BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Munculnya fenomena aliran sesat tidak terlepas dari problem psikologis baik para tokoh pelopornya, pengikutnya serta masyarakat secara keseluruhan. Problem aliran sesat mengindikasikan adanya anomali nilai-nilai di masyarakat. Aliran sesat bukan fenomena baru, selain dia mengambarkan anomali, juga kemungkinan adanya deviasi sosial yaitu selalu ada komunitas yang abnormal. Baik berada dalam abnormalitas demografis, abnormalitas sosial, maupun abnormalitas psikologis. Sedangkan bentuk deviasi dapat bersifat individual, situasional dan sistemik. Abnormalitas perilaku seseorang tidak dapat diukur hanya dengan satu kriteria, karena bisa jadi seseorang berkategori normal dalam pengertian kepribadian tetapi abnormal dalam pengertian sosial dan moral. Demikian halnya dengan para penganut aliran sesat, akan diperoleh kriterium kategori yang tidak tegas. Salah satu yang paling mungkin untuk menyatakan kesesatan adalah defenisi atau batasan ketidaksesatan yang bersifat formalistik atau diakui sebagai batasan institusional. Walaupun sudah jelas dituangkan dalam Firman Allah SWT: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Al-Maidah 5:3). Merebaknya panji-panji yang bertentangan dengan esensi ajaran agama Islam dewasa ini, tentu melahirkan problematika yang serius, yang patut untuk
1
didiskusikan, Mengingat tidak ada perubahan aturan ibadah yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
B. RUMUSAN MASALAH Dalam makalah ini, kami mencoba memaparkan pembahasan tentang latar belakang munculnya aliran-aliran sesat di Indonesia, mengapa aliran-aliran tersebut dianggap/divonis sesat dan bagaimana cara menghindarinya.
C. TUJUAN Dari penjelasan makalah ini kami sebagai penulis bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam di samping itu untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang pemikiran aliran-aliran sesat Islam yang tersebar di Indonesia.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI ALIRAN SESAT Kata sesat dapat diartikan sebagai keyakinan yang dianut seseorang yang menjadi keyakinan publik, atau menjadi keyakinan para pengikutnya, sehingga orang yang di ikuti keyakinannya yang sesat disebut menyesatkan. Sedangkan pengertian “sesat menyesatkan” (dallun mudillun) adalah paham atau pemikiran yang dianut dan diamalkan oleh sebuah kelompok yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam serta dinyatakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyimpang berdasarkan dalil Syar’i1. Aliran sesat dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan yang menyimpang dari mainstream masyarakat, namun batasan ini menjadi rancu karena kriteria kesesatan bersifat multikriteria. Oleh karena itu silang pendapat apakah suatu aliran sesat atau tidak merupakan masalah tersendiri yang tidak mudah. Aliran hanya dapat dinyatakan sebagai sesat apabila mengacu pada satu kumpulan kriteria yang dinyatakan secara apriori sebagai “tidak sesat”. Oleh karena itu ukuran sosiologis, politis dan psikologis hanya merupakan penjelas saja tentang kemungkinankemungkinan mengapa seseorang/kelompok menjadi bagian dari aliran sesat.
1
(Rakermas MUI, 6/11/07, Jakarta)
3
B. FENOMENA ALIRAN SESAT Pertanyaan kita apakah aliran sesat itu semakna dengan gerakan sempalan. Martin van Bruinussen (Pendiri International Institute of The Study of Islam in Modern WORLD / ISIM) mengatakan memang agak sedikit sukar membedakan antara mana gerakan sempalan, mana gerakan yang dinilai menyimpang atau sesat dan mana gerakan keagamaan yang dilarang karena kepentingan politik. Dalam konteks sosiologis gerakan keagamaan, secara sederhana hanya dikenal dua terminologi yaitu aliran ortodoks (mainstream) dan aliran sempalan. Gerakan ortodoks atau mainstream dianggap Islam yang paling ”tepat” dan (dalam batas-batas tertentu) dinilai paling benar, disamping dianut oleh banyak orang. Dalam konteks Indonesia, menurut Martin gerakan ini diwakili oleh organisasi seperti MUI, Muhammadiyah maupun NU. Sedangkan istilah gerakan sempalan menurut Martin lazim dipakai secara normatif untuk aliran agama yang dinilai sesat dan membahayakan. Namun, Martin menegaskan bahwa, kedua istilah tersebut berlaku secara kontekstual, dalam artian status ortodoksi dan sempalan atau sesat itu tidak berlaku tetap, akan tetapi dinamis. Kemudian, Martin juga menyadari bahwa, prinsipprinsip seperti ini memang beresiko, karena dalam sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam terlihat bagaimana antara kalangan tradisionalis dan modernis saling menilai ”sesat” satu sama lain, meskipun penilaian ini ada yang dinyatakan secara eksplisit ada yang tidak. Batasan terhadap pengertian atau istilah yang kita gunakan menjadi sangat penting, untuk menghindari kesewenang-wenangan tafsir atas gerakan keagamaan. Terus terang saja, khusus untuk kata aliran atau kelompok sempalan, dalam kosa kata
4
Indonesia bermakna peyoratif2, baik dalam konteks sosial maupun politik. Istilah ini oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru di jadikan instrumen untuk munculnya beberapa gerakan keagamaan yang dinilai ”mengancam” stabilitas dan integrasi bangsa. Ternyata instrumen ini efektif untuk ”membasmi” kelompok-kelompok yang dikelompokkan sebagai ekstrim kanan. Seiring dengan perubahan waktu dan perkembangan masyarakat, ternyata istilah “sesat” ini juga tetap bermakna peyoratif dan tetap efektif untuk mengeliminasi keberadaan kelompok lain yang dinilai ”berseberangan” dengan sikap dan pendirian ”Kita”. Hanya dengan satu kata, ”sesat”, ”menghina”, orang tanpa pikir panjang bisa serta merta kehilangan kendali rasionalitas dan rasa kerahiman antara sesama manusia. Ironisnya, terkadang ”mereka” bertindak tanpa mengetahui duduk persoalan secara persis dan mendalam. Terlebih lagi, jika institusi atau tokoh-tokoh kharismatik yang menjustifikasi penilaian tersebut, mereka akan semakin yakin, seakan-akan membawa SK pembenaran untuk merusak, memukul dan membunuh satu sama lain. Dalam konteks ini, sekali lagi untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam menjustifikasi keberadaan pluralitas paham, kita perlu membuat batasan yang lebih rasional dan jernih, bukan semata-mata atas dasar ketidaksenangan atau ketidaksukaan subjektif, apalagi prasangka. Kalau kita menelaah secara lebih mendalam tentang keberadaan paham-paham keagamaan, tidak memadai menilai sesat sebuah paham jika semata berdasarkan karena orang berbeda paham dengan kita. Kemudian, jika kita ingin mengatakan bahwa, ini atau itu adalah ajaran yang sesat, setidaknya kita dapat menjelaskan, atas dasar apa kita menilai sebuah ajaran itu 2
Peyoratif ialah unsur bahasa yang memberikan makna menghina, merendahkan, dan sebagainya’ – http://kamusbahasaindonesia.org
5
sesat. Di karenakan di Indonesia aliran sesat terus saja berkembang. Tidak hanya aliran sesat yang beranggotakan banyak orang, aliran sesat yang beranggotakan beberapa orang pun tumbuh subur. Bak jamur di musim hujan, aliran-aliran sesat berkembang sejak kran reformasi dibuka. Maka penyesatan demi penyesatan menghinggapi umat Islam. Sebagian ajarannya menjadikan para pemeluknya menyimpang dari ajaran Islam. Setidaknya, untuk sampai kepada penilaian tentang sesat tidaknya sebuah ajaran agama adalah; (1) harus dibedakan antara sengaja merusak dan menghina ajaran agama dengan sekedar perbedaan persfektif dalam melakukan penafsiran; (2) wilayah mana yang dinilai telah ”dirusak” oleh mereka yang dinilai sesat, seperti wilayah peribadatan yang telah berlaku qath’i, atau wilayah aqidah atau mu’amalah yang terbuka peluang terjadinya dialog dengan menghadirkan beragam persfektif, seperti filosofis, mistik (tashawuf), logika dan ilmu pengetahuan; (3) dilihat dari aspek teologis, yaitu apakah ajaran tersebut cenderung membawa orang kepada kemudharatan atau semangat pembangkangan (perlawanan) terhadap kemashalatan umum. Inipun membutuhkan satu kajian yang lebih mendalam, agar tidak terjadi tirani atas nama kebenaran dan menghindarkan kemudharatan bagi ummat; (4) hal yang paling penting, dan ini jarang terjadi dalam kehidupan nyata, perlu ada ruang dialog terbuka secara santun dan rasional, tidak untuk memeriksa kepercayaan (tahkim), akan tetapi untuk memahami konstruksi atau persfektif mereka yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda. Jika keempat hal ini kita praktekkan, setidaknya dapat mengurangi praktek kesewenang-wenangan dalam penafsiran.
6
Ditambah lagi, dalam sejarah perkembangan Islam, seringkali intrik politik berhasil menyelinap ke dalam justifikasi normatif keagamaan, sehingga sukar menilai bahwa, proses justifikasi kesesatan sebagai murni fenomena normatif keagamaan, akan
tetapi
”kental”
dengan
kepentingan
ideologi
dan
politik
praktis.
Tabel yang dikemukakan oleh R. Hrair Dekmejian berikut memperlihatkan bahwa, konflik senantiasa mewarnai proses peralihan kekuasaan politik dalam Islam. Kalau kita mengkaji secara lebih mendalam, juga akan terlihat dalam konstelasi politik tersebut, juga inklud proses justifikasi normatif keagamaan, sebagai sarana untuk meningkatkan konsolidasi diri. Sebagai contoh, ketika terjadi konflik antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Syofyan, kemudian berbuntut dengan penguatan afiliasi pengikut menjadi Syi’ah dan Al Sunnah, memperlihatkan bagaimana konflik ini tidak hanya memecah ummat Islam ke dalam afiliasi politik praktis, akan tetapi juga membuat ummat Islam terjebak pada posisi diametral untuk saling mengkafirkan (atau saling mengklaim sesat) antara satu dengan lainnya. Tabel 1. Gerakan Keagamaan Dalam Islam Pemimpin ‘Umar II (w.720)
Gerakan Sebab-sebab Degenerasi moral Umayyah
Ibn Hanbal (w. 855)
Imposisi Abbasiyah terhadap doktrin atau represi nagara yang dikuasai Mu’tazilah.
Ibn Hazm (w. 1064) Ibn Taimiyyah (w. 132 Ibn ‘Abd al-Wahhab (w.1791) Gerakan Sanusiyah (1880an) Gerakan Mahdiyah (1880an) Gerakan Salafiyyah (1890an) Ikhwanul Muslimin (1930an)
Kemunduran dan kekalahan Umayyah di Spanyol. Kehancuran Abbasiyah/Penaklukan Bangsa Tatar / Krisis ekonomi dan moral. Kemunduran Turki-Utsmani/Krisis moral dan agama. Krisis keagamaan masyarakat tribal/Penaklukan Bangsa Italia. Konflik keagamaan masyarakat tribal/Krisis ekonomi / Penguasa Anglo-Mesir-Turki. Militer Eropa/Imperialisme kultural dan ekonomi. Krisis sosial-ekonomi-politik/Kehadiran imperialis Inggris.
7
Sumber :
R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival, Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Diversity and Unity, 1988. (dalam Moeflich Hasbullah, 2007)
Untuk memahami fenomena aliran yang dinilai sesat di Indonesia, kami sebagai penulis melihatnya sebagai sebuah gejala sosio-politis, ketimbang sebagai sebuah gejala keagamaan murni. Secara sosiologis, bermunculan banyak aliran sesat dan fenomena masyarakat mudah ”percaya” dengan segala janji-janji yang instan, ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah; ketika masyarakat sedang mengalami diorientasi hidup, ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial, politik dan ekonomi (atau ketika masyarakat terlalu lama berada dalam kondisi ”penderitaan”), ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup yang serba sulit. Disorientasi hidup adalah kondisi dimana manusia tidak lagi memiliki arah atau pedoman hidup yang jelas. Segala jalan yang mereka tempuh tidak memberikan arti dan bermakna lagi bagi mereka. Akibatnya mereka terus menerus mencari pemuasan diri, namun rasa dahaga juga bergerak (berbanding terbalik) dari hasrat pemuasan tersebut. Akibatnya, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh hanya kesenangan yang bersifat semu dan palsu (pseudo) belaka. Kondisi seperti ini yang disebut dengan disorientasi hidup, akibatnya mereka akan sangat mudah diombang-ambing oleh situasi (keadaan), karena mereka berharap dapat menemukan kepuasan yang mereka cari, meskipun kadang akal sehat mereka tidak lagi berfungsi sepenuhnya. Kondisi kedua adalah ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial, politik dan ekonomi. Akibat terlalu lama menderita secara ekonomi dan sosial, orang
8
akan merasa kehilangan harapan (hopeless), kehilangan masa depan (futureless) dan kehilangan
gairah
(passionless) yang
pada akhirnya akan
”meruntuhkan”
kepercayaan secara politik (kepada otoritas politik). Pekerjaan sulit, cari makan sulit, sehari-hari kita hidup dalam ”dunia yang terancam” dan lingkaran kekerasan, kebengisan melihat tabiat para pemimpin (atau mereka yang mengklaim suara rakyat) ataupun kemarahan terhadap sepak terjang para penegak hukum, kondisi-kondisi ini akan mendorong timbulnya kemarahan yang menggumpal, yang akan berbuntut rasa frustasi secara sosial, ekonomi maupun secara politik. Kondisi mental seperti akan membuat kita tidak stabil, baik secara intelektual, mental dan sosial. Orang yang ”rapuh” situasi intelektual, mental dan sosial tersebut akan sangat gampang terjebak kepada lingkaran kemarahan (kekerasan) atau mengambil jalan pintas ”escafe from reality” (lari dari kenyataan). Pilihan untuk menjadi penganut ajaran-ajaran sesat yang menjanjikan dengan cepat solusi atas persoalan tersebut. Atau malah mengambil bagian dari gerakan perlawanan sosial – sebagai bentuk reaksi – terhadap keadaan yang dinilai korup (despotism, meskipun dalam tafsiran kesemestaan dirinya sendiri), dimana kekerasan adalah salah satu manifestasi dari semangat pembebasan tersebut. Kondisi ketiga adalah ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup yang serba sulit. Menurut Hrair Dekmejian (Profesor Ilmu Politik Universitas Souther California Los Angeles) dalam bukunya Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World (Syracuse University Press, 1985) mengatakan bahwa, ada relevansi antara krisis sosial dengan kebangkitan agama. Dengan mengambil sampel yang terjadi di dunia Islam (selama 14 abad) memperlihatkan
9
bahwa, Islam telah menunjukkan kapasitasnya yang unik untuk memperbarui dan mereformulasi dirinya melalui suatu sistem yang ia sebut self-regenerating social mechanism (mekanisme sosial regenerasi diri). Mekanisme ini berfungsi merespon suasana dimana ideologi-ideologi dan kekuatan-kekuatan sosial sedang bertempur satu sama lain. Mekanisme tersebut berfungsi “secara otomatis” pada saat integritas moral atau eksistensi umat sedang terancam. Dekmejian berupaya membuktikan tesisnya bahwa, siklus dinamika krisis dan kebangkitan ini terimplementasikan pada hampir sepanjang sejarah Islam. Reaksi kebangkitan dalam sejarah dunia Islam beragam, mulai dari gerakan radikal (revivalis) hingga gerakan neo-moderen (liberalis). Jika analisa Dekmejian ini kita pakai, ketika krisis yang terjadi (baik dalam konteks sosial, ekonomi dan politik) terus menerus terjadi tanpa ada penyelesaian, lambat laun ia akan membentuk siklus dinamika krisis, dalam kondisi seperti ini maka akan muncul beragam reaksi (kebangkitan), mulai dari gerakan yang ”diam” (seperti ajaran-ajaran agama yang menyimpang), tapi ada juga yang memilih gerakan yang sifatnya ”ramai” (dengan cara kekerasan). Krisis sosial (kemiskinan, kebodohan, prostitusi, perjudian dsb), krisis ekonomi (kenaikan harga BBM, kesulitan mencari lapangan kerja dan rasa hopeless), krisis politik (runtuhnya kepercayaan terhadap pemimpin dan elit politik). Sebagaimana yang telah diuraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aliran sesat di Indonesia disebabkan beberapa faktor, antara lain: 1. Kurang efektifnya dakwah atau lemahnya pembinaan umat beragama secara internal
10
2.
Adanya pihak eksternal yang memicu, sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 109 dan 120 “Banyak di antara ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapang dada-lah, sampai Allah memberikan perintahNya. Sungguh Allah Maha kuasa ata ssegala sesuatu” (QS.AlBaqarah:109) “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidakakan
rela kepadamu
(Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguh nya petunjuk Allah itu petunjuk (yang sebenarnya)’. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah itu (kebenamn) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah” (QS. Al Baqarah:120). Dan di Indonesia sendiri adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Dan dalam diri mereka (orang-orang yang ingin menghancurkan Islam) adanya suatu kekhawatiran bahwa peradaban Islam diprediksi akan kembali berjaya seperti dimasa Dinasti Abbasiyah (750 – 1258 M). Oleh karena itu , mereka menghancurkan akidah umat Islam agar umat Islam terpecah belah dan tidak Berjaya kembali. 3.
Pengaruh globalisasi dan informasi yang membawa paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
11
4.
Rasa frustasi umat akibat kondisi keterpurukan ekonomi yang lemah sehingga membuat seseorang kurang mendalami ajaran agamanya dan dapat dikatakan bahwa “kefakiran itu menyebabkan kekafiran”. Dari fenomena kehidupan ini, bangsa Indonesia mengalami kehebohan yang
luar biasa. Paham atau aliran menyimpang (sesat) merebak dimana-mana. PBNU mencatat, sejak tahun 2001 hingga 2008 sedikitnya ada sekitar 250 paham atau aliran yang menyimpang berkembang di Indonesia. Mulai dari aliran kerajaan Lia Eden, pemimpin agama “Salamullah” yang mengaku dirinya sebagai perwakilan Jibril, pengikut “al-Qiyadah” yang mengimani Ahmad Musaddeq sebagai Rasulnya, “Ahmadiyah” yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa- al-Masih, “Darul Arqam”, pemimpinnya mengaku bertemu dengan Nabi, komunitas yang menjalankan shalat dengan dua bahasa dan beberapa aliran lainnya. Ciri-ciri dari kesesatan atau aliran sesat yang berkembang di Indonesia, dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan maklumat tentang 10 ciri aliran sesat, yaitu: 1. Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadha dan Qadar) dan mengingkari rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat wajib 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji); 2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`I (AlQuran dan As-Sunah); 3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an; 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al Qur’an;
12
5. Melakukan penafsiran Al Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam; 7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir; 9. Merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardlu tidak 5 waktu; 10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan seorang muslim hanya karena bukan kelompoknya.; Kesepuluh maklumat yang dikeluarkan oleh MUI bukan tanpa dasar, bahkan dilandasi oleh banyak dalil dari Al Qur’an dan Al Hadist serta bersesuaian dengan prinsip-prinsip Ahlussunah Wal Jama’ah. Selain itu kami mencoba untuk membahas ciri-ciri lain dari aliran-aliran sesat yang berkembang di Indonesia, antara lain: 1. Memiliki amalan-amalan khusus yang tidak berdasar Sebagian aliran sesat memiliki amalan-amalan tertentu yang nyeleneh. Misalnya, ada aliran sesat yang memerintahkan pengikutnya bersetubuh di depan pemimpinnya, atau aliran yang membolehkan shalat tanpa berwudhu, atau aliran yang mengharuskan pengikutnya pergi mengembara (khuruj) dalam jangka waktu tertentu. Dikatakan nyeleneh karena tidak ada dasarnya dari Al Qur’an, hadits atau contoh dari para sahabat. Padahal Rasulullah SAW melarang keras berbuat sesuatu dalam agama kecuali ada landasannya dari dalil. Beliau shallallahu
13
’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718) 2. Menjanjikan penebusan dosa dengan amalan tertentu tanpa dalil Semua dosa terhapus dengan menyumbang infaq sebesar sekian juta kepada imam, atau semua dosa hangus jika ikut ‘hijrah’, atau semua dosa sirna jika berhasil mengajak sekian orang menjadi pengikut. Itulah yang dijanjikan sebagian aliran sesat. Padahal tentunya kita semua sepakat masalah pengampunan dosa adalah kuasa Allah Ta’ala. Jadi, perkara yang dapat menghapus dosa tentunya harus sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala melalui Al Qur’an atau melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Semisal puasa Asyura’, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Puasa ’Asyura’ akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 2804). Juga amalamal kebaikan, dapat menghapuskan dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya amal-amal kebaikan menghapuskan amalamal keburukan” (Q.S. Huud: 114). Namun kepastian diampuni dan besarnya ampunan berpulang pada kehendak Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, namun Allah mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Ia kehendaki” (Q.S. An Nisa: 48) 3. Mengajak kepada semangat kekelompokan (hizbiyyah) Sungguh sayang sebagian ummat Islam di masa ini gemar mengajak orang untuk berkelompok-kelompok dalam agama. Kelompok-kelompok tersebut pun dijadikan tolak ukur loyal dan benci (wala wal baro’). Lebih parah lagi jika ditambahi dengan taqlid buta dengan kelompoknya. Sehingga ia mati-matian
14
berpegang teguh pada aturan-aturan kelompok, serta membela tokoh-tokoh kelompok meskipun bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Jika demikian, mereka telah menyimpang dari jalan yang benar. Karena Allah Ta’ala memerintahkan ummat Islam untuk bersatu di atas kebenaran. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Berpegang teguhlah kalian pada tali Allah, dan janganlah kalian berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103) 4. Mengajak untuk memberontak kepada penguasa muslim Imam Ahmad bin Hambal atau dikenal dengan Imam Hambali berkata, “(Pokok keyakinan Ahlus Sunnah menurut kami, salah satunya adalah) tidak halalnya memerangi penguasa muslim yang sah. Dan tidak halal bagi seorang pun untuk memberontak kepadanya. Orang yang memberontak dan memeranginya maka ia adalah ahli bid’ah yang telah keluar dari jalan kebenaran.” (Lihat Ushul As Sunnah). Islam mengajarkan ummatnya agar patuh kepada penguasa, presiden, raja, perdana menteri atau sejenisnya dan tidak memberontak, meskipun ia adalah penguasa yang zhalim. Selama ia seorang muslim yang mengerjakan shalat. Jika ia seorang yang zhalim, maka kewajiban rakyat adalah memberi nasehat dengan cara yang baik, bukan memberontak dan tetap taat kepadanya pada hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Suatu ketika seorang sahabat, yaitu Salamah bin Yazid Al Ju’fiy bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bagaimana pendapat engkau jika penguasa yang memerintah kami menuntut haknya namun tidak menunaikan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Lalu Rasulullah SAW berpaling darinya, kemudian Salamah bertanya lagi kedua kali atau ketiga kalinya. Lalu Al Asy’ats bin Qais
15
menariknya dan Rasulullah SAW berkata: Patuhi dan taatilah ia, karena mereka akan menanggung tanggung jawabnya dan kalian menanggung tanggung jawab kalian.” (HR. Muslim). Dalam hadits lainnya, dari Hudzaifah, Rasulullah SAW juga bersabda, “Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim)
16
BAB III PENUTUP
Aliran sesat bukan semata masalah kesesatan berpikir, tetapi juga masalah psikologis individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dinamika kehidupan yang berat, kekacauan sistem sosial dan ketidakpastian nilai-nilai yang ditawarkan oleh kapitalisme dan liberalisme menyebabkan orang-orang dengan kecenderungan psikiatrik menempuh kehidupan yang sesat dan menyesatkan tanpa disadarinya. Meskipun kasus-kasus demikian jarang menjadi ranah para psikolog dan psikiater tetapi fakta menunjukkan bahwa problem psikologis dengan gejala psikiatrik delusi3, halusinasi dan mimpi aneh menjadi bagian yang perlu dicermati secara ilmiah terutama pada para pemimpin aliaran dan gerakan. Hal ini penting agar dapat melakukan deteksi dini akan adanya keanehan perilaku. Apalagi bila informasi (dakwah) yang disajikan kurang sistematis, memberi sosulis dan menyehatkan jiwa akan semakin mudah terbentuknya komunitas atau gerakan kesesatan dengan variasi yang tidak pernah berhenti. Lebih parah lagi apabila kesesatan dibiarkan sejak awal dan menunggu menguat manjadi komunitas besar, maka kesesatan akan dipahami sebagai keniscayaan kebenaran. Sudah saatnya dakwah dikelola dengan lebih membumi dan menjadi solusi bagi persoalan hidup serta ketersediaan sistem sosial yang mampu mencegah kesesatan semakin mendapat ruang. 3
Delusi adalah pikiran atau pandangan yang tidak berdsar (tidak rasional), pendapat yang tidak berdasarkan kenyataan
17
Sementara bagi mereka yang baru terlibat/terkena/terjebak/tertipu oleh aliran (pikiran, pengetahuan, dan keyakinan) sesat agar diberi kesempatan untuk memperoleh informasi yang memadai, mendalam dan intensif agar mereka menyadari kekeliruannya. Kesempatan tersebut disertai sikap empati, memaklumi, tidak menghakimi, bersifat argumentatif dan penuh kasih sayang dalam kerangka dakwah. Sedangkan bagi kesesatan yang bersifat masif, telah menjadi gerakan, dipimpin dengan terencana dan tersetruktur maka segera dihentikan agar tidak menyebabkan komplikasi sosiologis dan psikologis yang merepotkan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua hal, kalian tidak akan sesat jika berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah (Hadits).” (HR. Al Hakim. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini hasan). Dari hadits ini jelaslah bahwa cara agar terhindar dari kesesatan adalah berpegang teguh terhadap Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Yaitu dengan
mempelajarinya,
lalu
mengamalkannya.
Abu
Bakar
Ash
Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah aku biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (HR. Bukhari dan Muslim) Pada hadits tersebut terdapat isyarat pentingnya mempelajari ilmu agama, yaitu Al Qur’an dan Hadits. Karena pada hakekatnya, orang yang terjerumus dalam kesesatan adalah orang yang tidak paham dan tidak mengerti ilmu agama dengan baik dan benar. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati orang-orang musyrikin yang sesat
18
sebagai orang-orang yang tidak paham: (yang artinya) “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” (QS.Al Furqan: 44) Karena ilmu agama akan menjaga seseorang dari kemaksiatan dan kesesatan. Semakin tinggi ilmunya, semakin tebal perisainya terhadap kemaksiatan dan kesesatan. Sebagaimana perkataan para ulama kita terdahulu ketika membandingkan ilmu dan harta: “Ilmu akan menjaga pemiliknya di dunia dan di akhirat. Sementara harta tidak dapat menjagamu. Bahkan dirimulah yang menjaga harta-hartamu di dalam kotak dan lemari”. (Dinukil dari Kayfa Tatahammas fi Thalabil ‘Ilmi Asy Syar’i, Abul Qa’qa Alu Abdillah) Secara ringkas, ada beberapa tips yang dapat dilakukan agar seseorang terhindar dari pengaruh aliran sesat, antara lain: 1. Mempelajari ilmu agama.
Selain karena hukumnya wajib, dengan
mempelajari agama seseorang akan mampu mengetahui ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Islam namun disamarkan seolah merupakan ajaran Islam. Hadirilah majelis-majelis ta’lim yang dibimbing oleh ustadz yang terpercaya. 2. Kenali dan pahami ciri-ciri aliran sesat 3. Sering bergaul dengan ahlul ‘ilmi, yaitu orang-orang yang memiliki kapasitas ilmu agama yang baik, atau orang-orang yang semangat menuntut ilmu agama 4. Jadilah insan yang ilmiah, yang senantiasa melakukan sesuatu atas dasar yang kokoh
19
5. Taruhlah rasa curiga bila menemukan sekelompok orang yang berdakwah Islam namun dengan cara sembunyi-sembunyi dan takut diketahui orang banyak 6. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ulama atau ustadz yang terpercaya ketika menemukan sebuah keganjilan dalam praktek beragama 7.
Berdoa memohon pertolongan Allah agar dihindarkan dari kesesatan dan dimantapkan dalam kebenaran. Sebagaimana dicontohkan pula oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau berdoa: Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘alaa diinik . Artinya: “Ya Allah, Dzat Yang Membolakbalikan Hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu”. (HR. Muslim) Terakhir, penulis menasehati diri sendiri dan kaum muslimin sekalian agar
membudayakan sikap saling menasehati dalam kebaikan. Karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat” (HR.Bukhari dan Muslim). Maka tulisan ini adalah bentuk nasehat di balik sebuah harapan besar agar kaum muslimin sekalian terhindar dari jalan-jalan kesesatan dan bersatu di jalan kebenaran. Sehingga jika pembaca menemukan ciri-ciri aliran sesat sebagaimana telah disebutkan, kewajiban pertama adalah menasehati. Bukan menyesat-nyesatkan, mencaci-maki, melakukan aksi anarkis apalagi memvonis kafir. Sebab, terjerumus dalam jalan kesesatan belum tentu kafir. Dan juga kami mengharap melalui masukan dari rekan-rekan sekalian. Wa Allah A’alam bi shawab.
DAFTAR PUSTAKA
20
Majelis Ulama Indonesia (MUI), ”10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat”, 9 November 2007. Diakses dari http://www.media-islam.or.id/2007/11/09/mui-sepuluhkriteria-aliran-sesat. Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"), dalam Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27. Diakses dari http://igitur-archive.library.uu.nl/let/2007-0313203322/bruinessen_92_gerakan_sempalan.pdf Yahdillah, “Aliran Sesat Dalam Perspektif Psiklogi”, 20 Juli 2008. Diakses dari http://www.ilmupsikologi.com/?p=51 Eka Hendry Ar., “Memahami Aliran Sesat di Indonesia: Tinjauan Sosiologi”, 22 April 2009. Diakses dari http://caireumediasipontianak.com/main.php?op=informasi&subinformasi=1&mode=detail&id=23&lang=id An-Natijah, “Timbulnya Aliran Sesat”, 29 http://mimbarjumat.com/archives/104
Juli
2008.
Diakses
dari
Yulian Purnama, “Aliran Sesat, Kenali dan Hindari”, 12 Maret 2009 (“Buletin AtTauhid). Diakses dari http://buletin.muslim.or.id/manhaj/aliran-sesatjauhi-dan-hindari Moh. Yasin, “Pseudo-Mujtahid dan Menjamurnya Aliran Sesat”, 28 Agustus 2008, Di akses dari http://muhammad-yasin.blogspot.com/2008/08/pseudomujtahid-dan-menjamurnya-aliran.html. Dan dimuat di Koran Suara Karya, Edisi 29 Agustus 2009
21