2014
Entrepreneurship & Business Ethics
1
Toward applied Islamic business ethics: responsible halal business Journal Review and Theory Tugas Kelompok Mata Kuliah Entrepreneu Entrepreneurship rship & Business Ethics Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Disusun oleh :
Larasati Ayu Sekarsari Tiara Khoerunisa
Entrepreneurship & Business Ethics
Journal Review and Theory
“Toward applied Islamic business ethics: responsible halal business” business” Disusun Untuk Menyelesaikan Tugas Kelompok Mata Kuliah Entrepreneurship & Business Ethics Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Disusun Oleh : Larasati Ayu Sekarsari (136020200011002) Tiara Khoerunisa (136020217011002)
MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
2
Entrepreneurship & Business Ethics
KATA PENGANTAR
Segala puji, syukur, dan penghormatan dipanjatkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, hanya oleh karuniaNya maka penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini dapat selesai dengan tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dan oleh karena itu, penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar - besarnya, kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Margono Setiawan SE., SU., selaku Dosen Mata Kuliah Entrepreneurship & Business Ethics yang Ethics yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini.
2.
Orang tua,kakak, adik-adik, dan teman – teman yang telah memberikan bantuan dukungan moral.
3.
Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang disusun ini masih jauh dari
sempurna.Oleh karena itu penulis selalu membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki diri dalam pembuatan makalah selanjutnya.Tak lupa penulis memohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dalam penyusunan makalah ini.
Malang, September 2014
Penulis
3
Entrepreneurship & Business Ethics
Theory
ETIKA DAN BISNIS
1.1 PENDAHULUAN Salah satu dampak globalisasi adalah adanya persaingan bisnis yang semakin ketat, yang ditandai oleh kegiatan bisnis yang kini tumbuh dan berkembang melewati apa yang pernah diprediksikan dan di'visi'kan sebelumnya.Pelakunya terbuai dengan visi dan, misinya, terjebak di antara harapan dan kenyataan. Bangkitnya negara berkembang dengan industri labour intensive seperti Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 1980-an dan setelah runtuhnya rezim komunis 1990, mulailah dikenal Bisnis Global yang berbasis pada efisiensi yang diperkirakan akan terus berlangsung sampai tahun 2020 dan bahkan lebih. Bisnis bisa dijalankan dengan cara berbeda antara suatu negara atau organisasi atau perusahaan baik dari sisi budaya, politik, hukum, ekonomi, perilaku maupun sudut pandang. Bisnis sudah tak mengenal ruang dan waktu, dari bisnis yang hanya mempertukarkan barang dengan barang (barter) sampai dengan bisnis dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi. Transaksi bisnis kini dapat diwujudkan tanpa harus adanya pertemuan fisik pembeli dan penjual. Mereka bisa tinggal dimana saja, dan kapan saja dapat menyelenggarakan aktivitas bisnisnya. Teknologi dan Informasi (komunikasi) telah mengubah dunia yang begitu luas menjadi semakin kecil, kini dunia seakan telah menjadi sebuah kampung besar yang dengan mudah dijangkau manusia. Etika merupakansuatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk menganalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan. Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang ber has il ada lah yang mah ir mengha ncurka n mus uh -mu suh nya .Ba nyak yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal perdagangan dunia yang lebih bebas di masa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas. Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang untuk terjun karena baru yaitu pasar bebas di masa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharus nya sama sekali tid ak dit entu kan ole h ukuran bes ar keci lnya seb uah per usa haan. Ji ka ki ta ingin mencap ai tar get di ta hun 2020 , sudah saat nya dunia b isnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika. Dalam menciptakan etika bisnis, ada bcberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawa b sos ial, memp ert aha nkan jati dir i, menc iptaka n per saingan
4
Entrepreneurship & Business Ethics
yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K(Kalabelcce, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll. Aktivitas bisnis adalah pekerjaan mulia, karena dapat memberikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan manusia Persaingan dalam bisnis adalah wajar dan dibenarkan, tetapi tidak harus identik dengan pertempuran dan peperangan. Persaingan yang baik dalam bisnis adalah persaingan damai. Damai dalam sebuah dinamika persaingan dan bersaing dalam suasana perdamaian. Dalam bisnis beretika persaingan hanyalah sarana untuk memp erb aik i cit ra pro duk dan perus ahaan di mata pelangg annya. Di samping itu persaingan juga dapat menjadi instrumen untuk memperbaiki kinerja organisasional. Justru itu makna persaingan dalam ranah bisnis harus diluruskan, demikian juga pandangan terhadap bisnis itu sendiri. Bisnis yang baik adalah bisnis bermoral, yakni suatu bisnis yang tidak saja menempatkan dan mementingkan pribadi pelakunya semata. Bisnis tidak melarang keuntungan yang besar bagi suatu perusahaan. Hanya saja semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka semakin besar pula tanggung jawab etika dan sosialnya kepada masyarakat. Dalam ajaran etika, selain untuk membahagiakan dirinya, pelaku bisni s juga mengemban amanah dan kewajiban untuk membahagiakan orang lain dan masyarakat sekitarnya.Memelihara alam dengan segala sumber dayanya adalah juga tanggung jawab kita semua, dan pelaku bisnis harus berada di barisan depannya. Untuk melaksanakan tanggung jawab moral, diperlukan suatu panduan yang mengandung prinsip-prinsip, norma-normadan standar, sehingga didapatkan kebenaran moral dalam sikap dan perilakunya. Kesemuanya itu telah dikemas oleh para ahli dan filosof dalam bingkai etika. Aplikasi semua nilai-nilai etika dalam kerangka bisnis disebut dengan etika bisnis. Dengan panduan etika bisnis, pelaku usaha dan partisipan organisasi bisnis harus berlaku manusiawi dengan menempatkan manusia di atas segalanya. Sebagai mana dirinya, pebisnis seyogianya menyadari bahwa setiap manusia itu mempunyai hak yang mendasar dan dilindungi, yakni hak asasi manusia. Sayangnya hak-hak manusia ini sering diremehkan, diabaikan dan dilecehkan banyak usahawan (pelaku bisnis) saat ini. Trend pelecehan hak-hakdasar manusia ini terindikasi pada banyaknya skandal dan kasus eksploitasi manusia dalam penyelenggaraan bisnis di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tantangan yang paling mendasar dalam upaya menciptakan pelaku usaha beretika adalah bagaimana mensosialisasi nilai-nilai etika bisnis itu dan menjadikannya sebagai acuan dalam setiap perilaku pebisnis kita. Nilai-nlai positif yang terkandung dalam etika sepantasnya menjadi panutan dari pemimpin organisasi bisnis dalam berbagai skala dan dimanapun mereka berada. Terkesan banyak pelaku usaha yang masih keberatan dengan penyelenggaraan etika dalam usaha bisnisnya. Padahal dalam banyak hasil penelitian etika, jarang sekali ditemukan pebisnis yang
5
Entrepreneurship & Business Ethics
mempraktikkan nilai etika gagal dalam bisnisnya. Malah sebaliknya praktik etika yang baik dalam setiap kegiatan bisnis akan mendukung keberhasilan usaha, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Keberadaan nilai dalam etika bisnis adalah penting, krusial dan strategis. Hal ini bermakna bahwa penyelenggaraan etika bisnis tidak bisa terlepas dari kemampuan menerima dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam setiap kegiatan bisnisnya. Nilai adalah sesuatu yang benar, yang baik dan yang indah. Keberadaan nilai dalam banyak hal dapat mempersatukan orangorang yang terlibat dalam suatu bisnis dan menyelesaikan konflik nilai yang terjadi, sehingga dengan demikian penganutan nilai oleh pelaku bisnis itu akan memudahkan pencapaian tujuan organisasinya. Organisasi bisnis adalah organisasi yang mengemban multi tanggung jawab. Selain tanggungjawab dalam menciptakan keuntungan dan nilai bagi pemegang saham, tanggung jawab terhadap karyawan, pelanggan dan mitra kerja, organisasi bisnis juga mengemban tanggung jawab sosial yang Iebih besar. Organisasi bisnis merupakan bahagian dari organisasi yang Iebih besar dan secara kolektif berarti masyarakat. Karenanya usaha bisnis selain memiliki tanggung jawab dalam kinerja ekonomi, juga dituntut untuk bertanggung jawab sosial. Sebuah organisasi mempunyai tanggung jawab penuh atas dampaknya terhadap masyarakat lingkungan dan masyarakat luas. Tanggung jawab organisasi yang sesungguhnya adalah mendapatkan suatu pendekatan ke masalah- masal ah sosiat yang sesuai dengan kompetensinya dan dapat menjadikan masalah-masalah sosial s ebagai suatu kesempatan bagi organisasi. Tanggung jawab sosial adalah bahagian dari sebuah etika bisnis suatu organisasi berorientasi keuntungan (profit oriented). Penyelenggaraan tanggung jawab sosial dalam konteks etika harus mengacu kepada nilai-nilai moral. Nilai-nilai etika bisnis itu dapat diperoleh dari berba gai sumber, antara lain dari ajaran filsafat, pengalaman budaya, hukum dan aturan yang berlaku dan ajaran-ajaran agama. Tanpa mengadopsi nilai etika bisnis, kemun gkinan besar dunia bisnis akan dila nda musibah dahs yat. Dalam makna bahwa kehadirannya dapat saling menghancurkan semuanya dan jauh dari hakikat tujuan hidup manusia di dunia secara universal. Dalam dunia bisnis Indonesia kini banyak didapati pelanggaran etika, penyimpangan nilai-nilai etika sudah semakin kentara dan tanpa penanganan yang serius akan berdampak negatif terhadap situasi persaingan, iklim bisnis, dan jalannya aktivitas perekonomian bangsa. Beberapa perilaku menyimpang yang melanda dunia bisnis Indonesia saat ini antara lain: sikap menghalalkan semua cara untuk mendapatkan pendapatan dan keuntungan; berbisnis dengan pola kekerasan sudah menjadi suatu tradisi; kolusi, kedekatan dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu pendekatan dalam praktik bisnis; penipuan dianggap trik-trik usaha dan biasa-biasa saja; semakin banyaknya pebisnis bertopeng etika; tren saling membongkar rahasia dan hal-hal privasi menjadi lumrah; serta maraknya pelanggaran hak cipta dan intelektual.
6
Entrepreneurship & Business Ethics
1.2 PENGERTIAN ETIKA Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani yang dalam bentuk tunggal yaitu ethos dan dalam bentuk jamaknya yaitu ta etha. "Ethos" yangberarti sikap, cara berpikir, watak kesusilaan atau adat. Kata ini identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin "mos" yang dala m bentuk jamaknya Mores yang berarti juga adat atau cara hidup. Kata moresini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Etika dan Moral memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya ada sedikit perbedaan. Moral biasanya dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai/dikaji (dengan kata lain perbuatan itu dilihat dari dalam diri orang itu sendiri), artinya moral disini merupakan subjek, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau masyarakat tertentu (merupakan aktivitas atau hasil pengkajian). Menurut Larkin (2000) "Ethics is concerned with moral obligation, responsibility, and social justice" Hal ini berarti bahwa etika sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Etika yang dimiliki individu ini secara lebih luas mencerminkan karakter organisasi/perusahaan, yang merupakan kumpulan individuindividu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku baik dan buruk yang kemudian diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Fatt, 1995) dan (Louwers, 1997). Perusahaan pada dasarnya merupakan sekumpulan individu, sehingga etika yang dianut oleh individu tersebut pada akhirnya akan tercermin dalam standar dan norma perilaku yang kemudian diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam pekerjaan sehari-hari. Etika menurut Gray (1994) merupakan nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan tingkah laku yang diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Penulis lainnya Magnis Suseno (1989) dan Keraf (1991) menyatakan bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tertang bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah etika diartikan sebagai: 1.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dankewajiban moral.
2.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan ata umasyarakat.
7
Entrepreneurship & Business Ethics
Etika merupakan cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruknya ba gi tingkah laku manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia yang manakah yang baik. Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia dan masyarakat seperti: antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusan (ought). Perbedaannya dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi hanya terbatas pada pengetahuan yang dihasilkan dari tenaga manusianya sendiri. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Etika (Ethics) yang dalam bahasa Yunani adalah ethos berarti adat kebiasaan, adat istiadat dan akhlak yang baik dan banyak ahli filsafat menyebutnya dengan istilah moralitas. Dengan kata lain "ethos" yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk menilai apakah tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik (Adams, 1995 dan Asgary, 2002). Memasukkan kata adat atau kebiasaan yang baik dalam memberikan batasan Etika berarti mempertimbangkan dan merujuk kepada nilai ajaran filsafat. .Pada tataran berikutnya pemahaman Etika dikaitkan dengan faktor waktu dan ruang, sehingga dengan demikian akan memperkaya pemahaman-nya. Dalam makna filsafat, Etika termasuk dalam kategori filsafat moral. Istilah etika kadang digandengkan dengan moral yang di namakan dengan etika moral. Etika moral terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran itu adalah suara hati. Jadi secara etimologis, etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan kebiasaan baik atau buruk, yang diterima umurn mengenai sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip prinsipyang dikembangkan di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu pro fesi. Belakangan ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral karena dalam banyak hal filsafat moral mengkaji pula prinsip-prinsip etika. Etika, kadangkadang didefinisikan sebagai ilmu perilaku, walaupun masih dipertanyakan apakah etika dapat dipandang sebagai ilmu. J ohnson (1989) menjelaskan etika sebagai berikut: "Ethics is a science in the sense that its study represents an intellectual enterprise, a rational inquiry into its subject matter in the hope of gaining knowledge. As such ethics can be contrasted with art or religion or technology, whose purposes are not the same. Although ethics differ from the various empirical sciences both in its subject matter and its special methodology, it shares with them a general methodology, rational inquiry and an overall goal the attainment of truth. These relationships between ethics and science have led philosophers to speaks of ethics as a normative science, because it concerns
8
Entrepreneurship & Business Ethics
itself with norm and standards, in contrast to the descriptive sciences, which concerns themselves which describing empirical facts ". Dapat disimpulkan bahwa etika adalah merupakan suatu cabang ilmu filsafat, tujuannya adalah mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral, dengan tujuan membuat pertimbangan yang cukup beralasan dan akhir nya sampai pada rekomendasi yang memadai yang tentunya dapat diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Menurut Wiley (1995 dalam Mauro et al., 1999) "Ethics is concerned with moral obligation, responsibility, and social justice" Hal ini berarti bahwa etika berpengaruh terhadap kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Etika secara lebih kontemporer mencerminkan karakter perusahaan, yang merupakan kumpulan individu-individu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku tanggungjawab masyarakat, kemudian di internalkan kepada masing-masing karyawan dalam organisasi (Daft, 1992). Menurut Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi
manusia
aturan
atau
petunjuk
konkret
tentang
bagaimana
harus
hidup,
bagai mana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Antonius Alijoyo (2004) menerangkan perusahaan perlu menerapkan nilai-nilai etika berusaha, karena dengan adanya praktik etika berusaha dan kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan nilai perusahaan. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika terdapat aturan dan sangsi. Kalau perilaku yang salah tetap dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Sehingga perlu ada sanksi bagi yang melanggar untuk memberi pelajaran kepada yang bersang-kutan. Moral dan etika mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan ke mana harus melangkah dalam hidup ini, namun terdapat sedikit perbedaan bahwa moralitas langsung menunjukkan inilah caranya untuk melangkah sedangkan etika justru mempersoalkan apakah harus melangkah dengan cara ini? Dan mengapa harus dengan cara itu. Dengan kata lain moralitas adalah suatu pranata, sedangkan etika adalah sikap kritis setiap pribadi atau kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas. Pada akhirnya etika memang menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Etika berusaha membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan. Pelaku usaha dapat memperoleh ilmu etika melalui teori etika, selain pengalaman dan informasi moral yang diterima dari berbagai sumber. Dalam teori etika terungkap etika deontologi, etika teleologi, etika hak dan etika Keutamaan.
9
Entrepreneurship & Business Ethics
1)
Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang
berkewajiban" atau sesuai dengan
prosedur dan logos yang berarti ilmu atau teori. Menurut teori ini beberapa prinsip moral itu bersifat mengikat betapapun akibatnya. Etika ini menekankankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu t indakan itu baik bukan dinil ai dan dibenarka n berda sarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Atau dengan kata lain tindakan itu bernilai moral
karena tindakan
itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yangmemang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Teori ini menekankan kewajiban sebagai tolak ukur bagi penilaian baik atau buruknya perbuatan manusia, dengan mengabaikan dorongan lain seperti rasa cinta atau belas kasihan. Terdapat tiga kemungkinan seseorang memenuhi kewajibannya yaitu: karena nama baik, karena dorongan tulus dari hati nurani, serta memenuhi kewajibannya. Deontologist menetapkan aturan, prinsip dan hak berdasarkan pada agama, tradisi, atau adat istiadat yang berlaku. Yang menjadi tantangan dalam penerapan deontological di sini adalah menentukan yang mana tugas, kewajiban, hak, prinsip yang didahulukan. Sehingga banyak filosof yang menyarankan bahwa tidak semua prinsip deontological harus diterapkan secara absolut. Teori ini memang berpijak pada norma-norma moral konkret yang harus ditaati, namun belum tentu mengikat untuk kondisi yang bersifat khusus. Contohnya, seseorang boleh saja merampok kalau hasil rampokannya dipakai untuk memberi makan orang yang terkena musibah. 2)
Etika Teleologi
Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran atau hasii dan logos yang berarti ilmu atau teori. Etika ini mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau konsekuensi yang ditimbulkannya baik dan berguna. Bila kita akan memutuskan apa yang benar, kita tidak hanya melihat konsekuensi keputusan tersebut dari sudut pandang kepentingan kita sendiri. Tantangan yang sering dihadapi dalam penggunaan teori ini adalah bila kita bisa kesulitan dalam mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam mengevaluasi semua kemungkinan konsekuensi dari keputusan yang diambil. 3)
Etika Hak
Etika Hak memberi, bekal kepada pebisnis untuk mengevaluasi apakah tindakan, perbuatan dan kebijakan bisnisnya telah tergolong baik atau buruk dengan menggunakan kaidah hak seseorang. Hak seseorang sebagai manusia tidak dapat dikorbankan oleh orang lain apa statusnya. Hak manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap manusia, sebab ber kai tan de nga n rea litas hid up man usia se ndi ri .
Etika hak kadangkala dinamakan
"hak manusia" sebab manusia berdasarkan etika hams dinilai menurut martabatnya. Etika
10
Entrepreneurship & Business Ethics
hak mempunyai sifat dasar dan asasi (human rights), sehingga etika hak tersebut merupakan hak yang; (1) Tidak dapat dicabut atau direbut karena sudah ada sejak manusia itu ada; (2) Tidak tergantung dari persetujuan orang; (3) Merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia. 4)
Etika Keutmaann
Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal seperti kedua teori sebelumnya. Etika ini lebih mengutamakan pembangunan karakter moral pada diri setiap orang. Nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan atau perintah, namun dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Di dalam etika karakter lebih banyak dibentuk oleh komunitasnya. Pendekatan ini terutama berguna dalam menentukan etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas profesional yang telah mengembangkan norma dan standar yang cukup baik. Keuntungan
teori
ini
bahwa
para
pengambil
keputusan
dapat
dengan
mudah
mencocokkan dengan standar etika komunitas tertentu untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah tanpa ia harus menentukan kriteria terlebih dahulu (dengan asumsi telah ada kode perilaku). Indikator Etika (Ethics) merupakan kemampuan individu untuk memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan issue etika dan moral, baik dan buruk, salah dan benar (Forsyth, 1980; Kohlberg, 1981; Velasques, 2005): 1.
Karena untuk menghindari hukuman;
2.
Melakukan hal yang baik jika mendapat imbalan;
3.
Sesuai dengan pendapatteman;
4.
Mentaati hukum dan Peraturan;
5.
Memenuhi kontrak sosial; dan
6.
Kesadaran individu, memenuhi tuntutan moral dan menerapkan dengankonsisten
1.3 ETIKA,ETIKET, MORAL, HUKUM, DAN AGAMA 1.3.1
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ETIKA DAN ETIKET
1.3.1.1 PERSAMAAN ETIKA DAN ETIKET Seringkali dua istilah tersebut disamakan artinya, padahal terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya. Dari asal katanya saja berbeda, yakni Ethics dan Ethiquetle. Etika berarti moral sedangkan Etiket berarti sopan santun. Pengertian etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama manusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan
11
Entrepreneurship & Business Ethics
merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama. Namun meskipun berbeda, ada persamaan antara keduanya, yaitu: 1.
Keduanya menyangkut objek yang sama yaitu perilaku manusia;
2.
Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinyamemberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
1.3.1.2 PERBEDAAN ETIKA DAN ETIKET Setelah kita ketahui persamaan etika dan etiket, maka dapat kita bedakan etika dan etiket sebagai berikut: 1.
Etiket menyangkut cara suatu melakukan perbuatan harus dilakukanmanusia. Diantara beber apa cara yang mungk in, etiket menunj ukkanc ara yang tepat, arti nya cara yang diharapkan serta ditentukan dalamsuatu kalangan tertentu.
2.
Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etikamenyangkut pilihan yaitu apakah perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
3.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan pada suatu kelompok tertentu.Bila tidak ada saksi mata , maka etiket tidak berlaku.
4.
Etika selalu berhku dimana saja dan kapan saja, meskipun tidak adasaksi mata, tidak tergantung pada ada dan tidaknya seseorang.
5.
Etiket bersifat relatif artinya yang dianggap tidak sopan dalam suatukebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
6.
Etika bersifat absolut. Prinsip-prinsipnya tidak dapat ditawar lagi, danharus dilakukan.
7.
Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
8.
Etika menyangkut manusia dari segi rohaniahnya. Orang yang bersikap etis adalah rang yang sungguh-sungguh baik, dimana nilai moralnya sudah terinternalisasi dalam hati nuraninya.
1.3.2
ETIKA DAN HUKUM
1.3.2.1 HUBUNGAN ETIKA DENGAN HUKUM
Cara paling mudah untuk menggambarkan hubungan antara etika dan hukum adalah dengan diagram Venn, seperti pada G ambar 1.1 sebagai berikut (Trevino & Nelson, 1995):
12
Entrepreneurship & Business Ethics
ETHICS
Ethics & law
Gambar 1.1 Diagram Ven "Hubungan Etika dengan Hukum
Hukum adalah refleksi minimum norma sosial dan standar dari sifat bisnis. Secara umum, kebanyakan orang percaya bahwa sifat mematuhi hukum adalah juga sifat yang beretika. Tapi banyak standar sifat di dalam sosial yang tidak tertuliskan dalam hukum. Contohnya saja dalam konflik kepentingan mungkin tidak ilegal, tapi secara umum dapat menjadi tidak beretika dalam kehidupan sosial. 1.3.2.1 PERBEDAAN ETIKA DAN HUKUM
Perbedaan etika dengan hukum dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Hukum pada dasarnya tidak hanya mencakup ketentuan yang dirumuskan secara tertulis, tapi juga nilai-nilai konvensi yang telah menjadinorma di masyarakat.
2.
Etika mencakup lebih banyak ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
3.
Pada umumnya kebanyakan orang percaya bahwa dengan perilaku yangpatuh terhadap hukum adalah juga merupakan perilaku yang etis.
4.
Banyak sekali standar perilaku yang sudah disepakati oleh masyarakatyang tidak tercakup dalam hukum, sehingga terdapat bagian etika yangtercakup dalam hukum, namun sebagian juga belum tercakup di dalamhukum, seperti conto h kasus di dalam masyar akat yang dianggapmelanggar etika tetapi dalam hukum itu tidak melanggar, sepanjangtidak ada aturan yang tertulis bahwa tindakan tersebut adalah melanggarhukum.
5.
Nor ma hukum cep at ket ing gal an zaman, h ingga bisa men yebabk an celah hukum.
1.3.3
PERBEDAAN MORAL DAN HUKUM
Sebenarnya antara keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Moralitas adalah keyakinan dan sikap batin, bukan hanya sekedar penyesuaian atau asal taat terhadap aturan. Karena antara satu dengan yang lain saling mempe-ngaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas penegakan hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralitasnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaliknya moral pun
13
Entrepreneurship & Business Ethics
membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak sosial moralitas. Walaupun begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain: 1.
Hukum bersifat ob yektif karena hukum dituliskan dan d isusun dalam kitab undang-undang. Maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebihbesar.
2.
Moral bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oleh pertanyaa n a tau disk usi yang mengigingkan kejelasan tentang etis dantidaknya.
3.
Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriahfaktual.
4.
Moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.
5.
Pelanggaran terhadap hukum mengakibatkan si pelaku dikenakan sanksiyang jelas dan tegas.
6.
Pelanggaran moral biasanya mengakibatkan hati nuraninya akan merasatidak tenang.
7.
Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
8.
Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat.
1.3.4
ETIKA DAN AGAMA
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Pada dasarnya agama memberikan ajaran moral untuk menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Menurut Kanter (2001) tidak mungkin orang dapat sungguh-sungguh hidup bermoral tanpa agama, karena (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut dengan bagaimana manusia menjadi baik, jalan terbaiknya adalah kita mengikuti perintah dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan kita (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling lama bertahan sejak dulu kala, sehingga moralitas dalam masyarakat erat terjalin dengan kehidupan ber-agama (3) agama menjadi penjamin yang kuat bagi hidup bermoral. Perbedaan antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dan ajaran agama.
1.3.4
ETIKA DAN MORAL
Etika Iebih condong ke arah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal sebagai kode etik. Moral berasal dari kata bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals (BP-7, 1993: Poespoprodjo, 1986). Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk, atau dengan kata lain moralitas merupakan pedoman/standar
14
Entrepreneurship & Business Ethics
yang dimiliki oleh individu atau kelompok mengenai benar atau salah dan baik atau buruk. Velasques (2005) menyebutkan lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral, yaitu: 1.
Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
2.
Standar moral moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewanotoritatif tertentu, standar moral tidak dibuat oleh kekuasaan, validitasstandar moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untukmendukung atau membenarkannya, jadi sejauh nalarnya mencukupimaka standarnya tetap sah.
3.
Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai yang lain, khusus-nya kepentingan pribadi.
4.
Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
5.
Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa katatertentu, seperti jika kita bertindak bertentangan dengan s tandar moral,normalnya kita akan merasa bersalah, malu atau menyesal. Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the
performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Jadi etika lebih berkaitan dengan kepatuhan, sementara moral lebih berkaitan dengan tindak kejahatan.
1.4 PENGERTIAN BISNIS
Bisnis adalah kegiatan manusia dalam mengorganisasikan sumberdaya untuk menghasilkan dan mcndistribusikan barang dan jasa guna memenuhi kebu-tuhan dan keinginan masyarakat. Bisnis adalah membuktikan apa yang dijanjikan (promise) dengan yang diberikan (deliver). Bisnis adalah kegiatan diantara manusia untuk mendatangkan keuntungan. Dalam bisnis terdapat persaingan dengan aturan yang berbeda dengan norma-norma yang berada dalam masyarakat. Pengertian bisnis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: 1.
Kegiatan dengan mengarahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai sesuatu maksud.
15
Entrepreneurship & Business Ethics
2.
Kegiatan di bidang perdagangan/perbisnisan. Bisnis dapat pula diartikan berdasarkan konteks organisasi atau perusahaan, yaitu: usaha
yang dilakukan organisasi atau perusahaan dengan menyediakan produk barang atau jasa dengan tujuan memperoieh nilai lebih (value added). Karena organisasi (perusahaan) yang menyediakan produk barang atau jasa tentu dengan tujuan memperoleh laba, tentu saja prospek mendapatkan laba, selalu memperhitungkan perbedaan penerimaan bisnis dengan biaya yang dikeluarkan. Maka laba di sini merupakan pemicu (driver) bagi pebisnis untuk memulai dan mengembangkan bisnis. Bagai-manapun juga pebisnis mendapatkan laba dari risiko yang diambil ketika mengivestasikan sumber daya (modal, keahlian/skill, dan waktu) mereka. Dalam sistem kapitalis bisnis dijalankan untuk mendapatkan laba bagi pemilik yang juga bebas untuk menjalankannya. Namun konsumen juga memil iki kebebasan untuk memili h. Dalam memilih cara mengejar laba, bisnis harus memperhitungkan apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen. Terlepas dari seberapa efisien bisnis itu dijalankan.
1.5 PENGERTIAN ETIKA BISNIS
Aspek yang dominandari semua kata etika bisnis bermuara pada perilaku bermoral dalam kegiatan bisnis. Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbi cara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peran-peran dan prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis (Rudito dan Famiola, 2007: 4). Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau norma hukum (Sumodiningrat dan Agustian,2008:58) Moral itas adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun so sial (masyarakat).Tanpa moralitas dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos , tiada keteraturan dan ketenteraman dan pada giliran nya dunia bisnis menjadi sadis dan saling mematikan. Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah dikemukakan, maka peran etika bisnis adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi partisipan bisnisnya.
16
Entrepreneurship & Business Ethics
Penelitian yang dilakukan Mauro et al. (1999) tentang etika bisnis dan pengambilan keputusan perusahaan menggunakan definisi etika dan etika bisnis yang dikembangkan oleh Walton. Menurut Walton (1977 dalam Mauro,1999): Ethics. A critical analysis of human acts to determine their tightness or wrongness in terms of two major: truth and justice Business ethics. A range of criteria whereby human actions are judge to include such things as societal expectations: fair competition; the aesthetics or advertising and the used public relations; the meaning of social responsibilities;
reconciling
corporate
behavior
at
home with behavior abroad;
the extent of consumer sovereignty; the relevance of corporate size; the handling communications, and the like Maksudnya, etika merupakan analisis kritis tentang tindakan manusia untuk menentukan kebenarannya atau kesalahannya dalam kerangka 2 kriteria utama: kebenaran dan keadilan. Sementara etika bisnis merupakan sekumpulan kriteria di mana tindakan manusia di nilai berdasarkan harapan mas yarakat. Hasil penelitia n Mouro (1999) menemuk an bah wa "that personal and business ethics are not separate entities, that they coexist in the behavior of managers within the corporation, is supported in the current literature". Maksudnya adalah etika personal dan etika bisnis merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi dalam mempengaruhi perilaku manajer. Banyak literatur terbaru yang mendukung perayataan dan hasil penelitian Mauro ini. Bagi mereka yang tidak mempunyai etika dalam berbisnis adalah mereka yang hanya tergiur dengan keuntungan jangka pendek. Mereka yang menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan bisa menyebabkan perusahaan menghalalkan segala macam cara untuk mengejar keuntungannya. Akibatnya merekapun sering mengabaikan nilai-nilai etika bisnis. Bisnispun dijalankan secara tidak jujur, tidak adil, melanggar kewajaran, penuh mark-up. Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam dunia
bisnis (Lozano, 1996). Istilah etika bisnis mengan-dung pengertian bahwa etika bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil oleh bisnis dan pelaku bisnis. Epstein (1989) menyatakan etika bisnis sebagai sebuah perspektif analisis etika di dalam bisnis yang menghasilkan sebuah proses dan sebuah kera ngka kerja untuk memb atasi d an mengevaluasi tindakan-tindakan individu, organisasi, dan terkadang seluruh masyarakat sosial. Menurut David (1998), etika bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi pedoman membuat keputusan dan tingkah laku. Etika bisnis adalah etika pelaku bisnis. Pelaku bisnis tersebut bisa saja manajer, karyawan, konsumen, dan masyarakat. Etika bisnis merupakan produk pendidikan etika masa kecil, namun tetap dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya. Sebagian besar pakar psikologi berkeyakinan bahwa penanaman awal nilai-nilai kedisiplinan, moral, etika yang dilakukan pada masa balita akan sangat
17
Entrepreneurship & Business Ethics
berpengaruh terhadap pembe ntuk an perseps i hati nura ni seseorang tatkala ia mulai beranjak dewasa (Faisal Afiff, 2003). Lingkungan bisnis dapat merontokkan etika individu dan sebaliknya etika individu dapat mempengaruhi lingkungan bisnis tergantung mana yang kuat. Terjadinya krisis multi dimensional beberapa tahun terakhir menjadikan etika bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan etika dan tolok ukur etika meningkat, hal ini disebabkan pula oleh peng-ungkapan dan publikasi, kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan etika dan profesionalisme bisnis meningkat (Hoesada, 1997). Etika bisnis adalah bisnis setiap orang di setiap hari, sehingga etika bisnis termasuk semua manajer dan hubungan bisnis mereka serta tindakan-tindakan mereka. Etika bisnis adalah tuntutan harkat etis manusia dan tidak bisa ditunda sementara untuk membenarkan tindakan dan sikap tidak adil, tidak jujur dan tidak bermoral. Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peranperan dan prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis. Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau norma hukum. Moral (Moralitas) adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimens i nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan dan ketenter aman dan pada gilirannya dunia bisnis menjadi sadis dan saling mematikan. Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah dikemukakan, maka peran etika adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi partisipan bisnisnya. Pada dasarnya etika bisnis menyoroti moral perilaku manusia yang mempunyai profesi di bida ng bisnis dan dimiliki secara global oleh perusahaan secara umum, sedangkan perwujudan dari etika bisnis yang ada pada masing-masing perusahaan akan terbentuk dan terwujud sesuai dengan kebudayaan perusahaan yang bersangkutan. Etika bisnis ini akan muncul ketika masingmasing perusahaan berhubungan dan berinteraksi satu sama lain sebagai sebuah satuan stakeholder. Tujuan etika bisnis disini adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis dengan "baik dan bersih".
18
Entrepreneurship & Business Ethics
Etika bisnis dapat dibagi ke dalam 2 (dua) pandangan, yaitu: 1.
Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and jus tify ba sic mor al pr incip les that are intended to guide behavior,actions, and decisions.
2.
Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values. Dalam etika bisnis, kewajiban moral dalam bis nis dibatasi oleh persyaratan hukum. Aspek
yang paling universal dalam moralitas barat telah digunakan pada sistem legal bangsa kita, yaitu hukum yang menegaskan mengenai sangsi bagi pembunuhan, pencurian, penipuan, pelecehan danperilaku yang membahayakan lainnya. Terlebih lagi jika masalah etika itu sudah berkaitan dengan nilai budaya, politik dan agama. Tuntutan masyarakat internasional terutama berkaitan dengan mutu barang atau jasa yang dijual. Banyak kasus dimana pengusaha sangat mengabaikan lingkungan, dan masyarakat pun kadangkala miris melihat pemerintah seolah tidak ada upaya yang tegas terhadap perilaku pengusaha yang bandel ini. Kasus yang terjadi beberapa waktu yang lalu yaitu ditolaknya pengiriman kayu kita ke Skotlandia karena dinyatakan tidak berekolabel, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berbisnis, tidak hanya memperhatikan keuntungan saja, namun juga perlu memperhatikan etika dalam pengolahan. Disini kita melihat bahwa etika bisnis menjadi suatu hal yang sangat mendesak untuk diterapkan, sebab dengan etika pertimbangan mengenai baik atau buruk dapat distandardisasi secara tepat dan benar. Namun perlu juga dicatat bahwa etika bisnis tidak akan berfungsi jika praktik-praktik bisnis yang curang dilegalkan. Di sinilah diperlukan dua perangkat utama yaitu moral dan legal politis.
1.6 INDIKATOR ETIKA BISNIS
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan memungkinkan organisasi/ perusahaan untuk bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal (investor) yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (ekspansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru (Eldine, 2008).
19
Entrepreneurship & Business Ethics
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi r eferensi bagi pelaku usaha dan partisipannya dalam penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang digelutinya. Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga pekerjaannya tetap berada dalam sebutan etis dan tidak merugikan siapapun secara moral. Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis adalah suatu kewaj iban. Dalam arti bahwa pebisnis mengemban misi untuk menyampaikan informasi moral, baik secara formal maupun informal dalam lingkungan perusahaannya. Sumber informasi moral adalah orang tua, kerabat, lingkungan setempat, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, baik dengan lisan maupun tertulis, yang berintikan ajaran moral. Bentuk-bentuk informasi moral tersebut dapat berupa nasehat (advis), lagu-lagu, permainan, tarian, pantun, pepatah, dongeng (mitos) dan sebagainya. Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan sosialisasi informasi nilai moral itu ternyata telah berlangsung lama dan terus menerus.Walaupun demikian tidak semua nilai moral yang ada diterima dan dipraktikkan oleh pengelola organisasi/perusahaan. Keterbatasan manusia sebagai pelaku bisnis memiliki nurani dan moral, maka nilai kebajikan dan kebenaran itu akan diterima dengan tulus, tentu setelah melalui suatu proses yang panjang dan berbagai upaya melalui berpikir. Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengan kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit suatu perusahaan dianggap sudah melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab sosial itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif dan perusahaan harus membayar biaya sosialnya (social cost). Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indi kator yang dapa t dipa kai untu k menyatakan apakah seseorang dan suatu perus ahaan telah melaks anakan etika bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah: Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus yang berlaku; indikator hukum; indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari masing-masing pelaku bisnis. 1.
Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
2.
Indikator etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indi kato r ini seseorang pelaku bisnis dikataka n
beretika dalambisnisnya apabila masing-masing
pelaku bisnis mematuhi at uran-aturankhusus yang telah disepakati sebelumnya. 3.
Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hokum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etikabisnis apabila seseorang pelaku
20
Entrepreneurship & Business Ethics
bisnis atau suatu perusahaan telahmematuhi
segala
norma hukum
yang
berlaku
dalam menjalankankegiatan bisnisnya. 4.
Indikator etika berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggapberetika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujukkepada nilai- nilai ajaran agama yang dianutnya.
5.
Indikator etika berdasarkan nilai budaya.
Setiap pelaku bisnis baik secara individu
maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnyadengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa. 6.
Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah apabilamasing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tida k me ngorbankanintegritas pribadinya.
1.6 GLOBALISASI, PERUSAHAAN MULTINASIONAL DAN ETIKA BISNIS
Globalisasi adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan systiem ekonomi serta sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya barang, jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai beberapa komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan perdagangan dan munculnya pasar terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system transportasi seperti internet dan pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF, dan lain sebagainya. Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi dan bertanggung jawab dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa ini. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang bergerak di bidang yang menghasilkan pemasaran, jasa atau operasi administrasi di beberapa negara. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang melakukan kegiatan produksi, pemasaran, jasa dan beroperasi di banyak negara yang berbeda. Karena perusahaan multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya dan standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
1.8 ETIKA BISNIS DAN PERBEDAAN BUDAYA
Relativisme etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus diterapkan terhadap perusahaan atau orang dari semua masyarakat. Dalam penalaran moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat manapun dimana dia berada. Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif. Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang
21
Entrepreneurship & Business Ethics
berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.
1.9 TEKNOLOGI DAN ETIKA BISNIS
Teknologi yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat dan bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan beberapa perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan hilangnya jarak, kemampuan menemukan bentuk bentuk kehidupan baru yang keuntungan dan resikonya tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini, organisasi bisnis berhadapan dengan setumpuk persoalan etis baru yang menarik. Teknologi terdiri atas metode, proses, dan alatyang ditemukan manusia untuk memanipulasi lingkungan mereka. Sejauh yang tidak pernah direalisasikan dalam sejarah, kontemporer sacara terus-menerus dan radikal diubah oleh evolusi teknologi baru yang cepat yang memunculkan persoalan etis baru bagi bisnis. Contoh kasusnya adalah rekayasa genetika.
1.10 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORAL
Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek merugikan yang telah diketahui ; 1.
Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
2.
Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya. Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan
tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian : (1) Ketidaktahuan dan (2) ketidakmampuan. Keduanya disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari tanggung jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah ketika seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui persoalan tertentu. Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik terhalang atau tidak dapat bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sejauh lingkungan menyebabkan
22
Entrepreneurship & Business Ethics
seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu. Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang memperingan mencakup : 1.
Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa yang sedang dia lakukan ( hal tersebut mempengaruhi pengetahuan seseorang)
2.
Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
3.
Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian).
Hal tersebut dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan. Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu : 1.
Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan sadar.
2.
Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
3.
Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh : ketidak pastian dan kesulitan Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun cakupan sejauh mana hal-hal tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor pertama tadi dapat meringankan.
1.10.1
TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN
Dalam
perusahaan
modern,
tanggung
jawab
atas
tindakan
perusahaan
sering
didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu? Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab. Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai
23
Entrepreneurship & Business Ethics
tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu. Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
1.10.2
TANGGUNG JAWAB BAWAHAN
Dalam perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka. Perusahaan biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka ketahui salah. Orang kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu. Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru, karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan secara bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah melakukan apapun yang tidak bermoral. Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung jawab atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung jawab secara moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.
24
Entrepreneurship & Business Ethics
DAFTAR PUSTAKA
Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung Velasquez, Manuel G. 2005. Business Ethics Concepts and Cases 5 th Edition. Penerbit: Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New Jers ey.
25
Entrepreneurship & Business Ethics
Journal Review
TOWARD APPLIED ISLAMIC BUSINESS ETHICS: RESPONSIBLE HALAL BUSINESS Judul
PRACTITIONER CONTRIBUTION Toward applied Islamic business ethics: responsible halal business
Peneliti
Muatasim Ismaeel dan Katharina Blaim
Sumber
Emerald Group Publishing Limited
Tujuan
Untuk mencari peluang menggunakan regulasi dan sertifikasi halal sebagai mekanisme untuk menerapkan etika bisnis Islam di dunia kontemporer.
Metodologi
Melihat praktek saat ini tentang regulasi dan sertifikasi halal serta literatur tentang etika Islam untuk mengidentifikasi pendekatan praktis untuk etika bisnis Islam.
Latar
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sedang menghadapi tantangan
Belakang
serius yang tidak dapat diselesaikan tanpa adanya sistem etika yang efektif. Selama berabad-abad peneliti mengembangkan teori mengenai kegiatan intelektual, etika,
dan moralitas. Sebagian besar perdebatan ini adalah
normatif, yang mana mencoba untuk mengidentifikasi apa yang harus dilakukan manusia, apa yang benar dan apa yang salah? Apa aturan terbaik untuk
menuntun
penilaian
etika?
Namun,
etika
bisnis
perlu
lebih
memperhatikan secara aplikasinya juga. Maka, institusi sosial menanggung peran penting dalam penerapan etika bisnis. Organisasi-organisasi internasional, LSM, asosiasi bisnis dan badan pengatur adalah contoh lembaga sosial yang memainkan peran penting dalam menerapkan etika bisnis melalui mekanisme seperti regulasi, sertifikasi, pengungkapan, liputan media, advokasi, kode etik, dan mekanisme lainnya. Untuk berkontribusi pada kemajuan teori dan praktek etika bisnis, peneliti perlu fokus pada efektivitas lembaga-lembaga sosial saat ini serta mekanisme dalam menerapkan etika bisnis dan bagaimana peran mereka dapat ditingkatkan.
26
Entrepreneurship & Business Ethics
Literature
Etika bisnis Islam
Review
Konsep dasar sistem etika Islam adalah konstan karena mereka berasal dari sumber yang transendental (yaitu wahyu dari Allah). Dalam mengembangkan aplikasinya,
etika
bisnis
Islam
harus
tetap
selaras
dengan
konsep
fundamentalnya. Filsafat dan epistemologi
Menurut Quran, manusia adalah khalifah Allah (Tuhan) di Bumi: "Aku akan menciptakan seorang khalifah di bumi" (Al Quran, 2: 30). Konsep khalifah ini adalah dasar untuk eksistensi manusia dan komitmen etika di dunia harus sesuai dengan ajaran Islam. Setiap kali seorang Muslim berperilaku sebagai khalifah, mereka sedang melakukan ibadah. Ajaran Islam biasanya disebut sebagai syariat. Syariat adalah seperangkat norma, nilai-nilai dan hukum yang membentuk cara hidup Islam (Ahmad, 2003 dikutip dalam Dusuki, 2008). Norma-norma dan nilai-nilai komponen Syariah dapat digunakan untuk meningkatkan etika bisnis Islam dalam praktek bisnis. Penerapan
Penerapan etika bisnis Islam
Pemilik beberapa buku Islam menjelaskan bahwa sistem nilai dan pedoman etika Islam dapat membentuk sistem etika yang kuat dan efektif, tetapi ketika kita melihat kenyataan di negara-negara Muslim, kita akan menemukan perbedaan yang jelas antara teori dan praktiknya (Beekun dan Badawi, 2005; Beras, 1999; Kula, 2001). Peneliti berpendapat bahwa perbedaan antara etika dan praktek dalam masyarakat Muslim dikarenakan kurang berkembang dengan baik dan efektif peran lembaga yang bertugas menerjemahkan konsep normatif dalam praktek. Penerapan etika bisnis Islam membutuhkan fleksibilitas dan pertimbangan faktor-faktor kontekstual dan situasional yang berbeda. Hal ini merupakan tantangan yang signifikan dalam membangun Islam sistem etika bisnis yang efektif. Kerangka etika Islam Multi-level
Fakta bahwa umat Islam mampu membangun peradaban yang kuat dan kontrol perdagangan internasional selama berabad-abad mendukung gagasan bahwa Islam tidak menegakkan pandangan idealis tentang kehidupan dan etika. Hal ini mencerminkan Muslim berhasil melakukan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dalam etika Islam.
27
Entrepreneurship & Business Ethics
Menurut Hadis, ada tiga tingkatan agama (Deen); Islam, Iman dan Ihsan. Tingkat pertama Islam berkaitan dengan mematuhi instruksi dan ajaran Allah (Tuhan). Tingkat kedua Iman berkaitan dengan penguatan kepercayaan dan nilai-nilai dalam hati seseorang. Sementara tingkat ketiga adalah Ihsan berkaitan dengan pengalaman hidup spiritual dalam setiap tindakan tunggal. Hal ini sesuai dengan pendapat teori normatif etika secara tradisional diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama: etika deontologis, etika konsekuensialis, dan etika moralitas (Jonsson, 2011) . Dalam etika deontologis, penilaian etika adalah konstan untuk setiap tindakan, dengan kata lain, tindakan yang benar atau salah karena sifat intrinsiknya. Sementara dalam etika
konsekuensialis,
kebenaran
dari
tindakan
tergantung
pada
konsekuensinya bukan sifat intrinsik, sehingga tindakan tertentu bisa benar dalam
konteks
tertentu
dan
salah
dalam
konteks
lain
berdasarkan
konsekuensinya. Teori Kebajikan etika lebih holistik; tidak menghakimi setiap tindakan sebagai benar atau salah, melainkan melihat etika sebagai pengalaman hidup bagi mereka yang memiliki kepribadian etis. Regulasi dan sertifikasi halal
Apakah suatu produk Halal atau tidak merupakan faktor penting dalam keputusan konsumsi umat Islam. Oleh karena itu, regulasi dan sertifikasi Halal dikembangkan untuk membantu konsumen mengidentifikasi produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Pada zaman dulu, mekanisme ini dibangun di atas keyakinan dan nilai-nilai bersama antara produsen makanan halal dan pelanggan, tetapi sistem ini tidak bekerja di lingkungan bisnis saat ini. Ada cara dalam menangani masalah ini yaitu adanya sertifikasi Halal. Misal pemerintah di Malaysia, Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya memenuhi dengan mendirikan badan-badan pemerintah untuk mengawasi dan mengatur pasar makanan. Lembaga seperti Malaysia Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Majlis Ulama Islam Singapura (MUIS), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Chaudry dan Riaz, 2004). Pengembangan peraturan dan sertifikasi Halal
Menerapkan etika bisnis Islam terutama pada saat globalisasi berhadapan dengan sistem dan mekanisme etika lainnya. Untuk membuat pasar Halal lebih baik bisa dilakukan dengan kolaborasi antara pemangku kepentingan utama diperlukan. Sampai sekarang, pasar Halal nyaris menemukan potensi mengintegrasikan konsep CSR dan corporate citizenship.
28
Entrepreneurship & Business Ethics
Harmonisasi dari standar dan struktur tata kelola
Sertifikasi Halal memiliki beberapa kekurangan mendasar dan sangat membutuhkan pengembangan lebih lanjut. Pertama-tama, tidak ada dasar umum standar halal, baik di negara-negara Muslim maupun di seluruh dunia. Ada lebih dari 100 lembaga sertifikasi halal di seluruh dunia (The Halal Journal 2008 dikutip dalam Lada et al., 2009) dan tidak ada mekanisme yang berfungsi untuk pengakuan antara negara-negara (Lada et al., 2009). Oleh karena itu, pelanggan harus berurusan dengan berbagai macam logo Halal yang berbeda, masing-masing berdasarkan pada standar yang berbeda, namun standar tersebut hampir tidak dikomunikasikan kepada pelanggan. Standar di bidang keuangan Islam berkembang dengan baik dan harmonis dibandingkan dengan industri lain. Organisasi-organisasi internasional yang didirikan untuk membakukan dan menyelaraskan praktik tata kelola antara lembaga-lembaga keuangan Islam. Contoh organisasi ini adalah: Akuntansi dan Organisasi Audit untuk Lembaga Keuangan Islam yaitu AAOIFI. Sehingga dalam mengingat inkonsistensi saat ini dalam regulasi dan sertifikasi Halal, harmonisasi global diperlukan untuk memfasilitasi perdagangan internasional dan memberikan lebih banyak kejelasan bagi pelanggan. Hal ini tidak dapat dicapai tanpa jaringan dan tata kelola struktur kelembagaan global yang kuat dan efektif. Meningkatkan praktek etika dan tanggung jawab sosial dalam regulasi dan sertifikasi halal: Industri halal menawarkan potensi besar dari sudut pandang etika: standar halal dapat dengan mudah melampaui atribut produk Halal, meningkatkan komponen etika yang sudah ada, dan mengintegrasikan tanggung jawab sosial (CSR) praktek perusahaan dan nilai-nilai etika umum. Dengan melakukan ini, bisnis halal dapat menjadi teladan bagi pengembangan bisnis modern dan berkontribusi terhadap praktek-praktek bisnis yang lebih bertanggung jawab. Multi-level regulasi dan sertifikasi Halal
Pendekatan baru ini dapat dibangun berdasarkan kerangka etika Islam multilevel yang diusulkan sebelumnya dalam makalah ini. Regulasi dan sertifikasi badan halal dapat menetapkan standar yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan berbagai kelompok Muslim. Semua Muslim harus berkomitmen dengan standar Halal dasar (komponen kewajiban), tetapi beberapa Muslim
29