i
ULUMUL QUR’AN Oleh: Mahasiswa Ekonomi Syariah Angkatan 2016/2017
Editor : Muhammad Nizar
Penerbit : Kurnia Advertising Jl. Panglima Sudirman 6 Malang 56162 Telp. (0341) 463677 / 081944870202 E-mail :
[email protected]
ii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Swt, yang telah memberikan anugerah dan nikmatnya yang tak terhingga. Sholawat dan salam-Nya semoga terus tercurah kepada Rasul pilihan-Nya, yang telah membukakan mata hati kita, hingga dapat membedakan antara baik dan buruk, halal dan haram, jalan kesesatan dan petunjuk. Suatu kebahagiaan bagi kami dapat menerbitkan buku Ulumul Qur’an sebagai perwujudan dalam memberikan kontribusi dan memperbanyak khasanah Islam. Kehadiran buku ini untuk melengkapi refrensi tentang mata kuliah Ulumul Qur’an. Dalam buku ini terdiri dari delapan belas bab. Dalam kesempatan ini saya menyampaikan bahwa kandungan buku ini bukan merupakan yang final dan sempurna, oleh karena itu saran yang konstruktif dari berbagai pihak sangat kami harapkan. Dan akhirnya hanya kepada Allah Swt sajalah kami mengharapkan hidayah dan taufik-Nya, amin.
Pasuruan, 10 Oktober 2016 Muhammad Nizar, M.E.I
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
iv-v
Bab 1
Al-Qur’an
1-10
Bab 2
Wahyu
11-20
Bab 3
Makiyyah dan Madaniyyah
21-30
Bab 4
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
31-44
Bab 5
Asbabul Nuzul
45-56
Bab 6
Turunnya Al-Qur’an
57-68
Bab 7
Pengumpulan dan Penertiban Al-
69-78
Qur’an Bab 8
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh
79-88
Huruf Bab 9
Qira’at dan Qurra’
89-100
Bab 10
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para
101-110
Mufassir Bab 11
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabih
111-122
Bab 12
Lafadz
123-134
yang
Umum
Khusus iv
dan
yang
Bab 13
Nasikh dan Mansukh
135-144
Bab 14
Muthmaq dan Muqayyad
145-154
Bab 15
Kemukjizatan Al-Qur’an
155-166
Bab 16
Amtsal Al-Qur’an
167-176
Bab 17
Qasam dalam Al-Qur’an
177-190
Bab 18
Tafsir dan Takwil
191-200
Daftar Pustaka
201
v
DAFTAR PUSTAKA Nur Efendi, Muhammad Fathurrohman, Studi al-Qur’an, Depok: Teras, 2014. Subhi as Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Bairut: Dar al Ilmi Lil Malayin, 1988. Muhammad Ali as Sabuni, Studi Ilmu al-Qur’an terjemahan Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009.
201 vi
Al-Qur’an
AL-QUR’AN } A. Pendahuluan Di antara kemuraha Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugrahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa ke masa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah, mengajak manusia beribadah kepada-Nya semata. Wahyu diturunkan senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan perkembangan dan kemajuan berfikir manusia. Ia memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi setiap umat para Rasul. Al-Qur’an adalah risalah Allah untuk seluruh umat manusia, banyak dalil-dalil yang secar mutawattir diriwayatkan berkaitan dengan masalah ini, baik dari al-Qur’an maupun dari sunnah, di antaranya: 1
Al-Qur’an
“Katakanlah (hai Muhammad) hai sekalian manusia! Sesungguhnya Aku adalah pesuruh Allah kepada kaum semua, (diutus oleh Allah) yang menguasai langit dan bumi, (tiada Tuhan yang berhak disembah) melainkan Dia yang menghidupkan dan mematikan. Oleh sebab itu, berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimatNya (kitab-kiabNya) ikutilah Dia, dan supaya kamu mendapat hidayah”. (al-A’raf: 158) “Maha Berkah yang telah menurunkan alFurqan kepada hambaNya (Muhammad) untuk menjadi peringa tan bagi seluruh penduduk alam”. (al-Furqan: 1) Nabi bersabda: “Setiap Nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan saya diutus kepada seluruh manusia. HR Bukhari Muslim” Maka, tidaklah heran kalau al-Qur’an dapat memenuhi segala tuntutan kemanusiaan yang berdasar pada prinsip utama agama-agama samawi “Allah telah menerangkan kepada kamu perkara-perkara agama yang Ia tetapkan hukumnya-apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh, dan yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad), juga yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, 2
Al-Qur’an
Nabi Musa, dan Nabi Isa, yaitu; tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah atau berselisihan padanya. Berat bagi rang-orang muyrik (untuk menerima agama tauhid) yang engkau seru merka kepadanya. Allah memilih siapapun yang dikehendaki-Nya untuk menerima agama tauhid itu, dan member hidayah kepada yang kembali kepada-Nya ” Allah telah menetapkan untuk memelihara Al-Qur’an dengan cara penyampaian yang utawatir sehingga tidak terjadi penyimpangan atau perubahan apapun. Di antara gambaran tentang malaikat Jibril yang membawanya ialah: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar benar kalamullah (yang disampaikan malaikat Jibril) utusan yang mulia. Yang kuat, gagah, lagi berkedudukan tinggi disisi Allah yang mempunyai Arasy. Yang ditaati yang disana (dalam kalangan malaikat), dan dipercaya. Sebenarnya sahabat kamu (Nabi MUhammad) itu (wahai golongan Islam), bukanalah orang gila (seperti yang kamu tuduh) dan (Nabi Muhammad yakin bahwa ang disampaikan kepadanya ialah wahyu dari Tuhan). Sesungguhnya Nabi Muhammad telah mengenal dan melihat Jibril di kaki langit yang nyata. Tidaklah patut Nabi Muhammad seorang yang bisa dituduh dan disangka buruk tentang penyampaiannya mengenai perkara-perkara ang gaib” (at-Takwir: 19-24) 3
Al-Qur’an
“bahwa sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu)itu ialah Al-Qur’an yang mulia, (yan senantiasa member pengajaran dan pimpinan), yang tersimpan dalam kitab yang cukup terpelihara, yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang suci” (al-Waqiah: 77-79) Disamping kepada manusia, al-Qur’an juga diturunkan kepada golongan jin: “Dan (ingatkanlah peristiwa) ketika satu rombongan jin dating kepadamu (wahai Muhammad) untuk mendengar Al-Qur’an; setelah mereka mendengar bacaannya, berkatalah (sebagiannya kepada yang lain); diamlah kamu denga serius unttuk mendenggarnya! Setelah bacaan itu selesai, mereka kembali kepada kaumnya (menyiarkan ajaran alQur’an itu dengan) member peringatan. Merka berkata; wahai kaum kami! Sesungguhnya kami telah mendengar Kitabyang diturunkan (oleh Allah) sesudah Nabi Musa, yang menegaskan kebenaran kitabkitab suci yang terdahulu daripadanya, lagi menuntun kepada kebenaran (tauhid) dank e jalan yang lurus. Wahai kaum kami! Sabutlah (seruan) Rasul (nabi Muhammad )yang mengajak kamu kepadana, supaya Allah mengampunkan sebagian dari dosa-dosa kamu, dan menyelamatkan kamu dari siksa yang tidak terperi sakitnya”(al-Ahqaf: 29-31) 4
Al-Qur’an
Dengan keistimewaan itulah, Al-Qur’an memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan diberbagai segi kehidupan. Dengan demikian, alQur’an akan selalu actual disetiap waku dan tempat. Sebab, Islam adalah agama abadi. Menarik apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad 14 H, “Islam adalah suau sisem yang komprehensif, ia mencangkup segala persoaan kehidupan. Selain itu, ia juga mengandung masalah akidah yang lurus dan ibadah yang shahih” Manusia kini banyak yang resah gelisah, akhlaknya rusak, tidak ada tempat berlindung bagi mereka dari kejauhannya kejurang kehinaan selain kembali kepada ajaran al-Qur’an. “Keluarlah kau berdua dari surga itu bersamasama, dalam keadaan sebagian kamumenjadi musuh sebagian yang lain; sehingga datang kepada kamu petunjuk dariKu, maka siapa ang mengikut petunjukKu itu, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak menderita. Dan barang siapa yang berpaling dari mengingatKu, maka sesungguhnya adalah baginya kehidupan yang sempit, dan kami akan himpunkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta” (thaha: 123-124) B. Definisi Al-Qur’an Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah, yaitu akar kata dari qara’a, qira’aanwa qur’anan. 5
Al-Qur’an
Menurut sebagian ulama, penamaan kitab ini dengan nama al-Qur’an di antara kitab-kiab Allah itu, Karena kitab ini juga mencakup esensi dari kiab-kitabnya, bahkan mencakup esensi dari semua ilmu. Hal itu diisaratkan dalam firmanNya, “Dan (ingakanlah tentang) hari dimana Kami bangkitkan dikalangan tiap-tiap umat, seorang saksi bagi mereka, dari golongan mereka sendiri; dan kami menjadikanmu (hai Muhammad) untuk menjadi saksi aas mereka ini; kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an an mengandung penjelasan bagi segala sesuatu, dan menjadi hidayah, rahmat dan berita ang menggembirakan, bagi orang-orang Islam” (An-Nahl: 89) “Dan tidak seekor pun binatang yang melata di bumi, dan idak seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-uma seperti kamu. Tak sau pun Kami lupakan di dalam kitab Al-Qur’an ini; kemudian mereka semuanya akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (unttuk dihisab dan meneima balasan)” (al-An’am: 38) C. Nama dan Sifat Al-Qur’an 1. Al-Qur’an “al-Ur’an ini member petunjuk kepada jalan yang lebih lurus” (al-Isra’: 9) 6
Al-Qur’an
2. Al-Kitab “Telah kami turunkan kepadamu Al-Kitab yang di dalamnya terdapat kemuliaan bagimu” (al-Anbiya’: 10) 3. Al-Furqan “Mahasuci Allah yang telah menurukan AlFurqan kepada hambNya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada penduduk alam” (al-Furqan: 1) 4. Adz-Dzikr “Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Adz-Dzikr. Dan sesunguhnya kamilah pula yang akan menjaganya” (al-Hijr: 9) 5. At-Tanzil “Dan dia itu adalah Tanzil (kitab yang ditturunkan) dari Tuhan semesta alam” (asySyu’ara: 192) Allah melukiskan Al-Qur’an dengan banyak sifat, diantaranya 1. Nur (cahaya). (an-Nisaa: 174) 2. Mau’izhah (nasehat), syifa’ (obat), huda (petunjuk), dan rahmah (rahmat). (yunus: 57) 3. Mubin (yang menjelaskan). (al-Maidah: 15) 4. Al-muabarak (yang diberkati). (al-An’am: 92) 5. Busyra (berita gembira). (al-Baqarah: 97) 6. Aziz (mulia), (fushilat: 41) 7. Majid (ang dihormati). (al-Buruj: 21) 7
Al-Qur’an
8. Basyir (pembawa beria gembira), dan nadzir (pemberi peringatan). (fushilat: 3-4) D. Perbedaan Antara Al-Qur’an, Hadist Qudsi, Dan Hadist Nabawi 1. Hadist Qudsi Hadist qudsi secara istilah ialah suatu hadist yang mana oleh nabi Muhammad disandarkan kepada Allah. Aksudna, nabi Muahmmad meriwayatkan dalam posisi bahwa yang disampaikannya adalah kalam Allah. 2. Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadist Qudsi a. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasululloh dengan lafadznya, yang denganna orang arab ditantang tetapi mereka tidak mampu membuat yang sepertti al-Qur’an. Tantangan itu tetap berlaku, karena AlQur’an merupakan mukjizat abadi hingga hari kiamat. Sedang hadist qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula berfungsi sebagai mukjizat b. Al-Qur’an hanya dinishbahkan kepada Allah semata. Adapun hadist qudsi diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Penyandaran hadist qudsi kepada 8
Al-Qur’an
Allah itu bersifat penisbatan insa’i (yang diadakan) c. Seluruh isi Al-Qur’an dinukil searra mutawatir, sehinnga kepastianna sudah mutlak. Sedang hadis qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya masih berupa dugaan. d. Al-Qur’an dari Allah, baik lafadz maupun makna. Adapun hadis qudsi maknanya saja dai Allah, sedan lafadz dari rasululloh. e. Membaca Al-Quran merupkan ibadah , karena itu ia dibaca di dalam sholat. Sedang hadis qudsi tidak disuruh membacaya di dalam sholat dan bukan benuk ibadah. 3. Perbedaan Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi Hadis nabawi ada dua macam: a. Tauqifi yaitu kandungannya diterima oleh Rasululloh dari wahyu, lalu ia dijelaskan kepada manusia dengan kata-kata dariNya. b. Taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasululloh, menurut pemahamannya terhadap al-Qur’an, karena fungsi Rasul menjelaskan, menerangkan al-Qur’an dan ijtihad. 9
Al-Qur’an
10
Wahyu
WAHYU } A. Pendahuluan Perkembangan dunia ilmu telah maju dengan pesat, dan cahayanya pun menerangi segala keraguan yang selama ini meliputi diri manusia tentang masalah apa yang ada dibalik materi (alam ruh). Materialisme yang selama ini meletakkan segalanya di bawah bentuk percobaan dan eksperimen, mulai percaya terhadap dunai gaib yang berada di balik dunia nyata ini, bahwa alam gaib itu lebih rumit dan lebih dalam dari pada alam nyata dan bahwa sebagian besar penemuan modern menjadikan pikiran manusia menyingkap rahasia yang tersembunyi, yang hakekatnya tidak bisa di pahami oleh ilmu itu sendiri, meskipun pengaruh dan gejalanya dapat diamati.
11
Wahyu
Yang demikian ini telah mendekatkan jarak antara kepada pengingkaran terhadap agamaagama dan keimanan. B. Arti Wahyu Al-wahy (wahyu) dalam pengertian dasar yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu dikatakan wahyu adalah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. Secara etimologi (kebahasaan) pengertian wahyu meliputi: 1. Ilham al-fithri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). 2. Ilham yang berupa naluri pada binatang. 3. Isyarat yang cepat melalui isyarat. 4. Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia. 5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Sedangkan wahyu Allah kepada para nabiNya, secara syariat mereka definisikan sebagai “kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi”. Ustad Muhammad Abdu mendefinisikan wahyu di dalam risalah At-tauhid sebagai 12
Wahyu
pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantaraan ataupun tidak. Perbedaan antara wahyu dan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini oleh jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar dari mana datangnya. Cara Wahyu Allah Turun Kepada Malaikat: 1. Dalam al-Qur’an al-Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada malaikat-Nya. Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan perbicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu.
13
Wahyu
Dalam hadis dari Nuwas bin Sama’an Rhadhiyallahu Anhu dijelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, yang didengar oleh para malaikat. Pengaruh wahyu itu sangat dahsyat. Pada dhohirnya didalam perjalanan jibril untuk menyampaikan wahyu, hadis diatas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai al-Qur’an. Akan tetapi hadis tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. 2. Jelas bahwa al-Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, seperti firman Allah dalam surat Al-Buruj: 21-22 , surat Al-Baqarah: 185. Di dalam sunnah terdapat hal yang menjelaskan turunnya al-Qur’an yang menunjukkan bahwa nuzul itu bukanlah turun kedalam hati Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, para ulama’ berpendapat mengenai cara turunnya wahyu allah yang berupa al-Qur’an kepada malaikat jibril dengan beberapa pendapat: a. Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafadznya yang khusus. b. Jibril menghafalnya dari Lauh Al-Mahfuzh
14
Wahyu
c. Maknanya disampaikan kepada jibril, sedang lafadznya dari jibril atau nabi Muhammad SAW. Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits Nuwas bin Sam’an di atas. Penyandaran Al-Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat: a. At-Taubat : 6 b. Yunus : 15 Al-Qur’an adalah kalam Allah dengan lafadnya, bukan kalam jibril atau Muhammad. Adapun pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya AlQur’an di lauhul mahfuzh itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Al-Qur’an. Sedangkan pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab, sunnah itu juga wahyu dari Allah kepada jibril, kemudian kepada Muhammad SAW secara makna. Di antara keistimewaan Al-Quran adalah: a. Al-Qur’an adalah mukjizat. b. Kebenarannya mutlak. c. Membacanya dianggap ibadah. 15
Wahyu
d. Wajib disampaikan dengan lafadznya. Sedang hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafadznya juga diturunkan. Hadits nabawi ada dua macam. Pertama: sebagai ijtihad Rasulullah SAW. Ini bukan wahyu. Kedua: maknanya saja yang diwahyukan, sedangkan lafadznya dari Rasulullah sendiri. Hadits qudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafadznya tidak. Ia termasuk bagian yang kedua ini. Sedang menisbahkan hadits qudsi kapada Allah dalam periwayatannya karena adanya nash tentang itu, adapun hadits-hadits nabawi tidak. C. Cara Penurunan Wahyu Kepada Para Rasul Allah menurunkan wahyu kepada Allah kepada rasul-Nya dengan dua cara: ada yang melalui perantaraan ada yang tidak melalui perantaraan. 1. Melalui jibril, malaikat pembawa wahyu. 2. Tanpa melalui perantaraan. Diantaranya ialah, mimpi yang benar dalam tidur. a. Mimpi yang benar di dalam tidur.
16
Wahyu
Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.” Mimpi yang benar itu tidak hanya khusus bagi para rasul saja. Mimpi yang semacam itu juga bisa terjadi pada kaum Mukminin. Mimpi yang benar bagi para nabi di waktu tidur itu merupakan sutu dari sekian macam cara Allah berkomunikasi dengan hamba pilihan-Nya. b. Kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa Alaihissalam. Demikian pula menurut pendapat yang shahih, Allah juga pernah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad pada malam Isra’ dan Mi;raj. D. Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat kepada Rasul Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul: 17
Wahyu
Pertama; Datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat memengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Kedua; Malaikat menjelma para Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan dari pada cara sebelumny, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Keadaan Jibril menampakkan diri seperti orang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat keruhaniannya. Dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. E. Syubhat Para Penentang Wahyu Orang-orang jahiliyah baik yang klasik ataupun yanh modern selalu berusaha menimbulkan keraguan (syubhat) terhadap wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Tetapi syubhat itu lemah dan tidak dapat diterima.
18
Wahyu
1. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu, tetapi dari pribadi Muhammad. Dialah yang menciptakan maknanya, dan menyusun “bentuk gaya dan bahasanya .” 2. Orang-orang jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah mempunyai ketajaman akal, penglihatan yang dalam, firasat yang kuat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya mampu menimbang ukuran-ukuran yang baik dan buruk, benar dan salah melalui ilham ( intuisi ), mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf. 3. Orang-orang jahiliyah klasik dan modern berasumsi bahwa Muhammad telah menerima ilmu-ilmu Al-Qur’an dari seorang guru. Itu tidak salah, akan tetapi guru yang menyampaikan Al-Qur’an itu ialah malaikat pembawa wahyu, bukan guru yang berasal dari kaumnya sendiri atau kaum lain. F. Kesesatan Kaum Mutakallimin Para ahli kalam telah tenggelam dalam metodologi para filosof dalam menjelaskan Kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain. Mereka membagi Kalam Allah menjadi dua bagian; kalam nafsi yang kekal 19
Wahyu
yang ada pada zat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib, dan tidak pula bahasa; dan kalam lafzhi, yang diturunkan kepada para nabi, diantaranya adalah empat buah kitab. Madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah ditentukan oleh Allah atau Rasulullah dalam hadits yang shahih. Cukup bagi kita beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat diantara sekian sifat Allah.
20
Makiyyah dan Madaniyyah
MAKIYYAH DAN MADANIYYAH A. Pendahuluan Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan nilai-nilai kebudayaannya. Tak terkecuali umat Islam, mereka sangat memperhatikan kelestarian risalah muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Kita dapati para pengemban dakwah yang terdiri dari para sahabat, tabi‟in, dan generasi sesudahnya, mengadakan penelitian dengan cermat tentang tempat turunnya al-Qur‟an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu ataupun tempatnya. Dia juga menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan, pentahapan dalam penetapan hukum, dan perintah. Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi 21
Makiyyah dan Madaniyyah
segala kerusakan akidah, hukum dan akhlak. Beban dakwah itu diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan fondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Orang yang membaca al-Qur‟an al-karim akan melihat bahwa ayat-ayat makkiyah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat madaniyah, baik dalam irama maupun maknanya, sekalipun yang kedua ini didasarkan pada yang pertama dalam hukum-hukum dan perundang-undangannya. Pada zaman jahiliyah, masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, memper-sekutukan Allah, mengingkari wahyu, dan mendustakan hari akhir. Mereka ahli perang, suka bertengkar, suka membantah dengan kata-kata yang kasar, sehingga wahyu ayat-ayat makkiyah juga berupa goncangangoncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian kebobrokan mereka berhasil dikikis, begitu juga segala impian mereka 22
Makiyyah dan Madaniyyah
dapat dilenyapkan dengan memberikan contohcontoh kehidupan akhirat, surga, dan neraka yang terdapat di dalamnya. Demikianlah, kita lihat surat makkiyah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga, hurufhurufnya seolah-olah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam surat al-Qori‟ah, al-Waqi‟ah, hurufhuruf Hijaiyah pada permulaan surat, dan ayatayat yang di dalamnya berisi tantangan, tentang nasib umat-umat terdahulu, dan bukti-bukti alamiah rasional. Semua ini menjadi ciri-ciri alQur‟an surat makkiyah . Setelah terbentuk jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan rasul-nya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta akidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah. Ia mengajak berjihad dan berkorban di jalan Allah, kemudian menjelaskan dasar-dasar dan perundang-undangan, meletakkan kaidahkaidah kemasyarakatan, mengatur hubungan 23
Makiyyah dan Madaniyyah
pribadi, hubungan internasional dan antarbangsa. Ia juga menyingkapkan aib dan isi hati orangorang munafik, berdialog dengan ahli kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum ayat-ayat al-Qur‟an yang madaniyah. B. Perhatikan Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Makkiyah dan Madaniyah Merupakan satu kerja besar bila seorang peneliti menyelidiki turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mengkaji ayat-ayat, serta kapan dan di mana turunnya. Dengan bantuan tema surat atau ayat, lalu merumuskan kaidahkaidah analogis terhadap struktur sebuah seruan itu,apakah ia termasuk makkiyah atau madaniyah, ataukah ia termasuk tema-tema yang menjadikan titik tolak dakwah di Makkah atau di Madinah. Abu Qosim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya at-tanbih „ala fadhli „ulum al-Qur‟an, „di antara ilmu-ilmu al-Qur‟an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul al-Qur‟an dan wilayahnya; urutan turunnya di Makkah dan Madinah, tentang hukumnya yang diturunkan di Makkah, tetapi menyangkut penduduk Madinah dan sebaliknya; serupa dengan yang diturunkan di Makkah, tetapi pada dasarnya termasuk madani 24
Makiyyah dan Madaniyyah
dan sebaliknya. Juga, tentang yang diturunkan di juhfah, di baitul maqdis, di tha‟rif atau di hudaibiyah. Para ulama sangat memperhatikan alQur‟an dengan cermat. Mereka menertibkan surat-surat sesuai dengan tempat turunnya. Yang terpenting dalam obyek kajian para ulama dalam pembahasan ini ialah: 1. Yang diturunkan di Makkah. 2. Yang diturunkan di Madinah. 3. Yang diperselisihkan. 4. Ayat-ayat makkiyah dalam surat-surat madaniyah. 5. Ayat-ayat madaniyah dalam surat-surat makkiyah. 6. Yang diturunkan di Makkah namun hukumnya madaniyah. 7. Yang diturunkan di Madinah namun hukumnya makkiyah. 8. Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelompok madaniyah. 9. Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok makkiyah . 10. Yang di bawa dari Makkah ke Madinah. 11. Yang di bawa dari Madinah ke Makkah. 12. Yang turun di waktu malam dan di waktu siang. 25
Makiyyah dan Madaniyyah
13. Yang turun di musim panas dan musim dingin. 14. Yang turun di waktu menetap dan perjalanan. Inilah macam-macam ilmu al-Qur‟an yang pokok, berkisar di sekitar makkiyah dan madaniyah. Oleh karenanya dinamakan sebagai “ilmu al-Makki wa al-Madani” (ilmu makkiyah dan madaniyah). Adapun madaniyah ada dua puluh surat,yaitu: 1. Al-Baqarah. 11. Al-hujurat. 2. Ali imron. 12. Al-hadid. 3. An-nisaa‟. 13. Al-mujadilah. 4. Al-maa‟idah. 14. Al-hasry. 5. Al-anfal. 15. Al-mumtahanah. 6. At-taubah. 16. Al-jumu‟ah. 7. An-nur. 17. Al-munafiqun. 8. Al-ahzab. 18. Ath-thalaq. 9. Muhammad. 19. At-tahrim. 10. Al-fath. 20. An-nashr. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua belas surat, yaitu: 1. Al-fatihah. 7. Al-qadr. 2. Ar-ra‟d. 8. Al-bayyinah. 3. Ar-rahman. 9. Az-zalzalah. 4. Ash-shaff. 10. Al-ikhlas. 5. At-taghabun. 11. Al-falaq. 26
Makiyyah dan Madaniyyah
6. At-tathfif (al-muthaffifin). 12. An-nas. Kemudian, sisanya (selain yang disebutkan di atas) adalah surat-surat makkiyah, yaitu delapan puluh dua surat. Maka, jumlah surat-surat alQur‟an semuanya ada seratus empat belas surat. C. Faedah Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah 1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur‟an. 2. Meresapi gaya bahasa al-Qur‟an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah. 3. Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayatayat al-Qur‟an. D. Pengetahuan Tentang Makkiyah dan Madaniyah Serta Perbedaannya Para ulama bersandar pada 2 cara yaitu yang pertama; sima‟i naqli (pendengaran seperti apa adanya) yang didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Yang kedua; cara qiyasi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyah. Apabila dalam surat makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madani atau mengandung peristiwa madani, 27
Makiyyah dan Madaniyyah
maka dikatakan bahwa ayat itu madani,dan sebaliknya. E. Perbedaan Makkiyah dengan Madaniyah Para ulama mempunyai 3 pandangan; 1. Dari segi waktu turunnya. 2. Dari segi tempat turunnya. 3. Dari sisi sasarannya. F. Ciri Khas Makkiyah dan Madaniyah Penetapan makkiyah dan ciri khas temanya: 1. Setiap surat yang di dalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah”adalah makkiyah . 2. Setiap surat yang mengandung lafadzh kalla, adalah makkiyah. 3. Setiap surat yang mengandung “ya ayyuhannas” dan tidak mengandung “ya ayyuhalladzina amanu” adalah makkiyah , kecuali surat al-Hajj. 4. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah makkiyah , kecuali surat al-Baqarah. 5. Setiap surat yang mengandung kisah adam dan iblis adalah makkiyah kecuali surat albaqarah. 6. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf muqatha‟ah atau hija‟i, seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dan lain-lainnya, adalah 28
Makiyyah dan Madaniyyah
makkiyah , kecuali surat al-Baqarah dan ali imran. Adapun surat ar-Ra‟ad masih diperselisihkan. Penetapan madaniyah dan ciri khas temanya: 1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi hukum. 2. Setiap surat di dalamnya disebutkan orangorang munafik, kecuali surat al-ankabut. Ia adalah makkiyah . 3. Setiap surat yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab. Dari segi karakteristik secara umu. Adapun dari segi tema dan gaya bahasanya, adalah sebagai berikut: 1. Menjelaskan masalah ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial & internasional, baik di waktu damai maupun di waktu perang, kaidah hukum, dan masalah perundang-undangan. 2. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan yahudi dan nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam. 3. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama. 29
Makiyyah dan Madaniyyah
4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan syariatnya.
30
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
PENGETAHUAN AYAT YANG PERTAMA DAN TERAKHIR TURUN A. Pendahuluan Ketinggian kedudukan Al–Qur‟an dan keagungan ajaran-ajarannya akan dapat merubah kehidupan manusia, menghubungkan langit dengan bumi, dan dunia dengan akhirat. Pengetahuan mengenai sejarah perundangundangan Islam dari sumber utamanya yaitu AlQur‟an akan menggambarkan kepada kita mengenai peringkatan hukum dan penyesuaiannya dengan keadaan tempat hukum itu diturunkan yang memerlukan pembahasan mengenai apa yang pertama dan terakhir diturunkan. B. Ayat yang Pertama Diturunkan Terdapat empat pendapat mengenai apakah yang mula-mula diturunkan mengenai Al-Qur ,an: 1. Jumhur (Pendapat yang paling rajih atau sahih) „Ulama yaitu yang pertama diturunkan ialah lima ayat pertama surah al-„Alaq 31
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
berdasarkan riwayat „Aisyah yang dicatat oleh Imam Bukhari, Muslim dan al-Hakim dalam kitab-kitab hadis mereka. Aisyah r.a. menyatakan: “Sesungguhnya permulaan wahyu datang kepada Rasulullah SAW. melalui mimpi yang benar di waktu tidur. Mimpi itu jelas dan terang bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia gemar menyendiri dan pergi ke gua Hira. untuk beribadah beberapa malam dengan membawa bekal. Sesudah kehabisan bekal, beliau kembali kepada isterinya Khadijah r.a., maka Khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu sehingga beliau didatangi dengan suatu kebenaran (wahyu) di gua Hira‟ tersebut, apabila seorang malaikat (Jibril a.s.) datang kepadanya dan mengatakan: “Bacalah!” Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Malaikat tersebut kemudian memeluk-ku sehingga aku merasa sesak nafas, kemudian aku dilepaskannya sambil berkata lagi: “Bacalah!” Maka aku pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Lalu dia memeluk-ku sampai aku rasa sesak nafas dan dilepaskannya sambil berkata: “Bacalah!” Aku menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Maka dia memeluk-ku buat ketiga kalinya seraya berkata: “Bacalah dengan menyebut nama 32
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang Maha Pemurah! Yang mengajar dengan perantaraan kalam dan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. Setelah berlaku peristiwa itu kembalilah Rasulullah SAW. kepada isterinya Khadijah (membawa ayat-ayat ini) dengan tubuh menggigil………hingga akhir hadis” (al-Hadis). Imam-imam yang lain seperti al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqi dalam al-Dala‟il dan al-Tabrani dalam al-Kabir mengesahkan ayat tersebut adalah yang pertama diturunkan. 2. Pendapat lain mengatakan Surah alMuddatstsir yang pertama kali diturunkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin „Abdullah seorang sahabat. Daripada Abu Salamah bin Abdul Rahman, dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin „Abdullah: Yang manakah di antara Al-Qur‟an mula-mula diturunkan? Jabir menjawab," “. Aku berkata, “Atau iqra bismirabbikal ladzi Khalaq”. Dia Jabir berkata,”Aku katakan kepada-mu apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepada kami: “Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira‟. Maka ketika habis masa diam-ku, aku turun lalu aku susuri lembah. Aku lihat ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, 33
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku. Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan Wahyu, Yang artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!” Atau “Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan”. Mengenai Hadis Jabir ini, dapatlah disimpulkan yaitu pertanyaan tersebut adalah mengenai surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan yang surah Muddassir diturunkan secara penuh sebelum surah al Alaq‟ selesai diturunkan, karena yang turun pertama sekali adalah surah al Alaq‟ itu hanyalah permulaannya saja. Ini diperkuat oleh hadis Abu Salamah kepada Jabir yang terdapat dalam Hadis Bukhari dan Muslim. Jabir berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW. ketika berkata mengenai putusnya wahyu, beliau menyebut dalam perkataannya itu, “Sewaktu aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Kemudian aku angkat kepala-ku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di gua Hira‟ duduk di atas kursi antara langit dan bumi, lalu aku pulang dan aku katakan: Selimutkanlah aku! Mereka 34
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan ayat, . Hadis ini menggambarkan peristiwa yang terjadi di gua Hira‟, atau al-Muddassir adalah surah yang pertama diturunkan setelah terputusnya wahyu. Dapat disimpulkan ayat pertama untuk kenabian ialah Iqra‟ dan surah pertama untuk kerasulan ialah surah alMuddassir. 3. Pendapat lain mengatakan, bahwa yang pertama kali turun adalah surat Al-Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surat yang pertama kali turun secara lengkap. 4. Sebahagian ulama tabiin seperti al-Dhahhak bin Muzahim berpendapat ayat pertama ialah Bismillah. Dia menyebut „Abdullah bin „Abbas pernah berkata: Perkara pertama yang diturunkan oleh malaikat Jibril a.s. kepada Rasulullah SAW dengan beliau mengatakan, “Wahai Muhammad, aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui daripada Syaitan yang dilaknat, dan katakanlah: Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.) Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani menyebutkan hadis ini sebagai munqati‟ dalam kitabnya, Al-Intisar. Menurut al-Zarkasyi di dalam kitabnya al-Burhan, sebahagian besar ulama menyatukan hadis riwayat „Aisyah dan 35
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
Jabir dengan menyimpulkan Jabir mendengar Nabi membicarakan peristiwa permulaan wahyu dan dia mendengar bagian akhirnya sedang bagian pertamanya dia tidak mendengar. Jadi Jabir menyangka surah yang didengarnya adalah yang pertama diturunkan, padahal bukan. Ibn Hibban dalam sahihnya menyatakan tidak ada pertentangan antara kedua hadis tersebut karena ketika turun kepada Rasulullah Iqra‟, beliau pulang ke rumah lalu berselimut; kemudian turunlah Surah Al-Muddatstsir. Surah-surah lain yang awal diturunkan termasuk al-Masad (111), al-Takwir (81), al-Ala (87), al-Lail (92) dan al-Fajr. Para ulama juga membicarakan ayat-ayat yang mula-mula diturunkan berdasarkan permasalahan atau persoalan tertentu. Di antaranya ia melibatkan: 1. Mengenai makanan-ayat 145 Surah al-An‟am, ayat 114 - 115 Surah al-Nahl, ayat 173 Surah alBaqarah dan ayat 3 Surah al-Ma‟idah. 2. Mengenai minuman- ayat 219 mengenai khamar dalam Surah al-Baqarah, ayat 43 Surah al-Nisa‟ dan ayat 90-91 Surah al-Ma‟idah. 3. Mengenai perang yaitu ayat 39 Surah al-Hajj. C. Ayat yang Terakhir Diturunkan Berbagai pendapat mengenai yang terakhir diturunkan tetapi semua pendapat ini tidak mengandung sesuatu yang dapat disandarkan kepada Rasulullah SAW., malah masing-masing merupakan ijtihad atau dugaan. al-Qadhi Abu 36
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
Bakar mengatakan mungkin mereka memberitahu apa yang terakhir kali didengar oleh mereka kepada Rasulullah SAW ketika beliau hampir wafat. Antara lain pendapat tersebut ialah: 1. “Ayat terakhir diturunkan kepada Rasulullah SAW adalah ayat mengenai riba.” Berdasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhori dari Ibnu Abbas. Maksudnya ialah ayat : Terjemahnya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba - yang belum dipungut -.” (alBaqarah:278). 2. Ada yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah : “ Dan peliharalah dirimu dari adzab yang akan terjadi pada suatu hari dimana pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah...” (AlBaqarah :281). Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan An-Nasa‟i dan lain-lain. 3. Dikatakan bahwa yang terakhir kali turun itu ayat tentang hutang, dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari sa‟id bin Al-Musayyib, “.........Telah sampai kepadanya bahwa ayat AlQur‟an yang paling muda di Arsy ialah ayat mengenai hutang”, yang dimaksud adalah ayat : 37
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
“ Wahai orang-orang beriman, apabila kamu berhutang untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.....” (AlBaqarah : 282). Ketiga riwayat itu dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut diatas diturunkan sekaligus seperti urutannya dalam mushaf. Ayat mengenai Riba, (“peliharalah dirimu....”) dan ayat tentang hutang, karena ayat-ayat itu masih satu kisah. Setiap perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagai yang terakhir kali. Dengan demikian ketiga ayat itu tidak saling bertentangan. 4. Ada lagi yang berpendapat bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat tentang kalalah. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Al-Barra bin Azib, katanya, “Ayat yang terakhir kali turun adalah , “Mereka meminta fatwa kepadamu mengenai kalalah, katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah.” (An-Nisaa” : 176) 5. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa yang terakhir turun adalah ayat, “ Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri.....” sampai dengan akhir surat. Dalam Al-Mustadrak disebutkan dari ubay bin ka‟ab, ia berkata, “Ayat yang terakhir kali 38
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
diturunkan yaitu; „Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri......” (At-Taubah: 128) sampai akhir surat. Mungkin yang dimaksud adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surat AtTaubah. 6. Ada juga yang mengatakan, bahwa yang terakhir kali turun adalah surat Al-Maa‟idah. Ini didasarkan pada riwayat At-Tarmidzi dan Al-hakim sari Aisyah R.A. Tetapi menurut hemat kami, surat itu adalah surat yang terakhir kali turun dalam masalah halal dan haram, sehingga tak satu hukumpun yang dihapus didalamnya. 7. Ada juga yang mengatakan bahwa yang terakhirkali turun adalah ayat, “ Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka, kata Allah; Aku tidak akan menyianyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunandari sebagian yang lain.” (Ali Imran: 195) Pendapat ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Mardawaih melalui mujahid, dari Ummu Salamah, Dia berkata, “Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat, 39
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
“Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka.......” sampai akhir ayat tersebut. 8. Ada yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah “Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, dia kekal didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (An-Nisaa‟: 93). Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan lainnya dari Ibnu Abbas katanya, “Ayat ini (An-Nisaa‟: 93) adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dihapus oleh apapun.” Ungkapan “ia tidak dinasikh oleh apapun” itu menunjukkan ayat itu adalah ayat yang terakhir turun dalam masalh hukum mmbunuh mukmin dengan sengaja. 9. Ada juga pendapat yang berdasar kepada riwayat muslim dari ibnu Abbas, yang menyebutkan bahwa surat terakhir yang diturunkan ialah: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” Semua pendapat itu tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing hanya ijtihad 40
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
dan dugaan. Mungkin pula bahwa masingmasing mereka itu memberitahukan apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah SAW. Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam perundangundangan tertentu, atau dalam hal surat terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti pendapat-pendapat yang telah kami kemukakan diatas. Adapun ayat : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3), diturunkan diArafah pada haji wada. Secara teks, menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Juga telah diisyaratkan diatas, riwayat mengenai turunnya ayat riba, ayat hutang piutang, ayat kalalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga dari surat Al-Maidah. Oleh karena itu, para ulama menyatakan kesempurnaan agama didalam ayat ini. Allah telah mencukupkan nikmatNya kepada mereka dengan menenpatkan mereka dinegeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik daripadanya serta menghajikan mereka dirumah suci tanpa disertai oleh seorang 41
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
musyrikpun, padahal sebelumnya orangorang musyrik juga berhaji dengan mereka. Yang demikian termasuk nikmat yang sempurna, “Dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu”. D. Hubungan Ayat Pertama Turun dengan Penidikan Al-Qur‟anul Karim sebagai suatu mukjizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad saw., amat dicintai oleh kaum muslimin, karena fashahah serta balagha dan sebagai sumber petunjuk kebahagiaan hidup di Dunia dan akhirat. Hal ini terbukti dengan perhatian yang amat besar terhadap pemeliharaannya semenjak turunnya di masa Rasulullah sampai kepada tersusunnya sebagai suatu sebagai mushaf di masa Usman bin Affan. Kemudian sesudah Usman, mereka memperbaiki tulisannya dan menambah harakat dan titik pada huruf-hurufnya, agar supaya mudah dibaca oleh umat Islam yang belum mengerti bahasa Arab. Karena kecintaannya terhadap Al-Qur‟an dan untuk membuktikan kebenarannya, mereka mengarang dan menerjemahkan bermacammacam buku ilmu pengetahuan, baik yang mengerti bahasa Arab, Syari‟at, filsafat dan akhlak, maupun yang mengenai kesenian dan ekonomi, sehingga penuh buku-buku ilmiah perpustakaan-perpustakaan Islam di kota-kota yang besar seperti cairo, Cordova, dan lain-lain. 42
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
Hal ini sesuai dengan anjuran Al-Qur‟an sendiri. Ayat yang mula-mula turun ialah yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, sebagaimana yang di urai dalam pembahasan makalah ini yaitu: Al-Qur‟an Surat al-Alaq ayat 15, adapun ilmu-ilmu yany berkembang, pada masa kemasan Islam, Paling erat hubungannya Ayat pertama turun dengan pendidikan surat al Alaq Ayat 1 , 4 ,dan 5 adalah : perintah untuk membaca, menulis dan mengajarkan Manusia apa yang belum diketahuinya, karena membaca dan menulis merupakan Sumber Ilmu pengetahuan.
43
Pengetahuan Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
44
Asbabul Nuzul
ASBABUL NUZUL A. Perhatian Ulama Terhadap Asbab An-Nuzul Para peneliti ilmu-ilmu al-qur‟an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbab an-nuzul. Untuk menafsirkan Al-qur‟an, ilmu ini sangat diperlukan, sehingga ada yang mengambil spesialisasi dalam bidang ini. Yang terkenal diantaranya ialah Ali bin Al-Madini, guru Al-Bukhari, kemudian Al-Wahidi dalam kitabnya Asbab An-Nuzulkemudian Al-Ja‟bari, yang meringkas kitab A-Wahidi dengan menghilangkan sanad-sanad yang ada didalamya, tanpa menambahkan sesuatu. B. Definisi Asbab An-Nuzul Sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal: 1. Jika terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur‟an mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ketika turun ayat, „Dan peringatkanlah kerabatkerabatmu yang terdekat, Nabi turun dan naik ke bukit shafa, lalu berseru, „Wahai kaumku!‟ 45
Asbabul Nuzul
Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi. Beliau berkata lagi, „Bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung ini ada sepasukan berkuda hendak menyerang kalian, percayakah kalian apa yang kukatakan?‟ Mereka menjawab, „Kami belum pernah melihat engkau berdusta.‟ Nabi melanjutkan, „Aku memperingatkan kamu sekalian tentang siksa yang pedih.‟ Ketika itu Abu Lahab berkata; Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?‟ Lalu ia berdiri, Maka, turunlah surat ini „celakalah kedua tangan Abu Lahab.” 2. Bila Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al-Qur‟an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti yang terjadi pada Khaulah binti Tsa‟labah dikenakan ia terkena zihar oleh suaminya, Aus bin Shamit. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya, „ Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung anaknya, setelah aku menjadi tuan dan aku tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya allah sesungguhnya aku mengadu kepadaMu‟. Aisyah berkata, “Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini, „Sesungguhnya allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya.‟yakni 46
Asbabul Nuzul
Aus bin Shamit. Al-Ja‟bar menyebutkan, “AlQur‟an diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan. Oleh sebab itu, maka Asbab An-Nuzul didefinisikan sebagai “Sesuatu yang karenanya Al-Qur‟an diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.” As-Suyuthi dan orang-orang yang konsen terhadap masalah asbab an nuzul mengatakan bahwa ayat itu tidak turun disaat terjadinya sebab. Ia menyatakan demikian itu karena hendak mengkritik apa yang dikatakan oleh Al-Wahidi dalam menafsirkan surat Al-Fil, bahwa sebab turun surat tersebut adalah kisah datangnya orang-orang habasyah. C. Manfaat Mengetahui Asbab An-Nuzul 1. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syari‟at terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai rahmat bagi umat. 2. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya, “Pergilah, hai Rifa‟I, kepada Ibnu Abbas dan katakana kepadanya, sekiranya setiap orang di antara kita bergembira dengan apa yang telah telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan 47
Asbabul Nuzul
yang belum dikerjakan itu akan disiksa, niscaya kita semua akan disiksa. 3. Apabila lafadz yang diturunkan itu bersifat umum da nada dalil yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbab annuzul akan membatasi takhshish (pengkhususan)itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. 4. Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami Al-Qur‟an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunnya. Kesulitan Marwan bin Al-Hakam dalam memahami ayat, “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang telah kamu kerjakan dan mereka suka untuk dipuji dengan perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih.”(Ali Imran:187), sampai Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya sebab turunnya ayat itu. 5. Sebab turunnya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.
48
Asbabul Nuzul
D. Yang Dianggap Adalah Lafazh yang Umum, Bukan Sebab yang Khusus Apabila ayat diturunkan sesuai dengan sebab yang umum, atau sesuai dengan sebab yang khusus, maka yang umum diterapkan pada keumumannya dan yang khusus pada kekhususanya. Kata Anas dalam suatu riwayat; Jika istri orang-orang yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan didalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka allah menurunkan, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid…” kemudian kata Rasulullah, “Bersamasamalah dengan mereka dirumah, dan perbuatlah apa saja kecuali hubungan seksual.” Jika asbab an-nuzul itu bersifat khusus, sedang ayat itu turun berbentuk umum, maka para ahli ushul berselisih pendapat; yang dijadikan pegangan itu apakah yang umum atau sebab yang khusus? 1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangang adalah lafazh yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafazh yang umum itu melampaui sebab yang khusus. 2. Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangang adalah kekhususan sebab, bukan lafazh yang umum. Karena 49
Asbabul Nuzul
lafazh yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. E. Redaksi Asbab An-Nuzul Bentuk pertama adalah jika perawi mengatakan, “Asbab An-Nuzul ayat ini adalah begini” atau menggunakan fa’ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka,” yang menunjukkan urutan peristiwa ) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat” sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Bentuk kedua yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan Asbab AnNuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika misalnya perawi menyatakan, “Ayat ini turun mengenai ini.” Yang dimaksud dengan ungkapan seperti ini, bisa jadi tentang Asbab An-Nuzul ayat dan mungkin juga tentang kandungan hukum ayat tersebut. F. Beberapa Riwayat Mengenai Asbab An-Nuzul 1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti, “Ayat ini turun mengenai urusan ini,” atau “aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini,” maka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu, sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah menafsirkan atau menjelaskan bahwa hal itu termasuk kedalam makna ayat yang disimpulkan darinya. 2. Jika salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya ”ayat ini turun mengenai urusan 50
Asbabul Nuzul
ini,” sedang riwayat lain menyebutkan Asbab An-Nuzul dengan tegas dan berbedadengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab An-Nuzul yang tegas tadi. 3. Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, salah satu riwayat diantaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangang adalah riwayat yang shahih. 4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. 5. Jika riwayat-riwayat tersebut sama-sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berdekatan. Kesimpulannya, jika Asbab An-Nuzul suatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab. 1. Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya 51
Asbabul Nuzul
untuk dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat. 2. Jika sebagian tidak jelas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas. 3. Jika semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan salah satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah satunya shahih sedang yang lain tidak, maka yang shahih itulah yang menjadi pegangan. 4. Jika semuanya shahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin. 5. Tetapi jika tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bla mungkin. 6. Jika tetap tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang. Dalam bagian yang terakhir itu terdapat pembahasan. G. Banyak Ayat Satu Sebab Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu,. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surat berkenaan dengan suatu peristiwa.contohnya ialah apa yang diriwayatkan Said bin Manshur, Abdurrazzaq,At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani dan Alhakim mengatakan shahih.
52
Asbabul Nuzul
H. Ayat Lebih Dahulu Turun dari pada Hukumnya Dalam Al-Burhan, Az-Zarkasyimenulis suatu pembahasan yang berhubungan dengan asbab an-nuzul, tajuknya “penurunan ayat lebih dahulu dari pada hukumnya” ia mengemukakan contoh yang tidak menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai hukum tertentu, kemudian pengamalannya dating sesudahnya. Tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa ayat itu diturunkan dengan lafadz mujmal (global), yang mengandung arti lebih dari sstu, kemudian penafsirannya dihubungkan dengan salah satu arti-arti tersebut, sehingga ayat tadi mengacu kepada hukun yang dating kemudian. Demikian pula dengan ayat yang turun di Makkah: “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur kebelakang.” 9AlQamar:45). I. Beberapa Ayat Turun Berkaitan Dengan Satu Orang Terkadang seorang sahabat mengalami beberapa kali peristiwa. Al-Qur‟an juga demikian, turun setiap mengiringi peristiwa. Ia banyak turun sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya apa yang diriwayatkan AlBukhari dalam kitab “Al-Adab Al-Mufrad” tentang berbakti kepada orang tua. Pertama; ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad. Kedua; ketika akan mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada 53
Asbabul Nuzul
Rasulullah , “Wahai Rasulullah, berikalah pedang ini. J. Faedah Mengetahui Asbab An-Nuzul dalam Medan Pendidikan dan Pengajaran Tahap pendidikan dasar dalam suatu pengajaran memerlukan kecerdasan yang dapat membantumrmbantu guru dalam menarik minat anak didik terhadap pelajarannya degan berbagai media yang cocok. Tahap pendidikan dasar itu disamping bertujuan membangkitkan perhatian dan menarik minat anak didik, juga ditujukan memberikan konsepsi menyeluruh mengenai kurikulum pelajaran, agar guru dapat dengan mudah membawa anak didiknya dari hal-hal yang bersifat umum kepada yang khusus, sehingga materi-materi pelajaran yang telah ditargetkan dan dapat dikuasai secara detil. K. Kolerasi Antara Ayat dengan Ayat, Surat dengan Surat Seperti halnya pengetahuan tentang asbab an-nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan mengenai korelasi ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam menakwilkan dan memahami ayat dengan baik dan cermat. Yang dimaksud dengan munasabah disini ialah sisi kolerasi antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat=ayat lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Munasabah juga terjadi 54
Asbabul Nuzul
antara awal surat dengan akhir surat. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surat Al-Qashas. Surat ini dimulai dengan menceritakan kisah Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya. Orang yang membaca dengan cermat kitabkitab tafsir tentu akan banyak menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.
55
Asbabul Nuzul
56
Turunnya al-Qur’an
TURUNNYA AL-QUR’AN A. Pendahuluan Allah menurunkan Al-qur‟an kepada Rasul kita Muhammad SAW untuk membimbing manusia. Turunnya Al-qur‟an pertama kali pada lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam samawi yang di huni para malaikat tentang kemuliaan umat muhammmad. Turunnya AlQur‟an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya, AlQur‟an adalah wahyu yang turun berangsurangsur. B. Turunnya Al-Qur’an Sekaligus Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya yang mulia: “Bulan Ramadhan merupakan bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur‟an yang menjadi petunjuk bagi manusia, dan mengandung penjelasan-penjelasan tentang petunjuk itu, juga sebagai pembeda antara hak dengan yang batil.” (Al-baqarah : 185). 57
Turunnya al-Qur’an
Dan firman-Nya: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur‟an) pada malam lailatul qadar.” (Al-qodar: 1) kedua arti ayat tersebut tidak bertentangan karena malam yang di berkahi dalam bulan ramadhan itu adalah Lailatul Qadhar. Al-qur‟an turun kepada Muhammad selama 23 tahun, dalam hal ini ulama terbagi kepada 4 madzhab pokok: 1. Madzhab pertama: Pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah ulama kemudian di pegang oleh jumhur ulama, bahwa “yang di maksud dengan turunnya Al-qur‟an sekaligus ke Baitul ‘Izzah di langit dunia untuk menunjukkan kepada para malaikatnya bahwa betapa besarnya masalah ini, selanjutnya Al-qur‟an di turunkan kepada Nabi Muhammad secara bertahap selama 23 tahun sesuai peristwaperistiwa yang mengiringinya. Selama 13 tahun wahyu turun di Makkah dan di Madinah 10 tahun, pendapat-pendapat ini di dasarkan pada riwayat-riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas, antara lain: a. Ibnu Abbas RA berkata “Al-Qur‟an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar, kemudian setelah itu ia di turunkan selama dua puluh tahun” lalu dia membaca: “Dan mereka tidak membawa kepadamu sesuatu kata-kata yang ganjil (untuk 58
Turunnya al-Qur’an
menentangmu) melainkan kami bawakan kepadamu kebenaran dan penjelasan yang sebaik-baiknya (untuk menangkis segala yang mereka katakan itu). (Al-Furqan:33) b. Di riwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “ Al-Qur‟an itu dipisahkan dari Adz-dikr, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia. Maka jibril mulai menurunkannya kepada Nabi SAW. c. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Allah menurunkan Al-Qur‟an sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya Al-Qur‟an secara gradual. Lalu Allah menurunkan kepada rasulnya bagian demi bagian.” Menurut Ibnu Abbas “ Al-Qur‟an di turunkan pada lailatul qadar pada bulan ramadhan ke langit dunia sekaligus, lalu ia di turunkan secara berangsur-angsur. Madzhab kedua yaitu, yang diriwayatkan asysya`bi bahwa yang di maksud dengan turunnya al-Qur`an dalam ayat di atas ialah permulaan turunnya al-Qur`an itu di mulai pada lailatul qadr di bulan ramadhan, yang merupakan malam yang di berkahi. Kemudian sesudah itu turun secara bertahap sesuai dengan berbagai peristiwa yang mengiringinya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian, al-Qur`an hanya satu macam cara turun, yaitu turun secara bertahap kepada rasulullah saw, sebab yang 59
Turunnya al-Qur’an
demikian inilah yang di nyatakan oleh alQur`an sesuai pada ayat Al-isra‟:106. para peneliti menjelaskan bahwa rasulullah saw pada mulanya diberi tahu dengan mimpi pada bulan kelahirannya yaitu bulan Rabi`ul Awwal. 2. Madzhab ke tiga al-qur‟an di turunkan ke langit dunia pada 23 malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Kemudian diturunkan secara baerangsur-angsur kepada Rasulullah sepanjang tahun. Madzhab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufassir. Pendapat ini tidak mempunyai dalil. Adapun madzhab ke dua yang di riwayatkan dari As-Sya‟bi tidaklah bertentangan dengan madzhab yang pertama yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas. Pendapat yang kuat adalah: Al-qur‟an AlKarim itu di turunkan dua kali Pertama: diturunkan sekaligus pada Lailatul qadar ke Baitul „izzah dilangit dunia. Kedua: Diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Imam Al- Qurtubi menukil riwayat dari Muqatil bin Hayyan tentang adanya ijma‟ akan turunnya Al-Qur‟an sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia. Ibnu Abbas menafikan adanya kontradiksi antara ke dua ayat di atas berkenaan dengan turunnya Al-Qur‟an dan 60
Turunnya al-Qur’an
fakta kehidupan Rasulullah SAW.Al-Qur‟an itu memang turun selama 23 tahun di bulanbulan selain Ramadhan. Di riwayatkan dari Ibnu Abbas, dia pernah di Tanya oleh Athiyah bin Al-Aswad, Katanya, “Dalam hatiku terjadi keraguan tantang firman Allah, Bulan Ramadhan itu ialah bulan yang di dalamnya di turnkan Al-Qur‟an, dan firman Allah, “sesungguhnya kami menurunkannya pada (malam) Lailatul Qadar” , padahal Al-Qur‟an itu ada yang di turunkan pada bulan Syawal, Dzulqo‟dah, Dzulhijjah, Muharram, Safar dan Rabiul Awwal.” Ibnu abbas menjawab, “ Alqur‟an di turunkan pada Lailatul qadar sekaligus. Kemudian di turunkan secara berangsur, sedikit demi sedikit dan terpisahpisah serta perlahan-lahan di sepanjang bulan dan hari.” 3. Madzhab ke 4, ada juga sebagian ulama yang berpandangan bahwa Al-qur‟an turun pertama-tama secara berangsur-angsur ke Lauh Mahfuzd berdasarkan firman Allah ta‟ala, “ Tidak lain ia adalah Al-qur‟an yang mulia, di Lauh Mahfuzd.” Kemudian setelah itu ia turun dari Lauh Mahfuzd secara serentak seperti itu ke Baitl Izzah. Selanjutnya, ia turun sedikit demi sedikit dengan demikian, ini berarti turun dalam 3 tahap. 61
Turunnya al-Qur’an
C. Turunnya Al-Qur’an Secara Bertahap Yang di maksud turunnyadi sini bukanlah turunnya yang pertama kali ke langit dunia. Tetapi turunnya Al-Qur‟an secara bertahap. Alqu‟an turun secara barangsur-angsur selama 23 tahun: 13 tahun di Makkah menurut pendapat kuat , dan 10 tahun di Madinah. Adapun kitabkitab samawi yang lain, seperti taurat, injil, dan zabur, turunnya sekaligus sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan orang-orang kafir berkata, mengapa Al-qur‟an itu tidak di turunkan kepadanya sekali turun saja? Yang demikian supaya kami dapat meneguhkan hatimu dangannya dan kami membacakannya secara tartil:” (Al-Furqan: 32) Ayat ini sebagai dalil bahwa kitab-kitab samawi terdahulu itu di turunkan sekali jadi. Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur ulama. Penelitian terhadap hadist-hadist shahih menyebutkan bahwa Al-Qur‟an turun menurut keperluan, terkadang turun lima ayat, sepuluh ayat, dan terkadang lebih banyak dari itu atau lebih sedikit. D. Hikmah Turunnya Al-Qur’an Secara Bertahap 1. Hikmah pertama: Meneguhkan hati Rasulullah SAW. Wahyu turun kepada Rasulullah dari waktu ke waktu sehingga dapat meneguhkan hatinya terhadap kebenaran dan 62
Turunnya al-Qur’an
memperkokoh azamnya untuk tetap melangkahkan kaki di jalan dakwahnya tanpa ambil peduli akan perlakuan jahil yang ia hadapinya dari masyarakatnya sendiri, karena yang demikian itu hanyalah kabut di musim panas yang segera lenyap. Al-Qur‟an juga memerintahkan Rasul agar bersabar seperti para rasul sebelumnya: “Maka bersabarlah kamu seperti bersabarnya para rasul yang memiliki ulul azmi” (AlAhqaf:32) Sehingga hati beliau menjadi tenang, sebab Allah telah menjamin akan melindunginya dari gangguan orang-orang yang mendustakannya, 2. Hikmah ke dua: Tantangan dan Mu‟jizat Orang-orang musyrik senantiasa dalam kesesatan. Mereka sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menantang, untuk menguji kenabian Rasulullah. “Dan orang-orang kafir itu tidak datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, Melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik Penjelasannya.” (Al-Furqan: 33). Maksudnya, setiap kali mereka datang kepadamu dengan pertanyaan-pertanyaan yang 63
Turunnya al-Qur’an
Aneh-aneh, kami datangkan kepadamu jawaban yang benar dan lebih berbobot daripada Pertanyaan-pertanyaan yang merupakan contoh dari kebatilan. Tantangan mereka terhadap Al-Qur‟an yang diturunkan secara berangsur, sekaligus melemahkan mereka untuk membuat yang serupa dengannya dan membuktikan kemukjizatan Al-Qur‟an. 3. Hikmah ke tiga: Memudahkan Hafalan dan Pemahamannya Al-Qur‟an Karim turun di tengahtengah umat ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis yang menjadi catatan mereka adalah hafalan dan daya ingatnya. “Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang barasal dari antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Aljumu‟ah: 2). Umat yang buta huruf itu tidak akan mudah untuk menghafal seluruh Al-Qur‟an, seandainya ia di turunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk memahami maknanya dan merenungkan ayat-ayatnya. Jelasnya bahwa turunnya Al-Qur‟an secara 64
Turunnya al-Qur’an
berangsur itu merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami ayatayatnya. 4. Hikmah ke empat: Relevan dengan Peristiwa, Pentahapan dalam Penetapan Hukum Setiap kali terjadi sesuatu peristiwa ditengah-tengah mereka, maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang memberikan kejelasan statusnya, membimbing mereka dan meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesui dengan situasi dan kondisinya. Yang demikian ini menjadi terapi mujarab bagi hati mereka. Al-Qur‟an menjelaskan kaidah-kaidah halal dan haram yang mendasari agama dalam hal makanan, minuman, harta benda, kehormatan dan nyawa. Al-Qur‟an juga turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap kaum muslimin dalam perjuangan panjang mereka demi meninggikan kalimah Allah. 5. Hikmah ke lima: Tanpa diragukan bahwa AlQur‟an Al-Karim di turunkan dari sisi yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji Al-Qur‟an yang turun secara berangsurangsur kepada Rasulullah dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini, ayat-ayatnya turun dalam waktu-waktu tertentu, orang-orang membacanya dan mengkajinya surat demi surat. Ketika itu mereka mendapati 65
Turunnya al-Qur’an
rangakaiannya yang tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya redaksi yang begitu teliti. “inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya di susun dengan rapi dan di jelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Tau.” (Hud: 1) “Kalau sekiranya Al-Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatinya saling bertentangan di dalamnya” (An-Nisaa‟: 82). Hadist-hadist rasulullah SAW sendiri yang merupakan puncak kefasihan sesudah Al-Qur‟an tidak mampu menandingi keindahan bahasa Al-Qur‟an apalagi ucapan dan perkataan manusia biasa. E. Faidah turunnya Al-Qur’an secara bertahap dalam pendidikan dan pengajaran Proses belajar mengajar itu berlandaskan dua asas: perhatian terhadap tingkat pemikiran siswa, pengembangan potensi akal, jiwa dan jasmaniahnya dengan metode yang dapat membawanya kearah kebaikan dan keterbimbingan. Dalam hikmah turunnya Al-Qur‟an secara bertahap itu kita melihat adanya suatu metode yang berfaedah bagi kita dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut seperti yang kami sebutkan tadi. 66
Turunnya al-Qur’an
Sistem belajar mengajar yang tidak memperhatikan tingkat pemikiran siswa dalam tahap-tahap pengajaran, pembinaan bagianbagian ilmu di atas sesuatu yang bersifat menyeluruh dan mutlak serta dari yang umum menjadi yang lebih khusus, atau tidak memperhatikan pertumbuhan aspek-aspek kepribadian yang bersifat intelektual, ruhani dan jasmani maka ia adalah sistem pendidikan yang gagal dan tidak akan memberi hasil ilmu pengetahuan kepada umat, selain hanya menambah kebekuan dan kemunduran.
67
Turunnya al-Qur’an
68
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL-QUR’AN A. Pendahuluan Yang dimaksud dengan pengumpulan AlQur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama’ adalah salah satu dari dua pengertian berikut: 1. Pengumpulan dalam arti: hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya haffazhuhu (para penghafalnya,yaitu orang-orang yang menghafalkanya di dalam hati). Ibnu Abbas mengatakan,bahwa Rosulullah SAW sangat ingin segera menguasai Al-qur’an yang di turunkan.Ia menggerakkan kedua lidah dan bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. 2. Pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap surat di tulis dalam satu lembaran yang terpisah,ataupun menertibkan ayat-ayat dan 69
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat,sebagiannya di tulis sesudah sebagian yang lain. B. Pengumpulan Al-Qur’an dalam konteks hafalan pada masa Nabi Rosulullah SAW, amat menyukai wahyu,ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti yang di janjikan Allah. Al-Qur’an di turunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunanya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Dalam kitab shohihnya, Al Bukhari telah mengemukakan tentang tujuh penghafal AlQur’an dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil Maula Abi Hudzaifah,Muadz bin Jabal,Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda’. Ibnu Hajar ketika menulis biografi said bin Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang penghafal Al-Qur’an dan di juluki dengan AlQori’ (pembaca Al-Qur’an). C. Pengumpulan Al-Qur’an dalam Konteks Penulisannya Pada Masa Nabi Rosulullah SAW mengatakan para penulis wahyu Al-Qur’an (asisten) dari sahabat-sahabat terkemuka,seperti Ali,Muawiyyah, Ubay bin Ta’ab dan Zaid bin Tsabit.Bila ayat turun,ia memerintahkan mereka menuliskannya dan 70
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
menunjukkan,dimana tempat ayat tersebut dalam surat.Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Malaikat Jibril membacakan Al-Qur’an kepada Rosulullah pada malam-malam bulan ramadhan setiap tahunnya. Al-Qur’an telah di hafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas; ayat-ayat dan suratsurat di pisahkan, atau di tertibkan ayat-ayatnya saja, setiap surat berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf (sab’atun ahruf), tetapi Al-Qur’an belum di kumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap), sebab apabila wahyu turun segera di hafal oleh para qurra’ dan di tulis oleh para penulis. Dengan demikian, jam’u Al-Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an di masa Nabi ini di namakan: a) hifzhan (hafalan); dan b) kitabatan (pembukuan) yang pertama. D. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama dalam Islam sesudah Rosulullah wafat.Ia di hadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang arab. Peperangan yamamah yang terjadi pada tahun dua belas hijrah melibatkan sejumlah besar sahabat penghafal Al-Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qorri’ dari para sahabat gugur. AlQur’an sudah tercatat pada masa itu, yaitu pada masa Nabi, tetapi masih berserakan pada kulit71
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
kulit,tulang dan pelepah korma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut di kumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surat-surat yang tersusun serta di tuliskan dengan sangat hati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu AlQur’an itu di turunkan. E. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Utsman Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas,dan para qurro’ pun tersebardi berbagai wilayah penduduk di setiap wilayah itu biasanya mempelajari qiro’at (bacaan) ayat dari qorri’ yang di kirim kepada mereka.Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak,termasuk Hudzaifah bin Al yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidak fasihan,masingmasing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya,serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan puncaknya mereka saling mengafirkan. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf AlQur’an seperti yang di turunkan agar orang bersatu dalam satu qiro’at. F. Perbedaan Antara Pengumpulan Al-Qur’an Di Masa Abu Bakar dan Utsman Dari keterangan di atas,jelaslah bahwa pengumpulan al-Qur’an Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan al-Qur’an yang di lakukan 72
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
Usman,baik dalam hal latar belakang (motivasi) maupun metodenya. Motivasi Abu Bakar adalah kehawatiran Beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena banyaknya para qurro’ yang gugur dalam peperangan. Sedangakan motivasi Utsman adalah karena banyaknya perbedaan (yang berujung pada konflik) dalam cara-cara membacaAlQur’an yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam yang di saksikannya sendiri. Puncaknya mereka saling menyalahkan satu sama lain. Pengumpulan yang di lakukan Utsman adalah menyalinnya dalam satu huruf diantara ke tujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa enam huruf lainnya. Para Ulama’ berbeda pendapattentang jumlah mushaf yang di kirimkan Utsman ke berbagai daerah yaitu: 1. Ada yang mengatakan : jumlahnya tujuh buah mushaf. 2. Dikatakan pula, jumlahnya ada empat buah. 3. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima mushaf Mushaf-mushaf yang di tulis oleh Utsman itu sekarang hampir tidak di temukan sebuah pun juga.Mushaf itu di tulis pada lembaran yang menurutnya terbuat dari kulit unta. Dan di riwayatkannya pula bahwa mushaf Syam ini di bawa ke Inggris setelah beberapa lama berada ditangan kaisar Russia di perpustakaan 73
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
Leningrad.Juga di katakan bahwa mushaf itu terbakar di masjid Damaskus pada tahun 1310 H. Jam’u Al-Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an) oleh Utsman ini di sebut dengan Jam’u Al-Qur’an yang ketiga pada tahun 25 H. G. Syubhat Yang Batil Ada beberapa keraguan (syubhat) yang sengaja di hembuskan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan keyakinan kepada Al-Qur’an dan proses pengumpulannya yang telah di lakukan secara teliti. 1. Menurut penebar syubhat itu,beberapa riwayat menunjukkan bahwa ada beberapa bagian Al-Qur’an yang tidak di tuliskan dalam mushaf-mushaf yang ada di tangan kita ini. 2. Mereka mengatakan,dalam Al-Qur’an terdapat sesuatu yang bukan AlQur’an.Mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari surat An-Nas dan AlFalaq termasuk bagian dari Al-Qur’an. 3. Satu kelompok Syi’ah yang ekstrim menuduh Abu Bakar,Umar,dan Utsman telah mengubah Al-Qur’an serta menggugurkan beberapa ayat dan suratnya. H. Tertib Ayat Dan Surat Tertib Ayat Ayat ialah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-Qur’an. Sedangkan surat adalah sejumlah ayat Al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al74
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
Qur’an ini adalah bersifat tauqifi,berdasarkan ketentuan dari Rosulullah SAW. Menurut sebagian Ulama’, pendapat ini merupakan ijma’. I. Tertib Surat Para Ulama’ berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur’an yang ada sekarang. 1. Ada yang berpendapat bahwa tertib surrat itu tauqifiI dan di tangani oleh Nabi sebagaimana di beritahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. 2. Kelompok kedua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat,sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. 3. Kelompok ketiga berpendapat,sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad parasahabat. J. Surat-Surat Dan Ayat-Ayat Al-Qur’an Surat-surat Al-Qur’an ada empat bagian: 1. Ath-Thiwal ada tujuh surat yaitu Al-Baqoroh, Ali-imran,An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am,AlA’rof dan yang ketujuh ada yang mengatakan Al-Anfal dan Baro’ah. 2. Al-Mi’un yaitu surat-surat yang ayat-ayatnya lebih dari seratus itu. 3. Al-Matsani, yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah Al-Mi’un. 4. Al-Mufashshol, dikatakan bahwa surat-surat ini di mulai dari surat Qof,ada pula yang mengatakan dimulai dari surat Al-hujurat. 75
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
K. Rasm Utsmani 1. Ada yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani Al-Qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib di pakai dalam penulisan Al-Qur’an, dan harus sungguh-sungguh di sucikan. Mereka menisbatkan tauqifi dalam penulisan Al-Qur’an ini pada Nabi. 2. Banyak Ulama’ berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi,tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang di setujui Utsman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib di jadikan pegangan dan tidak boleh di langgar. 3. Sebagian Ulama’ lain berpendapat,Rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, metode, dan tidaklah mengapa berbeda dengannya jika orang telah menggunakan satumodel Rasm tertentu untuk penulisan, kemudian Rasm itu menjadi tersiar luas di antara mereka. L. Proses Perbaikan Rasm Utsmani Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan harokat,karena semata-mata di dasarkan atas karakter pembacaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harokat dan pemberian titik. Orang pertama yang melakkukan hal itu adalah Abul Aswad Ad-Duali. Dialah peletak dasar-dasar kaidah bahasa Arab pertama 76
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
atas permintaan Ali bin AbiThalib.Perbaikan Rasm Musahaf itu berjalan secara bertahap. M. Pemisah dan Ujung Ayat Al-Qur’an Al-Karim mempunyai sistem yang khas baik dalam masalah pemisah (fashilah) maupun ujung (ra’s) ayatnya. Fashilah ialah kalam (pembicaraan) yang terputus dengan kalam sesudahnya. Adapun yang di maksud dengan ra’s ialah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fashl (pemisah) antara satu ayat dengan ayat lainnya.Setiap ujung ayat adalah pemisah,tetapi tidak setiap pemisah itu ujung atau akhir ayat,sebab pemisah ayat meliputi dan mengumpulkan keduanya itu. Perkataan orang terkadang di sebut sajak,seperti yang di kenal dalam ilmu badi’. Tetapi banyak Ulama’ yang tidak menggunakan istilah sajak ini pada Al-Qur’an Al-Karim karena nilai Al-Qur’an memeng lebih tinggi dari perkataan kalangan sastrawan atau ungkapan para Nabi dan gaya bahasa para pujangga. Mereka membedakan antara fashila dengan sajak.fashila dalam Al-Qur’an ialah mengikuti makna-makna, bukan fashila itu sendiri yang di maksud.
77
Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an
78
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF } A. Pendahuluan Orang Arab mempunyai keberagaman lajhah (dialek) dalam langgam, suara, dan hurufhuruf sebagaimana diterangkan secara komprehensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Oleh sebab itu, seluruh bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bahasa-bahasa mereka karena adanya berbagai karakteristik tersebut. Dengan demikian, wajarlah jika Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa quraisy, kepada rasul Quraisy pula, untuk mempersatukan bangsa Arab dan menjadi penengah dari perbedaan lahjah-lahjah bahasa kaum Quraisy dan mewujudkan kemukjizatan Al-Qur’an. Al-Qur’an yang di wahyukan Allah kepada Rasul-nya, menyempurnakan makna kemuk79
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
jizatanya karena ia mencangkup semua huruf dan qira’ah diantara lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya. Teks-teks hadits secara mutawatir mengemukakan mengenai turunya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Di antaranya: Ibnu abbas ra berkata; Rasulullah bersabda, “JIbril membacakan (Al-Qur‟an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.” Hadits-hadits yang berkenan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah di selidiki oleh ibnu jarir di dalam pengantar tafsirnya. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari dua puluh satu orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam menetapkan kemutawatiran hadits mengenai turunya Al-Qur’an dengan tujuh huruf B. Perbedaan Pendapat dalam makna Tujuh Huruf Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tga puluh lima pendapat. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang di anggap paling mendekati kebenaran. 80
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
Pertama, sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mreka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an di turunkan dengan sejulah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Kedua, yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, dengan pengertian bahwa katakata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa arab Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya karena yang dimaksud dengan tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat di AlQur’an, bukan tujuh bahasa yang bereda dalam kata tetapi sama dalam makna. Ketiga, sebagian ulama menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu; amr (perintah), nahyu (larangan), wa‟d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Keempat, segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu; 81
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1. Ikhtilaful asma‟ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, mudzakkar, dan cabangcabangnya seperti jamak taknis, tasniyah tetapi kesimpulan akhir adalah sama, sebab bacaan dalam bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istihgraq (mencangkupi) yang menunjukan jenis-jenisnya 2. Perbedaan dalam segi I‟rab, seperti firman allah ta’ala dalam surat yusuf ayat 31 jumhur membacanya dengan nashab, sebab kalimat “ma” berfungsi seperti “laisa” sebagaimana penduduk hijaz, dengan bahasa inilah AlQur’an diturunkan. 3. Perbedaan dalam tashrif, disinilah yang di perselisihkan termasuk perubahan huruf dalam satu kalimat, seperti ya‟lamun dibaca ta‟lamun (ya’ dan ta’),Shirot dan sirat,dalam (Al-Fatihah:6) 4. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khit (mengakhirkan), dimana yang pertama di baca dalam bentuk aktif dan yang kedua dibaca dalam bentuk pasif, juga dibaca dengan sebaliknya. 5. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf. 6. Perbedaan dengan sebab adanya penanbahan dan pengurangan, mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqsh), 7. Perbedaan lahjah dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah, 82
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
izhar dan idhgam, hamzah dan tashil, isymam, dan lain-lian Kelima, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiyah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai symbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian maka angka tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Keenam. Ada juga ulama yang berpendapat yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira‟at sab‟ah. Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama, yang mengatakan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa-bahasa Arab dalam mengungkappkan satu makna yang sama, misalnya; aqbala, ta‟al, haluma, „ajala dan asra‟a. Lafash-lafash yang berada ini untuk menunjuk pada satu makna. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin Uyaimah, Ibnu jarir, Ibnu Wahab dan lainya. Ibnu Abdil menistbatkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama. Dalil pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hadits Abu Bakrah.
83
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
Pendapan pertama ini pula didukung oleh banyak hadits, antara lain; seorang lelaki membaca Al-Qur’an di dekat Umar Al-Khatab. Umar marah kepadanya. Orang itu berkata, “sungguh aku telah membacanya di hadapan Rasulullah, tetapi ia tidak menegur bacaan saya itu. “kata perawi; “maka keduanya berselisih di hadapan nabi. Orang itu berkata, wahai Rasuullah bukankah engkau membacakan kepadaku ayat itu begini-begini?’” Nabi menjawab, “ya.“ Perawi menjelaskan. “Dengan penjelasan ini timbulah ketidakpuasan dalam hati Umar, dan Nabi mengetahui hal itu di wajahnya. Lalu belilau menepuk-nepuk dada Umar seraya mengatakan, “jauhilah satan.” Ucapan ini diulanginya sampai tiga kali. Kemudian katanya pula. “Hai Umar, AlQur’an itu seluruhnya benar, selama ayat rahmat tidak dijadikan azab atau ayat azab dijadikan ayat rahmat.” Pendapat kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang denganya Al-Qur’an di turunkan, artinya kalimat-kalimat Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi. Karena itu, maka himpunan Al-Qur’an mencangkupnya. Semua itu menunjukan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka 84
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafadzhlafadzh mengenai makna yang sama. Setelah mengemukakan dalil-dalil untuk membatalkan pendapat kedua ini, ibnu jarir AtThabari berkomentar, “tujuh huruf yang dimaksud denganya Al-Qur’an diturunkan adalah tujuh dialek baasa dalam satu huruf dan satu kata karena perbedaan lafazh tetapi sama maknanya. Namun pada masa pemerintaha Usman keadaan menuntut agar bacaan itu di tetapkan dengan satu huruf saja kerena di khawatirkan akan timbul fitnah. Kemudian hal ini diterima secara bulat oleh umat islam, suatu umat yang dijamin bebas dari kesesatan. Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal, yaitu; amr, nahyu, halal, haram, mukham, mutasyabih, dan amtsal, dapat dijawab; dzahir hadits-hadits tersebut yang menunjukan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasan bagi umat, padahal sesuatu yang satu tidak mungkin di nyatakan halal dan haramdi dalam satu ayat, dan keleluasan pun tidak terletak pada masalah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram atau dengan mengubah sesuatu makna dari mekne-mekne tersebut. 85
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
Peniadaan hal tersebut (adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an) oleh Allah yang magha terpuji dari Kitab-nya yang muhkam merupakan bukti paling jelas bahwa Dia tidak menurunkan Kitabnya melalui lisan Muhammad kecuali dengan satu hukum yang sama bagi semua mahluk-nya, bukam dengan hukum-hukum yang berbeda bagi mereka. Pendapat keempat yang menyatakan, bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang diantaranya terjadi ihtilaf. Jawabanya, pendapat ini meskipun telah popular dan diterima, tetapi ia tidak dapat bertahan di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafazh yang mempunyai makna sama. Para pendukung pendapat keempat memandang mushaf-mushaf Utsmani mencangkup tujuh huruf tersebut seluruhnya, dengan pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mangandung huruf-huruf yang dimungkunkan oleh bentuk tulisanya Pendapat kelima, menyatakan bilangan tujuh itu tidak di artikan secara harfiah. Ini dapat dijawab bahwasanya nash-nash haadits menunjukan hakekat bilangan tersebut secara tegas, seperti, “jibril membacakan Al-Qur‟an kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulankali 86
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
aku memohon agar huruf itu di tambah, ia pun menambahkanya kepadaku sampai tujuh huruf.” Dan sabda beliau “sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk membaca Al-Qur‟an dengan satu huruf. Lalu brulangulang aku memohon kepadanya untuk member kemudahan kepada umatku. Maka ia mengutusku agar membaca Al-Qur‟an dengan tujuh huruf.” Pendapat keenam, maksud tujuh huruf adalah tujuh qira’at, dapat dijawab; Al-Qur’an itu bukanlah qira’at. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammadsebagai bukti risalah dan mukjizat. Adapun qira’at adalah perbedaan mengucapkan lafazh-lafazh wahyu tersebut. Abu syamah berkata, “suatu kaum mengira qira’at tujuh yang ada sekarang ini itulah yang dimaksudkan dengan tujuh huruf dal hadits. Asumsi ini sangat bertentangan dengan kesepakatan paraahli ilmu. Juga anggapan seperti itulah adlah anggapan orang-orang yang tidak mengerti.” Dengan penbicaraan ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat pertama yang melihat bahwa tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa Arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai denga zhahir nash-nash, dan di dukung oleh bukti;bukti yang shahih. Al-Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai obat penawar bagi orang-orang mukmin, yang dengan nasehat-nasehatnya mereka dapat 87
Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
menyembuhkan segala penyakit hati yang bersumber dari bisikan setan dan getarangetaranya. Karena itulah, Al-Qur’an memadai dan mereka tidak memerlukan lagi nasehat orang lain. C. Hikmah Turunya Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf Hikmah diturunkanya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (ahruf sab‟ah) dapat di simpulkan sebagai berikut: 1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syari’at apalagi mentradisikanya. 2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri kebahasaan orang Arab. Al,Qur’an banyak mempunyai susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkam huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama naluri mereka dan lahjah kaumnya. Kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab,perubahan bentuk lafazh pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan berbagai hukum dari padanya. 88
Qira’at dan Qurra’
QIRA’AT DAN QURRA’ A. Pendahuluan Qira’at adalah bacaan mashar dari qara’a. Qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan alqur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai satu madzhab yang berrbeda dengan madzhab lainnya. Antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubay, Ali, Zahid bin tsabit, Ibnu mas’ud, Abu Musa alasy’ari dan lain-lain. Adz-Dzahabi menyebutkan di dalam thabaqat al-qurra’ sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at Al-Qur’an ada tujuh orang yaitu: Utsman, Ali, Ubay, Zahid bin tsabit, Abu Ad-darda’ dan Abu Musa al-asy’ari sahabat mempelajari qira’at dari ubay. Imam yang terkenal sebagai ahli qira’at di seluruh dunia adalah Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kisa’i, Ibnu Amir, dan Ibnu Katsir. Qira’at hanya merupakan madhzab yang secara ijma’ dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya. Seperti tafkhim, 89
Qira’at dan Qurra’
tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba’, mad, qashr, tashydid, takhfaf. B. Tujuh Imam dan Latar belakangnya Ada tujuh orang imam qira’at serta para ulama memilih pula tiga orang imam qira’at yang dipandang sahih dan mutawatir. Qira’at di luar yang sepuluh ini dipandang qira’at syadz (cacat). Mengapa hanya tujuh imam qira’at saja yang masyur padahal yang masih banyak yang lainlainnya, , meskipun demikian, bukan berarti tidak ada satupun dari qiro’at sepuluh dan bahkan qira’at tujuh yang masyhur itu terlepas dari syadz, sebab di dalam sepuluh qira’at tersebut masih tersebut masih terdapat juga beberapa yang syadz sekalipun hanya sedikit. hal ini dikarenakan sangat banyaknya para periwayat qira’at mereka.tetapi dalam kitab karya Ibnu Mujahid dan pengikutnya, sebenarnya qira’at yang masyur sedikit sekali sebagai contoh adalah Abu Amru bin Al-ala’ ia terkenal mempunyai tujuh belas orang perawi. Pemilih qurra’ dilakukan abad ketiga hijrah, bashrah memilih qira’at ibnu Amr dan ya’qub. Dikufah, qira’at Ibnu Amr. Dimakkah ibnu katsir di madinah abad ketiga, ibnu bakar bin mujahid. Nama Alkisa’ dan membuang nama Yaqub dari kelompok tujuhqari’ tersebut. Kata As-Suyuti, “Orang pertama yang menyusun kitab tentang qira’at adalah Abu Ubaid Al-Qasim bin Salllam, di susul oleh Ahmad bin Jubair Al-Kufi, 90
Qira’at dan Qurra’
kemudian Ismail bin Ishaq Almaliki murid Qalun, lalu Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari. Hal ini dikarenakan sangat banyaknya para periwayat qira’at mereka.tetapi dalam kitab karya Ibnu Mujahid dan pengikutnya, sebenarnya qira’at yang masyur sedikit sekali sebagai contoh adalah Abu Amru bin Al-ala’ ia terkenal mempunyai tujuh belas orang perawi. C. Macam – macam Qira’at, hukum dan Kaidahnya Sebagai ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad dan syadz. Qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at. Yang menjadi pedoman qiraat adalah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat, bukan kepada siapa qira’at itu dinisbatkan, kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lain, sebab ada yang disepakati dan ada pula yang dianggap syadz. Menurut ulama, syarat-syarat qira’at yang shahih adalah sebagai berikut: 1. Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. 2. Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf utsmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. 3. Qira’at itu isnadnya harus shahih sebab sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan kesahihan riwayat. 91
Qira’at dan Qurra’
”Menurut zaid bin tsabit,” qira’at adalah sunah yang harus diikuti sebagian ulama menyimpulkan macam –macam qira’at menjadi enam macam: 1. Mutawatir, yaitu qira’at yang di nukil oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. 2. Mashyur, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. 3. Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi. Qira’at macam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya. 4. Syadz, yaitu qira’at yang shahih sanadnya 5. Maudhu’, yaitu qiro’at yang tidak ada asalnya. 6. Muddaraj, yaitu yang di tambahkan kedalam qiro’at sebagai penafsiran. D. Faedah Kebeagaman dalam Qira’art yang Shahih Keberagaman qira’at yang shalih ini mengandung banak faedah dan fungsi, di antaranya: 1. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpelihaanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal kitab ini mempunyai sekian banak segi bacaan ang berbeda-beda 2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an. 3. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)nsetiap Qira’at menunjukkan sesuatu hukum syari’at tetentu 92
Qira’at dan Qurra’
tanpa perlu pengulangan lafazd. Hukum membasuh kaki. Kaena dia di athofkan kepada ma’mul fi’il 4. Penjelasan apa yang mungkin masih global dalam Qira’at lain. Ma’sud Qira’at yang syad adalah menafsirkan Qira’at yang masyhurndan menjelaskan makna-maknanya. Ketujuh Qira’at yang mashur itu adalah: 1. Abu Amru bin Al-Ala’. Seorang syaikh para perawi, nama lengkapnya Zabban bin Al-Ala’ bin Ammar Al-Mazini Al-Bashri 2. Ibnu Katsir, nama lengkapnya Abdulloh bin Katsir Al-Makki. Ia termasuk seorang tabin.r Seorang qumbul adalah Al-Bazzi dan Qumbul. Al-Bazzi adalah Ahmad bin Abdirahman bin Muhammmad bin Khalid bin Said Al-Makki Al-Makhzumi. Ia di gelarkan dungan Abu Amru, panggilannya Qumbul 3. Nafi’ Al-Madani, nama lengkapnnya Abu ruwaim Nafi’ bin Abdirrahman bin Abi Nuaim Al-Laitsi, berasal dari Isfahan, adapun Warsy adalah ustman bin Said Al-Maishri. Ia di bei gelar abu said dan di beri julukan warsy 4. Ibnu Amir Asy-Syami adalah abdullah bin Amir Al-ahsubi, seorang qadhi di Damaskus dan ia di gelari abul Walid. 5. Ashim Al-Khufi. Ia adalah Ashim bin Abi AnNajud, dinamakan juga Ibnu Bahdalah, Abu bakar. Dari kalangan tabi’in. Ia adalah orang 93
Qira’at dan Qurra’
terpercaya ia lebih pandai qira’at daripada Abu Bakar. 6. Hamzah Al-Kufi. Ia adalah hamzah bin Imarah Ar-Zayyat Al-Fardhi At-Taimi 7. Al-kisa’ai Al-Kufi ia adalah Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di Kufah. Adapun ketiga imam qira’at yang pelengkap imam qira’at tujuh, menjadi sepuluh imam: 8. Abu Ja’far Al-madani ia bernama azid bin AlQa’qa’. Wafat di madinah pada 128 H tapi ada yang mengatakan 132 H. 9. Ya’qub Al-Bashari ia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid Al-Hadharmi. Wafat di Basharah pada 205 H. 10. Khalaf ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzar Al-Baghdadi. Wafat pada 229 H. Adapun empat qira’at yang ditambahkan pada sepuluh qira’at diatas, yaitu antara lain : 1. Qira’at Al – Hasan Al – Bashri, seorang maulakaum Anshar dan salah seorang tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Wafat pada 110 H. 2. Qira’at Muhammad bin Abdirrahman yang dikenal dengan Ibnu Muhaisin. Wafat pada 123 H. Dia adalah syaikhnya Abu Amru. 3. Qira’at Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi AnNahwi dari Baghdad. Ia belajar qira’at dari 94
Qira’at dan Qurra’
Abu Amru dan Hamzah. Dia juga syaikhnya Ad – Duri dan As – Susi, wafat pada 202 H. 4. Qira’at Abul Faraj Muhammad bin Ahmad AsSyambudzi. Wafat pada 388 H. E. Waqaf dan ibtida’ Pengetahuan tentang waqaf ( berhenti ) dan ibtida’ ( memulai ) berperan penting dalam mengetahui cara pembacaan Al-Qur’an untuk menjaga validitas makna ayat, menjauhkan kekaburan dan menghindari kesalahan. Adapun contohnya wajib waqaf antara lain: 1. Surat al – kahfi ayat 1-2. 2. Terdapat huruf ha’ sakat pada ayat surat Al – Haqqah : 19-20 dan 28-29. 3. Surat Yunus ayat 65. Tidak dapat diragukan bahwa pengetahuan tentang waqaf dan ibtida’ sangat berfaedah dalam memahami makna dan memikirkan hukumhukum yang terkandung dalam Al-Quran. Macam-macam Waqaf Ada yang mengatakan bahwa waqaf terbagi menjadi delapan macam, yaitu : tam (sempurna), syabihun bih (menyerupai sempurna), naqsih (kurang) , syabihun bih (menyerupai yang kurang), hasan (bagus), syabihun bih (menyerupai bagus), qobih (jelek), dan syabihun bih (menyerupai yang jelek). Ada yang berpendapat, waqaf terbagi menjadi tiga yaitu : tam (sempurna) , ja’iz (boleh), dan qabih (jelek) saja. 95
Qira’at dan Qurra’
Menurut pendapat yang mashyur, waqaf terbagi menjadi empat macam yaitu : tamm-mukhtar (sempuna terpilih), kafin ja’iz (cukup dan boleh), hasan mafhum (bagus bisa dipahami), dan qabih matruk (jelek dan ditinggalkan). 1. Tamm : waqaf pada lafazh yang tidak berrhubungan sedikitpun dengan lafazh sesudahnya. 2. Kafin ja’iz : waqaf pada suatu lafazh yang dari segi lafazh telah terputus dari lafazh sesudahnya, tetapi maknya masih tetap tersambung. 3. Hasan:waqaf pada lafazh yang dipandang baik padanya, tetapi tidak baik memulai dengan lafazh yang sesudahnya, kaena masih ada hubungan dengannya secara lafazh dan maknannya 4. Qabih : waqf pada lafazh yang tidak dapat dipahami maksud sebenarnya. F. Tajwid dan Adab Membaca Al-Qur’an Tajwid sebagai suatu disiplin ilmu mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang harus dipedomani dalam pengucapan huruf-huruf dari makhrajnya disamping harus pula di perhatikan hubungan setiap huruf dengan yang sebelumdan sesudahnya dalam cara pengucapannya. Oleh karena itu ia tidak dapat diperoleh hanya sekedar dipelajari namun juga harus melalui latihan, praktik, dan menirukan orang yang baik bacaannya. 96
Qira’at dan Qurra’
Para ulama mengaggap qira’at Al-Quran tanpa tajwid sebagai suatu lahn, yaitu kerusakan atau kesalahan yang menimpa lafazh, baik secara nyata (jaliy) maupun secara samar (khafiy). Lahn jaliy adalah kerusakan pada lafazh secara nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qira’at maupun lainnya. Lahn khafiy adalah kerusakan pada lafazh yang hanya dapat diketahui oleh ulama qira’at dan para pengajar Al-Qur’an yang cara bacaannya diterima langsung dari mulut para ulama qira’at dan kemudian dihafalnya dengan teliti. Diantara perbuatan bid’ah dalam qira’at adalah talhin atau melagukan bacaan yang hingga sekarang ini masih ada dan disebarluaskan oleh orang-orang yang hatinya telah terpikat dan terlanjur mengagumi. Dan macam-macam talhin antara lain : 1. Tar’id yaitu bila qayi’ menggetarkan suaranya, laksana suara yang menggeletar karena kedinginan atau kesakitan. 2. Tarqish yaitu sengaja berhenti pada huruf nanti namun kemudian dihentakkannya secara tiba-tiba disertai gerakan tubuh, seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat. 3. Tathrib yaitu mendendangkan dan melagukan Al-Quran sehingga membaca panjang (mad) bukan pada tempatnya atau menambahnya bila kebetulan tepat pada tempatnya. 97
Qira’at dan Qurra’
4. Tahzin yaitu membaca Al-Qur’an dengan nada memelas seperti orang yang sedih sampai hampir menangis disertai kekhusyukan dan suara lembut. 5. Tardid yaitu bila sekelompok orang menirukan seorang qari’ pada akhir bacaannya dengan satu gaya dari cara-cara diatas. Sesungguhnya Al-Qur’an itu mesti dibaca dengan cara tahqiq, yaitu dengan cara memberikan kepada setiap huruf akan haknya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan para ulama. Atau dengan cara tartil, yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang. Atau dengan cara hadar, yaitu membaca dengan cepat tetapi tetap memperhatikan syarat-syarat pengucapan yang benar. Dan, ada pula bacaan dengan cara tadwir, yaitu pertengahan antara tahqiq dan hadar. G. Adab Membaca Al-Qur’an Dalam membaca Al-Qur’an dianjurkan memperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Membaca Al-Qur’an sesudah berwudhu. 2. Membacanya ditempat yang suci. 3. Membacanya dengan khusyuk, tenang dan penuh hormat. 4. Bersiwak sebelum mulai membaca. 5. Membaca ta’awudz pada permulaannya. 6. Membaca basmalah pada permulaan setiap surat, kecuali surat Bara’ah (At-Taubah). 98
Qira’at dan Qurra’
7. Membaca dengan tartil yaitu bacaan yang pelan-pelan dan jelas serta memberikan hak pada setiap huruf seperti membaca mad dan idgham. 8. Merenungkan ayat-ayat yang dibacanya. 9. Meresapi makna dan maksud ayat-ayat AlQur’an. 10. Membaguskan suara dengan membaca AlQur’an, karena suara yang bagus lagi merdu akan lebih berpengaruh dan meresap dalam jiwa. 11. Mengeraskan bacaan Al-Qur’an . 12. Adapun pendapat tentang cara membacanya yaitu dengan membaca langsung dari mushaf, membaca diluar kepala,dan bergantung pada situasi dan kondisi individu masing-masing. H. Mengajar Al-Qu’an dan Menerima Honor dari mengajar Al-Qur’an Mengajarkan Al-Qur’an termasuk fardhu kifayah. Sedangkan menghafalnya merupakan suatu kewajiban bagi umat islam agar tidak terputus jumlah kemutawatiran para penghafal Al-Qur’an di samping untuk menghindari timbulnya perubahan dan penyimpangan. Pengajaran Al-Qur’an itu ada tiga macam. Pertama pengajaran yang karena Allah semata dan tidak mengambil upah. Kedua pengajaran dengan mengambil upah. Ketiga pengajaran tanpa syarat namun bila diberi hadiah, maka ia terima. 99
Qira’at dan Qurra’
Pengajaran pertama merupakan tugas Nabi Alaihimussalam. Pengajaran kedua masih diperselisihkan karena ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan tidak boleh. Pengajaran ketiga menurut ulama boleh. Sebab Nabi sendiri adalah pengajar semua orang dan beliau juga menerima hadiah.
100
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
KAIDAH-KAIDAH PENTING UNTUK PARA MUFASSIR } A. Pendahuluan Untuk mengetahui suatu bidang ilmu tertentu, seseorang pelu mengetahui dasar dasar umum karateristiknya agar ia dapat mendalaminya secara baik. Ia juga terlebih dahulu harus mengetahui pengetahuan yanyg cukup tentang disiplin ilmu lain dalam kadar yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut, dimana selanjutnya ia dapat memasuki pintu pintu ilmu itu dengan kunci yang telah dimilikinya Maka, kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami al-qur‟an tevpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asasasasnya, penghayatan terhadap redaksinya dan pengetahuan akan rahasia-rahasia yang dikandungnya.
101
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
B. Fungsi Dhamir (Kata Ganti) Dhamir mempunyai kaidah-kaidah bahsa tersendiri yang telah disimpulkan oleh para ahli bahasa arab dari al-qur‟an. Sumber-sumber asli bahasa arab, hadist nabawi dan dar penuturan orang-orang arab yang dapat dijadikan rujukan, baik yang berupa puisi atau prosa. Maja‟ dhamir (tempat kembali kata ganti) kadang-kadang terletak sesudah lafazh dhamir itu sendiri, namun hanya dalam pengucapannya saja, seperti “Fa aujasa fi nafsihi khifatan Musa” (Thaha : 67 ). Dhamir terkadang juga kembali kepada lafazh, bukan kepada makna, seperti dalam surah Fathir ayat 11. Terkadang dhamir itu disebutkan terlebih dahulu sebagai khabar yang dijelaskan oleh lafazh yang sesudahnya, seperti “In hia illa haatuna ad-dunya.” (Al-an‟am : 22). C. Isim Ma’rifah Dan Nakirah Penggunaan isim nakirah ini mempunyai bebebrapa fungsi: 1. Untuk menunjukkan satu seperti lafazh “Rajulun” dalam surah Yasin ayat 20, maksudnya adalah seorang laki-laki. 2. Untuk menunjukkan jenis, seperti dalam surah Al-baqarah ayat 96. 3. Untuk menunjukkan kedua-duanya (satu jenis), seperti dalam surah An-Nur ayat 45 102
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
4. Untuk membesarkan dan memuliakan, seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 279 5. Untuk menunjukkan arti banyak dan melimpah seperti ayat, “Aina lana la ajran” (Asy-Syua‟arra‟ : 41) Adapun penggunaan isim ma‟rifah , mempunyai bebebrapa fungsi sesuai dengan jenis dan macamnya: 1. Dengan Dhamir baik dhamir mutakalim, mukhatab, ataupun ghaib. 2. Dengan menggunakan isim isyarah (kata tunjuk) untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat. D. Penyebutan Kata Benda Dua Kali Pengulangan dua kali isim memiliki emepat kemungkinan: 1. Jika Keduanya ma‟rifah, maka isim yang kedua adalah yang pertama 2. Sebaliknya, jika keduanya Nakirah, maka isim yang kedua bukanlah yang pertama 3. Jika yang pertama Nakirah dan yang kedua Ma‟rifah, maka yang kedua itu adalah yang pertama. 4. Jika yang pertama Ma‟rifah sedang yang kedua nakirah, maka tergantung pada Qarinahya E. Mufrad dan Jamak Sebagian lafazh Al-Qur‟an terkadang dimufradkan untuk menunjuk pada suatu makna tertentu dan dijamamkkan untuk menunjuk pada 103
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
isyarat khusus. Karena itu sering kita jumpai dalam Al-Qur‟an sebagian lafzah yang hanya bebrbentuk jamak., ketika diperlukan bentuk mufrad nya maka yang digunakan adalah kata sinonimnya. Sebaliknya ada sejumlah lafazh yanghanya ditulis dalam bentuk mufradnya di setiap tempat dalam Al-Qur‟an.Dan ketika hendak dijamakkan, ia dijamakkan dalam bentuk yang menarik yang tiada bandingannya, seperti ayat “Allahu alladzi khalaqa sab‟a samawat wa min al-ardhi”. (AtThalaq:12) F. Jamak dengan Jamak atau dengan Mufrad Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang menuntut bahwa setiap satuan dari jamak yang satu di imbangi dengan satuan jamak yg lain, misalnya dalam surah Nuh:7. Maksudnya, setiap orang dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing. Terkadang dimaksudkan pula bahwa isi jamak itu diberlakukan bagi setiap individu yang terkena hukuman, seperti “Walladzina yarmuna almuhsanati tsumma la ya‟tu bi arba‟ati syuhada‟ fajliduhum tsamanina jaldatan”. (An-Nur:4) G. Lafazh yang Diduga Sinonim Di antaranya adalah “al-khauf” dan “alkhassyah” (takut). Makna “al-khasyyah” lebih tinggi daripada “al-khauf”, karena alkhasyyah diambil dari kata-kata “syajarah khassyah” artinya pohon yang kering. Jadi, arti al-khayyah 104
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
adalah rasa takut yang sangat. Sedangkan “alkhau” beasal dari kata-kata “naqah khaufa”, artinya onta betina yang berpenyakit, yakni mengandung kekurangan. Demikian juga lafazh “asy-syuh” dan “al-bukhl” (kikir). Arti lafazh pertama lebih berat dari lafah kedua, karena pada umunya asy-syuh adalah al-bukhl atau kikir yag disertai ketamakan. Pertanyaan dan Jawaban Pada dasarnya, jaaban itu hendaklah sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan, sebagia peringatan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawabn seperti ini yang disebut uslub al-hakim(car yang baik). Sebagai contoh firman Allah SWt, “Yas‟alunaka “anil ahillah, qul hiya mawaqitu linnasi l hajj” (Al-Baqarah :189) . Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena memang hal itu di pandnag perlu. Misalnya ayat, “Qulillahu yunajjikum minha wamin kulli karbin” (AlAn”am:63). Untuk menjawab pertanyaan dalam, “Man yunajjikm min dzulumat al-barr wa albahr´(Al-An‟am:63) Pemakaian Kata Benda dan Kata Kerja Jumlah imiyyah (kalimat yang menggunakn kata benda) menunjukkan arti tsubut (tetap) dan istimrar(terus-menerus). Sedangkan jumlah fi‟liyyah (kalimat yang 105
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
menggunakan kata kerja) menunjukkan arti tajaddud (baru) dan huduts (temporal). Masingmasing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bias ditempati oleh yang lain. Misalnya, tentang infaq yang diungkap kan dengan jumlah fi‟liyyah, seperti ayat, “Alldzina yunfiquna fi as-srra‟ wa ad-dharra‟” (Ali Imran: 134). Tidak diungkapkan dengan menggunakan kata “al-munfiqun”. Akan tetapi, dalam masalah keimanan digunakan jumlah ismiyah, seperti dalam, “Innama al-mu‟minuna al-ladzina amanu billahi warasulihi” (Al_Hujarat:15). Masalah Athaf Athaf terbagi menjadi tiga macam: 1. Athaf „alal lafzhi (athaf kepada lafazh ), dan inilah yang pokok bagi athaf 2. Athaf „alal mahal ( atahf kepad mahal ) atau kedudukan kata. Al-kisa‟i memberi contoh dalam (Al-Ma‟idah:69) 3. Athaf „alal ma‟na (athaf kepada makna). Misalnya dalam (Al-Munafiqun : 10) Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mengathafkan khabar (kalimat berita) kepada insya‟ (bukan kalimat berita) dan sebaliknya. Sebagian besar mereka tidak membolehkan, sedang golongan yang membolehknnya, dengan dalil ayat “ wa basysyir al_mu‟minin” (Ash-shaf : 13) 106
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
Para ulama berbeda pendapat pila tentang mengathafkan kepada dua maf‟ul dari dua amil. Golongan yang membolehkan berdalil dengan ayat “Inna fis samawati wal ardhi la ayatil lil mu‟minin …. Liqaumin y‟qilun” (Al-jatsiyah :3-5) Perbedaan Antara Al-Ita’ dan Al-I’tha’ Terdapat perbedaan antara al-ita‟ dengan al-I‟tha‟ di dalam Al-Qur‟an. Menurut Al-Juwaini, lafazh “al-ita‟” lebih kuat dari “al-I‟tha‟” dalam menetapkan obyeknya (maf‟ul). Al-I‟tha‟ mempunyai pola kata muthawa‟ah (kata kerja muta‟addi yang mengandung makna “akibat/pengaruh) Fi‟il atau katakerja yang muthawi‟ lebih lemah dalam menetapkan pengaruh maknanya terhadap maf‟ul (obyek) daripad fi‟il yang tidak muthawi‟. Misalnya anda berkata: “Qatha‟tuhu fanqhata‟a” (aku memotongnya maka ia pun terpotong) Lafazh Fa’ala Lafazh “fa‟ala” digunkan untuk menunjukkan beberapa jenis perbuatan, bukan satu perbuatan saja. Jadi pemakaian lafazh ini untuk meringkas kalimat. Misalnya ayat, “Labi‟sa ma kanu yaf”alun” (Al-Ma‟idag : 79). arti lafazh yaf‟alun dalam ayat ini mencakup segala kemungkaran yang tidak mereka cegah. Lafazh Kana Lafazh Kana dalam Al-Qur‟an banyak digunakan berkena‟an dengan zat Allah dan sifat107
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
Nya. Paraahli nahwu dan yang lain berbedavpendapat tentang apakah lafazh tersebut menunjukkan arti inqitha‟ (terputus), sebagai berikut : 1. “kana” Imenunjukkan artio inqitha‟ sebab ia adalah fi‟il atau kata kerja yang memberikan arti tajaddud (kondisional) 2. Sebaliknya, “kana” tidak menunjukkan arti inqitha‟, tapi dawam ( kekal, dan terus menerus) Menurut penilitian Abu Bakar Ar-Razi penggunaan kana dalam Al-Qur‟an ada lima macam : 1. Dengan makna azali dan abadi, misalnya “Wa kanallahu „aliman hakima” (An-Nisa:170) 2. Dengan makna terputus, misalnya “Wa kana fil madinati tis‟atu rahth” (An-Naml : 48). 3. Dengan makna masa sekarang (al-hal), seperti „innash-shalata kanat „alal mu‟ninina kitaban mauquta” (Am-Nisa:103 ) 4. Demgan makna masa yang akan datang (alistiqbal) seperti ”Wa yakhafuna yauman kana syarruhu mustathira” (Ad-Dahr:7 ) 5. Dengan makna shara menjadi seperti ”Wa kana minal kafirin” (Al-Baqarah:34 ). Lafazh Kada Para ulama mempunyai beberapa madzhab tentang lafzh kada :
108
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
1. “kada” sama dengan fi‟il lainnya baik dalam hal (negatif) maupun dalam hal iitsbat (positif). 2. “kada” berbeda dengan fi‟il-fi‟il lainnya baik dalam hal pofitif maupun negatif .posotifnya adalah negative dan negatifnya adalah positif . 3. “kada” yang negative menunjukkan pada terjadinya sesuatu dengan susah payah 4. Dibedakan antara kalimat negates (nafi0 yang berbentuk mudhari‟ dan yang madhi . Yang negatiif adalah mudhari‟ menunjukkan arti negative. Namun negatif dalam madhi menunjuk kan arti positif . 5. “kadai‟ yang dinegatifkan untuk menunjukkan arti positif jika lafazh yang sesudahnya berhubungan atau berkaitan dengan lafazh yang sebelumnya . Lafazh Ja’ala “Ja‟ala” digunakan dalam Al-Qur‟an dengan bebebrapa pengertian : 1. Dengan arti samma (menanamkan), seperti ayat “ aladzina ja‟alul qur‟ana „idin” (Al-Hijr :91) . maksudnya, mereka menanakan al-Qur‟an sebagai suatu kedustaan. 2. Dengan makna awjada (mewujudkan) dengan satu maf‟ul. 3. Dengan makna perpindahan dari satu keadaan kepada keaddan lain, dan tashyir (imenjadikan), dengan dua maf‟ul. 109
Kaidah-Kaidah Penting untuk Para Mufassir
4. Dengan makna I‟tiqad (keyakinan), seperti pada ayat “Wa ja‟alu lillahi syukraka”al jinn” (Al-An‟am :100) 5. Dengan makna member hukum sesuatu atas sesuatu yang lain, baik bnar maupun batil. Lafazh la’alla dan ‘Asa “la‟alla dan „Asa” digunakan untuk makna ar-raja‟ (harapan) dan thama‟ (keinginan) dalam perkataan sesama manusia jika mereka meragukan bebebrapa hal yang masih bersifat kemungkin an , tetatpi tidak dapat memastikan mana yang terjadi diantaranya. Jika dikaitkan dengan kalam Allah, maka ada bebebrapa pendapat. 1. Menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pastiterjadi, sebab penisbatan segala sesuatu kepada Allah adalahpenisbatan yang mengandung kepastian dan keyakinan. 2. Menunjukkan makna harapan sebagaimana arti aslinya, jika dilihat dari sudut “mukhatab”. 3. Kedua lafazh itu, di banyak tempat menunjukkan ta‟lil (alasan).
110
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
PERBEDAAN MUHKAM DAN MUTASYABIL A. Pendahuluan Allah menurunkan al-furqon (Al-qur‟an) kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan untuk makhluk-makhluknya itu satu akidah yang benar dan prinsip-prinsip ajaran yang lurus dalam ayat-ayat yang jelas dan tegas karakteristiknya. Pokok-pokok agama di beberapa tempat dalam Al-qur‟an terkadang di nyatakan lafazh, ungkapan dan gaya bahasa yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sabagian yang lain dan maknanya cocok dan serasi. tak ada kontradiktif di dalamnya. Adapaun mengenai masalah-masalah cabang agama yang bukan masalah pokok, ayatayatnya ada yg bersifat umum daan samar-samar (mutasyabih) yng memberikan peluang kepada para mujtahid yang ilmunya telah memadai untuk mengembalikan kepada yang tegas 111
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
maksutnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat parsial (juz‟i) kepada yang bersifat universal (kulli). Sementara itu beberapa hati memang ada yang memperturutkan hawa nafsu, sehingga tersesat dengan ayat-ayat yang mutasyabih. B. Muhkam dan Mutasyabih Secara Umum Menurut bahasa, muhkam berasal dari kata-kata,” hakamtu dabbah wa ahkamtu,” artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka, hakim adalah orang yang mencoba kezhaliman dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang haq dengan yang bathil dan antara kejujuran dan kebohongan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan pengertian itulah allah menyifati Al-qur‟an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana di tegaskan dalam firmannya: “Alif Lam Ra‟. (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya di muhkamkan (di kokohkan) dan di jelaskan secara rinci yang di turunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Mahatahu.” (hud:1) 112
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
Alif Lam Ra‟. Inilah ayat-ayat Al-qur‟an yang mengandung hikmah.” (Yunus:1) Al-qur‟an itu seluruhnya muhkam,” maksudnya yaitu seluruh kata-katanya kokoh, fasih dan membedakan antara yang haq dan yang bati, serta antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-„am atau makna muhkam secara umum. Tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan attasyabuh al-„amm atau mutasyabih dalam arti umum. Masing masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian scara mutlak atau umum sebagaimana di atas ini tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jika Al-Qur‟an memerintahkan suatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya di tempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya. C. Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus Khusus dalam masalah definisi muhkam dan mutasyabih, terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut: 1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. 113
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
2. Muhkam adalah ayat yang mengandung satu segi, sedang mutasyabih mengandung banyak segi. 3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur‟an dengan ayat-ayat nasikh, tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayatayat mansukh, dan asma‟ Allah dan sifatsifatNya, antara lain: “Ar-rahman itu bersemayam di atas Arsy.”(thaha:5) “Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajahNya.”(Al-Qashash:88) “Tangan Allah ada di atas tangan mereka.”(Al-Fath:10) “Dan Dia-lah yang berkuasa di atas hambahambaNya.”(Al-An‟Am:18) Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya permulaan beberapa surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakekat Hari Kemudian serta pengetahuan tentang Hari Kiamat (ilmu as-sa’ah).
114
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
D. Perbedaan Pendapat dalam Mengetahui Mutasyabih Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf (berhenti) dalam ayat,”Wama ya‟lamu ta‟wilahu illallah, warrasikhuna fil‟ilmi yaquluna amanna bihi.” Apakah kedudukan lafazh ini sebagai huruf isti‟naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya‟lamu ta‟wilahu illa Allah,” ataukah ia ma‟thuf? Sedang lafazh “wa yaquluna” menjadi hal dan waqafnya pada lafazh “war-rasikhuna fil ‟ilmi. Pendapat pertama, mengatakan “isti‟naf.” Pendapat didukung oleh sejumlah tokoh seperti ubay bin ka‟ab, ibnu mas‟ud, ibnu abbas, sejumlah sahabat, tabi‟in dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam MustadrakNya, bersumber dari ibnu Abbas, bahwa ia membaca; “wa ma ya‟lamu ta‟wilahu illa Allah, wa ar-rasikhuna fil‟ilmi yaquluna amanna bihi.” Juga dengan qira‟at Ibnu Mas‟ud, “wa innaa ta‟wilahu „indallahi wa ar-rasikhuna fi al„ilmi yaquluna amanna bihi, “ dan dengan ayat itu sendiri yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dan menyifatinya sebagai orangorang yang hatinya “condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.” 115
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
Pendapat kedua, menyatakan bahwa “wawu” sebagai huruf „athaf. Ini dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh mujahid. Pendapat ini diplih juga oleh An-Nawawi. Dalam syarah Muslim-nya ia menegaskan, inilah pendapat yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hambaNya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka. E. Kompromi Dua Pendapat dengan memahami Makna Takwil Dengan merujuk kepada makna takwil, maka akan jelas bahwa antara kedua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna: 1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin. 2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafazh-lafazh maknanya dapat dipahami. 3. Takwil adalah pembicaraan tentang substansi (hakekat) suatu lafazh.maka, takwil tentang zat dan sifat-sifat Allah ialah tentang hakekat 116
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
zat-Nya itu sendiri yang kudus dan hakekat sifat-sifatNya. Dan takwil tentang Hari Kemudin yang diberitakan Allah adalah substansi yang ada pada Hari Kemudian itu sendiri. Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah; “rasulullah mengucapkan di dalam ruku‟ dan sujudnya, “subhanaka Allhumma rabbana wa bi hamdika Allahummaghfirli.” Bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Alqur‟an, yakni firman allah, “Fa sabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kana tawwaba.” (An-nashr:3). Golongan yang berpendapat bahwa waqaf di lakukan pada lafazh “wama ya‟lamu ta‟ wilahu illallah” dan menjadikan “war rasikhuna fil „ilmi,” sebagai isti‟naf (permulaan kalimat) mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakekat yang di maksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakekat zat allah,esensi-Nya,makna nama dan sifat-Nya serta hakekat Hari Kemudian,semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri. Sebaliknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh “war rasikhuna fil „ilmi.” Dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf athaf, bukan isti‟naf, memaknai kata takwil tersebut dengan makna kedua, yaitu tafsir, sebagaimana di kemukakan Mujahid ini Ats-Tsauri 117
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
berkata,”jika di katakan, ia mengetahui tafsirnya.” Dengan pembahasan ini maka jelaslah bahwa pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara dua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil. Dalam Al-qur‟an terdapat lafazh-lafazh mutasyabih yang maknannya serupa dengan makna yang kita ketahui di dunia, akan tetapi hakekatnya jauh berbeda. Misalnya asma allah dan sifat-sifat-Nya dalam hal lafazh dan makna kulli (universal)-nya, tetapi hakekat Khalik dan sifat-sifat-Nya itu sama sekali tidak sama dengan hakekat makhluk dan sifat-sifatNya. Para ulama peneliti memahami betul makna lafazh-lafazh tersebut dan dapat membeda-bedakannya. Namun hakekatnya sebenarnya merupakan takwil yang hanya di ketahui Allah.Oleh karena itu ketika di nyatakan kepada Malik dan ulama salaf lainnya tentang makna istiwa‟ telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya (kaifiyat)nya, kita tidak mengetahui nya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid‟ah “rabiah bin abdurrahman, guru malik, jauh sebelumnya pernah berkata “Arti istiwa” sudah kita ketahui, tetapi bagaimana adalah majhul. Hanya allah-lah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasul pun hanya menyampaikan, sedang kita wajib mengimaninya.” 118
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
Jadi, jelaslah bahwa arti istiwa‟ itu sendiri sudah di ketahui tetapi caranya yang tidak di ketahui. Demikian juga halnya berita-berita dari Allah tentang hari kemudian. Di dalamnya terdapat lafazh-lafazh tang makna-maknanya serupa dengan apa yang kita kenal, akan tetapi hakekatnya tidaklah sama. Misalnya, di akhirat terdapat mizan (timbangan), jannah (taman/ surga) dan nar (api/neraka). Dan di dalam taman itu terdapat sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungaisungai madu yang di saring .” (Muhammad:15). “ di dalamnya ada tahta-tahta yang di tinggalkan, dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya) dan bantal-bantal sandaran yang tersusun dan permadani-permadani yang terhampar.”(AlGhasyiah: 13-16) Berita-berita itu harus kita yakini dan imani, di samping juga harus di yakini bahwa yang ghaib itu lebih besar daripada yang nyata, dan segala apa yang ada di akhirat adalah berbeda dengan apa yang ada di dunia. Namun hakekat perbedaan ini tidak kita ketahui karena termasuk takwil yang hanya di ketahui oleh Allah. F. Takwil yang Tercela Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian, memalingkan lafazh dari makna rajih 119
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin (ulama belakangan) secara berlebihan, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan “tangan” bagi Khaliq mengingat makhluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafazh al-yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka di takwilkanlah dengan al-qudrah.hal ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhluk pun mempunyai kekuasaan, pula. Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu betul dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun tidaklah salah dan mungkin. Sebaliknya, jika penetapan “tangan” dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafazh ini dui takwilkan, dalam arti di palingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh. 120
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
Celaan terhadap para penakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu di tujukan kepada mereka yang menakwilkan lafazh-lafazh yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.
121
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabil
122
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
LAFADZ YANG UMUM DAN YANG KHUSUS A. Pendahuluan Sitem tasyri‟ dan hukum keagamaan mempunyai sasaran yang jelas. Terkadang suatu hukum mengandung sejumlahkarakteristik yang menjadikanya bersifat umum, melipuut setiap individu atau relevan untuk semua keadaan. Dan terkadang pula sasaran itu terbatas dan bersifat khusus. Maka penjelasannya hukum yang bersifat umum, biasa nya kemudian di ikuti ucapan lain yang menjelaskan batasanya atau mempersempit cakupanya. B. Pengertian ‘Am dan bentuk umum „Am adalah lafadz yang mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. Para ulama‟ berbeda pendapan tentang makna „am, Sebagian ulama berpendapat,di makna umum dan di pergunakan secara majas pada selainya. untuk mendukung pendapatx ini mereka mengajukan sebuah argumen dari dalil123
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
dalil tekstual (nashshiyah), ijma‟ dan konstektual (maknawiyah). a. Di antara dalil-dalil nya ialah firman Allah yang artinya: “Dan Nuh berseru pada tuhannya; „Wahai Tuhan ku, sesungguhnya anak ku termasuk keluarga ku , dan sesungguhnya janjimu itulah yang benar . Dan engkau adalah hakim paling adil .‟Allah berfirman ;‟Hai Nuh sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan di selamatkan).” (Hud : 45-46). Dalam ayat ini Allah membenarkan apa yang di katakan Nuh , karena itu Allah menjawab dengan sesuatu perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya idhafah (penyandaran). Kata “Keluarga” kepada “Nuh” tidak menunjukkan makna umum , maka jawaban Allah tersebut tidak benar. b. Di antara dalil-dalil ijmaiyah, yakni yang menjadi ijma‟ sahabat bahwa firman Allah SWT yang artinya : seorang dari keduanya seratus kali deraan.” (An-ur:2) juga Ayat , “ Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri ,potonglah tangan keduanya.” (Al-Maa‟idah: 38) . dan lain sebagainya , adalah bermakna umum , berlaku dan dapat di terapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri . 124
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
c. Di antara dalil-dalil ma‟nawiyah ialah bahwa makna umum itu dapat di fahami dari penggunaan lafazh-lafazh syarat , istifham (pertanyaan) dan maushul. Tanpa lafazh-lafazh ini apa yang di maksud tidak akanterlintas dalam benak untuk memahaminya. Kita dapat menangkap adanya perbedaan antara kata kull (seluruh) dengan ba‟dh (sebagian). Seandainya kull tudak menunjukkan arti umum , tentulah perbedaan itu tidak terwujud. Atas dasar ini maka makna umum itu mempunyai bentuk-bentuk (shigat) tertentu yang menunjukkan, di antaranya: 1) Kull , seperti ayat (setiap yang memiliki jiwa pastiakan merasakan mati) dalam Al Imran:185 dan firman Allah dalam “Allahu khaliqu kulli syai‟”, (Allah adalah pencipta segala sesuatu) (Al-an‟am: 102). Yang semakna dengan “kull” adalah kata “ jami‟” 2) Lafazh-lafazh yang di dengan “Al” yang bukan Al-ahdiyah . Misalnya ,dalam ayat “Walashri innal insane lafi khurs”(Al-ashr:1-2) , Maksudnya , setiap manusia ,berdasarkan ayat selanjutnya (Al-ashr:3) , juga seperti ayat “Illalladziina amanu” (Al-baqarah:275) dan “Waahallallahu al ba‟I”. (Al-maa‟idah :125). 125
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
3) Isim nakirah dalam konteks nafi dan nahi, seperti dalam, “Fala rafatsa wala fusuqa wala jidala fi al-haj” (al-baqarah 2: 197), “Fala taqullahuma uffin.” (al-isra : 23 ). Atau dalam konteks syarat, sepeti,” wala in ahadun minal-musyrikina…” (at-taubah :6) 4) Alladzi dan allati serta cabang-cabangnya. Misalnya dalam ayat “al-ahqaf:107) maksudnya, setiap orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan firman sesudahnya dalam bentuk jamak, yaitu dalam ulaaikal ladzina haqqa „alaihim al-qaul” (al-ahqaf:18) atau “ walladzina ya‟tiyanaha minkum fa adzuhuma” ( An-niisaa‟: 16), dan ayat “walla‟I ya „isna minal mahadi min……..hamlahunn” (at-thalaq:4) 5) Semua isim syarat. Misalnya dalam ayat” faman hajjal baita awi‟tamara fala junaha‟alaihi an yaththawwafa bihima” (al-baqarah: 158). Ini menunjukkan umum bagi semua yang berakal. 6) Ismu al-jins (kata jenis) yang didasarkan pada isim ma‟rifat. Misalnya dalam ”falyahdzarilladzina yukhalifuna „an amrih” (An-nur:63). Maksudnya, segala perintah Allah. Dan juga dalam “yushikiumullahu fi auladikum” (An-nisaa‟ : 11) C. Macam-macam lafazh umum Lafazh yang bersifat umum terbagi tiga macam, yaitu: 126
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
Pertama: umum yang tetap dalam keumumannya (albaqi „ala „umumihi). Al-qadhi jalaludin al-balqini mengatakan ( umum yang seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada tidak ada satu pun lafadz „am (umum) kecuali didalam takhsis (pengkhususan). Tetapi Azarkasyi dalam al-burhan mengemukakan,” umum yang demikian banyak terdapat dalam Alqur‟an. Kedua: umum teteapi yang dimaksud adalah khusus (al-„am al-murad bihi al-khusushh). seperti firman Allah dalam “alladzina qala lahumunnasu innan-nasa qad jama‟u lakum kakhsyakuhum” (Ali-imran : 173) yang dimaksu denga “An-nas” yang petama adala nu‟aim bin mas‟ud, dan “An-nas” yang kedua adalah abu sufyan” kedua lafasz tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum. Kesimpulan ini ini ditunjukkan lanjutan ayat sesudahnya (innama dzalikum asy-syaithan),sebab isyarah dengan (dzalikum) hanya menunjuk pada satu orang tertentu. Seandainya yang dimaksud adalah banyak orang,jamak, tentulah akan dikatakan (innama ulaikum asy-syaithan). Ketiga; umum yang dikhususkan (al-„am almakhsush). Umum seperti ini banyak ditemukan dalan Al-qur‟an sebagaiman akan diemukan nanti. diantaranya adalah ayat “wa kulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaitul abyadhu mina khatil aswadi minal fajr” (Al-baqarah ; 187), dan 127
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
“walillahi‟alan-nasi hijjul baiti manisthatha‟a ilaihi sabila”(ali-imran:97) D. Perbedaan antara lafadh umum yang bermakna khusus denga lafadh umum yang dikhususkan Perbedaan antara lafadh umum yang bermakna khusus (al-„am al-murad bihil khushush) dengan lafadh umum yang dikhususkan dapat dilihat dari berbagai sisi, yang terpenting antara lain: 1. Yang pertama (al-„am al-murad bihil khushush), tidak dimaksudkan untuk mencakup semuan satuan atau individu yang dicakup sejak semula, baik dari cakupan makna lafadh maupun dari hukumnya. Lafadh tersebut memang mempunyai individu-individu namun ia digunaka hanya satu atau lebih individu. Sedang yang kedua dimaksudkan umtuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi lafadh,tidak dari segi hukumnya. 2. Yang pertama (al-„am al-murad bihil khushush) dapat dipastikan mengandung majas, karena ia telah beralih dari mkana aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuansatuannya saja. Sedang yang kedua, menurut pendapat yang lebih shahih,adalah hakekat. 3. Qorinah (ciri) bagi yang pertama pada umumnya bersifat rasional („aqliyah) dan tidak pernah terpisah, sedan ciri bagi yang kedua 128
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
bersifat hanya lafzhiyah dan terkadang terpisah. E. Pengertian Khas dan Mukhashshish Khas (khusus) adalah lawan kata „am, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan . Takhshish adalah mengeluarkan sebagian apa yang di cakup lafazh „am. Dan mukhashish (yang mengkhususkan) terkadang muttasil (antara „am dengan mukhashish tidak di pisah) oleh sesuatu hal , tetapi juga ada kalanya munfasil ,kebalikan dari muttasil. Muttasil ada lima macam: 1. Istishna‟ (pengecualian) , seperti dalam “Walladzina yarmunal muhshanati tsumma lam ya‟tu bi arba‟ati syuhadaa‟a fajliduhum tsamanina jalbatan wala taqbalu lahum syahadatan abada, wa ulaahumul fasiqun , illaladzina tabu…” (An-nur: 4-5) . 2. Menjadi sifat, misalnya dalam ”Wa rabba‟ibukumul-lati fi hujurikum min nisaa‟ikumul-ati dakhaltum bihinna” (An-nisa‟ : 23), lafazh “Allati dakhaltum bihinna” adalah sifat bagi lafazh “nisa‟ikum” . 3. Menjadi syarat, misalnya dalam “Kutiba alaikum idza hadhara ahada kumul mautu In taraka khairan al- washiyyatulil walidaini wal aqrabina bil ma‟ruf haqqan „alal muttaqin” (Al-Baqarah: 180). Lafazh “In taraka khairan” yakni meninggalkan harta adalah syarat dalam wasiat. 129
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
4. Sebagai ghayah (batas sesuatu), seperti dalam “wala tahliku ru‟usakum hatta yablughal hadyu mahillah” (Al-baqarah: 196 dan 222) . 5. Sebagai badal ba‟dh min kull (pengganti sebagian dari keseluruhan) . Misalnya dalam " Wa lillahi „alan nasi hijjul baiti manistatha‟a adalah badal dari “An nas” , maka kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu . Adapun mukhashish munfashil adalah mukhashish yang terdapat di tempat lain,baik ayat ,hadist ,ijma‟, atau pun qiyas. Contoh yang di takhsish leh Al-quran ialah “Wal muthallakaqatu yatarabbshnha bi anfushina tsalatsata quru” (Albaqarah : 228) Beberapa dalil yang di takhsish oleh hadits ialah seperti “Wa ahallallahul bai‟a wa harramar riba” (Al-baqarah : 275) . Ayat ini di takhsish oleh jual beli yang fasid sebagaimana dalam sejumlah hadits. Antara lain di sebutkan dalam kitab Shahih Al-bukhari dari Ibnu Umar ,ia berkata , “Rasulullah shallalllahualaihi wasallam” melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan .” Contoh „am yang di takhsish oleh ijma‟ adalah ayat tentang warisan , seperti “Yushikumullahu fi auladikum lidz-dzakari mitslu hazhzil untnsayain” (An-nisaa : 11). Berdasarkan ijma‟ , budak tidak mendapat warisan kaarena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris . 130
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
Sedangkan yang di takhsish oleh qiyas adalah ayat tentang zina dalam “Az zani yatu waz zani fajlidu kulla wahidin minhuma mi‟ata jaldah “ (An-nur : 2) . budak laki-laki di takhsiskan dengan cara di qiyaskan kepada budak perempuan . pentakhsisannya di tegaskan dalam “Fa „alaihinna nishfu ma „alal mushanati miinal adzab “ (An-nisaa : 25). F. Mengkhususkan (Takhshsish) As-sunnah dengan Al-Quran Terkadang ayat Al quran mengkhusukan keumuman As-sunnah . para ulama mengemukakan contoh dengan hadits riwayat Abu Waqid Al-Laitsi Radhiyallahu Anhu ,kayanya , Nabi berkata, “bagian apa saja yang di potong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai” Hadist ini di takhsish oleh ayat : “Dan (dijadikan –nya pula) dari bulu domba ,bulu unta dan bulu kambimg,alat-alat rumah tangga dan perhiasan(yang kamu pakai) sampai waktu(tertentu).”(An-nahl:80) G. Boleh beradil dengan dalil yang umum sesudah ia ditakhshish Para ulama berbeda pendapat tentang sahtidaknya berhujjah dengan lafazh yang umum sesudah ia ditakhshish. mereka mengajukan argumentasi berupa ijma‟,dan dalil „aqli untuk menunjukkan hal itu. 131
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
1. Diantara dalil ijma‟ ialah bahwa Fatimah Radilaalahuanha menuntut kepada abu bakar radilaahuanhu hak waris dari ayahnya berdasarkan keumuman ayat, yang artinya , “Allah mewasiatkan kalian (untuk memberikaan warisan) kepada anak-anak kalian,(dimana) anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak permpuan” (An-Nisa‟:11) Padahal ayat ini telah ditakhshish dengan orang kafir dan orang yang membunuh (maksudnya anak yang kafir atau membunuh pewarisnya tidak berhak mendapatkan warisan-Edt). 2. Di antara dalil „aqli ialah bahwa mennurut ijma‟ ulama‟ lafazh umum sebelum di takhsish menjadi hujjah dengan semua bagian yang di kandungnya . H. Yang tercakup dalam dalil yang khusus Para ulama berbeda pendapat tentang khithab (seruan) yang di tunjukan secara khusus kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam ,seperti dhalil yang artinya , “wahai nabi takutlah kepada Allah dan jangan lah engkau menaati orang-orang kafir dan munafik.” (Al-ahzab : 1) 1. Segolongan ulama berpendapat ,ini mencakupseluruh umat karena Rasulullah adalah qudwah (panutan) bagi mereka. 2. Golongan lain berpendapat bahwa ini tidak mencakup mereka, karena lafazh nya 132
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
menunjukkan kekhususan nya bagi Rasulullah saja. Sementara itu ulama yang lain merincikan, katanya ;jika di sertai kata “qul” (katakanlah) maka ia tidak mencakup Rasul, karena secara dhohir khitab tersebut untuk di sampai kan (kepada umatnya). Dan jika tidak di sertai dengan “qul” , maka ia juga mencakup Rasulullah hu alaihi wasallam . Demikian juga terjadi silang pendapat tentang khithab yang di tujukan kepada “manusia” atau kepada “orang-orang mukmin” misalnya dhalil ini yang artinya: “Wahai sekalian manusia ! sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari pria dan wanita , dan kami jadikan kalian ber bangsa-bangsa dan bersukusuku agar kalian saling mengenal“ (Al-hujurat : 13) Menurut pendapat yang kuat khitab jenis pertama , juga mencakup orang mukmin, orang kafir, hamba sahaya, dan perempuan. adapun khitan jenis kedua hanya mencakup dua golongan terakhir di samping orang mukmin laki-laki tentunya, sebab hukum itu di bebankan kepada semua orang mukmin. Jika khitab mencakup biasa laki-laki (mudzakar) dan perempuan (mu‟annas) , maka biasanya khitab itu menggunakan bentuk mudzakar. dan kebanyakan khitab Allah dalam Alquran memang dengan bentyk lafazh mudzakar, tetapi perempuan pun termasuk di dalamnya. 133
Lafadz yang Umum dan yang Khusus
134
Nasikh dan Mansukh
NASIKH DAN MANSUKH } A. Pengertian Naskh dan syarat- syaratnya Naskh menurut bahasa di pergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Di dalam AlQur‟an di katakan: “Sesungguhnya kami menyuruh untuk menasakh apa dahulu kalian kerjakan.” (AlJatsiyah: 29). Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran- lembaran catatan amal. Nasakh menurut istilah nasakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara‟ dengan dalil hukum syara‟ yang lain”. Segala sesuatu hukum asalnya boleh. Kata Nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah (Yang menghapus hukum itu). Mansukh adalah hukum yang di angkat atau di hapuskan. Maka ayat- ayat mawarits atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (Nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat 135
Nasikh dan Mansukh
sebagaimana akan dijelaskan. Di dalam nasakh diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Hukum yang Mansukh adalah hukum syara‟. 2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khibah syar‟i yang datang lebih kemudian dari khitbah yamg hukumnya di mannsukh. 3. Khitbah yang di hapuskan aau di angkat hukumnya tidak di batasi dengan waktu, sebab jika tidak. B. Beberapa Cara untuk Mengetahui Nasikh dan Mansukh 1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat 2. Ijma‟ ummat bahwa ayat ini Nasikh dan yang itu Mansukh 3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan, berdasarkan sejarah. Nasikh tidak dapat di tetapkan berdasarkan para ijtihad, pendapat mufassir atau kontradiksi dalil- dalil secara lahiriyah, atau terlambatnya ke islaman salah seorang dari dua perawi. C. Jenis-jenis Nasakh Nasakh ada 4 bagian: 1. Nasakh Al Qur‟an dengan Al Qur‟an 2. Nasakh Al Qur‟an dengan sunnah. Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Qur‟an dinasakh dengan dalil sunnah. Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna‟ terbagi dua, yaitu: a. Nasakh Al Qur‟an dengan hadits ahad 136
Nasikh dan Mansukh
Jumhur berpendapat, Qur‟an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al Qur‟an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma‟lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga) b. Nasakh Al Qur‟an dengan hadis mutawatir Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 34. Artinya ”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya “Dan kami turunkan kepadamu Qur‟an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan. Sementara itu Asy Syafi‟I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, 137
Nasikh dan Mansukh
berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106. Terjemahan: Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya, sedang hadits menurut ulamaulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al Qur‟an. Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al Qur‟an dengan sunnah, karena Al Qur‟an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama. 3. Nasakh Sunnah dengan Al- Qur‟an. 4. Nasakh Sunnah dengan sunnah. D. Macam- macam Nasakh dalam Al- Qur’an Nasakh dalam Al- Qur‟an ada tiga macam: 1. Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap Misalnya hukum „iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam surah Al Baqarah ayat 240 ditetapkan „iddahnya selama satu tahun, kemudian dinasakh menjadi hanya empat bulan sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah Al Baqarah ayat 234 138
Nasikh dan Mansukh
(ayat 240 turun lebih dahulu daripada ayat 234). Lalu timbul pertanyaan. Apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al Qur‟an di samping dibaca untuk diketahui makna dan diamalkan hukumnya, juga Al Qur‟an sebagai Kalamullah yang membacanya mendapat pahala.(2) Pada umumnya nasakh itu untuk meringankan, sehingga dengan tetapnya tilawah dan terus dibaca untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah) dari hukum yang dihapus. 2. Nasakh Hukum dan Tilawah Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus sehingga ayatnya maupun hukumnya sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan hukum baru pada ayat AlQur‟an. Bentuk ini menurut sebagian besar ulama tidak terdapat dalam Al Qur‟an, karena ayatayat Al Qur‟an sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, hingga wafat beliau, bahkan hingga sekarang, tidak ada yang berubah atau berkurang. Nasakh hukum dan tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci terdahulu, yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah dinasakh Al Qur‟an. Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh hukum dan tilawahnya ini ada juga dalam Al Qur‟an 139
Nasikh dan Mansukh
seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa perawi hadits lain, dari Aisyah, ia berkata: ”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui itu menjadikan muhrim(haram dinikahi), kemudian dinasakh oleh lima susuan yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat „lima susuan‟ ini termasuk ayat Al Qur‟an yang baca”. Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat Qur‟an yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. Tilawahnya itu telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya. 3. Nasakh Tilawah Sedang Hukumnya Tetap Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat dalam Al Qur‟an, tetapi terdapat antar kitab-kitab suci terdahulu. Dalam fiqih ada istilah yang disebut”Syar‟un man qablana”yaitu syari‟at orang-orang sebelum kita. Hukum syari‟at itu masih kita 140
Nasikh dan Mansukh
lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan bagi anak laki-laki sebelum usia balig, tetapi ayat yang mewajibkan khitan pada kitab-kitab suci terdahulu sudah tidak perlu kita baca lagi, tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh tilawah tetapi hukumnya tidak dinasakh ada juga dalam Al Qur‟an, yaitu tentang hukum rajam, ayat yang telah dinasakh dan kini tidak terdapat dalam Al Qur‟an, yaitu: “Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya dirajam kedua orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. E. Hikmah Nasakh 1. Memelihara kemaslahatan hamba. 2. Perkembangan tasyri‟ menuu tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia. 3. Coba‟an dan ujian bagi seorang mukalaf apakah mengikutinya atau tidak. 4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. F. Nasakh dengan Pengganti dan tanpa Pengganti Nasakh itu ada kalanya disertai dengan badal (pengganti) dan ada pula yang tanpa badal. Nasakh dengan badal terkadang badalnya itu 141
Nasikh dan Mansukh
lebih ringan, sebanding dan terkadang pula lebih berat. G. Syubhat- syubhat dalam Penentuan Nasakh Nasikh dan Mansukh mempunyai contoh cukup banyak, namun sikap paa ulama‟ dalam hal ini berbeda- beda, ada yang berlebih- lebihan dan ada yang berhati- hati. H. Contoh- contoh Nasakh As-Suyuti menyebutkan beberapa contoh ayat nasakh: a. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :184. Terjemahan: “Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah….” Ayat ini dinasakh oleh: Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :185 “Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa…..” Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah bin Akwa, “ ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 184, maka orang yang ingin tidak berpuasa, ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasakhkannya”. Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidak Mansukh. Bukhari meriwayatkan dari „Ata‟, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: “Dan bagi 142
Nasikh dan Mansukh
mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, memberi makan seorang miskin.” Ibn Abbas mengatakan, ayat ini tidak diMansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa.Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka makna yatikuwnahu bukanlah yastatiyuwnahu (sanggup menjalankanya). Tetapi maknanya ialah “mereka sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan diri”. b. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 240 “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma‟ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240) Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234 Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan 143
Nasikh dan Mansukh
dirinya (ber‟iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa „iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. AlBaqarah /2:234).
144
Muthlaq dan Muqayyad
MUTHLAQ DAN MUQAYYAD } A. Pengertian Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan satu hakikat (dalam suatu kelompok) tanpa sesuatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk kepada satu dzat tanpa ditentukan (yang mana) daari (kelompok) tersebut. Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya lafad raqabah (seorang budak) dalam ayat: “fatahriru raqabatin”. Di sini mencakup memerdekakan manusia yang di miliiki, yaitu budak apapun jenisnya, baik dari kalangan muslim atrau kafir. 1. Menurut Khudhari Beik, Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi. 2. Menurut Abu Zahrah, Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau 145
Muthlaq dan Muqayyad
sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. 3. Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa. Adapun Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayyid (batasan), seperti kata- kata “raqabah”(budak) yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat, “Maka hendaklah pembunuh itu memerdekakan budak yang beriman” (An- Nisa’: 92) B. ketentuan Mutlaq dan muqayyad Apabila lafadz itu Mutlaq, maka mengandung ketentuan secara Mutlaq (tidak di batasi). Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad (dibatasi). Maksudnya lafadz Mutlaq harus diartikan secara Mutlaq dan lafadz muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur adukkan satu dengan lainnya. Maka dengan sendirinya hukumnya pun harus berbeda. C. Pembagian Muthlaq, Muqayyad dan Hukumnya Apabila nash hukum datang dengan bentuk Mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat bentuk di dalamnya, yaitu: 146
Muthlaq dan Muqayyad
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam Mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad,maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqayyad. Seperti “puasa” untuk kaffarah sumpah Di ungkapkan secara Mutlaq, yang di terangkan dalam surat Al- maidah: 89. Terjemahan: “Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffarahnya puasa selama 3 hari, yang demikian itu adalah kaffarah sumpahsumpahmu bila kamu bersumpah, lalu kamu langgar..” “Puasa” itu muqayyad atau di batasi dengan “at- tatabu” yaitu berturut- turut, seperti dalam qira’ah Ibnu Mas’ud: “Maka kaffarahnya adalah berpuasa selama 3 hari berturut- turut”. Disini, pengertian lafadz yang Mutlaq ditarik kepada yang muqayyad, karena “sebab” yang satu (dalam hal ini kafarah sumpah) tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan (yaitu puasa secara Mutlaq dan puasa yang dilakukan berturut-turut). 2. Jika sebab yang ada dalam Mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang Mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad. Contoh: a. Ayat Mutlaq 147
Muthlaq dan Muqayyad
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu: “Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…” Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk Mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan. b. Ayat Muqayyad: Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…” Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka 148
Muthlaq dan Muqayyad
berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku. Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat Mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat Mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat Mutlaqtidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Ada yang berpendapat, lafadz yang Mutlaq tidak di bawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al- Ghozali menukil dari mayoritas ulama’ Syafi’iyah bahwa Mutlaq di sini bisa di bawa kepada muqoyyad karena “sebab”nya sama sekalipun berbeda hukumnya. 3. Jika sebab yang ada pada Mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang Mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqoyyad. Contoh: 149
Muthlaq dan Muqayyad
a. Mutlaq Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya. Terjemahan: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.” Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk Mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak. b. Muqayyad Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu : “..........Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk 150
Muthlaq dan Muqayyad
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya samasama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat Mutlaq berjalan berdasarkan keMutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya. Ada dua bentuk dalam hal ini: 1) Taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam hal kaffarah . Budak yang di bebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kaffarah pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman : “dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaknya ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.....” 2) Taqyid atau pembatasannya berbeda. Misalnya: puasa kaffarah” ia di taqyidkan dengan berturut- turut dalam kaffarah pembunuhan. 151
Muthlaq dan Muqayyad
Lafadz yang Mutlaq dalam hal ini tidak boleh dibawa kepada muqayyad, sebab qoyyid (pembatas)nya berbeda- beda dan membawa Mutlaq kepada salah satu dua muqoyyad itu merupakan tarjih atau menguatkan sesuatu tanpa ada penguat. 4. Jika sebab dan hukum yang ada pada Mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. a. Mutlaq Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38. Terjemahan: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk Mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong. b. Muqayyad Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka 152
Muthlaq dan Muqayyad
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku. Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama berbentuk Mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang Mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkena’an masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dapat disimpulkan bahwa yang Mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad. Jadi, hubungan antara Mutlaq dan muqayyad ada empat: 1) Persamaan hukum dan sebab, maka yang Mutlaq harus di ikutkan pada yang muqayyad. 2) Persamaan hukum dan berlainan sebab, maka yang Mutlaq tidak bisa diikutkan pada yang muqayyad.
153
Muthlaq dan Muqayyad
3) Perbedaan hukum dan sebab, maka yang Mutlaq boleh diikutkan pada yang muqayyad. 4) Perbedaan hukum dan sebab, maka yang Mutlaq tidak boleh diikutkan pada yang muqayyad. Menurut penulis kitab Al- Burhan, jika terdapat dalil bahwa Mutlaqh telah di batasi, maka yang Mutlaq di bawa kepada muqoyyad. Namun jika tidak terdapat dalil, maka Mutlaqh tidak boleh di bawa kepada muqoyyad. Ia tetap dalam keMutlaqkannya dan yang muqoyyadpun tetap dalam keterbatasannya. Sebab Allah berkomunikasi kepada kita dengan bahasa arab. Apabil Allah telah menetapkan sesuatu (hukum) dengan sifat atau syarat, kemudian terdapat pula ketetapan lain yang bersifat Mutlaqh, maka mengenai yang Mutlaq itu harus di pertimbangkan. Jika ia tidak mempunyai hukum pokok, yang kepadanya ia di kembalikan, selain dari hukum yang muqoyyad, maka ia wajjib di taqyidkan dengannya. Tetapi jika mempunyai hukum pokok yang lain selain muqoyyad, maka mengembalikannya kepada salah satu dari keduanya tidak lebih baik daripada mengembalikan kepada yang lain.
154
Kemukjizatan al-Qur’an
KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN } A. Pengertian Mukjizat Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat. Menurut istilah Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain. Sebagimana Allah berfirman:
155
Kemukjizatan al-Qur’an
“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31) Maksud kumukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk melemahkan manusia atau menyadarkan mereka atas kelemahanya untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an dan Rasul yang membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu yang dibawa oleh mereka hanya sekedar menyampaikan risalah Allah SWT, mengkhabarkan dan menyerukan. Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah: 1. Hal atau peristiwa yang luar biasa Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas. 2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi. 156
Kemukjizatan al-Qur’an
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash. Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatan. Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi). Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalannya. Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini. 3. Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya 157
Kemukjizatan al-Qur’an
bahwa “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj 4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya. B. Macam-macam Mukjizat Secara garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis, dan dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka menyampaikan risalahnya. Perahu Nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat. Tidak terbakarnya Nabi Ibrahim a.s dalam kobaran api yang sangat besar; berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s. menjadi ular; 158
Kemukjizatan al-Qur’an
penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain, kesemuanya bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW, yang sifatnya bukan indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana dan kapanpun. Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok: 1. Para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad yang diutus seluruh umat manusia sampai akhir zaman sehingga bukti ajaranya harus selalu ada dimana dan kapanpun berada. 2. Manusia mengalami perkembangan dalam pemikiranya. Umat para Nabi khususnya sebelum Nabi Muhammad membutuhkan bukti kebenaran yang sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah manusia 159
Kemukjizatan al-Qur’an
mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. C. Bukti Historis Kegagalan Menandingi AlQur'an Al-Qur'an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menantang orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak mempercayai kebenaran Al-Qur'an sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka, sungguhpun memiliki tingkat fashahah dan balaghah yang tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi memintanya untuk menandingi Al-Qur'an dalam tiga tahapan: 1. Mendatangkan semisal Al-Qur'an secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Isra (17) ayat 88: “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian lain.” (Al-Isra (17): 88) 2. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud (11) ayat 13 berikut
160
Kemukjizatan al-Qur’an
“Bahkan mereka mengatakan, Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu. “ Katakanlah, kalu demikian, maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat menyamai, dan panggilah orangorang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar” (Q.S. Hud [11]: 13) 3. surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an, sebagaimana dijelaskan oleh surat Al-Baqarah (2) ayat 23: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kami orang-orang yang benar” (QS. Al Baqarah (2): 23) Sejarah telah menunjukan bahwa jawaban orang-orang Arab ternyata gagal menandingi AlQur'an. Inilah beberapa catatan sejarah yang memperlihatkan kegagalan itu: 1. Pemimpin Quraisy pernah mengutus Abu AlWalid, seorang sastrawan ulung yang tiada bandingannya untuk membuat sesuatu yang mirip dengan Al-Qur'an ketika Abu Al-Walid berhadapan dengan Rasulullah SAW. Yang membaca surat Fushilat, ia tercengang mendengar kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-Qur'an dan ia pun kembali pada kaumnya dengan tangan hampa.
161
Kemukjizatan al-Qur’an
2. Musailamah bin Habib Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi juga pernah berusaha mengubah sesuatu yang mirip dengan ayatayat Al-Qur'an. Ia mengaku bahwa dirinyapun mempunyai Al-Qur'an yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh Malaikat yang bernama Rahman. Di antara gubahangubahannya yang dimaksudkan untuk mendandingi Al-Qur'an itu adalah antara lain: “Hai katak, anak dari dua katak. Bersihkan apa saja yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah”. Ketika itu pula, ia merobek-robek apa saja yang telah ia kumpulkan dan merasa malu tampil di depan khalayak ramai. Setelah peristiwa itu ia mengucapkan kata-katanya yang masyhur: “Demi Allah, siapapun yang tidak akan mampu mendatangkan yang sama dengan Al-Qur'an.” D. Segi-segi Kemukjizat Al-Qur'an 1. Gaya Bahasa Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu merasa kagum dan terpesona, bukan saja orang-orang mukmin, tetapi juga bagi orang-orang kafir. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk Islam. Bahkan, Umar bin Khattab pun yang mulanya dikenal sebagai orang yang paling memusuhi nabi Muhammad SAW, dan bahkan berusaha 162
Kemukjizatan al-Qur’an
membunuhnya, memutuskan masuk Islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat AlQur-an. Susunan Al-Qur-an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apa pun. 2. Susunan Kalimat Kendatipun Al-Qur-an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabiu, terapi uslub (style) atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur-an jauh lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan dengan lainya. Al-Qur-an muncul dengan uslub yang begitu indah. Didalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akan pernah ada ucapan manusia. 3. Hukum Illahi yang Sempurna Al-Qur-an menjelaskan pokok-pokok aqidah, norma-norma keutamaan, sopansantun, undang-undang ekonomi, politik, sosial, dan kemasyarakatan, serta hukumhukum ibadah. Al-Qur-an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum, yakni: a. Secara global Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perincianya diserahkan kepada ulama melalui ijtihad. 163
Kemukjizatan al-Qur’an
b. Secara terperinci Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan. 4. Ketelitian Redaksinya Ketelitian redaksi Al-Qur-an bergantung pada hal berikut: a. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya. c. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya. d. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya. e. Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbang khusus 5. Berita tentang Hal-hal yang Gaib Sebagaimana ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur'an itu adalah berita gaib. Salah satu contohnya adalah Fir’aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa. Hal ini, diceritakan dalam surat Yunus (10) ayat 92: “Maka pada hari Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang164
Kemukjizatan al-Qur’an
orang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan Firaun akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896 di lembah raja-raja Luxor Mesir, seorang ahli purbakala Loret menemukan satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia Firaun yang bernama Muniftah yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. selain itu pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Firaun tersebut. Apa yang ditemukannya satu jasad utuh, seperti yang diberitakan Al-Qur'an melalui Nabi yang ummy (tidak pandai membaca dan menulis) 6. Isyarat-isyarat Ilmiah Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dala Al-Qur-an misalnya: a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Terdapat dalam Q.S. Yunus [10]: 5. b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakan napas, hal ini terdapat pada surat Al-An’am [6]: 25 165
Kemukjizatan al-Qur’an
c. Perbedaan sidik jari manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]: 4 d. Aroma/bau manusia berbeda-beda. Terdapat dalam surat Yusuf [12]: 94 e. Masa penyusuan yang tepat dan kehamilan minimal. Terdapat dalam surat Al-Baqarah [2]: 233 f. Adanya nurani (super ego) dan bawah sadar manusia. Terdapat dalam surat AlQiyamah [75]: 14 g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]: 4
166
Amtsal Al-Qur’an
AMTSAL AL-QUR’AN } A. Pengertian Amtsal Al-Qur’an Al-Qur’anul karim sebagai kitab pedoman berisi berbagai pembahasan bermanfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam segala kondisi. Misalnya, dalam metode pembelajaran dan cara menanamkan sebuah nilai dalam hati seseorang. Metode yang dipakai adalah metode yang simpel dan paling jelas. Diantara metodenya yaitu dengan membuat perumpamaanperumpamaan. Metode ini dipakai untuk menyampaikan masalah-masalah yang sangat urgen dan krusial, seperti masalah tauhid dan kondisi orang-orang yang mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , masalah syirik dan kondisi kaum musyrik, dan berbagai amalan besar lainnya. Tujuannya tentu untuk memahamkan dan menanamkan nilai-nilai luhur yang abstrak dengan cara menggambarkannya dengan sesuatu yang kongkrit sehingga seakan-akan terlihat mata. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi seorang hamba 167
Amtsal Al-Qur’an
untuk memperhatikannya dan berusaha untuk memahami maksud perumpamaanperumpamaan itu. Menurut supiana dan karman (2002: 253), kata Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Adalah kata matsal, mitsl dan matsil serupa dengan syabah, syibh, dan syabih, baik lafazh maupun maknanya. Amtsal dalam sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Contohnya, “rubba ramiyah min ghairi ramin”, maksudnya berapa banyak musibah diakibatkan oleh kesalahan pemanah. Orang yang pertama mengatakan seperti ini adalah Hakam bin Yaghust Al-Naqri, membuat perumpamaan orang yang salah dengan musibah walaupun kadangkadang benar. Amtsal juga digunakan untuk mengungkapkan suatu keadaan dan kisah yang menakjubkan. Dengan makna inilah lafazh Amtsal ditafsirkan dalam banyak ayat. Seperti “Perumpamaan surga yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah: ada padanya beberapa sungai dari air yang tidak berubah (rasa dan baunya), dan beberapa sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, serta beberapa sungai dari arak yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan juga beberapa sungai 168
Amtsal Al-Qur’an
dari madu yang suci bersih. Dan ada pula untuk mereka di sana segala jenis buahbuahan, serta keredaan dari Tuhan mereka...” (QS. Muhammad: 15). Ada juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau metafor. Ibnu Qayyim (dalam Manna Kholil, 1992 : 400), dalam masalah Amtsal dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya kemiripan. Al-Qur’an secara terminologi menurut Drs. Anwar Rosihin, M.Ag beliau berkata bahwasannya ilmu amtsal AlQur’an adalah ilmu yang menerangkan perumpamaan Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan AlQur’an (2008: 28). Menurut Syahidin (2009 : 78), di dalam AlQur’an ditemukan 165 tempat yang memakai kata amtsal (permisalan / perumpamaan) sebagai adat tasybih (alat untuk mengumpamakan) dan masih banyak adat tasybih lain yang menunjukan perumpamaan.
169
Amtsal Al-Qur’an
B. Tujuan Amtsal Al-Qur’an Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari amtsal Al-Qur’an. Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat amtsal Al-Qur’an maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin dihindari. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Az-Zumar ayat 27. Mengenai kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an, Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah: “(Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah keharamannya; ikutilah muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah pelajaran dari amtsalnya).” Dari dalil al-Qur’an dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal al-Qur’an adalah sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia terbimbing menuju jalan yang benar demi meraih kebahagiaan hidup dunia maupun
170
Amtsal Al-Qur’an
akhirat. Menurut izzan (2007: 240) ada beberapa ciri-ciri Amtsal khusus dan terperinci yaitu. 1. Mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas, konkret dan berkesan. 2. Amtsal memiliki kesejajaran antara situasi perumpamaan yang dimaksud dan padanya. 3. Adanya keseimbangan (tawazun) antara perumpamaan dan keadaan yang dianalogikan. C. Ciri-Ciri Amtsal Al-Quran Adapun ciri-ciri amtsal Al-Quran, yaitu: 1. Mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas, konkret, dan berkesan. 2. Amtsal memiliki kesejajaran antara situasisituasi perumpamaan yang dimaksud dan padannya. 3. Ada keseimbangan (Tawazun) antara perumpanaan dan keadaan yang dianologikan D. Unsur-unsur Amtsal Al-Qur’an Sebagian Ulama mengatakan bahwa Amtsal memiliki empat unsur, yaitu: 1. Wajhu Syabah: segi perumpamaan 2. Adaatu Tasybih: alat yang dipergunakan untuk tasybih 3. Musyabbah: yang diperumpamakan 4. Musyabbah bih: sesuatu yang dijadikan perumpamaan. 171
Amtsal Al-Qur’an
E. Macam-macam Amtsal Al-Qur’an Secara garis besar, amtsal al-Qur’an terbagi menjadi dua. Pertama perumpamaan yang disebutkan secara jelas dan tegas. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqaan menyebutnya sebagai matsal zhahir musharrah bih. Sedangkan yang kedua disebutkan secara tersirat (matsal kaamin). Namun apabila diamati secara seksama maka amtsal al-Qur’an bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Al-amtsal al-musharrahah, yaitu perumpamaan yang jelas yang di dalamnya lafazh matsal atau yang menunjuk kepada tasybih. Amtsal jenis ini banyak terdapat dalam al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 261: Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Dalam ayat ini dijelaskan keuntungan besar bagi orang-orang yang mau berinfak dengan menyamakannya terhadap orang yang menanam 1 butir biji yang kelak menghasilkan 172
Amtsal Al-Qur’an
700 butir biji. Penyamaan pahala orang yang infak dengan hasil tanaman pada ayat ini jelas menggunakan lafazh matsal ( …). Dalam ayat ini yang disamakan adalah keuntungan. 2. Al-amtsal al-kaaminah, yaitu perumpamaan yang tidak jelas dengan tanpa menggunakan lafazh matsal atau sejenisnya, akan tetapi artinya menunjukkan arti perumpamaan yang indah dan singkat. Makna amtsal seperti ini akan mengena jika lafazh tersebut dinukilkan kepada hal yang menyerupainya. Jadi, sebenarnya dalam al-amtsal al-kaaminah alQur’an itu sendiri tidak menjelaskan bentuk perumpamaan terhadap suatu makna tertentu. Hanya saja maknanya menunjukkan pada makna suatu perumpamaan. Tegasnya amtsal jenis ini merupakan perumpamaan maknawi yang tersembunyi, bukan perumpamaan lafzhi yang jelas. Salah satu contoh al-amtsal al-kaaminah adalah sebagaimana ungkapan yang disebutkan orang Arab yang berupa (sebaik-baiknya perkara adalah tengahtengah). Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan dari beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya: Surat al-Baqarah ayat 68: 173
Amtsal Al-Qur’an
Artinya: “…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu…” Surat al-Furqan ayat 67: Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” Surat al-Israa’ ayat 29: Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” Surat al-Israa’ ayat 110: Artinya: “…Katakanlah: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” Begitu juga masih banyak ungkapan orangorang arab yang merupakan hasil perumpamaan al-Qur’an. 3. Al-amtsal al-mursalah, yaitu beberapa jumlah kalimat yang bebas yang tidak jelas tanpa menggunakan lafazh tasybih. Al-amtsal almursalah ini adalah beberapa ayat al-Qur’an yang berlaku sebagai perumpamaan. Contohnya seperti dalam surat Yusuf ayat 51: … 174
Amtsal Al-Qur’an
Artinya: “…Berkata isteri Al-Aziz: “Sekarang jelaslah kebenaran itu…” Begitu juga pada surat al-Baqarah ayat 216: … Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu…” F. Manfaat Amtsal al-Quran Di antara manfaat amtsal al-Quran ialah: 1. Menyampaikan sesuatu yang abstrak menjadi bentuk nyata sehingga pesan perumpamaan mudah diterima oleh akal. 2. Mengemukakan sesuatu yang tidak nampak menjadi sesuatu yang seakan-akan nampak. 3. Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam ungkapan yang padat. 4. Memotivasi orang untuk beribadah dan berbuat baik seperti apa yang digambarkan dalam perumpamaan yang menarik dalam alQur’an. 5. Menghindarkan diri dari perbuatan negatif. 6. Lebih efektif untuk memberikan nasihat, Allah SWT menyebut amtsal untuk pengajaran dan peringatan supaya dapat diambil ibrahnya. 7. Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya. 175
Amtsal Al-Qur’an
176
Qasam dalam Al-Qur’an
QASAM DALAM AL-QUR’AN } A. Pendahuluan Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak ternoda kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu sampai kepadanya hanya sepintas kilas. Sedang jiwa yang tertutup oleh kejahilan dan gelapnya kebatilan tidak akan tergerak hatinya kecuali dengan peringatan dan kalimat yang keras, dengan cara seperti itulah keingkarannya tergerak. Qasam (sumpah) dalam perkataan, termasuk salah satu cara memperkuat ungkapan kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan dapat mengakui apa yang semula diingkarinya.
177
Qasam dalam Al-Qur’an
B. Definisi dan Model Qosam Aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Shighat asli qasam ialah fi‟il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta‟adi (transitif)-kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu yang digunkan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih, yang dinamakan dengan jawab qasam. Misalnya firman Allah, “Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasannya Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” (An-Nahl: 35) Oleh karena qasam itu sering dipergunakan dalam percakapan maka ia ringkas, yaitu fi‟il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba.” Kemudian “ba”pun diganti dengan “wawu” pada isim zhahir, seperti, (1). “Demi malam, bila menutupi (cahaya siang).” (Al-Lail: 1) “Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.” (Al-Anbiya‟: 57) 178
Qasam dalam Al-Qur’an
Dan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”: sumpah diartikan sebagai: Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya). Pernyataan yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu). Sedangkan menurut Louis Ma‟luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu yang disucikan. Akan tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang menyembah berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan sumpah dengan atas nama tuhannya dengan sebutan Allah, seperti dalam yang tersurat dalam al-Qur‟an surat Al-Ankabuut ayat 61 yang berbunyi: ”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang 179
Qasam dalam Al-Qur’an
menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut: 61) Dhamir (kata ganti) dalam surat AlAnkabut ayat 63 tersebut, seperti dikutip Toshihiko Izutsu berarti “the pagan Arabs”. Izutsu berpendapat ada lima konsep Allah menurut bangsa Arab pra-Islam seperti yang disebut oleh al-Qur‟an yaitu: Allah adalah pencipta dunia; Allah adalah pencipta hujan, lebih umum lagi Dia-lah yang menciptakan kehidupan di permukaan bumi; Allah satu-satunya yang berhak disebut dalam sumpah; Allah adalah obyek monoteisme “sementara”; Allah adalah Tuhannya Kabah (Lord of Ka‟bah). Qasam dibagi menjadi dua yaitu: 1. Zhahir, ialah sumpah yang didalamnya disebut Fi‟il qasam dan muqsam bihi. Dan diantaranya ada yang dihilangkan Fi‟il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa
180
Qasam dalam Al-Qur’an
“ba”, “wawu” dan “ta”. Dan ada juga yang didahului „la nafy” seperti: “Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali , Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (Al-Qiyamah:1-2) 2. Mudhmar, yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan Fi‟il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetepi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk dalam jawab qasam, seperti firman Allah: “Kamu sunguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” (Ali Imran:186). Sedangkan huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat sumpah atau untuk membentuk lafal sumpah ada 3 macam yaitu: 1. Wawu ( ) Seperti firman Allah dalam surat AdzDzariyaat ayat 23 yang berbunyi: ”Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat: 23). Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka ‟amil (pelaku)nya 181
Qasam dalam Al-Qur’an
wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti dengan isim dlahir. 2. Ba’ ( ) Seperti dalam firman Allah dalam surat A-Qiyaamah ayat 1 yang berbunyi: Artinya:”Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al-Qiyaamah: 1) Maka dengan masuknya huruf Ba‟ ini boleh disebutkan ‟amil-nya sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad ayat 82 tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan manusia: Artinya:”Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (QS. Shaad: 82). Setelah huruf Ba‟ boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah dicontohkan di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir. 3. Ta’ ( ) Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 56: Artinya: ”Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang Telah kami berikan kepada mereka. demi Allah, Sesungguhnya kamu 182
Qasam dalam Al-Qur’an
akan ditanyai tentang apa yang Telah kamu ada-adakan”. (QS. An-Nahl: 56). Dengan masuknya huruf Ta‟ ini, ‟amil (pelaku)-nya harus dihapuskan dan tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama Allah), yaitu atau . Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh terdahulu. Dan kadang-kadang dihapus dengan „amil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-Qur‟an surat At-Takaatsur ayat 8 yang berbunyi: ”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS. At-Takaastur: 8) Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam „alaih (sesuatu yang disumpahkan) disebutkan. Seperti dalam firman Allah : ”Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan 183
Qasam dalam Al-Qur’an
kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun : 7) Dan kadang-kadang boleh dihapus, seperti dalam firman Allah ta‟ala : ”Qaaf, demi Al Quran yang sangat mulia”. (QS. Qaaf : 1). Selain dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling fundamental adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah muncul. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4, yaitu: 1. Muqsim (pelaku sumpah). 2. Muqsam Bih (sesuatu yang dipakai sumpah). 3. Adat Qasam (alat untuk bersumpah). 4. Muqsam “Alaih (berita yang dijadikan isi sumpah atau disebut juga dengan jawab sumpah). Qasam dan yamin mempunyai makna yang sama. Qasam didefinisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i‟tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan), 184
Qasam dalam Al-Qur’an
karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan orang yang diajak bersumpah. C. Faedah Qasam dalam Al-Qur’an Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan biacara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma‟ani disebut adhrubul khabar ats-tsalatsah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita; ibtida‟i, talabi dan inkari. Mukhathab terkadang berhati kosong (khaliy azh-zhihni), sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta‟kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida‟i. Terkadang ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Mka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan demikian dinamakan thalabi. Dan terkadang ia ingkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus 185
Qasam dalam Al-Qur’an
disertai penguat sesuatu kadar pengingkarannya, kuat atau lemah. Pembicaraan demikian dinamakan inkari. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah: 1. Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah). 2. Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam „alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya. Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut: 1. Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (almuqsam „alaih) itu adalah sesuatu yang penting. 2. Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara). 3. Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara). Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana‟ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan 186
Qasam dalam Al-Qur’an
konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ‟sejarah‟ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur‟ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasangagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis.
187
Qasam dalam Al-Qur’an
D. Muqsam Bih dalam Al-Qur’an Allah telah bersumpah dengan Dzat-Nya sendiri dalam Al-Qur‟an pada tujuh tempat: 1. “Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan.” (AtTaghabun: 7). 2. “Dan orang-orang kafir berkata: Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami. Katakanlah: Pasti datang, demi Tuhanku, sungguh kiamat itu pasti akan datang kepadamu.” (Saba‟: 3) 3. “Dan mereka menanyakan kapadamu: Benarkah
(adzab
yang
dijanjikan)
itu?
Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya adzab itu benar?” (Yunus: 53) Dalam ketiga ayat ini Allah memerintahkan Nabi agar bersumpah dengan Dzat-Nya. 4. “Demi
Tuhanmu,
sungguh
Kami
akan
membangkitkan mereka bersama syaitan.” (Maryam: 68)
188
Qasam dalam Al-Qur’an
5. “Maka demi Tuhanmu, Kamu pasti akan menanyai mereka semua!” (Al-Hijr: 92) 6. “Maka
demi
Tuhanmu,
mereka
(pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa‟: 65) 7. “Maka Aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat.” Semua sumpah dalam Al-Qur‟an adalah dengan menggunakan nama makhluk. Misalnya, (2). (1). “Demi matahari dan cahayanya dipagi hari, dan bulan apabila mengiringinya...” (AsySyams: 1-2); “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan.” (AlLail: 1-3); “Demi fajar, dan malam yang sepuluh…” (Al-Fajr: 1-4); “Sungguh aku bersumpah dengan bintangbintang.” (At-Takwir: 15); “Demi Tin dan Zaitun, dan demi bukit Sinai.” (Ath-Thin: 1-2). Sumpah inilah yang paling banyak ditemui dalam Al_Qur‟an. 189
Qasam dalam Al-Qur’an
Allah bisa bersumpah dengan apa saja yang dikehendaki-Nya. Adapun sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan. Diriwayatkan dari Umar bin AlKhatab Radhiyallahu Anhu. Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bersabda: “Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah).
190
Tafsir dan Takwil
TAFSIR DAN TAKWIL } A. Pendahuluan Al-Qur‟an Al-Karim adalah sumber hukum pertama bagi umat Muhammad. Kebahagiaan mereka tergantung pada kemampuan memahami maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman apa yang terkandung didalamnya. Mka tidaklah mengherankan jika Al-Qur‟an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata yang gharib atau dalam mena‟wilkan suatu redaksi kalimat. B. Definisi Tafsir dan Ta’wil Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf‟il” artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya megikuti wazan “dharaba-yadhribu” dan “nashara-yanshuru”. “Dikatakan “fasara asysyai‟a-yafsiru” dan “yafsuru,fasran,” dan “fassarahu,” artinya “abanahu” 191
Tafsir dan Takwil
(menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul „Arab dinyatakan: Kta “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup , sedang kata at-tafsir” berarti menyingkap maksud suatu lafazh yang musykil. Dalam Al-Qur‟an dinyatakan: “Tiadaklah mereka dating kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar-benar dan paling baik tafsir-nya.” (Al-Furqan: 33), yaitu penjelasan dan perinciannya. Sebagian ulama berpendapat, kata “tafsir” adlah kata kerja yang terbalik, berasal dari kata “safara” yang juga memiliki makna menyingkap (al-kasyf), dikatakan: Safarat al-mar‟atu sufura, apabila perempuan itu menyingkap cadar dari wajahnya. Dan kata asfara ash shubhu: artinya menyinari dan terang. Pembentukan kata “alfasr” menjadi bentuk “taf‟il” (yakni, tafsir) untuk menunjukkan arti taksir (banyak, sering berbuat). Misalnya firman Allah: “Mereka banyak menyembelih anak-anak laki-laki kamu.” (Al-Baqarah: 49) 192
Tafsir dan Takwil
“Ia sering menutup pintu-pintu.” (Yusuf: 23). Jadi seakan-akan “tafsir” terus berjalan mengikuti surat demi surat dan ayat demi ayat. Menurut Ar-raghib, kata”al-fasr” dan “assafr” adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafdz nya. Tetapi yang pertama untuk menunjukan artu menampakan benda kepada penglihatan mata. Maka dikatakanlah, “safarat al mar’atu sufura” (perempuan itu menampakan mukanya). C. Tafsir Secara Istilah dan Perbedaanya dengan Ta’wil Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur‟an, indicator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya.” “Ilmu” adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. “Yang membahas cara mengucapkan lafazh-lafazh Al-Qur‟an,” mengacu kepada ilmu qira‟at. “indikator-indikatornya” adalah pengertian-pengertian yang diperlukan dalam ilmu (tafsir) ini. 193
Tafsir dan Takwil
Menurut Az-Zarkasyi, “Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menerapkan maknamaknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.” Ta‟wil secara bahasa berasal dari kata ”a-ul,” yang berarti kembali ke asal. Atas dasar ini maka ta‟wil al-kalam (penakwilan terhadap suatu kalimat) dlam istilah mempunyai dua makna. Pertama, ta‟wil kalam dengan pengertian, sesuatu makna yang menjadi tempat kembali perkataan pembicara, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Maka ta‟wilul amr maksudnya perbuatan yang diperintahkan. Misalnya hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, membaca didalam rukuk dan sujudnya “Subhanallah wa bi hamdika allahummaghfirli.” Sedang ta‟wil al-ikhbar ialah esensi berita yang yang benar-benar terjadi. Misalnya firman Allah,
194
Tafsir dan Takwil
“Dan sungguh Kami telah mendatangkan Kitab (Al-Qur‟an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta‟wilnya. Pada hari ta‟wil itu dating, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu; “Sungguh telah dating rasul-rasul Tuhgan kami membawa yang hak, maka adakh bagi kami pemberi syafa‟at kepada kami, atau dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?” (Al-A‟raf: 5253). Kedua, ta‟wil al-kalam maknanya: Menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsir-nya katanya, “Pendapat tentang ta‟wil terhadap firman Allah ini…begini dan begitu” dan kata-kata: “Ahli „ta‟wil‟ berbeda pendapat tentang ayat ini.” Maka yang dimaksud dengan kata “ta‟wil” disini adalah tafsir. Ta‟wil dalam tradisi muta‟akhirin adalah,”memalingkan makna lafadh yang kuat(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dali yang menyertainya.” Definisi ini berbeda dengan lafazh ta‟wil dalam alqur‟an menurut prespektif Salaf. 195
Tafsir dan Takwil
Diantara para ulama ada yang membedakan makna, tafsir dan ta‟wil. Mengingat ketiga kata ini, dari segi bahasa, mempunyai perbedaan arti, sekalipun agak berdekatan. Mengenal hal ini AzZarkasyi telah menukil sebagai berikut: Ibnu Faris menjelaskan, makna-makna ungkapan yang menggambarkan sesuatu itu kembali pada tiga lata; makna, tafsir, dan ta‟wil. Ketiga kata ini, sekalipun berbeda tetapi maksudnya berdekatan. “Makna” adalah apa yang dimaksud dan dituju. Misalnya perkataan; „anaitu bi hadza al-kalam kadza (yang aku maksud dengan perkataan ini adalah begini). Adapun “Tafsir” menurut bahasa mengacu pada arti “menampakkan dan menyingkap.” Ibnu Al-Anbari menjelaskan, orang Arab mengatakan: fasartu ad-dabbah wa fasartuhu, (aku memacu binatang). Juga berarti menyingkap (al-kasyf). Adapun “ta‟wil” maka menurut bahasa berasal dari kata “aul.” Perkataan mereka, “apa ta‟wil perkataan ini?” artinya ialah “sampai dimanakah pengaruh yang dimaksud oleh perkataan itu?” Misalnya dalam firman Allah (Al-A‟raf: 53), maksudnya ialah “disaat kesudahannya tersingkap.”
196
Tafsir dan Takwil
Dan dikatakan: ala al-amr ila kadza, (urusannya menjadi begini). Seperti firman-Nya: “Ta‟wil” berasal dari ma‟al, yaitu akibat dan kesudahan. Kata-kata “wa qad awwaltuhu,” (aku palingkan ia, maka ia un berpaling). Dengan demikian ta‟wil sekan-akan memalingkan ayat kepada makna-makna yang dapat diterimanya. Kata “ta‟wil” dibentuk dengan pola “taf‟il” adalah untuk menunjukkan arti banyak. (AlKahfi: 82). D. Perbedaan antara Tafsir Dengan Ta’wil 1. Ta‟wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka “ta‟wil” dan “tafsir” dalah dua kata yang berdekatan atau sam maknanya. 2. Ta‟wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta‟wil dari thalab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri, dan ta‟wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang diberitakan. 3. Tafsir adalah apa yang telah jelas didalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam Sunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gambling 4. Di katakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam menerangkan lafazh dan mufradat (kosa kata), sedang ta‟wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan 197
Tafsir dan Takwil
kalimat. Dan masih banyak lagi pendapatpendapat yang lain. E. Keutamaan Tafsir Tafsir dalah ilmu syari‟at paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Obyek pembahasannya adalah Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan “tambang” segala keutamaan.Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki.Dan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara‟ sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang Kitab Allah. F. Adab Mufasir 1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat. Orang yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu syari‟at hendak nya mempunyai tujuan dan tekad membangun kemaslahatan umum. 2. Berakhlak mulia, karena muffasir bagai seorang pendidik. Pendidikannya yang diberikan itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa,jika ia tidak menjadi panutan dengan akhlak dan perbuatab mulia. 3. Taat dan amal.Ilmu akan lebih dapat menerima melalui orang yang 198
Tafsir dan Takwil
4.
5.
6.
7.
8.
9.
mengamalkannya daripada yang hanya hebat dalam teori dan konsep. Dan perilaku mulia akan menjadikan muffasir sebagai panutan yang baik pengamalan masalah-masalah agama yang ditetapkannya. Jujur dan teliti dalam penulikan. Ia tidak berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya Tawadhu‟ dan lemah lembut,karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh yang dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya. Berjiwa mulia seharusnya lah orang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta, tidak menjadi penjiklat dan pengemis jabatan dan kekuasaan bagi peminta-minta yang buta Berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa alim. Bersikap tenang dan mantap. Musafir hendaknya tenang dalam berbicara, tidak terburu-buru, mantap dan jelas, kata demi kata. Mendahulukan orang yang lebih utama dari pada dirinya. Seorang musafir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka wafat 199
Tafsir dan Takwil
10. Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan musafir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilan nya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksapaksakan. 11. Siap metodologis dalam membuat langkahlangkah penafsiran sepperti memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul , arti kosa kata, menerangka struktur kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah dan i’rab yang padanya bergantung penentuan makna. Adapun mengemukakan koleraasi dan pertautan di antara ayat-ayat, bergantung pada struktur kalimat dan konteks.
200