BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942. Laringomalasia merupakan penyebab utama gejala stridor pada bayi. Laringomalasia biasanya bermanifestasi pada p ada saat lahir atau dalam usia beberapa minggu kehidupan berupa stridor inspirasi. Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65-75% kelainan laring pada bayi baru lahir disebabkan oleh laringomalasia, dan masih mungkin dianggap sebagai fase normal perkembangan laring, karena biasanya gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun, namun dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau 1
masa anak-anak.
Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering stridor inspirasi kronik pada anak. Keadaan ini merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian makanan. Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mulamula terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur 12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti laringomalasia masih belum diketahui. Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel selama respirasi spontan.
1
1.2
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman dokter muda dalam mendiagnosis dan memberikan penanganan terhadap suatu kejadian laryngomalasia.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
ANATOMI LARING
2.1.1
EMBRIOLOGI Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut
embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal . Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis 3
melalui pemeriksaan laring secara langsung.
2.1.2
RONGGA LARING Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada
pintu masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di bagian atas, laring membuka ke dalam laringofaring dan di bawah bersambung dengan trakea. Kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan, yang
3
dihubungkan melalui membran dan ligament yang digerakkan oleh otot dan 3
dilapisi oleh mukosa.
Laring adalah bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring dan batas 5
bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid.
Kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid yang berbentuk seperti huruf U dan beberapa buah tulang rawan. Permukaan atas tulang hyoid dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendo dan otot. Saat menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, dan saat laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk 5
membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring terdiri dari kartilago epiglottis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, 4
dan kartilago kuneiformis. Kartilago-kartilago ini secara embriologis dibentuk dari unsur rawan pada lengkung faring ke-4 dan ke-6 yang bersatu. Lengkung faring ini mulai tampak pada pertumbuhan embrio di minggu ke-4 5
dan ke-5 intra uterin.
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan instrinsik. Otot-otot ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan, terletak di suprahioid (m.digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, m.milohioid) dan infrahioid (m.sternohioid, m.omohioid, m.tirohioid). Otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara, yakni m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, m.krikotiroid, m.aritenoid transversum, 5
m.aritenoid oblik, m.krikoaritenoid posterior.
4
Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot adductor pita suara, 5
kecuali m. krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor.
2.1.3
PERSARAFAN Laring dipersarafi oleh cabang-cabang n. vagus yaitu n. laringis
superior dan n. laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf 5
motorik dan sensorik.
N. laringis superior mempersarafi m. krikotiroid sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini pada awalnya terletak di atas m. konstriktor faring medial, di sebelah medial a. karotis interna dan eksterna, kemudian menuju kornu mayor tulang hyoid, dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, nervus akan 5
bercabang menjadi ramus eksternus dan ramus internus.
5
N. laringis inferior merupakan lanjutan dari n. rekuren yang merupakan cabang dari n. vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang ke a. subklavia kanan dan n. rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan di antara cabang-cabang a. tiroid inferior dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid, n. laringis inferior akan mempersarafi m. krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi krikoariteniod, saraf ini akan bercabang menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior mempersarafi otot intrinsik laring lateral sedangkan ramus posterior mempersarafi otot intrinsik posterior.
5
Untuk memediasi system refleks laring, terdapat 3 jenis reseptor yaitu reseptor mucosal, artikular, dan myotatik.
2.1.4
PENDARAHAN Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a. laringis superior
dan inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a. tiroid superior. Arteri laringis superior berjalan melewati membrane tirohioid bersama-sama dengan cabang internus n. laringis superior kemudian menembus membrane tersebut dan berjalan ke bawah di submukosa dari dinding lateral dan sinus 5
piriformis yang memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.
Arteri laringis inferior merupakan cabang dari a. tiroid inferior dan berjalan bersama n. laringis inferior melewati belakang sendi krikotiroid, masuk ke laring melalui pinggir bawah m. konstriktor faring inferior. Di dalam laring, arteri ini akan bercabang-cabang dan beranastomosis dengan a. laringis superior.
5
Vena laringis superior dan inferior terletak sejajar dengan arteri laringis superior dan inferior yang nantinya akan bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.
5
6
2.2
FISIOLOGI LARING
Laring memiliki 3 fungsi utama yaitu: 4
Fungsi laring terdiri dari : 1.
Proteksi, yakni untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea dengan menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan.
2.
Respirasi, yakni dengan mengatur besar kecilnya rima glottis.
3.
Fonasi, yakni membuat suara dengan menentukan tinggi rendahnya nada. Fungsi fonasi juga berhubungan dengan sistem pengaturan pusat
7
dan perifer. Sistem ini beritegrasi dengan pusat motorik dan linguistik. Sinyal akan dilepaskan dari korteks motorik di gyrus pre sentralis yang selanjutnya dibawa ke nukleus motoris di batang otak dan medulla spinalis yang pada akhirnya ditransmisikan ke otot respirasi, otot laring, dan ototartikulasi.
Adapun fungsi lain dari laring adalah: 4.
Refleks batuk, dapat mengeluarkan benda asing yang telah masuk ke dalam trakea serta mengeluarkan sekret
5.
Sirkulasi, dengan terjadinya perubahan tekanan udara dalam traktus trakeobronkial maka sirkulasi darah dari alveolus akan terpengaruh, demikian juga sirkulasi darah tubuh.
6.
Proses menelan, dengan menggerakkan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.
2.3
LARINGOMALASIA
2.3.1
DEFENISI Laringomalasia
adalah
suatu
keadaan
dimana
akibat
terdapat
flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Gejala utama pada pasien dengan laringomalasia adalah stridor inspirasi dan gangguan pemberian makan. Kelainan ini dapat hilang dengan sendirinya.
2.3.2
EPIDEMIOLOGI Laringomalasia diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1
1942. Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi. Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak perempuan. Laringomalasia secara umum 8
merupakan kondisi self-limiting , akan tetapi dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu, laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan pertumbuhan pada anak. Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua kelainan kongenital tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus, bayi, 2
dan anak yang sering menyebabkan stridor.
2.3.3
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Penyebab pasti laringomalasia masih belum diketahui. Terdapat
banyak teori yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia antara lain imaturitas
struktur
kartilago,
teori
abnormalitas
anatomikal,
reflux
6,7,9
gastroesophageal, dan imaturitas kontrol neuromuskular.
Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brankial ketiga dan keempat. Pada laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibanding yang 7
keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.
Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia yaitu teori anatomi dan teori neuromuskuler. Menurut teori anatomi terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya 7
yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis.
Pada kepustakaan lain disebutkan bahwa hal ini merupakan kelainan kongenital yang bersifat otosomal dominan. Pada teori neuromuskuler dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah terlambatnya perkembangan 9
kontrol neuromuskuler pada struktur supraglotis.
Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) juga dicurigai sebagai penyebab laringomalasia, PRGE dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotis sehingga terjadi peningkatan hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat pula terjadi sebaliknya
9
dimana laringomalasia menyebabkan PGRE akibat perubahan gradien tekanan 7
intraabdominal/intratorakal.
Kelainan anatomi yang mendasari laringomalasia adalah epiglotis yang lentur yang melipat ke dinding laring posterior atau ke saluran nafas, epiglotis pajang dan tubular yang melingkar, dan lengkung ariepiglotis yang pendek yang melipat dengan kartilago kuneiform yang berotasi ke saluran 9
nafas.
Pada pustaka lain, telah dikemukakan teori imaturitas kartilago, di mana teori ini menyatakan bahwa terjadi maturitas terhambat yang 6
menyokong laring.
Laringomalasia dapat melibatkan epiglotis, kartilago aritenoid, dan keduanya. Kelainan pada penyakit ini menyebabkan obstruksi inspirasi 7
saluran nafas yang menyebabkan timbunya stridor inspirasi.
2.3.4
MANIFESTASI KLINIS Laringomalasia biasanya ditandai dengan adanya stridor inspirasi yang
timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif atau dipicu oleh infeksi saluran nafas. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi.
8
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi.
2,3
Obstructive sleep apnea juga ditemukan pada laringomalasia. Keadaan ini bisa menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang 10
lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa. Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, laringomalasia dibagi ke dalam 3, yaitu tipe 1 merupakan prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih, tipe 2 yaitu memendeknya plika ariepiglotika, 8,9
dan tipe 3 yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.
2.3.5
DIAGNOSIS Diagnosis
laringomalasia
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik, laringoskopi fleksibel dan radiologi. Dari anamnesis dan 7,8
pemeriksaan fisik dapat kita temukan:
Riwayat stridor inspiratoris
Ditemukan mulai pada usia 2 bulan, stridor bertambah berat jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, selama dan setelah makan.
Gastric Reflux
Tachypneu ringan sering ditemukan pada pasien laringomalasia
Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis laringomalasia adalah dengan menggunakan laringoskopi fleksibel. Laringoskopi fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi tegak melalui kedua hidung. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara ini bentuk kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas, biasanya akan terlihat gambaran epiglotis yang berbentuk omega. Laringoskopi fleksibel juga dapat membantu menyingkirkan diagnosis anomali laring lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh darah, neoplasma, hemangioma subglotis, 7
gerakan pita suara paradoks, stenosis glotis dan web glotis.
11
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah esofagogram, sinetomografi komputer atau ultrafast , dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Esofagogram berguna untuk melihat anomali vaskular seperti arkus aorta dobel serta dapat menilai bila ada perubahan pada dimensi anteroposterior trakea. Sinetomografi komputer atau ultrafast merupakan modalitas terbaru yang tidak invasif dan dapat menunjukkan letak, luas, derajat, dan dinamika kolapsnya trakea dan bronkus. Sementara itu pemeriksaan dengan MRI baik untuk menilai adanya anomali vaskular dan massa mediastinum, tapi kurang 7,9
sensitif untuk membedakan laringomalasia.
Peran radiologi konvensional posisi anteroposterior dan lateral pada laringotrakeomalasia tidak terlalu banyak membantu karena kelainan ini merupakan suatu proses dinamik, namun dapat membantu menyingkirkan penyebab lain. Bila foto diambil saat inspirasi, maka bergeraknya aritenoid, plika ariepiglotika dan epiglotis ke inferior dan medial dapat terlihat sebagai pengembungan dari ventrikel laring dan hipofaring. Fluoroskopi akan lebih baik menggambarkan proses dinamik ini dan letak kolaps dapat terlihat pada saat inspirasi disertai dilatasi pada hipofaring akibat obstruksi di daerah 7
laring.
2.3.6
PENATALAKSAAAN Laringomalasia dapat sembuh dengan sendirinya pada 85-90% pasien
dan tidak memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan pada orang tua pasien tentang prognosis dan tidak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor 10
menghilang dan pertumbuhan yang normal dicapai.
Dari presentasi klinis, penanganan pada anak dengan laringomalasia dibagi menjadi penanganan non-bedah dan penanganan dengan pembedahan. Penanganan non-bedah meliputi penanganan empirik dari reflux, modifikasi pemberian makan dan reposisi postur. Reflux dapat diatasi dengan pemberian 12
antagonis reseptor H2 (Ranitidine 3mg/kg, 3 kali sehari) atau proton pump inhibitor (1mg/kg daily). Modifikasi pemberian makanan meliputi pemadatan formula pada makanan, memposisikan pasien makan dengan posisi tegak, dan pemberian makan dengan porsi sedikit tapi sering. Hal ini dapat membantu pemberian makanan yang adekuat pada anak dan mempertahankan berat badan ideal. Reposisi postur dapat dilakukan dengan bayi diposisikan tidur telungkup, tetapi hindari tempat tidur yang terlalu lunak, bantal dan selimut. Jika secara klinis terjadi hipoksemia (saturasi oksigen <90%), harus diberikan .10
oksigenasi
Indikasi absolut untuk tindakan bedah adalah cor pulmonale, hipertensi pulmonal, hypoxia, apnea, sianosis berulang, gagal tumbuh, pectus excavatum dan stridor dengan retraksi yang signifikan. Indikasi relative meliputi aspirasi, kesulitan pemberian makanan pada anak yang gagal 10
tumbuh.
Menurut Jackson dan Jackson, 1942, pada keadaan yang berat ini maka intervensi bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas berupa trakeostomi sampai masalah teratasi. Namun 1
pada anak-anak, resiko morbiditas dan mortalitas trakeostomi berisiko tinggi.
Pada tahun 1922, Iglauer mempelopori tindakan operasi pada laringomalasia dengan cara membuang ujung epiglotis. Di tahun 1944, Schwartz membuang sebagian epiglotis dengan irisan berbentuk V. Zalza dkk, 1987 melaporkan pada akhir-akhir ini peran bedah endoskopi pada struktur supra glotis telah menjadi alternative dibanding trakeostomi, dan memberikan harapan yang lebih baik. Peran bedah laring mikro dengan menggunakan laser CO2 telah mulai digunakan sejak tahun 1970-an. Vaugh merupakan orang pertama yang melakukan epiglotidektomi dengan laser CO2 dengan 6
pendekatan endoskopi pada tahun 1978. Jenis
operasi
yang
dilakukan
pada
laringomalasia
adalah
supraglotoplasti yang memiliki sinonim epiglotoplasti dan ariepiglotoplasti. 13
Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligamen glosoepiglotika untuk menarik epiglotis ke depan dan 6
menjahitkan sebagian dari epiglotis ke dasar lidah.
Supraglottoplasti
2.3.7
KOMPLIKASI Komplikasi dapat terjadi pada laringomalasia yang berat : -
Episode henti nafas (apneu)
14
-
Reflux, dengan asam lambung yang dapat merusak laring dan
jika terinhalasi oleh anak dapat terjadi aspirasi pneumonia. Masalah 10
pemberian makanan, yang berakibat ke gangguan pertumbuhan.
2.3.8
PROGNOSIS Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan
dapat sembuh sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor 7
akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa.
15
BAB 3 PENUTUP
Laringomalasia adalah suatu keadaan dimana akibat terdapat flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Gejala utama pada pasien dengan laringomalasia adalah stridor inspirasi dan gangguan pemberian makan. Kelainan ini dapat hilang dengan sendirinya pada usia 2 tahun namun dapat menetap hingga usia 4 tahun. Diagnosis laringomalasia dapat ditegakkan dengan anamnesis dimana didapati riwayat stridor saat inspirasi dan kemungkinan adanya gastric refluks, pemeriksaan fisik, laringoskopi fleksibel dan radiologi yaitu dengan esofagogram, CT-scan, dan MRI. Penanganan laringomalasia non-bedah meliputi penanganan empirik dari reflux, modifikasi pemberian makan dan reposisi postur. Reflux dapat diatasi dengan pemberian antagonis reseptor H2 (Ranitidine 3mg/kg, 3 kali sehari) atau proton pump inhibitor (1mg/kg per hari). Modifikasi pemberian makanan meliputi pemadatan formula pada makanan, memposisikan pasien makan dengan posisi tegak, dan pemberian makan dengan porsi sedikit tapi sering. Penanganan bedah yang dapat diberikan pada anak dengan laringomalasia adalah
dengan
supraglotoplasti
yang
memiliki
sinonim
epiglotoplasti
dan
ariepiglotoplasti.
16
DAFTAR PUSTAKA
1.
Friedman, M. Sleep apnea and Snoring: Surgical and Non Surgical Therapy. 2009. Saunders Elsevier, WA
2.
Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman Edisi Ke-7. Jakarta : EGC ;2000. h 233-5.
3.
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT . Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 1997.
4.
Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of The Larynx dalam Ballenger th
JJ, Snow JB. Otolaryngology Head and Neck Surgery 16 Edition. Baltimore : William & Wilkins ; 2003 p 1090-1108. 5.
Hermani B, Kartosoediro S, Syahrial MH. Disfonia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ;2007. h 231-4
6.
Mukerji, Shraddha; Pine, Harold M. Current Concepts in Diagnosis and Management of Laryngomalacia. Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept of Laryngomalacia
March
2009.
Available
at
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Laryngomalacia-090331/laryngomalacia090331.pdf 7.
Bye MR. Laryngomalacia. (Update Feb 24, 2010: cited Mar 7, 2012). Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527
8.
Texas Pediatric Surgical Associates. Stridor and Laryngomalacia. Available from: http://www.pedisurg.com/PtEducENT/Stridor&laryngomalacia.htm
9.
Lusk, RP. 2003. Congenital Anomalies of the Larynx dalam Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition. Hamilton : BC Decker Inc. p1049-1051
10.
Elsevier, Laryngomalacia. Available at http://www.impcna.com/intranet/ Nelson%20Pediatric/Respiratory/Laryngomalacia%5B1%5D.pdf
17