Aliran Teologi Islam, Abu Hasan Ismail al-Asya'ari (pencetus Aliran Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
Ibid.
Mahan Al-Juba'iy dalam wafiyat al-A'yan 3/398
Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185
Aliran Theologi Islam, Karangan abul Hasan al-Asyhari, buku I
20
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pasca meninggalnya Rasulululloh SAW banyak diantara kaum Muslimin dan Muslimat kembali menjadi kafir alias memeluk Agamanya semula, ini menjadi keprihatinan sendiri bagi sahabat Nabi, termasuk sahabat Nabi, seperti Abu Bakr as-Sidhiq, Umar ibn al-Khattab dan lain-lain, sampai generasi pasca sahabat Rasul, tentunya segala daya upaya dilakukan untuk memberi keyakinan kepada orang-orang yang kembali pada agama semula, tidak mudah, tapi itu harus dilakukan sebagai wujud meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam cara dilakukan untuk memberi keyakinan kepada mereka, seperti halaqoh,- halaqoh, diskusi dan lain-lain, maka tidak heran apabila terjadi berbagai macam firqoh – firqoh atau sekte – sekte yang bermunculan, ada yang cenderung ilmiah, ada yang cenderung ta'asup/assobiyah (fanatisme yang berlebihan), seperti kelompok yang mendukung Ali yang disebut syiah, menurut mereka adalah yang berhak untuk menduduki jabatan sebagai Khalifah/ Amir al-Mu'minin dengan alasan nasabnya langung nyambung dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juaga dengan kelompok yang lain seperti kelompok diskusi, selalu mengedepankan kelompok kajian dengan berdiskusi, sehingga bisa dikelompokan rasionalis yang mengedepankan pola pikir ilmiah. Kemudian ada kelompok / aliran tengah (midleway) ini diwakili oleh Abu Hasan al-Basri. Semua pengikut firqoh/sekte merasa bahwa kelompok atau aliran mereka yang paling benar, sesuai dengan keyakinan dan penafsiran serta penalaran (ra'yi) mereka. Tentu itu juga tidak salah karena yang namanya penafsiran tentu tergantung latar belakang seorang penafsir, kalau seorang penafsir yang sudah kedoktrin Syi'ah maka baginya syiah adalah yang paling benar, kalau sudah kedoktrin kelompok yang lain pula maka sang penafsir juga kelomoknya yang paling benar, yang menjadi tidak menarik adalah ta'asup pada kelompok yang berlebihan sampai – sampai mengalahkan Allah dan rasulNya, ini yang kurang bagus bagi perkembangan Islam.
Diantara berbagai macam kelompok atau aliran ini penulis mencoba mengurai salah satu diantara aliran yang ada, yaitu kelompok rasionalis (Mu'tazilah) yang mengedepankan akal pikiran manusia untuk kita kaji kita dalami, sebagai suatu sejarah perjalanan Islam yang dimiliki oleh kaum Muslimin seluruh Dunia, ciri utama dari aliran ini dibandingkan dengan aliran yang lain adalah, pandangan-pandangan theologisnya lebih banyak ditunjang dengan dalil-dalil 'aqliyah (akal) dan bersifat filosofis yang dipengaruhi filosofis Yunani, sehingga disebut aliran rasionalis, tentunya kami memakai referensi kitab – kitab yang penulis miliki, seperti kitab Maqoolat al-Islamiyin Wakhtilaafu al-Musolin karangan Abu Hasan Ismail al-Asy'ari. Karena keterbatasan penulis baik secara ilmu maupun secara pengalaman dan cara penulisan harapan dari penulis adalah mohon saran – saran kritik yang membangun baik teknik penulisan, maupun yang lainnya.
Rumusan Masalah
Apa Pengertian Mu'tazilah?
Bagaimana Asal-Usul Aliran Mu'tazilah?
Siapa Pencetus Mu'tazilah?
Apa Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu'tazilah?
Bagaimana Perlawanan Mu'tazilah?
Bagaimana Penyandaran Mu'tazilah Kepada Filsafat Yunani?
Tujuan Pembahasan
Mengetahui Pengertian Mu'tazilah
Mengetahui Asal-usul Aliran Mu'tazilah
Mengetahui Pencetus Mu'tazilah
Mengetahui Prinsip-Prinsip Dasar (Ajaran) Mu'tazilah
Mengetahui Perlawanan Mu'tazilah
Mengetahui Penyandaran Mu'tazilah Kepada Filsafat Yunani
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Mu'tazilah
Pengertian Mu'tazilah berasal dari bahasa Arab I'tazala yang berarti meninggalkan/menjauhkan diri. Kelahiran dari Mu'tazilah bersama kawan-kawannya biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dalam pengajian/halaqoh yang diadakan bersama Gurunya Hasan Basri, juga kaum Syi'ah dan Khawaij. Sejarah telah mencatat bagi kita (Kaum Muslimin) dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad ke dua hijriyah dan juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat Keagamaan yang dipegang mayoritas Muslimin pada saat itu. Kedua buku tersebut adalah ar'Rad'ala al–Qodariyah yang disusun oleh: Umar bin Ubaid (80-144 H) seorang tokoh (syaikh) dan Zahid muktazilah dan buku Asnaf al- Murjiah yang disusun oleh Washil bin 'Atho (80-181 H) seorang budak bani Dhiyyah, sering juga dikatakan seorang budak bani Makzum yang dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas dan pemuka dan pemuka madzhab Muktazilah.
Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij telah dapat dirasakan. Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan akan menjadi penghuni Neraka secara abadi. Sedangkan mayoritas Umat Islam kala itu mengatakan: mereka masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu Khudaifah Washil bin 'Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang diadakan oleh Hasan al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari pelaku masalah dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al – Basri apa yang dipegang oleh Umat. Akan tetapi Washil bin 'Atho mempunyai pendapat lain, dia berkata: "Komentar dan pendapatku mengenai pelaku dosa besar ini adalah bahwa Dia bukan Mukmin dan bukan pula seorang Kafir, ia berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baena manjilatain)." Pendapatnya ini membuat Hasan al- Basri marah dan mengusirnya dari majelis pengajianNya dan Washil bin "Atha mengasingkan diri dan memilih mesjid tempat untuk pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh karena itu dia dan pengikutnya dijuluki al – Mu'tazilun atau Mu'tazilah.
Asal usul Aliran Mu'tazilah
Aliran mu'tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu'tazilah berasal dari kata kerja yakni 'azala artinya berpisah. Maka Mu'tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu'tazilah muncul sejak zaman sahabat, mereka adalah golongan pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan bin Ali dari kursi kholifah. Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah Mu'tazilah sebab mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.
Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah "murtakibil kabirah" yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat seorang bernama Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.
Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu datang menanyakan suatu soal yang memerlukan jawaban dari sang guru. Pertanyaan itu ialah bila seorang beriman meninggal dunia sedangkan ia pernah melakukan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah diakhirat nanti? Apakah didalam surga karena ia seorang yang beriman atau dineraka karena ia melakukan satu dosa yang besar?
Sang murid mendengar soal ini bangkit semangatnya untuk menjawab. Secara spontan ia mengatakan manusia yang demikian bukan ditempatkan di surga atau neraka, tetapi ia ditempatkan diantara kedua tempat ini. Yakni disuatu tempat ditengah-tengah antara surga dan neraka. Pendapatnya ini berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena pendapat ini ia pun mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan "mu'tazili" dan alirannya dinamakan mu'tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata "I'tazala 'annawashil, artinya Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum Mu'tazilah sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang ditamakan adalah ketetapan akal.
Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.
Menurut A.hanafi aliran Mu'tazilah adalah aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua, serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:
1. Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha' dan Amr bin Ubaid.
2. Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu'tamar.
Banyak kholifah yang menganut faham Mu'tazilah ini atau setidak-tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :
1. Yazid bin Wahid Bani Umayah
2. Ma'mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3. Al Mu'tashim bin Harun Al-Rasyid
4. Al Watsiq bin Al Mu'tashim
Mereka amat senang berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari mereka ini, tujuan mereka adalah mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain ialah :
Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak
Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara'
Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak
Qur'an itu makhluk atau tidak
Perbuatan manusia di buat manusia atau tuhan
Tuhan itu dapat dilihat di akherat atau tidak
Qur'an itu dapat ditiru manusia atau tidak
Alam ini qadim atau baru
Syurga dan neraka itu kekal atau tidak
Arwah itu pindah-pindah atau tidak
Tuhan itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
Mi'raj itu dengan tubuh atau tidak
Dan lain-lain
Pencetus Mu'tazilah
Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran Mu'tazilah adalah Washil bin 'Atha. Dia adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan Mutakallim. Dia selalu menukar huruf ra dengan huruf ghin. Di dalam al- Kamil, Abu al-Abbas al-Mubarrad berkata: "Washil bin ' Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf ra, oleh karena itu ia selalu berusaha meniadakan dalam setiap kata pembicaraanya dari huruf tersebut dan dia tidak menguasainya. Hal ini karena rendahnya susunan kata-katanya". Dalam hal ini seorang penyair muktazilah. Abu Thuruq ad-Dlaby, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-khutbahnya serta kemampuannya menghindari dari keseringan menggunakan huruf ra' dalam pembicaraan sehingga nampak hampir tidak pernah sama sekali dalam kalimat – kalimatnya, sebagaimana dilukiskan dalam syair :
عليم باءبداك الحروف وقامع: كل خطيب يغلب الحقباطله
Artinya: Seorang Alim yang pandai menukar huruf penakluk setiap rival diskusinya kebatilannya sanggup mengalahkan kebenarannya.
Ulama lain mengomentarinya dengan bersyair :
ويجعل ابرقمحافى تصرفه :وخالف الراءحتى احتا ل للشعر
ولم يطق (مطر ) والقول يعجله : فعاذ بالغيث اشفا فا من المطر
Artinya: Dia jadikan kebajikan bagi hiasan kehidupannya menghindari huruf ra hingga syair pun tercela jadinya. Tidaklah pernah berucap " mathara " dan semisalnya namun menjadikan " al-Ghaits " sebagai gantinya.
Washil bin 'Atha sebenarnya bukanlah sesorang sastrawan, namun ia menjuluki dirinya sebagai sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud mempunyai prestise dimata para wanita shalehah; sehingga ia dapat mengawininya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, diantaranya adalah: Ashnaf al-Murji'ah, al-Taubat, Al-Manziliah baena al-Manzilatain, Ma'ani l-Qur'an, alKitab fi al-Tauhid wa al- Adli, Ma Jara baena wa baena 'Amr bin 'Ubaid, al-Sabil ila ma'rifat al-Haq, al-Dakwah dan Kitab Thabaqat Ahl al-Ilm wa al-Jahl.
Washil bin 'Atha lahir di Madinah pada tahun 80H. Dan meninggal Dunia pada tahun 181 H.
Selain Washil bin 'Atha ada juga 'Amr bin Ubaid. yang dimaksud "Amir bin 'Ubaid adalah Abu 'Usman 'Amr bin 'Ubaid bin Bab budak Bani 'Aqil seorang theolog dan Zahid. Kakeknya dari Sabi Kabil, salah satu didaerah di Shind. 'Amr bin 'Ubaid adalah merupakan tokoh Mu'tazilah pada zamannya. Diantara kedua matanya terdapat tanda-tanda bekas sujud. Hasan al-Bisri pernah dimintai komentarnya, seraya berkata : Aku ditanya tentang seorang tokoh yang seolah-olah dididik oleh Malaikat, seolah-olah dibina oleh Nabi, jika terjadi sesuatu hal (masalah) ia langsung bertindak menyelesaikannya, jika memerintahkan sesuatu maka dialah yang paling komitmen terhadapnya, dan jika melarang sesuatu dialah yang gigih menghindarinya, berdiri dikarenakan oleh sesuatu masalah maka langsung duduk, jika duduk karena sutu masalah maka langsung berdiri. Aku tidak pernah melihat seorang pun selainnya yang keadaan lahirnya selaras dengan keadaan rohaninya dan keadaan rohaninya selaras dengan keadaan lahirnya.
Suatu hari Amr bin 'Ubaid masuk ke dalam istana Khalifah Abu Ja'far al- Mansur untuk memenuhi undangannya sebelum menjadi Khalifah, Abu Ja'far al – Mansur adalah sahabatnya, keduanya mempunyai suatu majlis untuk berdiskusi lalu Abu Ja'far al – Mansur duduk didekatnya lalu berkata kepadanya, berilah aku nasehat , Lalu ia memberi nasehat yang diminta oleh Khalifah, diantara nasehatnya ia mengatakan : sesungguhnya kekuasaan yang kamu pegang tidak akan pernah kamu peroleh jika orang sebelummu tidak melepaskannya, maka hindarilah untuk menyibukkan malam hari dengan urusan siang hari. Ketika ia bangkit hendak berdiri untuk pulang, Khalifah berkata: Kami menyediakan 10.000 dirham untuk anda, ambilah, ia menjawab : Aku tidak membutuhkannya. Khalifah berkata, atas nama Allah, ambilah, ia menjawab atas nama Allah aku tidak mau menerimanya. Ketika itu hadir pula Mahdi bin Abu Ja'far seraya berkata : Amirul Mu'minin bersumpah atas nama Allah dan engkau juga? Amr bin 'Ubaid berpalingkepadanya dan bertanya kepada Khalifah : Siapakah pemuda ini ? Khalifah menjawab : Ia adalah calon pewaris Mahkota, anak seorang al – Mahdi. Amr bin 'Ubaid berkata demi Allah, kau telah berikan kepadanya bukan pakaian orang – orang yang shaleh, kau namai Dia bukan yang bukan haknya, kau serahkan kepadanya urusan yang dapat disia – siakan dan membuatnya kuwalahan, kepada al Mahdi ia berkata : benar Nak ? jika ayahmu bersumpah , itu membuat aku merasa berdosa karena kifarat yang harus ditebusnya lebih besar lagi ketimbang Pamanmu ini. Al Manshur berkata kepadanya : apakah ada yang diperlukan ? Ia menjawab : Aku belum menemukan sampai menjumpaimu sekalipun. Khalifah berkata: kalau begitu jangan kau temui Aku lagi, kata Amr bin 'Ubaid, itulah sebenarnya keperluanku, lalu ia pulang diantar oleh al – Manshurdengan syairnya :
كلم يمشى رويد كلكم يطلب صيد
غيرعمروبن عبيد
Artinya : Semua Orang berjalan berbungkuk, Mengharap yang, buruannya tertangkap, Kecuali Amr bin 'Ubaid
Amr bin 'Ubaid lahir pada tahun 80 H. Dan wafat di Marran di makamkan di Mekkah pada tahun 144 H.
Sepeninggal dua tokoh ini, baru Mu'tazilah menjadi sekte ( Madzhab) yang memiliki dasar ajarannya yang tersusun secara hirarki, ditambah lagi Tuhan berkehendak untuk memberikan kepada golongan ini pada setiap zamannya sekelompok manusia yang terpelajar yang menguasai ilnu pengetahuan. Lewat merekalah paham-paham madzhab ini diajarkan dan tersebar secara meluas, argumentasi-argumentasinya yang melampaui argumentasi pendapat lainnya dan mereka juga membuat jaringan relasi dengan pihak Penguasa, yang dimanfaatkan untuk membeakarab dipanggilrikan kekuatan politik sehingga akhirnya rakyat menerima apa yang mereka jadikan sebagai pandangan keagamaan.
Basyar ibn al – muktamar dan Abu al – Hudzail Muhammad ibn al – Hudzail ibn Abdullaah ibn al – Makhul, yang masyur dengan panggilan al – 'Alafᶟ, berguru kepada Umar ibn 'Ubaid dan sahabat-sahabat dekatnya. Kepada Abu al – Hudzail bergurulah kepada anak keponakannya dari saudara perempuan, Ibrahim ibn sayyar yang masyhur dengan panggilan an – Nidlam , Hisyam ibn Umar asya-Syaebani yang al – Fuwathi dan Abu Yusuf ibn Ya'kub ibn Abdullah asy-syaham al- Bisriy. Al – Nidlam mempunyai murid diantaranya, Abu 'Utsman ibn bahr ibn Mahbub, al – Kinaniy, al – Bisriy yang terkenal dengan nama al – Jahidz dan Qodli Abu Abdullah ibn Farh ibn Jarir al – Iyadiy yang lebih dikenal dengan panggilan Ibn Abu Du'ad . Kepada Abu Yusuf bergurulah Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Salam ibn Khalid ibn Humran ibn Abban yang dikenal dengan julukan al - Jubair . Kepada Jahid bergurulah Ja'far ibn Mubasyar dan Ja'far ibn Harb yang kemudia keduanya mempunyai murid bernama Muhammad ibn Abdullah al – Iskafi.
Abu Ali al – Juba'i menyebarkan ajaran sekte ini lewat murid-muridnya diantaranya, abu Hasyim Abdus Salam ibn Muhammad ibn Abdul Wahab al – Juba'i dan Abu Hasan al – Asya'ri yang kemudian menjadi tokoh pendiri Madzhab Ahlu sunnah Wal Jama'ah. Mengenai kisah dan diskusi dan debat antara al – Juba'i dengan al – Asy'ari ini dianggap oleh Ulama sebagai keberakhiran bergurunya al – Asy'ari kepada al – Juba'i.
Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu'tazilah
Prinsip dasar Mu'tazilah ada 5 pokok (al-Ushul al-Khamsah) yaitu:
Tahuhid ( keesaan Tuhan )
Para pengikut Mu'tazilah ini bersepakat bahwa Allah SWT. Itu Maha Esa, tanpa sesuatupun yang menyerupai-Nya, yang Maha Mendengar, dan Maha Melihat, dan Diapun tanpa jisim, tanpa bayang-bayang, tanpa bekas, tanpa bentuk, tanpa daging , tanpa darah, tanpa karakter, tanpa aksiden, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa dimensi panjang, tanpa lebar,tanpa dalam, tanpa tanpa unsur tergabung ataupun terpisah, tanpa gerak, tanpa panas,tanpa dingin, tanpa diam, tanpa terbagi,tanpa bagian,tanpa anggota, tanpa arah kiri, atau kanan, tanpa depan , belakang, tanpa atas atau bawah, tanpa ruang atau waktu, tanpa terdekat atau terjahui, tanpa sifat-sifat makhluk, tanpa permulaan, tanpa kesudahan, tanpa jarak atau hitungan, tanpa dilahirkan atau melahirkan, tanpa terhalang atau terindra, tanpa tersamakan tanpa terkena terpengaruh musibah, tanpa berfikir atau terduga, yang Maha terdahulu yang senantiasa ada, yang Maha Tahu, Yang kuasa, Yang Maha Hidup, yang tidak terlihat, Yang tidak terdengar, Yang tidak Terbayangkan, yang tidak terpadankan, dan tertirukan, dan Dia adalah sesuatu yang tidak seperti segenap sesuatu, Yang tahu tetapi tidak selayaknya orang tahu,Yang kuasa, tidak layaknya orang kuasa, yang hidup tapi tidak selayaknya hidup, yang kekal dan dahulu sendiri, dan tidak ada tuhan selain Nya, dan tidak ada sekutu Nya, dan tidak ada pemimpin Nya ataupun pembantuNya, tidak ada teladan Nya, ataupun tiruan Nya, dalam penciptaan selain Nya, tidak membutuhkan kebahagiaan dan kelezatan dan tiada kepedihan dan kesaktian menimpa diri Nya, tiada kesudahan dan kehabisan , tiada lenyap dan tiada sifat lemah dan kurang, dan Dia pun terbatas dari kehendak beristri dan berputra.
Ada beberapa ayat al-qur'an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.
Sungguh itulah anggapan – anggapan para pengikut Aliran (Madzhab) Mu'tazilah tentang tahuhid dan lain – lainnya. Sehingga banyak pula pengikut aliran yang lain seperti halnya aliran Khawarij, Murj'iah, dan Syi'ah yang mengikuti maupun menyetujui anggapan – anggapan para pengikut Aliran Mu'tazilah ini diikuti ataupun disetujui mereka.
Keadilan Tuhan
Prinsip ini didifinisikan semua perbuatan Allah baik, tidak mungkin Allah meninggalkan kewajibanNya, Dikataka al-Khayat tokoh Mu'tazilah, seseorang tidak berhak atas nama I'tizal kecuali perpegang 5 prinsip dasar.
Janji dan Ancaman (Al-Wa'du wal wa'id)
Mu'tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan siksa kepada manusia di akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pahala, sedangkan orang yang melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya.
Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu'tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak member pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu'tazilah mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan prinsip janji dan ancaman.
Didefinisikan bahwa Allah berjanji memberikan Ganjaran / pahala kepada orang yang taat pada Allah, dan Allah mengancam / menyikasa orang-orang yang durhaka
Posisi diantara dua posisi (Manzilah bainal Manzilatain)
Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu'tazilah maksudnya tempat diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat penting. Dengan ajaran ini, Washil rela memisahkan diri dari gurungya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara iman dan kafir.
Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-qur'an dan Hadits. Ayat al-qur'an yang dimaksud surat al-isra' ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.
Bahwa pelaku dosa besar ( Muslim ) menduduki dua posisi dan menduduki dua hukum diantara dua hukum, yaitu Fasiq dia tidak dihukumi kafir, karena kenyataannya masih beriman pada Allah. Dia tidak dilarang melakukan perkawinan, pewarisan, kubur secara Muslim, namun tidak bisa dihkumi sebagai Muslim dan Mu'min yang " baik " karena telah melakukan dosa besar.
Perintah mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar
Bahwa yang diperintahkan adalah hal yang baik, dan mencegah sesuatu yang mungkar ( buruk ).
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya. Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu'tazilah berpendapat bahwa amar ma'ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bias dengan kekerasan. Bagi kaum Mu'tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus diluruskan.
Pandangan rasional Mu'tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1. Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
2. Kewajiban mengetahui Tuhan.
3. Mengetahui baik dan jahat.
4. Kewajiban mengatahui baik dan jahat.
Perlawanan Mu'tazilah
Diantara sekte (Madzhab) yang muncul kepermukaan adalah Mu'tazilah lah yang paling banyak mendapatkan tekanan, akan tetapi mereka tertolong oleh tiga hal dalam menghadapi tekanan-tekanan ini. Ketiga penolong tersebut adalah :
Tuhan akan menganugerahkan kepada setiap generasi penganutnya pemuka-pemuka yang pandaidan ahli debat. Washil bin 'Atha adalah seorang yang cerdas dan genius, penguasaan akan kemampuan berdebat dan berdiskusidan dia yang paling cepat mengungkapkan hafalan-hafalan ayat-ayat Al-Qur'an baik makna lahirnya maupun melalui takwil-takwilnya selama mendukung pendapat-pendapat Madzhabnya, dalam posisi seperti ini, dia berada pada garda paling depan dalam memahami dan mengetahui arti perkataan-perkataan filosofis Madzhab Syi'i dan apa yang dilontarkan oleh Madzhab Khawarij, Perbincangan madzhab Mur'jiah Zindik dan naturalis dan penentang-penentang lainnya sekaligus dialah dapat mengcaunter pendapat=pendapat mereka. Adapu Abu Hudza'il al – Allaf satu-satunya orang yang menguasai pemahaman arti kata dan mampu berbicara baik. Dialah yang dimaksud oleh al – Mubarrad ketika berkata " Aku belum pernah melihat orang yang fasih berkomunikasi melebihi kemampuan Abu Hudzai'l dan Zahid " Abu Hudza'il sangat baik dan mahir berdiskusi. Kusaksikan hal itu dalam kuliahnya yang kala itu p[embicaraannya diisi lebih dari tiga ratus bait syair. Hidupnya dipenhui dengan diskusi dan berdebat dengan penganut Zindiq, Sofis, Majusi, dan paganis. Dikabarkan bahwa dia telah mengislamkan lebih dari tiga ribu orang. Musuh-musuhnya berdiskusi dan berdebat dengannya tidak terungguli, padahal ketika itu umurnya baru 15 tahun. Ibrahim bin Sayyar adalah Guru Abu 'Utsman al – Zahidz, pemuka/tokoh sastrawan yang paling cemerlang. Dia merupakan salah satu bukti diantara bukti-bukti kekuasaan Tuhan dalam menyatukan hati, kesucian jiwa, keleluasaan menelaah, dan kedalaman menyelami makna-makna yang dalam dan rumit lalu menyusunnya dalam ungkapan dan penjelasan yang prima dan hal-hal lainnya yang tak terhitung jumlahnya."
Adanya hubungan baik dengan pihak penguasa, kemampuan mereka dalam melobi dan menanamkan pengaruhnya terhadap penguasa, mampu menjaga rumah-rumah mereka dari tekanan Pemerintah minta pertolongan dari kekuatan Negara, dalam menyerang lawan-lawannya jia mereka mau, Amr bin 'Ubaid salah satu tokoh madzhab ini, adalah teman-teman dan sahabat dekat Khalifah Abu Ja'far al – Mansur, hanya saja Amr bin 'Ubaid menolak tawaran Khalifah. Malah ia meminta Khalifah untuk tidak mengundangnya lagi. Walaupun demikian , ia dengan beraninya berbicara dihadapan Khalifah mengkritik apa yang telah dilakukannya mengenai Wali al – Ahad. Andaikata bukan Amr bin Ubaid yang berbicara demikian , tentu Khalifah tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi dengan yang satu ini, ia membiarkannya bahkan menghormatinya, sedangkan Abu Hudzail adalah guru Khalifah al – Makmun. Mengenai orang ini, Abu Hanifah al-Dainuri berkata : Khalifah al-Makmun menyelenggaraka majlis untuk berdiskusi mengenai permasalahan-permasalahan lainya, dan yang menjadi Guru pembimbingnya adalah al-Huzdail al-Alaf. An Nidham berhubungan erat dengan Muhammada bin Ali ibn Sulaiman, salah seorang pejabat dinastiy Abbasiyah dan dengan Ahmad ibn Abu Dawud, seorang Hakim Agung Khalifah al-Mu'tasim dan adalah yang dituju surat al-Makmun kepada saudaranya, al-Mu'tasim, ketika berwasiat menjelang kematiannya Abu Abdullah bin Abu Dawud tidak boleh anda lupakan dalam setiap musyawarah urusan-urusan kamu karena disanalah tempatnya yang sangat tepat.
Kerja sama yang antara pengikutnya, kuatnya tali persaudaraan dan persahabatan yang mereka bangun dan membangun hubungan persahabatan diatas kasih sayang. Mengenai gambaran tentang ini, telah banyak sastrawan yang membuat permisalan untuknya Abu Muhammad al-Alawi mengirim surat kepada Abu Bakar al-Khawaijimi yang diantara isinya dia berkata : Sungguh kasih sayang mereka bagaikan kasih sayang orang Syi'i terhadap Ali AR. Akibat dari kesemua ini adalah terjalinnya hubungan yang erat pengikut madzhab Mu'tazilah dengan Khalifah al-Makmun disetiap daerah kekuasaannya dan setiap orang pada zaman kekuasaan Khalifah ini menganut faham Al-Qur'an itu diciptakan ( Makhluk ). Untuk menyebarkan faham ini, Khalifah mengirim surat edaran kepda setiap penguasa daerah untuk menyebarkan sehingga menjadi faham resmi bagi rakyat. Surat edaran dikrimkan ke Mesir sampai bulan Jum'at al-Tsani tahun 218 H. Menanggapi surat ini penguasa Mesir melakukan mihnah ( inquisi / pengadilan faham yang dianut sesorang ) sehingga mengakui faham kemakhlukan AlQur'an yang dimulai dari Hakim, para saksi dan para ahli Hadihtnya lalu mereka itu. Malapetaka ini terus berlanjut pada masa kekuasaan al-Makmun dan Khalifah sesudahnya sampai tidak terlewatkan untuk ( Mihnah ) mulai dari ahli fiqih, ahli hadith, muadzin, sampai seluruh tenaga pengajar sehingga masyarakat banyak yang melarikan diri dari penjara penuh dengan orang-orang yang menolak eruan pemerintah, ketika itu juga Ibnu Abu al-Laits diperintahkan untuk mengirim surat ke setiap Masjid la ilah illa Allah Rabb Al-Qur'an al-Makhluk. ( Tidak ada Tuahn selain Allah Rabb Al-Qur'an yang diciptakan) dan ia menulis surat-surat ke Masjid-Masjid Fustat, Mesir. Pada zamanini pula para Fukaha penganut Madzhab Syafi'i dan Maliki dilarang untuk memasuki Masjid.
Sebelum terjadinya malapetaka ini, Washil bin 'Atha, ia sukses dalam meraih tokoh yang menjadi pengikutnya lalu mereka dikirim menjadi Da'i ke setiap daerah dan Negarauntuk menyebarkan faham i,tizalinya kepada masyarakat. Abdullah ibn al-Harist dikirim ke wilayah barat, Hafidz bin Salim di kirim ke wilayah Khurasan dan Tarmudz, juga di utus untuk berdebat dengan Jahm ibn Shafwan sampai akhirnya Jahm kalah olehNya. Al-Qosim dikirim ke daerah Yaman, Ayub ke daerah semenanjung arab, Hasan ibn Dakwan ke Kuffah dan mengutus Utsman ath-Athawil ke Armenia. Seluruh Da'i ini sangat bertanggung jawab keberhasilan misi masing-masing. Dalam menjalankan tugasnya, mereka banyak mendapatkan serangan yang sengit, terutama dari para Ulama setempat sehingga misi mereka hampir tidak berhasil dan barulah mereka mendapatkan banyak pengikut setelah masa inkuisi ( dukungan ) yang diintruksikan Khalifah al-Makmun. Pada zaman inilah kekuatan mereka semakinmkokoh, kekuasaan mereka makin meluas sampai Yakut berkata : "Pengikut Washil ibn 'Atha sangat banyak jumlahnya. Mereka hampir mencapai 30.000 orang dalam setiap halaqohnya". Hal yang senada juga diungkapkan oleh ash-Safadiy seraya berkata : Barang siapa yang menelusuri rangkaian pengikutnya lewat jalur Abdul Jabbar, maka ia akan mengetahui sejumlah pengikutnya yang sangat banyak.
Penyandaran Mu'tazilah Kepada Filsafat Yunani
Mu'tazilah Adalah yang pertama kali menyandarkan kekuatan kepada filsafat Yunani, dengan filasafat mereka memperkuat argumentasi-argumentasinya : cukup banyak perkataan –perkataan an-Nidlam, Abu Hudzail, Zahidz dan selainnya mengutip ungkapan –ungkapan Yunani, sedangkan tokoh yang lainnya menjadikan sebagai metode dalam dialog dan memberitakan penilaian. Merekalah mereka pertama kali memperkenalkan,berinteraksi dan menjadikannya sebagai metode ilmu dan dialog mereka dengan rivalnya. Mereka menuduh para teolog, khususnya yang bermadzhab Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, bersikap ta'ashub ( fanatik ) taklid, dan memusuhi, pintu kebimbangan menanti para teolog ini dan pintu keyakinan telah tertutup dari mereka dan bukanlah merupakan takdir Allah terlahiirnya seorang tokoh dalam Agama ini yang terpercaya baik dalam keadaan sunyi maupundalam keadaan ramai, yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Ash-Shunnah RasulNya sahabat-sahabatnya yang suci dan baik terhadab hal yang menjadi pegangan para pendahulu yang shaleh ( Salaf As-Shaleh ) seperti tokoh – tokoh ahli Hadit, seorang yang kemudian menguasai ilmu debat dan diskusi, memahami penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam Agama ( Islam ) mampu melepaskan diri dari cengkeraman dan kungkungan orang – orang yang berada di jalur yang bathil serta mampu keluar tipu daya mereka. Itulah Dia Abu Hasan Asy'yari yang mereka maksud.
Al-Asy'ariy tampil didepan publik seraya memproklamirkan teolog yang mereka anut dengan pidatonya : " sandaran otoritas pendapat kami dan keyakinan ke Agamaan yang kami anut adalah berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Ash-Sunnah RasulNya, Atsar sahabat perkataan tabi'in, para pembela Hadith dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad bin Hambal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya dan melipat gandakan pahalanya. Barang siapa yang menyalahi perkataan, maka ia jauh dari agama yang benar karena dia adalah seorang imam yang paripurna, lewatnyalah Allah menampakkan kebenaran diatas kebathilan, " Penegasan lebih lanjut mengenai masalah yang sama dapat kita temukan buku karyanya yang berjudul, Maqalat al-Islamiyyin, yaitu buku yang di tangan pembaca. Setelah ia membahas tentang Ahlu Ash-Shunnah dan Hadit, ia menulis Dengan Ilmu dari yang telah disebutkan itulah kami berkata dan bermadzhab. Tak ada yang memberikan pertolongan kecuali Allah. Cukuplah Ia sebaik-baik Penghisap dan sebaik-baik Wakil Kami: KepadaNya kami memohon pertolongan, bertawakal dan kembali." Sebenarnya Ahlu Hadith, mula-mula tidak mengakui dan menerima usaha Asy'ariy untuk memadukan madzhab AHLUSUNNAH dengan madzhab RASIONALIS baik dengan alasan prasangka (Prejudice ) bahwa sia-sia faham i'tizali belum sirna dalam jiwa Asy'yari maupun dengan alasan penolakan mereka terhadap metode berfikir Kalami yang pada gilirannya melahirkan keengganan mereka untuk menggunakan idiom-idiom dan jargon-jargon yang digunakan para teolog ( Mutatakillm ). Bukti penolakan Ahlu al-Hadit terhadap ini bisa di temukan dalam tulisan Ibn al-Jauzi. " Asy'ariy itu hidup dalam faham Mu'tazilah dalam rentang waktu yang cukup panjang, lalu ia menawarkan faham baru terhadap Masyarakat". Akan tetapi pada kurun berikutnya banyak juga yang menerima faham Asya'ariy ini dapat mereka yakini bahwa apa yang mereka lakukan berdasarkan motif yang baik, hal itu dapat dibuktikan dari komentar ibn Thaimiyah dalam buku Muwafaqat shahih al-Manqul; Ia berkata Ketika al-Asy'ariy konversi dari Madzhab Mu'tazilah, Ia menempuh cara Ibn Kullab, membela sunnah dan Hadith dan menyadarkan pendapat-pendapatnya kepada Imam Ahmad ibn Hambal sebagaimana dikemukakannya sendiri dalam seluruh buku, karangan seperti dalam al-Ibanah, al-Mujaz, al-Maqalat dan lain-lain. Ia bergaul pada pembela sunah dan Hadith sebagaimana halnya ia bergauldengan para teolog (Mutakallim ) seperti Ibn Aqil seorang Ulama mutakhir penganut Madzhab Hanbali. Akan tetapi Asy'ariy dan Imam-imam sahabatnya mengikuti madzhab Hanbali lewat imam-imam Ahlis Shunah dan Hadith, seperti dari Ibn Aqil dan murid-muridnya, diantaranya Ibn al-Faraj al-Jauzi. Sedang para pendahulu pengikut Ahmad ibn Hanbal seperti Abu Bakar Abdul Azis dan Abu Hasan At- Thaimiy dalam karya-karyanya mereka secara keseluruhan mengungkapkan dalil-dalil hayan yang bersesuaian dengan sunnah dan mereka menganggap apa yang dikatakan oleh asy'ariy merupakan penentangan seorang ikti'jali. Lebih lanjut ibn Thaimiyah juga mrngungkapkan sebab-sebab berpalingnya sebagian Ahli Hadith ar faham Asy'yariy . Tentang hal in mengatakan " Adapu dalam masalah Iktiyariyah (kebebasan memilih / free will ) maka ibn kullab dan Asy'ariy serta orang-orang sependapat dengannya menafikan juga membangun pendapat yang berbeda menyikapinya masalah Al-Qur'an. Oleh sebab itu mereka menjadi perbincangan masyarakat karena bertentangan dengan mereka apa yang didapatkannyadalam buku-buku yang mereka pelajari dari tulisan Ulama pendahulunya tidak hanya sampai disitu , Al-Asy'ariy juga dituduh melakukan bid'ah dan masih adanya sisa-sisa Kemu'tazilahannyadan pendapat ini sangat ersebar diantara pengikut Madzhab Hanbali sebagaimana dalam madzhab-madzhab lainnya.
Jika demikian duduk persoalanya maka perbedaan antara Asy'ariy dengan Ahmad ibn Hanbal sebagai madzhab anutan, sebenarnya bukan hanya dilakjukan olehnya , melainkan hampir seluruh pengikut imam-Imam ini mempunyai perbedaan pendapat dengan pendiri tokoh Madzhab, diantara qadli Abu Ya'la dan pengikutnya, Ibn Aqil , Abu Hasan Azzaquni dan lainnya. Oleh karena perbedaan pendapat antara Asy'ariy bukanlah merupakan Bid'ah dan bukan pula adanya sisa-sisa pengaruh I'tizali ( mu'tazilah ) dalam dirinya. Hal itu semata-mata terdorong oleh kecintaanya yang tulud dan jujur untuk memadukan anatara penganut RASIONALIS dan penganut SUNNAH.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkataan Mu'tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang artinya "meninggalkan" atau "menjauhkan diri". Mu'tazilah adalah salah satu madzhab Theologi dalam Islam. Kelahiran Mu'tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkannya dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh GuruNya, Hasan Basri, karena perbedaan tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar.
Diantara Doktrin aliran Mu'tazilah yang dimunculkan oleh mereka adalah mengenai kalam Mu'tazilah, yang dirumuskan dalam 5 (lima) prinsip pokok yang disebut "al – Ushul al – Khamsah" yaitu:
Tauhid
Keadilan Tuhan
Al-Wa'du wal wa'id (Janji dan Ancaman)
Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
DAFTAR PUSTAKA
Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas
Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185