknya, dia segera dengan mudah masukkekerongkongan. Air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius ; jika temperatur turun sampai ke bawah 0 derajat Celcius, maka air akan membeku menjadi es, dan bila temperaturberada di atas 110 derajat Celcius, maka air akan menguap. 48
33
Ulumul Quran dan 6 jam dan bergerak sejauh 585 juta km, yaitu beredar kurang lebih 18.5 km sesaat atau 66.000 km satu jam. la juga merupakan 30 kali lipat lebih cepat dari kelajuan gerakan peluru. Pergerakan sedemikian adalah sangat hebat dan cepat, sehingga jika planet bumi tiba-tiba berhenti dalam perjalanannya, ia akan berubah menjadi gumpalan gas ( voktilized ) dan planet bumi akan musnah terbakar.
49
e. Ilmu Matematika Dalam masalah sedekah Allah mengajak pelaku sedekah untuk menghitung berapa kebaikan yang ia terima dengan menggunakan bilangan bulat, seperti redaksi QS. Al Baqarah (2) : 261.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang -orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Disamping itu, Al Qur’an mengenalkan angka pecahan untuk diaplikasikan penggunaanya dalam penghitungan pembagian harta warisan, seperti diuraikan dalam QS. An Nisa’: 11-13. f. Ilmu Sosiologi Manusia sebagai mahluk sosial, tentu dalam kehidupanya manusia akan melestarikan budayabudaya yang dianggap baik ( urf ) selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan ( fitrah) berlandaskan pada ajaran kitab suci. Dalam konsep kemasyarakata yang lebih luas tiap manusia diharapkan mengenal kebudayaan, etika dan sikap hidup orang lain dengan saling mengenalnya dengan baik (QS. Al Hujurat (46): 13) sehingga tumbuh semangat toleransi, karena sesama manusia masing-masing mempunyai Hak Asasi dan Kewajibab asasi yang tidak boleh diganggu. Maka sangat tidak wajar bila suatu masyarakat menganggap komunitasnya adalah yang paling unggul (superior ) dan menganggap masyarakat lain sebagai yang wajar untuk ditindas ( inferior ) atau bahkan dimusnahkan (QS. Al Hujurat (46): 11). Sebagai upaya menciptakan suasana kedamaian bersama, maka masing-masing indifidu diharapkan mempunyai sikap baik sangka (husn al dhan ) dan menjauhi sikap buruk sangka (syu’u al dhan) (QS. Al Hujurat (46): 12).
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. 12. Hai orang-
Matahari yang kita lihat terbit dan tenggelam setiap hari, adalah sebuah bintang yang merupakan benda angkasa terbesar dalam tatasurya kita. la adalah gumpalan gas yang berpijar dengan garis tengah sekitar 1.392.429 km. Jarak rata-rata antara titik pusat bumi ke titik pusat matahari sekitar 149.572.640 km. Ada juga pakar yang memperkirakan jarak antara bumi kita dengan matahari sekitar 39 juta mil. Matahari terdiri dari 69.5 persen gas hidrogen dan 28 persen Celsius. Dipusatnya suhu meningkat hingga 19.999.98°C. jarak matahari itu sangat tepat dan sangat memungkinkan bagi kehidupan mahluk, jika lebih dekat dari itu tentu bumi terbakar dan jika lebih jauh dari itu tentu bumi akan diselimuti gumpalan es yang tentu juga akan membinasakan mahluk hidup di muka bumi karena kedinginan 49
34
Ulumul Quran
orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. g. Ilmu Geografi 50 Al Qur’an melukiskan gunung sebagai pasak yakni paku yang besar (QS. An Naba’ (78): 7). Dari deretan gunung yang ada Al Qur’an memberi informasikan tentang warna gunung yang berbedabeda tergantung dari kandungan materi dan batuan, jika yang dominan besi, warna yang dominan adalah merah, jika materi bebatuan berupa batu bara, warna dominanya hitam dan warna dominan kehijau-hijauan, maka materialnya berupa perunggu dan lain sebagainya (QS. Al Fathir (35) : 27)
“Dan gunung-gunung sebagai pasak.”
“… dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” h. Ilmu Arkeologi QS. Al Fajr (89) : 6-9 tentang Informasi Al Qur’an atas bukti-bukti arkeologis terhadap fakta peradaban kaum Tsamud dan ‘Ad yang ditemukan dikedalam tanah. Lembah ini terletak di bagian utara Jazirah Arab antara kota Madinah dan Syam. mereka memotong-motong batu gunung untuk membangun gedung-gedung tempat tinggal mereka dan ada pula yang melubangi gunung-gunung untuk tempat tinggal mereka dan tempat berlindung.
6.Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad? 7. (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai Bangunan-bangunan yang tinggi. 8. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, 9. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. i. Ilmu Seni Seni pada dasarnya adalah ungkapan ruhani dalam menggambarkan keindahan yang mamukau dalam berbagai bentuk. Misalnya ; sajak, syair, kaligrafi, lukisan dan lain-lain. Dasar-dasar berkesenian dalam Al Qur’an bertujuan untuk mengungkap keindahan ciptaan Allah, karena “sesungguhnya Dia Maha Indah dan menyenangi keindahan” (HR. Muslim). Beberapa unsur keindahan dalam Al Qur’an diantaranya ; 1) Keindahan jagad raya (QS. Qaaf (50) : 6) 50 Gunung adalah bagian permukaan bumi yang menonjol lebih tinggi dari d aerah sekitarnya, umumnya terbentuk akibat gerakan kulit bumi. Lapisan padat kerak bumi dapat mencapai ketebalan sekitar 60 kilometer. Lapisan itu dapat meninggi, sehingga membentuk gunung-gunung, atau menurun menjadi dasar lautan dan samudra, Gerakan ke bawah membentuk cekungan dan kemudian terisi dengan endapan laut berubah menjadi batuan. Lalu gerakan ke atas mengangkat batuan itu lebih tinggi dari daratan sekelilingnya. Bisa juga gerakannya menyamping sehingga melipat permukaan bumi menjadi gunung. Dari hasil rekaman satelit dibuktikan bahwa Jazirah Arabia beserta gunung-gunugnya bergerak mendekati Iran beberapa sentimeter setiap tahunnya. Sekitar lima juta tahun yang lalu, Jazirah Arabia bergerak memisahkan diri dari Afrika dan membentuk. Laut Merah. Di sekitar daerah Somalia sepanjang pantai Timur ke Selatan, saat ini sedang dalam proses pemisahan yang lamban dan telah membentuk "Lembah Belah" yang membujur ke selatan melalui deretan danau Afrika. Meskipun pergerakannya amat lambat dan tidak kita rasakan, tetapi ia amat berarti. Sementara pakar menyatakan bahwa benua dan lautan berada di atas lempeng atau kepingan yang sangat besar, bergerak dengan kecepatan satu sampai dengan 12 cm setiap tahun. Lempeng yang diduduki benua Australia sedang bergerak ke arah utara dengan kecepatan sekitar 6 cm pertahun. Kalau ini berlanjut maka pada akhirnya ia dapat mengimpit kepulauan Nusantara kita yang kini terletak antara Benua Australia dan Benua Asia. Walau gunung berfungsi sangat banyak bagi kemanfaatan hidup dibumi, tetapi sesekali Allah memperingatkan manusia melalui gunung. Misalnya melalui gunung Krakatau yang meletus tahun 1883 yang m engakibatkan sekitar 36.000 orang menjadi korbannya. Sebelumnya pada pada tahun 1815 letusan gunung Tambora mengakibatkan 92.000 jiwa melayang
35
Ulumul Quran
“Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ?” 2) Keindahan langit (QS. Ash Shaffat (37) : 6-7)
6. Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, Yaitu bintangbintang,7. Dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari Setiap syaitan yang sangat durhaka. 3) Keindahan laut dan isinya (QS. An Nahl (16) : 14)
“ Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.“ 4) Keindahan Tumbuhan (QS. Al An’am (6) : 99)
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala
macam tumbuh-tumbuhan Maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang- orang yang beriman.” j. Ilmu Ekonomi Harus diakui bahwa Al Qur’an tidak menyajikan rincian, tetapi hanya mengamanatkan nilal-nilai (prinsip-prinsip) nya saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka operasionalisasinya. Tapi, bahwa semangat untuk melakukan kegiatan ekonomi sangat didorong oleh islam, karena etos kerja untuk memenuhi kesejahteraan dinilai mulia oleh Allah sehingga, Dia dalam QS Al Jumu’ah (62): 9 memerintahkan melanjutkan aktifitas untuk memperoleh rizki dengan cara yang direstui Allah.
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- banyak supaya kamu beruntung.” Harta atau uang dinilai oleh Allah Swt. sebagai "qiyaman", yaitu "sarana pokok kehidupan" Dalam pandangan Al Qur’an, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang terpenting". Manusia menduduki tempat di atas modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.
36
Ulumul Quran Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya, diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modal. Ini dipahami dari redaksi QS Al-Nisa' (4) : 5,
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang -orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh Al Qur’an. Salah satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat 2,5 % terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al Qur’an mengingatkan dalam QS. At tawbah (9) : 34
“…dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” Al Qur’an memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang. Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam pencatatannya kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Allah berpesan pada lanjutan ayat di atas. Dari QS. Al Baqarah (2) : 282 inilah, tumbuh ilmu Akuntansi (account ) yang berkembang hingga saat ini.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),...” k.Ilmu Bahasa Bahasa adalah alat komunikasi antar indifidu dalam konteks global. Bahasa juga menjadi bahan penting bagi seseorang untuk memahami pesan-pasan Ilahi dalam deretan frase wahyu, memahami pesan-pesan informasi sekaligus memahami perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa Arab misalnya, dipilih Allah sebagai bahasa Al Qur’an bukan hanya kebetulan yang ditemuinya adalah masyarakat arab, tetapi harus diakui bahwa bahasa Arab tersebut mempunyai kosa kata yang sangat kaya, sehingga sebagian pakar bahasa dalam penelitiannya mengatakan bahwa bahasa Inggris meminjam sekian banyak kosa kata bahasa Arab khususnya yang berkenaan dengan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
37
Ulumul Quran Dalam konteks pemberitahuan terhadap informasi menyangkut kebudayaan, dakwah dan informasi sederhana, para informan diharapkan menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga tidak terjadi kasalahpahaman (miss understanding) dan penyampaian maksud dapat diterima dengan baik. Hal ini ditegaskan antara lain dalam QS. Ibrahim (14) : 4.
“… Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…”
8. Sejarah Al Qur’an dalam beberapa ayatnya mengungkap sejarah masa lalu tentang keadaan masyarakat dan keadaan tokoh-tokoh tertentu. Penampilan dan pengungkapan fakta sejarah itu hendaknya dijadikan ibrah, atau mengambil pelajaran dan hikmah terhadap dampak yang timbul akaibat perilaku yang dikerjakan. Dari sini Al Qur’an mengajak pembacanya
melakukan kontemplasi
(memikir ulang), menggunakan akal nalar secara jernih dan obyektif serta melakukan tindakan sesuai dengan tujuan kehadiran manusia dipentas bumi ini. a. Tokoh pribadi 1) Para Nabi dan Rasul Allah, QS. Al Hadid (57) : 25, QS. Ali Imran (3) : 84, QS. Al An’am (6) :8386
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul -rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…” (QS. Al Hadid (57) : 25)
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Kami
dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membedabedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah Kami menyerahkan diri." (QS. Ali Imran (3) : 8)
83. Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. 84. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) Yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 85. Dan Zakaria, Yahya, Isa
38
Ulumul Quran
dan Ilyas. semuanya Termasuk orang-orang yang shaleh. 86. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth. masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya) 2) Fir’aun, QS. An Nazi’at (79) : 20-25
20. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. 21. Tetapi Fir´aun mendustakan dan mendurhakai. 22. Kemudian Dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). 23. Maka Dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. 24. (seraya) berkata:"Akulah Tuhanmu yang paling tinggi". 25. Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. 3) Luqman, QS. Luqman (31) : 13
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” 4) Maryam, QS. Mayam (19) : 16-21
16. Dan Ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, 17. Maka ia Mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. 18. Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa". 19. Ia (Jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". 20. Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!" 21. Jibril berkata: "Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan".
b. Komunitas 1) Keluarga Imran, QS Ali Imran (3) : 33-36
39
Ulumul Quran
33. Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), 34. (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. 35. (ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". 36. Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk." 2) Kaum Sodom, QS. Hud (11) :78-79
78. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, Inilah puteri puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?" 79. Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa Kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki."
3) Kaum ‘Aad, QS. Hud (11) :50
“Dan kepada kaum 'Ad (kami utus) saudara mereka, Huud. ia berkata: "Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. kamu hanyalah mengadaadakan saja.” 4) Kaum Tsamud, QS. Hud (11) :61
“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." 5) Peradaban Madyan, QS. Hud (11) :84
“Dan kepada (penduduk) Mad -yan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat). " Wallahu a’lam“
40
Ulumul Quran
BAB 3 WAHYU: CARA DITURUNKAN DAN PENYAMPAIANNYA
A. Pengertian Wahyu Wahyu atau al-wahy adalah kata mashdar (infinitif); dan materi katanya menunjukkan dua 51
(tersembunyi dan cepat).
pengertian dasar, yaitu
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
menyatakan bahwa wahyu itu ialah yang dibisikkan ke dalam sukma, diilhamkan dan isyarat cepat yang lebih mirip kepada dirahasikan daripada dilahirkan.
52
Menurut M Quraish Shihab kata al-wahy isyarat
yang cepat, surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.
53
Dalam Al-Qur’an, kata wahy digunakan dalam beragam pengertian diantaranya : 1. Ilham Fithriah bagi manusia
Dan Kami wahyukan (berikan ilham) kepada ibu Musa agar ia menyusuinya (QS Al-Qashash:7) 2. Instink bagi hewan
Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan instink) kepada lebah, “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia (Q.S. Al-Nahl : 68). 3. Isyarat
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia wahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (QS. Maryam: 11). 4. Bisikan / rayuan setan
Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka adaadakan (Q.S. Al-An’am : 112) Dalam al-Quran tercantum ada 15 bentuk kata yang berasal dari akar kata wayu, yaitu awhā, awhaitu, awhaina, nūhi, nūhihi, nuhiha, layūhuna, yūhi, fayūhiya, ūhiya, yūha, yūhā, wahyun, wahyin,
wahyan, wahyina, wahyuhu . 54 Dalam pengertian wahy secara istilah, para Ulama memberikan definisi sebagai berikut: 1. Menurut Muhammad Abduh Wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.
55
51
Mannā’ al-Qaththān, Mavāhiś fī ‘Ulūm al -Qur’ān (Cet. III; Bairūt: Mansyūrat al-‘Ashr al-hadīśah, 1973): 32 Ash-Shiddieqy,T.M. Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al- Qur’an/Tafsir . Jakarta: Bulan Bintang Cet. VIII : 24 53 Shihab, M. Quraish et.al. 2000. Sejarah dan Ulum Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. II : 48 54 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi islam Indonesia . Jakarta: Djambatan. Cet. I 52
55
Ibid: 48
41
Ulumul Quran 2. Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy Wahyu adalah nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabinabi-Nya, sebgaimana diperghunakan juga untuk lafaz Al-Quran.
56
Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau yang digunakan oleh AlQur’an sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat diartikan sebagai Pemberitahuan Tuhan kepada
nabi/rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat. Pengertian demikian ini juga digunakan dalam AlQur’an, antara lain pada ayat :
Sesungguhnya Kami Telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahny;, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (QS. Al-Nisa’: 163) Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa konsep “wahy” dalam Islam mengandung dua unsur utamanya, yaitu pemberi berita (Allah SWT) dan penerima berita (Nabi), sehingga tidak dimungkinan terjadinya wahyu tanpa keduanya atau menafikan salah satunya. Dari sini jelas pula bahwa wahyu harus dibedakan dengan ilham yang memancar dari akal tingkat tinggi, atau dari apa yang sering disebut-sebut para orientalis (yang sebetulnya mengikuti kaum musyrik dan kafir pada zaman Nabi Muhammad SAW)
sebagai “daya imajinasi dan khayalan kreatif” (creative imagination), dan “kondisi kejiwaan tertentu dimana seseorang seakan-akan melihat malaikat kemudian mendengar atau memahami sesuatu darinya,” atau “al-waÍy al-nafsi ” yang sering dituduhkan kepada Nabi Muhammad SAW, dulu maupun kini. Oleh karenanya, kemudian sebagian diantara mereka menyebutnya sebagai “imajinasi penyair (shair ), halusinasi mimpi ( adghathu ahlam), dukun dan tukang sihir.” Bahkan ada sebagian lagi dari mereka yang secara kasar dan pejorative mengatakan bahwa kondisi tersebut adalah semacam “gangguan jiwa” yang mereka sebut dengan berbagai macam sebutan, seperti “epilepsi” ( al-sar’ ) dan “gila” (al-junn), sebagaimana yang direkam dengan jelas dalam al-Quran sendiri Tentu anggapan-anggapan dan tuduhan-tuduhan semacam ini sangat ringkih,5 karena tidak berdasar apapun (baseless) selain untuk menolak dan menggugat kesucian dan otoritas wahyu yang diterima Rasulullah SAW, khususnya Al-Qur’an. Dengan menafikan adanya unsur di luar diri seorang nabi, yakni Allah SWT, mereka ingin menegaskan bahwa apa yang diklaimnya sebagai wahyu adalah hasil produksi olah-pikir/ imaginasi dirinya sendiri, yang dengan demikian secara substansial tidak beda dengan umumnya produk pemikiran manusia, dan sesuatu yang dapat diusahakan secara sungguhsungguh untuk dihasilkan (muktasab) oleh siapa saja yang mampu. Maka dari itu, untuk mementahkan tuduhan-tuduhan miring tersebut, begitu juga untuk mengantisipasi munculnya tuduhan-tuduhan serupa di masa mendatang, sejak dini Allah SWT sendiri dalam
Al-Qur’an telah
menyatakan,
bahwa
Al-Qur’an
itu
“diturunkan”,
atau
Allah
SWT
“menurunkannya”, dan proses pewahyuannya dengan menggunakan kata kerja bentuk “anzala” dan “nazzala” dengan berbagai variasinya, seperti “anzalna”, “anzaltu” “nazzalna”, “tanzil”. Bagi siapa saja yang faham kaedah bahasa Arab dengan benar, secara otomatis akan faham bahwa dalam proses pewahyuan ini ada unsur di luar Muhammad SAW yang aktif sebagai pemberi atau sumber utama yang otoritatif, yaitu Allah SWT. Harus segera disusulkan di sini bahwa memang ada dua ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan turunnya wahyu kepada Nabi SAW yang menggunakan kata kerja bentuk
56
42
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi op. cit: 27
Ulumul Quran “nazala”, yaitu dalam surah Al-Isra :105
57
58
dan Asy-Syuara’ :92, yang seakan-akan jika difahami secara
terpisah atau out of context mengindikasikan wahyu datang sendirinya tanpa ada fihak yang bertanggung jawab sebagi sumbernya. Namun dengan memahami dua ayat tersebut dalam konteks maka anggapan ini segera gugur dengan sendirinya.
59
B. Macam-macam Wahyu Allah SWT menerangkan bahwa sebagaimana Dia menurunkan wahyu kepada Rasul-rasul terdahulu Dia menurunkan juga wahyu kepada Nabi Muhammad berupa Al-Quran sebagai rahmat Nya, seperti informasi Al Qur’an dal QS Asy Syuara: 51,
51. dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS. Asy Syuraa: 51) Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa wahyu terbagi dalam 3 macam: 1. Tanpa prantara antara Allah dan rasul Nya. Allah SWT menanamkan ke dalam hati sanubari seorang Nabi suatu pengertian yang tidak diragukannya bahwa yang diterimanya adalah dari Allah SWT. Seperti halnya yang terjadi dengan Nabi Muhammad saw Sabda beliau:
Sesungguhnya Ruhul Qudus telah menghembuskan ke dalam lubuk hatiku bahwasanya seseorang tidak akan meninggal dunia hingga dia menerima dan menjalin dengan sempurna rezeki dan ajalnya, maka bertakwalah kepada Allah SWT dan berusahalah dengan cara yang sebaik-baiknya. (H.R. Ibnu Hibban) 2. Terdengar dari Balik Tabir Gaib. Di balik tabir yakni dengan cara mendengar dan tidak melihat siapa yang berkata, tetapi perkataannya itu didengar, seperti halnya Allah berbicara dengan Nabi Musa, Firman Allah,
“Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat- Mu’.” (QS. Al-A’raf : 143) 3. Melalui Perantara Malaikat. Allah SWT mengutus seorang utusan berupa malaikat Jibril, maka utusan itu menyampaikan wahyu kepada siapa yang dikehendaki Nya, sebagai mana halnya Jibril turun kepada Nabi Muhammad dan kepada Nabi yang lain baik dengan menamppakan wujud aslinya atau tidak.
dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. 58 dan dikatakan kepada mereka: "Dimanakah berhala-berhala yang dahulu kamu selalu menyembah(nya) 59 Thoha, Anis Malik, Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam Makalah ini disampaikan sebagai materi Kuliah Peradaban yang 57
diselenggarakan oleh Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) - INSISTS, Semarang, tanggal 2-3 Juni 2007
43
Ulumul Quran C. Cara Penyampaian Wahyu 1. Taklimullah
Taklimullah (Allah swt berbicara langsung) k epada Nabi-Nya dari belakang hijab. Yaitu Allah menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur. Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah berbicara langsung dengan Musa as, dan juga dengan Nabi Muhammad saw pada peristiwa Isra' dan Mi'raj. Allah berfirman tentang Nabi Musa:
" …Dan Allah swt telah berbicara kepada Musa dengan langsung "(QS. An-Nisa`: 164).
2. Melalui Perantaraan Malaikat Allah SWT menyampaikan risalah-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu: a. Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi saw setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi saw tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah. Kedua, Rasulullah saw melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah saw dimi'rajkan.
13. dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, 14. (yaitu) di Sidratil Muntaha 15. di dekatnya ada syurga tempat tinggal,16. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.17. penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.18. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. b. Malaikat Jibril as terkadang datang kepada Nabi saw dalam wujud seorang lelaki. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadis Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. c. Malaikat Jibril mendatangi Nabi saw, namun ia tidak terlihat. Nabi saw mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah saw, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah saw berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau saw bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah saw berubah secara mendadak. Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit ra, dia berkata : "Allah swt menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw, sementara itu paha beliau saw
sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau saw menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur" .(HR. Bukhari). 3. Dibisikkan ke dalam Hati Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu. Yaitu Allah swt atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi saw disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah swt. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah saw bersabda :
44
Ulumul Quran
:
"Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah swt menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah swt. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah swt tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaati-Nya". 4. Berbentuk Ilham Wahyu diberikan Allah SWT dalam bentuk ilham yakni Allah SWT memberikan memberikan ilmu kepada Nabi saw, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.
60
5. Melalui Mimpi Wahyu diturunkan melalui mimpi. Yakni Allah swt terkadang memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim as agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah SWT:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. Ash Shaffat: 102).
6. Menyerupai Suara Gemerincing Lonceng Wahyu datang menyerupai bunyi gemerincing lonceng. Ini merupakan cara penyampaian wahyu yang paling berat dan malaikat tidak terlihat oleh pandangan Nabi saw. hingga dahi beliau berkerut mengeluarkan keringat walaupun saat itu cuaca sangat dingin, bahkan hewan tunggangan yang beliau naiki tak kuasa berderum ke tanah. Dalam Shahih Bukhari disebutkan wahyu seperti ini juga pernah datang saat Nabi saw. sedang meletakkan kakinya ditopang badan Zaid bin Tsabit ra. sehingga Zaid merasa keberatan dan hampir saja dia tidak kuat menyangganya. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Siti 'Aisyah ra. bahwa, Al Harits bin Hisyam bertanya kepada Nabi saw, ujarnya: " Bagaimana cara wahyu datang kepada engkau ? jawab Rasulullah sa: " Kadang-kadang wahyu datang kepadaku sebagai bunyi gemerincing lonceng. Itulah
yang sangat berat bagiku . Setelah ia berhenti, aku telah mengerti apa yang telah dikatakan Nya; kadang-kadang malaikat merupakan dirinya kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, maka aku mengerti apa yang dibicarakannya ". Berkata Aisyah ra, sesungguhnya saya lihat Nabi ketika turun Kepadanya wahyu di hari yang sangat dingin, kemudian setelah wahyu itu terhenti terlihat dahinya bercucuran keringat .
Salah satu contoh ucapan Muhammad yang disampaikan dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, bukan sebagai utusan Allah, adalah ketika akan terjadi perang Khandaq. Muhammad menginstruksikan kepada prajuritnya untuk membuat pertahanan di dalam kota. Namun instruksi ini dipertanyakan oleh salah seorang tentaranya, dengan berkata: “Ya Rasulallah, apakah instruksi ini merupakan wahyu dari Allah?” Muhammad menjawab, “Bukan”. Lalu tentara tadi mengusulkan agar pertahanan dilakukan di luar kota, karena kalau bertahan di dalam kota, walaupun menang dalam peperangan tetapi akan menyebabkan hancurnya kota. Karena itu dibuatlah parit (Khandaq) sebagai benteng pertahanan di luar kota 60
45
Ulumul Quran D. Hubungan Akal dan Wahyu Kedudukan antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah. Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki a turan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-Qur’an Al-Qur’an dan dan Hadis bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Al-Qur’an Al-Qur’an dan dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang. " Wallahu a’lam“
46
Ulumul Quran
BAB 4 SEJARAH NUZULUL QUR’AN
A. Pengertian Nuzulul Qur’an Secara etimologis, kata Nuzul memiliki beberapa pengertian. Menurut Ibn Faris, kata Nuzul 61
berarti hubuth syay wa wuqu’uh, turun dan jatuhnya sesuatu. Sedang menurut al-Raghib al-Isfahaniy, 62
kata Nuzul berarti al-inhidar min ‘ulw ila asfal, meluncur atau turun dari atas kebawah. Nuzul dalam pengertian ini dapat di jumpai dalam QS. Al Baqarah: 22.
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit.
Dari uraian diatas diatas Nuzulul Qur’an adalah Qur’an adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama kepada Nabi Nabi Muhammad SAW. Adapun mengenai waktu atau tanggal tepatnya kejadian tersebut, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, sebagian menyakini peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rabiul Awal pada tanggal 18 (berdasarkan riwayat Ibnu Umar), sebagian lainnya pada bulan bulan Rajab pada
tanggal 17 atau 27 menurut menurut riwayat Abu Hurairah, dan lainnya
adalah pada bulan Ramadhan tanggal 17 (Al Bara’ bin Azib).
B. Sejarah Nuzulul Qur’an Al-Qur’an Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
63
Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu tidak secara 64
sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang tersebut. Di samping itu, bukti turunnya Al-Qur’an Al-Qur’an secara bertahap adalah adanya ayat pertama dan terakhir yag diturunkan. Menurut tarikh Islam, Al-Qur’an Al-Qur’an turun turun untuk pertama kali pada tanggal 17 Ramadhan di saat Muhammad SAW sedang berkhalwat di gua Hira.
65
66
Rangkaian ayat-ayat yang turun peratama adalah ayat 1-5 QS. 67
Al Alaq. Sedang ayat terakhir turun terdapat pada ayat ke-3 QS. Al Maidah ketika Nabi SAW sedang melaksanakan haji perpisahan (wada’ (wada’ )
Ibn Zakariya, Abi al-Hussein Ahmad Ibn Faris. Maqoyis al-Lughoh . Bairut:Dar al-‘Ilm al-‘Ilm Li al-Malayyin, al-Malayyin, t.t :342. -Karim. Bairut: Dar al-Fikr: 824. Isfahaniy, Al-Raghib. 1982. al-Mufradat fi Alfadz Alqur’an Alqur’an al -Karim. 63 Selama masa itu Al-Qur’an Al-Qur’an mempunyai mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-’Ashr, Al- ’Ashr, Al-Kautsar, Al-Kautsar, dan An-Nashr. Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat. Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an). Al-Qur’an). Masing-masing Masing-masing hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub’ ar- rub’ (seperempat), (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat). Selanjutnya Al- Qur’an dibagi pula dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap satu ruku’ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku’, sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’. Nisf ruku’. Nisf Al-Qur’an Al- Qur’an (tanda pertengahan AlAl-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”. 64 Supiana dan M. Karman. 2002. Ulumul Qur’an . Bandung: Pustaka islamika: islamika: 57 61 62
Gua Hira yaitu gua yang terletak di Jabal Nur kurang lebih 2 km dari kota Makkah. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. 67 Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. 65 66
47
Ulumul Quran 1. Menurut Periodesasi a. Periode Pertama Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra' ), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Pada periode ini kandungan Al-Qur’an berkisar pada 3 masalah. Pertama, pendidikan kepribadian bagi Rasulullah, QS.74:1-7,
68
69
70
QS. 73:1-4), QS 26: 214-216. Kedua, pengetahuan pengetahuan
dasar mengenai sifat dan af'al Allah. Seperti pada QS. Al-A'la
71
atau surah Al-Ikhlash.
72
Ketiga,
keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Seperti pada surah Al-Takatsur.
73
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok: 1) Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran. 2) Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka 74
(QS. 21: 24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang 75
(QS.43: 22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: " Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan
nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami ." 3) Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya. b. Periode Kedua Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah. Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika berhijrah ke Habsyah dan pada akhirnya ke Madinah.
76
68 Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu. 69 Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil. 70 Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan. 71 Surah ke-7 yang diturunkan 72 Menurut hadis Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT. 73 Satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong. 74 Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: "Unjukkanlah hujjahmu! (Al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku". sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling. 75 Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya Kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". 76 Hijrah ke Habasyah 1. Hijrah ini terjadi pada tahun kelima kenabian. Kaum muslimin yang berhijrah ada sebelas orang laki-laki dan empat orang wanita. 'Utsman bin 'Affan dan istrinya Ruqayyah bintu Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasalam termasuk orang-orang yang berhijrah pertama kali ke Habasyah. Hijrah ke Habasyah 2 Orang-orang yang berhijrah ke Habasyah mendengar berita bahwa penduduk Makkah telah masuk Islam. Maka mereka pun kembali ke Makkah. Di antara mereka ada 'Utsman bin Mazh'un. Kemudian mereka mendapati bahwa berita itu tidak benar. Sehingga mereka kembali lagi ke Habasyah. Jumlah kaum muslimin yang hijrah juga bertambah. Ada 83 laki-laki dan 18 perempuan. Quraisy mengirim dua utusan kepada Raja Najasyi. Mereka adalah 'Amr bin Al 'Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah. Mereka meminta agar Najasyi mengembalikan kaum muslimin kepada mereka di Makkah. Namun Najasyi menolak karena ia melihat kebenaran ada di pihak kaum muslimin. Mayoritas orang yang berhijrah ke Habasyah berhijrah ke Madinah setelah agama Islam kokoh di Madinah. Ja'far bin Abi Thalib Rodhiyallahu 'anhu dan beberapa orang tertinggal di Habasyah. Mereka baru ke Madinah pada saat penakhlukan Khaibar, di tahun ketujuh hijriyyah.
48
Ulumul Quran Pada masa tersebut, ayat Al-Quran menerangkan kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan 77
kondisi dakwah ketika itu, yakni mengajak ke jalan Allah (QS 16: 125), kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran (QS 41:13),
78
argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang 79
dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, (QS 36:78-82). Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat. c. Periode Ketiga Pada periode ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (kemudian berganti nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama 10 tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan. seperti: Prinsipprinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda? Beberapa ayat menggunakan
80
kata-kata yang membangkitkan semangat (QS 9:13-14), 81
adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas (QS 5: 90-91), menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, (QS 24: 27), 82
jihad (QS 3:139-140),
83
dan ajakan dialog kepada siapa saja yang enggan menolak ajaran ilahi
84
(QS 3:64)
2. Menurut Proses Turun kepada Nabi SAW 85
Menurut proses turunya, Al Qur’an di turunkan melalui tiga tahapan, yaitu: a. Al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan ke lauh mahfudh oleh Allah. Q.S. Al-Buruj: 21-22
Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya 78 Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: "Aku pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud" 79 Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?" Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia 77
Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta menghinarendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman 81 Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, 80
serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut 82 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. 83 Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya 84 Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim" 85
Syakur Sf, M. 2007. ‘Ulumul Al-Q ur’an, semarang : PKPI2-FAI Universitas Wahid Hasyim: 39
49
Ulumul Quran
21. bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, 22. yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh .
b. Al-Qur’an diturukan dari lauh mahfudh ke langit dunia (bait Al ‘izzah) pada lailatul qadr secara keseluruhan. QS. Al-Qadar: 1
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. 86
c. Al-Qur’an diturunnkan secara berangsur-angsur dari langit dunia (Baitul ‘Izzah) melalui Malaikat jibril as, kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. QS. Al Isra’ ayat 106
106. dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Q.S. Asy-Syuara: 193-195
193. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), 194. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, 195. dengan bahasa Arab yang jelas. Riwayat Imam Hakim dan Imam Baihaqi melalui ibnu ‘Abbas ra,:
Al Qur’an diturunkan dalam bentuk keseluruhan kelangit dunia yang berada pada tempat bintangbintang, sedangkan allah menurunkannya kepada rasulNya sebagian demi sebagian Perbedaan turunnya Al-Qur’an secara sekaligus dan berangsur-angsur disebabkan karena merujuk kepada dua kata anzala dan nazala dalam QS Al Isra’ : 105.
105. dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Pakar Bahasa Arab, Raghib Al-Asfahani perbedaan dua kata tersebut, kata inzal dan tanzil. Kata tanzil ( atau (
) dimaksudkan berkenaan turunya Al-Qur’an secara berangsur-angsur ( ). Sedangkan kata inzal ditujukan berkenaan turunya Al-Qur’an secara sekaligus (
), ).
C. Hikmah Diturunkan Al-Qur’an secara Gradual 1. Menguatkan hati Nabi SAW Dengan turunnya wahyu secara bertahap menurut peristiwa, kondisi, dan situasi yang mengiringinya, tentu hal itu lebih sangat kuat menancap dan sangat terkesan di hati sang penerima wahyu tersebut, yakni Muhammad SAW. Dengan begitu turunnya malaikat kepada beliau juga lebih sering ( intens), yang tentunya akan membawa dampak psikologis, terbaharui semangatnya dalam mengemban risalah dari sisi Allah. Beliau tentunya juga sangat bergembira yang sulit diungkapkan dengan katakata. Karena itu saat-saat yang paling baik di bulan Ramadhan, ialah seringnya perjumpaan beliau dengan malaikat Jibril.
86
Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr Yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan,
kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Quran
.
50
Ulumul Quran
“Orang-orang kafir berkata, kenapa Al Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah,
supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqaan: 32) 2. Menantang siapa yang mengingkari Al-Qur’an Karena menurut mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Qur’an, apalagi membuat langsung satu kitab.
23. dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
87
3. Mudah dihafal dan dipahami. Proses turunnya Qur’an secara berangsur-angsur, sangatlah mudah bagi manusia untuk menghafal serta memahami maknanya. Lebih-lebih bagi orang-orang yang buta huruf seperti orang-orang arab pada saat itu; Qur’an turun secara berangsur-angsur tentu sangat menolong mereka dalam menghafal serta memahami ayat-ayatnya. Memang, ayat-ayat Qur’an begitu turun oleh para sahabat langsung dihafalkan dengan baik, dipahami maknanya, lantas dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya Umar bin Khattab pernah berkata: “Pelajarilah Al-Qur’an lima
ayat-lima ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Qur’an kepada Nabi SAW 5 ayat-5 ayat.” (HR. Baihaqi) 4. Meningkatkan semangat dan motifasi dalam menerima Al-Qur’an dan giat mengamalkannya. Dengan begitu kaum muslimin waktu itu memang senantiasa menginginkan serta merindukan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Apalagi pada saat memerlukannya karena ada peristiwa yang sangat menuntut penyelesaian wahyu, seperti ayat-ayat mengenai kabar bohong yang disebarkan oleh kaum munafik untuk memfitnah Aisyah isteri Nabi, dan ayat-ayat tentang li’an. 5. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur; yakni dimulai dari masalah-masalah yang sangat penting kemudian menyusul masalah-masalah yang penting. Nah, karena masalah yang sangat pokok dalam Islam adalah masalah Iman, maka pertama kali yang diprioritaskan oleh Al-Qur’an ialah tentang keimanan kepada Allah, malaikat, iman kepada kitab-kitab, para rasul, iman kepada hari akhir, kebangkitan dari kubur, serta surga dan neraka. Hal itu didukung dengan dalil-dalil yang rasional yang tujuan untuk mencabut kepercayaan jahiliyah yang berpuluh-puluh tahun telah menancap di hati orang-orang musyrik untuk ditanami/ diganti dengan benih-benih akidah Islamiyah. Setelah akidah Islamiya itu tumbuh dan mengakar di hati, baru Allah menurunkan ayat-ayat yang memerintah berakhlak yang baik dan mencegah perbuatan keji dan mungkar untuk membasmi kejahatan serta kerusakan sampai ke akarnya. Juga ayat-ayat yang menerangkan halal haram pada makanan, minuman, harta benda, kehormatan, darah/pembunuh dan sebagainya. Begitulah Qur’an diturunkan sesuai dengan kejadian-kejadian yang mengiringi perjalanan jihad panjang kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah di muka bumi. 87
Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW
51
Ulumul Quran Pada periode penerimaan wahyu sebelum Nabi SAW hijrah materi wahyu difokuskan untuk menjelaskan perkara iman, akidah tauhid, bahaya syirik, dan menerangkan apa yang halal dan haram. Kemudian wahyu yang menerangkan hukum-hukum secara rinci, baru menyusul turun setelah Nabi SAW melaksanakan hijrah (madaniyah) diantaranya tentang utang piutang dan pengharaman riba, 88
masalah larangan zina (QS. Al Isra: 32) , dan larangan memgkonsumsi minuman yang memabukkan 89
90
91
92
(QS. An-Nahl: 67, QS. Al-Baqarah: 219, QS. An-Nisaa’: 43, QS. Al Maidah: 90 ).
D. Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad SAW Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah Bin Abi Sofyan, 'Ubai bin Ka'ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun Nabi SAW memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah ( tauqifi )
93
,
sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan di dalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi SAW, mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit, " Kami menyusun Qur’an dihadapan
Rasulullah pada kulit binatang ." Jibril membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan Ramadan setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata, "Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahan pada
bulan Ramadan, ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui oleh Jibril setiap malam; Jibril membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril itu ia sangat pemurah sekali. Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan." Tulisantulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas'ud telah menghafalkan seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur’an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di atas. Kegiatan tulis menulis Al-Quran tadi didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya” (HR. Muslim).
E. Al-Qur’an pada Masa Khulafa’ur Rasyidin 1. Pada masa pemerintahan Abu Bakar Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur’an yang saat
88
“Jangan kau mendekati zina. Karena sesungguhnya zina satu perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.” “Dan dari buah kurma serta anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik …” 90 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya.” 91 “Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kalian shalat ketika kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” 92 “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan 89
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Oleh kraena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” 93 Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran AlKarim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
52
Ulumul Quran itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW. Pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para Qari. Pengumpulan Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
2. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an. Selanjutnya Utsman Bin Affan mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam)." Wallahu a’lam“
53
Ulumul Quran
BAB 5 ILMU ASABABUN NUZUL A. Pengertian Asbabun Nuzul 94
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Kata asbabun
nuzul tersusun dari dua kata yakni, kata Asbab merupakan bentuk plural dari kata tunggal sebab, yang secara kebahasaan bermakna: “segala sesuatu yang dijadikan jalan yang dapat menghubungkan atau menyampaikan kepada sesuatu lainnya ”. 95 Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat alBaqarah [2] ayat 166,
166. (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Perlu diperhatikan bahwa istilah sebab di sini, tidak sama dengan istilah sebab yang dikenal dalam hukum sebab-akibat. Istilah sebab dalam hukum sebab-akibat mengandung pengertian keharusan adanya sebab untuk menimbulkan adanya akibat dan suatu akibat tidak akan pernah terjadi tanpa ada sebab yang mendahului. Bagi Al-Qur’an, meski diantara ayatnya yang turun didahului oleh sebab tertentu, namun keberadaan sebab itu tidak mutlak adanya walaupun secara realita telah terjadi peristiwanya. Adanya sebab bagi turunnya Al-Qur’an tak lain merupakan bentuk wujud nyata kebijaksanaan Allah SWT dalam memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Dengan adanya sebab yang mendahului, maka akan lebih tampak dan terasa kebenaran Al-Qur’an selaku petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia. Sedangkan kata nuzul, menurut bahasa setidaknya memilik dua pengertian, yaitu: (1) “Gerakan menurun dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah” (al-inhidar aw al-inhithath min ‘uluwwin
ila safalin), seperti ungkapan
, Si A turun dari atas gunung; dan (2) “Mendiami,
menempati, atau mampir pada suatu tempat” (al-hulul ), sebagaimana dalam ungkapan , Si A tinggal di kota.
96
Istilah ‘ulum Al-Qur’an, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama untuk memberikan batasan makna Asbab al-Nuzul . Diantaranya adalah: 1. Menurut ‘Abd Al-‘Azim Al-Zarqani:
“ Asbabun Nuzul adalah sesuatu, yang satu ayat atau beberapa ayat turun dalam rangka
berbicara tentangnya atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut” . 2. Menurut Dr. Subhi Al-Shaleh:
97
“Asbabun Nuzul ialah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an
yang terkadang memang mengandung peristiwa itu atau sebagai jawaban pertanyaan darinya atau sebagai penjelasan terhadap hokum-hukum yang terjadi pada saat terjadinya peristiwa tersebut” . 98 3. Menurut Manna’ Khalil Al-Qaththan:
94
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. 2006. Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 89.
95
Pusat Studi Al Qur’an. Asbabun Nuzul . www. PSQ. or.id
96
Ibid
97
As-Shalih, Subhi.1985. Membahas Ilmu-ilmu Al- Qur’an, Beirut, Pustaka Firdaus: 160. 98 Manna’ Khalil Al-Qattan. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al- Qur’an. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 108
54
Ulumul Quran “Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya Al- Qur’an berkenaan dengannya
pada waktu terjadinya, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Saw” . 4. M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbabun Nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan AlQur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalamnya Al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan 99 langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah. 5. M. Quraish Shihab memperjelas pengertian “asbab nuzul Al-Qur’an” dengan cara memilah peristiwanya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “asbab nuzul AlQur’an” adalah: (1) Peristiwa -peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat, di mana ayat tersebut menjelaskan pandangan Al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya; (2) peristiwaperistiwa yang terjadi sesudah turunnya suatu ayat, di mana peristiwa tersebut dicakup 100 pengertiannya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi. Meskipun berbagai definisi asbabun -Nuzul” yang dikemukakan di atas tampak agak sedikit berbeda, namun secara substansial semuanya sepakat untuk menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “asbabun Nuzul” adalah suatu kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Dan ayat itu sendiri merupakan jawaban, penjelasan, dan penyelesaian dari pada permasalahan yang timbul dalam kejadian atau peristiwa tersebut. 101 Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu ada dua macam: 1. Turunnya dengan didahului oleh suatu sebab. Contoh ayat yang turun karena ada suatu peristiwa, ialah surat Al-Baqarah ayat 221.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ”. Peristiwa turunnya ayat ini ketika Nabi mengutus Murtsid Al-Ghanawi ke Mekkah bertugas untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang lemah. Setelah ia sampai di sana, ia dirayu oleh wanita musyrik yang cantik dan kaya, tetapi ia menolak karena takut kepada Allah. Kemudian wanita tersebut datang lagi dan meminta agar dia dikawini. Murtsid pada prinsipnya dapat menerimanya, tetapi dengan syarat setelah mendapat persetujuan dari Nabi. Setelah ia kembali ke Madinah ia menerangkan kasus yang dihadapi dan ia minta izin kepada Nabi untuk kawin dengan wanita itu. 2. Turunnya tanpa didahului oleh suatu sebab. Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai Asbabun Nuzul. Misalnya ayat-ayat yang mengkisahkan hal ihwa umat-umat terdahulu beserta para Nabinya, atau menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa yang lalu, atau menceritakan hal-hal ghaib yang akan terjadi, atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka. Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contoh, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115: 99
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1993. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Bulan Bintang, Cet.3, 17 Pusat Studi Al Qur’an, Op. Cit. 101 Zuhdi, Masfjuk. 1980. Pengantar Ulumul Qur’an , Surabaya, PT. Bina Ilmu: 37 100
55
Ulumul Quran
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui ”. Ayat tersebut turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan masingmasing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat. Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah ayat 115.
102
B. Fungsi Asbabun Nuzul dalam Memahami Al-Qur’an Asbabun Nuzul merupakan bahan-bahan sejarah yang mencakup peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an (‘ashr al-Tanzil ) yang dapat dipakai untuk memberikan keteranganketerangan terhadap maksud dan pemahaman suatu ayat yang dilatarbelakanginya. Asbabun Nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui Asbabun Nuzul, diantaranya: a. Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum. b. Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan c. Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.
103
C. Klasifikasi Asbabun Nuzul Ayat dan Contohnya Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa: 1. Konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj. 2. Adanya suatu kesalahan fatal atau kesalahan pandangan yang membutuhkan arahan dan teguran, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami sholat dalam keadaan mabuk 3. Adanya kasus pencemaran nama baik, seperti yang dituduhkan kepada salah seorang Umm alMukminin Siti ‘Aisyah ra. 4. Adanya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan terjadi.
104
Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memahami Al-Qur’an. Di antara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikmah ditetapkannya suatu hukum. Di samping itu, mengetahui asbab al-nuzul merupakan cara atau metode yang paling akurat dan kuat untuk memahami kandungan Al-Qur’an. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan jelas.
105
Berikut ini paparan dua kisah yang dapat
dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
Pertama, kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Marwan pernah membaca firman Allah SWT, yang artinya:”Janganlah sekali-kali kamu
102 103 104
Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia: 72 Suma, Muhammad Amin. 2004. Studi Ilmu-ilmu Al- Qur’an 3. Jakarta: Pustaka Firdaus, 111.
Pusat Studi Al Qur’an, Op. Cit.
105
Al-Maliki, Muhammad ibn ‘Alawi. 2003. Samudra Ilmu-ilmu Al- Qur’an: Ringkasan kitab Al -Itqan fi ‘Ulum Al -Qur’an.
Bandung: Mizan Pustaka, 21-22.
56
Ulumul Quran menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188). Setelah membaca ayat tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang yang merasa gembira dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa yang belum dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara kontekstual tidaklah demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam berbohong. Yaitu, jika Nabi Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi jawaban, sekaligus mencari pujian dari Nabi dengan apa yang mereka lakukan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap bahwa minuman keras (khamar) diperbolehkan dalam Islam. Mereka berdua berargumen dengan firman Allah SWT, yang artinya:”Tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal saleh mengenai apa yang telah mereka makan dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun berkenaan dengan beberapa orang yang mempertanyakan mengapa minuman keras diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang keji (rijs), bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya? Dalam konteks itulah, QS. Al-Maidah turun untuk memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad, Al-Nasai, dan yang lain). Begitu juga dengan firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu berpaling atau menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS. Al-Baqarah: 115). Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti akan ada yang berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun di perjalanan.” Pendapat seperti ini, tentu saja bertentangan dengan ijma’(konsensus para ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, menjadi jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di perjalanan (safar). Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam berijtihad. Untuk menambah wawasan tentang masalah Asbabun Nuzul dalam konteks rangkaian ayat dalam Surah, berikut diketengahkan Asbabun Nuzul QS. Al Kafirun. Surat Al Kafirun terdiri atas 6 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al Maa'uun. Dinamai Al Kaafiruun (orangorang kafir), diambil dari perkataan Al Kaafiruun yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Pokok-pokok isinya adalah pernyataan Allah yang disembah Nabi Muhammad SAW dan pengikutpengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir, dan Nabi Muhammad SAW tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. Sebab Turunnya Surah Ini (Asbabun Nuzul) adalah adanya kaum Quraisy berusaha mempengaruhi Nabi saw. dengan menawarkan kekayaan agar beliau menjadi seorang yang paling kaya di kota Makkah, dan akan dikawinkan dengan yang beliau kehendaki. Usaha ini disampaikan dengan berkata: "Inilah yang kami sediakan bagimu hai Muhammad, dengan syarat agar engkau jangan memaki-maki tuhan kami dan menjelekkannya, atau sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun." Nabi saw menjawab: "Aku akan menunggu wahyu dari Tuhanku." Ayat ini (S.109:1-6) turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak tawaran kaum kafir. Dan turun pula Surat Az Zumar ayat 64 sebagai perintah untuk menolak ajakan orang-orang bodoh yang menyembah berhala. (Diriwayatkan oleh at-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas). Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum kafir Quraisy berkata kepada Nabi saw.: "Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami (menyembah berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun pula." Maka turunlah Surat Al Kafirun (S.109:1-6).(Diriwayatkan oleh Abdurrazaq yang bersumber dari Wahb dan Ibnul Mundzir yang bersumber dari Juraij). Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Walid bin al-Mughirah, al-'Ashi bin Wa-il, al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasulullah saw dan berkata: "Hai Muhammad! Mari
57
Ulumul Quran kita bersama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami." Maka Allah menurunkan ayat ini (S.109:1-6) (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Mina).
D. Aneka Riwayat tentang Sebab Turunnya Satu Ayat Keabsahan Asbabun Nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli Hadis . Lebih spesifik lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap dhaif (lemah). Dalam periwayatan Asbabun Nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:
106
1. Asbabun Nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain. 2. Asbabun Nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari duburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman . 3. Asbabun Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut. 4. Asbabun Nuzultidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas. Apabila asbab an-nuzul suatu ayat diterangkan oleh beberapa riwayat, maka muncul beberapa kemungkinan sebagai berikut: 1. Kedua riwayat tersebut yang satu shahih dan yang lain tidak. 2. Kedua riwayat tersebut shahih, tetapi salah satunya ada dalil yang memperkuat dan yang lain tidak. 3. Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ditemukan dalil yang memperkuatkan salah satunya tetapi dapat dikompromikan. 4. Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ada dalil yang memperkuatkan salah satunya dan keduaduanya tidak mungkin dikompromikan. Untuk menjelaskan permasalahan beberapa riwayat diatas adalah: 1.
Apabila kedua riwayat shahih, yang pertama menyatakan sebab turunnya ayat dengan tegas, sedangkan yang kedua tidak, maka diambil riwayat yang pertama.
2.
Apabila kedua riwayat shahih, salah satunya ditarjihkan, sedangkan yang lain diriwayatkan oleh perawi yang menyaksikan sendiri, maka dipilih riwayat yang lebih rajih (kuat).
3.
Apabila kedua riwayat menerangkan sebab riwayat yang lebih rajih dan yang lebih shahih, sedangkan lain shahih tetapi marjuh (dipandang lebih lemah), maka diambil riwayat yang shahih lagi rajih.
4.
Apabila kedua riwayat shahih dan tidak dapat dikompromikan, maka harus ditetapkan ayat yang berulang kali diturunkan. Berulang kali turun menunjukkan sangat penting dan untuk mempermudah diingat. " Wallahu a’lam“
106
Summa. Op. Cit
58
Ulumul Quran
BAB 6 ILMU NASIKH DAN MANSUKH A. Pengertian Nasikh dan Mansukh Nasikh-Mansukh (abrogasi ) merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang mengandung kontroversial sepanjang sejarah. Hal ini disebabkan paling tidak karena adanya pandangan yang saling bertentangan mengenai apakah Al-Qur’an mengandung ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh. Secara etimologi nasikh dapat diartikan sebagai berikut: 1.
mengandung arti menghilangkan atau pembatalan (
), contoh QS. Al-Hajj: 52
52. dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
2.
berarti memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain, seperti: , “saya menukilkan kitab ini”, yaitu apabila kita menukilkan apa yang di dalam kitab itu meniru lafadh dan tulisannya.
3.
yang berarti mengganti atau menukar, contoh QS. An Nahl: 101
101. dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. 4.
yang berarti memalingkan, seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain. 107
Sedangkan secara terminologi (istilah) terdapat perbedaan definisi nasikh sebagai: “hukum syara” 108
Sementara ulama ushul fiqh mengartikan nasikh sebagai pembatal amal (perbuat ibadah) dengan
hukum syara' yang datang kemudian, baik pembatalan itu bersifat jelas atau pun samar, menyeluruh atau pun tidak dengan alasan kemaslahatan umat.
109
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan 110
11
Menasakh QS. Al-Baqarah: 180
Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa :
111
tentang wasiat. Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. 107
Az-Zuhaili, Wahbah. Ushl al-Fiqh al-Islami , Beirut, Dar al-Fikr,1986. Manna’ Khalil Al-Qattan. 2001: 232 109 Khallaf, Abdul Wahab 1978. Ilmu Ushl al-Fiqh , t.k,: 222 110 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang menin ggal tidak mempu nyai anak dan ia d iwar isi oleh ibu -bap anya (saja ), Ma ka i bunya menda pat s epertig a; j ika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 108
111
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
59
Ulumul Quran Dalam Al-Qur’an kata nasikh disebutkan dalam beberapa bentuk sebanyak 4 kali, yaitu: Q.S. (2): 112
106, QS. Al A’raf (7): 154, QS. Al Hajj (22): 52, dan QS. Al Jatsiyah (45): 29.
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al Baqarah: 106).
Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. QS. Al A’raf: 154).
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. Al Hajj: 52).
(Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".( QS. Al Jatsiyah: 29). Mengenai awal kemunculan ilmu nasakh dan mansukh ini tidak bisa dipastikan. Tapi dari beberapa hasil penelitian dapat diperkirakan bahwa awal kemunculan karena ditemukannya kitab Al-Nasakh wa
Al- Mansukh karangan Qatadah Ibn Da’amah Al-Sudusi (61-118 H) dan juga Abu Bakar Ahmad Ibn Muhammad Al-Atsram (wafat 21 H) dengan kitabnya Nasihk al-Hadis wa Mansukhuhu dan kitab karangan Ahmad bin Ishak Ad-Dinari pada tahun 318 H dan berlanjut Muhammad bin Bahr Al-Ashabani (322 H), Wahbatullah bin Salamah (410 H) Muhammad bin Musa Al-Hazimi (584H) dan Ibnu Al-Jausi (597 H). Masalah Nasikh dan Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut : 1. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat. Contoh :
Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang
,
menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur. 2. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendiri, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut. 3. Diketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al113
Mujadalah: 12
menasakh: 13
114
tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
Mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain : 112
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, Jakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa: 39.
113
Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka S esungguhn ya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 114 Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadak an pembicar aan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
60
Ulumul Quran 1. Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah) 2. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
115
3. Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus. 4. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan Pembahasan tentang naskh adalah pembahasan sejarah. Nasikh-mansukh merupakan bukti terbesar bahwa ada dialektika hubungan antara wahyu dan realitas kehidupan manusia. Sebab naskh adalah pembatalan hukum baik dengan menghapuskan dan melepaskan teks yang menunjukkan hukum dalam bacaan (tidak dimasukkan dalam kodifikasi Al-Qur’an), atau membiarkan teks tersebut tetap ada sebagai petunjuk adanya hukum yang di mansukh, dikarenakan adanya alasan-alasan tertentu yang berkaitan erat dengan realitas kehidupan Nabi ketika itu.
116
Menurut Wahbah Az Zuhaili ulama pertama yang membahas masalah nasikh-mansukh adalah Imam Syafi'i, walaupun saat itu beliau membahasnya dalam kajian sebagai penjelasan dalam memperoleh hukum.
117
118
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid Naskh pertama adalah QS. Al Baqarah: 144
tentang
119
pengalihan arah kiblat.
B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh 1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima. Menurut Mana’ Al Qattan , nasikh dalam Al-Qur’an membagi Nasikh
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an menjadi 3 : a. Nasikh bacaan (tilawah) dan hukum, artinya keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam Al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. contoh nasikh ayat penetapan hubungan radha’ sebab 10 susuan, menjadi 5 isapan. Hadis
riwayat Aisyah. b. Nasikh hukum, sedang bacaannnya tetap, seperti pada ayat pelarangan wasiat bagi ahli waris. ayat idah selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 240
120
121
.” Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234
c. Nasikh bacaan saja, hukumnya tetap. Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan :
115
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (b agimu) dan lebih baik akibatnya. 116 Zaid, Nasr Hamid Abu. 2002. Tekstualitas al-Qur'an, Kritik terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoirin Nahdiyyin, Yogyakarta: LKIS : 141. 117
Az-Zuhaili, Wahbah. Op. Cit : 931
118
Sesungguhnya Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit, maka Kami palingkan lah engkau kepada kiblat yang engkau ingini. Sebab itu palingkanlah muka engkau ke pihak Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu semua berada palingkanlah mukamu ke pihaknya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab mengetahui bahwasanya itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan tidaklah Allah lengah dari apapun yang kamu amalkan. 119 Pengalihan arah kiblat yang sebelumnya mengarah ke masjid al-Aqsha di Palestina dan kemudian di nasikh menghadap ke masjid al-Haram di Mekkah- selanjutnya diikuti puasa pertama (bukan puasa Ramadhan).Lihat. Zaid, Nasr Hamid Abu. Op. Cit : 55.
120 Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteriisterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap di ri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana 121 Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
61
Ulumul Quran
Termasuk dari ayat Al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki -laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani (AlQur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya (Rajam bagi orang tua) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya Al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad. 2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunah a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadis Ahad. Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Al-Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’i (tetap/ pasti) sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni (dugaan). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan) b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadis Mutawatir. Menurut Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang 122
terdapat dalam QS. Al-Najm: 3-4.
Namun demikian, bagi Imam Syafi’i dan ahli dzahir menolak
jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Al-Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 106.
123
3. Sunah dengan Al-Qur’an Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan As-Syura. Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah 124
yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 185.
,
:
Dari Aisyah beliau berkata :” Hari as -Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan
(kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa. (HR Bukhari Muslim) Walaupun demikian menurut As-Syafi’i Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara Al-Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi AsSyafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Al-Qur’an. 4. Nasakh Sunah dengan Sunah. a. Mutawatir dengan Mutawatir b. Ahad dengan Ahad c. Ahad dengan Mutawatir d. Mutawatir dengan Ahad. 122
dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. 4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya ). 123 Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? 124 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
62
Ulumul Quran Bagi Jumhur ulama’ dari ke-4 nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke 4 yaitu Mutawatir dengan Ahad.
C. Perbedaan antara Nasikh dan Takhshish Al-Asfihani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Kalaupun di dalam Al-Qur’an itu terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan ( takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.” Bertolak dari pengertian nasikh dan takhshish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
NASIKH
TAKHSHISH
1. Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh. 2. Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh. 3. Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian. 4. Nasikh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas. 5. Setelah terjadi nasikh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.
1. Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh ‘amm. 2. Takhshish merupakan hukum dari sebsgian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm. 3. Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya. 4. Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan. 5. Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm. 1. Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi. Misalnya, dalam contoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut: “kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah leb ih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”. Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat: “wanita yang ditalak suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak
sebelum dikumpuli . Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh itu sama saja dengan takhshis itu. 2. Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman jangkauan hukum syara’. 3. Dalil yang menasikh sama dengan dalil yang menakhshis, yaitu sama sama berupa dalil syara’. D.
Perbedaan Pendapat tentang Ayat-ayat Mansukh Ulama Mutaqaddimin (abad 1-3 H) memperluas arti nasikh sehingga mencakup: 1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian 2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian 3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar 125
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Menurut Ulama Muta’akhirin naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
126
125
Shihab, M. Quraish. 2001. Membumikan al-Qur'an , Bandung, Mizan: 144.
63
Ulumul Quran Mayoritas Ulama Mutaqaddimin dan Muta’akhirin tidak berselisih pendapat tentang adanya ayatayat Al-Quran mencakup butir-butir 2, 3, dan 4, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan). Kemudian yang menjadi bahan perselisihan adalah butir 1, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql dan naql (Al-Quran).
127
Ulama Mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan
antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan sebagainya, sehingga pengertian
naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan terdahulu,
berakhirnya sehingga
masa
pemberlakuan
ketentuan
ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang
hukum ditetapkan
yang terakhir
dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus. 1. Kelompok yang meyakini adanya Nasikh dari segi Hukum Adalah kelompok yang didukung oleh kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan redaksi atau lafal ayat. Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus. Sebagai contoh QS. Al 128
Baqarah ayat 219
129
dan QS. An Nisa’ ayat 43.
Bagi kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh
dari segi hukum, kedua ayat di atas dinasikh atau dihapus hukumnya oleh QS. Al Maidah ayat 90.
130
2. Kelompok yang meyakini adanya ayat yang dihapus Kalangan ulama’ yang meyakini ada ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam bagi pezina muhsan
QS. An Nur: 4
131
tetapi dalam hadis hukuman itu masih
ada, hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. 3. Kelompok yang menolak adanya nasikh dan mansukh Diantara ulama yang menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh adalah imam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan seperti cara yang dicontohkan Al Qur’an. 4. Pendapat ulama bahwa yang dihapus bukanlah ayat Al Qur’an. Sebagaimana pemahaman Imam al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau Kauniyah.
126
Shihab, M. Quraish. Ibid : 144. Shihab, M. Quraish. Ibid : 144-146.
127
128
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir , 129 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. 130 Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. 131 dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
64
Ulumul Quran E. Bentuk-bentuk Nasikh dalam Al-Qur’an 1. Nasakh Syarih Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum yang terdapat dalam ayat 132
terdahulu. Contoh Surat Al-Anfal :65-66,
ayat tentang perang yang mengharuskan perbandingan
antara muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama. 2. Nasakh Dhimmi Nasakh dhimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris. 3. Nasakh kulli Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah 133
dalam QS. Al-Baqarah ayat 240
dinusakh oleh QS. Al-Baqarah ayat 234
134
4. Nasakh Juz’i Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas). Contoh, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada QS. An-Nur ayat 4 dihapus oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah 4 kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada QS. An-Nur ayat 6.
132
135
" Wallahu a’lam“
Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara
kamu, niscaa mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan dua ratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah be serta orang-orang yang sabar 133 Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau w aris dari yang meninggal) membiarkan mereka be rbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. r 134 Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mer eka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat 135 Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar .
65
Ulumul Quran
BAB 7 ILMU MAKKI DAN MADANI A. Pengertian Makki dan Madani Para Ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan Makki dan Madani. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk merumuskan keadaan surat atau ayat yang turun kepada Nabi SAW. Dikalangan para ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar dan kreteria yang dipakai untuk menentukan Makki dan Madani, yang dibagi menjadi 4 macam bagian antara lain: 1. Berdasarkan tempat turunnya (geografis) suatu ayat.
“ Makkiyah ialah suatu ayat yang diturunkan di Mekkah, sekalipun sesudah hijrah, sedang Madaniyah ialah yang diturunkan di Madinah”. Berdasarkan rumusan di atas, Makki adalah semua surat atau ayat yang diturunkan di wilayah Mekkah dan sekitarnya. Sedangkan Madani adalah semua surat atau ayat yang diturunkan di Madinah. Adapun kelemahan pada rumusan ini karena tidak semua ayat Al-Qur’an dimasukkan dalam kelompok Makki
atau Madani. Alasannya ada beberapa ayat Al-Quran yang diturunkan di luar
Mekkah dan Madinah. 2. Berdasarkan khittab/ seruan/ panggilan/subyek dalam ayat tersebut.
“ Makkiyah ialah ayat yang khittabnya/panggilannya ditujukan kepada penduduk Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang khittabnya ditujukan kepada penduduk Madaniyah”. Berdasarkan rumusan di atas, para ulama menyatakan bahwa setiap ayat atau surat yang dimulai dengan redaksi
(wahai sekalian manusia) dikategorikan Makki, karena pada masa itu
penduduk Mekkah pada umumnya masih kufur. Sedangkan ayat atau surat yang dimulai dengan (wahai orang-orang yang beriman) dikategorikan Madani, karena penduduk Madinah pada waktu itu telah tumbuh benih-benih iman di dada mereka. Adapun kelemahan-kelemahan pada rumusan ini, antaa lain: a. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi
atau
. Maksudnya,
tidak selalu yang menjadi sasaran surat atau ayat penduduk Mekkah atau Madinah. b. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi dengan redaksi
meski Makki dan yang dimulai
meski Madani.
3. Berdasarkan masa turunnya (historis) ayat tersebut. “ Makkiyyah ialah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di
luar Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah”.
136
Agar tidak terjadi kebingungan dalam memaknai makkiyah dan madaniyah, ada baiknya kita lihat potongan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
136
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. 2002. Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ilmu -ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al- Qur’an), Semarang: PT Pustaka Rizki Putra: 62.
66
Ulumul Quran 4. Berdasarkan Isi/ Materi (content analysis) suatu ayat. Adalah teori yang mendasarkan kriterianya dalam membedakan makki dan madani kepada isi dari pada ayat/surah yang bersangkutan. Yang dinamakan Makki menurut teori ini ialah ayat/surah yang berisi cerita nabi/rosul terdahulu. Sedangkan yang di namakan madani adalah ayat/surah yang berisi tentang hukum hudud, faraid, dan sebagainya Kelebihan pendekatan content analysi ini ialah, kreterianya jelas sehingga mudah dipahami sebab mudah dilihat. Kelemahannya menurut teori ini tidak praktis, sebab orang harus mempelajari isi kandungan ayat lebih dahulu, baru mengetahu kriterianya. Dari uraian di atas dalam tinjauan kreteria yang berbeda tersebut, kelihatanya sulit untuk memaknai Makkiyah dan Madaniyah secara khusus, karena hal ini juga menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Akan tetapi yang biasa dan umum digunakan untuk memaknai Makkiyah dan Madaniyah ialah dari segi masa turunnya (tartib zamany ). Sebagai contoh QS. Al Hujurat: 13,
‘’ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki -laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’’ Menurut Hasbi Ash-shiddieqy, bahwa jika ditinjau dari segi tempat turunnya, ayat ini turun di Madinah. Jika kita tinjau dari segi masanya, ayat ini turun pada tahun pengalahan Makkah sesudah hijrah. Jika ditinjau dari segi orangnya, maka ayat ini ditujukan kepada penduduk Makkah. Sedangkan tujuan ayat ini ialah mengajak manusia berkenal-kenalan dan mengingatkan manusia bahwa asal usul mereka adalah satu.
137
Oleh karenanya ayat ini tidak dikatakan ayat Makki secara mutlak dan tidak
dimasukkan ke dalam ayat Madani secara mutlak. Ayat ini dimasukkan ke dalam ayat yang turun di Madinah sedang hukumnya digolongkan ke dalam ayat-ayat yang turun di Makkah.
B. Cara Menentukan Makki dan Madani Untuk mengetahui dan menentukan Makki dan Madani para ulama bersandar pada dua cara utama. Manhaj sima`i naqli (metode pendengaran seperti apa adanya) dan manhaj qiyasi ijtihadi (menganalogikan dan ijtihad). 1. Manhaj Sima’i Naqli (pendengaran seperti apa adanya). Cara ini didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat wahyu tutun dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani didasarkan cara pertama ini. 2. Manhaj Qiyasi Ijtihadi (kias hasil ijtihad). Cara ini didasarkan pada cirri-ciri Makki dan Madani. Dengan demikian, apabila dalam surah Makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madani atau mengandung peristiwa Madani, maka 138
dikatakan bahwa ayat tersebut Madani.
Dan apabila dalam surah Madani terdapat suatu ayat yang
mengandung sifat makki atau mengandung peristiwa Makki, maka ayat tersebut disebut ayat Makki. 139
Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Makki maka surah tersebut disebut surah Makki dan apabila
dalam satu surah terdapat ciri-ciri Madani maka surah tersebut disebut surah Madani.
137
Ibid : 64.
138
Ayat-ayat Madaniah dalam surah Makiah misalnya surah Al An’am. Ibn Abbas berkata: “Surah ini diturunkan sekaligus di makkah, maka ia Makkiah kecuali tiga ayat diturunkan di Madinah, yaitu ayat: Katakanlah: Marilah aku bacakan…” sampai dengan ketiga ayat itu selesai (Al- An’am *6+: 151-153). Dan surah Al Hajj adalah Makiah kecuali tiga ayat diturunkan di Madinah, dari awal firman Allah: “Inilah dua golongan yang bertengkar mengenai Tuhan mereka…” (Al-Hajj [22]: 19-21).” 139 Ayat-ayat Makiah dalam surah Madaniah misalnya Surah Madaniah Al Anfal yang dikecualikan pada ayat ”Dan (ingatlah) ketika orang kafir membuat maker terhadapmu…” (Al-Anfal [8]: 30) kedalam ayat Makkiah.
67
Ulumul Quran Dengan menamakan sebuah surah itu Makiah atau Madaniah tidak berarti bahwa surah tersebut seluruhnya Makiah atau Madaniyah, sebab dalam surah Maddaniah terdapat ayat-ayat Makkiah. Dengan demikian penamaan surah Makkiah atau Madaniah adalah menurut sebagian besar ayat-ayat yang terkandung didalamnya. Terdapat pula ayat yang diturunkan di makkah tetapi hukumnya Madani ayat yang diturunkan di Madinah tetapi hukumnya Makki.
140
, dan
141
C. Dasa Penentuan Makki dan Madani 1. Dasar Aghlabiyah (Mayoritas) Dasar ini landasi oleh pandangan jika suatu surah mayoritas ayat-ayatnya Makiyyah, maka di sebut surah Makiyyah. Sebaliknya, jika mayoritasnya ayat-ayat dalam suatu surah itu madaniyah, atau di turunkan setelah Nabi hijrah ke Madinah, maka di sebut surah Madaniyah. 2. Dasar Taba’iyah (Kontinuitas) Dasar ini landasi jika permulaan surah di dahului ayat-ayat yang turun di Makkah/ turun sebelum hijrah, maka di sebut surah Makiyyah. Sebaliknya jika ayat-ayat pertama dari suatu surah itu di turunkan di Madinah / yang berisi hukum-hukum syari’at, maka di sebut surah Madaniyah.
142
Kedua dasar ini di sandarkankan kepada hadis riwayat Ibnu Abbas r.a.
“Kalau awal surah itu di turunkan di Makkah, maka di catat sebagai surah Makiyah, lalu Allah
menambahkan dalam surah itu ayat-ayat yang dikehendaki- Nya.” D. Karakteristik ayat Makkiy 1. Ketentuan Surat Makkiy a. Setiap surat yang di dalamnya mengandung “sajdah”. b. Setiap surat yang mengandung lafal “ kalla”, lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan dalam tiga puluh tiga kali dan lima belas surat. c. Setiap surat yang mengandung seruan ya-ayyuhan naasu dan tidak mengandung ya-
ayyuhalladzina amanu, terkecuali surat Al-Hajj yang akhirnya terdapat ya-ayyuhalladzina amanu irka’u wasjudu (QS Al-Hajj: 77). Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat makky. d. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu kecuali surat al-baqarah. e. Setiap surat yang mengandung kisah adam dan iblis, kecuali surat Al-Baqarah. f. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf hijaiyah, seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dan lain-lain. Terkecuali surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran, sedangkan surat Ar-Rad’ masih diperselisihkan.
143
2. Segi Gaya Bahasa, Keistimewaan Ayat dan Persoalan-persoalan yang dibicarakan a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah. b. Penetapan dasar-dasar ibadah dan mu’amalah (pidana), etika, keutamaan-keutamaan umum. Diwajibkannya shalat lima waktu, juga diharamkan memakan harta anak yatim secara zalim, sebagaimana sifat takabur dan sifat angkuh juga dilarang, dan tradisi buruk lainnya. 140
Seperti surah Al Hujrat *49+: 13 “Wahai manusia, kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan…” ayat ini diturunkan di makkah pada hari penaklukan kota Makkah, tetapi sebenarnya madinah karena diturunkan setelah hijrah, dan seruannya pun bersifat umum. 141 Contohnya surah Al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi tempat turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk makkah. Juga seperti permulaan surah Al-Bara’ah yang diturunkan di madinah tetapi seruannya ditujukan kepada orang-orang musyrik penduduk Makkah. 142 Sya’roni, Sam’ani. 2010. Tafkirah Ulumul Al- Qur’an . Tanpa Kota : Alghotasi Putra, 70 143 Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. 1996. Ulumul Qur’an (Studi kompleksitas Al -Qur’an), Terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Yogyakarta: Titian Ilahi, Cet. I: 173.
68
Ulumul Quran c. Menyebutkan kisah Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang-orang yang mendustakan agama sebelum mereka; dan sebagai hiburan bagi Rasulullah sehingga ia ta bah dalam menghadapi gangguan mereka. d. Suku katanya pendek-pendek disertai dengan kata-kata yang mengesankan, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan.
144
E. Karakteristik ayat Madani 1. Ketentuan Surat Madani a. Setiap surat yang berisi kewajiban atau had (sanksi). b. Setiap surat yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang munafik, terkecuali surat alankabut yang diturunkan di Makkah adalah termasuk surat makkiyah. c. Setiap surat yang di dalamnya terdapat dialog antara ahli kitab
145
, seperti dapat kita dapati dalam
146
Surat Al-Baqarah, An-Nisa, Ali Imran, At-Taubah dan lain-lain. 2. Keistimewaan surat Madani
a. Al-Qur’an berbicara kepada masyarakat Islam Madinah, pada umumnya berisi tentang penetapan hukum-hukum, yang meliputi penjelasan tentang ibadah, mu’amalah, had , kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik diwaktu damai maupun perang, dan lain lain. b. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan yahudi dan nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka c. Di dalam masyarakat Madinah tumbuh sekelompok orang-orang munafik, lalu Al-Qur’an membicarakan sifat mereka dan menguak rahasia mereka. Al-Qur’an menjelaskan bahaya mereka terhadap Islam dan kaum muslimin, serta membeberkan media-media, tipuan-tipuan, serta strategi mereka untuk memperdaya kuam muslim. Di Makkah tidak terdapat kaum munafik, karena saat itu umat Islam sedikit, lemah, sementara orang-orang kafir secara terang-terangan memerangi mereka. d. Pada umumnya ayat-ayat dan surat-suratnya panjang dan untuk menggambarkan luasnya akidah dan hukum-hukum Islam. Orang-orang Madinah adalah orang-orang Islam yang menerima dan mendengarkan Al-Qur’an.
147
F. Kelompok Surat Makki dan Madani Pada umunya, para ulama membagi surat-surat Al-Qur’an menjadi dua kelompok, yaitu surat-surat Makiyyah dan Madaniyyah. Masa turunnya Al-Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah, yaitu masa Nabi Muhammad saw. bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya wahyu pertama sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut disebut juga periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama periode pertama ini dinamakan ayat-ayat Makkiyyah. Waktu turunnya berlangsung selama 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, yang dimulai pada 17 Ramadhan, pada saat Nabi Muhammad saw. berusia 40 tahun. Adapun ayat yang diturunkan berjumlah 4.726 ayat dan 148
meliputi 89 surah.
144 145
Al-Qattan, Manna khalil. 1994. Mabahis Fi Ulumil Qur’an , terj. Mudzakir. Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, Cet. 2: 86-87.
Ibid : 87
146
Ash-Shiddieqy, Op. Cit : 82 Ar-Rumi, Op. Cit : 175 148 Abdurrahman, Emsoe dan Apriyanto Rd. 2009.The Amazing Stories of Al-Quran: Sejarah yang Harus Dibaca . Bandung: Salamadani: 23 147
69
Ulumul Quran Para Ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah Makkiy dan Madani. Mereka meneliti Qur’an ayat demi ayat dan surah demi surah untuk ditertibkan sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat.
149
1. Diturunkan di Madinah Ada dua puluh surat Madaniyyah, yakni al-baqarah, ali imran, an-nisa’, al-maidah, al-anfal, at-taubah, An-nur, Al-ahzab, Muhammad, Al-Fath, Al-Hujurat, Al-Hadid, Al-Mujadalah, Al-Hasyr, Al-Mumthanah, Al-Jumu’ah, Al-Munafiqun, At-Talaq, At-Tahrim, dan An-Nasr. 2. Diperselisihkan Sedang yang masih diperselisihkan ada dua belas surah, yakni Al-Fathihah, ar-Ra’d, Ar-Rahman, AsSaff, At-Taghabun, At-Tatfif, Al-Qadar, Al-Bayyinah, Az-Zalzalah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. 3. Diturunkan di Mekkah Ada 82 surat sisanya, jadi jumlah surat-surat Al-Qur’an itu semuanya seratus empat belas surat. 4. Ayat-ayat Makkiyah dalam Surat-surat Madaniyyah Dengan menamakan sebuah surat itu Makkiyah atau Madaniyyah tidak berarti surah tersebut seluruhnya Makkiyah atau Madaniyyah, sebab di dalamsurat Makkiyah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniyyah, dan di dalam suratMadaniyyah pun terdapat ay at-ayat Makkiyah. Dengan demikian penamaansurat itu Makkiyah atau Madaniyyah adalah menurut sebagian besar ay at-ayat yang terkandung didalamnya. Diantara sekian contoh ayat-ayat Makkiyah dalam surat Madaniyyah ialah surat Al-Anfal, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat:
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.
Mengenai ayat ini, Muqatil mengatakan :”Ayat ini diturunkan di Mekkah; dan; pada lahirnya memang demikian, sebab ia mengandung apa yang dilakukan orang musyrik di Darun Nadwah ketika mereka merncanakan tipu daya terhadap Rasulullah sebelum hijrah.” 5. Ayat-ayat Madaniyyah dalam surat Makkiyah Misalnya adalah surat Al-An’am . Ibn Abbas berkata ; ‘’ surah ini semuanya diturunkan sekaligus di Mekkah, maka ia Mekkiah, kecuali tiga ayat dirturunkan di madinah,yaitu al-An’am ayat 151-153. Dan surah Al-hajj adalah Makkiyah kecuali tiga ayat diturunkan di Madinah, firman Allah: ‘’inilah dua
golongan yang bertengkar mengenai Tuhan mereka ....’’ (QS. Al-Hajj: 19-21). 6. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya Madani. Contoh dengan firman Allah QS. Al Hujurat: 13
‘’ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki -laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’’ Ayat ini diturunkan di Mekkah pada hari penaklukan kota Mekkah, tetapi sebenarnya Madaniyyah karena diturunkan setelah hijrah, di samping itu seruannya pun bersifat umum. Ayat seperti ini oleh para ulama tidak dinamakan Makki dan tidak juga dinamakan Madani secara pasti. Tetapi mereka katakan ‘’ Ayat yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya Madani’’. 149
70
Al Qattan. Op. Cit . 72-79
Ulumul Quran 7. Ayat yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makki. Contoh dengan surah Mumthahana. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi tempat turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk Mekkah. Juga seperti permulaan surah Al-Baqarah yang diturunkan di Madinah, tetapi seruannya ditujukan kepada orangorang musyrik penduduk Mekkah. 8. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam Madani. Menurut para ulama ialah ayat-ayat yang dalam suratmadaniah tetapi mempunyai gaya bahasa dan cirri-ciri umum surat Makkiyah. Contoh firman Allah QS. Al-Anfal: 32 yang Madaniyyah:
Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau
datangkanlah kepada kami azab yang pedih.’’ 9. Serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam Makki. Adalah kebalikan dari yang sebelumnya no.8. Contoh firman Allah dalam An-Najm: 32.
(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. As-Suyuti mengatakan ; ‘’ Perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sanksinya. Dosa besar ialah setiap
dosa yang yang mengakibatkan siksa neraka. Dan kesalahan-kesalahan kecil ialah apa yang erdapat diantara kedua batas dosa-dosa diatas. Sedang di Mekkah belum ada sanksi yang serupa dengannya. 10. Ayat yang dibawa dari Mekkah ke Madinah. Contohnya ialah surat Al-A’la. Diriwayatkan oleh bukhari dari al-Barra bin Azib yang mengatakan:” orang yang pertama kali datang kepada kami dari para sahabat Nabi adalah Mus’ab bin Umar dan Ibnu Ummi Maktum. Keduanya membacakan Al-Qur’an pada kami. Sesudah itu datanglah Amar, Bilal, dan Sa’d. kemudian datang pula Umar bin Khatab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah datanglah
Nabi
SAW.
Aku
melihat
penduduk
Madinah
bergembira
setelah
aku
membacakan Sabbikhisma rabbikal A’la dari antara surah yang semisal dengannya. ” pengertian ini cocok dengan Qur’an yang dibawa oleh golongan muhajjirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum ansor. 11. Dibawa dari Madinah ke Mekkah. Contohnya ialah awal surah al-Baqarah, yaitu ketika rasulullah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun kesembilan. Ketika awal surah al-Baqarah turun, Rasul memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakar membacakan kepada mereka dan mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan berhaji. 12. Ayat yang turun pada malam hari dan pada siang hari. Kebanyakan ayat Al-Qur’an itu turun pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari Abul Qasim Al-Hassan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi telah menelitinnya. Dia memberikan beberapa contoh, diantaranya : bagian-bagian akhir surah al-Imran. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, ibnul Munzir, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu Abud Dunya, meriwayatkan dari Aisyah r.a. : Bilal datang kepada Nabi untuk memberitahukan waktu shalat subuh: tetapi ia melihat Nabi sedang menangis. Ia bertanya : “ Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis?“ Nabi menjawab
71
Ulumul Quran : “Bagaimana saya tidak menangis padahal tadi malam diturunkan kepadaku, “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda [kekuasaan Allah] bagi orang-orang yang berakal”(Ali-Imran ayat 190)”. Kemudian katanya “ Celakalah orang yang membacanya, tetapi tidak memikirkannya’’. 13. Ayat yang turun di musim panas dan musim dingin Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat diakhir surat an-Nisa’. Sedang untuk yang turun di musi dingin mereka contohkan dengan ayat-ayat mengenai tuduhan bohong yang terdapat dalam QS. An-Nur: 11
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah SAW 'Aisyah r.a. Ummul Mu'minin, sehabis perang dengan
Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H. Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. 'Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" 'Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesarbesarkannya, maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. Berikut ini adalah nama-nama surat dalam Al-Qur’an dan pembagiannya ke dalam kategori Makkiyah dan Madaniyah, sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama): 1. Surat-Surat Makkiyah dan Madaniah yang disepakati 1. Al-Baqarah 2. Ali 'Imran 3. An-Nisa' 4. Al-Ma'idah 5. Al-Anfal 6. At-Taubah 7. An-Nur 8. Al-Ahzab 9. Muhammad 10. Al-Fath 11. Al- Hujrat 12. Al-Hadid 13. Al-Mujadilah 14. Al-Hashr 15. Al-Mumtahinah 16. Al-Jumuah 17. Al-Munafiqun 18. Al-Talaq 19. At-Tahrim 20. An-Nasr 2. Surat-Surat Makkiyah dan Madaniah yang tidak disepakati 1. Al-Fatihah 2. Al-Rad 3. Al-Rahman 4. Al-Saff 5. Al-Tagabun 6. Al-Mutaffifin 7. Al-Qadar 8. AlBayyinah9. Al-Zalzalah 10. Al-Ikhlas 11. Al-Falaq 12. Al-Nas 3. Surat Makkiyah Berdasarkan Urutan Turunnya 01. Al'alaq 02. Al-Qalam 03. Al-Muzammil 04. Al-Muddatstsir 05. Al-Fatihah 06. Al-Masab (Al-Lahab) 07. At-Takwir 08. Al-A'la 09. Al-Lail 10. Al-Fajr 11. Adh-Dhuha 12. Al-Insyirah 13. Al-'Ashr 14. AlAadiyat 15. Al-Kautsar 16. At-Takatsur 17. Al-Ma'un 18. Al-Kafirun 19. Al-Fiil 20. Al-Falaq 21. An-Nas 22. Al-Ikhlas 23. An-Najm 24. 'Abasa 25. Al-Qadar 26. Asy-Syamsu 27. Al-Buruj 28. At-Tin 29. AlQuraisy 30. Al-Qariah 31. Al-Qiyamah 32. Al-Humazah 33. Al-Mursalah 34. Qaf 35. Al-Balad 36. AthThariq 37. Al-Qamar 38. Shad 39. Al-A'raf 40. Al-Jin 41. Yaasin 42. Al-Furqan 43. Fathir 44. Maryam 45. Thaha 46. Al-Waqi'ah 47. Asy-Syura 48. An-Naml 49. Al-Qashash 50. Al-Isra 51. Yunus 52. Hud 53.
72
Ulumul Quran Yusuf 54. Al-Hijr 55. Al-An'am 56. Ash-Shaffat 57. Lukman 58. Saba' 59. Az-Zumar 60. Ghafir 61. Fushshilat 62. Asy-Syura 63. Az-Zukhruf 64. Ad-Dukhan 65. Al-Jatsiyah 66. Al-Ahqqaf 67. Adz-Dzariyah 68. Al-Ghasyiyah 69. Al-Kahf 70. An-Nahl 71. Nuh 72. Ibrahim 73. Al-Anbiya 74. Al-Mu'minun 75. AsSajdah 76. Ath-Thur 77. Al-Mulk 78. Al-Haqqah 79. Al-Ma'arij 80. An-Naba' 81. An-Nazi'at 82. AlInfithar 83. Al-Insyiqaq 84. Ar-Rum 85. Al-Ankabut 86. Al-Muthaffifin 87. Al-Zalzalah 88. Ar-Rad 89. ArRahman 90. Al-Insan 91. Al-Bayyinah 4. Nama-Nama Surat Madaniyah Berdasarkan Urutan Turunnya 01. Al-Baqarah 02. Al-Anfal 03. Ali 'Imran 04. Al-Ahzab 05. Al-Mumtahanah 06. An-Nisa' 07. Al-Hadid 08. Al-Qital 09. Ath-Thalaq 10. Al-Hasyir 11. An-Nur 12. Al-Hajj 13. Al-Munafiqun 14. Al-Mujadalah 15. Al-Hujurat 16. At-Tahrim 17. At-Taghabun 18. Ash-Shaf 19. Al-Jum'at 20. Al-Fath 21. Al-Ma'idah 22. At-Taubah 23. An-Nash
G. Manfaat Mengetahui Makki dan Madani 1. Mengetahui bahwa sastra Al-Qur’an berada pada puncak keindahan sastra, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan. 2. Mengetahui hikmah diturunkannya Al Qur’an secara berangsur-angsur, yaitu prioritas kondisi obyek yang didakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan mentaatinya. 3. Sebagai pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing. 4. Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat makkiyah dan madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat makkiyah disebabkan ayat madaniyah turun setelah ayat makkiyah. 5. Dengan ilmu ini pula, kita dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya yang bijaksana secara umum. Dan dengan demikian, kita dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap ketinggian kebijaksanaan islam di dalam mendidik manusia baik secara perorangan maupun secara masyarakat. 6. Ilmu ini dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap kebesaran, kesucian, dan keaslian Al-Qur’an, karena melihat besarnya perhatian umat islam sejak turunnya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, sampai hal-hal yang sedetail-detailnya; sehingga mengetahui ayat-ayat yang mana turun sebelum hijrah dan sesudahnya; ayat-ayat yang diturunkan pada waktu Nabi berada di kota tempat tinggalnya (domisilinya) dan ayat yang turun pada waktu Nabi sedang dalam bepergian atau perjalanan, ayat-ayat yang turun pada malam hari dan siang hari; dan ayat-ayat yang turun pada musim panas dan musim dingin dan sebagainya. 7. Dapat mengetahui situasi dan kondisi lingkungan masyarakat pada waktu turunnya Al Qur’an, khususnya masyarakat Makkah dan Madinah. 8. Untuk dijadikan alat bantu dalam menfsirkan Al-Qur’an. 9. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Al-Qur’an. " Wallahu a’lam“
73
Ulumul Quran
BAB 8 ILMU FAWATIHUS SUWAR A. Pengertian Fawatihus Suwar Kata Fawatih al-Suwar berasal dari bahasa Arab, sebuah kalimat yang terdiri dari susunan dua kata ,
fawatih dan al-Suwar. Memahami ungkapan ini, sebaiknya kita urai terlebih dahulu kepada pencarian makna kata perkata. Kata
yang berarti pembuka adalah jamak Taksir dari
arti permulaan, pembukaan, dan pendahuluan. Sedangkan
yang mempunyai
adalah jamak dari
yang secara
kebahasaan mempunyai banyak arti, yaitu: tingkatan atau martabat, tanda atau alamat, gedung yang tinggi nan indah, susunan sesuatu atas lainnya yang bertingkat tingkat. Secara etimilogis, fawatihus suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hija’iyah, huruf tersebut
sering disebut dengan huruf Al Ahruful Muqatta’ah (huruf yang terpisah), karena posisi dari huruf-huruf tersebut yang cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun tidaklah berbeda dari lafazh yang diucapkan pada huruf hijaiyah.
150
Secara terminologi surah dimaknai secara berbeda, menurut Manna’ Al-Qaththan bahwa
surah adalah sekumpulan ayat ayat al-Quran yang mempunyai tempat bermula dan sekaligus tempat berhenti. Sebaliknya Al-Ja’bari mengatakan bahwa surah adalah sebagian Al-Qur’an yang mencakup beberapa ayat yang memiliki permulaan dan penghabisan (penutup), paling sedikit tiga ayat. Dari pengertian diatas maka dapat dipahami dari segi makna fawatihus suwar berarti pembukapembuka surah karena posisinya yang mengawali perjalanaan teks-teks setiap surah. Sebahagian Ulama ada yang mengidentikkan fawatih al-suwar dengan huruf al-muqatta'ah atau huruf-huruf yang terpisah dalam Al-Quran. Seperti misalnya, Manna' Khalil Al-Qaththan dalam bukunya" Mabahis Fi Ulum al-
Quran". Namun bila diteliti lebih jauh, sesungguhnya keduanya sama sekali berbeda. Sebab huruf almuqatta'ah ini tidak terdapat pada semua awal surah yang jumlahnya 114 dalam Al-Qur'an. Ia tak lebih hanya merupakan salah satu bagian dari beberapa bentuk " fawatihus suwar " yang ada dalam Al-Qur'an. Menurut Ibn Abi al-Ishba`, istilah fawatih adalah jenis-jenis perkataan yang membuka surah-surah dalam Al-Qur’an. Jenis jenis perkataan itu dibagi menjadi sepuluh, yaitu: Jumlah khabariyyah, Qasam, Syarat, Perintah, Pertanyaan, Doa, Ta’lil, Pujian kepada Allah, Nida’, dan yang terakhir huruf huruf tahajji (huruf-huruf muqatta’ah), atau yang biasa disebut al- fawatih.
B. Macam-macam Fawatihus Suwar Beberapa ulama telah melakukan penelitian tentang pembukaan surat Al-Qur’an, diantaranya sebagai yang dilakukan oleh Ibnu Abi Al Asba’ menulis sebuah kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini, yaitu kitab Al Khaqathir Al Sawanih fi Asrar Al Fawatih
151
, Beliau mencoba
menggambarkan tentang beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam surat yang ada di dalam Al-Qur’an. Pembagian karakter pembukaannya adalah: 1. Pujian terhadap Allah SWT. yang dinisbatkan kepada sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. 2. Menggunakan huruf-huruf hijaiyah; terdapat dalam 29 surat. 3. Menggunakan kata seru (ahrufun nida); terdapat dalam sepuluh surat. 4. Menggunakan kalimat berita (jumlah khabariyah), terdapat dalam 23 surat. 5. Berbentuk sumpah ( Al Aqsam), terdapat dalam 15 surat. Abu Syamah sebagai dikutip oleh As Suyuthi
152
memaparkan 10 macam pembukaan surat
diantaranya : 1. Pembukaan dengan pujian kepada Allah (al-istiftah bil al tsana). 150 151
Chirzin, Muhammad.1999. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa: 62
Ibid : 62
152
74
As Suyuthi, Jalaludin. Al Itqon fi ulumil quran. Beirut: Darul fikr, t.t, juz 2 : 105.
Ulumul Quran Pujian kepada Allah ada dua macam, yaitu : a. Menetapkan sifat-sifat terpuji dengan menggunakan salah satu lafal berikut : 1) Memakai lafal hamdalah yakni dibuka dengan
, yang terdapat dalam 5 surat yaitu :
Q.S. Al Fatihah, Al An’am, Al Kahfi, Saba, dan Fathr. 2) Memakai lafal
, yang terdapat dalam 2 surat yaitu Q.S. Al Furqan dan Al Mulk.
b. Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif (tanzih ‘an ssifatin naqshin) dengan menggunakan lafal tasbih terdapat dalam 7 surat yaitu : Q.S. Al Isra, al A’la, al Hadid, al Hasyr, as shaff, al jum’ah, dan at Taghabun. 2. Pembukaan
dengan
huruf-huruf
yang
terputus-putus
( Al
Ahruful
Muqoto’ah).
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 huruf tanpa diulang, yakni
, , , ,, ,, , , ,
, , , , . Penggunaan huruf-huruf tersebut dalam pembukaan surat-
surat Al Qur’an disusun dalam 14 rangkaian berikut : a. Kelompok sederhana, terdiri dari satu huruf, terdapat dalam 3 surat, yakni Qof)
(Q.S.
(Q.S. Shad),
(Q.S.
Nun).
b. Kelompok yang terdiri dari dua huruf, terdapat dalam 3 rangkaian dan 9 surat, yakni
(Q.S. Al
Mu’min, Q.S. As Sajdah, Q.S. Az Zuhruf, Q.S. Ad Duhkan, Q.S. Al Jatsiyah, dan Q.S. Al Ahqaf), (Q.S. Thaha);
(Q.S. An Naml) dan
(Q.S. Yaasin).
c. Kelompok yang terdiri dari tiga huruf, terdapat dalam 3 rangkaian dan 13 surat, yakni : Baqoroh, Q.S. Ali Imron, Q.S. Ar Rum, Q.S. Lukman, dan Q.S. Sajdah), Q.S. Ibrahim, Q.S. Yusuf, dan Q.S. Al Hijr) dan
(Q.S. Yunus, Q.S. Hud,
(Q.S. Al Qoshosh dan Q.S. As Syu’ara).
d. Kelompok yang terdiri dari 4 huruf, terdapat dalam 2 rangkaian dan 2 surat, yakni Ra’du) dan
(Q.S. Al
(Q.S. Ar
(Q.S. Al A’raf).
e. Kelompok yang terdiri dari 5 huruf terdapat dalam 2 rangkaian dan 2 surat, yakni Maryam) dan
(Q.S.
(Q.S. As Syu’ra).
3. Pembukaan dengan panggilan ( al istiftah bin nida). Nida ini ada tiga macam, terdapat dalam 9 surat, yaitu nida untuk Nabi dalam Q.S. Al Ahzab, At Tahrim dan At Thalaq.
) ( dalam Q.S. al Muzammil dan term (
), nida untuk kaum mukminin dengan term Al hujurat, dan nida untuk umat manusia Menurut As Suyuthi
),( yang terdapat
terdapat dalam Q.S. Al Maidah dan terdapat dalam Q.S. An Nisa dan Q.S. Al Hajj.
153
pembukaan dengan panggilan ini terdapat dalam 10 surat, yakni ditambah
dengan Q.S. Al Mumtahanah. 4. Pembukaan dengan kalimat (jumlah) khabariyah (al istiftah bi al jumal al khabariyah). Jumlah khabariyah dalam pembukaan surat ada dua macam, yaitu : a. Jumlah Ismiyyah Jumlah ismiyah yang menjadi pembuka surat terdapat 11 surat, yaitu terdapat dalam Q.S. At Taubah, Q.S. An Nur, Q.S. Az Zumar, Q.S. Muhammad, Q.S. Al Fath, Q.S. Ar Rahman, Q.S. Al Haaqqah, Q.S. Nuh, Q.S. Al Qodr, Q.S. Al Qori’ah, dan Q.S. Al Kautsar. b. Jumlah Fi’liyyah Jumlah fi’liyah yang menjadi pembuka surat-surat Al Qur’an terdapat dalam 12 surat, yaitu : Q.S. Al Anfal, Q.S. An Nahl, Q.S. Al Qomar, Q.S. Al Mu’minun, Q.S. Al Anbiya, Q.S. Al Mujadalah, Q.S. Al Ma’arij, Q.S. Al Qiyamah, Q.S. Al Balad, Q.S. Abasa, Q.S. Al Bayyinah, Q.S. At Takatsur. 5. Pembukaan dengan sumpah ( al istiftah bil qasam). Sumpah yang digunakan dalam pembukaan surat-surat Al Qur’an ada tiga macam dan terdapat dalam 15 surat. Pembahasan selanjutnya dalam bab tersendiri.
153
Ibid : 105.
75
Ulumul Quran 6. Pembukaan dengan syarat (al istiftah bis syarat ). Syarat-syarat yang digunakan dalam pembukaan surat-surat Al Qur’an ada dua macam dan digunakan dalam 7 surat, yakni : Q.S. At Takwir, Q.S. Al Infithar, Q.S. Al Insiqaq, Q.S. Al Waqi’ah, Q.S. Al Munafiqun, Q.S. Al Zalzajah, dan Q.S. An Nashr. 7. Pembukaan dengan kata kerja perintah (al istiftah bil amr ). Berdasarkan penelitian para ahli, ada sekitar 6 kata kerja perintah yang menjadi pembukaan surat-surat Al Qur’an terdapat dalam Q.S. Al Alaq, Q.S. Jin, Q.S. Al Kafirun, Q.S. Al Falaq, dan Q.S. An Nas. 8. Pembukaan dengan pertanyaan ( al istiftah bil istifham). Bentuk pertanyaan ini ada dua macam, yaitu : a. Pertanyaan positif yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat positip. Pertanyaan dalam bentuk ini digunakan dalam 4 surat, yaitu : Q.S. Ad Dahr, Q.S. An Naba, Q.S. Al Ghasyiyah, dan Q.S. Al Maun. b. Pertanyaan negatif, yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat negatif, yang hanya terdapat dalam dua surat, yakni : Q.S. Al Insyirah dan Q.S. Al Fil. 9. Pembukaan dengan do’a ( Al Istiftah bid du’a). Pembukaan dengan doa ini terdapat dalam 3 surat, yaitu : Q.S. Al Muthaffifin, Q.S. Al Humazah, dan Q.S. Al Lahab. 10. Pembukaan dengan alasan (al istiftah bit ta’lil ). Pembukaan dengan alasan ini hanya terdapat dalam Q.S. Al Quraisy. Apabila kita mengklasifikasikan huruf-huruf yang terdapat dalam fawatih al-suwar, maka akan kita dapati bahwa susunannya tidak saja terdiri dari separuh huruf hijaiyah, bahkan juga meliputi setiap jenis huruf, yakni: 1. Di antara kelompok huruf-huruf halq (yang suaranya keluar dari kerongkongan), terdapat huruf: 2. Di antara kelompok huruf-huruf mahmusah (yang suaranya seperti bisikan), terdapat huruf: 3. Di antara kelompok huruf-huruf mahjurah (yang suaranya dikeraskan), terdapat huruf: 4. Di antara huruf-huruf syafahi (suaranya di bibir), terdapat huruf: 5. Di antara huruf-huruf qalqalah (suaranya bergerak apabila dimatikan), terdapat huruf:
C. Fungsi Fawatihus Suwar Menurut sebagian ulama, fungsi dari fawatihus suwar adalah untuk menyempurnakan dan memperindah bentuk-bentuk penyampaian, dengan sarana pujian atau melalui huruf-huruf. Selain itu ia dipandang merangkum segala materi yang akan disampaikan lewat kata-kata awal. Dalam hal ini AlFatihah dapat digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum keseluruhan pesan ayat dan surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan ditengah masyarakat Quraisy yang ahli dalam kebahasaan tentunya mempunyai keistimewaan dalam aspek kebahasaan yang dapat melemahkan mereka mengingat eksistensinya sebagai mukjizat, dengan membahas fawatihus suwar ini akan terungkaplah mukjizat yang terkandung di dalamnya serta mengetahui akan keterbatasan akal manusia dalam memahami sesuatu yang sifatnya ghaib serta memberikan pemahaman ilahiah kepada manusia melalui pengalaman 154
inderawi yang biasa digunakan.
D. Pendapat Ulama tentang Huruf Fawatihus Suwar Secara ringkas, pendapat para ulama dapat dikemukakan ke dalam 3 sudut pandang utama, yakni:
154
Anwar, Rosihon. Op. Cit: 142
76
Ulumul Quran 1. Penafsiran yang memandang huruf-huruf tersebut masuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah SWT. Pandangan kelompok pertama yang diwakili oleh para ulama salaf, dalam menyikapi huruf-huruf hijaiyah yang terletak pada awal surah sebagai ayat-ayat mutasyabihat, berpendapat bahwa ayatayat tersebut telah tersusun sejak azali sedemikian rupa, melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan yang seperti Al-Qur’an.
155
Karena kehati-hatiannya, mereka tidak berani
memberi penafsiran terhadap huruf-huruf itu, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT sendiri yang mengetahui tafsirnya. Hal ini menjadi suatu kewajaran yang berlaku bagi ulama salaf karena mereka dalam hal teologi pun menolak untuk terlibat dalam pembahasan tentang hal-hal yang menurut mereka tidak dapat dilampaui oleh akal manusia.
156
Al-Sya’bi (w.104) menegaskan bahwa; “Huruf awalan itu adalah rahasia Al- Qur’an”.
157
Dasar
argumentasinya adalah karena hal tersebut dipertegas oleh perkataan Abu Bakar al-Shiddiq, bahwa:
“Di tiap-tiap kitab, ada rahasianya. Rahasia dalam Al- Qur’an , ialah permulaan- permulaan surat.” Ali bin abi Thalib juga pernah berkata:
“Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab ada saripatinya, saripati Al-Qur’an ini ialah huruf-huruf hijaiyah”. Demikian pula ahli-ahli hadis menukilkan dari Ibnu Mas’ud (w. 32 H./6523 M.) dan empat Khulafa Rasyidin, bahwa mereka berkata:
“Sesungguhnya huruf -huruf ini, adalah ilmu yang tersembunyi dan rahasia yang terdinding, yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya”. Karenanya, ulama-ulama yang memaknakan fawatih al-suwar ini, tidak berani memberikan pendapat secara pasti, mereka hanya menyerahkan penafsirannya yang hakiki kepada Allah Swt. 2. Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu sebagai singkatan untuk kata-kata atau kalimat tertentu. Menurut Ibnu Abbas berdasarkan riwayat Ibnu abi Hatim, huruf-huruf itu menunjukkan nama Tuhan.
Alif Lam Mim , yang terdapat dalam pembukaan surat Al-Baqarah, ditafsirkan dengan Ana Allah A’lam (Akulah Allah Yang Mahatahu). Alif Lam Ra’ ditafsirkan dengan Ana Allah Ara (Akulah Allah Yang Maha Melihat). Juga menurutnya Alif Lam Ra’ dan Ha Mim merupakan ejaan ar-rahman yang dipisahkan. Dalam mengomentari huruf Kaf Ya Ha ‘Ain Shad , ia berkata, “Kaf sebagai lambang[i]Karim (Pemurah), Ha’ berarti Hadin (Pemberi petunjuk), Ya’ berarti Hakim (Bijaksana), ‘Ain berarti Alim (mengetahui), Shad berarti Shadiq (Yang benar). Menurut Sayyid Quthub, huruf-huruf itu adalah pengingat akan mu’jizat Al-Qur’an, dimana Al-Qur’an disusun dengan menggunakan huruf-huruf yang lazim dipakai orang arab, akan tetapi mereka tidak dapat menandinginya. Pendapat lain mengenai fungsi fawatih ini ialah bahwa fawatih tersebut digunakan sebagai tanbih (peringatan) sebelum melaksanakan melontarkan uraian Al-Qur’an, dalam arti menyadarkan perhatianpendengar. Dikarenakan setelah adanya huruf-huruf tersebut pada umumnya adalah ayat yang menerangkan tentang Al-Kitab dan kenabian. Menurut Ibnu Qatadah, bahwa tidak mungkin Allah SWT menurunkan sesuatu yang ada di dalam AlQur’an kecuali akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi hamba-Nya, dan tentu ada sesuatu yang bisa menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki-Nya.
158
155
Ash-Shiddieqy , T.M. Hasbi Op. Cit: 127 Ali, A. Mukti Memahami. 1993. Beberapa Aspek Ajaran Islam , Yogyakarta: Mizan, 27 157 Ash-Shiddieqy , T.M. Hasbi Op. Cit: 128 156 158
Anwar, Rosihon. Op. Cit: 136
77
Ulumul Quran Al-Suyuti menerangkan pula-sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi al-Shiddieqy, bahwa sebahagian dari huruf-huruf tersebut adalah nama Allah, seperti: Ibn Abdillah, ia berkata: pisah.
dan
,
,
.
Demikian pula dari Salim Abd
dan seumpamanya adalah nama Allah SWT yang dipisah-
159
3. Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu bukan merupakan singkatan, tetapi mengajukan sejumlah kemungkinan tentang penafsiran maknanya.
160
Kelompok ketiga, berpendapat bahwa “huruf -huruf potong” yang terdapat pada permulaan sejumlah surah Al-Qur’an itu bukanlah singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat tertentu. Tetapi sehubungan dengan makna huruf-huruf tersebut, kelompok ini juga mengajukan kemungkinankemungkinan penafsiran yang bervariasi. Huruf-huruf itu merupakan huruf-huruf misterius yang secara tidak jelas merujuk kepada nama-nama nabi, nama-nama bagi Al-Qur’an, dan mana-nama bagi surah yang memuatnya, seperti nama bagi surah Al-Baqarah,
adalah
adalah nama bagi surah Maryam, adalah nama surah Al-Qalam,
dan seterusnya. Pendapat ini dipilih oleh kebanyakan ulama kalam, dan sekelompok ulama bahasa, dan dibenarkan oleh Syekh Thusi serta dikuatkan oleh At-Tabari (224-310 H.).
161
Ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf tersebut merupakan tanda-tanda mistik dengan makna misalnya:
simbolik
yang
(1+30+40=71);
didasarkan
pada
nilai-nilai
)1+30+40+60=131);
numeric
alphabet
(1+30+200=menun231);
Semitik-Utara, (1+30+40+200=
271), dan lain-lain, dimana angka-angka ini menunjukkan usia umat Nabi Muhammad.
162
Pendapat
ini selanjutnya dikomentari oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M.) dalam tafsir Al-Manarnya sebagaimana yang dikutip oleh Baqir Hakim bahwa: “ Pendapat yang paling lemah mengenai huruf-
huruf ini dan yang paling tidak masuk akal adalah bahwa jumlah hitungan angkanya mengisyaratkan 163
umur ini atau yang serupa dengan itu” .
Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa jika huruf -huruf awalan itu dikumpulkan dengan mengesampingkan perulangannya, maka akan menjadi suatu kalimat yang berbunyi: (Jalan yang ditempuh Ali adalah kebenaran yang kita pegangi).
164
Tampaknya
pemahaman ini bertujuan untuk memperkuat dakwaan mereka bahwa Ali sebagai imam mereka. Karena itu pula, sebagian ulama Sunni membantahnya dengan menyusun kalimat yang mengandung pengertian yang memihak kepada Sunni dari huruf-huruf yang sama, menjadi: (Telah benar jalanmu bersama sunnah).
165
Huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al-Qur’an tersebut adalah juga jaminan keotentikan dan keutuhan Al-Qur’an sebagaimana diterima oleh Rasulullah.
166
Demikian
pendapat Rasyad Khalifah Sebagaimana yang dikutip oleh DR. Mustafa Ahmad yang tertuang dalam membumikan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab. Lebih lanjut dikatakan bahwa, Tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh Al-Qur’an. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm All(a)h Al-R (a)hm(a)n Al-R(a)him. (huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab). Huruf (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 39x19. Huruf-huruf kaf’, ha’, ya’, ‘ayn, shad, dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19. Huruf (nun) yang memulai surah AlQalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7x19. Kedua huruf 159
(ya’) dan
)sin) pada surah Yasin
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit : 190. Baca pula: Ibrahim Al-Abyari,Tarikh al-Qur’an, diterjemahkan oleh Hj. St. Amanah dengan judul Sejarah Al-Qur’an (Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1993), h. 136-137. 160 Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah Al- Qur’an , Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama: 217 161 Hakim, Muhammad Baqir. 2006. Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul Haq, et. al. dengan judul Ulumul Qur’an, Jakarta: Al-Huda Cet. III: 655 162 Amal, Taufik Adnan. Op. Cit : 219 163 Hakim, Muhammad Baqir. Op. Cit : 661 164 Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit : 162 165 Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit : 162-164 166 Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat . Bandung: Mizan, Cet. VII: 22
78
Ulumul Quran masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15x19. Kedua huruf
(tha’) dan
(ha’) pada surah
Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19x18. Huruf-huruf (ha) dan (mim) yang terdapat pada keseluhan surah yang dimulai dengan k edua huruf ini, ha’mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114x19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.
167
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al-Qur’an, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al-Qur’an. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalianperkalian itu akan menjadi kacau. Angka 19, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah tersebut, juga diambil dari pernyataan Al-Qur’an sendiri, yakni yang termuat dalam Q.S. 74: 30
168
yang turun
dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Qur’an. " Wallahu a’lam“
167
Ibid
168
Q.S. Al-Mudassir ayat 30, yang artinya “Diatasnya ada Sembilan belas (malaikat penjaga )”,
79
Ulumul Quran
BAB 9 ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara etimologis, Kata muhkam merupakan isim maf’ul dari ahkama yang secara harfiah semakna dengan atqana atau mutqan yang berarti kuat atau dikuatkan. Selain itu muhkam secara bahasa juga berarti wadhih (jelas).
169
Kata muhkam ialah
sesuatu yang 170
membedakan antara yang hak dan yang bathil.
dikokohkan,
jelas, fasih, indah dan
Karena ayat Al-Quran adalah wahyu Allah yang maha
Sempurna, sehingga tidak ada kekurangan sedikitpun di dalamnya. Salah satu dasarnya adalah ayat dalam QS.Huud: 1
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu , Kata mutasyabih adalah isim fa’il tasyabaha, yang semakna dengan mumathaalah yang berarti 171
serupa, samar-samar atau tidak jelas.
Pengertian tersebut mangandung makna bila salah satu dari dua
hal serupa dengan yang lain. Syubhah (kemiripan) yaitu keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena kemiripan di antara keduanya secara konkret maupun abstrak. Para ulama, pada umumnya mengartikan mutasyabih dengan persamaan dan kesamaan yang mengarah kepada keserupaan dan kemiripan. Dengan pengertian ini, maka Al-Quran seluruhnya dapat dikatakan mutasyabih, jika yang dimaksud adalah kesamaan tingkatan kei’jazan dalam kefasihan bahasa, sehingga karena kesamaan kei’jazannya itu sulit untuk diterangkan kelebihannya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Zumar: 23.
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayatayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya . Subhi Ash-Shalih menyimpulkan bahwa Muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya 172
tidak ditemukan dalil yang kuat. Dalam diskursus ilmu-ilmu Al-Quran, pengertian Muhkam adalah yang jelas, menunjukkan makna secara gamblang, tidak ada keraguan dalam memahami dari segi lafad maupun maknanya. Sedangkan 173 Mutasyabih adalah menyerupai yang lain, baik dari sisi lafad maupun dari sisi makna. Seperti termaktub dalam QS. Ali ‘Imran: 7
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
169
Kadar, M. Yusuf. 2010. Studi Al-Quran, Jakarta: Amzah, cet II,92 Supiana, dkk. 1994. Ulumul Quran, Jakarta: Pustaka Islamika, 185 171 Kadar, M. Yusuf. Op. Cit , 93 172 Muhammad Chirzin, op.cit, hal. 71 atau baca bukunya Subhi ash-Shalih. 1995.Membahas Ilmu-ilmu Al- Qur’an, terjemah: Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 171-174. 170
173
80
Qardhawi, Yusuf. 2000. Bagaimana Berinteraksi dengan Al- Qur’an. Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 288
Ulumul Quran
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. Ayat yang muhkamat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat : ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Ayat Muhkam dipahami sebagai ayat yang sudah jelas, nyata, dan tidak memerlukan ta’wil, sementara ayat mutasyabih dipahami mempunyai ambiguitas yang membutuhkan ta’wil. Aturan yang disepakati sebagian ulama adalah yang mutasyabih harus dikembalikan ke yang muhkam, atau dengan kata lain yang ambigu didasarkan pada yang jelas, dan muhkam menjadi panduan untuk menafsirkan serta memahami yang Mutasyabih.
174
Secara umum ayat-ayat muhkam dikelompokkan ke dalam dua bagian : 1. Ayat-ayat yang sangat jelas maksudnya, sehingga orang biasapun dapat mengetahuinya. Allah SWT berfirman dalam QS: Al-Baqarah:183,
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa …. Perintah puasa (ash-shiyam), dalam ayat ini sudah jelas maksudnya yaitu tentang hukum kewajiban berpuasa. 2. Ayat-ayat yang hanya dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu alat yang mereka kuasai, seperti ushul fiqh, dan kaidah-kaidah ilmu balaghah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman pada QS. AlBaqarah:261
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui
Adapun maksud dengan perumpamaan orang-orang yang berinfak pada ayat ini adalah perumpamaan pahala bagi orang yang menginfakkan hartanya. Jadi ada kata yang dibuang yaitu shawab (pahala) atau
ajr (balasan), hal ini disebut dengan majaz nuqshan. B. Kriteria Ayat-ayat Mutasyabihat J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayatayat Muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).
175
Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan.
176
Sedangkan ayat-
ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang t elah dibatalkan, ayat-ay at yang dipertukarkan antara y ang
174
Nasr Hamid Abu Zaid. 2003. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an . Judul asli Mafhum a n-Nash Dirasah fi Ulum Al-Qur’an. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LKiS, 221. 175 Op. Cit, Chirzin : 73, atau baca J.M.S. Baljon. 1991. Tafsir Qur’an Muslim Modern, terjemah: Ni’amullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 11-13. 176 Ibid, Chirzin : 73 atau baca Syamsurizal Panggabean, Makna muh}kam danMutasya>bih dalam Al- Qur’an, makalah disampaikan dalam diskusi Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 5 maret 1989, hal 3-4.
81
Ulumul Quran dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh diamalkan. Ar-Raghib Al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat Muhkamat , hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayatayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.
177
Muhkam menyangkut
soal hukum-hukum ( faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih mengenai kisah-kisah dan 178
perumpamaan.
C. Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an 1. Mutasyabih dari aspek lafal saja, maksudnya terdapat lafal tertentu dalam satu ayat yang tidak pasti maksudnya, hal ini disebabkan oleh : a. Mutasyabih karena asing (gharib) atau jarang digunakan. Contoh : Firman Allah SWT pada QS. ‘Abasa: 31,
dan buah-buahan serta rumput-rumputan. Kata ini
jarang digunakan, sehingga maknanya tidak jelas atau tidak begitu popular, dalam ayat kata tersebut diartikan
rumput-rumputan.
Ash-Shabuni
memberi
makna
kata tersebut adalah segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang dimakan oleh binatang, seperti rumput. b. Mutasyabih disebabkan suatu lafal memiliki makna yang ganda. Contoh : Firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah: 228,
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ .
Kata Quru’ secara harfiah berarti suci dan haid. Karena tidak ada kejelasan tentang maksud quru’ ini, maka terdapatlah perbedaan pendapat dari kalangan ulama, ada yang mengatakan artinta suci dan ada yang mengatakan bahwa quru’ berarti haid. c. Mutasyabih dari segi susunan lafalnya. Contoh : Allah SWT, berfirman dalam QS. An-Nisa’: 3,
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat….” Ayat ini memberi maksud apabila di antara kamu ada yang memelihara anak yatim dan ingin menikahinya, tetapi merasa takut dan enggan dalam hal memberi mas kawin, maka janganlah menikah dengannya. Dan nikahilah perempuan lain yang kamu tidak enggan untuk memberi mas kawin padanya. Ar-Raghib al-Asfhani membagi Mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih
lafal mufrad adalah
tinjauan
dari
segi
kegaribannya,
seperti
kata yaziffun, al-abu; Isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin. Tinjauan lafal murakkab berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama fankhihu ma taba 177
Ibid, Chirzin : 73, atau baca Syamsurizal Panggabean, op.cit., hal. 5-6. Dahlan, Zaini dkk. 1991. Mukadimah Al- Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 52
178
82
Ulumul Quran lakum…., untuk meluruskan kalam, seperti: laisakamis|lihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu ‘iwaja.
179
2. Mutasyabih disebabkan oleh ketersembunyian pada makna. Hal ini biasanya terdapat pada ayatayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT dan berita gaib.
180
Contoh: Q.S. Al-Fath: 10.
Tangan Allah di atas tangan mereka 3. Mutasyabih disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal Ditinjau dari segi kalimat, seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul musyrikina, dari segi cara, seperti wujub dan nadb, misalnya, fankhihu ma taba lakum minan nisa, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya, ittaqullah haqqa tuqatihi, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa Arab.
181
Seperti, laisal birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha, segi
syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan nikah.
182
Ketersembunyian pada makna dan lafal mencakup beberapa hal, yaitu : a. Kuantitas Yakni dipandang keumuman dan kekhususan lafalnya. Artinya lafal-lafal yang bersifat umum yang terdapat ayat dimasukkan dalam kategori ayat mutasyabih, karena mengandung ketidak jelasan makna, sehingga ia bisa saja diperlakukan secara umum atau ditakhsiskan oleh ayat yang lain. b. Kualitas Yakni kualitas yang dikandung ayat apakah ia wajib atau sunnah. Pada dasarnya seperti kaidah ushul fiqh yaitu perintah itu menunjukkan kepada yang wajib. Namun, tidak semua perintah bermuatan wajib. Karena amar dapat juga diartikan irsyad, sunnah, taswiyah, tahdid , dan lainlain. Maka perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an memiliki kemungkinan beberapa makna, dengan demikian perintah termasuk kategori mutasyabih, kecuali perintah tertentu yang telah disepakati maknanya, seperti wajibnya shalat dan berwudhu’ sebelum shalat. c. Masa, seperti nasakh dan mansukh. d. Syarat sah melakukan perintah yang dikandung oleh suatu ayat
D. Macam-macam Ayat Mutasyabihat Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Quran, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu:
183
1. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghaib lainnya. Seperti keterangan ayat 59 surah Al-An’am:
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
179
Chirzin. Op. Cit, : 73 Chirzin. Op. Cit, : 74 181 Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. 182 Qardhawy, Yusuf 1997. Al-Qur’an dan As -Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press, 223 183 Abdul Djalal H.A., Op.cit ., 251-253 180
83
Ulumul Quran
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" 2. Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang maksudnya. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan pembahasan dan pengkajian/ penelitian yang mendalam. Contohnya, ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, menqayidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa: 3,
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak -hak) perempuan yang yatim, maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budakbudak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. ” Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidakjelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:
184
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.” 3. Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua
orang. Ahmad Syadzali dalam bukunya tipe yang ketiga ini lebih menspesifikkan lagi. Ia menyatakan maksudnya ayat-ayat tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua ulama apalagi orang awam yang dapat mengetahui maksudnya. Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 7 Artinya: “Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya” E. Pandangan dan Sikap Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih hanya Allah SWT saja yang mengetahui artinya atau manusia juga dapat mengetahuinya. Perbedaan pendapat itu terjadi berasal pada cara menjelaskan struktur kalimat QS. Ali Imran (3) : 7, berikut ini :
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an ) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat – ayat muhkamat) itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat ). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “ Kami telah beriman kepada ayat -ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang orang yang berakal . Apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi al’ilm di athafkan pada lafaz Allah, sementara lafazh yaquluna sebagai hal . Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang 184
Syadali, Ahmad dkk., 2000. Ulumul Quran I, Bandung:Pustaka setia, cet.II, hlm. 1999
84
Ulumul Quran mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi al’ilm sebagai mubtada’ , sementara lafazh yaquluna sebagai khabar ? Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.
185
Dari ungkapan di atas,
perbedaan pendapat para ulama terbagi dua, yaitu ; 1. Orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui arti-arti ayat mutasyabih: a. Ibn Al-Mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid, dari Ibn Abbas, mengenai surat Ali Imran ayat 7. Ibn Abbas mengatakan “ Aku di antara orang yang mengetahui ta’wilnya.” Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi berkata : “ Pendapat inilah yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah meng-khitab-i hamba – hamba – Nya dengan uraian yang tidak ada jalan mengetahuinya. b. Asy-Syirazi berkata : “ Tidak satu ayatpun yang maksudnya diketahui Allah. “Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak apa bedanya mereka dengan orang awam“ 2. Orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimani (tidak mengetahui arti ayat-ayat
mutasyabih) Hal ini diperkuat oleh beberapa riwayat, yaitu : a. Riwayat yang dikeluarkan ‘abd Razzaq dalam tafsirnya Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Ibn Abbas. Ketika membaca surah Ali Imran (3):7, Ibnu Abbas memperlihatkan bahwa huruf wawu pada ungkapan wa arrasikhuna berfungsi sebagai isti’naf (tanda kalimat baru). Riwayat ini walau tidak didukung satu raqam qira’ah, derajatnya-serendah-rendahnya- adalah khabar dengan sanad shahih yang berasal dari Turjuman Al-Qur’an (julukan Ibn Abbas). Oleh karena itu pendapatnya di dahulukan daripada pendapat selainnya. b. Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-‘Amasy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan : Sesungguhnya penakwilan ayat-
ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalamilmunya berkata , “ Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.” c. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda ketika mengomentari surat Ali Imran (3) ayat 7 diatas : Hadits Bukhari : Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a ; Rasulullah Saw. Membaca ayat suci berikut : Dialah yang
menurunkan kepadamu kitab Al- Qur’an. Di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat (yang maksudnya jelas dan terang). Itulah pokok-pokook Al-quran (di antaranya ayat-ayat tentang Al Ahkam, Al-Faraid dan Al-Hudud, dan lainnya adalah ayat-ayat mutasyabihat ( berarti banyak atau kiasan). Adapun orang yang hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat, karena ingin mencari peselisihan dan mencari-cari takwilnya. Tetapi tiada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al‘ilm) berkata, Kami beriman kepada Al-Qur’an. Seluruhnya dari Tuhan kita. Dan tiada yang mau memetik pelajaran kecuali Ulul Albab (QS. Ali Imran (3):7) ‘ Aisyah menambahkan : “ Kemudian Rasulullah SAW, bersabda, “ jika kamu melihat mereka yang mengikuti ayat -ayat mutasyabihat, maka mereka itulah yang disebutkan Allah (sebagai orang yang cenderung kepada kesesatan), maka bersikap hati-hatilah terhadap mereka. “ 186 d. Ath-Thabrani, dalam Al-Kabir, mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-‘Asy’ari. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :“ Ada tiga hal yang aku khawatirkan dari ummatku, yaitu
pertama menumpuk-numpuk harta sehingga memunculkan sifat hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua mencari-cari takwil ayat mutasyabih, padahal hanya Allah lah yang mengetahuinya…”
185 186
Anwar, Rosihon. Op.cit ., 120-121 Az-Zabidi. 2009. Ringkasan Shahih Al-Bukhari , Bandung: Mizan Media Utama, 729
85
Ulumul Quran e. Ibn Ali Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah bahwa yang dimaksud dengan kedalaman ilmu pada surat Ali Imran ayat 7 adalah mengimani ayat-ayat mutasyabih, bukan berusaha untuk mengetahuinya. f. Ad-Darimi, dalam musnadnya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar yang menyatakan bahwa seorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah. Kemudian, ia bertanyatanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. Ia lalu diperintahkan untuk menemui ‘Umar. ‘Umar sedang memasang tangga ke pohon kurma ketika orang itu menemuinya. “ Siapakah engkau”, Tanya ‘Umar. “ Saya adalah ‘Abdullah bin shabigh.” Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga sehingga kepala orang itu berdarah. Dalam riwayat lain di sebutkan bahwa ‘Umar memukul orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya. Berkaitan dengan permasalahan ini, M. Quraish Shihab (1998), menuliskan ; Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain : a. Ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya
sin, alif lam mim dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayatayat Al-Qur’an kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan tidak ada yang mengetahui talwil (arti) nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam ilmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7) Atau b. Ada ayat-ayat yang secara umum diketahui artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia. Ar-Raghib Al-Asfahani mengambil jalan tengah dengan membagi ayat-ayat
187
mutasyabih di
pandang dari segi kemungkinan mengetahui maknanya, yaitu ; a. Bagian yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari kiamat, keluar binatang dari bum, dan lain-lain. b. Bagian yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti katakata asing dalam Al-Qur’an. c. Bagian yang terletak di antara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Keterangan mengenai perbedaan pendapat dalam memahami QS. Ali Imran ayat 7, berpangkal pada masalah meletakkan waqaf (tanda berhenti) dalam ayat. Hal ini menimbulkan dua perbedaan pendapat, yaitu : a. Pendapat yang menyatakan kedudukan lafazh wa al-rasikhuna sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqafnya di letakkan pada lafazh “ Wama ya’lamu ta’wilahu illa Allah, “ Pendapat ini didukung oleh Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan sahabat serta tabi’in lainnya. Alasannya adalah keterangan yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadrak-Nya bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca “ Wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa ar rasikhuna fi’ilmu yaquluna amanna bihi “ . Maka ayat ini yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah. b. Pendapat kedua yang menyatakan kedudukan lafazh sebagai ma’thuf dan waqafnya diletakan pada lafazh “War rasikhuna fil ‘Ilmi “ Pendapat ini mengatakan bahwa huruf “ wawu” sebagai huruf athaf, dan yang mendukung pendapat ini adalah segolongan ulama dan dipelopori oleh Muhajid. Dengan alasan Allah SWT
187
86
Shihab, M. Quraish. 1998. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 78
Ulumul Quran tidak mungkin menyeru kepada Hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak diketahui makna dan maksud Allah terhadap mereka. Namun, walaupun ada perbedaan pendapat. Para ulama mencari kompromi terhadap 2 pendapat ini dengan memahami makna takwil , dengan menjadikan takwil sebagai rujukan maka tidak akan ada pertentangan dari kedua pendapat tersebut, hal ini didasari karena lafazh takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna, yaitu : a. Memalingkan sebuah makna yang rajih kepada makna yang marjuh, karena ada suatu dalil yang menghendakinya. b. Takwil dengan makna tafsir yaitu menerangkan atau menjelaskan. Hal ini bermaksud takwil untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami. c. Takwil adalah pembicaraan tentang substansi atau hakikat suatu lafazh. Maka dari kompromi tadi, pendapat pertama menjelaskan makna takwil dari segi substansi atau hakikat suatu lafazh, sedangkan pendapat kedua menjelaskan makna takwil dari sisi penafsiran lafazh-lafazh agar maknaya dapat dipahami." Wallahu a’lam“
87
Ulumul Quran
BAB 10 ILMU MUNASABAH A. Pengertian Munasabah Menurut Imam Al-Zarkasyi
188
kata munâsabah secara bahasa berarti mendekati ( muqârabah ),
seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya
munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul , kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu munâsabah adalah menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis. Manna’ al-Qattan
189
dalam kitabnya Mabahits fi Ulum Al- Qur’an, munâsabah menurut bahasa
disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum Al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam Al-Qur’an, yang meliputi: 1. Hubungan satu surat dengan surat yang lain 2. Hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat 3. Hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat 4. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat 5. Hubungan satu ayat dengan ayat yang lain 6. Hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat
7. Hubungan antara fashilah dengan isi ayat 8. Hubungan antara penutup surat dengan awal surat Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam Al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks 190
merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.
Sehingga ‘ilm munâsabah
dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan hubungan-hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks. M. Quraish Shihab memberi pengertian munasabah sebagai kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Qur’an, baik surah maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu ayat dengan yang lainnya. Al-Biqa’i menjelaskan bahwa ilmu munasabah Al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surah dengan surah. Dengan demikian pembahasan munasabah adalah berkisar pada segala macam hubungan yang ada : seperti hubungan umum atau khusus, rasional dan sensual atau imajinatif, kausalitas, ‘illat dan ma’lul, kontradiksi dan sebagainya.
Munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an sesuai dengan pengertian menurut bahasa di atas
adalah
segi-segi
hubungan
atau persesuaian Al-Qur’an.
Antara
bagian
demi
bagian dalam berbagai bentuk. Dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian disini ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian ialah semisal antara kata/ kalimat dengan kata/ kalimat, antara ayat dengan ayat, antara awal surah dengan akhir surah, antara surah yang satu dengan surah yang lain dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa Al-Qur’an itu merupakan
188
Al-Zarkasyi, Badr al-Din. 1972. Al-Burhân fi ‘Ulûm Al -Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 35-36 Al-Qattan, Manna’. Loc. Cit , 77-79 190 Zaid, Nasr Hamid Abu. 2001. Tekstualitas Al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 215 189
88
Ulumul Quran satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.
191
Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan
spiritual Al-Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm munâsabah Jika ilmu tentang asbab al-nuzul mengaikan satu ayat atau sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ‘ilm munâsabah melampui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antar ayat dan surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan” sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.
192
Timbulnya ilmu munasabah ini tampaknya bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah Al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam mushhaf sekarang (mushhaf ‘Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushhaf Al-Imam), tidak didasarkan fakta kronologis. Kronologis turunnya ayat-ayat atau surah-surah Al-Qur’an tidak diawali dengan Q.S al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari Q.S Al-‘Alaq. Surah yang kedua turun adalah Q.S Al-Muddatsir. Sementara surah kedua dalam mushhaf yang digunakan sekarang Q.S Al-Baqarah. Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah AlQur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surah. Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (w.324H)sebagai
orang
pertama
melahirkan ilmu munasabah di Baghdad. Menurut Al-Suyuthi (w. 911 H) sebagaimana dikutip oleh Ramli Adbdul Wahid dalam bukunya yang berjudul Ulumul Qur’an, orang pertama yang melahirkan ilmu
Munasabah adalah Syeikh Abu Bakar Al-Naisaburi. Apabila Al-Qur’an dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surat ini ditempatkan di samping surat sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Bagdad karena mereka tidak mengetahui ilmu
munasabah.193 Ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan munasabah secara khusus. Diantara kitab al-
Burhân fi Munasabati Tartib Suwar Al-Qur’an susunan Ahmad Ibn Ibrahim Al-Andalusi (w.807H). Menurut pengarang tafsir An-Nur , penulis yang membahas munasabah dengan sangat baik ialah Burhanuddin Al-Biqa’I dalam kitab Nazhm ad-Durar di Tanasubi ayatii was Suwar . As-Suyuthi membahas tema munasabah dalam kitab Al-Itqan dengan topik khusus Fî Munasabatil Ayat sebelum membahas ayat musyatabihat . Az-Zarkasyi membahas soal munasabah dalam Burhan dengan topik yang berjudul Ma’rifatul Munasabah bainal Ayati sesudah membahas asbab An-nuzul . Subhi Shalih memasukkan pembahasan munasabah dalam bagian ilmu asbaban nuzul , meskipun tidak dalam satu pasal tersendiri. Sebaliknya, Sa’id Ramadlan Al-Buthi tidak membicarakan munasabah dalam buku Min Rawai’il Qur’an. Terdapat beberapa istilah yang dikemukakan mufasir mengenai munasabah. Ar-Razi menggunakan istilah ta’alluq sebagai sinonimnya. Sayyid Quthub menggunakan lafal Irtibath sebagai pengganti kata munasabah. Sedangkan Sayyid Rasyid Ridla menggunakan dua istilah, yaitu Alittishal dan At-ta’lil . Al-Alusi menggunakan istilah yang hampir sama dengan istilah yang digunakan Sayyid Quthb, yakni tartib.
194
B. Pokok Bahasan Munasabah Dasar pemikiran tentang adanya munasabah dalam Al-Qur’an ini berpijak pada prinsip yang bersifat obsolut. Yaitu suatu prinsip, bahwa tartib (susunan) ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana kita lihat sekarang adalah bersifat Tauqifi yakni suatu susunan yang disampaikan oleh Rasulullah berdasarkan petunjuk dari Allah (wahyu), bukan susunan manusia, atas dasar pemikiran inilah, maka sesuatu yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya berupa susunan yang sangat teliti dan mengandung nilai-nilai filosofis (hikmah) yang sangat tinggi pula. Oleh sebab itu, secara sistimatis tentulah dalam susunan ayat-ayat AlQur’an terdapat korelasi, keterkaitan makna (munasabah) antara suatu ayat dengan ayat dengan ayat
191
Suma, Amin Op. Cit , 44 Ibid, 213 193 Wahid, Ramli Abdul Op. Cit , 91 194 Izzan, Ahmad. 2005. Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al - Qur’an. Tafakur: Bandung, 189 192
89
Ulumul Quran sebelumnya atau ayat sesudahnya. Karena itu pula, sebagaimana ulama menamakah ilmu munasabah ini dengan ilmu tentang rahasia/hikmah susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surah atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu. Mengetahui hubungan antara suatu ayat atau surah lain (sebelum atau sesudahnya) tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayatayat dan surah-surah itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surah-surah yang bersangkutan. Ilmu ini dapat berperan mengganti ilmu asbabul nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat tetapi kita bias mengetahui adanya relevansi ayat itu dengan yang lainnya. Sehingga di kalangan ulama timbul masalah mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan yang lainnya. Untuk membuktikan apakah ada hubungan antara surat atau ayat dengan surat atau ayat lain dalam Al-Qu’an berikut beberapa contoh: 1. Hubungan surat al-‘Alaq (96) dengan surat Al-Qadar (97). Dalam surat Al-‘Alaq, nabi dan umatnya disuruh membaca (iqra), yang harus dibaca itu banyak sekali di antaranya adalah Al-Qur’an. Maka wajarlah jika surat berikutnya adalah surat Al-Qadar yang menjelaskan turunya Al-Qur’an. Inilah keserasian susunan surat dalam Al-Qur’an. 2. Hubungan surat Al-Baqarah dengan surat Al-Fatihah. Pada awal surat Al-Baqarah tertulis “kitab AlQur’an ini tidak ada keraguan di dalamnya.” Pada surat al-Fatihah tercantum kalimat “tunjukilah
kami jalan yang lurus,”ini berarti bahwa ketika mereka meminta “tunjukilah kami jalan yang lurus,” maka Allah menjawab: jalan lurus yang kalian minta ini adalah Al- Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya.” 3. Keserasian surat Al-Kautsar [108] dengan surat Al-Ma’un (107). Hubungan ini adalah hubungan dua hal yang berlawanan. Dalam surat Al-Ma’un, Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafik, bakhil (tidak memberi makan fakir miskin dan anak yatim), meninggalkan shalat, riya, (suka pamer), dan tidak mau membayar zakat. Dalam surat Al-Kautsar Allah mengatakan “sesungguhnya Kami telah memberi
nikmat kepadamu banyak sekali (lawan dari bakhil, mangapa kamu bakhil?, tetaplah menegakkan shalat), shalat kamu itu hendaklah karena Allah saja, dan berkorbanlah, lawan dari enggan membayar zakat . Inilah keserasian yang amat mengagumkan sebagai petanda adanya hikmah dalam susunan surat-surat dalam Al-Qur’an.
C. Metode Munasabah Al Qur’an Mencari hubungan antara ayat -ayat dan surat-surat dalam al-Qur'an adalah hal yangtidak mudah. Untuk menentukan munasabah tersebut tentunya diperlukan suatu metode.Untuk mencari hubungan satu ayat dengan ayat lain atau satu surat dengan surat lain perlu memperhatikan beberapa hal. Dalam mencari munasabah dala m A l-Q ur'a n mesti didasarkan pada urutan ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat tauqifi. Berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa ditempuh oleh ahli tafsir (mutaakhhirin) dan dipandang memudahkan mencari munasabah, yaitu : 1. Memperhatikan tujuan yang dibahas dalam surat. 2. Memperhatikan uraian-uraian dari beberapa ayat sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat. 3. Menentukan tingkat uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak. 4. Ketika menyusun kesimpulan harus memperhatikan ungkapan bahasannya dengan benar dan tidak berlebih-lebihan.
90
Ulumul Quran D. Macam-macam Munasabah 1. Munasabah antara surah dengan surah. Keserasian hubungan atau munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat yang lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun secara parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q.S Al-Fatihah (1), Q.S Al-Baqarah (2), dan Q.S Ali-Imran (3). Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah Al-Fatihah ayat 6,
Tunjukilah kami Jalan yang lurus.
Kemudian dijelaskan di dalam surah Al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah ayat 2:
Kitab (Al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa 2. Munasabah antara nama surah dengan kandungan isinya. Nama suatu surah pada dasarnya bersifat tawqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Suyuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut : a. Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surah. Nama surah Al-Fatihah disebut dengan umm
al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan Al-Fatihah karena kedudukannya. b. Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah : Al-‘Ankabut, Al-Fath, Al-Fil, Al-Lahab dan sebagainya. c. Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya Al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan, Al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya. d. Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surah. Contoh Al-Hajj (dengan spesifik tema haji), Al-Nisa (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa yang berarti kaum perempuan adalah lambang keharmonisan rumah tangga. e. Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surah, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya :
Thaha, Yasin, Shad dan Qaf. 3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat. Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan ciriciri ta’kid/ tasydid (penguat/ penegasan) dan tafsir/ I’tiradh (interfretasi/ penjelasan dan ciri-cirinya). Contoh sederhana : “
“ , dikuti “
” (Q.S. Al-Baqarah: 24).
91
Ulumul Quran Contoh tafsir : QS. Al Isra’: 1
Kemudian diikuti dengan
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf athaf dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada : a. Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah. Salah satu contoh QS. Luqman: 25, __
__
b. Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut). Contoh QS. Al Baqarah: 189 ___
___
c. Munasabah berbentuk nazhir / matsil ( hubungan sebanding ) atau mudhadd ah / ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh QS. Al Baqarah: 189: …
___
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah. Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surah tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat diawal Q.S Al-Baqarah 1-20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut. Misalnya surah Al Mu’minun dimulai dengan :
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman Kemudian dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung. 5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri. Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu At-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), At-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), At-Tawsyih (mempertajam relevansi makna ) dan Al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh : mengukuhkan
bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua
ayat sebelumnya (Al Mukminun: 12 – 14). Kalimat-kalimat :
,
,
selalu menjadi sandaran isi ayat. Kata khalim sangat erat hubungannya dengan ‘ibadat, sementara rasyid kuat hubungannya dengan Al-Amwal seperti bunyi ayat Q.S Hud : 87,
92
Ulumul Quran Sedangkan bentuk Al-Ighal dapat dijumpai pada Q.S Al-Naml 27: 80,
Kata “Wallaw” yang artinya bila mereka berpaling berfungsi sebagai penjelasan terhadap arti (orang tuli). 6. Munasabah antara uraian surah dengan akhir uraian surah. Salah satu rahasia keajaiban Al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh Al-Zamakhsyari demikian juga Al-Kirmani bahwa Q.S Al-Mu’minun diawali dengan “ kepada orang-orang Mukmin) dan diakhiri dengan “
“ (respek Tuhan “ (sama sekali Allah tidak
menaruh respek terhadap orang-orang Kafir). Dalam Q.S Al-Qashas, Al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surah dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa mereka akan memperoleh kemenangan. 7. Munasabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya akhir surah Al-Waqi’ah: 96
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar Lalu surah berikutnya, yakni surah Al-Hadid ayat 1 :
Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu. 8. Munasabah antara ayat tentang satu tema. Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh Al-Kisa’i dan Al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih Al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul Al-Burhan fi Mutasyabih AlQur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah Al-Tanzil wa Gharrat al- Ta’wil oleh Abu ‘Abd
Allah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn Al-Zubair. Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q.S Al-Nisa: 34 dan Q.S Al-Mujadalah: 11,
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), (Q.S Al-Nisa: 34)
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan . (Q.S Al-Mujadalah: 11) Tegaknya qiwamah ( konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al -nisa ) erat sekali kaitannya dengan faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S Al-Nisa menunjuk kata kunci Bima
Fadhdhala dan Al-Ilm. Antara Bima fadhdhala dengan yarfa’ terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘Ilm. Munasabah Al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi ( tawqifi ).
93
Ulumul Quran E. Kegunaan Ilmu Munasabah 1. Dari sisi Balaghah. Korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa Al-Qur’an, dan bila dihilangkan maka keserasian ayat akan hilang. “Kebanyakan kehalusan dan keindahan Al-Qur’an dibuang begitu saja, dalam tartib hubungan dan susunannya,” 2. Ilmu Munasabah memudahkan orang dalam memahami makna surah dan ayat. Sebab penafsiran AlQur’an dengan ragamnya, membutuhkan ilmu Munasabah. 3. Membantu pembaca agar dapat memperoleh petunjuk dalam waktu singkat tanpa membaca seluruh ayat Al-Qur’an. 4. Ilmu Munasabah semakin memperkaya cakrawala pemahaman. Sebab akan semakin banyak dan beragam pula seseorang mendapat petujuk dari Allah SWT. Sehingga Al-Qur’an dapat memberikan sumber hidayah yang tidak pudar. 5. Mengetahui persambungan/hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab AlQur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya. a’lam“
195
Djalal, Abdul Op. Cit , 165
94
195
" Wallahu
Ulumul Quran
BAB 11 ILMU I’JAZIL QUR’AN A. Pengertian I’jaz dan Mu’jizat
I'jaz merupakan bentuk masdhar ( nominal noun) dari bentuk fi'il a'jaza - yu'jizu - i'jaz - mu'jiz yang berarti lemah (dho'if). Secara bahasa a'jaza atau i'jaz berarti melemahkan atau menjadikan sesuatu menjadi lemah/ tidak mampu. Sementara mu'jizat , menurut Kamus Al Munjid menyatakan sesuatu bersifat luar biasa yang melemahkan sesuatu untuk mendatangkan yang serupa. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat . Istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al-‘ajib, maksudnya adalah sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang lain tidak ada yang sanggup menandingi atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khoriqun lil’adah, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah 196 (superlatif). I’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu ini, sejalan dengan firman Allah SWT:
”...mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini.” ( QS. Al-Maidah : 31). Al-Qaththan mendefinisikan i’jaz dengan memperlihatkan kebenaran Nabi SAW atas pengakuan
kerasulannya dengan cara membuktikan kelemahan orang arab dan genersi sesudahnya untuk menandingi Al-Qur’an. 197 Definisi tersebut berarti pembuktian kebenaran Nabi SAW dalam menyampaikan ajaran/ risalah dan pembuktian ketidakmampuan orang arab menandingi mu'jizat yang abadi (Al-Quran) dan orang - orang sesudahnya juga tidak mampu. Djalaluddin Asy Syuyuthi menyatakan ada beberapa unsur dalam mu'jizah yaitu : 1. Sesuatu atau peristiwa luar biasa 2. terjadi atau dipaparkan oleh Nabi 3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian 4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani Jadi, i'jaz Al-Qur'an adalah kemampuan yang dimiliki Al-Qur'an untuk membuktikan kenabian Muhammad SAW dan melemahkan penantangnya dalam membuat hal yang serupa. Sedangkan Mu'jizat Al-Qur'an adalah sesuatu hal luar biasa yang dimiliki Al-Qur'an untuk membuktikan kenabian Muhammad saw dan tidak dapat ditandingi dengan hal serupa atau bukti-bukti pengokohan Al-Qur'an sebagai risalah dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW dan sesuatu yang melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenisnya.
B. Tujuan I’jazil Qur’an dan Sejarahnya Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan Al-Qur’an dengan ucapannya sebagai berikut: “Bukti bahwa Al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturanaturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena Al-Qur’an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya. Sedang bukti kalau Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa Al-Qur’an itu membuat orang tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti Al-Qur’an”. Dinamakan mu’jizat (melemahkan) karena manusia lemah untuk mendatangkan sesamanya, sebab mu’jizat berupa hal yang bertentangan dengan adat, keluar dari batas-batas faktor yang telah diketahui. I’jazul Qur’an (kemu’jizatan Al-Qur’an) artinya: “menetapkan kelemahan manusia baik secara berpisah-
pisah maupun berkelompok, untuk bisa mendatangkan sesamanya.” Dan yang dimaksud dengan 196
Shihab, M. Quraish. 1997. Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 23 Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘ulum Al -Qur’an, Op. Cit.,258-259
197
95
Ulumul Quran kemu’jizatan Al-Qur’an bukan berarti melemahkan manusia dengan pengertian melemahkan yang sebenarnya, artinya memberi pengertian kepada mereka dengan kelemahannya untuk mendatangkan sesama Al-Qur’an, karena hal itu telah dimaklumi oleh setiap orang yang berakal, tetapi maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa kitab ini hak, dan Rasul yang membawanya adalah rasul yang benar. Begitulah semua mu’ jizat nabi-nabi dimana manusia lemah untuk menandinginya. Tujuannya hanya untuk melahirkan kebenaran mereka, menetapkan bahwa yang mereka bawa adalah semata-mata wahyu dari Dzat Yang Maha Bijaksana, dan diturunkan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka hanyalah menyampaikan risalah Allah dan tiada lain tugasnya hanya memberitahukan dan menyampaikan. Oleh karena itu mu’jizat adalah dalil-dalil dari Allah SWT. kepada hamba-Nya untuk membenarkan rasul-rasul dan nabi-nabi. Dengan perantaraan mu’izat ini, seolah-olah Allah bersabda: “Benar hamba-Ku dalam hal yang ia sampaikan dari Aku, dan Aku mengutusnya agar ia menyampaikan sesuatu kepadamu.”
C. Macam-macam I’jazil Qur’an 1. I’jaz Bayaani. Yaitu suatu mukjizat yang tidak ada didalam Al-Qur’an satu kalimat pun dapat ditambahkan oleh siapapun,ataupun dikurangi selain oleh Allah SWT. 2. I’jazul Ilmiyah Mu’jizat didalam al-Qur’an yang mengandung ilmu pengetahuan, meski ditemukan rahasia alam ini sudah berapa tahun setelah turunnya Al-Qur’an, oleh para pakar alam, metafisika, biologi, dan lainnya. Suatucontoh, bertemunya dua laut, yang disebut dalam Al-Qur’an, baru ditemukan rahasianya, begitupun pertumbuhan janin, menggantungnya janin dalam rahim, ilmu ini baru ditemukan kebenarannya.dan masih banyak lagi apa-apa yang disebutkan Seumpama,mengapa diharamkan babi, khamar. Perbedaan-perbedaan tanah,didalam jenisnya,sebagaimana di dalam Hadist, juga punya I’jaz ilmiyah, seperti mengapa kita diminta menghindari diri dari terik mentari,karena akan mengurangi shahwat.Ternyata setelah diteliti ilmuwan, memang berjemur di panas terik mentari (siang bolong), ada zat-zat,atau hormon-hormon seksual yang rusak. Begitupun mengapa ada Hadist yang menyuruh kita memasukkan sayap lalat yang sebelah lagi, bila lalat tersebut masuk ke dalam bejana, atau gelas yang ada air didalamnya. ternyata di kedua sayap lalat, satu boleh dikatakan racun, satunya lagi adalah obat antibiotik, yang mematikan kuman-kuman. semua ini bisa dibaca di dalam buku “I’jazul Ilmiyah di dalam Islam, (Al -Qur’an dan Sunnah karangan Muhammad kamil Abd Asshamad). Disanalah ada jawaban, bagi yang bertanya, mengapa, dan kenapa Allah dan rasul-Nya, menyuruh dan melarang kita begini dan begitu. 3. I’jazul Maudhu’i Dalam pengertian bahwa bagi siapa saja yang membaca Al-Qur’an ini dan memahaminya, melakukan apa-apa yang diperintahkan Allah, maka Allah kelak akan memuliakannya dunia dan akhirat.
D. Segi-segi I’jazil Qur’an Secara garis besar kemukjizatan A-Quran dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, pertama dari aspek kebahasaan yang mencakup aspek susunan ayat demi ayat, surat demi surat dalam mushaf serta penempatan suatu kata dan susunannya dalam kalimat. Kedua, dari segi makna yang mencakup aspek makna yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an seperti isyarat ilmiah dan pemberitahuan tentang hal-hal gaib baik pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. 1. Aspek Ketelitian Redaksi Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur’an Al-Karim yang terdiri dari 3 jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut. a. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. 1) Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali 2) Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kal 3) Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali
96
Ulumul Quran 4) Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali 5) Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali 6) Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali 7) Al-kuf r (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali 8) Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali 9) Al-shay f (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali. b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya. 1) Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali 2) Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali 3) Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali 4) Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali 5) Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali 6) Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali c. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya. 1) Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali 2) Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali 3) Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali 4) Al-zakah (penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali 5) Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali. d. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya 1) Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali 2) Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali 3) Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali 4) Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali e. Keseimbangan khusus. 1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural ( ayyam) atau dua (yawmayni ), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr ) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. 2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, AlThalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat. 3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali. 2. Aspek Kebahasaan Susunan gaya bahasa Al-Qur’an tidak sama dengan gaya bahasa karya manusia yang dikenal masyarakat Arab saat itu. Al-Qur’an tidaklah berbentuk syair, tidak pula berbentuk puisi. Diantara ciri mukjizat Al Qur’an pada aspek kebahasaan adalah: a. Nada dan langgamnya yang unik Ayat-ayat Al-Qur’an walaupun sebagaimana telah ditegaskan Allah bukan syair atau puisi, tetapi terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal itu diakui pula oleh cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickhall, dalam The Meaning of Glorious Qur'an. Pickhall berkata, “Al-Qur’an mempunyai simfoni yang tiada taranya sehingga nada-nadanya dapat
97
Ulumul Quran menggerakan manusia untuk menangis dan bersuka cita.” Hal ini karena huruf dari kata-kata dalam Al-Qur’an melahirkan keserasian bunyi dan kumpulan kata-kata itu melahirkan keserasian irama. Bacalah misalnya, QS. An-Nazilat: 1-4
b. Singkat dan padat Contoh, QS. Al-Baqarah ayat 212
dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Ayat ini dapat berarti bahwa Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki tanpa ada yang berhak mempertanyakan mengapa Dia memperluas rezeki seseorang dan mempersempit yang lain. Tanpa memperhitungkan pemberian itu, tanpa dugaan yang menerima dan jika dihitung rizki itu, niscaya tak mampu menghitungya. c. Memuaskan Para Pemikir dan Orang Awam Seorang awam akan merasa puas karena memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan keterbatasannya. Akan tetapi, ayat yang sama dapat dipahami dengan luas oleh filosof alam pengertian baru yang tidak terjangkau oleh orang awam. d. Memuaskan Akal dan Jiwa Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa atau akal dan kalbu. Daya pikirnya memberikan argumentasi-argumentasi
guna
mendukung
pandangannya,
sedangkan
daya
qalbu
mengantarkannya untuk mengekspresikan keindahan ayat-ayat Al-Qur’an dan mengembangkan imajinasinya. Contoh, susunan redaksi Al Qur’an telah membawa keislaman Umar Bin Khattab.
198
e. Keindahan dan Ketepatan Maknanya Seorang yang berilmu, apabila membaca Al-Qur’an akan mengetahui keindahannya. Begitu pula apabila yang membacanya orang awam, dia akan merasakan keagungannya, merasakan manisnya dan tidak sulit memahaminya. Sungguh mukjizat yang luar biasa karena Al-Qur’an bisa disampaikan dan diterima oleh semua kalangan, baik para cendekiawan, orang awam, raja, rakyat biasa, orang cerdas atau idiot, dewasa, anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Banyak pakar baik dari Arab sendiri maupun dari Barat yang mengakui keindahan bahasa Al-Qur`an. Berikut kami kutipkan beberapa pendapat mereka: a. George Sale Perintis penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Inggris menulis dalam kata pengantar terjemahannya, antara lain. .. Al-Qur`an ditulis dalam bahasa Arab dengan gaya yang indah dan
paling tinggi yang tidak dapat ditiru oleh pena manusia. Oleh karena itu, Al-Qur`an mukjizat yang 198
Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya, dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan kaum jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Nabi. Waktu itu Nabi membaca surat al-Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- "Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy." Kemudian beliau mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur'an bukan syair), lantas beliau berkata, "Kalau begitu berarti dia itu dukun." Kemudian beliau mendengar bacaan Nabi ayat 42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur'an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, "Telah terbetik lslam di dalam hatiku." Akan tetapi karena kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam. Kemudian pada suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Nabi. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al 'Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lekaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, "Mau kemana wahai Umar?" Umar bin Khattab menjawab, "Aku ingin membunuh Muhammad." Lelaki tadi berkata, "Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?" Maka Umar menjawab, "Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu." Tetapi lelaki tadi menimpali, "Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesungguhnya adik perempuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini." Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur'an, surat Thaha kepada Khabab bin al Arat. Umar bin Khattab berkata, 'Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.' Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah. Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa." Umar bin Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Kemudian Nabi menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya. "... Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab." Dan dalam riwayat lain: "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar."
98
Ulumul Quran
besar. Berbekal mukjizat Al-Qur`an Muhammad muncul menguatkan tugas sucinya. Dengan mukjizat itu beliau menantang ribuan sastrawan Arab yang cakap untuk menciptakan satu ayat saja yang dapat dibandingkan dengan gaya Al-Qur`an. Pada bagian lain kata pengantarnya, ia menulis. "Sangat luar biasa dampak kekuatan kata-kata (Al-Qur`an) yang dipilih dengan baik dan ditempatkan dengan seninya, yang dapat menumbuhkan gairah dan rasakagum orang yang membacanya ." b. Musthofa Shodiq Ar-Rofi`ie Sastrawan Arab yang masyhur mengakui, antara lain. "Tuhan menurunkanAl- Qur`an dalam
bahasa ini (Arab, pen) dengan susunan tersendiri, membuat orang tidak berdaya menirunya, baik susunan (ayat- ayatnya, pen) yang pendek maupun yang panjang. ...Karena dia adalah pembersihan bahasa dari kekotorannya." c. Thoha Husein Sarjana Mesir yang sangat terkenal di dunia Barat mengakui. "Kata-kata terbagi tiga, yakni puisi,
prosa, dan Qur`an. Akan tetapi Qur`an memiliki gaya tersendiri, bukan puisi dan bukan prosa. Qur`anadalah Qur`an. Ia tidak tunduk pada aturan prosa dan puisi. Ia memiliki irama sendiri yang dapat dirasakan pada susunan lafalnya dan urutan ayatnya." d. M. Quraish Shihab Dalam karya Membumikan Al-Qur`an, menyatakan bahwa tidak mudah untuk mengetahui keindahan bahasa Al-Qur`an khususnya bagi kita yang tidak memahami dan tidak memiliki " rasa
bahasa" Arab. Sebab keindahan diperoleh melalui " perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, menurut M. Quraish Shihab ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Qur`an yang dapat membantu pemahaman aspek ini. "Seperti diketahui, seringkah Al-Qur`an "turun" secara
spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian setelah Al-Qur`an rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisa serta perhitungan terhadap redaksi-redaksinya, ditemukan hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan antara keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang. 3. Aspek Syari’ah (tasyri’ ) Kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek ini adalah bahwa Al-Qur’an datang membawa manhaj tasyrî’ yang sempurna, yang menjamin terpenuhinya segala kebutuhan manusia seluruhnya pada setiap zaman dan tempat. Dengan ajaran ini kondisi manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, menjadi mulia dan luhur, di dunia dan akhirat. Model tasyrî’ qur’ânî ini sangat berbeda dengan semua jenis hukum, aturan dan perundangan buatan manusia.
199
Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an. Hukum-hukum Al-Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana. Dalam menetapkan hukum Al-Qur`an menggunakan cara-cara sebgai berikut; pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat badaniyah Al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidahkaidah secara kuliyah. Sedangkang perinciannya diserahkan pada As-Sunah dan ijtihad para mujtahid.
199
Thâlib, Masmû’ Ahmad Abû. 1994. Khulashah al-Bayân fî Mabâhits min ‘Ulûm al-Qur’ân, Cairo: Dâr al-Thibâ’ah alMuhammadiyah, cet. I, 80
99
Ulumul Quran Kedua,
hukum
yang
agak
jelas
dan
terperinci.
Misalnya
hukum
jihad,
undang-undang
peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. At-Taubah 9:41. Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutangpiutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-Ahzab 200
33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.
Diantara hukum-hukum tersebut yang menarik adalah bagaimana Tuhan memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-baligh dan tidak boleh ditinggalkan atau diganti dengan apapun. Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat yang khusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila. Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti dalam QS. Al‘Ankabut 29: 45,
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Contoh lain misalnya Al-Qur`an Ali Imran: 159 yang menanamkan sistem hukum sosial dengan berdasar pada azaz musyawarah.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Ayat diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan azaz musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga. Masmu’ Abu Thalib menilik beberapa butir yang menjadi bukti kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek tasyri’ sebagai berikut: a. Memperbaiki dan meluruskan akidah dengan jalan menunjukkan manusia akan hakikat asal kejadian (al-mabda` ) dan akhir (al-ma’âd ) kehidupan serta kehidupan di antara keduanya. Butir ini berisi ajaran tentang keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, para rasul dan hari akhir. b. Memperbaiki dan meluruskan praktik ibadah dengan jalan menunjukkan manusia akan ajaranajaran dan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan mental manusia. c. Memperbaiki akhlak dengan jalan menunjukkan manusia akan nilai-nilai keutamaan dan perintah untuk menjauhi segala bentuk kekejian dan keburukan, serta menjaga keseimbangan. d. Memperbaiki dan meluruskan kehidupan dengan jalan memerintahkan manusia agar mereka menyatukan barisan, menghapus segala benih fanatisme dan gap yang membawa kepada perpecahan. Ini dilakukan dengan jalan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari jenis dan jiwa yang sama. e. Meluruskan kehidupan politik dan tata kehidupan bernegara. Ini dilakukan dengan jalan memancangkan keadilan mutlak, persamaan antara sesama manusia dan memelihara nilai-nilai 200
Munawar, Said Aqil. 2002. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki , Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2, 49-52
100
Ulumul Quran luhur keutamaan seperti keadilan, dedikasi, kasih sayang, persamaan dan kecintaan dalam segala bentuk hukum dan interaksi sosial. f. Memperbaiki dan meluruskan perilaku ekonomi dan pendayagunaan harta, dengan jalan anjuran untuk membudayakan hidup hemat, memelihara harta dari kesia-siaan dan kepunahan. g. Meluruskan aturan perang dan perdamaian, dengan jalan memberikan pengertian hakiki tentang perang, larangan menganiaya, kewajiban menepati perjanjian dan mengutamakan perdamaian daripada peperangan. h. Memerangi sistem perbudakan dan anjuran untuk memerdekakan para budak. i.
Membebaskan akal budi dan nalar pikir dari segala tiran yang membelenggunya, seraya memerangi pemaksaan, intimidasi dan absolutisme.
201
4. Aspek Isyarat Ilmiah Pemaknaan kemukjizatan Al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta stimulasi Al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya. Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif. Pada khirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya akan selalu koheheren dengan Al-Quran. Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang. Karena Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kebahagian dunia dan akhirat, maka tidak heran jika di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun, hakikat-hakikat ilmiah yang disinggung Al-Qur’an dikemukakan dalam redaksi yang singkat dan sarat makna. Salah satu contoh, Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu gumpalan tetapi tentu Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana terjadinya pemisahan itu, namun apa yang dikemukakan di atas tentang keterpaduan alam raya kemudian pemisahannya dibenarkan oleh observasi para ilmuwan QS. Al-Anbiya ayat 30,
Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?
Isyarat ilmiah lain, yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya, dalam QS. Yunus: 5 diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari
cahaya matahari)". Juga pada QS Al Baqarah: 223 menerangkan bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan " ladang"
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilahmanzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
201
Ibid, 80-82
101
Ulumul Quran
isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. QS. Al-Hijr ayat 22 meberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang pembuahan serbuk bunga tumbuh-tumbuhan.
Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya .
Fakta-fakta mengenai gunung, baru tersingkap oleh para pakar pada akhir tahun 1960-an, bahwa gunung mempunyai akar, dan peranannya dalam menghentikan gerakan menyentak horizontal lithosfer, baru dapat difahami dalam kerja teori lempengan tektonik ( plate tetonics). Hal ini dapat dimengerti karena akar gunung mencapai 15 kali ketinggian di permukaan bumi sehingga mampu menjadi stabilisator terhadap goncangan dan getaran. Demikian itu telah diungkap oleh Al Qur’an 202
dalam QS. 13:3, 15:19, 16:15, 21:31, 27:61, 31:10, 50:7, 77:27 dan 79:32.
dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, (QS. An Nahl; 15) Tentu masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui. M. Quraish Shihab dalam kaitanya dengan mukjizat Al-Qur’an dari aspek isyarat ilmiah menyimpulkan: a. Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyrik dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. b. Tiada pertentangan antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. c. Memahami hubungan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teoriteori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tapi dengan melihat adakah Al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju. d. Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Qur’an bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Al-Qur’an dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan. e. Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuan yang dikuatirkan akan terjadi pula dalam Islam, sehingga cendekiawan
Islam
berusaha
menampakkan
hubungan
antara Al-Qur’an
dengan ilmu
pengetahuan. f. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai akidah Qur’aniyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau ketentuan bahasa. 202
203
Al Najar, Zaghul Raghib Muhammad. 1999. Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK , GP Jakarta cet. Ke IV, 122 Shihab, M. Quraish. 1996. Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, cet. XIII, 29-31
203
102
Ulumul Quran 5. Aspek Berita Ghaib Surat-surat dalam Al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib. Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebgai kitab mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi akan segala hal yang ghaib tidak memonopoli seuruh aspek kemukjizatan Al-Quran, diantaranya: Kisah Fir’aun : 4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qoshosh: 4) Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran
generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalutpembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orangorang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami. Segala yang dikemukakan Al-Qur’an tersebut kemudian terbukti dalam perjalanan hidup manusia ini.
Misalnya, Allah memberikan dalam surat An-Nur (24) ayat 55 bahwa umat Islam akan menjadi adikuasa di dunia ini. Hal itu benar-benar telah terjadi ketika dinasti Abbasiyah berada dalam masa kejayaannya dan ketika muncul tiga kerajaan besar, yaitu Mughal di India, Safawi di Persia, dan Turki Usmani di Turki antara abad 15-17 M. Al-Qur’an juga memberitahukan pada surat Ar-Rum (30) ayat 1-2 bahwa Kerajaan Romawi Timur akan hancur. Ini terbukti pada abad ke 14 M., Pasca Abbasiyah, pada masa kekuasaan Turki Utsmani. " Wallahu a’lam“
103
Ulumul Quran
BAB 12 ILMU AMTSALIL QUR’AN A. Pengertian Amtsalil Qur’an Amsal Al-Qur’an terdiri dari dua kata yakni amsal dan Al-Qur’an. Amsal berasal dari (matsa-
yamtsilu-amtsal ) yang berarti sama, serupa, atau perumpamaan.
204
Amsal juga berarti contoh atau
teladan, dan amsal juga bermakna yang berarti kesamaan atau penyempurnaan.
205
Adapun definisi
Amsal adalah : menonjolkan sesuatu makna yang abstrak dalam bentuk indrawi agar menjadi indah dan 206 menarik. Kata matsal digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “matsal ” dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah berkaitan dengan sifat dan karakteristik surga yang sangat menakjubkan.
(apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungaisungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya? Pengertian amtsal secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu: 1. Menurut ulama ahli ilmu adab
Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju. 207 2. Menurut ulama’ ahli ilmu bayan
Majas/ kiasan yang majemuk yang mana keterkaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah penyerupaan.
208
Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketiga arti dalam kitabnya, Al Kasysyaf , ia berkata : Matsal menurut asal perkataan mereka berarti al misl dan an-Nazir (yang serupa, yang sebanding). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan maurid atau apa yang terkandung dalam) perkataan itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan sebagai masal yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi. Dan kata “masal’ dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan. Ibnu Qayyim mendefinisikan Amtsal Al-Qur’an dengan menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul ) dengan yang indrawi (konkret
204
Munawwir, Ahmad Warison. 1997. Kamus Al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap . Surabaya: Pustaka Progressif, 1309 Ibid , 1309 206 Al-Qattan, Manna Khalil. 1996. Studi-studi Islam Al- Qur’an Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. III, 276 207 Al-Qattan, Manna Khalil. 1995. Pembahasan Ilmu Alqur’an . Jakarta: Rineka Cipta, 282 208 Ibid , 283 205
104
Ulumul Quran mahsus), atau mendekatkan salah satu dari dua maksud dengan yang lain dan menganggap salah satu sebagai yang lain. Dapat pula berarti menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang mengena dalam jiwa baik dalam tasybih maupun majaz mursal .
209
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Amsal Al-Qur’an adalah suatu perumpamaan atau ungkapan-ungkapan dengan gaya bahasa yang indah yang diberikan oleh Allah melalui Al-Qur’an berupa ungkapan singkat, jelas dan padat untuk dijadikan sebagai ibarat teladan yang baik dalam rangka meningkatkan iman kita kepada Allah.
Tamsil (membuat permisalan, perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, di jadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil . Karena itulah maka tamsil lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsil adalah salah satu uslub Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatannya. Di antara para ulama ada sejumlah orang menulis sebuah kitab yang secara khusus membahas perumpamaan-perumpamaan ( amsal ) dalam Qur’an, dan adapula yang hanya membuat satu bab mengenainya dalam salah satu kitab-kitabnya. Sekelompok pertama, misalnya Abul Hasan al-Mawardi. 210
Sedang kelompok kedua, antara lain, Asy-Suyuti dalam al-Itqan
211
dan Ibnul Qayyim dalam A’lamul
Muwaqqi’in. Bila kita meneliti amsal dalam Qur’an yang mengandung penyerupaan (Tasybih) sesuatu dengan hal serupa lainnya dan penyamaan antara keduanya dalam hukum, maka amsal demikian mencapai jumlah lebih dari 40 buah.
B. Unsur-unsur Amtsalil Qur’an Menurut mayoritas Ulama Amtsal memiliki 4 unsur,yaitu: 1. W a j h u S y a b a h : s e g i p e r u m p a m a a n 2 . Adaatu Tasybih: alat yang dipergunakan untuk tasybih 3. M u s y a b b a h : y a n g d i p e r u m p a m a k a n 4. Musyabbah bih: sesuatu yang dijadikan perumpamaan. Sebagai contoh, firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 261
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Wajhu Syabah pada ayat di atas adalah “ pertumbuhan yang berlipat-lipat ”. Adaatu tasybihnya adalah kata matsal. Musyabbahnya adalah infaq atau shadaqah di jalan Allah. Sedangkan musyabbah bih nya adalah benih.
C. Macam-macam Amtsalil Qur’an 1. Amtsalul Qur'an yang jelas (al-amtsalul musharrahatu), yaitu matsal yang di dalamnya terdapat lafal al-amtsal (lafal yang menunjukkan kepada persamaan atau perumpamaan). Matsal jenis ini banyak terdapat di dalam Al-Qur'an.
209
Ahmad Syadili, 1997. Ulumul Qur’an Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 35 Ia adalah Abu Hasan Ali bin habib asy-Syafi’i, penulis kitab Adabud dunya wad Din dan al-Ahkamus Sultaniyah . Wafat pada 450
210
H
211
Lihat al-Itqan , Jilid 2, halaman 131
105
Ulumul Quran
17. perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. 18. mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), 19. atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. dan Allah meliputi orangorang yang kafir. 20. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Dalam ayat tersebut, Allah mengumpakan orang-orang monafik denga dua perumpamaan, yaitu diserupakan dengan api yang menyala dan dengan air yang di dalamnya ada unsur kehidupan. Begitu
pula
Al-Qur’an diturunkan,
pertama
untuk
menyinari
hati
dan
keduanya
untuk
menhidupkannya. Allah menyebutkan keadaan orang nunafik juga didalamnya dua hal, mereka diumpamakan menghidupkan api untuk menyinari dan memanfaatkannya agar dapat berjalan dengan sinar api tadi. Tetapi sayang mereka tidak bisa memanfaatkan api itu, karena Allah telah menghilangkan cahayanya, sehingga masih tinggal panasnya saja yang akan membakar badan mereka, sebagaimana mereka tidak menghiraukan seruan Al-Qur’an, dan hanya pura-pura membacanya saja. Begitu pula dalam perumpamaan kedua, dimana mereka diserupakan dengan air hujan yang turun dari langit, disertai dengan kegelapan petir dan kilat sehingga mereka menutup telinga dan memejamkan mata karena takut mati disambar petir. Hal ini pun relevan dengan keadaan mereka yang mengabaikan Al-Qur’an dan tidak menjalankan perintah-perintah-Nya yang mestinya bisa menyelamatkan, tetapi karena tidak diindahkan maka justru membahayakan mereka. 2. Al-Amtsalul Kaminah
Amtsal kaminah ialah ayat didalanya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil, tetapi menunjukkan makna-makna yang indah, menarik dalam kepadanya redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya.
212
Pada dasarnya Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan sebagai bentuk perumpamaan terhadap makna tertentu, hanya saja isi kandungannya menunjukkan salah satu bentuk perumpamaan. Tegasnya macam ini ialah merupakan matsal (perumpamaan) maknawi yang tersembunyi, bukan amtsal yang nampak jelas. Ada beberapa contoh mengenai hal ini diantaranya ayat-ayat ilahi yang bertendensikan pada pembentukan cara hidup dalam batas-batas kewajaran misalnya: a. Ayat-ayat yang senada dengan perkataan (sebaik-baiknya urusan adalah pertengahannya) Contoh QS. Al Baqarah: 68,
212
Al-Qattan, Manna Khalil. 1996. Studi-studi Islam Al- Qur’an Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. III, 279
106
Ulumul Quran Sapi betina yang ada tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu …… b. Ayat uang senada dengan perkataan (khabar tidak sama dengan menyaksikan sendiri) contoh QS. Al Baqarah : 260,
Allah berfirman : Belum yakinkah kamu? “Ibrahim menjawab : “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”. c. Ayat yang senada dengan perkataan (sebagaimana kamu telah mengutangkan, maka kamu akan dibayar). Contoh QS. An Nisa: 123,
Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah
d. Ayat yang senada dengan perkataan (orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama) Contohnya QS. Yusuf: 64,
Bagaimana aku akan mempercayainya (Bunyamin) kepadaku, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada dahulu. 3. Al-Amtsalul Mursalah
Mursalat berarti ungkapan lepas yang tidak terkait dengan lafadz tasybih, tetapi ayat-ayat itu digunakan seperti penggunaannya peribahasa. Secara selintas, ciri utamanya adalah sama dengan ciri utama peribahasa, ungkapan atau kalimatnya ringkas; berisikan perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku. Dalam masalah amsal mursalah ulama berbeda pendapat tentang apa dan bagaimana hukum menggunakannya sebagai masal dalam uraian ini ada 2 pendapat : Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang mempergunakan amsal mursalah telah keluar dari adab Al-Qur’an. Alasannya adalah karena Allah telah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan
matsal tetapi untuk direnungkan dan diamalkan isi kandungannya. Salah satu contoh amsal mursalah dalam Al-Qur’an yang menjadi kontraversi dalam penggunaan amsal mursalah adalah ayat yang berbunyi :
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku
.
Ayat ini dapat dijadikan sebagai matsal dalam membela, membenarkan perbuatannya, ketika ia 213
meninggalkan agama, padahal yang demikian itu telah dilarang.
Pendapat kedua mengatakan
bahwa tidak ada halangan bila seseorang mempergunakan Al-Qur’an sebagai matsal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya ada seseorang diajak untuk mengikuti ajarannya, maka ia bisa menjawab bagimu agamamu dan bagiku agamaku
D. Sighat Amtsalil Qur’an 1. Sighat tasybih yang jelas (tasybih ash-sharih) Adalah sighat atau bentuk perumpamaan yang jelas, di dalamnya terungkap kata-kata matsal (perumpamaan). Contoh ayat 24 surah Yunus :
213
Ibid , 279
107
Ulumul Quran
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir. Dalam ayat tersebut jelas tampak adanya lafal al-matsal yang berarti perumpamaan. 2. Sighat tasybih yang terselubung ( tasybih adh-dhimin) Adalah sighat / bentuk perumpamaan yang terselubung / tersembunyi, di dalam perumpamaan itu diketahui dari segi artinya. Contohnya seperti dalam ayat 12 surah Al-Hujurat :
Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dalam ayat tersebut tidak terdapat kata-kata al-matsal (perumpamaan), tetapi arti itu jelas menerangkan perumpamaan, yaitu mengumpamakan menggunjing orang lain yang disamakan dengan makan daging bangkai teman sendiri. 3. Sighat Majaz Mursal Adakah sighat dengan bentuk perumpamaan yang bebas tidak terikat dengan asal ceritanya. Contohnya seperti dalam ayat 73 surah Al-Hajj :
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat-lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. 4. Sighat Majaz Murakkab, yaitu sighat dengan bentuk perumpamaan ganda yang segi persamaannya
diambil dari dua hal yang berkaitan, di mana kaitannya adalah perserupaan yang telah biasa digunakan dalam ucapan sehari-hari yang berasal dari isti'arah tamtsiliyah. Contohnya seperti melihat orang yang ragu-ragu akan pergi atau tidak, maka diucapkan: saya lihat
kamu itu maju mundur saja. 5. Sighat Isti'arah Tamtsiliyah, yaitu dengan bentuk perumpamaan sampiran/ lirik (perumpamaan pinjaman). Bentuk ini hampir sama dengan majaz murakkab, karena memang merupakan asalnya. Contoh ayat 24 surah Yunus :
108
Ulumul Quran
Seakan akan-akan belum pernah tumbuh kemarin. E. Contoh Perumpamaan Dalam Al Qur’an 1. Perumpamaan mereka (orang-orang munafik) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.(QS Al-Baqarah: 17) 2. Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al-Baqarah: 171) 3. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap -tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah:261) 4. Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebutnyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (QS Al-Baqarah: 264-265) 5. Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu (QS Ali Imran: 117) 6. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, makaperumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnyadan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayatayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat lalim. (QS Al-A’raf: 176-177) 7. Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir. (QS Yunus: 24) 8. Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (QS Ar-Ra’du: 17)
109
Ulumul Quran 9. Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman). mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka. (QS Ar-Ra’du: 35) 10. Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS Ibrahim: 18) 11. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (QS Ibrahim: 24) 12. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akarakarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. (QS Ibrahim: 26) 13. Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui. Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS An-Nahl: 75-76) 14. Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS An-Nahl: 112) 15. Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat".Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu".Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? (QS Al-Kahfi: 32-37) 16. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Kahfi: 45) 17. Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(QS Al-Kahfi: 109) 18. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS Al-Hajj: 73)
110
Ulumul Quran 19. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nuur: 35) 20. Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti labalaba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS Al-’Ankabuut: 41) 21. Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Az-Zumar: 29) 22. (Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya? (QS Muhammad: 15) 23. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya
harta
dan
anak, seperti
hujan
yang
tanam-tanamannya
mengagumkan
para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS Al-Hadid: 20) 24. Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang lalim. (QS Jumu’ah: 5)
F. Kegunaan Amtsalil Qur’an/Urgensi Pemahaman Amtsalil Qur’an 1. Pengungkapan pengertian abstrak dengan bentuk konkret yang dapat ditangkap indera itu mendorong akal manusia dapat mengerti ajaran-ajaran Al-Qur’an. Sebab, pengertian abstrak tidak mudah diresap sanubari, kecuali setelah digambarkan dengan hal-hal yang konkret sehingga mudah dicernanya. Contohnya seperti dalam ayat 264 surah Al-Baqarah yang menggambarkan batalnya pahala sedekah yang diserupakan dengan hilangnya debu di atas batu akibat disiram air hujan deras.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak akan beriman kepada Allah dan hari
111
Ulumul Quran
Kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang bertanah di atasnya, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak member pimpinan kepada orangorang yang kafir. 2. Matsalil Qur'an dapat menungkapkan kenyataan dan bisa mengkonkretkan hal yang abstrak. Contohnya seperti dalam ayat 275 surah Al-Baqarah yang mengumpamakan orang-orang makan riba yang ditipu oleh hawa nafsu, itu diserupakan dengan orang yang sempoyongan karena kesurupan setan.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, lantaran (tekanan) penyakit gila. 3. Matsalil Qur'an dapat mengumpulkan makna indah yang menarik dalam ungkapan yang singkat padat, seperti halnya dalam amtsalul kaminah, amtsalul mursalah, dan sebagainya. Contohnya seperti dalam ayat 53 surah Al-Mu'minun :
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). 4. Mendorong orang giat beramal melakukan hal-hal yang dijadikan perumpamaan yang menarik dalam Al-Qur’an. Contohnya seperti dalam ayat 261 surah Al-Baqarah, yang bisa mendorong orang giat bersedekah atau member nafkah :
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiaptiap butir seratus biji. Allah melipat-gandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki.
5. Menghindarkan orang dari perbuatan tercela yang dijadikan perumpamaan dalam Al-Q ur’an, setelah dipahami kejelekan perbuatan tersebut. Contohnya ayat 12 surah Al-Hujarat, yang bisa menhindarkan orang dari menggunjing orang lain :
Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. " Wallahu a’lam“
112
Ulumul Quran
BAB 13 ILMU QASHASHUL QURAN A. Pengertian Qashashul Quran Secara etimologis, al-Qashash adalah
mashdar dari kata kerja Qashasha yang artinya mengisahkan Qashash berarti berita yang berurutan, sedang al-qishash berarti urusan, berita, perkara 214 dan keadaan. Dapat juga berarti hikayat (dalam bentuk) prosa yang panjang. Qashash dalam AlQ ur’an adalah pemberitaan Al-Q ur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, kenabian yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Q ur’an menceritakan semua keadaan dengan cara menarik dan mempesona. dalam Al-Qur’an, lafadz Qashash mempunyai 3 arti, sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut dibawah ini : 1. Lafadz Qashash mempunyai arti mengikuti jejak yakni sama dengan menelusuri bekas. QS. Al Kahfi ayat 64
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. 2. Lafadz Qashash mempunyai arti mengikuti QS. Al-Qashash ayat 11
Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya. 3. Lafadz Qashash mempunyai arti kisah QS. Ali-Imran ayat 62
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .
Secara terminologis, Qashashul Qur’an adalah kabar-kabar dalam Al Quran tentang keadaan215
keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Manna Al-Khalil Al-Qaththan mendefinisikan Qashashul Qur’an sebagai pemberitaan Al Quran tentang hal ihwal umat-umat terdahulu dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris. Dan sesungguhnya Al-Q ur’an banyak memuat peristiwa-peristiwa masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu, 216
negara, perkampungan dan mengisahkan setiap kaum dengan cara shuratan nathiqah.
Qashashul
Qur’an tentang orang terdahulu adalah suatu kisah yang benar dan periwatannya mengenai peristiwaperistiwa itu adalah betul dan jujur. Ini karena Allah lah yang menceritakan kisah itu dan Allah benarbenar menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, dan Ia telah menakdirkannya.
217
Dari berbagai pengertian di
atas, Qashashul Qur’an adalah pemberitahuan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu,
nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Aspek sejarah atau kisah dalam Al Qur’an disebut dengan istilah Qishashul Quran, bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Al-Q ur’an sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran ( ibrah) dan kita baru mengetahui setelah Allah menceritakan melalui proses wahyu, QS. Yusuf: 3. 214
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 223. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1999. Ilmu-Ilmu Al Quran . Jakarta : Bulan Bintang, 176 216 Shuratan nathiqah adalah seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang menyaksikan peristiwa itu. Manna’ Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Quran 217 Al-Khalidy, Shalah. 1999. Kisah-kisah Al-Qur’an, Pelajaran Dari Orang Terdahulu . Jakarta: Gema Insani, 22 215
113
Ulumul Quran
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orangorang yang belum mengetahui .
B. Macam-macam Qashashul Quran Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: 1. Kisah para Nabi yang memuat dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang ada pada mereka, sikap para penentang, perkembangan dakwah dan akibat-akibat yang diterima orang-orang yang mendustakan para Nabi. Nabi Adam (QS. Al-Baqarah: 30-39 dan QS. Al-A’raf; 11), kisah tentang Nabi Nuh (QS. Hud: 25-49), kisah tentang Nabi Ibrahim (QS. QS. Al-Baqarah: 124, 132, dan QS. AlAn’am: 74-83) dan kisah para nabi dan rasul yang lain. 2. Kisah-kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian umat-umat terdahulu dan tentang orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiaanya, seperti kisah tentang Luqman (QS. Luqman: 12-13), kisah tentang Dzul Qornain (QS. Al-Kahfi: 9-26), kisah tentang Thalut dan Jalut (QS. Al-Baqarah: 246-251), dan kisah-kisah yang lain 3. Kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah seperti kisah tentang Perang Badar dan Perang Uhud (QS. Ali Imran), kisah tentang Ababil (QS. Al-Fil: 1-5), kisah tentang peristiwa hijrah (QS. Muhammad: 13).
218
C. Unsur Qashashul Quran Adapun unsur-unsur kisah dalam Al-Qur’an adalah: 1.
Pelaku (al-Syaksy ). Dalam Al-Qur’an para aktor dari kisah tersebut tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, jin dan bahkan hewan seperti semut dan bur ung hud-hud.
2.
Peristiwa (al-Haditsah). Unsur peristiwa merupakan unsur pokok dalam suatu cerita, sebab tidak mungkin, ada suatu kisah tanpa ada peristiwanya. Berkaitan peristiwa, sebagian ahli membagi menjadi 3, yaitu a. Peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan dan campur tangan qadla-qadar Allah dalam suatu kisah. b. Peristiwa yang dianggap luar biasa atau yang disebut mukjizat sebagai tanda bukti kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah, namun mereka tetap mendustakannya lalu turunlah adzab. c. Peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang baik atau buruk, baik merupakan rasul maupun manusia biasa.
3.
Percakapan (Hiwar ). Biasanya percakapan ini terdapat pada kisah yang banyak pelakunya, seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Musa dan sebagainya. Isi percakapan dalam Al-Qur’an pada umumnya adalah soal-soal agama, misalnya masalah kebangkitan manusia, keesaan Allah, pendidikan. Dalam hal ini Al-Qur’an menempuh model percakapan langsung. Jadi Al-Qur’an menceritakan pelaku dalam bentuk aslinya. 219
4.
Tujuan dan Fungsi Qashasul Quran. Kisah merupakan salah satu cara yang dipakai Al-Qur’an untuk mewujudkan tujuan yang bersifat agama, sebab Al-Qur’an adalah kitab dakwah agama dan kisah menjadi salah satu medianya untuk menyampaikan dan memantapkan dakwah.
218 219
114
Al-Qaththan, Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulumul Quran, 306 Munawir, Fajrul dkk. 2005. Al-Quran. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 108-109
Ulumul Quran D. Tujuan Qashashul Quran Secara umum tujuan dihadirkannya kajian kisah dalam Al-Qur’an dalam rangka menemukan tujuantujuan Al-Qur’an dari kisahnya, mengalihkan perhatian kita kepada kisah ini dalam kebenaran, prinsip, dan pengarahan, dalam rangka melaksanakan perintah Allah untuk memperhatikan dan memikirkan, dan mengambil pelajaran dari setiap bait yang ada dalam kitab sucinya Al-Qur’an. Dan memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dengan baik dan benar.
220
Sedangkan secara spesifik tujuan Qashashul Qur’an adalah:
1. Membuktikan kerasulan Muhammad dan membuktikan Al-Qur'an adalah wahyu Allah bukan rekayasa yang di buat Nabi. Karena hal ini juga ditegaskan dalam QS. Yusuf: 2-3.
221
2. Menunjukkan bahwa semua agama langit berasal dari Allah yang di dasarkan pada QS. Al Anbiyya: 92 222
223
dan QS. Al A'raf: 7.
3. Menegaskan pada akhirnya Allah SWT menolong Nabi dan Rasul dan menghancurkan orang-orang yang mendustakannya. Penjelasan ini di maksudkan untuk memantapkan hati Nabi SAW dan orangorang beriman ketika itu, sebagaimana terlihat dalam QS. Hud: 120.
224
4. Memperkuat kebenaran kabar tentang ganjaran baik dan buruk serta nikmat dan siksa dengan mengemukakan contoh dari peristiwa-peristiwa yang di alami oleh umat-umat terdahulu seperti pada 225
QS. Al Hijr 61-74.
5. Mengingatkan manusia akan bahaya dari bujukan Iblis yang senantiasa menyesatkan mereka seperti 226
terlihat pada QS. Al A'raf 11-18.
6. Menjelaskan kekuasaan Allah dan menjelaskan peristiwa-peristiwa luar biasa seperti penciptaan Nabi Adam, kelahiran Nabi Isa dan sebagainya. 7. Untuk menarik perhatian para pendengar dan menggugah kesadaran diri mereka melalui penuturan kisah.
E. Faedah Qashashul Quran 1. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang disampaikan oleh para Nabi.
220
Ibid , 107. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui. 222 Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku. 223 Maka Sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka). 224 dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. 225 64. dan Kami datang kepadamu membawa kebenaran dan Sesungguhnya Kami betul-betul orang-orang benar.65. Maka Pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutlah mereka dari belakang dan janganlah seorangpun di antara kamu menoleh kebelakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepadamu".66. dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, Yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.67. dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu 68. Luth berkata: "Sesungguhnya mereka adalah tamuku; Maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku),69. dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina".70. mereka berkata: "Dan Bukankah Kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia.71. Luth berkata: "Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". 226 11. Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud.12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah".13. Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, Maka keluarlah, Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang hina".14. iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".15. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu Termasuk mereka yang diberi tangguh."16. iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,17. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).18. Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya Barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benarbenar aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya". 221
115
Ulumul Quran
Dan kami tidak mengutus seorang Rasulullah sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku (QS. Al Anbiya: 25) 2. Mengokohkan hati Rasul dan hati umat Muhammad dalam beragama dengan agama Allah dan menguatkan kepercayaan para Mu’min tentang datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan.
Dan semua kisah dari Rasul kami ceritakan kepadamu ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS. Huud: 120) 3. Mengabadikan usaha-usaha para Nabi-Nabi dan pernyataan bahwa para Nabi-Nabi dahulu adalah benar. 4. Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad SAW dalam dakwanya dengan dapat menerangkan keadaan umat yang telah lalu. 5. Menyingkap kebohongan ahlul kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an
Semua makanan adalah halal bagi bani Israil, kecuali makanan yang di haramkan oleh Israil (Ya’kob) unutk dirinya sendiri sebelum taurat diturunkan. Katakanlah jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun taurat, maka bawalah Taurat itu lalu bacakanlah dia jika kamu orang-orang yang benar (QS. Ali Imran: 93)
6. Kisah yang mencontohkan tentang adab sopan santun. Enak sekali di dengar, dan meresap ke dalam hati.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal . (QS. Yusuf: 111)227 F. Klasifikasi Kisah dalam Al-Qur’an
Setelah mempelajari tentang Qashashul Qur’an dan berbagai cabangnya, untuk mempermudah mengetahui ayat-ayat yang mengandung kisah tersebut dan bisa lebih untuk memahaminya, berikut adalah klasifikasi Qashashul Qur’an berdasarkan urutan surat yang kami kutip dari buku Ilmu Tafsir karya Rosihon Anwar. 1. Al-Baqarah (2). Qashashul Qur’an yang ditemukan dalam surat ini diantaranya: a. Ayat 31, nabi Adam 'alaih al-salam diajari tentang nama-nama benda. b. Ayat 36, Adam digoda setan dan dikeluarkan dari surga. c. Ayat 49, kekejaman Fir'aun terhadap bani Israil. d. Ayat 50, nabi Musa menyeberangi laut dan ditenggelamkannya fir'aun dan pengikutnya. e. Ayat 127, nabi Ibrahim bersama Ismail mendirikan baitullah. f. Ayat 258, nabi Ibrahim berdebat dengan raja. 2. Ali 'imran (3). Qashashul Qur ’an yang ditemukan dalam surat ini diantaranya: a. Ayat 35, istri imran menazdarkan anaknya kepada tuhan.
227
116
Ash Shiddiqy, T.M Hasbih.2002. Ilmu-ilmu Al- Qur’an, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 191-192
Ulumul Quran b. Ayat 45-49, Maryam menerima kabar kelahiran Isa c. Ayat 121-127, perang Badar dan perang Uhud 3. Al-Nisa' (4). Qashashul Qur’an yang ditemukan dalam surat ini diantaranya: a. Ayat 153, Israil meminta Musa memperlihatkan Tuhan dan kaum nabi Musa menyembelih sapi. b. Ayat 164, nabi Musa berbicara langsung dengan Tuhan. 4. Al-Maidah (5). Qashashul Qur’an yang ditemukan dalam surat ini diantaranya: a. Ayat 12, tuhan mengambil perjanjian dari bani israil. b. Ayat 20-26, kaum nabi Musa 'alaih al-salam enggan memasuki Palestina. c. Ayat 27-31, Habil dan pembunuhan pertama. d. Ayat 110-115, kisah tentang Nabi Isa 4. Al-A'raf (7). Qashashul Qur’an yang ada dalam surat ini diantaranya: a. Ayat 13 dan 18, Iblis diusir dari surga. b. Ayat 20-22, syetan menggoda nabi Adam. c. Ayat 59-64, tentang nabi Nuh d. Ayat 80-84, tentang nabi Luth. e. Ayat 104-105, percakapan Musa dengan Fir'aun. f. Ayat 107, tongkat nabi Musa menjadi ular. 5. Al-Anfal (8). Pembatalan perjanjian dengan kaum musyrik pada ayat 58 ialah qashash yang ditemukan pada surat yang ke-delapan ini. 6. At-Taubah (9). Qashashul Qur’an yang terdapat dalam surat ini ialah: a. Ayat 25-29, Perang Hunain b. Ayat 38-43, perang Tabuk c. Ayat 70, kaum 'Ad 7. Yunus (10). Kekejaman Fir'aun terhadap bani Israil pada ayat 83 dan nabi Musa menyeberangi laut pada ayat 90 merupakan bagian kisah yang terdapat dalam surat Yunus ini. 8. Hud (11). Qashashul Qur’an yang terdapat dalam surat ini ialah: a. Ayat 25-48, nabi Nuh. b. Ayat 50, 53, 59, 60, kaum 'Ad. c. Ayat 69-76, kisah nabi Ibrahim didatangi tamu malaikat. d. Ayat 71, nabi Ibrahim menerima kelahiran nabi Ishaq. e. Ayat 78-79, putri nabi Nuh. 9. Yusuf (12). Nabi Yusuf digoda Zulaikha pada ayat 26, 30, 32, dan 51, serta nabi Yusuf dipenjarakan pada ayat 35 ialah qashash yang terdapat dalam surat kedua belas ini. 10. Ar Ra'd (13) ayat 33 kisah tentang nabi Yusuf an Zulaikha. 11. Ibrahim (14) ayat 9 kisah tentang kaum 'Ad. 12. Al-Hijr (15). Qashashul Qur’an yang terdapat dalam surat ini ialah: a. Ayat 51-58, kisah nabi Ibrahim didatangi tamu malaikat. b. Ayat 59-76, kisah nabi Luth dan kaumnya. 13. Al-Isra' 17, Qashashul Qur’an dalam surat ini ialah: a. Ayat 5, penghancuran baitul maqdis oleh Babilonia. b. Ayat 7, penghancuran baitul maqdis oleh Romawi. c. Ayat 103, Fir'aun dan pengikutnya ditenggelamkan. d. Ayat 104, bani Israil diperintah untuk mendiami suatu negeri. 14. Al-Kahfi (18). Qashashul Qur’an dalam surat ini ialah kisah nabi Musa dengan nabi Khidir yang terdapat pada ayat 60-82. 15. Maryam (19). Maryam melahirkan Isa 'alaih al-salam pada ayat 23-26 dan Maryam membawa Isa kepada kaumnya pada ayat 27. 16. Thaha (20). Qashashul Qur’an dalam surat ini ialah: a. Ayat 20, tongkat nabi Musa menjadi ular.
117
Ulumul Quran b. Ayat 40, nabi Musa hijrah ke Madyan. c. Ayat 57-58, percakapan nabi Musa dengan Fir'aun. d. Ayat 64-67, percakapan Musa dengan tukang sihir. e. Ayat 88, kaum Musa menyembelih anak sapi. f. Ayat 120-121, nabi Adam digoda syetan. g. Ayat 122, nabi Adam dikeluarkan dari surga. 17. Al-Anbiya' (21). Qashashul Qur’an yang ditemukan dalam surat ke-21 ini ialah kisah nabi Ibrahim menghancurkan berhala pada ayat 57-67 dan dibakarnya nabi Ibrahim pada ayat 69-70. 18. Al-Hajj (22). Kisah dalam surat ini ada pada ayat 42 yaitu tentang kaum 'Ad dan ayat 25 tentang tuhan menyiksa orang yang melakukan kejahatan di Masjidil haram. 19. Al-Mukminun (23) ayat 23-29, ialah kisah tentang nabi Nuh 'alaih al-salam. 20. Al-Nur (24) ayat 11-15, fitnah terhadap istri nabi Muhammad saw. 21. Al-Furqan (25) ayat 38, kaum 'Ad dan ayat 40 hujan batu yang menimpa kaum Luth. 22. Al-Syu'ara (26). Qashashul Qur’an dalam surat ini diantaranya sebagai berikut: a. Ayat 61-68, kisah tentang Musa dan Fir'aun menyeberangi laut. b. Ayat 105-120, kisah nabi Nuh. c. Ayat 123-139, kisah Hud dan kaum 'Ad. d. Ayat 160-173, Nabi Luth. 23. Al-Naml (27). Diantara Qashashul Qur’an yang terdapat dalam surat ini ialah sebagai berikut: a. Ayat 10, tongkat nabi Musa menjadi ular b. Ayat 18, semut berbicara. c. Ayat 20-24, kisah nabi Sulaiman d. Ayat 39, jin membawa singgasana ratu Balqis. e. Ayat 58, hujan batu menimpa kaum Luth. 24. Al-Qashsash (28). Qashashul Qur’an yang ada dalam surat ke-28 ini diantaranya ialah: a. Ayat 4, kekejaman Fir'aun terhadap bani Israil. b. Ayat 7, nabi Musa dibuang ke sungai. c. Ayat 22, nabi Musa pindah ke Madyan. d. Ayat 31, tongkat Musa berubah menjadi ular. e. Ayat 78, kesombongan Qarun. 25. Al-Ankabut (29). Qashashul Qur’an yang terdapat dalam surat ini diantaranya ialah: a. Ayat 24, nabi Ibrahim dibakar. b. Ayat 28, cobaan terhadap nabi Nuh. c. Ayat 31, negeri Sodom 26. Luqman (31) ayat 13 berupa nasihat Luqman terhadap anaknya. 27. Al-Ahzab (33) ayat 26-27, umat Islam berperang dengan bani Quraizah. 28. Saba' (34) ayat 15, Negeri Saba'. 29. Al-Shaffat (37). Qashashul Qur’an yang terdapat dalam surat ini diantaranya ialah pada ayat 102-103 nabi Ibrahim menyembelih Ismail. 30. Shad (38). Kisah-kisah yang ada dalam surat ini diantaranya: a. Ayat 12, kisah kaum 'Ad. b. Ayat 41, nabi Ayyub digoda syetan. c. Ayat 42, cobaan nabi Ayyub 31. Al-Mu'min (40). Diantara Qashashul Qur’an yang ada dalam surat ini yaitu ayat 26 tentang tekad Fir'aun membunuh Musa. 32. Fushshilat (41) ayat 15, tenntang kaum 'Ad. 33. Al-Zukhruf (43) ayat 54, pengaruh fir'aun. 34. Al-Dukhan (44) ayat 24, nabi Musa menyeberangi laut. 35. Al-Ahqaf (46) ayat 21, kaum 'Ad.
118
Ulumul Quran 36. Al-Fath (48) ayat 18 dan 24, Shulhul Hudaibiyah. 37. Qaf (50) ayat 12, penduduk Ras yang dibinasakan Tuhan dan ayat 13, kaum 'Ad. 38. Al-Zdariyat (51) ayat 24-29, kisah nabi ibrahim kedatangan tamu malaikat. 39. Al-Najm (53) ayat 6 dan 13, nabi Muhammad saw bertemu Jibril dalam bentuk asli. 40. Al-Qamar (54). Qashashul Qur’an dalam surat ini diantaranya ialah: a. Ayat 9-16, kehancuran kaum Nuh. b. Ayat 18-20, kaum 'Ad. c. Ayat 23-32, kehancuran kaum Tsamud. d. Ayat 33-40, kehancuran kaum Luth. 41. Al-Hasyr (59) ayat 2-5, kisah pengusiran orang Yahudi dari Madinah. 42. Al-Tahrim (66) ayat 10, istri Luth yang berkhianat dan ayat 1-6, kehidupan nabi Muhmmad SAW dan istrinya. 43. Nuh (71) ayat 2-4, nabi Nuh menyeruh kaumnya dan ayat 25, azab yang ditimpahkan kepada kaum nabi Nuh. 44. Abasa (80) ayat 1-10, teguran terhadap nabi Muhammad saw karena berkuma masam. 45. Al-Takwir (81) ayat 23, nabi Muhammad saw melihat Jibril di ufuk yang terang. 46. Al-Fajr (89) ayat 6, kisah tentang kaum 'Ad.
G. Pengulangan Kisah dalam Al-Qur’an dan Hikmahnya Dalam Al-Qur’an banyak terdapat berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang. Contoh kisah iblis yang tidak mau tunduk pada Nabi Adam yang terdapat di surat al-Baqarah (2): 34, QS. Al-A'raf (7): 11, QS. Al-Hijr (15): 31, QS. Al-Isra' (17): 61, QS. Al-Kahfi (18): 50, QS. Thaha (20): 116, dan QS. Shad (38): 74. Dalam pengulangan kisah-kisah yang terdapat pada Al-Qur’an banyak hikmah yang bisa kita ketahui. Dalam analisisnya, Manna Kholil Al-Qaththan memaparkan hikmah daripada pengulangan kisahkisah yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: 1. Menjelaskan aspek Balaghah Al-Qur’an dalam tingkat yang paling tinggi. 2. Menunjukkan kehebatan mu'jizat Al-Qur’an. 3. Memberikan perhatian yang besar terhadap kisah untuk menguatkan kesan dalam jiwa. 4. Memperlihatakan bahwasanya ada perbedaan tujuan dalam suatu kisah yang diulang.
H. Hikmah Qashashul Qur ’a n 1. Penjelasan tentang kebijaksanaan Allah Ta’ala yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut, QS. AlQamar: 4-5,
Dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmah yang Sempurna Maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka). 2. Penjelasan tentang kemahaadilan Allah yang menjatuhkan hukuman bagi orang-orang yang mendustakan, Q.S. Huud: 101,
Dan kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, Karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.
119
Ulumul Quran 3. Penjelasan tentang karunia Allah yang memberi balasan baik bagi orang-orang yang beriman, QS. AlQamar: 34-45,
Sesungguhnya kami Telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. mereka kami selamatkan sebelum fajar menyingsing. Sebagai nikmat dari kami. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. 4. Hiburan bagi Nabi SAW atas penderitaan yang beliau alami karena gangguan orang-orang yang mendustakan beliau, Q.S. Faathir: 25-26.
Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya); kepada mereka telah datang rasul-rasul-Nya dengan
membawa mu’jizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.
Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku. 5. Motivasi bagi kaum mukminin agar istiqamah di atas keimanan dan untuk meningkatkannya. Dasarnya QS. Al-Anbiya': 88 dan Q.S. Ar Ruum: 47.
Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Anbiya': 88)
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (Q.S. Ar Ruum: 47).
6. Ancaman bagi orang-orang kafir supaya tidak melestarikan kekafirannya. Dasarnya Q.S. Muhammad : 10
Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. 7. Bukti atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah, karena hanya Allah sajalah yang mengetahui kisah umat-umat terdahulu tersebut. Dasarnya Q.S. Huud: 49 dan Q.S. Ibrahim: 9,
120
Ulumul Quran
Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. (Q.S. Huud: 49)
Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. (Q.S. Ibrahim : 9).
I. Bantahan Terhadap Kritikan Orientalis Ada beberapa orientalis yang berpendapat bahwa kisah-kisah masa lampau yang dikemukakan AlQur’an diketahui Nabi Muhammad SAW dari seorang pendeta atau beliau jiplak dari kitab Perjanjian Lama. Pendapat ini jelas tidak benar dari banyak segi. Nabi Muhammad SAW tidak pernah belajar pada siapapun. Memang pada masa kanak-kanak beliau pernah ikut berdagang pamanya ke Syam dan bertemu dengan rahib yang bernama Buhaira yang meminta pamannya agar member perhatian serius pada nabi karena dia melihat tanda-tanda kenabian pada beliau. Namun pertemuan ini pun hanya terjadi beberapa saat. Di sini kita bertanya, “kalau remaja kecil (Muhammad) belajar pada rahib itu, apakah logis dalam pertemuan singkat itu beliau memperoleh banyak informasi yang mendetail, bahkan sangat akurat?” tentu saja tidak. Ada juga seorang orientalis yang bernama Montgomery Watt yang berkata bahwa
Nabi
Muhammad SAW belajar pada Waraqah bin Naufal. Menurutnya, Khadijah merupakan anak paman Waraqah bin Naufal, sedangkan ia merupakan agamawan yang akhirnya menganut agama Kristen. Tidak dapat disangkal Khadijah berada di bawah pengaruhnya dan boleh jadi Muhammad telah menimba sesuatu dari semangat dan pendapat-pendapatnya. Kita mengakui kalau Waraqah beragama Kristen, tapi bahwa Muhammad datang belajar kepadanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Hal ini karena menurut pelbagai riwayat kedatangan beliau menemui Waraqah adalah setelah beliau menerima wahyu dan bukan sebelumnya. Di sisi lain, Waraqah berpendapat bahwa yang datang pada Nabi Muhammad SAW di gua Hira itu adalah malaikat yang pernah datang pada Nabi Musa dan Isa dan beliau menyatakan bahwa seandainya hidup saat Muhammad dimusuhi kaumnya, niscaya dia akan membelanya. Jika demikian logiskah jika Nabi Muhammad SAW belajar kepadanya setelah Waraqah mengakui kenabiannya? Tidaklah tepat jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW mempelajari Kitab Perjanjian Lama karena disamping beliau tidak dapat membaca dan menulis, juga karena terdapat sekian banyak informasi yang dikemukakan Al-Qur’an yang tidak termaktub dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, missal kisah Ashab Al-Kahfi . Kalaupun ada yang sama, seperti beberapa kisah nabi-nabi, namun dalam rincian atau rumusan terdapat perbedaaan-perbedaan. Bahwa terjadi persamaan dalam garis besar bukan lalu merupakan bukti penjiplakan. Apakah jika seseorang pada puluhan tahun yang lalu melukis candi Borobudur, kemudian kini datang pula pelukis lain yang melukisnya – dan ternyata lukisan itu sama atau mirip dengan yang sebelumnya – apakah Anda berkata bahwa pelukis kedua menjiplak dari pelukis pertama? Nabi Muhammad SAW sejak dini telah mengakui bahwa beliau adalah pelanjut dari risalah para nabi. Beliau mengibaratkan diri beliau dengan para nabi sebelumnya bagaikan seorang yang membangun rumah, maka dibangunnya dengan sangat baik dan indah, kecuali satu bata di pojok rumah itu. Orangorang berkeliling di rumah tersebut dan mengaguminya sambil berkata, “ Seandainya diletakkan bata di
pojok rumah ini, maka Akulah (pembawa) bata itu dan Akulah penutup para nabi .” Demikian sabda 228 Beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Jabir bin Abdillah. " Wall ahu a’lam“ 228
Dirangkum dari Shihab, M. Quraish. 1998. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan, 206-212.
121
Ulumul Quran
BAB 14 ILMU AQSAMUL QUR’AN A. Pengertian Aqsamul Qur’an dan Unsur-unsurnya Secara etimologi aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam. Kata qasam memiliki makna yang sama dengan dua kata lain yaitu : al halaf dan al yamin yang berarti sumpah. Qasam dan yamin adalah dua kata sinonim yang berarti sama. Qasam didefinisikan sebagai mengikat hati jiwa (hati) agar
tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi, oleh or ang yang bersumpah itu . Bersumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan) karena orang arab ketika bersumpah memegang tangan kanan 229 sahabatnya. Selain qasam sama dengan yamin, qasam juga sama dengan half . Penggunaan ungkapan qasam dalam Al-Qur’an, adakalanya dengan memakai kata aqsama, dan 230 kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa. Contoh penggunaan kedua kata tadi antara lain;
Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu Mengetahui .(Al-Waqi’ah: 76)
Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Alla) lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta . (QS. Al-Mujadilah: 18). Dalam pengertian terminologi, menurut Al-Jurjani Qasam/ sumpah adalah sesuatu yang dikemukakan untuk menguatkan salah satu dari dua berita dengan menyebutkan nama Allah atau 231
sifatnya.
atau untuk
Juga dapat
berarti mengikatkan jiwa untuk tidak melakukan sesuatu
mengerjakannya, yang diperkuat dengansesuatu
bersumpah, baik secara nyata ataupun secara keyakinan saja. Ilmu Aqsamul Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu
yang
diagungkan
bagi
perbuatan orang
yang
232
Al-Qur’an yang mengkaji tentang arti,
maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dapat juga berarti ilmu yang membicarakan tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu sumpahsumpah yang disampaikan oleh Allah SWT untuk meyakinkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
233
Ibnu Qoyyim adalah ulama pertama yang secara khusus mengulas masalah qosam ini dalam kitabnya, yaitu At Tibyan fi Ulumil Qur’an yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan sumpah Allah. Kedudukan qosam dalam Al-Qur’an ada yang di awal surat dan ada pula selain di awal surat. Keduanya tidak mengurangi makna sumpah karena yang melakukan adalah Allah. Para Ulama berbeda dalam menggunakan istilah qasam, diantaranya hanya menyebut istilah Al-
Qasam saja seperti dalam kitab al-Burhan fi Ulumil Qur’an karya Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi. Ada yang merangkainya dengan kata Al-Qur’an, sehingga menjadi Aqsamul Qur’an seperti yang dipakai dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an karya Imam Jalaluddin Asy-Suyuthi. Kedua istilah tersebut hanya berbeda pada konteks pemakaian katanya saja, sedangkan maksudnya tidak jauh berbeda.
229
Nasution, Hasan Mansur. 1992. Rahasia Sumpah Allah . Bandung: Mizan, 7. Buchori, Didin Syaefuddin. 2005. Pedoman Memahami Kandungan Al- Qur’an. Bogor: Granada Sarana Pustaka, 173-174. 231 Nasution, Hasan Mansur. 1992. Op. Cit , 7. 232 Djalal, Abdul. 1997. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 346 233 Al-Qattan, Manna Khalil Studi-studi Islam Al- Qur’an Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 410 230
.
122
.
Ulumul Quran B. Sighat Aqsamul Qur’an 1. Adat Qasam adalah sighat yang digunkan untuk menunjukkan qasam, baik dalam bentuk fi’il maupun huruf seperti ba, ta, dan wawu sebagai pengganti fi’il qasam.
234
Contoh, Adat qasam dengan memakai kata kerja (QS. An-Nahl: 38),
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Contoh, Adat qasam dengan memakai huruf wawu (QS. Al Anbiya’ : 57). Lafadz Al-Jalalah yang digunakan untuk pengganti fi’il qasam adalah huruf ta seperti
Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya 2. Muqsam Bih atau penguat sumpah, yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah. Sumpah dalam Al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama yang Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nam-nama ciptaanNya. Qasam dengan menggunakan nama Allah dalam al-Qur’an 235
hanya terdapat dalam 7 tempat,
yaitu:
a. QS. Adz-Dzariyat ayat 43
dan pada (kisah) kaum Tsamud ketika dikatakan kepada mereka: "Bersenang-senanglah kalian sampai suatu waktu." b. QS. Maryam ayat 68
demi Tuhanmu, Sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut. c. QS. Yunus ayat 53
dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: "Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya) d. QS. Al-Hijr ayat 92
Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, e. QS. At-Taghabun ayat 17
jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.
234
Buchori, Didin Syaefuddin. 2005 Op. Cit, 176 Buchori, Didin Syaefuddin. 2005 Op. Cit, 176 .
235
.
123
Ulumul Quran f. QS. An-Nisa ayat 65
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya .
g. QS. Al-Ma’arij Al-Ma’arij ayat 40
Maka aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat, Sesungguhnya Kami benarbenar Maha Kuasa. 3. Muqsam Alaih (berita yang diperkuat dengan sumpah itu/ jawab qasam), yaitu pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi sebagai jawaban dari qasam. Di dalam Qur’an terdapat dua muqsam ‘alaih, ‘alaih, yaitu yang disebutkan secara tegas atau dibuang.
236
a. Muqsam ‘alaih yang ‘alaih yang disebutkan secara tegas, seperti pada QS. Adz-Dzariyat: 1-6.
Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat. dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi b. Muqsam ‘alaih yang ‘alaih yang dibuang/ dihilangkan 1) Di dalam muqsam bih nya sudah terkandung makna muqsam ‘alaih. ‘alaih. 2) Qasam tidak memerlukan jawaban karena sudah dapat dipahami dari redaksi ayat dalam surat .
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an. Contoh jenis ini dapat dilihat misalnya dalam QS. Ad-Dhuha: 1-2
Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap). C. Macam-macam Aqsamul Aqsamul Qur’an 1. Ditinjau dari aspek fi’il aspek fi’il a. Qasam Zhahir
Qasam Zhahir , ialah sumpah di dlamnya disebutkan fi’il disebutkan fi’il qasam dan qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa ba, wawu, dan ta. Seperti dalam QS. Al-Qiyamah: 1-2:
Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri). b. Qasam Mudhmar Qasam Mudhmar ialah ialah yang di dalamnya tidak dijelaskan fi’il dijelaskan fi’il qasam dan qasam dan tidak pula muqsam bih, 237 tetapi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti pada Q.S. Ali Imran: 186. 236
Buchori, Didin Syaefuddin. 2005 Op. Cit, 180 .
124
Ulumul Quran
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguhsungguh. 2. Ditinjau dari aspek Muqsam Bih a. Qasam dengan menggunakan menggunakan dzat Allah, ( QS. Al-Hijr: 92)
Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, b. Qasam dengan perbuatan-perbuatan Allah, (QS. Asy-Syams: 5)
dan langit serta pembinaannya c. Qasam dengan yang dikerjakan Allah, (QS. Ath-Thur: 1) ,
demi bukit
d. Qasam dengan malikat-malaikat Allah, (QS. An-Nazi’at: An-Nazi’at: 1-3) 1-3)
1. demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, 2. dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, 3. dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat e. Qasam dengan Nabi Allah (QS. Al-Hijr: 72) ,
72. (Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), Sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". f. Qasam dengan makhluk Allah, QS. At-Tin: 1-2)
1. demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun 2. dan demi bukit Sinai
g. Qasam dengan waktu, (QS. Al-Ashr: 1-2)
1. demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, D. Bentuk-bentuk Bentuk-bentuk Aqsamul Qur’an 1. Bentuk Asli
Bentuk asli dalam sumpah ialah bentuk sumpah yang terdiri dari tiga unsur, yaitu fi’il sumpah yang sumpah yang dimuta’addikan dengan ba’, muqsam bih dan muqsam alaih seperti contoh-contoh di atas. 2. Ditambah huruf La Kalimat yang digunakan orang untuk bersumpah itu memakai berbagai macam bentuk. Begitu pula dalam Al-Qur’an Al-Qur’an ada bentuk sumpah yang keluar dari bentuk asli sumpah. Misalnya bentuk sumpah yang ditambah huruf La di depan fi’il qasamnya, qasamnya, seperti QS. Al-Ma’arij: Al-Ma’arij: 40, QS. Al-Waqi’ah: Al-Waqi’ah: 75, QS. Al-Insyiqaq: 16, QS. Al-Haqqah: 38.
75. Maka aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran.
237
Al-Qattan, Manna Khalil Loc. Cit , 417-418 .
125
Ulumul Quran
E. Tujuan dan Hikmah Aqsamul Aqsamul Qur’an Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabar as-salasah khabar as-salasah atau tiga macam pola penggunaan 238
thalabi, 239 dan ingkari. 240
kalimat berita, ibtida’i,
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Al-Qur’an Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.
241
Aqsamul Qur’an Qur’an mempunyai tujuan untuk memberikan penegasan atas suatu informasi yang disampaikan dalam Al-Qur’an Al-Qur’an atau untunuk memperkuat informasi kepada orang lain yang mungkin sdang mengingkari suatu kebenarannya, sehingga informasi itu dapat diterimanya dengan penuh keyakinan. Menurut Manna Al-Qhaththan, tujuan qasam dalam Al-Qur’an Al-Qur’an adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ‘alaih. ‘alaih. Karena itu, muqsam ‘alih berupa ‘alih berupa sesuatu yang layak untuk dijadikan sumpah, seperti hal-hal yang tersembunyi, jika qasam itu dimaksudkan untuk menetapkan kebenaran. 2. Untuk menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan kebenaran Al-Qur’an Al-Qur’an.." Wallahu a’lam“
238
Yaitu apabila mukhatabnya merupakan orang yang berhati kosong, yang beium memiiiki persepsi akan pernyataan yang diterangkan padanya. Maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak pertu memakai penguat (ta'kid) 239 Yaitu apabila mukhatabnya ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Perkataan untuk orang seperti ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya 240 Yaitu apabita mukhatabnya mengingkari atau menqtak isi pernyataan. Perkataan untuk orang seperti ini harus disertai penguat sesuai dengan kadar keingkarannya; kuat atau lemah 241 Al-Qattan, Manna Khalil Loc. Cit , 414 .
126
Ulumul Quran
BAB 15 ILMU QIRA’AH A. Pengertian Qir’ah, Qurra’ dan Sejarahnya Menurut bahasa, kata qira’at merupakan bentuk jamak dari kata qira’ah yang berasal dari kata qara’a – yaqrou – qira’atan - qur’anan yang memiliki makna tilawah. Makna qiroah semula berarti kumpulan atau cakupan.
242
Kata qira’ah seakar dengan Al-Qur’an, dari kata qara’a, berarti membaca. 243
Qira’ah adalah bentuk mashdar (verbal noun) dari kata qara’a.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan pengertian
qira’at ,
diantaranya: 1. Menurut Az-Zarqani
Madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainya dalam pengucapan AlQur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan
huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.
244
2. Menurut Mana’ Khalil Al Qatthan
adalah sebuah mazhab dari beberapa mazhab artikulasi (kosakata) al- Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qira’at t yang berbeda dengan mazhab lainnya. 245 3. Menurut Ash-Shabuni
.
.
Qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur’an
yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW. 246 4. Menurut para ahli Al-Qur’an
Suatu pengetahuan tentang tata cara pengucapan kalimat atau ayat-ayat Al- Qur’an baik yang disepakati maupun yang terjadi perbedaan yang disandarkan pada seseorang Imam Qira’at . 247 Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa qira’at itu mempunyai dua sumber, yaitu al-sima’ dan al-naql . Artinya bahwa qira’at itu diperoleh secara langsung dengan cara mendengar dari Nabi SAW, sedangkan al-naql , artinya qira’at itu diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira’at Al-Qur’an membenarkanya.
itu dibacakan di hadapan Nabi SAW kemudian beliau
248
Adapun qurra adalah bentuk jamak dari qari’ , yang artinya orang yang membaca . Qori’ atau quro’ ini sudah menjadi menjadi istilah baku dalam disiplin ilmu Al-Qur’an maksudnya, para ahli atau imam qira’at yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada masyarakat menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa shahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan 242
Ulum, M. Samsul. 2007. Menangkap Cahaya Al- Qur’an, Malang: UIN-Malang Press, 103; Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis , Terjemahan M. Qodirun Nur Jakarta: Pustaka Amani, 357; lihat juga Gani, Bustami A. (Ed). 1986. Beberapa Apek Ilmiah Tentang Qur’an Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 108. 243 Shihab, M. Quraish dkk. 1999. Sejarah dan Ulum Qur’an , Jakarta: Pustaka Firdaus,99. 244 Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia , 146; Supiana dan M. Karman, 2002. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika , 210. 245 Ibid , 147. 246 Ibid , 147. 247 Munir, Misbahul. 2005. Ilmu dan Seni Qiro’atil Qur’an , Semarang: Binawan, 377. 248
Supiana dan M. Karman, Op. Cit, 210.
127
Ulumul Quran qira’at ialah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at dan mereka semua berpegang kepada rasulullah. Imam az-Zahabi menyebutkan di dalam Tabaqatul Qurra’ , bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at al-qur’an ada tujuh orang, yaitu Usman, Ali, Ubai, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qira’at dari Ubai, di antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid. Terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at Al -Qur’an
kepada salah
seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain: : Apabila Qira’at Al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya. 2. : Apabila Qira’at Al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya. 1.
3.
: Apabila Qira’at Al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca Al-Qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu. Qira’at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi SAW walaupun pada saat itu qira’at bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu: 1. Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Dari Ibn Abbas RA. berkata: Rasulullah SAW bersabda “Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku
dengan satu huruf. Kemudian aku kembali kepadanya dan meminta tambah. Lalu ia menambahkan kepadaku sampai aku menyelesaikan tujuh huruf ” (HR. Bukhari dan Muslim). 2. Kisah Umar RA, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Bahwa Umar bin Khattab berkata: Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah Al-Furqan
dimasa hidup Rasulullah SAW. Maka aku sengaja mendengarkan bacaanya. Tahu-tahu dia membanya dengan huruf yang banyak (bacaan yang bermacam-macam), dimana Nabi belum pernah membacakanya kepadaku. Hampir saja aku terkam dia dalam shalat, namun aku berusaha sabar sampai dia salam. Begitu dia salam aku tarik leher bajunya, seraya aku bertanya: “Siapa yang telah membacakan (mengajari bacaan) surah tadi?” Hisyam menjawab: “Yang
mengajarkan bacaan tadi Rasulullah sendiri”, aku gertak dia”Kau bohong, demi Allah, Rasulullah telah membacakan surah tadi kepadaku (tapi tidak seperti bacaanmu)”. Maka akhirnya ku ajak dia menghadap Rasulullah. Aku berkata “Wahai Rasulullah, aku mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dengan huruf (cara baca) yang tidak pernah engkau bacakan. Sedangkan dirimu pernah membacakan kepadaku surat Al-Furqan ini”. Nabi bersabda “Lepaskan ia wahai Umar, bacalah kamu wahai Hisyam!”. Hisyam lalu membaca seperti yang aku dengar. Kemudian Nabi SAW bersabda “Demikianlah Qur’an diturunkan”, Nabi lalu berkata kepadaku “Baca kamu wahai Umar!”, aku pun lalu membaca dengan cara bacaan yang pernah Nabi SAW bacakan kepadaku. Lalu Nabi SAW bersabda “Demikianlah Qur’an diturunkan”. Lalu Nabi SAW bersabda “Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang
mudah darinya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Qira’at didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW . Periode Qurra’ yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at . Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah SAW. Adz-Dzahabi menyebutkan di dalam Thabaqat Al-Qurra’ , sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at Al-Qur‘an ada tujuh orang, yaitu; Utsman, Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Abu Ad-Darda dan Abu Musa Al- Asy’ari. lebih lanjut ia menjelaskan, mayoritas sahabat mempelajari qira’at dari Ubay.
128
Ulumul Quran Diantaranya Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin As- Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar kepada Zaid. 249
Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qira’at .
Menurut As-Suyuthi orang pertama yang menyusun kitab tentang qira’at adalah Abu Ubaid AlQasim bin Sallam, disusul oleh Ahmad bin Jubair Al-Kufi, kemudian Ismail bin Ishak Al-Maliki murid Qalun, lalu Abu Ja’far bin Jarir At-Thabari. Selanjutnya, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar AdDajuni, kemudian Abu Bakar bin Mujahid.
250
Pada masa Ibnu Mujahid ini dan sesudahnya, tampilah para
ahli yang menyusun buku mengenai berbagi macam qira’at , baik yang mencakup semua qira’at maupun tidak, secara singkat maupun secara panjang lebar. Ibnu Mujahid inilah yang meringkas macam-macam 251
qira’at menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh Imam Qari’ .
Diantara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah, di antaranya Ibnul Musyyab, Urwah, salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman bin Yassar, Atha’ bin Yassar, Muadz bin Harist yang terkenal dengan Muadz Al-qorri’, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj. Ibnu Syihab Az-zuhri, Muslim bin Jundub, dan Zaid bin Aslam. Tabi’in yang tinggal di Mekkah yaitu: Ubaid bin Umair, Atha’ bin abi robi’ah, Thowus, Mujahid, Ikrimah, dan Ibnu Abi Mulaikah. Tabi’in yang tinggal di Kuffah ialah Al-Qomah, Al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, AlHarist bin Syurahbil, Al-Harist bin Qois, Amr bin Maimun, Abu Abdirraman As-Sulami, Said bin Jubair, AnNakhai, dan Asy- sya’bi. Tabi’in yang tinggal di Bashrah ialah Abu Aliyah, Abu Raja’, Nashir bin Ashim, Yahya bin Ya’mar, Al-Hasan, Ibnu Sirrin, dan Qotadah. Sedangkan yang tinggal di Syam adalah AlMughiroh bin Abi Syihab Al-Mukhzi (murid Utsman bin Affan) dan Kholifah bin Sa’ad (murid Abu AdDarda’) Pada permulaan abad pertama Hijriyah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang konsen terhadap masalah qir o’ at secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya. Sehingga mereka menjadi imam dan ahli qir o’ at yang di ikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat 7 orang yang terkenal sebagai imam qir o’ at yang kemudian kepada merekalah qir o’ at dinisbahkan hingga sekarang ini. Para ahli qir o’ at yang ada di Madinah ialah Abu Dja’far Yazid bin Al-Q o’qo’ dan Naf i’ bin Abdirrohman. Di Makkah Abdulloh bin Katsir dan Humaid bin Qois Al-A’raj. Di Kuffah Ashim bin An-Najud, Sulaiman Al-A’masy, kemudian Hamzah dan Al-Kisa’i. Di Basrah yaitu Abdulloh bin Abi Ishaq, Isa bin Amir, Abu Amru Ala’, Ashim AlJahdari dan Ya’qub Al-Hadromi, adapun yang di Syam yaitu Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdillah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Harits dan Syuraih bin Yazid Al-Hadhrami. Ketujuh orang Imam yang terkenal sebagai ahli qir o’ at di seluruh dunia adalah Abu Amr, Naf i’, Ashim, Hamzah, Al-Kisa’i, Ibnu Amir dan Ibnu Katsir. Sejumlah qir o’ at itu bukanlah tujuh huruf, menurut pendapat yang paling kuat, walaupun dikesankan ada kesamaan penyebutan jumlah bilangan diantara keduanya. Sebab qir o’ at hanya merupakan madzhab bacaan Qur’an para Imam, yang secara Ijma masih tetap ada dan tetap digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya. Seperti tafkhim, tarqiq, imalah,idgham, izhar, isyb a’, mad, qashr, takhfaf , dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy. Maksud tujuh huruf (ahruf sab’ ah) adalah berbeda dengan qir o’ at , seperti yang telah kita jelaskan. Dan persoalannya telah sampai pada pembukuan Al-Qur’an yang terakhir, yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Utsman terdorong untuk mempersatukan umat Islam dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy . Lalu, mereka menuliskan mushaf dengan huruf tersebut.
249
Al-Qattan, Khalil Manna’. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 211. Ibid, 214. 251 Rosihon Anwar, Op. Cit , 152.
250
129
Ulumul Quran B. Syarat-syarat Diterimanya Qira’ah 252
Menurut para ulama, syarat-syarat qiro’at yang shahih
adalah:
1. Kesesuaian qiro’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih ataupun lebih fasih. Sebab qiro’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukandengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio. 2. Qiro’at harus dengan mushaf Ustmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf tersebut para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm dengan berbagai macam dialek qiro’at yang mereka ketahui. Misalnya, mereka menuliskan shirat dalam surah Al-Fatihah ayat 6, dengan huruf shad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan huruf sin yang merupakan asal ini, agar lafadz tersebut dapat juga dibaca dengan sin yakni “as-shirat ”. Meskipun dalam satu segi berbeda dengan rasm, namun namun qiro’at dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai denganbahasa asli lafazd tersebut yng terkenal, sehingga kedua bacaan tersebut dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dimungkinkan pula.Yang di maksud dengan sesuai walaupun hanya sekedar mendekati saja ( muwafaqoh ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Contoh yang lain seperti “maliki yaumi ad -din” (Al-Fatihah :4). Lafadz maliki , dituliskan dalam mushaf dengan membuang huruf alif , sehingga dibaca maliki (pendek), sesuai dengan rasm dan dibaca pula maliki sesuai dengan rasm. 3. Qiro’at itu isnadnya harus shohih, sebab qiro’at merupakan sunnah yang harus diikuti yang di dasarkan pada penukilan dan keshohihan riwayat. Sering kal i ahli bahasa arab mengigkari suatu qiro’at hanya karena qiro’at tersebut dianggap menyimpang dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa.
C. Macam-macam Qira’atil Qur’an Secara garis besar macam-macam qira’at terbagi menjadi dua, yaitu jenis qira’at dilihat dari segi 253
kuantitas dan jenis qira’at dilihat dari segi kualitas. 1. Dari segi kuantitas 254
a. Qira’at Sab’ah (Qira’ah Tujuh).
Kata sab’ah itu sendiri maksudnya adalah imam-imam qira’at yang tujuh. Mereka itu adalah Imam Nafi’,
255
Imam Ibnu Katsir,
Hamzah,
252
260
Imam Al-Kisa’i.
256
Imam Abu Amr,
257
Imam Ibnu Amir,
258
Imam ‘Ashim,
259
Imam
261
Anwar, Rosihon Op. Cit , 165. lihat juga Gani, Bustami A. Op. Cit,116-117. Anwar, Rosihon Op. Cit , 158-161 254 KH. M. Arwani Amin, Faidh al-Barakaat fi Sab’i al -Qira’at (Kudus: Toko Kitab Mubarakatan Tayyibah, 2000), 3; Muhammad Ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulum al -Qur’an, (Makkah al-Mukarromah: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, 2003), 234-237; Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Keistimewaan-Keistimewaan Al-Qur’an, Terjemahan Nue Faizin (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), 123-125; Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993), 118; LPTQ, Pedoman Maqra’ Musabaqah Qiraat Al -Qur’an (Surabaya: Kanwil Depag Propinsi Jawa Timur, 2002), 8-12; Muhammad Ash-Shabuni, Op. Cit., 363-366; Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Op. Cit., 227; M. Quraish Shihab dkk, Op. Cit., 100; Rosihon Anwar, Op. Cit ., 158; Manna’ Al-Qattan, Op. Cit., 223-225; lihat juga Bustami A. Gani, Op. Cit., 120-124; lihat juga Kamaludin Marzuki, ‘Ulum Al -Qur’an (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), 104. 255 Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi. Lahir pada tahun 70 H. dan wafat pada tahun 169 H. sanad atau silsilah bacaan imam ini adalah sebagai berikut: Abdurrahman bin Hurmuz, Abdurrahman dari Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah dari Ubay bin Ka’ab dan Ubay dari Rasulullah SAW. Adapun dua orang perawinya adalah Qalun dan Warsy. 256 Nama lengkapnya Abu ma’bad Abdullah bin Katsir Al-Makki, lahir tahun 45 H. dan wafat di Makkah tahun 120 H. Sanad bacaanya dari Abdullah bin Said Makhzumi, Abdullah dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khattab, keduanya membaca dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Bazzi dan Qunbul. 257 Nama lengkap imam ke tiga ini adalah Zabban bin Al-‘Ala bin Ammar Al-Mazini Al-Bashri. Ia lahir pada tahun 68 H. dan wafat pada tahun 154 H. Sanad bacaanya adalah dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’ dan Hasan Al-Bashri. Hassan membaca dari Hattan dan Abu ALiyah. Abu Aliyah dari sahabat Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab., kemudian kedua sahabat ini mendapat dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Ad-Durri dan As-Susi. 258 Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir Al-Yahsubi. Lahir tahun 21 H. dan wafat pada tahun 118 H. Sanad bacaan Ibnu ‘Amir hanya berselang dengan seorang sahabat Rasulullah SAW yaitu membaca dari Usman bin Affan dan Usman dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan 259 Nama lengkapnya adalah Abu Bakar bin Abi Nujud Al-Asady. Ia wafat di Kuffah tahun 127 H. Sanad bacaan Imam ‘Ashim adalah dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Hubaib As-Silmi, Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit, dan para sahabat tersebut dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Syu’bah dan Hafs. 253
130
Ulumul Quran b. Qira’at Asyrah (Qira’ah Sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan tiga qira’at yakni, Abu Ja’far Al-Madani, Ya’qub Al-Bashri, Khalaf bin Hisyam Al-Baghdadi c. Qira’at ‘Arba’at Asyrah (Qira’ah Empat Belas). Qira’at empat belas adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas ditambah dengan empat qira’at yakni, Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin ‘Abdurrahman, Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi, Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syambudzi. Adanya perbedaan-perbedaan dalam qira’at tersebut membawa faedah 1) Menunjukkan
betapa terjaganya dan
terpeliharanya
Kitab
262
diantaranya:
Allah
dari
perubahan
dan
penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda. 2) Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an. 3) Bukti kemukjizatan Al-Qur’an
dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qira’at
menunjukkan sesuatu hukum syariat tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh. 4) Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain. 5) Menampakkan rahasia Allah dalam kitab-Nya dan pemeliharaan-Nya terhadap kitab tersebut tanpa mengalami pengubahan dan perselisihan, kendatipun memiliki beberapa segi qira’at.
263
2. Dari segi kualitas Dari segi kualitas, sebagian besar ulama membagi macam-macam qira’at menjadi 6 macam,
264
yaitu:
a. Qira’at mutawatir , yakni qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisanya, yakni Rasulullah. b. Qira’at masyhur , yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir , sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Ustmani dan juga terkenal di kalangan para ahli qira’at, sehingga tidak dikategorikan qira’at yang salah atau syadz. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat dipakai atau digunakan. c. Qira’at ahad , yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi rasm Ustmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti qira’at masyhur yang telah disebutkan. Qira’at seperti ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaanya. Contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa nabi membaca ayat 128 surat At-Taubah:
Huruf fa (
) dibaca fathah , anfasakum. Sedangkan qira’ah versi Mushaf Utsmani berbunyi:
anfasikum d. Qira’at syadz (menyimpang), yaitu qira’at yang sanadnya tidak shahih. Contoh: (QS. Al-Fatihah: 4).
Dengan bentuk fi’il madhi dan menasabkan yauma. Sedangkan qira’ah versi Mushaf Utsmani berbunyi: yaumi.
e. Qira’at maudhu’ (palsu), yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar . Seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i.
265
260
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Hubaib bin Az-Ziyat. Ia dilahirkan pada tahun 80 H. dan wafat tahun 156 H. Sanad yang dimiliki Imam Hamzah adalah sebagai berikut: ia menerima qira’at dari Abu Muhammad bin Sulaiaman bin Mahran Al-A’masy, AlA’masy dari Abu Muhammad Yahya Al-Asady, Yaya menerima dari ‘Alqamah bin Qais, ‘Alqamah talaqqi dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, kemudian Ibnu Mas’ud dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Khallaf dan Khallad. 261 Anwar, Rosihon Op. Cit , 158-161 Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisai. Wafat tahun 189 H. Ia membaca Al- Qur’an dari Imam Hamzah dan juga talaqqi pada Muhammad bin Abu Laily serta ‘Isa bin Umar dan ‘Isa bin Umar dari ‘Ashim. Dua perawinya adalah Abul Harits dan AdDuri. 262 Al-Qaththan,Khalil Manna’. Op. Cit, 221-222. lihat juga Abidin, Zainal. 1992. Seluk Beluk Al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 181-182. 263 As-Suyuthi, Jalaluddin. 1989. Apa itu Al- Qur’an, Terjemahan Aunur Rafiq. Jakarta: Gema Insani Press. 264 Al-Qattan Khalil Manna’, Op. Cit, 220-221. lihat juga Rosihon Anwar, Op. Cit ,160-163. lihat juga Bustami A. Gani, Op. Cit,118119. 265 Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’i. 1997. Ulumul Qur‘an I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 230.
131
Ulumul Quran f. Qira’ah mudraj (sisipan), yaitu qira’at yang secara jelas dapat dikenal sebagai kalimat tambahan bagi ayat-ayat Al-Qur’an, yang biasanya dipakai untuk memperjelas maksud atau penafsiran ayat. Seperti qira’at Ibnu Abbas yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 198 berbunyi:
Ayat di atas mendapat tambahan kalimat
sebagai bentuk penjelasan dan
penafsiran. Sedangkan Qira’ah versi Mushaf Utsmani berbunyi:
D. Pendapat para Ulama tentang Qira’ah Sab’ah Pembahasan ini sering dihubungkan dengan hadits Nabi SAW yang menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan ke dalam sab’at ahruf (tujuh huruf). Tidak kurang dari dua puluh satu orang sahabat yang meriwayatkan hal tersebut, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, ‘Utsman bin Affan, dan lain-lain. Salah satu diantaranya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas adalah : “Rasulullah bersabda: Jibril telah membacakan Al- Qur’an kepadaku satu
huruf. Aku membacanya berulang-ulang. Aku terus menerus memintanya agar ditambah, dan ia menambahnya hingga tujuh huruf . ” Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘Tujuh Huruf ’ pada hadits di atas. Diantara pendapat tersebut adalah : 1. Al-Qur’an mengandung 7 bahasa Arab yang memiliki satu makna. Pendapat ini adalah yang paling kuat yaitu Al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna, seperti aqbil, ta’al, halumma, ‘ajjil, asri’ yang memiliki satu makna yaitu ‘datang kemari ’. Kata-kata tersebut, walaupun berbeda, mempunyai makna yang sama, yakni panggilan untuk segera
datang. 2. Tujuh dialek bahasa kabilah Arab yaitu Quraisy, Hudzail, Tamim, Tasqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman. Pendapat ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh bahasa terbaik dari bahasa Arab yang tersebar di berbagai surah. Bahasa terbanyak digunakan adalah bahasa Quraisy. 3. Tujuh aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Pendapat ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf ialah bentuk kalimat yang tujuh, yakni
al-amr, al-nahy, al-wa’d , al -wa’id, al -jadal, al-qashash, dan al-amtsal atau al-amr, an-nahy, al-halal, al-haram, al-muhkam , al-mutasyabih , dan al-amtsal. 4. Tujuh perubahan perbedaan yaitu ism, i’rab, tashrif, taqdim dan ta’khir, tabdil dan tafkhim. Pendapat ini yang paling populer dan disepakati oleh jumhur ulama’ adalah pendapat Abu al -Fadhl alRazy. Menurut al-Razy yang dimaksud dengan sab’at ahruf ialah segi-segi perbedaan yang tujuh yang meliputi perbedaan dalam bentuk singural-plural, seperti bacaan li amanatihim (jamak) dan li
amanatihim (tunggal) (Q.S. 23:8). Kemudian perbedaan dari segi i’rab, seperti ma hadza basyaran dengan ra’ berharakat fathah atau ma hadza basyarun dengan ra’ berharakat dlammah (Q.S. 12:31). Perbedaan tashrif seperti rabbana ba’id baina asfarina (dalam bentuk permohonan) atau rabbuna ba’ada baina asfarina (bentuk kata kerja lampau) (Q.S 34:19). Juga dalam soal mendahulukan (taqdi m) atau mengakhirkan (ta’khir ), seperti ja’at sakarat al -haqq bi al-maut atau ja’at sakarat al -
maut bi al-haqq (Q.S.50:19). Selanjutnya perbedaan dari segi al-ibdal (penggantian), seperti nunsyizuha atau nansyuruha (Q.S.2:259), atau dalam penambahan ( al-ziyadah) dan pengurangan ( annaqsh), seperti wa a’adda lahum jannat tajri min tahtiha al -anhar (dengan min ) dan wa a’adda lahum jannat tajri tahtaha al-anhar (tanpa min) (Q.S.9:100). Kemudian terakhir perbedaan dalam
132
Ulumul Quran dialek (al-lahjat ), seperti soal imalah (pengucapan dalam vocal e) (Q.S.20:9), antara hal ataka haditsu
musa (dengan a) atau hal ateka haditsu muse (dengan e). 5. Tujuh huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti 70, 700, 7000 dan seterusnya. Pendapat ini mengatakan bahwa perkataan sab’ah dalam ucapan Nabi SAW tidak mengandung makna bilangan yang sebenarnya, melainkan hanya simbol ( rumz) untuk menunjuk pada kesempurnaan. 6. Tujuh huruf diartikan tujuh bangsa selain bangsa Arab seperti Yunani, Persia dan lain-lain. Seperti kata “kafur ” (wewangian di surga) ditengarai berasal dari Indonesia, yakni daerah Barus Tapanuli sehingga dikenal dengan kapur barus. 7. Tujuh Qira’at yang disebut dengan Qira’ah Sab’ah. Pendapat ini mengatakan bahwa sab’at ahruf ialah al-qira’ah al -sab’ah (bacaan yang tujuh), yakni tujuh varian atau tujuh aliran bacaan Al-Qur’an yang berasal dari tujuh orang imam. Pendapat tersebut berasal dari Ibnu Mujahid (w.324 H/936 M), tokoh Al-Qur’an terkemuka abad ke-3, dengan alasan bahwa qira’ah sab’ah itulah yang relevan dan merealisir sab’at ahruf dalam hadits. Namun jumhur ulama, menentang pendapat tersebut. Di antara alasannya adalah: a. Istilah qira’ah sab’ah tidak dikenal pada masa Nabi SAW dan pada saat para ahli Al-Qur’an pertama kali menyusun karya tentang qira’ah. Ia muncul pada akhir abad ke-dua (dibukukan pada abad ke-tiga) hijriyah sedang sab’at ahruf sudah ada sejak abad pertama hijriyah. b. Hadits Nabi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf tidak akan ada artinya jika yang dimaksud adalah qira’ah sab’ah, sebab ahli-ahli qira’ah tersebut baru lahir pada abad kedua. Namun qira’ah sab’ah versi Mujahid sudah begitu masyhur karena disangka itulah yang dimaksud sab’at ahruf dalam hadits Nabi SAW. Padahal ada banyak pendapat tentang qira’ah. Ibnu Jabr alMakki membatasi qira’ah kepada lima imam karena ‘Utsman bin Affan sendiri menyebarkan mushaf terbatas ke lima wilayah. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa qira’ah yang memenuhi syarat bukan tujuh, melainkan sepuluh, bahkan empat belas. Qira’at berjumlah sepuluh karena memasukkan Ya’qub (w. 205 H/821 M) dari Basra, Khalaf bin Hisyam (w. 229 H/844 M) dari Kufah, serta Abu Ja’far (w. 130 H/738 M) dari Madinah. Adapun empat belas karena menyertakan qira’ah Hasan al-Basri (w. 110 H/729 M) dari Basra, Ibnu Muhaisin (w. 123 H/741 M) dari Mekah, Yahya bin Mubarok al-Yazidi (w. 202 H/818 M) dari Basra, dan Abi al-Faraj Muhammad bin Ahmad al-Syanbud (w. 388 H/998 M). Kesemua itu berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih. Pendapat al-Razy yang didukung jumhur bahwa sab’at ahruf adalah tujuh aspek menyangkut keragaman lafadz atau kalimat dalam Al-Qur’an nampaknya lebih kuat. Sebab, sesuai dengan fakta yang terdapat dalam ragam qira’at serta sesuai dengan konteks hadits. Pendapat ini juga dapat mengakomodasi seluruh versi qira’at yang memenuhi syarat-syarat sebagai qira’at yang shahih. Membatasi sab’at ahruf hanya terbatas pada tujuh versi bacaan yang diriwayatkan oleh tujuh orang imam itu saja berarti menafikan bacaan lain yang mutawatir. Dan ini jelas tidak benar. Qira’at Al-Qur’an, khususnya istilah qira’ah sab’ah sering dimaknai dan dikorelasikan identik dengan
7 Huruf , tetapi pendapat ini tidak kuat. Meski demikian, istilah 7 Huruf merupakan salah satu sebab munculnya multiple reading (banyak bacaan) Al-Qur’an. E. Manfaat Berpedoman pada Qira’ah Shahihah Bervariasinya qiraat yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya: 1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab allah dari perubahan dan penyimpangan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda. 2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka membaca al-qur’an.
133
Ulumul Quran 3. Bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan makna (‘ ijaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafaz. Misalnya ayat (al-maidah [5]:6) , dengan menasabkan dan mekhafadkan kata
. dalam qiraat yang
menasabkanya terdapat penjelasan tentang hukum membasuh kaki, karena ia di’atafkan kepada ma’mul fi’il (objek kata kerja) gasala
. sedang qiraat
dengan jar (khafad ) menjelaskan hukum menyapu sepatu ketika terdapat keadaan yang menuntut demikian, dengan alasan lafaz itu di’atafkan kepada ma’mul fi’il masaha . Dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum dalam satu ayat. Inilah sebagian makna dari kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan maknanya. Penjelasan terhadap apa yang masih global dalam qiraat lain. Misalnya, lafaz ayat
, yang dibaca dengan tasydid
dan thakfif
dalam
. Qiraat dengan tasydid
menjelaskan makna qiraat dengna takhfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu istri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah dari haid, sebelum istri tersebut bersuci dengan air. " Wallahu a’lam“
134
Ulumul Quran
BAB 16 ILMU TAFSIRIL QUR’AN A. Pengertian Tarjamah, Tafsir dan Ta’wil 1. Pengertian Tarjamah Secara bahasa berati memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, memindahkan lafal ayat-ayat Al-Qur’an yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, tarjamah terbagi kepada tiga bentuk: a. Tarjamah Harfiah/Lafzhiah Adalah memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan cara memindah bahasakan kata-demi kata, serta tetap mengikuti susunan (uslub) bahasa yang diterjemahkan b. Tarjamah Ma’nawiah/Tafsiriah Sebagian ulama ada yang membedakan antara tarjamah ma’nawiah dengan tarjamah tafsiriah, sedangkan sebagian lainnya menganggap keduanya adalah sama.
266
2. Pengertian Tafsir Secara bahasa kata Tafsir )
( berasal dari kata
yang mengandung arti: menjelaskan,
menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak . Kata berarti 267 menyingkapkan sesuatu yang tertutup. Lafal dengan arti menjelaskan, disebutkan di dalam QS AlFurqan: 33
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya. Para ulama berbeda dalam merumuskan definisi Ilmu Tafsir, diantaranya: a. Menurut Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al -Qurân,
Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW 268 menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya. b. Menurut Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan: , .
Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna. 269 c. Menurut Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:
Ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi. Berdasarkan istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan makna-maknanya. Atau 266
Iqbal, Mashuri Sirojuddin dan A. Fudlali, 1994. Pengantar Ilmu Tafsir Bandung : Angkasa,93 Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 1992. Study Ilmu-ilmu Quran (Terj. Mudzkir AS.) , Litera Antar Nusa, Bogor, Cet. I, 450 - 451 268 Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu . KSA: Maktabah At-Taubah, 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I, 13 269 Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At -Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif , 6 267
135
Ulumul Quran Ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an dengan kemampuan manusia.
dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai
270
3. Pengertian Ta’wil Ibnu
Manzhur
menyebutkan
dua
pengertian ta'wil secara
istilah
dalam
Lisan
Al-Arab,
pertama, ta'wil adalah sinonim dari tafsir . Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil
271
.
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang
terkenal At-Ta'rifat , menyatakan "Ta'wil secara bahasa bermakna kembali , sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah"
272 .
Asy-Syathibi mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: a. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya (tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat) b. Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran. Jadi ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Dari pengertian Tafsir dan Takwil dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Al-Qur’an yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah. Sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Al-Qur’an berdasarkan alasan-alasan tertentu.
B. Sejarah Ilmu Tafsir Pada masa Rasulullah, sering timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu, mereka langsung menanyakannya pada Rasulullah. Secara garis besar, ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an , yaitu: 1. Al-Qur’an itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu tempat, dijelaskan secara lebih terperinci diayat lain. 2. Para sahabat bertanya tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami, atau mereka berselisih paham tentangnya. 3. Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan kepada Rasulullah, terutama pada masalah azbabun nuzul . Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y i, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW. Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al Qur’an antara lain: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al -Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri seperti Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain: Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani, dan Said bin Jabir. Madinah, dengan madrasah Ubay bin Ka’ab, dengan murid-murid: Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Abu Al-Aliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam, dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud, dengan murid-murid: AlHasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah As Saduusi, dan Murrah Al -Hamdani. Pada permulaan abad kedua Hijriyah, ketika telah banyak pemeluk agama Islam non Arab dan munculnya persoalan-persoalan baru di kalangan tabi’in serta banyaknya yang membutuhkan tafsįr Al270
Ash-Shabuni, M. Ali. 1987. Pengantar Studi Alquran, Bandung: PT. Alma’arif . Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukrim. Lisan al-Arab, Beirut: Dar Shadir 32 272 Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. 1988. Kitab At-Ta'rifat , Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 50 271
,
136
Ulumul Quran Qur’an , maka ulama merasa perlu untuk membuat tafsįr dan mengkodifikasikannya (membukukan), agar dapat dipahami maknanya dan dapat dijadikan pedoman hidup. Pada akhir periode tabi’in, beberapa ulamā’ mulai mengumpulkan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat. Sufyan bin Uyainah (w.198 H), dan Waki’ Bin Jarah (w. 197 H), adalah ulama-ulamaterkemuka yang pertama merintis penulisan Tafsįr, meskipun belum tersusun secara tematik atau menurut kronologi surat dan ayat dan masih termasuk dalam babbab hadis. Hanya saja tafsir-tafsir mereka tidak sampai pada kita, namun kebanyakan isi kandungannya telah ditampung oleh tafsir Ibnu Jarir Aţ Ţabari. Sedangkan nama-nama kitab tafsir itu biasanya dinisbahkan (dibangsakan/disandarkan) kepada nama penulisnya. Hal ini menunjukkan bahwa tafsir tersebut ditulis secara perorangan. Pada pertengahan abad III Hijriyah, tafsir mulai ditulis secara sistematis dan menurut kronologis surat dan ayat. Diantara ulama yang menulisnya adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir Aţ Ţabari (w. 310 H), Ibnu Abį Hatim (w. 327 H), dan lain-lain. Metode penulisan tafsir pada masa ini adalah dengan bil ma’tsur dan bil ra’yi. Tafsįr pertama yang ditulis menggunakan metode bil ma’tsur adalah tafsir Jami’ul
bayan Fi tafsiri Al-Qur’an karya Ibnu Jarir Aţ Ţabari (w. 310 H). Sesudah zaman Ibnu Jarir Aţ Ţabari, bangunlah ulama -ulama yang bersungguh-sungguh dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan dasar dirayat (akal). Menafsrikan Al-Qur’an dengan dirayat adalah salah satu hasil yang ditumbuhkan oleh perkembangan ilmu nahwu, balaghah dan kalam. Pada abad IV H, hadis sudah dibukukan, begitu pula ilmu mantiq, ilmu hikmah, ilmu balaghah dan filsafat telah dipelajari dengan seksama, kaidah-kaidah ushul, musthalah al hadįth telah diatur, maka mulailah segolongan para mufassirįn mengoreksi riwayat-riwayat yang berasal dari Israiliyat dengan menggunakan penalaran rasional. Pada masa ini telah berkembang dengan luas tafsir bil ra’yi untuk ayat-ayat i’tiqad yang mulai dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah. Mulai saat itu, tafsir mempunyai sandaran yang lebih kuat, karena mufassirin hanya menerima riwayat-riwayat
yang
sahih
saja
dan
logis,
atau
bisa
diterima
secara
kaidah
bahasa.
Ulama pertama yang menyusun tafsir Al-Qur’an dengan lengkap atas dasar riwayat dan kaidah kuat yang sesuai dengan kehendak bahasa, ialah; Abu Muslim Muhammad bin Bahar Al Ashfahany (w.322 H), dengan kitab Tafsirnya Jami’ut Ta’wil . Ia adalah seorang tokoh Mu’tazilah. Tafsir ini tidak berkembang di masyarakat. Tetapi sari patinya banyak dinukilkan oleh Ar Razi dalam kitab Tafsirnya Al Muqtaf Alaih. Diantara tokoh-tokoh Tafsįr bil dirayah adalah; Abu Bakar al Asham, An Nadhām, Al Jubā’i, Ubaidillāh Ibn Muhammad Ibnu Jarwu. Pada abad V H, sesudah kaum muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, eksakta, ilmu hukum, ilmu kedokteran dan lain sebagainya, maka muncul sebuah perubahan dalam pemikiran dan penyusunan kitab-kitab tafsir. Para ahli tafsir tidak hanya mengutip riwayat dari para sahabat, tābi’in dan tabiit tābi’in saja, melainkan telah menyelidiki, meneliti dan membandingkan terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli tafsįr sebelumnya, bahkan mereka mengolah dan menafsirkan ayat -ayat Al-Qur’an sesuai dengan spesifikasi ilmu tertentu. Oleh karena itu, terdapat kitab-kitab tafsįr yang disusun dengan tinjauan dari beberapa segi. Diantara ahli tafsir pada saat itu, seperti Jarullah Az Zamakhsari (467-528 H) menulis kitab tafsir Al Kashaf dengan fokus kajianpada segi balaghah. Para mufassir sejak masa kodifikasi tafsir, yang sementara ahli menduga dimulai oleh al-Farra (w. 207 H) sampai tahun 1960 M, dalam mentafsirkan Al-Qur’an lebih banyak memusatkan perhatian pada analisa redaksi, dan sebagian besar dari mereka mentafsirkan Al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushhaf. Hal ini menyebabkan pentafsiran Al-Qur’an menjadi terpisah-pisah dan tidak menyeluruh. Namun demikian, pada rentang waktu tersebut ada beberapa mufassir yang dapat dikategorikan memiliki pemikiran ke arah maudlu’i. Seperti Fakhrudin al Razi (w. 606 H) yang menyadari, betapa pentingnya korelasi antar ayat, walaupun korelasi antar ayat ini hanya menyangkut sistimatika penyusunan ayat dan surat sesuai urutannya dalam mushhaf, tidak dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah yang sama. Beliau juga mengajak para mufasir mencurahkan perhatian kepadanya, namun dia sendiri dalam kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena perhatiannya tercurah pada filsafat dan ilmu falak.
137
Ulumul Quran
Pembahasan seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin Umar Al Biqa’i (809 – 885 H). Tetapi korelasi disini ternyata menyangkut sistematika penyusunan ayat dan surat sesuai dengan urut-urutanya dalam mushaf, bukan dari segi korelasi ayat- ayat yang membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat. Kemudian, Al-Shatibi (w. 1388 M) menjelaskan, bahwa suatu surat walaupun mengandung banyak masalah tetapi masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya, sehingga jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat tetapi juga pada akhir surat atau sebaliknya. “Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian- bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosa kata menurut tinjauan etimologi, bukan maksud pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahami maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan hingga akhir”. Atas ide yang terlontarkan oleh Al Shatibi ini Mahmud Shaltut (1960 M) dalam tafsir Al-Qur’an Al
Karim, mentafsirkan Al-Qur’an tidak ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Demikian juga yang dilakukan oleh Bint Al-Shathi`, seorang guru besar sastra dan bahasa Arab pada Universitas Ain Al-Syams, Mesir menulis penafisran dengan metode maudlu’i yang karyanya antara lain:
Kitabuna Al-Akbar (1967), Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur`an al-Karim, II (1969), Maqal fi al-Insan Dirasah Qur`aniyah (1969), al-Qur`an wa al-Tafsir al-`Ashri (1970), al-I’Jaz al -Bayani li al-Qur`an (1971) dan alShakhsiyah al-Islamiyah Dirasah al-Qur`aniyah (1973). Selain itu banyak sekali ahli tafsir, baik sebelum Mahmud Shaltut maupun sesudahnya. Namun belum ada yang menulis secara resmi methde ini. Baru pada tahun 1977 seorang guru besar pada fakultas Ushuluddin Al Azhar untuk pertama kalinya, metode Maudhu’i dicetuskan oleh Abdul Hay Al Farmawiy. Beliau menulis buku Al Bidayah fi Al Tafsir Al Maudhu’i . Menurut hemat penulis, walaupun Abdul Hay Al Farmawiy disebut sebagai orang yang pertama kali menulis metode ini, tetapi sebelum beliau sudah ada indikasi tentang metode penafsiran Al-Qur’an secara maudlu’i ini. Bahkan orang pertama yang menemukan ide penafsiran secara maudlu’i adalah Al Shatibi dan orang pertama yang menafsirkan secara maudlu’i adalah Mahmud Shaltut. Oleh sebab itu menurut penulis Mahmud Shaltut yang disebut sebagai orang pertama yang menggunakan metode ini walaupun belum menulisnya secara spesifik dalam buku tetapi hanya tersirat pada karyanya saja. Selanjutnya banyak sekali mufasir yang menafsirkan dengan metode ini, bahkan pada zaman sekarang metode ini yang lebih relefan, dikeranakan kebutuhan akan tafsir yang bersifat tematik sangatlah besar.
C. Urgensi Ilmu Tafsir Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu seperti akidah, fikih, dan akhlak. Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayat Al-Qur’an , kecuali dengan mengetahui makna-maknanya. Oleh karena itu, mengetahui dan memahami tafsir Al-Qur’an diharapkan mampu mengambil pelajaran dari tradisi besar ajaran islam yang bersifat universal. Secara eksplisit ada perintah untuk menyimak dan memahami ayat-ayat-Nya, “Apakah mereka tidak menyimak Al-Qur’an ? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan berasal dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan di dalamnya.” *QS. Al-Nisa (4): 82+. Ayat lain, “Maka apakah mereka tidak menyimak
Al-Qur’an
ataukah
hati
mereka
terkunci”
*QS.
Muhammad
(47):
24+.
Secara implisit upaya mencari penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an , bahwa ia diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk [QS. Al-Baqarah (2): 2,97,185; QS. Ali Imran (3): 3,138] dan rahmat [QS. Al-A’raf (7): 51,203; QS. Yunus (10): 57] bagi manusia selaku individu maupun kelompok masyarakat (collective). Agar tujuan ini terwujud dengan baik, maka Al-Qur’an yang umumnya berisi konsep dan prinsip pokok
138
Ulumul Quran yang belum terjabarkan, aturan-aturan yang mansih bersifat umum perlu dijelaskan melalui studi tafsir Al-Qur’an untuk diaktualisasikan agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Susunan Al-Qur’an yang tidak sistematis sehingga perlu penafsiran dan penggalian terhadap makna ayatayatnya yang tidak pernah berakhir.Jelasnya, selalu diperukan reaktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an sesuai dengan dinamika masyarakat. Di sinilah letak keuniversalitasan Al-Qur’an . Dengan urgensi tafsir seperti itu, membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis dan fikih. Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah Kalamullah.
273
D. Syarat-syarat Mufassir 1. Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan Al-Qur’an . 2. Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya. 3. Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan Al-Qur’an seperti penafsiran dengan Al-Qur’an , kemudian Sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in. 4. Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena Al-Qur’an
turun dengan bahasa arab.
Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara
tentang Kitabullah (Al-Qur’an ) jikalau tidak menguasai bahasa arab“. 5. Memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) ataumengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah, 6. Faham
dengan
pokok-pokok
ilmu
yang
ada
hubungannya
dengan
suatu
Al-Qur’an
makna seperti
ilmu nahwu(grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), alma’ani , al-bayan,
al-badi’ , ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam Al-Qur’an ), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan. 7. Memahami hakekat lafal yang tunggal, yang terdapat di dalam Al-Qur’an
dengan memperhatikan
cara-cara ahli bahasa mempergunakan kalimat-kalimat itu. Kebanyakan lafal-lafal Al-Qur’an di mana Al-Qur’an
dipakai
sedang diturunkan untuk beberapa makna. Kemudian sesudah itu berlalu
beberapa masa maka lafal-lafal itu dipakai untuk makna-makna yang lain, umpamnya lafal ta’wil. 8. Memperhatikan uslub-uslub Al-Qur’an . Seorang mufassir harus mengetahui alat, yang dengan alat itu dia dapat memahami uslub-uslub bahasa Arab yang tinggi. Untuk itu perlu ilmu i’rab dan ilmu asalib (ma’ani dan bayan). 9. Mengetahui keadaan-keadaan manusia. Allah telah menurunkan Al-Qur’an
dan menjadikannya
sebagai kitab yang absah, di dalamnya diterangkan keadaan atau hal-hal yang tidak diterangkan dalam kitab lain. Di dalamnya diterangkan keadaan makhluk, tabiatnya, sunnah-sunnah ketuhanan di dalam menciptakan manusia. Dan di dalamnya juga diterangkan kisah umat-umat yang telah lalu. Karenanya, perlulah orang memperhatikan isi Al-Qur’an
, memperhatikan pula keadaan
perturnbuhan dan perkembangan manusia dari zaman ke zaman. 10. Mengetahui jalan-jalan Al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia dengan Al-Q ur’an . Karenanya, wajiblah bagi seorang mufassir yang melaksanakan fardhu kifayah ini mengethui keadaan manusia di masa Nabi saw, baik dari bangsa arab maupun bangsa lain. Dan bahwasanya Nabi saw dibangkit Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia dan mendatangkan kebahagiaan kepada mereka.
273
Shihab, M Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung. Mizan, 25
139
Ulumul Quran 11. Mengetahui sirah ( riwayat hidup Nabi saw dan sahabat), dan bagaimana keadaan sahabat, baik dalam bidang ilmu, dan bagaimana mereka menghadapi masalah-masalah keduniaan dan keakhiratan.
274
E. Kode Etik Mufassir 1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya 2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain 3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik. 4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya. 5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada. 6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagha, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut. Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari perkara-perkara ketika menafsirkan Al-Qur’an
275
:
1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak
terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika
menguasainya. 2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara
mutasyabihat . Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta‘ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya. 3. Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik. 4. Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara. 5. Tafsir dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar’i berdasarkan firman Allah QS Al-Baqarah: 169
“Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.”
F. Metode-metode dan Corak Tafsir Al-Qur’an Penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dapat dibagi dalam 4 metode, tertentu berdasar spesifikasi keilmuanya.
276
dengan sudut pandang
277
1. Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode ini terbagi menjadi 3 macam, yakni metode bi al-ma’thur , bi al-riwayah, bi al-manqul , tafsir bi-ra’y / bi al-dirayah/ bi al ma’qul dan tafsir bi al-izdiwaj (campuran). a. Metode tafsir bi al-ma’thur
274
Amrullah, Fahmi. 2008. lmu Al Qur’an untuk Pemula , Jakarta : CV. Artha Rivera, 79-80 Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At -Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif , 58 276 Djalal, Abdul. 1990. Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia, 64-71 277 Nasir, M. Ridlwan. Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin; Dalam Perspektif Pemahaman Al Qur’an . Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel 1997. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 5-8 275
140
Ulumul Quran Tafsir bi al-ma’thur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an
dan/atau As-Sunnah sebagai
sumber penafsirannya. Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an seperti pada QS. Al-Baqarah: 187
Kata “minal fajri” adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat “al khaitil abyadhi” . Contoh tafsir Al-Qur’an dengan sunnah seperti pada QS. Al-An’am: 82
Rasulullah menafsirkannya dengan mengacu pada QS. Luqman: 13
Dengan itu, beliau menafsirkan makna “zhalim” dengan syirik . Kitab-kitab Tafsir Bil-Ma’tsur antara lain: 1) Tafsir Al-Qur’an u al-‘Azhim )
(, karangan Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir al-Qarsyi al-
Dimasyqy, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir (w. 774H.) 2) Tafsir Jami’ al -Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an )
(, karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary (225 H. – 310 H.) 3) Tafsir Ma’alim al -Tanzi, )
( , dikenal dengan sebutan al-Tafsir al-Manqul, karangan al-
imam al-Hafizh al-Syahir Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin Al-Farra’ Al-Baghawy Al-Syafi’iy, dikenal dengan sebutan Imam al-Baghawy (w. 462 H.) 4) Tafsir Tanwir al-Miqyas Min Tafsir Ibn ‘Abbas )
(, karangan Majd al-
din Abu al-ThahirMuhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar al -Syairazi alFairuzabadi, dikenal dengan sebutan Al-Fairuzabadi (Lahir tahun 729 H.) 5) Tafsir al-Bahr )
( , karangan Al-‘Allamah Abu Al-Layts al-Samarqandy
b. Metode tafsir bi-ra’y (Dirayah) Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri.
Dan
penyimpulan
(istinbath)
yang
didasarkan
pada
ra’yu
semata.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an , hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain. Seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada . 1) Tafsir Mahmud Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub -uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah. Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman :
Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS, Al Isra’: 36)
141
Ulumul Quran
Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui. (Al A’raf: 33) Sabda Rasulullah saw:
Dari Ibnu Abbas dia berkata, bersabda Rasulullah SAW: Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka. 2) Tafsir al Madzmum Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat. c. Metode tafsir bi al-Izdiwaj (campuran) Tafsir bil Izdiwaj disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat. 2. Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode deskriptif (al-bayani ) dan Metode tafsir perbandingan ( comparatif, al maqa rin). a. Metode al-bayani (deskriptif) Adalah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
hanya dengan memberikan
keterangan secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat/ pendapat dan tanpa menilai (tarjih) antar sumber. Salah satu kitab tafsir dengan metode al bayan adalah Ma’alim Al Tanzil karya Imam Al Husain Ibnu Mas’ud Al Baghawi (W. 516 H) b. Metode Muqarin (komparatif) Metode komparatif adalah cara penafsiran Al Qur’an dengan membandingkan teks ayat-ayat AlQur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan dalam dua kasus atau lebih, membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya bersifat bertentangan dan membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir. M. Quraish Sihab mengatakan “Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat
dengan ayat, dan ayat dengan hadits biasanya mufasirnya menjelaskan hal-hal yangberkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksut oleh masing-masing ayat atau perbedaan masalah itu sendiri ”. Aspek yang dibahas dalam metode (muqarin) komporatif ialah: 1) Membandingkan teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama. Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an
dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an ,sebagai berikut : a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al -
Baqarah : 120)
142
Ulumul Quran “Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al An’am : 71) b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al -
Baqarah : 6) “Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10) c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
“...yang membaca kepada mereka ayat -ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (Al-Qur’an ) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
“...yang membaca ayat -ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (Al-Qur’an ) dan al-Hikmah” (QS. Al - Jumu’ah : 2) d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al - A’raf : 200) e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
“...Kami sekali -kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al -Baqarah : 80)
“...Kami sekali -kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali -Imran : 24) f)
Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...”
(QS. Al-Baqarah : 58) “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al- A’raf : 161) g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al -Baqarah : 170)
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21) h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
143
Ulumul Quran “Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya,
barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al -Hasyr : 4) “Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya.
Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4) 2) Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan. Mufasir membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan hadits Nabi saw yang terkesan
bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat Al-Qur’an surat Al-Nahl: 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini:
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al -Nahl
: 32)
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi) Antara ayat Al-Qur’an
dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk
menghilangkan pertentangan itu, Al-Zarkasyi mengajukan dua cara : a) Menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi) b) Menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab. 3) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an . Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an , baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur ) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi ). Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : a) membuktikan ketelitian Al-Qur’an b) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an yang kontradiktif c) memperjelas makna ayat d) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih. Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaanperbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing. Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
144
Ulumul Quran penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para 278
ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin” . Kelebihan dan kekurangan tafsir metode (muqarin) komporatif 1) Kelebihan
a) Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain. b) Membuka pintu untuksesalalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda dari pendapat pribadi dan bahkan kontradiktif. c) Tafsir dan metode komfaratif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. d) Dengan metode ini mufasir didorong untuk mengaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapat para mufasir yang lain 2) Kekurangan a) Penafsiran dengan metode ini tidak dapat diberikan kepada para pemula seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah kebawah. b) Kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh ditengah masyarakat. c) Terkesan banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiranbaru. 3. Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode global (al-ijmali ) dan metode detail ( al-ithnaby ). a. Metode Ijmali Metode ijmali (global) ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ringkas tapi mencakup,
dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti sususnan ayat-ayat dalam mushaf. Disamping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembaca mudah memahaminya. Guna memudahkan mengenali metode tafsir ijmali disini dikemukakan beberapa keraktristiknya berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas, yaitu : 1) Metode tafsir ijmali ditulis dengan ringkas, dan ini metode teringkas dalam menafsirka ayat AlQur’an
jika disbanding dengan metode lainnya. Oleh karena itu kitab-kitab tafsir yang
menggunakan metode ijamali ini tidak begitu tebal sebagaimana tafsir yang lainnya. 2) Metode tafsir ijmali menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Dalam penafsiran lafal ayat hanya mengemukakan padanan kata dari firman Allah. 3) Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an
, seorang mufassir yang menggunaka metode ijmali,
menafsirkan ayat degan mengikuti urutan ayat yang ada di dalam mushaf Al-Qur’an . Yakni dimulai dari surah al-fatihah dan diakhiri dengan surah an-Naas Apa dan bagaimanapun bentuk suatu metodologi, ia tetap merupakan hasil ijtihad, yakni hasil olah pikir manusia. Manusia, meskipun dikaruniai kecerdasan tetap mempunyai kelemahan dan keterbatasan, yang tidak bias mereka hindarkan seperti sipat lupa, lalai, dan sebagainya. Sebagai contoh : penafsiran yang diberikan tafsir Al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat AlBaqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang
misalnya, dia hanya berkata : Allah Maha Tahu maksudnya.
Dengan demikian pula kata Al Kitaabah
penafsiran hanya dikatakan : Yang dibacakan oleh
Muhammad . Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran 5 ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.
278
Untuk lebih memperkuat konsep pembahasan metodologi tafsir muqarin dapat dibaca dalam naskah pidato guru besar M.Ridlwan Nasir, yang berjudul Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin; Dalam Perepektif Pemahaman Al Qur’an, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
145
Ulumul Quran 1) Kelebihan a) Praktis dan mudah dipahami, yaitu tanpa berbelit-belit, pemahaman Al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya. b) Relatif lebih murni, dengan metode ini dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadangkadang tidak sejalan dengan martabat Al-Qur’an . c) Akrab dengan bahasa Al-Qur’an . Uraian yang dibuat dalam tafsir ijmali terasa amat singkat dan padat, hal ini dikarenakan mufasir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi. 2) Kelemahan a) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat farsial, Al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah. Dengan menggabungkan kedua ayat itu, akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan. b) Tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. Tafsir yamg memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Di antara kitab-kitab tafsir yang termasuk menggunakan metode Ijmali ini antara lain: 1) Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, karya Muhammad Farid Wajdi, 2) Al-Tafsir al-Wasith, Produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Kaero. 3) Tafsir al-Jalalain, karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahally, 4) Shafwah al-Bayan Li Ma’ani Al-Qur’an , karya Syeikh Husanain Muhammad Makhlut, 5) Tafsir Al-Qur’an , karya Ibnu Abbas yang dihimpun oleh Fayruz Abady, 6) At-Tafsir al-Muyassar , karya Syeikh Abdul Jalil Isa, 7) Taj al-Tafasir , karya Muhammad Utsman Al-Mirghani.
279
b. Metode detail (al-ithnaby ). Adalah menafsirkan Al-Qur’an secara mendetail atau rinci dengan uraian yang panjang lebar sehingga jelas maksud ayat dan surat yang ditafsirkan. Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, yang mana semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. 4. Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode analisis ( al-tahlily) dan metode tematik ( almawhu’y ) a. Metode Tahlili ( Analitis) Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai ” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai 280
seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an.
Atau menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu sertamenerangkan makna-maknayang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an , ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Perbedaan yang mencolok antara tafsir tahlili dengan ijmali terutama dari sudut keluasan wawasan yang dikemukakan dan kedalaman serta ketajaman analitis. Karma itu, didalam tafsir
tahlili mufasir relatif punya banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide dan gagasan-gagasan berdasarkan keahliannya sesuai dengan pemahaman ayat. 279 280
Baidan, Nashruddin. 2002. Metodologi Penafsiran al-Qur’an., Jakarta: Pustaka Pelajar,13
Ichwan, Mohammad Nor. 2004. Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern , Yogyakarta: Menara Kudus.
146
Ulumul Quran Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkat arti ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urut-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadzlafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebabnya turunnya, hadits yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya. Misalnya, tafsir tahlili (analitis), Al-Maraghi , misalnya, untuk menjelaskan 5 ayat pertama itu membutuhkan 7 halaman. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argument-argumen, baik berasal dari AlQur’an
atau hadis-hadis
Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama’, juga tidak
ketinggalan argument semantic. 1) Kelebihan a) Ruang lingkup yang luas. Contohnya saja ahli bahasa, mendapat peluang yang luas untuk menafsikan Al-Qur’an
dari pemahaman kebahasaan, seperti tafsir Al-Nasafi karangan
karangan Abu Al-Su’ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli filsafat, sains dan teknologi. b) Memuat berbagai ide. Tafsir ini memberikan kesempatan yang sangat luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan Al-Qur’an . 2) Kekurangan a) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial. Karan seakan-akan Al-Qur’an memberi pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karma penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. b) Melahirkan penafsiran subjektif. Karma bebasnya mengeluarkan ide dalam penafsiran ini, para mufasir terkadang tidak sadar telah menafsirkan Al-Qur’an secara subjektif, bahkan bisa jadi ada mereka yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kemauan hawa nafsunya. Sebagai metode yang paling awal muncul dalam studi tafsir, metode tahlili ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat, mencakup : 1) Al-Munasabah (hubungan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu surah dengan surah yang lain, atau antara awal surah dengan akhirnya. 2) Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turun) yakni latar belakang sejarah atau kondisi social turunnya ayat Al-Qur’an . 3) Al-Mufradat (kosa kata) atau lafal dari sudut pandang dan qaidah kebahasaan yang terdapat dalam bahasa Arab. Termasuk juga dalam langkah ini menelaah syair-syair yang berkembang pada masa sebelum dan waktu turunnya Al-Qur’an 4) Fasahah, bayan dan I’jaz yang terdapat dalam ayat ynag sedang ditafsirkan. Terutama ayat ayat yang mengandung balaghah (keindahan bahasa) 5) Al-Ahkam fi al-ayat , dengan melakukan istinbath sehingga diperoleh kesimpulan hukum fiqh dari ayat yang sedang ditafsirkan 6) Al-Hadits yang menjelaskan maksud dari kandungan ayat Al-Qur’an , termasuk qawl sahabat dan tabi’in 7) Apabila tafsir bercorak saintifik maka pendapat-pendapat para pakar di bidangnya juga dijadikan rujukan oleh mufassir. b. Metode Maudhu’i (tematik) Metode tematik adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dariberbagai aspek yang terkait dengannya. Seperti asbab al-nuzul, kosa kata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalilatau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari hadits, Al-Qur’an atau pemikiran rasional.
147
Ulumul Quran Penerapan metode ini sebenarnya baru dirintis oleh Universitas Al-Azhar dan seluruh fakultas yang bernaung dibawahnya. Kajian metode ini pertama kali dilakukan oleh Ahmad Al-
Sayyid Al-Kumy yang menjadi ketua jurusan pada fakultas Usuhuluddin. Sebagai seorang ketua jurusan yang menaungi mahasiswa yang intens terhadap kajian-kajian Al-Qur’an dan tafsir maka mudah bagi Al-Kumy dalam mengembangkan metode Maudu’iy ini. Pada tahun 1977, Abdul Hay Al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin al Azhar, mengarang
sebuah karya yang berjudul “ Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy ”. Dalam buku itu diungkapkan secara rinci tentang langkah-langkah dalam menggunakan metode Maudu’iy, yaitu:
1) Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas 2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut 3) Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya (Asbab al-Nuzul) 4) Memahami korelasi ayat-ayat dalam surahnya masing-masing 5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna 6) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits y ang relevan dengan pokok bahasan 7) Mempelajari ayat-ayat secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ’am dan yang khas, mutlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu 281
dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan. Sedangkan
Quraish
Shihab
mengembangkan
langkah-langkah
metode Maudu’iy yang
dipaparkan Al-Farmawy tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Penetapan masalah yang dibahas 2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya 3) Walau metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk pada penggunaan Al-Qur’an sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari Tafsir bi al-Ma’thur , yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari 282
metode Maudu’iy.
Kelebihan dan kekurangan metode Maudu’iy 1) Kelebihan a) Menjawab tantangan zaman. Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas. Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an , tidak dapat ditamgani dengan metode-metode penafsiran selain metode tematik. b) Praktis dan sistematis. Tafsir ini disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Dengan adanya tematik mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efesien. c) Dinamis. Metode ini membuat tafsir Al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntunan zaman. d) Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dapat diserap secara utuh.
281 282
148
Al-Farmawy, Abdul Hay, al-Bidayah fi al-Tafsir al- Maudhu’iy, Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977, 62 Shihab, M. Quraish. 2004. Membumikan Al- Qur’an. Bandung: Mizan.
Ulumul Quran 2) Kekurangan a) Memenggal ayat Al-Qur’an. Memenggal ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah mengambil satu kasus yamg terdapat didalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. b) Membatasi pemahaman ayat. Dengan penetapan judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas Kitab-kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan metode maudh u’i, tidak didapati dalam bentuk kitab-kitab tafsir dengan metode yang lain. Karena ia sifatnya tematik, maka pemunculannya berupa buku-buku mengenai tema tertentu yang digali dari Al- Qur’an , sebagai contoh: 1) Al-Insan Fi Al-Qur’an , dan, Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an , karya Abbas Mahmud Al-‘Aqqad, 2) Al-Riba Fi Al-Qur’an , karya Abu al-A’la al-Maududi. Dalam aplikasinya Metode Tematik )
( menggunakan sistematika sebagai berikut:
1) Menetapkan Masalah yang akan dibahas 2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut 3) Menyusun urutan kronologis turunnya ayat-ayat diserta pengetahuan tentang sebab nuzulnya 4) Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing 5) Menyusun outline (kerangka pembahasan yang sistematis 6) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan masalah yang dikaji 7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan agar tidak terjadi kontradiksi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: a) Menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, b) Mengkompromikan antara ayat yang ‘aam (umum) dengan ayat yang khash (khusus), yang muthlaq dengan muqayyad atau ayat-ayat yang sepintas kelihatan bertentangan; sehingga semuanya terfokus pada satu kesatuan konsep, tanpa adanya perbedaan atau 283
pemaksaan.
Skema klasifikasi pembahasan Ilmu Tafsir Al Qur’an
G. Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan Al-Qur’an tersebut, yang salah satunya adalah menafsirkan Al-Qur’an . Upaya ini 283
Shihab, M. Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 114-115
149
Ulumul Quran telah dilakukan oleh para mufassir, baik oleh Rasulullah S AW . sendiri sebagai mufassir pertama dan para pewarisnya. Rasulullah menjelaskan Al-Qur’an Al-Qur’an
dengan sunnahnya, sedang para pewarisnya
menafsirkan Al-Qur’an Al-Qur’an dengan hadits-hadits Rasulullah SAW., di samping berusaha memahami Al-Qur’an Al- Qur’an dengan penjelasan Al-Qur’an Al-Qur’an
itu sendiri, dan ijtihad mereka, dengan menggunakan kemampuan
pengetahuan bahasa, adat istiadat Arab, hal ihwal kaum yahudi-nasrani dan kekuatan daya tangkap mereka. Kemudian, pada masa Tabi’in (yang secara umum juga disebut sebagai pewaris Nabi SAW., tetapi dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Qur’an Al-Qur’an
sebutan pewaris ini nampaknya tertuju pada para
sahabat), perkembangan pola penafsiran telah menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan pola yang menonjol pada masa sahabat. Dalam memahami arti ayat-ayat Al-Qur’an Al- Qur’an dan menafsirkannya, para Tabi'in, di samping melandaskan pada ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an itu sendiri, hadits-hadits Rasulullah SAW serta penafsiran yang diberikan oleh para sahabat Nabi SAW dengan bantuan cerita-cerita dari para ahli kitab, telah menggunakan ra'yu sebagai alat menalar. Meskipun corak penalarannya masih belum serasional para pelanjutnya yang telah mengintroduksi pola penafsiran Bi al-Ra'yi. Oleh karena itu, Adz-Dzhabi menyebut lima macam sumber yang dipakai oleh para Tabi'in dalam menafsirkan Al-Qur’an Al-Qur’an , yaitu: Al-Qur’an Al-Qur’an , al-Hadits, tafsir para sahabat, cerita para ahli kitab dan ra'yu atau ijtihad para tabi'in sendiri. Pada masa Tabi'in inilah kita bisa melihat mulai adanya peluang 'inhiraf' dalam penafsiran Al-Qur’an Al- Qur’an . Meskipun, secara logis bisa kita duga bahwa pada zaman sahabat pun bukan tidak mungkin ada peluang untuk melakukan penyimpangan itu. Namun untuk menyatakan bahwa kecenderungan ke arah itu benar-benar ada, kita belum memperoleh bukti. Sedang pada periode Tabi'in ini, tafsir-tafsir Al-Qur’an Al-Qur’an sudah menampakkan kecenderungan ke arah penyimpangan, meskipun belum dapat kita katakan telah menyimpang, karena paling tidak di dalamnya terdapat hal-hal yang memberikan peluang ke arah itu. Peluang tersebut antara lain dimungkinkan oleh pola-pola penafsiran mereka yang mengandung tiga macam permasalahan: 1. Karya-karya Tafsir para Tabi'in pada umumnya mengandung cerita-cerita Israiliyat dan Nashraniyat, yang bila dicermati bukan tidak mungkin sebagian dari cerita-cerita tersebut tidak memiliki sumber yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya apalagi banyak di antara kisah-kisah tersebut dimuat dengan tanpa menyantumkan sanadnya, sehingga sulit sekali dilacak sumbernya. Bahkan, ada di antara cerita-cerita tersebut yang terbukti ketidak-benarannya setelah diteliti. 2. Dalam kitab-kitab tafsir para Tabi'in terlihat mulai adanya kecenderungan untuk hanya menerima periwayatan dari orang-orang tertentu, dengan menafikan riwayat lain yang mungkin lebih dapat dipertanggungjawabkan nilai kebenarannya daripada riwayat yang dipakai sebagai salah satu sumber penafsiran. 3. Pada masa Tabi’in mulai tumbuh benih-benih ben ih-benih perselisihan antar madzhab, terutama dalam masalah teologi, sehingga bukan tidak mungkin sebagian Tafsir para Tabi'in yang mengandung kecenderungan untuk mempertahankan metode dan pendapat Imam-imam madzhab, yang boleh jadi pada taraf tertentu akan berlebih-lebihan dan berkecenderungan untuk menyimpang, hanya karena dalam rangka membela pendapat Imam-imam madzhab dan seperangkat pendapat madzhabnya. Kecenderungan-kecenderungan itu semakin tampak pada masa berikutnya dengan munculnya polapola baru dalam penafsiran Al-Qur’an Al-Qur’an , terutama dengan semakin menguatnya gairah orang-orang Islam untuk memberikan makna yang lebih memuaskan keinginan mereka untuk memahami Al- Qur’an . Padahal menurut Ibnu 'Abbas dalam sebuah pernyataannya tentang Al-Qur’an Al-Qur’an . Dia nyatakan bahwa dalam kaitannya dengan tafsir, ayat Al-Qur’an Al-Qur’an bisa diklasifikasikan menjadi 4 macam: 1. Ayat-ayat yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab dengan kemampuan bahasanya. 2. Ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an yang dapat diketahui maknanya secara jelas oleh semua orang. 3. Ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh para ulama 4. Ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an yang hanya diketahui maknanya secara jelas oleh Allah
150
Ulumul Quran Dari pernyataan Ibnu Abbas tersebut di atas, kita biasa mengambil kesimpulan bahwa: 1. Tidak semua ayat Al-Qur’an Al-Qur’an
dapat diketahui tafsirnya oleh para mufassir. Hal ini bila kaitkan,
misalnya, dengan ayat-ayat mutasyabihat dengan berbagai ragam pengertian yang diberikan oleh para ulama. Ada di antara ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an yang memang memiliki makna yang tersembunyi, dan hannya Allahlah yang memahami tafsirnya. 2. Ada sebagian ayat Al-Qur’an Al-Qur’an yang terlalu sulit dipahami, kecuali oleh para ahlinya. Para ahli, yang kemudian disebut dengan ulama, Inilah yang sesungguhnya bisa disebut sebagai orang orang yang memiliki kompetensi untuk menafsirkan Al-Qur’an Al-Qur’an , dengan berbagai macam persyaratan yang telah dijelaskan oleh para ulama. 3. Ada sebagian ayat yang secara bahasa dapat dipahami maknanya dengan Jelas. Sehingga, bagi orang non arab yang memiliki kemampuan bahasa Arab yang memadai dengan mudah dapat mengetahui maknanya, sebagaimana lazimnya orang-orang Arab sendiri yang memiliki kemampun bahasa mereka sendiri. 4. Ada sebagian ayat yang sangat mudah dipahami, sehingga ada kemungkinan bagi orang non arab yang memiliki sedikit pengetahuan tentang bahan Arab dan Al-Qur’an Al-Qur’an,, dapat memahami maknanya. Meskipun secara mudah kita dapat memahami ungkapan di atas, sesungguhnya dalam realitas aktivitas penafsiran Al-Qur’an Al-Qur’an
selalu saja ada kemungkinan terjadinya kesalahan penafsiran yang berkaitan
dengan faktor-faktor subyektif para mufasirnya. Seorang mufassir, menurut pendapat Quraish Shihab, memiliki kemungkinan untuk membuat kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an Al-Qur’an berkaitan dengan, antara lain, persoalan: 1. Subyektivitas mufassir 2. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah 3. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat 4. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat 5. Tidak
memperhetiken
konteks,
baik
ashab
al-nuzul,
hubungan
antar
ayat,
maupun
kondisi sosial masyarakat 6. Tidak memperhatikan siapa pembicaraan dan terhadap pembicaraan ditujukan. Sementara itu, adz-dzahabi meringkas kemungkinan kesalahan para mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut dalam dua faktor penting yaitu: 1. Kecenderungan untuk meyakini kebenaran salah satu makna di antara banyak makna yang mungkin diterapkan, kemudian memakai keyakinannya untuk menafsirkan semua lafal Al-Qur’an. Al-Qur’an. 2. Kecenderungan untuk menafsirkan Al-Qur’a Al-Qur’an n berdasarkan makna yang dipahami oleh tutur bahasa arab saja, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) Al-Qur’an Al- Qur’an itu, kepada siapa diturunkannya dan siapa yang dibicarakan oleh Al-Qur’an Al-Qur’an itu. Sebagaimana penjelasan Quraish Shihab dan Adz-dzahabi tersebut di atas, kita bisa memperkirakan dan melihat bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Al-Qur’an Al-Qur’an . Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan menurut seleranya, mungkin berkaitan dengan madzhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya. 1. Penafsiran yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari, ketika ia menafsirkan kata: Nadhirah dalam surah AlQiyamah, 75:23. Ia tafsir kata nadhirah dalam ayat: dengan pandangannya yang selaras dengan doktrin madzhabnya (Mu'tazilah) dan keahlian bahasanya. Kata Nadhirah yang secara umum diterjemahkan dengan melihat, ia tafsirkan dengan peryataan: Memandang di sini bukan berarti melihat; dan melihat bukanlah salah satu
maksud dari kata nadhirah tersebut . Nadhar memiliki arti yang banyak, antara lain: menggerakkan biji mata ke arah satu benda untuk melihatnya; menunggu; simpati dan berbaik hati dan berpikir atau merenung. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kata nadhar di dalam ayat tersebut lebih tepat diartikan dengan menunggu , karena kita tidak mungkin melihat Allah.
151
Ulumul Quran 2. Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas, kita melihat beberapa kasus; di antaranya penafsiran kata mubshirah dalam surat: Al-Isra’: Al-Isra’: 59, 59,
Kata mubshirah di dalam ayat tersebut memiliki makna kontekstual. Sehingga tidak mungkin diberi makna dengan arti orisinalnya.
Jika kata mubshirah di dalam ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan makna orisinalnya melihat dengan mata kepala, yang menerapkan kata Naqah (onta betina), maka penafsiran itu tidak kontekstual lagi karena kata mubshirah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah sebuah mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran Nabi Shaleh terhadap kaum Tsamud pada saat itu. 3. Berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an Al- Qur’an,, sebagaimana yang dipaparkan oleh Quraish Shihab, bisa kita lihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam menafsirkan Al-Qur’an Al-Qur’an)) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen Al-Qur’an Al- Qur’an,, sebenarnya merupakan usaha mulia. Tetapi dapat dikatakan sebagai satu kecerobohan ynng bermakna kecenderungan untuk menyimpang andaikata Al-Qur’an Al-Qur’an
dengan seperangkat statemennya justru diuji oleh kebenaran Ilmiah yang
mereka temukan. Sebab, hasil suatu penelitian bukanlah sesuatu yang bernilai final, sementara kebenaan yang ada didalam al-Qur’an al-Qur’an bernilai universal. Demikian juga, misalnya, seorang mufassir tidak boleh begitu saja menafikan hasil penelitian ilmiah. Misalnya, dalam kasus penafsiran ayat-ayat kauniah, tentu saja peristilahan keilmuan harus tetap menjadi perhatian para mufassir, demikian juga pengetahuan eksakta, misalnya dalam ilmu kedokteran, harus menjadi perhatian para mufassir ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan masalah kedokteran. Dua contoh kasus penafsiran ketiga dipaparkan oleh adz-dzahabi; ketika menafsirkan kata faqtha’u pada surat Al-Maidah: Al-Maidah: 38,
Ada ilmuwan yang menafsirkan bahwa kata tergesebut bukan menunjukkan hukum wajib, tetap ibadah. Di sini adz-Dzahabi bertanya: kapan si mufassir dapat menafsir amar tersebut bukan suatu kewajiban? Kemudian, ketika menafsirkan ayat 61 dari surat Al-Baqarah:
Thanthawi Jauhari dalam . menguraikan dengan teori-teori medis, yang terlalu jauh. Sehingga penafsirannya justru membias sangat jauh. Cara inilah yang dianggap mengkhawatirkan untuk terjadinya penyimpangan penafsiran, bila tidak terkontrol dengan baik.
H. Mazhab/ Aliran dalam Tafsir Al-Qur’an Al- Qur’an Para mufasir yang mempunyai kecenderungan tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Al Al Qur’an itu akan menimbulkan aliran-aliran tafsir Al Al Qur’an. Menurut Abdul Abdul Djalal HA, aliran tafsir Al Qur’an ada 7 284
yakni: tafsir lughawi/ adabi, al fiqhi/ ahkam, shufi/ isyari, I’tizali, syi’i / bathini, aqli/ falsafi, ilmi/ ashri. ashri .
Sedangkan menurut Quraish Shihab, aliran tafsir ada: corak fiqhiy, shufiy, ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, 285
ijtima’iy.
1. Madhab sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan
284
Djalal, Abdul. 1990. Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia, 64-71 Shihab, M. Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Qur’an. Bandung: Mizan, 121
285
152
Ulumul Quran kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini. Diantara contoh penafsiran sastra ini adalah yang dilakukan Bintu Syathi’ ketika menafsirkan kata uqsimu dalam surat Al-Balad di situ beliau mencoba membandingkan dan menyimpulkan perbedaan diantara kata Uqsimu dan Uhlifu yang semuanya punya makna sumpah. Menurutnya, kata Uqsimu (saya bersumpah) dan Uhlifu dalam penggunaannya orang Arab sering menyamakan. Akan tetapi penelitian terhadap dua kata ini mengantarkan pada pengertian bahwa
Al-Qur’an
membedakan antara keduanya. Kata ahlafa dalam Al-Qur’an terdapat dalam 13 tempat yang semuanya
menunjukkan
dosa
dan
kesalahan
akibat
melanggar
sumpah.
Adapun
lafadz aqsam umumnya digunakan dalam sumpah-sumpah yang benar. Dengan penafsiran yang demikian ini terlihat beliau berupaya mengantarkan pemahaman kepada makna yang mendasar dari sebuah konsep dalam Al-Qur’an .
286
Sumpah yang menurut beliau
memiliki muatan yang tidak hanya terpaku pada diskursus ilmu bahasa melainkan sudah beranjak pada bagaimana kata-kata itu direspon oleh masyarakat Arab. 2. Madhab Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah: a. Mafatih al-Ghaib, karya Imam Fakhruddin Al-Razi yang lebih dikenal dengan nama tafsir Al-Razi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Ahlus-Sunnah. b. Tanzih Al-Qur’an ‘An al -Matha’in, karya al-Qadhi Abdul Jabbar. Tafsir ini bercorak kalam aliran Mu’tazilah. Dilihat dari segi metode yang digunakannya, tafsir ini termasuk tafsir Ijmaliy . Sedangkan dari segi sumber penafsirannya ia lebih banyak menggunakan akal, karena itu termasuk Tafsir Bir-Ra’yi . c. Al-Kasysyaf ‘An Haqaiq al -Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta’wil , karya al-Zamakhsyary. Kitab ini dikenal dengan nama Tafsir al-Kasysyaf. Corak penafsirannya adalah kalam aliran Mu’tazilah d. Mir’at al -Anwar Wa Misykat al-Asrar , dikenal dengan Tafsir al-Misykat , karya Abdul Lathif alKazarani. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah e. At-Tibyan al- Jami’ Li Kulli ‘Ulum Al-Qur’an , karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali alThusi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
.
3. Madhab Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan ilmu. Salah satu contoh kitab tafsir yang
bercorak ‘ilmiy adalah kitab Tafsir al-Jawahir , karya Thanthawi Jauhari. 4. Madhab Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiranpenafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Kitab-kitab tafsir yang termasuk corak ini antara lain: a. Ahkam Al-Qur’an , karya al-Jashshash, yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, dikenal dengan nama Tafsir al-Jashshash. Tafsir ini merupakan tafsir yang penting dalam fiqh madzhab Hanafi. b. Ahkam Al-Qur’an , karya Ibnu ‘Araby, yaitu Abu Bkar Muhammad bin Abdullah bin Ahmad alMu’afiri al-Andalusiy al-Isybily. Kitab tafsir ini menjadi rujukan penting dalam Ilmu fiqh bagi pengikut madzhab Maliki. c. Al- Jami’ Li ahkam Al-Qur’an , karya Imam al-Qurthuby, yaitu Abdu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazrajy al-Andalusy. Kitab ini dikenal dengan nama
286
Al-Syathi’, Aisya h Abdur rahman bintu . 1977 . Al-Taf sir al -Bayan i li Al-Qur an al- karim j uz 1, Cairo : Dar al- Ma’rif, 165-167
153
Ulumul Quran kitab Tafsir al-Qurthuby , yang pendapat-pendapatnya tentang fiqh cendrung pada pemikiran madzhab Maliki. d. Al-Tafsirah al-Ahmadiyyah Fi Bayan al-Ayat al- Sayari’ah, karya Mula Geon e. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Muhammad al-Sayis, f. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Manna’ al-Qaththan g. Tafsir Adhwa’ al -Bayan, karya Syeikh Muhammad al-Syinqitiy.
287
5. Madhab tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain: a. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustari. Dikenal dengan Tafsir al-Tustasry. b. Haqaiq al-Tafsir , Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al-Silmy . c. Al-Kasf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir al-
Naisabury . d. Tafsir Ibnu Araby , karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu ‘Araby . 288 e. Ruh al-Ma’ani , karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir al-Alusiy . 6. Madhab budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayatayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Salah satu contoh tafsir yang bercorak demikian ini adalah Tafsir Al-Manar , buah pikiran 289
Syeikh Muhammad Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha .
I. Kitab-kitab Tafsir dan Corak Pendekatannya 1. Tafsir Al Thabary a. Nama Kitab atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Tabary. b. Penyusun Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H) c. Jumlah jilid 12 jilid besar. d. Keutamaan Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/ bil riwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus. e. Metodologi Penulisan Penulis menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih ( memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter 287
Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 1992. Study Ilmu-ilmu Quran (Terj. Mudzkir AS.) , Litera Antar Nusa, Bogor, Cet. I, 511 – 515
288
Ash-Shabuni, M. Ali. 1987. Pengantar Studi Alquran, Bandung: PT. Alma’arif
289
Shihab, M. Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 72
154
Ulumul Quran pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir a. Nama kitab lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir. b. Jumlah jilid 4 Jilid c. Penyusun Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H) d. Keutamaan Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode bil ma’tsur . e. Metodologi penulisan Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum a da ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby a. Nama kitab
b. Jumlah jilid 11 jilid dengan daftar isinya. c. Penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H). d. Keutamaan Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob,qiroat, nasikh dan mansukh”. e. Metode penulisan Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Bel iau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki .
4. Tafsir Syinqithy a. Nama kitab
155
Ulumul Quran b. Jumlah jilid 9 jilid. c. Penyusun Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy d. Metodologi penulisan Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untukistisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim. " Wallahu a’lam“
156
Ulumul Quran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid, Ramli. 2002. Ulumul Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada Abdurrahman, Emsoe dan Apriyanto Rd. 2009. The Amazing Stories of Al-Quran: Sejarah yang Harus Dibaca. Bandung: Salamadani Aceh, Abu Bakar.1989. Syarah Al Qur’an, Solo: Ramadhani. Ahmad ibn Faris ibn Zakariya. 1990. Mu’jam Maqayis al-Lughah, Mesir : Isa al-Babiy al-Halabiy, Juz 11. Al-Aridh, Ali Hasan. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Rajawali Pers. Al-Farmawy, Abu al-Hayy. 1977. Al Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu’iy. Mesir : Maktabah alJumhuriyyah. Ali Ash-Shabuuniy, Muhammad. 1999. Studi Ilmu Al Qur’an, alih Bahasan, Amiudin, Bandung : Pustaka Setia. Al-Maliki,Muhammad ibn ‘Alawi. 2003. Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka. Al-Munawar, Said Agil Husin. 2002. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki . Jakarta: Ciputat Press Al-Qattan, Manna khalil. 1994. Mabahis Fi Ulumil Qur’an, terj. Drs. Mudzakir. Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, Cet. 2 Al-Qattan, Manna Khalil. 2000. Mubahits Fi ‘Ulumil Qur’an. Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif Linasri Watawari’i Al-Qattan, Manna Khalil. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Penj. H. Ainuur Rafiq El.Mazani, Lc, MA, Jakarta: Pustaka Kausar, Cet. II. Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an , Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama. Amanah. St. 1993. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir , Semarang: CV. Asy-Syifa. Anwar, Abu. 2001. Ulumul Qur’an. Jakarta: Amzah Anwar, Rosihan. 2008. Ulum al-Qur`an, Jakarta: Pustaka Setia. Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. 1996. Ulumul Qur’an (Studi kompleksitas Al-Qur’an ), Terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi, Cet. I As Sahabuni, Muhammad Ali. At Tibyan fi Ulumil Qur’an. Beirut: Al-Mazroah Binayatul Yamani As Syuyuti, Jalaluddin. Al-Itqon fi Ulumil Qur’an. Talkis: Al-Kitabaku Ash-Shabunie, Ali. 1987. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Quran. Surabaya:Al-Ikhlas Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. 2002. Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an ), Semarang: PT Pustaka Rizki Putra Ash-shiddieqy, TM Hasbi. 2010. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi. 1989. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IX Azra, Azyumardi. Ed . 2008. Sejarah dan ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus. Baidan, Nasrudin. 2002. Metode Penafsiran Al Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa Dahlan, Zaini dkk. 1991. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf Djalal, Abdul. 1997. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu Djalal, H. Abdul.1998. Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu. Hakim, Baqir. 2006. Ulumul Qur’an. Jakarta: Al-Huda Halim, Abdul. 1999. Memahami Al-Qur’an, Bandung: Marja. Ibn Zakariya, Abi al-Hussein Ahmad Ibn Faris. Maqoyis al-Lughoh . Bairut: Dar al-‘Ilm Li al-Malayyin, t.t Isfahaniy, Al-Raghib. 1982. al-Mufradat fi Alfadz AlQur’an al -Karim. Bairut: Dar al-Fikr. Izzan, Ahmad. 2009. Ulumul Qur’an Telaah Tektstualitas dan Kontekstualitas Al Qur’an, Bandung: Tafakur. Jalal, Abdul. 1990. Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia Kadar, M. Yusuf. 2010. Studi Al-Quran, Jakarta: Amzah, cet II. M. Karman, Supriana. 2002. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung : Pustaka Islamika. Maman, Abdul Djalil. 1997. Ulumul Qur`an 1, Jakarta: Pustaka Setia.
157