Ulumul Quran
BAB 3 WAHYU: CARA DITURUNKAN DAN PENYAMPAIANNYA
A. Pengertian Wahyu Wahyu atau al-wahy adalah kata mashdar (infinitif); dan materi katanya menunjukkan dua 51
(tersembunyi dan cepat).
pengertian dasar, yaitu
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
menyatakan bahwa wahyu itu ialah yang dibisikkan ke dalam sukma, diilhamkan dan isyarat cepat yang lebih mirip kepada dirahasikan daripada dilahirkan.
52
Menurut M Quraish Shihab kata al-wahy isyarat
yang cepat, surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.
53
Dalam Al-Qur’an, kata wahy digunakan dalam beragam pengertian diantaranya : 1. Ilham Fithriah bagi manusia
Dan Kami wahyukan (berikan ilham) kepada ibu Musa agar ia menyusuinya (QS Al-Qashash:7) 2. Instink bagi hewan
Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan instink) kepada lebah, “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia (Q.S. Al-Nahl : 68). 3. Isyarat
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia wahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (QS. Maryam: 11). 4. Bisikan / rayuan setan
Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka adaadakan (Q.S. Al-An’am : 112) Dalam al-Quran tercantum ada 15 bentuk kata yang berasal dari akar kata wayu, yaitu awhā, awhaitu, awhaina, nūhi, nūhihi, nuhiha, layūhuna, yūhi, fayūhiya, ūhiya, yūha, yūhā, wahyun, wahyin,
wahyan, wahyina, wahyuhu . 54 Dalam pengertian wahy secara istilah, para Ulama memberikan definisi sebagai berikut: 1. Menurut Muhammad Abduh Wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.
55
51
Mannā’ al-Qaththān, Mavāhiś fī ‘Ulūm al -Qur’ān (Cet. III; Bairūt: Mansyūrat al-‘Ashr al-hadīśah, 1973): 32 Ash-Shiddieqy,T.M. Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al- Qur’an/Tafsir . Jakarta: Bulan Bintang Cet. VIII : 24 53 Shihab, M. Quraish et.al. 2000. Sejarah dan Ulum Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. II : 48 54 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi islam Indonesia . Jakarta: Djambatan. Cet. I 52
55
Ibid: 48
41
Ulumul Quran 2. Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy Wahyu adalah nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabinabi-Nya, sebgaimana diperghunakan juga untuk lafaz Al-Quran.
56
Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau yang digunakan oleh AlQur’an sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat diartikan sebagai Pemberitahuan Tuhan kepada
nabi/rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat. Pengertian demikian ini juga digunakan dalam AlQur’an, antara lain pada ayat :
Sesungguhnya Kami Telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahny;, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (QS. Al-Nisa’: 163) Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa konsep “wahy” dalam Islam mengandung dua unsur utamanya, yaitu pemberi berita (Allah SWT) dan penerima berita (Nabi), sehingga tidak dimungkinan terjadinya wahyu tanpa keduanya atau menafikan salah satunya. Dari sini jelas pula bahwa wahyu harus dibedakan dengan ilham yang memancar dari akal tingkat tinggi, atau dari apa yang sering disebut-sebut para orientalis (yang sebetulnya mengikuti kaum musyrik dan kafir pada zaman Nabi Muhammad SAW)
sebagai “daya imajinasi dan khayalan kreatif” (creative imagination), dan “kondisi kejiwaan tertentu dimana seseorang seakan-akan melihat malaikat kemudian mendengar atau memahami sesuatu darinya,” atau “al-waÍy al-nafsi ” yang sering dituduhkan kepada Nabi Muhammad SAW, dulu maupun kini. Oleh karenanya, kemudian sebagian diantara mereka menyebutnya sebagai “imajinasi penyair (shair ), halusinasi mimpi ( adghathu ahlam), dukun dan tukang sihir.” Bahkan ada sebagian lagi dari mereka yang secara kasar dan pejorative mengatakan bahwa kondisi tersebut adalah semacam “gangguan jiwa” yang mereka sebut dengan berbagai macam sebutan, seperti “epilepsi” ( al-sar’ ) dan “gila” (al-junn), sebagaimana yang direkam dengan jelas dalam al-Quran sendiri Tentu anggapan-anggapan dan tuduhan-tuduhan semacam ini sangat ringkih,5 karena tidak berdasar apapun (baseless) selain untuk menolak dan menggugat kesucian dan otoritas wahyu yang diterima Rasulullah SAW, khususnya Al-Qur’an. Dengan menafikan adanya unsur di luar diri seorang nabi, yakni Allah SWT, mereka ingin menegaskan bahwa apa yang diklaimnya sebagai wahyu adalah hasil produksi olah-pikir/ imaginasi dirinya sendiri, yang dengan demikian secara substansial tidak beda dengan umumnya produk pemikiran manusia, dan sesuatu yang dapat diusahakan secara sungguhsungguh untuk dihasilkan (muktasab) oleh siapa saja yang mampu. Maka dari itu, untuk mementahkan tuduhan-tuduhan miring tersebut, begitu juga untuk mengantisipasi munculnya tuduhan-tuduhan serupa di masa mendatang, sejak dini Allah SWT sendiri dalam
Al-Qur’an telah
menyatakan,
bahwa
Al-Qur’an
itu
“diturunkan”,
atau
Allah
SWT
“menurunkannya”, dan proses pewahyuannya dengan menggunakan kata kerja bentuk “anzala” dan “nazzala” dengan berbagai variasinya, seperti “anzalna”, “anzaltu” “nazzalna”, “tanzil”. Bagi siapa saja yang faham kaedah bahasa Arab dengan benar, secara otomatis akan faham bahwa dalam proses pewahyuan ini ada unsur di luar Muhammad SAW yang aktif sebagai pemberi atau sumber utama yang otoritatif, yaitu Allah SWT. Harus segera disusulkan di sini bahwa memang ada dua ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan turunnya wahyu kepada Nabi SAW yang menggunakan kata kerja bentuk
56
42
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi op. cit: 27
Ulumul Quran “nazala”, yaitu dalam surah Al-Isra :105
57
58
dan Asy-Syuara’ :92, yang seakan-akan jika difahami secara
terpisah atau out of context mengindikasikan wahyu datang sendirinya tanpa ada fihak yang bertanggung jawab sebagi sumbernya. Namun dengan memahami dua ayat tersebut dalam konteks maka anggapan ini segera gugur dengan sendirinya.
59
B. Macam-macam Wahyu Allah SWT menerangkan bahwa sebagaimana Dia menurunkan wahyu kepada Rasul-rasul terdahulu Dia menurunkan juga wahyu kepada Nabi Muhammad berupa Al-Quran sebagai rahmat Nya, seperti informasi Al Qur’an dal QS Asy Syuara: 51,
51. dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS. Asy Syuraa: 51) Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa wahyu terbagi dalam 3 macam: 1. Tanpa prantara antara Allah dan rasul Nya. Allah SWT menanamkan ke dalam hati sanubari seorang Nabi suatu pengertian yang tidak diragukannya bahwa yang diterimanya adalah dari Allah SWT. Seperti halnya yang terjadi dengan Nabi Muhammad saw Sabda beliau:
Sesungguhnya Ruhul Qudus telah menghembuskan ke dalam lubuk hatiku bahwasanya seseorang tidak akan meninggal dunia hingga dia menerima dan menjalin dengan sempurna rezeki dan ajalnya, maka bertakwalah kepada Allah SWT dan berusahalah dengan cara yang sebaik-baiknya. (H.R. Ibnu Hibban) 2. Terdengar dari Balik Tabir Gaib. Di balik tabir yakni dengan cara mendengar dan tidak melihat siapa yang berkata, tetapi perkataannya itu didengar, seperti halnya Allah berbicara dengan Nabi Musa, Firman Allah,
“Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat- Mu’.” (QS. Al-A’raf : 143) 3. Melalui Perantara Malaikat. Allah SWT mengutus seorang utusan berupa malaikat Jibril, maka utusan itu menyampaikan wahyu kepada siapa yang dikehendaki Nya, sebagai mana halnya Jibril turun kepada Nabi Muhammad dan kepada Nabi yang lain baik dengan menamppakan wujud aslinya atau tidak.
dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. 58 dan dikatakan kepada mereka: "Dimanakah berhala-berhala yang dahulu kamu selalu menyembah(nya) 59 Thoha, Anis Malik, Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam Makalah ini disampaikan sebagai materi Kuliah Peradaban yang 57
diselenggarakan oleh Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) - INSISTS, Semarang, tanggal 2-3 Juni 2007
43
Ulumul Quran C. Cara Penyampaian Wahyu 1. Taklimullah
Taklimullah (Allah swt berbicara langsung) k epada Nabi-Nya dari belakang hijab. Yaitu Allah menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur. Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah berbicara langsung dengan Musa as, dan juga dengan Nabi Muhammad saw pada peristiwa Isra' dan Mi'raj. Allah berfirman tentang Nabi Musa:
" …Dan Allah swt telah berbicara kepada Musa dengan langsung "(QS. An-Nisa`: 164).
2. Melalui Perantaraan Malaikat Allah SWT menyampaikan risalah-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu: a. Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi saw setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi saw tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah. Kedua, Rasulullah saw melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah saw dimi'rajkan.
44