KASUS PT KAI : MENCARI KEBENARRAN DALAM LAPORAN KEUANGAN Pada tanggal 26 Juli 2006, Komisaris PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit, Hekinus Manao, mengungkapkan kepada media massa tentang adanya manipulasi Laporan Keuangan Badan Usaha Mikik Negara (BUMN) yang menyebutkan adanya perolehan keuntungan padaha sebenarnya perusahaan merugi. Ada sejumlah pos (akun yang sebenarnya harus dinyatakan sebagai beban perusahaan, tetapi masih dinyatakan sebagai asset perusahaan. Sebelumnya pada tanggal 27 Juni 2006, Menteri BUMN telah menyampaikan kepada Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa pada tahun 2005, PT KAI membukukan laba bersih sebesar Rp 6.908.000.000 atau meningkat sebesar 40% dibandingkan dengan laba tahun 2004 yaitu sebesar Rp 4.913.000.000. Komisaris PT KAI, Hekinus Manao tidak bersedia menandatangani Laporan Keuangan tersebut walaupun laporan tersebut teah diaudit oleh Kantor Akunttan Publik (KAP) S. Mannan, Sofwan, Adnan dan Rekan. Hekinus Manao meminta agar laporan tersebut dikoreksi dan koreksi atas laporan keuangan tersebut tidak menghasilkan laba tetapi rugi. Direktur PT KAI memberikan tanggapan resmi atas tindakan yang dilakukan Hekinus Manao. Direktur Keuangan Ahmad Kuntjoro memberikan dua opsi pilihan penyeesaian Laporan Keuangan tahun 2005 tersebut. Pertama, menjalankan asas konsistensi dengan Laporan Keuangan periode-periode sebeumnya. Kedua, membuat kebijakan dan perlakuan akuntansi baru yang mengikuti koreksi dari Hekinus Manao. Dampak dari pilihan kedua ini, PT KAI harus mengoreksi laporan pada periode-periode sebelumnya sehingga membutuhkan waktu untuk melakukan perubahan. Koreksi Laporan Keuangan periode-periode sebelumnya ini juga menimbukan konsekuensi yang lebih besar karena Laporan Keuangan PT KAI tahu 2003 dan sebelumnya diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kemudian sehubungan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, PT KAI harus disudit oleh KAP. Pada tahun 2004, Laporan Keuangan PT KAI diaudit oleh BPK dan KAP S. Mannan, Sofwan, Adnan dan Rekan karena dianggap sebagai masa transisi. Setelah itu, tahu 2005, Laporan Keuangan PT KAI diaudit oleh KAP S. Mannan, Sofwan, Adnan dan Rekan. Pengakuan kesalahan terhadap Laporan Keuangan sebeumnya berarti mengoreksi hasil audit yang dilakukan oleh BPK.
1. Perlakuan Akuntansi yang Dipermasalahkan a. Pencadangan Piutang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2003, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mewajibkan PT KAI untuk membayar sebesar Rp 95.200.000.000. Berdasarkan SKP ini, PT KAI melakukan penagihan kepada pelanggan yang seharusnya menaggung PPN tersebut untuk menutup kerugian. PPN tersebut seharusnya dibebankan pada tagihan atas transaksi-transaksi yang terjadi pada periode 19982003. Pada saat itu, PT KAI tidak menerbitkan faktur pajak karena berkeyakinan bahwa berdasarkan Surat DJP Nomor S-2383/PJ.532/1996 tanggal 9 September 1996 jasa angkutan tersebut tidak dikenakan PPN. Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak tersebut karena upaya penagihan masih berlangsung. Namun Komite Audit/Komisaris berpendapat bahwa pencadangan kerugian harus dilakukan karena kecilnya kemungkinan tertagihnya pajak yang seharusnya teah dibebankan/ditagih kepada para pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan oleh PT KAI. b. Beban Penurunan Nilai Persediaan yang Ditangguhkan Nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan mengalami penurunan sebesar kurang lebih Rp 24.000.000.000 yang diketahui pada saat PT KAI melakukan inventarisasi bersamasama dengan BPK pada tahun 2002. Berdasarkan kesepakatan antara PT KAI dan BPK, kerugian atas penurunan nilai persediaan ini diakui secara bertahap (diamortisasi) selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005, masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar kurang lebih Rp 6.000.000.000. Komisaris/Komite Audit berpendapat bahwa saldo kerugian akibat penurunan nilai persediaan tersebut harus dibebankan seluruhnya pada tahun 2005. c. Bantuan Pemerintah yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYDBS) PT KAI sering menerima asset hasil proyek/pengadaan pemerintah yang berkaitan dengan fasilitas operasi, seperti kereta atau gerbong, lokomotif, ataupun fasilitas lain. Penerimaan tersebut dicatat oleh PT KAI sebagai BPYDBS sampai dengan terbitnya peraturan pemerintah terkait penyertaan asset hasil proyek/pengadaan tersebut. Nilai BPYBDS per 31 Desember 2005 sebesar Rp 674.500.000.000 yang dalam laporan audit tahun 2005 digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang (di atas ekuitas). Menurut Komisaris/Komite Audit klasifikasi tersebut tidak tepat dan harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.
2. Keterlibatan Ikatan Akuntan Indonesia Ramainya kasus penolakan Laporan Keuangan PT KAI ini mengundang Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk segera terlibat. Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI meminta klarifikasi kepada Komisaris PT KAI Hekinus Manao dan KAP S. Mannan, Sofwan, Adnan dan Rekan. Berdasarkan hasil klarifikasi tersebut, DPN IAI tidak dapat mengambil keputusan dan menyerahkan kasus tersebut ke Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) untuk memeriksa KAP S. Mannan, Sofwan, Adnan dan Rekan. Dalam kasus ini, ada dua catatan yang diberikan oleh IAI. Pertama, jika pendapat Hekinus benar maka kesalahan penyajian Laporan Keuangan tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun, setidaknya sejak tahun 2002 atau 2003. Kedua, menghimpun masyarakat (termasuk media massa) untuk tidak terburu-buru membuat kesimpulan atau memberikan komentar negative kepada salah satu pihak (manajemen KAI, Komisaris, KAP, BPK) serta memberi kesempatan dan kepercayaan kepada BPPAP untuk mencari kebenaran dari kasus ini. 3.
Direksi Menolak Tuduhan Manipulasi Pada tanggal 15 Agustus 2006, dalam kesempatan penjelasan kinerja perusahaan
Semester I tahun 2006, Komisaris Utama PT KAI Soemino Eko Saputra, didampingi Direktur Utama Rony Wahyudi, Direktur Keuangan Ahmad Kuntjoro serta sejumlah dewan komisaris PT KAI lainnya menyangkal tuduhan manipulasi Laporan Keuangan. Direktur Keuangan Ahmad Kuntjoro memberikan penegasan bahwa mereka siap untuk mengubah Laporan Keuangan PT KAI. Mereka telah meminta masukan dari IAI soal Laporan Keuangan yang benar. Mereka menjelaskan kesiapan untuk mengubah Laporan Keuangan ini untuk menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki iktikad buruk untuk memanipulasi Laporan Keuangan. Menurut mereka permasalahannya terletak pada perbedaan persepsi atas kejadian akuntansi. 4. Pemerintah Memilih Pada tanggal 25 Agustus 2006, Direktur Keuangan Ahmad Kuntjoro menyatakan bahwa Direksi PT KAI akan memutuskan Laporan Keuangan yang dibawa dalam RUPS setelah mendapat masukan dari IAI. Kemudian keputusan mengenai Laporan yang dipilih akhirnya diumumkan oleh Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Logistik dan Pariwisata, Hari Susetio pada tangga 3 September 2006. Hari Susetio menyatakan bahwa pemerintah hanya mengakui hasil audit Laporan Keuangan PT KAI dari akuntan public yang menyebutkan adanya aba sebesar Rp 6.900.000.000. Pemerintah ebih memilih Laporan Keuangan tersebut
karena sudah diaudit oleh KAP sehingga perdebatan soal permasalahan Laporan Keuangan tidak perlu dipermasalahkan. Menteri Negara BUMN Sugiharto menambahkan bahwa masalah penempatan benefit seharusnya jangan dinilai sebagai kesalahan yang besar atau bahkan terkandung unsur KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotime) di dalamnya karena sebelum penyajian Laporan Keuangan sudah ada “Aquit et de Charge” bagi direksi dan komisaris yang menerima atau tidak menerima isi Laporan Keuangan. 5.
Akuntan Publik Dinyatakan Bersalah Keputusan pemerintah mengenai Laporan Keuangan PT KAI dipilih untuk menghentikan
permasalahan Laporan Keuangan tersebut. Selama setahun tidak ada pemberitaan yang terkait dengan masalah tersebut termasuk pemberitaan mengenai hasil keputusan dari BPPAP. Pada tangga 3 Agustus 2007, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenkeu mengumumkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membekukan izin akuntan pubik Drs. Salam Mannan. Pembekuan izin itu berlaku selama sepuluh bulan terhitung sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 500/KM.1/2007 tangga 6 Juli 2007. Sanksi tersebut diberikan karena Drs. Salam Mannan melakukan pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan Kode Etik dalam kasus audit umum atas Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005.