SCHISTOSOMIASIS B7
Pendahuluan Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan dari masyarakan. Penyakit infeksi sendiri bisa muncul karena adanya bakteri, virus, kuman, ataupun parasite yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal masyarakat sendiri. Adapun beberapa factor yang dapat mengakibatkan munculnya bakteri maupun parasite tersebut yaitu karena kebersihan dan sanitasi linkungan masyarakat, sehingga dapat berdampak buruk bagi kesehatan tubuh manusia dan mengakibatkan penyakit infeksi yang dapat menyerang organ-organ dalam tubuh, contohnya hati dan spleen. Salah satu penyakit infeksi adalah measles, mumps, dan schistosomiasi yang akan dibahas pada tinjauan pustaka ini. Anamesis Seorang perempuan berusia 35 tahun datang dengan keluhan demam sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan juga diserta dengan diare disertai dengan tinja yang berlendir dan berdarah, BB menurun, dan malaise. Pasien merupakan seorang wisatawan dan memiliki hobby berenang. Pemeriksaan Fisik Pada pasien ditemukan mata anemis, limfadonepati menyeluruh, dan hepatomegali. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal. Pemeriksaan Penunjang Pada kasus, ketika pasien melakukan pemeriksaan tinja di dapatkan telur berbentuk bulat dengan tonjolan kecil pada bagian lateral kutub. Untuk emeriksaan penunjang dari schistosoma bisa dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu ditemukannya telur-telur dalam tinja dan urin atau biopsy mukosa merupakan suatu diagnosis pasti. Pada schistosoma hematobium lebih sering ditemukan dalam sedimen urin, tetapi kurang dalam tinja. Urin dikumpulkan 24 jam atau antara jam 09.00 pagi hingga jam 14.00 siang. Pada
infeksi S. mansoni dan S. japonicum telur-telur dapat ditemukan dengan pemeriksaan tinja secara langsung atau dengan cara konsentrasi atau kuantitatif Kato-Katz. Dikatakan berat jika terdapat lebih 400 butir telur dalam 1 gr tinja. Selain uji telur dalam urin maupun tinja, dapat pula digunakan uji serologi salah satunya adalah enzyme linked immune sorbent assay (ELISA), radioimmunoassay (RIA), immunoblot, dan lain-lain. Kemudian, pemeriksaan penunjang yang lain bisa dilakukan foto dada atau EKG pada infeksi S.mansoni dan S. Japonicum. Gambaran USG pada hepar memberi gambaran patognomonis berupa fibrosis periportal, sehingga tidak diperlukan biopsi. (BUKU IPD) Working Diagnosis (WD) Schistosoma merupakan jenis trematoda darah. Kata schistosoma berasal dari kata “schist” yang berarti suatu alur atau kanal yang panjang. Pada manusia dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis atau bilharziasis. Ada lima jenis schistosoma tapi yang ditemukan pada manusia ada 3 jenis, yaitu: S.japonicum, S.mansoni, dan S.hematobium. Setiap schistosoma menimbulkan gejala-gejala pada tubuh manusia, seperti urtikaria (gatal-gatal), demam, diare, sindrom disentri, gejala pada paru, dan sebagainya. Siklus hidup dari setiap schistosoma sama hanya berbeda di genus hospes perantaranya yang menyebabkan penyakit schistosomiasis pada manusia. Penularan dari parasite ini melalui penetrasi kulit, mukosa mulut, dan saluran cerna.
Diagnosis Banding (DD/DB) Ada tiga jenis schistosoma yang dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis, yaitu: (parasit) Schistosoma Japonicum. Jenis trematoda darah ini menyebabkan oriental schistosomiasis, schistosomiasis japonica, penyakit Katamaya atau penyakit kenong. Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah (Rattus), dan sapi. Cacing ini ditemukan di daerah Thailand, Malaysia, laos, Vietnam, dan juga indonesia yang berada di Sulawesi tengah tepatnya di danau lindu dan lembah napu. Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina 1,9 cm, hidupnya di vena mesenterika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga alat dalam seperti hati. Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada
stadium 1 adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam, hepatomegali dan eosinophilia tinggi. Stadium 2 ditemukan sindrom disentri dan stadium 3 ditemukan sirosis hati dan splenomegaly, biasanya pasien terlihat lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, dan paru. Schistosoma ini satu-satunya jenis trematoda darah yang berada di Indonesia bagian Sulawesi tengah (danau lindu dan lembah napu). Di sana sudah dilakukan pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh departemen kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M&PLP) dengan hasil yang cukup baik. Prevalensi dari 37% menjadi 1,5% setelah pemukiman. Schistosoma Mansoni. Hospes definitive nya adalah manusia dan kera baboon di Afrika sebagain hospes reservoir. Pada manusia menyebabkan schistosomiasis usus. Distribusi cacing ini terdapat di Afrika, Arab, Amerika Selatan dan Tengah. Pada badan cacing jantan terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandinkan dengan S.hematobium dan S.japonica. Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1cm dan yang betina 1,4cm. tempat hidupnya di vena, kolon, dan rectum. Kelainan dan gejala yang ditimbulkan sama seperti S.japonica tetapi lebih ringan, dan splenomegaly dapat menjadi berat sekali. Schistosoma Hematobium. Hospes definitifnya adalah manusia. Cacing ini menyebabkan skistosomiasis kandung kemih. Babon dank era lain dilaporkan sebagai hospes reservoir. Dapat ditemukan di Afrika, Arab bagian timur; lembah Nil, dan tidak ditemukan di Indonesia. Cacing dewasa jantan berukuran 1,3cm dan untuk betina 2,0cm. hidupny di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur ditemukan di urin dan alat dalam lain, juga di alat kelamin dan rectum. Kelainan terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejalanya dapat berupa kelainan kandung kemih, hematuria da dysuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rectum. Malaria. Penyakit ini disebabkan oleh 4 spesies dari genus plasmodium: p.falcifarum, P.vivax, P.ovale, P.malariae. pada malaria harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang sakit dengan riwayat berpergian ke daerah endemic, terutama jika mereka mengalami demam atau gejala menyerupai flu. Infeksi P.falcifarum dapat dengan cepat berkembang kea rah kematian, terutama pada pelancong yang non-imun; infeksi oleh spesies lain biasanya lebih ringan. P.falciparum mengenai semua organ dan menyebabkan
rentang komplikasi yang lebar, seperti malaria serebral, syok sirkulasi, hemolysis akut dan gagal ginjal, hepatitis, dan edema paru. (ipd)
Leptospirosis. (ipd) Epidemiologi Organisasi kesehatan seduni (WHO) memperkirakan 800 juta penduduk dunia yang beresiko terkena schistosomiasis (ipd). Schistosomiasis atau Bilharziasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai Negara. Di Indonesia hanya schistosomiasis japonica yang ada, terutama di Sulawesi Tengah di danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah endemic insiden schistosomiasis rendah. Beratnya infeksi bergantung pada jumlah telur dalam urin atau tinja, dan banyaknya cacing dewasa. Schistosomiasis melibatkan perpaduan dari beberapa factor yaitu parasite, hospes, infeksi tambahan, nutrisi, dan factor lingkungan. Penyakit ini juga berhubungan erat dengan pertanian yang mendapat air irigasi. Keong air tawar meruakan hospes perantara yang biasanya ditemukan pada daerah pertanian tersebut. Dengan meluasnya daerah pertanian dan irigasi maka dapat terjadi penyebaran hospes perantara dan penyakitnya. Infeksi biasanya terjadi pada waktu bekerja di sawah. Prevalensi umur 4-5 tahun akan meningkat sampai umur 15-20 tahun, dan akan menurun kembali di atas 40 tahun. Penanggulangan penyakit ini sampai sekarang ditekankan pada pengobatan masal yang diberikan 6 bulan sekali. Bila prevalensi telah menurun di bawah 5%, dapat diberikan pengobatan selektif. Walaupun demikian pemberantasan hospes perantara dan perbaikan kesehatan lingkungan harus tetap dijaga. (parasite) Etiologi Patologi dan Gejala Klinis Perubahan yang terjadi disebabkan oleh 3 stadium cacing ini, yaitu serkaria, cacing dewasa, dan telur. Perubahan yang penting disebabkan oleh telur. Perubahan pada schistosomiasis dibedakan menjadi 3 stadium, yaitu: Masa Tunas Biologik. Pada stadium ini terdapat 3 gejala, yaitu; (pqarasit) Pertama, gejala kulit dan alergi, merupakan waktu antara serkaria menembus kulit sampai dewasa. Perubahan kulit yang di dapat adalah eritema dan papula
disertai perasaan panas dan gatal. Bila banyak serkaria yang masuk maka akan terjadi dermatitis. Kelainan kulit biasanya hilang dalam waktu 2-3 hari. Kemudian, dapat terjadi gejala alergi yang dtimbulkan karena adanya hasil metabolic schistosommula atau protein asing yang disebabkan karen ada cacing yang mati. Manifestasi klinisnya berupa urtikaria atau gatal-gatal, edema angioneurotik. Kedua, gejala paru. Pada gejala paru ini akan menimbulkan batuk yang disertai dahak produktif dan kadang bercampur dengan sedikit darah. Pada kasus yang rentan gejala dapat menjadi berat sekali sehingga timbul serangan asma. Ketiga, gejala toksemia. Pada gejala ini manifestasi akut atau toksik mulai timbul antara minggu ke 2 sampai minggu ke 8 setelah infeksi. Pada infeksi berat jika terdapat banyak serkaria yang masuk, terutama infeksi yang berulang, dapat menimbulkan gejala tokesemia yang berat disertai demam tinggi. Pada gejala ini akan terjadi gejala lain, seperti lemah, malaise, tidak napsu makan, mual, muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan hipersensitif terhadap cacing. Pada kasus berat gejala tersebut dapat bertahan sampai 3 bulan. Kadan terjadi tenesmus dan sakit perut, serta hati dan juga limpa membesar dan nyeri saat perabaan. Stadium akut. Stadium ini dimulai sejak cacing dewasa betina bertelur, dan telur yang diletakkan di pembuluh darah dapat keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam jaringan sekitar dan dapat menembus lumen dengan cara menembus mukosa, biasanya mukosa usus. Efek patologi dan gejala klinis yang disebabkan telur tergantung dari jumlah telur yang dikeluarkan yang berhubungan langsung dengan cacing betina. Dengan demikian keluhan yang terjadi adalah demam, malaise, berat badan menurun. Sindrom disentri ditemukan pada kasus infeksi yang berat dan pada infeksi ringan hanya ditemukan diare. Hepatomegaly timbul lebih dini dan disusul dengan splenomegaly; ini dapat terjadi dalam waktu 6-8 bulan setelah infeksi. Stadium menahun. Pada
stadium ini penyembuhan jaringan dengan pembentukan
jaringan ikat atau febris. Hepar yang tadinya membesar karena peradangan, akan mengecil karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada schistosomiasi yang terjadi adalah sirosi periportal yang dapat mengakibatkan hipertensi portal. Gejala yang timbul
adalah splenomegaly, edema tungkai bawah dan juga bisa di alat kelamin. Dapat ditemukan acites dan icterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan pecahnya varises pada esophagus. Pengobatan Pada tahun 1970-an pengobatan sistosomiasus hampir sama hasilnya dengan bahaya obat itu sendiri. Itulah sebabnya sekarang hanya beberapa obat saja yang dapat diberika pada sistosomiasis yaituIPD) Prazikuantel. Daya sembuh obat ini untuk S.hematobium, S. mansoni dan S. japonica, 6385% dan dapat menurunkan telur-telur lebih 90% setelah 6 bulan terapi. Obat ini tidak sensitive pada sistosoma muda (2-5 minggu). Dosis 2x20 mg/mg/kgBB/hari untuk S.hematobium dan S.mansoni, dan 3x perhari untuk S.japonicum. Efek samping yang ditimbulkan adalah malese, sakit kepala, anoreksia, pusing, mual, muntah, urtikaria, diaren, dan lain-lain. Gejala ini mulai dari ringan sampai sedang, berlangsung beberapa jam sampai satu hari. Menurut WHO obat ini bisa diberikan pada ibu hamil. Oxamniquine. Obat ini sangat efektif hanya untuk S.mansoni. dosis seklai 1215mg/kg/hari. Ada juga yang memberikan 40-60mg/kg/hari dosis terbagi 2 atau 3 selama 2-3 hari, diberikan bersama makanan. Efek samping yang terjadi dalam beberapa jam berupa pusing, vertigo, mual, muntah, diare, sakit perut, dan sakit kepala. Walaupun jarang terjadi dapat terjadi perubahan tingkah laku, halusinasi, kejang-kejang setelah 2 jam obat ditelan. Obat ini mempunyai efek mutagenic dan teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Artemisinin. Obat ini selektif terhadap sistosomula dan mungkin bermanfaat untuk profilaksis. Pada terapi terhadap S.haematobium, efektifitasnya jauh di bawah prazikuantel. Morfologi dan Siklus hidup Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berkukuran 9,5-19,5mm x 0,9mm. badanya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada dalam pelukan cacing jantan.
Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16.0-26,0mm x 0,3mm. cacing trematoda darah ini hidup di pembuluh darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lender usus atau kandung kemih. Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operculum. Telur cacing schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95-135 x 50-60 mikro. Telur dapat menembus keluar dari darah, bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium. Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak terdapat hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk infektif cacing schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk menimbulkan infeksi adalah 5-10 menit. Setelh serkaria menembus kulit, kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri. Kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena porta dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Komplikasi Pencegahan Prognosis Dengan terapi pada infeksi dini hasilnya akan sangat baik. Kelainan patologi dan hepar. Ginjal dan usus membaik dengan pengobatan. Pengidap (karier) sistosomiasis hepatosplenik relative lebih baik karena fungsi hepar tetap baik sampai akhir dari penyakit (jika tidak ada perdarahan). Korpomunale tidak membaik secara bermakna dengan terapi. Tergantung dari lokasi dan luasnya lesi biasanya membaik dengan terapi. Karier sistosomiasis medulla spinalis harus diwaspadai. Pemberian prazikuatel harus diberikan secepatnya. Pada keadaan lanjut prognosisnya jelek. Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working diagnosi, dan diagnosis banding yang di dapat, menunjukkan bahwa pasien mengalami schistosomiasis, yang merupakan suatu penyakit akibat terdapatnya telur dalam tinja/urin yang dibawa oleh hospes perantara berupa keong air tawar.