LAPORAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU
(TBC PARU )
DI INSTALASI RAWAT DARURAT RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA
RANI UMMA AULIA P27820714025
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM DIPLOMA IV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
SURABAYA
TAHUN AJARAN 2017 – 2018
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU
(TBC PARU )
1. DEFINISI
Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB ( Mycobacterium Tuberculosis) yang termasuk dalam family
Mycobacteriaceace dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Micobacteria
Tuberculosis masih keluarga besar genus Mycobacterium. Berdasarkan
beberapa kompleks tersebut, Mycobacteria tuberculosis merupakan jenis
yang terpenting dan paling sering dijumpai (Kemenkes, 2011)
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang parenkim paru. Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular
yang disebabkan oleh basil mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan
salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah (Wijaya, 2013, Hal.
137).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya, namun yang palig sering terkenan adalah organ paru
(90%) (Suarni. 2009)
2. ETIOLOGI
Penyebab TB paru yaitu kuman Mycobacteria Tuberculosis yang
berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3 -0,6 mikron
dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.
Oleh karena itu, disebut pula sebagi Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
beberapa jam ditempat gelam dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dorman (tertidur), tertidur lama selama bertahun tahun
(Kemenkes.2011)
Apabila seseorang telah terinfeksi TB Paru namun belum sakit maka
tidak dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Masa inkubasinya yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit,
diperkirakan selama 4 sampai 6 minggu (Depkes.2008). Kuman ditularkan
oleh penderita TB Paru BTA positif melalui batuk, bersin atau saat
berbicara lewat percikan droplet yang keluar. Risiko penularan setiap
tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of TB Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB Par selama satu tahun
(Suarni. 2009)
3. KLASIFIKASI
1) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberculosis aktif
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif
serta tidak respons dengan pemberian antibiotic spektrum luas
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif
c) Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa
Berdasarkan Tipe Penderita
2) Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT (Obat Anti Tuberculosis) kurang dari
satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan
:
o Infeksi sekunder
o Infeksi jamur
o TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
e. Kasus Gagal
Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
Penderita dengan hasil BTA negative gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologic meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak
ada perubahan gambaran radiologic
3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
a. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
b. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
c. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan. Multi drug resistant TB (MDR TB)
didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua agen anti-TB lini
pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH) dan rifampisin.
MDR TB berkembang selama pengobatan TB ketika mendapatkan
pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa alasan; Pasien mungkin merasa lebih baik dan menghentikan
pengobatan,persediaan obat habis atau langka, atau pasien lupa
minum obat. Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari
ketidakpatuhan pengobatan. Selanjutnya transmisi strain MDR TB
menyebabkan terjadinya kasus resistensi primer. Tuberkulosis paru
dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA)
tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif
setelah terjadi konversi negatif.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin) 22
e. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
4. PATOFISIOLOGI
Basil tuberculosis yang mencapai permukaan alveoli biasanya
diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil
karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan
tidak menyebabkan penyakit, setelah berada dalam ruang alveolus
(biasanya di bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah)
basil tuberculosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit
polimorfunuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri
tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama
maka lekosit diganti oleh magrofat (Wijaya, 2013, Hal. 138).
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-
gejala pneumonia akut. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe
regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel spiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20
hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah
yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang
terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang
akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelingi tuberkel (Wijaya, 2013,
Hal. 138).
Lesi primer paru –paru disebut focus ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon.
Kompleks ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang
sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain
yang terjadi pada daerah nekrosis adalah percairan dimana bahan cair
lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tubercular yang
dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari
paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
parut fibrosa(Wijaya, 2013, Hal. 138).
Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup
oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan
perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau
membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan
aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah
(limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan memcapai
aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmaner). Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan
tuberculosis milier. Ini terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vascular dan
tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ – organ tubuh (Wijaya, 2013,
Hal. 138)
5. PATHWAY
6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Wijaya, (2013, Hal. 140) Gambaran klinik TB paru dapat di bagi
menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik :
1) Gejala respiratorik, meliputi ;
a. Batuk :
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah :
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah
segar dalam jumlah sangat banyak.
c. Sesak napas :
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax, anemia, dan lain – lain.
d. Nyeri dada :
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura rusak.
2) Gejala sistemik, meliputi :
Demam :
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore
dan malam hari mirip demam influeza, hilang timbul dan makin lama
makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
Gejala sistemik lain : Gejala sistemik lain ialah keringat malam,
anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan
tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang
dapat juga timbulnya menyerupai gejala pneumonia\tuberkulosis paru
termasuk insidius Wijaya, (2013)
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan TB Paru dengan Batuk darah di Instalasi Gawat Darurat
Tujuan
1. Mencegah asfiksia
2. Melokalisasi asal perdarahan
3. Menghentikan perdarahan
4. Mendapatkan diagnosis + tatalaksana penyakit dasar
5. Mencegah distress napas
A : Pembebasan jalan napas (Airway)
1) Menenangkan dan mengistirahatkan penderita, os diberitahu agar
tidak takut membatukkan darah yang ada di saluran napasnya
2) Menjaga agar jalan napas tetap terbuka bila perlu dilakukan
pengisapan (dengan bronkoskop akan lebih baik)
B : Pengaturan Pernafasan (Breathing)
Memberikan bantuan pernafasan ventilasi buatan dan pemberian terapi
oksigenisasi.
C : Sirkulasi ( Circulation)
Dilakukan Resusitasi cairan / darah untuk mengganti kehilangan darah
Menurut Ardiansyah (2012) Penatalaksanaan dari TB dibagi menjadi 2
bagian, yaitu pencegahan dan pengobatan penderita :
1) Pencegahan Tuberkulosis paru.
a. Pencegahan tuberkulosis paru dilakukan dengan pemeriksaan terhadap
individu yang bergaul erat dengan penderita tuberkulosis paru BTA
positif.
b. Mass chest X-ray. Yaitu Pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
tertentu misalnya: Karyawan rumah sakit/puskesmas/balai pengobatan,
penghuni rumah tahanan, siswa-siswai pesantren.
c. Vaksinasi BCG (bacille Calmette -Guerin); reaksi positif terjadi jika
setelah mendapat vaksinasi BCG langsung terdapat reaksi lokal yang
besar dalam waktu kurang dari tujuh hari.
d. Kemoprofilaksis yaitu dengan menggunakan INH 5mg/kgBB selama 6-12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri
yang masih sedikit
e. Komunikasi, informasi dan edukasi tentang penyakit tuberkulosis paru
kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas
pemerintah atau petugas lembaga swadaya masyarakat.
f. Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung dengan orang
yang terinfeksi basil tuberkulosis serta mempertahankan asupan nutrisi
yang memadai. Pemberian imunisasi BCG juga diperlukan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.
2) Pengobatan Tuberkulosis Paru
Tujuan Pengobatan pada penderita tuberkulosis paru, selain untuk
mengobati, juga untuk mencegah kematian, kekambuhan, reistensi kuman
terhadap Obat Anti Tuberkulosis serta memutuskan rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat
yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
a) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
o Rifampisin
o INH (Isoniazid)
o Pirazinamid
o Streptomisin
o Etambutol
b) Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap
ini terdiri dari :
o Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu
rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan
etambutol 275 mg dan
o Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg
c) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
o Kanamisin
o Kuinolon
o Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
o Derivat rifampisin dan INH (Isoniazid)
(Pedoman Penatalaksanaan Tuberculosis di Indonesia. 2012)
d) Jenis Obat Untuk MDR
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen
obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5
group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World
Health Organization, 2008) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling
efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama
yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis
maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin
(amikasin), jika alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua
pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah
melalui hasil kultur negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal
levofloksasin. Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini
harus mendapat kuinolon dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS
(paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan sikloserin. Golongan
obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini
pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin,
asam klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in
vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji
klinis pada pasien MDR TB masih minimal. Ada tiga cara
pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB
yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance
surveillance (DRS) di suatu area, dan hasil DST dari penderita
itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka
dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan
regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari
hasil DST individu penderita tersebut, dan pengobatan secara
empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu penderita tersebut. Pengobatan dengan regimen standar :
pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS yang bersifat
representative pada populasi dimana regimen tersebut akan
diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama.
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen
yang sesuai dari hasil DST individu penderita : awalnya semua
pasien akan mendapat regimen yang sama selanjutnya Page " 5
regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang
telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. Pengobatan secara
empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat
berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya
disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang
bersangkutan tersedia.
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut
sebagai brikut (World Health Organization, 2008):
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat
injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat
pengobatan
Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat
golongan fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau
lebih dari obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah
tersedia 4 obat yang mungkin efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat
dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR)
apabila dirasakn belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1
sampai 4.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang
dianjurkan oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain
(World Health Organization, 2008) :
(1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah
diminum penderita.
(2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi
obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada di area /
negara tersebut.
(3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui
efektifitasnya.
(4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan.
(5) Obat diberikan sekurnag-kurangnya 6 hari dalam seminggu,
apabila mungkin etambutol,pirazinamid, dan fluoro kuinolon
diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang
tinggi memberikan efikasi.
(6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi.
(7) Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman
terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas
obat secara penuh.
(8) Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan
apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB
memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis
menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif.
(9) Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai
keberhasilan Pengobatan mendapat Obat anti tuberkulosis lini
kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah
satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini
kedua yang dipakai pada tahap awal.pasien MDR TB terdiri atas
dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB
memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR,
yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Somantri (2007) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada klien
dengan dengan tuberkulosis paru untuk menunjang dignosis yaitu :
1) Sputum culture: untuk memastikan apakah keberadaan M. Tuberkulosis
pada stadium aktif.
2) Ziehl neelsen (Acid-fast staind applied to smear of body fluid) :
positif untuk BTA.
3) Skin test (PPD, mantoux, tine, and vollmer patch): reaksi postif (area
indurasi 10 mm atau lebih, timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen
intradermal) mengindikasikan infeksi lama dan adanya antibodi, tetapi
tidak mengindikasikan penyakit yang sedang aktif.
4) Chest X-ray: dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal
dibagian paru paru, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau
cairan pleura. Perubahan yang mengindikasikan TB yang lebih berat
dapat mencakup area berlubang dan fibrosa.
1) Foto Thorax Normal
2) Foto thorax dengan TB Paru
5) Histologi atau kultur jaringan ( teramasuk kumbah lambung, urin dan
CSF, serta biopsi kulit) : positif untuk M. Tuberkulosis.
6) Needle biopsi of lung tissue: positif untuk granuloma TB, adanya sel-
sel besar yang mengindikasikan nekrosis.
7) Elektrolit: mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya
infeksi misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air, dapat
ditemukan pada TB paru-paru lanjut kronis.
8) ABGs: mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat, dan sisa kerusakan
paru paru.
9) Bronkografi: merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan
bronkhus atau kerusakan paru-paru karena TB.
10) Pemeriksaan Hematologi : leukositosis, LED meningkat.
11) Tes fungsi paru- paru : VC menurun, dead space meningkat, TLC
meningkat, dan menurunnya saturasi O2 yang merupakan gejala sekunder
dari fibrosis/infiltrasi parenkim paru-paru dan penyakit pleura.
9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang serius dan meluas Tuberkulosis Paru adalah
berkembangnya basil tuberculosis yang resisten terhadap berbagai
kombinasi obat. Resistensi terjadi jika individu tidak menyelesaikan
program pengobatannya hingga tuntas, dan mutasi basil mengakibatkan
basil tidak lagi responsive terhadap antibiotic yang digunakan dalam
waktu jangka pendek. Basil tuberculosis bermutasi dengan cepat dan
sering.
Tuberculosis yang resisten terhadap obat obatan juga dapat terjadi
jika individu tidak dapat menghasilkan respons imun yang efektif sebagai
contoh, yang terlihat pada pasien AIDS atau gizi buruk. Pada kasus ini,
terapi antibiotik hanya efektif sebagian. Tenaga kesehatan atau pekerja
lain yang terpajan dengan jalur basil ini, juga dapat menderita
tuberculosis resistens multi obat, yang dalam beberapa tahun dapat
mengakibatkan morbiditas dan bahkan kematian. Mereka yang mengidap
tuberkulosis resisten multiobat memerlukan terapi yang lebih toksit dan
mahal dengan kecendrungan mengalami kegagalan.( Corwin.2009 )
Adapun komplikasi lain menurut (Mayo.2012) yang terjadi pada TB Paru
yaitu
1) Kerusakan tulang dan sendi
Nyeri tulang punggung dan kerusakan sendi bisa terjadi ketika infeksi
kuman TB menyebar dari paru-paru ke jaringan tulang. Dalam banyak
kasus, tulang iga juga bisa terinfeksi dan memicu nyeri di bagian
tersebut.
2) Kerusakan otak
Kuman TB yang menyebar hingga ke otak bisa menyebabkan meningitis atau
peradangan pada selaput otak. Radang tersebut memicu pembengkakan pada
membran yang menyelimuti otak dan seringkali berakibat fatal atau
mematikan.
3) Kerusakan hati dan ginjal
Hati dan ginjal membantu menyaring pengotor yang ada adi aliran darah.
Fungsi ini akan mengalami kegagalan apabila kedua organ tersebut
terinfeksi oleh kuman TB.
4) Kerusakan jantung
Jaringan di sekitar jantung juga bisa terinfeksi oleh kuman TB.
Akibatnya bisa terjadi cardiac tamponade, atau peradangan dan
penumpukan cairan yang membuat jantung jadi tidak efektif dalam
memompa darah dan akibatnya bisa sangat fatal.
5) Gangguan mata
Ciri-ciri mata yang sudah terinfeksi TB adalah berwarna kemerahan,
mengalami iritasi dan membengkak di retina atau bagian lain.
6) Resistensi kuman
Pengobatan dalam jangka panjang seringkali membuat pasien tidak
disiplin, bahkan ada yang putus obat karena merasa bosan. Pengobatan
yang tidak tuntas atau tidak disiplin membuat kuman menjadi resisten
atau kebal, sehingga harus diganti dengan obat lain yang lebih kuat
dengan efek samping yang tentunya lebih berat.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PADA PASIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU
1. PENGKAJIAN
1) Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama,
umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis
kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya. Sering terjadi
pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan
kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan. Pada masa puber
dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat,kemungkinan infeksi
cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat
2) Keluhan Utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta
pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
a. Keluhan respiratoris, meliputi:
- Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah
- Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya
berupa blood streak, berupa garis, atau bercak-bercak darah
- Sesak napas
- Nyeri dada
b. Keluhan sistematis, meliputi:
- Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza,
hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya,
sedangkan masa bebas serangan semakin pendek
- Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan dan malaise.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat
dalam melengkapi pengkajian.
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila
beristirahat?
b. Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan
atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik
atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam
mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
c. Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
d. Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
e. Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak,
perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala
secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang
sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya
(durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
4) Riwayat penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada
masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening,
dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes
mellitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada
masa lalu yang relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan
antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji
lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam
enam bulan terakhir.
Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan
proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang
sering disebabkan karena meminum OAT.
5) Riwayat penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga
lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah
6) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara
selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian
tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang kesadaran
klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor,
soporokoma, atau koma.
TTV :
Suhu : Terjadi peningkatan suhu tubuh
Nadi : Denyut nadi meningkat seirama dengan frekuensi napas
dan suhu tubuh
RR : frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas
TD : tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit
seperti hipertensi.
b. B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan
pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi.
a) Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien
dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya
penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior
dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit
dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka
terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang
disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak
simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien
dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan
pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika
terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada
parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak
napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot
bantu napas.
Batuk dan sputum.
Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru,
biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya
peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru
disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan
mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak.
Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari
sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan
yang telah diberikan.
b) Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru
tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada
saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan
dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan
biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan
parenkim paru yang luas. Getaran suara (fremitus vokal).
Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di
dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang
dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal
sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam
gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas
untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil
fremitus.
c) Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya
akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru.
Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada
sisi yang sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.
Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang
mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.
d) Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan
(ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa
untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui
stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal.
Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan
vocal pada sisi yang sakit.
c. B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
a) Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan
kelemahan fisik.
b) Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.
c) Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB
paru dengan efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat.
d) Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung
tambahan biasanya tidak didapatkan.
d. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis dengan GCS (4-5-6), ditemukan
adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat.
Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis,
menangis, merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan
pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya kengjungtiva
anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati
e. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan.
Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena
hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga
pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal
sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama rifampisin.
f. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
g. B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB
paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan,
insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak
teratur.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme
2) Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan kongesti paru, hipertensi
pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan
penurunan curah jantung
3) Ketidakseimbangan nutrisis kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakadekuatan intake nutrisi
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan peningkatan reflek batuk
5) Ketidakefektifan regime terapeutik keluarga berhubungan dengan
ketidakteraturan minum obat
(NANDA,NIC-NOC.2015)
3. INTERVENSI
1) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan 1 x 24 jam bersihan jalan
napas efektif
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal (18-20 x/menit),
tidak ada suara nafas tambahan (abnormal))
2. Mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah
Intervensi :
"Intervensi "Rasionalisasi "
"Kaji ulang fungsi pernapasan:"Rasional : Penurunan bunyi "
"bunyi napas, kecepatan, irama,"napas indikasi atelektasis, "
"kedalaman dan penggunaan otot "ronki indikasi akumulasi "
"aksesori. "secret/ketidakmampuan "
" "membersihkan jalan napas "
"Observasi kemampuan untuk "sehingga otot aksesori "
"mengeluarkan secret atau batuk"digunakan dan kerja pernapasan "
"efektif, catat karakter, "meningkat "
"jumlah sputum, adanya "Rasional: Pengeluaran sulit "
"hemoptisis. "bila sekret tebal, sputum "
" "berdarah akibat kerusakan paru "
"Berikan pasien posisi semi "atau luka bronchial yang "
"fowler (senyaman pasien), "memerlukan evaluasi/intervensi "
"Bantu/ajarkan batuk efektif "lanjut "
"dan latihan napas dalam. "Rasional: Meningkatkan ekspansi"
" "paru, ventilasi maksimal "
"Bersihkan sekret dari mulut "membuka area atelektasis dan "
"dan trakea, suction bila "peningkatan gerakan sekret agar"
"perlu. "mudah dikeluarkan. "
" "Rasional: Mencegah "
"Pertahankan intake cairan "obstruksi/aspirasi. Suction "
"minimal 2500 ml/hari kecuali "dilakukan bila pasien tidak "
"kontraindikasi. "mampu mengeluarkan sekret. "
"Lembabkan udara/oksigen "Rasional: Membantu mengencerkan"
"inspirasi. "secret sehingga mudah "
"Kolaborasi pemberian obat: "dikeluarkan "
"agen mukolitik, bronkodilator,"Rasional: Mencegah pengeringan "
"kortikosteroid sesuai "membran mukosa "
"indikasi. "Rasional: Menurunkan kekentalan"
" "sekret, lingkaran ukuran lumen "
" "trakeabronkial, berguna jika "
" "terjadi hipoksemia pada kavitas"
" "yang luas "
2) Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan kongesti paru, hipertensi
pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan
penurunan curah jantung
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan 1 x 24 jam pertukaran gas
efektif
Kriteria Hasil :
1. Tidak terjadi dispnea.
2. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan
BGA dalam rentang normal.
3. Bebas dari gejala distress pernapasan.
Intervensi :
"Intervensi "Rasionalisasi "
"Kaji dispnea, takipnea, bunyi "Rasional: Tuberkulosis paru "
"pernapasan abnormal. "dapat rnenyebabkan meluasnya "
"Peningkatan upaya respirasi, "jangkauan dalam paru-pani yang "
"keterbatasan ekspansi dada dan"berasal dari bronkopneumonia "
"kelemahan. "yang meluas menjadi inflamasi, "
" "nekrosis, pleural effusion dan "
" "meluasnya fibrosis dengan "
" "gejala-gejala respirasi "
"Evaluasi perubahan-tingkat "distress. "
"kesadaran, catat tanda-tanda "Rasional: Akumulasi secret "
"sianosis dan perubahan warna "dapat menggangp oksigenasi di "
"kulit, membran mukosa, dan "organ vital dan jaringan "
"warna kuku " "
" " "
"Anjurkan untuk bedrest, batasi"Rasional: Mengurangi konsumsi "
"dan bantu aktivitas sesuai "oksigen pada periode respirasi."
"kebutuhan. "Rasional : Mengetahui kadar "
"Kolaborasi dengan tim medis "Oksigen ke jaringan "
"untuk pemeriksaan analisa gas " "
"darah " "
3) Ketidakseimbangan nutrisis kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakadekuatan intake nutrisi, batuk yang sering, adanya
produksi sputum, dispnea
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisiterpenuhi dan adekuat
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai
laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
2. Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan
berat badan yang tepat.
Intervensi :
"Intervensi "Rasionalisasi "
"Catat status nutrisi paasien: "Rasional: Berguna dalam "
"turgor kulit, timbang berat "mendefinisikan derajat masalah "
"badan, integritas mukosa mulut,"dan intervensi yang tepat. "
"kemampuan menelan, adanya " "
"bising usus, riwayat " "
"mual/rnuntah atau diare. "Rasional: Membantu intervensi "
"Kaji ulang pola diet pasien "kebutuhan yang spesifik, "
"yang disukai/tidak disukai. "meningkatkan intake diet "
" "pasien. "
"Monitor intake dan output "Rasional: Mengukur keefektifan "
"secara periodik. "nutrisi dan cairan. "
"Catat adanya anoreksia, mual, "Dapat menentukan jenis diet dan"
"muntah, dan tetapkan jika ada "mengidentifikasi pemecahan "
"hubungannya dengan medikasi. "masalah untuk meningkatkan "
"Awasi frekuensi, volume, "intake nutrisi. "
"konsistensi Buang Air Besar " "
"(BAB). Rasional: " "
"Lakukan perawatan mulut sebelum"Rasional: Mengurangi rasa tidak"
"dan sesudah tindakan "enak dari sputum atau obat-obat"
"pernapasan. "yang digunakan yang dapat "
" "merangsang muntah. "
"Anjurkan makan sedikit dan "Rasional: Memaksimalkan intake "
"sering dengan makanan tinggi "nutrisi dan menurunkan iritasi "
"protein dan karbohidrat. "gaster. "
4) IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Setiadi
(2012)
5) EVALUASI
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan
melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Setiadi
(2012)
DAFTAR PUSTAKA
Andra Saferi ,Wijaya. 2013. KMB1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep.Yogyakarta:Nuha Medika.
Ardiansyah, M. 2012 .Medikal Bedah Untuk mahasiswa. Yogyakarta : Diva
Press
Kemenkes. 2011. Pedomasn nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Nurarif, Amin Hadi.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA
NIC –NOC. Mediaction : Jogjakarta
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2012 .
Jakarta
Setiadi (2012), Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan, Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Suarni, Helda. 2009. Faktor Lingkungan yang berhubungan dengan Kejadian
penyakit Tb BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Bulan
Oktober 2008 – April 2009. Universitas Indonesia
Somantri I. 2007. Keperawatan medikal bedah : Asuhan Keperawatan pada
pasien gangguan sistem pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-
paru.html diakses pada tanggal 28 Oktober 2017 pkl 15.00 wib