Kasus Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT Kimia Farma tbk
SALAH SAJI LAPORAN KEUANGAN PADA KASUS PT KIMIA FARMA Tbk
PENDAHULUAN Semakin berkembang kejahatan akuntansi dalam korporat yang terjadi di dalam perusahaan, mulai dari kejahatan yang sederhana hingga kejahatan yang kompleks dan terstruktur. Akibat dari kecurangan tersebut, para pengguna laporan keuangan seperti investor dan kreditor mulai mempertanyakan kembali eksistensi akuntan publik sebagai pihak independen dalam menilai kewajaran laporan keuangan. Kesalahan dari akuntan publik tersebut sebagian memang murni kesalahan yang tidak disengaja dan sebagian memang terjadi karena kesalahan yang disengaja. Salah satu contoh fraud yang terdapat di lingkup perusahaan besar terjadi pada PT Kimia Farma Tbk pada tahun 2002, dimana ditemukan penggelembungan laba bersih pada laporan keuangan pada perusahaan tersebut di tahun buku 2001. Kejadian tersebut berawal dari temuan akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM) soal ketidakwjaran dalam laporan keuangan dalam kurun semester 1 tahun 2001. Pihak yang melakukan audit tahun buku 2001 adalah kantor HTM itu sendiri, hanya berbeda partner. Pada tahun buku 2001 yang menjadi partner dari KAP HTM adalah Syamsul Arif, sedangkan yang menjadi partner KAP HTM dalam pengauditan semester I tahun buku 2002 adalah Ludovicus Sesi W. Mark up tersebut senilai Rp 32,7 Milyar, karena dalam laporan keuangan yang seharusnya laba yang diperoleh sebesar Rp 99,6 Milyar ditulis Rp 132,3 Milyar, dengan nilai penjualan bersih Rp 1,42 Trilyun. Menurut pihak PT Kimia Farma Tbk menduga bahwa ketidakwajaran tersebut mungkin berbeda di pos inventory stock. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam ditemukan beberapa bukti sebagai berikut: 1. Dalam rangka restrukturisasi PT Kimia Farma Tbk, ditemukan adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa serta kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001. 2. Pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT Kimia Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002.
3. Terdapat kesalahan penyajian laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 Milyar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih PT Kimia Farma Tbk. 4. Terdapat kesalahan pada unit industri bahan baku berupa overstated pada bagian penjualan sebesar Rp 2,7 Milyar, overstated persediaan barang pada unit logistik sentral sebesar Rp 23,9 Milyar dan overstated persediaan barang pada unit pedagang besar farmasi sebesar Rp 8,1 Milyar. Kesalahan tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998-juni 2002 dengan cara: 1. Membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal Februari 2002 dan 3 Februari 2002 dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT Kimia Farma Tbk 2. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit pedagang besar farmasi dan unit bahan baku. Berdasarkan uraian tersebut, tindakan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma terbukti melanggar peraturan Bapepam No. VIII G 7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa akuntan yang telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam SAP dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan tersebut. Namun demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya mark up laba yang dilakukan PT Kimia Farma. Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai pasal 61 PP No 45 Tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan bidang pasar modal maka PT Kimia Farma Tbk dikenakan sanksi administrasi berupa denda yaitu sebesar Rp 500.000.000. Sesuai pasal 5 huruf N UU No 8 Tahun 1995 tentang pasar modal maka Direksi lama PT Kimia Farma periode 1998-Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1 Milyar untuk disetor ke kas negara karena melakukan kegiatan praktik penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001. Ludovicus Sensi W rekan KAP HTM selaku auditor PT Kimia Farma diwajibkan membayar sejumlah Rp 100.000.000 untuk disetor ke kas negara karena atas resiko auditnya yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai SPAP dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.
PEMBAHASAN Terjadinya salah saji laporan keuangan yang merupakan indikasi dari tindakan tidak sehat yang dilakukan oleh manajemen PT Kimia Farma yang ternyata tidak dapat terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan pada periode tersebut. Hal ini menjadi pertanyaan apakah kejadian tersebut merupakan kesalahan dari akuntan publik, sedangkan akuntan publik tersebut setelah diperiksa ternyata telah melaksanakan prosedur audit yang sesuai dengan SPAP. Jika melihat dari SA seksi 230 paragraf 12 menyebutkan bahwa: (12) Oleh karena pendapat auditor atas laporang keuangan didasarkan pada konsep pemerolehan keyakinan memadai, auditor bukanlah penjamin dan laporannya tidak merupakan suatu jaminan. Oleh karena itu, penemuan kemudian salah saji material, yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan yang ada dalam laporan keuangan tidak berarti bahwa dengan sendirinya merupakan bukti (a) kegagalan untuk memperoleh keyakinan memadai, (b) tidak memadainya perencanaan, pelaksanaan, atau pertimbangan, (c) tidak menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama atau (d) kegagalan untuk mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Seorang akuntan publik dalam melaksanakan auditnya pada umumnya berdasarkan kepada sampling, makanya ketika ditemukan di kemudian hari terdapat kesalahan yang tidak terdeteksi merupakan hal yang wajar, karena menurut SA Seksi 110 paragraf 1 menyebutkan: (1) Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan akuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Dengan melakukan sampling, otomatis terdapat suatu resiko untuk tidak terdeteksinya suatu kesalahan dalam laporan keuangan yang diaudit. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa akuntan publik tersebut dikenakan sanksi untuk membayar sebesar 100.000.000 karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma. Hal tersebut dapat dijelaskan menurut UU Pasar Modal tahun 1995, begitu menemukan adanya kesalahan, selambatlambatnya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Bila akuntan publik tidak dapat mendeteksi kesalahan penyajian tersebut, dan ternyata baru menyadari adanya kesalahan yang tak terdeteksi setelah mengeluarkan opini, tetapi tidak segera melaporkannya dalam periode tiga hari, maka akuntan publik tersebut dikenakan sanksi.
KESIMPULAN Melalui pemaparan kasus diatas, akuntan publik tersebut setelah melalui proses penyelidikan ternyata tidak ditemukan adanya unsur-unsur kesengajaan untuk membantu manajemen PT Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan. Maka hal ini berarti tidak adanya masalah yang berkaitan dengan independensi seorang auditor, atau berarti auditor tersebut telah independen dalam melakukan profesinya. LESSON LEARNING Pada akhirnya semua hal ini kembali kepada masing-masing individu auditornya dalam melaksanakan jasa profesionalnya yang menuntut sikap independensi, objektifitas, integritas yang tinggi, serta kemampuan profesional dalam bidangnya. Sumber: (http://www.academia.edu/8857660/CASE_CORPORATE_GOVERNANCE_SALAH_SAJI _LAPORAN_KEUANGAN_PADA_KASUS_PT_KIMIA_FARMA).