LARINGOMALASIA
PENDAHULUAN Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas. Sedangkan pada trakeomalasia, kelemahan terjadi pada dinding trakea. Istilah laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942. Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Etiologi laringomalasia masih belumdiketahui secara pasti. Tetapi karena tingginya insiden gangguan neuromuskuler pada bayi dengan laringomalasia,beberapa peneliti mempercayai bahwa gangguan inimerupakan bentuk hipotonia laring. Peneliti lain berpendapat bahwa penyakit refluks gastroesofageal yangditemukan pada 63% bayi dengan laringomalasia, mungkin berperan, karena menyebabkan edema supraglotis dan mengubah resistensi aliran udara, sehingga menimbulkan obstruksi nafas. Laringomalasia biasanya bermanifestasi saat barulahir atau dalam usia beberapa minggu kehidupan berupastridor inspirasi. Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65-75% kelainan laring pada bayi baru lahir disebabkan olehlaringomalasia, dan masih mungkin dianggap sebagai fasenormal perkembangan laring, karena biasanya gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun. Laringomalasia dapat terjadi sebagai kelainan tunggal atau dapat pula berhubungan dengan anomalisaluran nafas atau organ lain. Lesi lain ditemukan pada hampir 19% bayi dengan laringomalasia. Oleh sebab itu beberapa peneliti menyarankan laringoskopi langsung dan bronkoskopi harus dilakukan pada bayi dengan laringomalasia untuk mencegah tidak terdiagnosisnya kelainan saluran nafas lain yang dapat mengancam jiwa. Trakeomalasia dapat pula terjadi sebagai kelainan tunggal, tidak berhubungan dengan laringomalasia yang dapat menimbulkan gejala stridor inspirasi, ekspirasi atau bifasik. Sebagian besar laringomalasia dantrakeomalasia bersifat ringan dan dapat menghilang sendiri. Keadaan laringotrakeomalasia berat yang menimbulkan keadaan apnea, kesulitan makan, gagal tumbuh dan korpulmonal membutuhkan intervensi bedah.
ANATOMI DAN FISIOLOGI Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung. Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara. Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi, konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus. Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi.
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea, krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi. Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter. Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis. Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas. Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6. Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah lateral. Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks. Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru,
sehingga dapat meningkatkan tekanan intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.
ANAMNESIS Dari anamnesis dapat kita temukan : •
Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara
biasa muncul pada minggu 4-6 awal. •
Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang
biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret nasal. •
Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika
terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan. •
Tangisan bayi biasanya normal
•
Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang
tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi. •
Bayi gembira dan tidak menderita.
PEMERIKSAAN FISIK Pada pemeriksaan fisis ditemukan, •
Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.
•
Dapat terlihat takipneu ringan
•
Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
•
Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi
terlentang •
Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi
selama pemeriksaan •
Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus
sternalis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG •
Flexible Laryngoscopy Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan terbaik untuk konfirmasi
o
diagnosis o
Tes ini melibatkan penempatan tabung berlampu melalui hidung atau mulut untuk melihat kotak suara. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi tegak melalui kedua hidung.
o
Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara ini bentuk kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas. Pada pemeriksaan ini akan nampak visualisasi langsung jalan napas menunjukkan bentuk omega epiglotis yang prolaps menutupi laring saat inspirasi. Selain itu juga di temukan ada pembesaran kartilago aritenoid yang prolaps menutupi laring selama inspirasi juga bisa ditemukan pada pasien laringomalasi
o
Laringoskopi fleksibel dapat membantu menyingkirkan diagnosis anomali laring lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh darah, neoplasma, hemangioma subglotis, gerakan pita suara paradoks, stenosis glotis dan web glotis.
o
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan kurang akurat dalam menilai keadaan subglotis dan trakea
• o
Microlaryngoscopy dan Bronkoskopi Tes ini dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi umum oleh dokter bedah THT. Dokter melihat kotak suara dan tenggorokan dengan teleskop. Dokter mungkin merekomendasikan tes ini jika tes X-ray menunjukkan sesuatu yang
abnormal atau jika dokter Anda memiliki kecurigaan masalah saluran napas tambahan. Radiologi
•
Peran radiologi konvensional posisi anteroposterior dan lateral pada
o
laringomalasia tidak terlalu banyak membantu karena kelainan ini merupakan suatu proses dinamik, namun dapat membantu menyingkirkan penyebab lain. Pemeriksaan radiologi leher posisi anteroposterior dan lateral
bermanfaat untuk menentukan ukuran adenoidal dan tonsillar, ukuran dan ketajaman epiglotik, profil retropharyngeal dan subglottic dan anatomi. Foto lateral leher paling baik diambil dengan posisi ekstensi
leher dan saat inspirasi, sehingga jaringan lunak faring tidak disalahartikan sebagai massa retrofaring. Bila foto diambil saat inspirasi, maka bergeraknya aritenoid, plika ariepiglotika dan epiglotis ke inferior dan medial dapat terlihat sebagai pengembungan dari ventrikel laring dan hipofaring. Foto AP dan lateral dada diperlukan untuk mendeteksi adanya
benda asing radioopak atau penyakit paru lain yang menyertai. Keadaan ini dapat memperlihatkan adanya gambaran air trapping Pemeriksaan esofagogram dengan barium, dapat bermanfaat untuk
o
menentukan adanya kompresi vascular atau untuk melihat anomali vaskular seperti arkus aorta dobel serta dapat menilai bila ada perubahan pada dimensi anteroposterior trakea. o
Video fuoroskopi bermanfaat untuk diagnosis trakeomalasia, aspirasi benda asing dan disfungsi pita suara. Fluoroskopi akan lebih baik menggambarkan proses dinamik dan letak kolaps dapat terlihat pada saat inspirasi disertai dilatasi pada hipofaring akibat obstruksi di daerah laring
o
CT scan dan MRI bermanfaat untuk melihat saluran nafas dan struktur jaringan lunak di sekitarnya, termasuk bukti adanya kompresi vaskuler
•
Pemeriksaan tambahan lain berupa pH Probe dan Esophagogastroduodenoscopy (EGD)
o
Kedua pemeriksaan ini lebih menitik beratkan pada keterlibatan asam lambung. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) juga dicurigai sebagai penyebab
laringomalasia, namun dapat pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan GERD akibat perubahan gradien tekanan intraabdominal/intratorakal. Probe pH adalah tes di mana sebuah tabung kecil ditempatkan melalui
o
hidung bayi dan masuk ke kerongkongan. Tes ini akan mengukur asam yang dapat timbul akibat refluks isi lambung ke osefagus ataupun bahkan sampai pada tenggorokan. Dokter mungkin merekomendasikan tes ini jika pasien ada derajat regurgitasi asam (muntah atau gumoh). EGD adalah sebuah tes diagnostik yang dilakukan di ruang operasi di
o
bawah anestesi umum. Selama EGD, dokter akan mencari tanda-tanda peradangan kronis dari iritasi asam yang dapat terjadi di perut atau kerongkongan. Dokter mungkin merekomendasikan ini jika probe pH secara signifikan abnormal atau ada kecurigaan kuat GERD signifikan berdasarkan sejarah dan pemeriksaan klinis.
DIAGNOSIS Diagnosis laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laringoskopi fleksibel dan radiologi. Pemeriksaan utama untuk diagnosis laringomalasia adalah dengan menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark menyatakan bahwa laringoskopi fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi tegak melalui kedua hidung. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara ini bentuk kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas. Laringoskopi fleksibel dapat membantu menyingkirkan diagnosis anomali laring lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh darah, neoplasma, hemangioma subglotis, gerakan pita suara paradoks, stenosis glotis dan web glotis. Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan kurang akurat dalam menilai keadaan subglotis dan trakea. Masih menjadi perdebatan di kalangan ahli apakah setiap bayi dengan laringomalasia harus melalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi meskipun pemeriksaan tersebut masih merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan ini memiliki beberapa kelemahan bagi kelompok umur
neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi, alat endoskopi yang khusus, membutuhkan ahli anestesi yang handal, dan biaya yang mahal. Olney dkk membuat kategori kandidat yangsebaiknya dilakukan laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah: 1. Bayi laringomalasia dengan gangguan pernafasan yang berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang. 2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia yang ditunjukkan oleh laringoskopi fleksibel. 3. Bayi dengan lesi di laring. 4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti Pada trakeomalasia, diagnosis ditegakkan dengan trakeobronkoskopi, dimana penurunan diameter trakea lebih dari 50% pada saat ekspirasi dianggap abnormal. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah esofagogram, sine-tomografi komputer atau ultrafast, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Esofagogram berguna untuk melihat anomali vaskular seperti arkus aorta dobel serta dapat menilai bila ada perubahan pada dimensi anteroposterior trakea. Sinetomografi komputer atau ultrafast merupakan modalitas terbaru yang tidak invasif dan dapat menunjukkan letak, luas, derajat, dan dinamika kolapsnya trakea dan bronkus. Sementara itu pemeriksaan dengan MRI baik untuk menilai adanya anomali vaskular dan massa mediastinum, tapi kurang sensitif untuk membedakan stenosis trakea dari trakeomalasia. Peran radiologi konvensional posisi anteroposterior dan lateral pada laringotrakeomalasia tidak terlalu banyak membantu karena kelainan ini merupakan suatu proses dinamik, namun dapat membantu menyingkirkan penyebab lain. Bila foto diambil saat inspirasi, maka bergeraknya aritenoid, plika ariepiglotika dan epiglotis ke inferior dan medial dapat terlihat sebagai pengembungan dari ventrikel laring dan hipofaring. Fluoroskopi akan lebih baik menggambarkanproses dinamik ini dan letak kolaps dapat terlihat pada saat inspirasi disertai dilatasi pada hipofaring akibat obstruksi di daerah laring. Pada trakeomalasia pembuatan foto tidak dapat hanya menggunakan film tunggal. Namun bila pada film tunggal ditemui penyempitan segmen trakea yang panjang lebih dari 50%, maka dapat dicurigai adanya trakeomalasia. Proses dinamik trakea dapat diperlihatkan melalui film multipel pada
posisi yang sama atau dengan fluoroskopi. Letak penyempitan trakea intermitten akan terlihat berbeda pada setiap siklus pernafasan.
DIAGNOSIS BANDING STENOSIS SUBGLOTIS KONGENITAL Stenosis subglotis kongenital didefinisikan sebagai suatu diameter subglotis yang kurang dari 4 mm. Laring neonatus normal dapat dilalui bronkosop 3,5 mm. Sebagian neonatus mengalami stridor tidak lama setelag lahir, sedangkan bayi lainnya mengalami episode laringotrakeitis berulang. Diagnosis dibuat secara endoskopi. Kasus ringan hanya perlu pengamatan, namun sebagian besar kasus perlu trakeostomi. Perubahan cenderung dapat mengatasi stenosis relatif namun baragkali diperlukan eksisi laser atau bedah rekonstruktif. Anak dapat mengalami lebih dari satu anomali kongenital pada jalan nafasnya.
SELAPUT (WEBS) Selaput kongenital dapat pada glotis (75 persen), subglotis (12 persen) atau supraglotis (12 persen). Selaput ini biasanya mempengaruhi jalan nafas, suara atau tangisan dimana gejala timbul pada saat lahir. Selaput pertama-tama harus didiagnosis melaluui visualisasi endoskopi. Selanjutnya dapat dilakukan terapi dengan eksisi bedah atau laser, dilatasi berulang, atau trakeotomi dan pemakaian alat selipan laring. Prognosis jangka panjang untuk selaput laring kongenital adalah baik.
KISTA KONGENITAL Neonatus dengan kista kongenital biasanya mengalami obstruksi jalan nafas atau gangguan pertumbuhan. Episode obstruksi jalan nafas dapat membingungkan dan dapat dianggap sebagai akibat suatu gangguan kejang. Suara dan proses menelan biasanya normal. Kista dapat berasal dari pangkal lidah, plika ariepiglotika, atau korda vokalis palsu. Bilamana mungkin, kista harus dieksisi, lebiih baik secara endoskopis. Jika hal ini tidak mungkin, maka dilakukan aspirasi atau marsupialisasi. Pada pasien tertentu diperlukan trakeotomu dan pembedahan luar.
HEMANGIOMA Hemangioma pada daerah subglotis pada laring dibicarakan disini karena merupakan suatu tumor yang terutama terjadi pada bayi dibawah usia enam ulan. Separuh penderita hemangioma laring juga memiliki hemangioma eksterna pada kepala atau leher. Stridor plus hemangioma yang nyata sangat kuat menyongsong diagnosis. Tumor-tumor ini bukanlah neoplasma sejati namun lebih merupakan kelainan vaskular, tumor cenderung beregresi biasanya menjelang usia 12 bulan. Gejala hemangioma tidak berupa perdarahan, namun berupa sumbatan jalan nafas. Suara dan proses menelan biasanya normal. Hemangioma terletak sangat dekat dengan korda vokalis, yaitu diatas lokasi trakeotomi dan benar-benar subglotis. Radiogram lateral dapat memperlihatkan suatu massa dalam jalan nafas. Secara endoskopis, ditemukan massa yang licin dan dapat ditekan, seringkali pada dinding posterior atau lateral tetapi seringkali dengan trakeotomi dan membutuhkan waktu untuk regresi. Eksisi laser kini dapat dilakukan. Radiasi dosis rendah juga telah dilakukan, namun kini dihindari karena kekhawatiran akan timbulnya karsinoma tiroid lanjut.
ETIOLOGI Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat dari kelainan genetik atau kelainan embriologik. Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran, beberapa kelainan baru nampak secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori besar mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni. Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah, sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologinya.
EPIDEMIOLOGI Frekuensi tidak diketahui secara pasti, namun laringomalasia marupakan penyebab tersering timbulnya stridor inspiratoris pada bayi. Insidens laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoris berkisar antara 50%-75%. Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis kelamin.
PATOFISIOLOGI Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi. Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida. Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-sulfat. Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing kasus. Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi. Laringomalasia merupakan penyebab tersering dari stridor inspiratoris kronik pada bayi. Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian, anak-anak dengan masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis
yang sama dengan laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago aritenoid.
GAMBARAN KLINIS Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernafasan. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan. Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi. Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia. Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah: Tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; Tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika; Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.
Gambar 2 : tipe laringomalasia
FAKTOR RISIKO Risiko terjangkit Laringomalasia meningkat bila Anda: •
Adalah seorang laki-laki
•
Bayi menderita refluks asam lambung
PENCEGAHAN Tidak ada cara pencegahan khusus untuk Laringomalasia saat ini.
PENATALAKSANAAN Kira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan pada orang tua pasien tentang prognosis dan tidak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dicapai. Pada keadaan ringan, bayi diposisikan tidur telungkup, tetapi hindari tempat tidur yang terlalu lunak, bantal dan selimut. Jika secara klinis terjadi hipoksemia (saturasi oksigen <90%), harus diberikan oksigenasi.
Pada laringomalasia yang berat, akan tampak gejala obstruksi nafas yang disertai retraksi retraksi sternal dan interkosta, baik saat tidur atau terbangun, sulit makan, refluks berat dan gagal tumbuh. Anak-anak yang mengalami hal ini berisiko mengalami serangan apnea. Keadaan hipoksia akibat obstruksi nafas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan terjadi korpulmonal. Menurut Jackson dan Jackson, 1942, pada keadaan yang berat ini maka intervensi bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas berupa trakeostomi sampai masalah teratasi. Namun pada anak-anak, resiko morbiditas dan mortalitas trakeostomi berisiko tinggi. Pada tahun 1922, Iglauer mempelopori tindakan operasi pada laringomalasia dengan cara membuang ujung epiglotis. Di tahun 1944, Schwartz membuang sebagian epiglotis dengan irisan berbentuk V. Zalza dkk, 1987 melaporkan pada akhir-akhir ini peran bedah endoskopi pada struktur supra glotis telah menjadi alternatif dibanding trakeostomi, dan memberikan harapan yang lebih baik. Peran bedah laring mikro dengan menggunakan laser CO2 telah mulai digunakan sejak tahun 1970-an. Vaugh merupakan orang pertama yang melakukan epiglotidektomi dengan laser CO2 dengan pendekatan endoskopi pada tahun 1978. Jenis operasi yang dilakukan pada laringomalasia adalah supraglotoplasti yang memiliki sinonim epiglotoplasti dan ariepiglotoplasti. Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya.
Gambar 3: Supraglottoplasti
Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligamen glosoepiglotika untuk menarik epiglotis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglotis ke dasar lidah.
PROGNOSIS Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa. KOMPLIKASI Laringomalasia dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikutnya:
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku kedokteran EGC.Jakarta. 1997. 2. Bailey BJ, Calhoun KH. Head and Neck Surgery – Otolaringology, Volume one, 2nd Edition. Lippincott – Raven Publishers. Philadelphia, USA. 3. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid Satu, Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994 4. Bluestone CD, Sylvan ES, Kenna MA. Pediatric Otolaringology, Volume Two, 3rd Edition. WB Saunders Company, Philadelphia, USA.
5. Bye
MR.
Laringomalacia.
Available
at
http://www.emedicine.com/
ped/topic1280.htm . Accessed on December 11th 2006. 6. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose, and Throat, 2nd Edition. BI Churchill Livingstone. New Delhi. 2002. 7. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology – Head and Neck Surgery. Lange Medical Book, Mc Graw-Hill Company. New York, USA. 2004. 8. Lee KJ. Essential Otolaringology – Head and Neck Surgery, 8th Edition. Mc Graw-Hill Medical Publishing Division. New York, USA. 2003. 9. Luhulima JW. Anatom 10. 11. 12. 13. 14. 15. i III, Program Pendidikan Dokter Jilid I, Head and Neck. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran UNHAS. Makassar 2002 16. Paston
F.
Laringomalacia
and
Tracheomalacia.
Available
at
http://pedclerk.bsd.uchicago.edu/tracheomalacia.html . Accessed on December 11th 2006. 17. Texas Pediatric Surgical Associates. Stridor and Laryngomalacia. Available at http://www.pedisurg.com/PtEducENT/ Stridor&laryngomalacia.htm . 18. Tucker HM. The Larynx, 2nd Edition. Thieme Medical Publishing Division. Ohio, USA. 1993.